Senin, 11 Oktober 2010

Pakan Alami Penaeus

Arsip Cofa No. K 1443

Isi Perut Udang Penaeus indicus dan Penaeus merguiensis

Pakan yang tidak tepat merupakan salah sebab kematian Penaeus. Informasi mengenai pakan alami udang dan karakteristik nutrisinya merupakan latar belakang yang penting dalam menyusun formula pakan buatan (Angsupanich et al., 1999).

Berangkat dari fakta bahwa ukuran udang budidaya paling besar hanya sepertiga dari ukuran udang laut liar, Hou dan Liang (1992) melakukan penelitian terhadap masalah ini. Mereka menyimpulkan bahwa pakan hidup dan segar mengandung sejenis enzim aktif yang memungkinkan udang bisa secara sempurna mengasimilasi zat-zat gizi yang ada di dalam pakan sehingga mempercepat pertumbuhannya.

Dalam habitat aslinya makanan Penaeus berupa organisme yang ada di dalam lingkungannya itu. Sebagai contoh, P. setiferus, merguiensis, indicus dan stylirostris yang menghuni perairan dekat pesisir memakan mikroorganisme bentik. (Longhurst and Pauly, 1987; Macnae, 1968). Demikian pula pakan alami P. indicus dan P. merguiensis di Teluk Tammalang, Thailand Selatan terdiri dari (berdasarkan frekuensi kejadian) 56-89 % bivalva, 44-83 % gastropoda, 16-71 % amfipoda, 4-29 % polikhaeta, 20-44 % foraminifera, 25-52 % jaringan tumbuhan dan 4-23 % diatom (Angsupanich et al., 1999).

Angsupanich et al.(1999) melaporkan bahwa Penaeus bersifat omnivora sampai kisaran tertentu meskipun beberapa spesies menunjukkan spesialisasi makanan. Dari penelitian terhadap 5 jenis penaeid Australia diusulkan agar udang penaeid digolongkan sebagai "pemakan detritus" atau "omnivora pemakan sisa-sisa mahluk hidup". Laporan lain menyebutkan bahwa P. indicus makan terutama krustasea seperti kopepoda, ostrakoda, amfipoda, dekapoda kecil dan larva-larvanya, sementara larva echinodermata, moluska, polikhaeta, juga hidroid, trematoda dan foraminifera kadang-kadang ditemukan dalam usus udang ini

Pakan Alami Udang Penaeus esculentus dan Penaeus semisulcatus

Wassenberg dan Hill (1987) melaporkan bahwa bivalva, gastropoda, ophiuroidea, krustasea dan polikhaeta merupakan makanan yang paling melimpah pada juvenil dan dewasa P. esculentus dan P. semisulcatus. Kedua peneliti ini juga menunjukkan bahwa perbedaan makanan udang disebabkan perbedaan ketersediaan makanan tertentu. P. esculentus lebih menyukai krustasea sebagai makanan daripada bivalva jika pilihan tersebut tersedia. Sedangkan juvenil spesies lainnya, P. japonicus, tampaknya merupakan karnivora oportunistik yang lebih menyukai makrobentos dan chironomid. Pada penelitian lain ditunjukkan bahwa P. setiferus dalam lingkungan mikronya lebih menyukai polikhaeta capitellidae daripada jenis makrobentos lainnya.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pakan Alami Penaeus dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

Larva P.monodon telah dipelihara dari zoea-1 (Z-1) sampai misis-3 (M-3) dengan menggunakan pakan dua jenis alga Chaetoceros calcitrans dan Tetraselmis chuii. Naupli Artemia ditambahkan pada kedua perlakuan untuk fase misis. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan berbeda nyata pada level 5 % selama hari kedua dan ketiga kultur, tetapi tidak berbeda nyata selama tahap misis dan akhir periode kultur 8-hari. Larva Z-3 dan M-3 yang diberi pakan C. calcitrans memiliki kandungan protein kasar lebih rendah tetapi lipidanya lebih tinggi daripada larva yag diberi T. chuii. Perbedaan kandungan karbohidrat terlihat pada larva M-3 (Tobias-Quinitio dan Villegas, 1982).

Berbagai spesies fitoplankton telah digunakan sebagai pakan dalam kultur larva penaeidae. Tobias-Quinitio dan Villegas (1982) melaporkan bahwa pertumbuhan larva P. setiferus dan P. aztecus lebih cepat dengan pakan Tetraselmis daripada dengan Skeletonema. Penggunaan diatom, Chaetoceros gracilis, sebagai pakan istimewa untuk P. stylirostris dan P.vannamei dari fase zoea sampai misis adalah efektif dalam memperoleh tingkat kelangsugan hidup 84,8 %. Genus fitoplankton lainnya seperti Isochrysis, Cylindrotheca, Phaeodactylum dan Nitzschia telah digunakan dalam kultur penaeidae. Beberapa jenis menghasilkan peningkatan kelangsugan hidup dan laju pertumbuhan larva, sedang jenis-jenis lainnya menyebabkan pertumbuhan yang baik tetapi tingkat kelangsungan hidupnya rendah, dan sebaliknya. Perbedaan-perbedaan ini mungkin disebabkan ukuran atau komposisi kimia sel alga.

Baca juga :
Penaeus vannamei : Reproduksi, Budidaya, Pakan dan Pertumbuhan

Kelangsungan Hidup Larva Penaeus orientalis Yang Diberi Pakan Alga Spirulina dan Chaetoceros

Cao dan Xiang (1992) menggunakan Spirulina platensis sebagai satu-satunya pakan dalam kultur misis Penaeus orientalis. Chaetoceros muelleri dipakai sebagai pakan kontrol. Tingkat kelangsungan hidup larva udang yang diberi pakan S. platensis hanya 8,7 %, yang diberi pakan C. muelleri 28,7 % dan yang diberi pakan kedua jenis alga adalah 17,5 %. Kesimpulannya adalah bahwa S. platensis bukanlah pakan yang ideal bila digunakan sendirian untuk misis P. orientalis meskipun ia mengandung protein yang melimpah.

Pakan Terbaik Bagi Udang Penaeus vannamei dan Penaues stylirostris

Chamberlain dan Lawrence (1985) mempelajari pengaruh pemberian pakan berupa kerang, udang, cumi-cumi dan cacing serta campuran keempat jenis pakan terbebut terhadap pertumbuhan dan reproduksi Penaeus vannamei dan P. stylirostris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan campuran memberikan pengaruh paling baik, sedang cumi-cumi merupakan pakan tunggal terbaik, diikuti oleh udang, cacing dan kerang. Laju pertumbuhan udang yang diberi pakan campuran meningkat 4 - 7 kali lipat dibandingkan udang yang diberi pakan tunggal mana pun. Pemberian pakan campuran juga menyebabkan kematangan ovari dan pemijahan pada udang yang semula mendapat perlakuan tak produktif akibat pemberian pakan kerang saja.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Hubungan Tingkat Aktivitas dan Konsumsi Oksigen Pada Hewan Air

Arsip Cofa No. K 579

Pengaruh Aktivitas Terhadap Kebutuhan Oksigen

Seperti organisme lain, ikan membutuhkan oksigen untuk aktivitas metaboliknya (Satyanarayana, 2008). Jumlah oksigen yang dikonsumsi ikan dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, ukuran tubuh, laju makan, dan suhu (Swann, 2007).

Smith (1982) menyatakan bahwa peningkatan aktivitas berarti peningkatan kebutuhan oksigen, yang melibatkan respon sistem pernafasan dan sistem peredaran darah untuk meningkatkan ketersediaan oksigen. Smith memberi contoh konsumsi oksigen ikan sockeye salmon yang berenang aktif pada suhu 15 oC bisa naik 10 kali lipat dibandingkan konsumsi oksigen ikan yang sedang beristirahat. Hal senada diungkapkan oleh Heath (1987) : bila ikan dipaksa berenang pada kecepatan maksimum, konsumsi oksigen bisa meningkat delapan sampai sepuluh kali atau lebih dibandingkan ikan yang diam.

Baca juga
Konsumsi Oksigen Pada Ikan : Pengaruh Faktor-Faktor Biologi

Tingkat Aktivitas Ketika Konsentrasi Oksigen Terlarut Sangat Rendah

Vaquer-Sunyer dan Duarte (2008) meneliti ambang batas nilai konsentrasi oksigen terendah yang bisa ditolerir oleh 50 % populasi organisme laut (Lethal Concentration 50). Nilai ambang batas tersebut adalah rendah pada cacing polikhaeta, echinodermata serta knidaria; dan yang paling rendah adalah pada gastropoda. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa kelompok-kelompok hewan tersebut kurang aktif bergerak sehingga membutuhkan lebih sedikit oksigen dan bisa mentolerir konsentrasi oksigen yang lebih rendah. Demikian pula, udang peliang Calocaris macandreae (Thalassinidea) yang kurang aktif bisa bertahan pada konsentrasi oksigen terlarut serendah 0.085 mg O2/liter sementara ikan cod (Gadus morhua) yang lebih aktif hanya mampu mentolerir 10.2 mg O2/liter.

Penelitian Vaquer-Sunyer dan Duarte (2008) juga membuktikan bahwa tingkat aktivitas organisme mempengaruhi nilai “Lethal Time 50” (waktu yang dibutuhkan agar 50 % populasi organisme mati pada konsentrasi oksigen tertentu). Nilai LT 50 untuk ikan sebelah Platichthys flesus adalah 23 menit sedang untuk bivalva Astarte borealis pada suhu di bawah 20°C adalah 32 minggu. Ikan yang lebih aktif lebih cepat menghabiskan oksigen daripada bivalva yang “malas” bergerak.

Aktivitas, baik aktivitas tubuh (misalnya berpindah tempat) maupun aktivitas fisiologis (misalnya metabolisme dan denyut jantung), membutuhkan energi yang diperoleh melalui konsumsi oksigen. Untuk mengimbangi kosumsi oksigen yang rendah mahluk hidup melakukan penghematan energi : echinodermata mengurangi aktivitas geraknya, krustasea, moluska dan polikhaeta mengurangi aktivitas mencari makan, knidaria mengurangi laju metabolisme dan beberapa krustasea mengurangi denyut jantung (Vaquer-Sunyer dan Duarte, 2008).

Baca juga
Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Ikan dan Makrobentos

Upaya Meningkatkan Kebutuhan Oksigen Pada Saat Aktivitas Tinggi

Smith (1982) mengemukakan beberapa mekanisme yang dilakukan ikan untuk meningkatkan kebutuhan oksigen pada saat berenang aktif. Beberapa ikan seperti salmon, tuna dan menhaden menahan mulutnya agar terbuka sebagian selama berenang. Walaupun cara ini meningkatkan hambatan air dan upaya renang, namun membantu penyerapan oksigen oleh insang yang dibutuhkan untuk aktivitas renang tersebut .

Beberapa penyesuaian kecil terhadap aktivitas juga dilakukan ikan namun tidak sepenuhnya bisa dijelaskan. “Transfer factor”, yang didefinisikan sebagai penyerapan oksigen dibagi dengan gradien (rasio perbedaan konsentrasi) oksigen antara air dan darah pada insang, meningkat sampai 5 kali lipat selama berenang. Mekanisme perubahan ini mungkin mencakup peningkatan luas permukaan insang, penurunan jarak difusi antara air dan darah, serta perubahan laju reaksi kimia bagi pertukaran oksigen dan karbon dioksida (Smith, 1982).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Aktivitas Terhadap Konsumsi Oksigen di Dalam Sel dan Darah Ikan

Pengaruh aktivitas terhadap kosumsi oksigen telah diteliti pada tingkat seluler. Organela di dalam sel yang berhubungan dengan konsumsi oksigen adalah mitokondria. Moyes et al. (1992) mempelajari laju konsumsi oksigen pada mitokondria ikan yang aktif (tuna) dan ikan yang kurang aktif (ikan mas). Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen tertinggi pada mitokondria otot jantung adalah dua kali lebih besar pada tuna (Katsuwonus pelamis) dibandingkan pada ikan mas (Cyprinus carpio).

Jumlah eritrosit pada sampel-sampel ikan yang diteliti oleh Siakepere (1984) bersesuaian dengan aktivitas ikan. Jumlah eritrosit berhubungan dengan kapasitas pengangkutan oksigen. Ikan yang aktif membutuhkan banyak oksigen sehingga jumlah eritrositnya lebih banyak.

Baca juga
Dinamika Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan

Pengaruh Aktivitas Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Kepiting

Dari sudut pandang fisiologi, Dayakar et al. (1992) mempelajari pengaruh tingkat aktivitas terhadap konsumsi oksigen pada kepiting. Kepiting Ocypodis platytarsis lebih aktif dan agresif daripada Oziotelphusa senex senex. Laju konsumsi oksigen oleh tubuh binatang dan jaringan serta aktivitas enzim-enzim oksidatif dengan jelas menunjukkan bahwa Ocypodis platytarsis lebih bergantung pada metabolsime aerobik dibandingkan Oziotelphusa senex senex. Adaptasi metabolik ini disesuaikan dengan kondisi hidrologis dan faktor-faktor lingkungan lain dalam habitat kepiting tersebut. Jadi, hewan-hewan yang aktif membutuhkan lebih banyak oksigen.

Baca juga
Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Peningkatan Aktivitas Ikan Tidak Selalu Berarti Peningkatan Konsumsi Oksigen

Bagaimanapun, pada kondisi tertentu aktivitas ikan tidak selalu berarti peningkatan konsumsi oksigen. Meningkatnya aktivitas organisme pada saat konsumsi oksigen berkurang telah diamati oleh Sloman et al. (2006). Mereka meneliti respon fisiologis dan respon perilaku terhadap hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah nilai normal) pada dua kelompok ukuran ikan oskar (Astronotus ocellatus). Ketika timbul hipoksia ikan mengurangi laju konsumsi oksigen; suatu fenomena yang dikenal sebagai “efek Bohr”. Bila hipoksia terjadi di habitat tanpa ada tempat perlindungan (misal tumbuhan air), ikan besar dan ikan kecil menunjukkan perilaku yang berbeda. Ikan besar mengurangi tingkat aktivitasnya (kecuali perilaku menyerang ikan lain) untuk menekan laju metabolisme sedangkan ikan kecil meningkatkan aktivitasnya dengan tujuan mencari daerah yang kaya-oksigen.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengendalian Jantung Ikan Oleh Adrenalin

Arsip Cofa No. K 393

Hubungan Denyut Jantung Ikan dan Adrenalin

Jantung ikan mempunyai reseptor yang berespon terhadap adrenalin yang ada di dalam darah. Kadar adrenalin di dalam darah meningkat ketika denyut jantung dipercepat (Smith, 1982). Bahkan menurut Keen et al. (1992) adrenalin meningkatkan kekuatan denyut jantung aktif pada ikan sampai tiga kali lipat. Dari hasil penelitian terhadap isolat jantung rainbow trout, Rytter dan Gesser (2007) menyimpulkan bahwa adrenalin dengan konsentrasi sekecil 0.5 µM sanggup meningkatkan kekuatan denyut jantung sebesar 68 sampai 97%. Konsumsi oksigen jantung juga meningkat sebesar 70%.

Matty (1985) menyatakan bahwa adrenalin dari ikan cucut anjing meningkatkan secara nyata amplitudo denyut jantung pada ikan ini, tetapi frekuensinya sedikit meningkat. Pada mamalia adrenalin meningkatkan kekuatan, amplitudo dan frekuensi denyut jantung dan menurunkan hambatan sirkulasi periferal dengan cara melebarkan pembuluh darah rangka. Tekanan darah dan output jantung juga meningkat cukup banyak.

Jantung dan pembuluh darah sekitarnya pada ikan siklostomata mengandung agak banyak adrenalin dan noradrenalin. Pada ikan Myxine glutinosa ada lebih banyak adrenalin dalam ventrikel dan lebih banyak noradrenalin dalam atrium sedang pada ikan lamprey (Lampetra fluviatilis) atriumnya mengandung hampir semua adrenalin. Alasan untuk hal ini tidak diketahui. Pada vertebrata tingkat tinggi dan juga pada elasmobranchii serta teleostei adrenalin dan noradrenalin merangsang jantung. Adrenalin terutama menigkatkan laju denyut jantung dan output jantung. Bagaimanapun, pengaruh ini sangat kecil atau tidak ada pada ikan siklostomata (Matty, 1985).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Pengaruh Adrenalin Terhadap Jantung Ikan Trout Sebelum dan Setelah Migrasi

Menurut Pennec (1987) adrenalin merangsang isolat jantung trout (Salmo gardnerii) melalui mekanisme perangsangan beta adrenoreseptor. Pengaruh ini relatif lebih nyata pada musim dingin dibandingkan pada musim semi. Tetapi variasi musiman seperti ini tidak dijumpai pada ikan sidat. Reaktivitas intrinsik jantung ini tidak mengalami perubahan mendasar setelah dipindahkan dari air tawar ke air laut. Bagaimanapun, setelah pemindahan seperti ini, adrenalin merangsang peningkatan potensial membran istirahat (membrane resting potential) yang menguatkan dugaan bahwa adrenalin dapat meningkatkan aktivitas pompa Na/K dan/atau memodifikasi keseimbangan Ca/K serta dapat memperbaiki kondisi jantung selama “periode krisis” setelah pemindahan tersebut.

Baca juga :
Mekanisme Kerja dan Pengatursn Sekresi Hormon

Pengaruh Adrenalin Terhadap Jantung Ikan Sidat

Pennec dan Peyraud (1983) telah mempelajari efek adrenalin terhadap otot jantung ikan sidat selama musim dingin pada isolat jantung ikan sidat yang direndam. Mereka menyimpulkan bahwa adrenalin tidak efektif baik terhadap aktivitas perintis maupun potensial aksi aurikular tetapi meningkatkan secara nyata lama potensial aksi ventrikular, sehingga menyebabkan hilangnya sinkronisasi aurikel-ventrikel. Efek ini tidak dapat dibalik oleh propranolol tetapi bisa dibalik oleh fentolamin dan ditimbulkan oleh perangsangan α reseptor. Kedua peneliti juga menyimpukan bahwa klonidin memperkuat efek adrenalin tetapi juga mengurangi ritme jantung, mungkin melalui α2 adrenoreseptor.

Percobaan telah dilakukan pada isolat jantung sidat (Anguilla anguilla) yang direndam dan hasilnya menunjukkan bahwa jantung secara spontan melepaskan katekolamin (yakni. adrenalin, noradrenalin, dopamin) yang berarti bahwa mreka memainkan peranan dalam pengaturan jantung. Perangsangan cabang-cabang saraf vagus jantung secara nyata meningkatkan kadar katekolamin, sebagaimana yang terukur di dalam medium rendaman serta secara serentak meningkatkan laju jantung dan tekanan sistolik. Efek desmetilimipramin menunjukkan bahwa katekolamin dilepaskan dari ujung-ujung saraf dan tdak dari sel-sel endotelial (Pennec dan Le Bras, 1984).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 09 Oktober 2010

Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

Keunggulan Cacing Tubifex Sebagai Pakan Ikan

Meskipun hidupnya di dalam lumpur kotor yang tercemar limbah domestik, di parit dan selokan pembuangan limbah rumah tangga dan rawa-rawa (Simms, tanpa tahun; Anonymous-1, tanpa tahun), namun Tubifex terkenal di kalangan pembudidaya benih ikan. Di alam liar cacing ini merupakan makanan kesukaan banyak jenis binatang air (Anonymous-2, tanpa tahun; Anonymous-3, 2008; Selman, tanpa tahun). Demikian pula, Tubifex sering diberikan sebagai pakan alami di kolam pemeliharaan benih ikan. Tubifex bisa diberikan dalam keadaan hidup maupun mati karena cacing ini bisa disimpan beberapa hari di dalam refrigerator (Anonymous-3, 2008).

Banyak peneliti yang melaporkan keunggulan Tubifex sebagai makanan ikan, dibandingkan pakan buatan maupun jenis-jenis pakan alami lainnya. Chumaidi dan Priyadi (2006), misalnya, melaporkan bahwa pemberian pakan hidup Tubifex sp. meningkatkan laju pertumbuhan harian benih botia paling tinggi dibanding pemberian kutu air (Moina sp.) dan nauplii Artemia sp. Hasil penelitian Evangelista et al. (1990) menunjukkan bahwa larva lele memanfaatkan organisne hidup lebih efisien daripada pakan buatan. Larva yang diberi pakan Tubifex memiliki laju pertumbuhan paling tinggi. Mereka menyimpukan bahwa Tubifex merupakan makanan istimewa dan berpotensi menggantikan Artemia dalam pemeliharaan larva lele. Simms (tanpa tahun), yang mengamati pemberian Tubifex pada benih ikan salmon, menyatakan bahwa benih ikan yang diberi pakan Tubifex memiliki darah dan tulang yang lebih baik daripada benih ikan yang diberi pakan buatan.

Kelemahan Penggunaan Cacing Tubifex Sebagai Pakan Ikan

Ada kekhawatiran bahwa pemberian Tubifex ke kolam ikan mengandung resiko masuknya bakteri yang tak dikehendaki (Simms, tanpa tahun). Resiko ini sangat kecil, dan sejauh ini tidak ada laporan mengenai kejadian serius berkaitan dengan hal tersebut (Anonymous-3, 2008). Hal senada diungkapkan oleh Anonymous-2 (tanpa tahun) Bagaimanapun, penggunaan cacing Tubifex sebagai pakan memiliki dampak negatif. Walaupun organisme ini disukai banyak spesies ikan, namun ia bisa mencemari media air budidaya akibat cairan dan sisa-sisa tubuh yang tak termakan (Anonymous-1, tanpa tahun). Di samping pasokannya yang tidak kontinyu, kelemahan utama penggunaan cacing Tubifex sebagai pakan ikan adalah harganya yang mahal (Simms, tanpa tahun).

Faktor harga tersebut mendorong usaha-usaha pencarian pakan buatan yang bisa menggantikan Tubifex. Pakan buatan ini harus banyak mengandung protein karena Tubifex kaya akan jenis gizi ini (Anonymous-3, 2008). Selain itu perlu dipertimbangkan fakta bahwa banyak spesies ikan yang tidak tertarik pada makanan buatan yang tidak bergerak dan membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan makanan yang diam seperti ini (Anonymous-1, tanpa tahun).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Alternatif Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

Beberapa peneliti mempelajari kemungkinan penggunaan pakan buatan sebagai pengganti cacing Tubifex. Sebagai contoh, Ronyai (1992) melakukan penelitian yang memberi kesimpulan bahwa pemberian cacing Tubifex untuk pakan larva ikan Acipenser bisa dihentikan dan selanjutnya diganti dengan pakan buatan. Hasil penelitian Suryanti, dkk. (2006) menunjukkan bahwa benih ikan botia ukuran 1½ inci dapat memanfaatkan pakan buatan sebagai pengganti cacing Tubifex. Hal ini sejalan dengan perkembangan aktivitas enzim pencernaannya.

Subandyah (2009) meneliti pengaruh penggantian Tubifex dengan kombinasi pakan alami dan buatan terhadap pertumbuhan ikan tilan merah (Mastacembelus erythrotaenia). Pakan buatan yang digunakan mengandung protein sebanyak 40%. Ia menyimpulkan bahwa kombinasi pakan yang masih layak untuk pemeliharaan ikan hias ini adalah 50% cacing tubifex + 50% pelet.

Bódis, Kucska dan Bercsényi (2007) bahkan membuktikan bahwa Tubifex bisa digantikan seluruhnya dengan pakan buatan asal dilakukan secara bertahap. Dengan obyek penelitian ikan pikeperch (Sander lucioperca), mereka memberi pakan buatan yang persentasenya makin meningkat hingga mencapai 100% pada hari ke-12. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan pikeperch yang diberi kombinasi Tubifex dan pakan buatan (yang persentasenya makin meningkat) pada penelitian mereka adalah cukup tinggi, yakni 74 – 82 %.

Bagaimanapun, pakan buatan tidak bisa menggantikan secara total cacing Tubifex (Ronyai, 1992). Anonymous-3 (2008) menyatakan bahwa pakan hidup harus selalu disediakan. Walaupun pakan buatan bisa menjadi pengganti, namun tak akan pernah menjadi “basic diet” (menu dasar). Kadang-kadang ikan, terutama ikan laut, secara sistematis menolak untuk memakan pakan buatan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Keracunan histamin akibat memakan ikan busuk terjadi di seluruh dunia. Keracunan ini biasanya menimbulkan sakit yang agak ringan; bagaimanapun, komplikasi yang serius seperti gangguan jantung dan pernafasan agak jarang terjadi pada individu dengan kondisi tertentu. Ikan yang terlibat terutama adalah famili Scomberesocidae dan Scombridae (yang disebut juga ikan scombroid) dan banyak mengandung histamin. Histamin dengan kadar berbahaya dihasilkan melalui dekarboksilasi mikrobial terhadap histidin bebas di dalam jaringan otot ikan (Kanki et al., 2002)

Chen et al. (2010) melaporkan bahwa sebanyak 347 orang mengalami keracunan akibat mengkonsumsi ikan Tetrapturus goreng pada Juni 2007 di Taiwan Selatan. Salah satu sampel mengandung histamin sebanyak 52.3 mg/100 g, melebihi ambang bahaya 50 mg/100 g. Mengingat gejala-gejalanya yang mirip alergi dan tingginya kadar histamin pada sampel ikan goreng yang dikonsumsi maka kuat dugaan bahwa kasus ini merupakan keracunan histamin. Dalam penelitian ini dua isolat penghasil histamin lemah diidentifikasi sebagai Acinetobacter baumannii .

Baca juga Alergi Terhadap Ikan dan Makanan Laut

Yatsunami dan Echigo (1992) melakukan penelitian untuk mempelajari bakteri pembentuk histamin yang bersifat halotoleran (tahan garam) dan halofilik (suka garam) pada produk daging merah ikan. Empat puluh enam isolat bakteri pembentuk histamin yang halotoleran dan halofilik telah diisolasi pada 35 sampel dari 133 produk daging merah ikan. Dua puluh tiga isolat, 20 isolat dan satu isolat dari 46 bakteri pembentuk histamin adalah identik dengan Staphylococcus, Vibrio dan Pseudomonas III/IV-NH, berturut-turut. Dua isolat sisanya tak teridentifikasi. Empat puluh isolat menghasilkan 40 - 100 mg/100 ml histamin dalam media histidin yag ditambahkan ke NaCl 15% 14 hari pada suhu 20 derajat C.

López-Sabater et al. (1994) menganalisis kualitas bakteriologis dan kadar histamin pada sampel ikan tuna yang yang dikalengkan. Bahan mentah yang digunakan dalam proses pengalengan memiliki mutu yang bagus. Bakteri penghasil histamin hanya ditemukan pada tiga sampel dari tahap terakhir proses pengalengan sebelum sterilisasi. Kebanyakan bakteri yang diidentifikasi sebagai pembentuk histamin adalah gram negatif, dan hampir semuanya termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae. Morganella morganii adalah pembentuk histamin yang paling banyak dan aktif pada ikan tuna yang akan dikalengkan. Bakteri lain penghasil banyak histamin yang diisolasi selama operasi pengalengan adalah Klebsiella oxytoca, Klebsiella pneumoniae dan beberapa galur Enterobacter cloacae dan Enterobacter aerogenes. Mereka semuanya dapat memproduksi histamin lebih dari 500 ppm dalam kondisi eksperimental. Sebagian besar spesies tersebut muncul sebagai akibat kontaminasi ikan selama penangkapan dan penanganan yang tak hiegenis di pabrik pengalengan. Peningkatan kadar histamin dalam daging tuna adalah sesuatu yang tidak diharapkan dalam proses pengalengan. Kadar histamin harus di bawah nilai maksimum yang diijinkan baik oleh Masyarakat Ekonomi Eropa maupun Food and Drug Administration.

Baca juga Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Bakteri enterik (Enterobacteriaceae) telah dilaporkan merupakan bakteri dominan penghasil histamin pada ikan. Pada 1979, Taylor et al. (1979) melaporkan bahwa Klebsiella pneumoniae galur T2 penghasil-histamin telah diisolasi dari sasimi tuna busuk. K. pneumoniae merupakan HPB (Histamine Producing Bacteria; Bakteri Pembentuk Histamin) paling terkenal sejak laporan itu, sedangkan Klebsiella oxytoca juga dikenal sebagai HPB dari ikan. Bagaimanapun, K. pneumoniae galur T2 kemudian dikirim ke American Type Culture Collection (sekarang di Manassas, Va.) dan diidentifikasi sebagai Klebsiella planticola (ATCC 43176) pada 1987. Galur ini dilaporkan memiliki gen-gen hdc, kode untuk "histidine decarboxylase" tergantung-piridoxal fosfat. Pada 1981, Bagley et al. mengusulkan nama Klebsiella planticola untuk "Klebsiella spesies 2" guna membedakannya dari K. pneumoniae maupun K. oxytoca . Lebih lanjut, K. planticola, bersama dengan Klebsiella ornithinolytica dan Klebsiella terrigena, diklasifikasikan ke dalam genus baru, Raoultella pada tahun 2001 (Drancourt, et al., 2001. ). Bagaimanapun, Raoultella planticola tidak dapat dibedakan dari K. pneumoniae atau K. oxytoca dengan menggunakan sistem komersial, seperti API 20E (Biomérieux, Marcy l'Etoile, France). Uji tambahan diperlukan untuk membedakan R. planticola dari spesies Klebsiella. Demikian pula, pada 1989 nama Klebsiella ornithinolytica disulkan untuk "NIH group 12" pada National Institute of Health, Tokyo, Japan, dan "Klebsiella group 47" pada Centers for Disease Control, Atlanta, Ga., yang menunjukkan reaksi positif pada uji produksi indole dan ornithine decarboxylase. K. ornithinolytica juga diklasifikasikan ke dalam genus Raoultella. (Kanki et al., 2002)

Baca juga Biokimia Daging Ikan Bandeng

Semua galur dari ikan (22 galur R. planticola dan 5 galur R. ornithinolytica) menghasilkan antara 2.810 dan 5.250 mg histamin per liter. Sebanyak 15 dari 21 galur R. planticola menghasilkan antara 2.610 dan 5.200 mg histamin per liter. Galur R. planticola sisanya (6 galur) dan semua galur K. pneumoniae (51 galur) dan K. oxytoca (16 galur) tidak menghasilkan histamin. Tiga dari 5 galur R. planticola dan semua 8 galur R. ornithinolytica juga menghasilkan antara 3.370 dan 5.130 mg histamin per liter. Galur R. planticola (2 galur) dan semua galur R. terrigena (3 galur), K. pneumoniae (10 galur), K. oxytoca (2 galur), K. pneumoniae subsp. ozaenae (1 galur), dan K. pneumoniae subsp. rhinoscleromatis (1 galur) tidak menghasilkan histamin (Kanki et al., 2002).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Menurut Vidal-Carou et al. (1990) histamin dalam produk daging bisa menjadi indikator rendahnya kualitas bahan mentah, juga berhubungan dengan aktivitas mikrobial yang terlibat dalam proses fermentasi. Perubahan kadar histamin secara nyata terjadi selama penyimpanan/pembusukan daging baik pada suhu kamar maupun suhu dingin. Daging yang tak dimasak menunjukkan kadar histamin yang secara nyata lebih tinggi daripada daging yang dimasak.Pada daging yang dimasak nilai histamin berkisar dari 0,25 sampai 3,90 mg/kg. Untuk daging yang tak dimasak kisaran histaminnya adalah 0,25 sampai 249 mg/kg.

Wei et al.(2006) menyimpan sampel ikan tuna dalam kemasan vakum dan non vakum dengan bakteri-bakteri Klebsiella oxytoca, Morganella morganii atau Hafnia alvei pada suhu 2°C dan 10°C kemudian diuji untuk mengetahui pertumbuhan bakteri dan produksi histamin pada hari ke-3, 6, 10 dan 15. Tidak seperti yang disimpan pada suhu 2°C, sampel tuna yang disiimpan pada suhu 10°C menunjukkan pertumbuhan bakteri secara nyata sejalan dengan waktu dan mengandung banyak histamin (>200 mg/100g tuna pada hari ke-15). Pengemasan vakum tidak menunjukkan keuntungan apapun dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri dan produksi histamin pada sampel tuna pada kedua suhu tersebut. Penyimpanan pada suhu rendah lebih efektif dalam mengendalikan produksi histamin oleh bakeri yang diuji.

Baca juga Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan

Semua galur R. planticola kebanyakan dapat tumbuh pada suhu 4°C (46 dari 48 galur) dan memanfaatkan histamin (46 dari 48 galur) dan semuanya memanfaatkan DL-ß-hydroxybutyric acid tetapi tidak etanolamin dan D-melezitose (48 dari 48 galur) (Kanki et al., 2002).

R. planticola dan R. ornithinolytica dapat tumbuh perlahan-lahan pada suhu 4°C. Selain itu, galur-galur ini sering diisolasi dari ikan mentah dan produk ikan. Respon pertumbuhan suhu-rendah dan distribusi galur-galur Raoultella penghasil-histamin dalam lingkungan adalah berhubungan dengan higienitas makanan. Tidak ada perbedaan kemampuan memproduksi histamin di antara galur-galur penghasil histamine, apapun sumbernya. Semua galur Raoultella penghasil histamin memproduksi sejumlah besar histamin. Ada sedikit keraguan bahwa R. planticola dan R. ornithinolytica merupakan HPB paling penting yang menyebabkan keracunan histamin (Kanki et al., 2002).

Kongpun dan Suwansakornkul (2000) menggunakan ikan tengiri segar yang baru disiangi sebagai bahan mentah pembuatan ikan asin dengan rasio ikan : garam sebagai berikut : 1:1, 2:1 dan 3:1 berdasar berat. Kadar histamin dan bakteri pembentuk histamin ditentukan pada hari ke-0, 2, 6, 7, 10 dan 13 setelah proses penggaraman. Kadar histamin meningkat dari 1.87 mg/100 g menjadi 115.52, 158.28 dan 125.10 mg/100 g pada hari ke-6 penggaraman untuk sampel dengan rasio ikan-garam 1:1, 2:1 dan 3:1, berturut-turut. Setelah 6 hari, kadarnya menurun tajam pada semua sampel hingga akhir proses. Jumlah tertinggi bakteri pembentuk histamin baik pada suhu 20°C maupun 37°C diamati pada sampel dengan kadar histamin terbanyak pada hari ke-6 penggaraman dan kemudian menurun hingga akhir penelitian.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengaruh Pengadukan Terhadap Produktivitas Primer

Pengadukan Sebagai Mekanisme Pendistribusian Zat Hara

Selain cahaya, zat-zat hara sangat dibutuhkan untuk mendukung produktivitas primer perairan . Distribusi zat hara di perairan sangat tidak merata. Sebagian besar zat hara ini menumpuk di bagian dasar perairan dan tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal karena kekurangan atau ketiadaan cahaya matahari. Pengadukan massa air yang mengangkat massa air dari lapisan dasar perairan menuju ke permukaan air menyebabkan zat-zat hara tersebut tersedia bagi produktivitas primer. Walaupun jarang, pengadukan juga bisa menurunkan produktivitas primer lapisan permukaan perairan jika massa air yang terangkat dari dasar tesebut miskin zat hara.

Pengadukan massa air merupakan salah satu faktor penting selain aerasi dalam sistem akuakultur intensif (Avnimelech et al., 1992). Dalam perairan alami, pengamatan terkini dan studi permodelan (Banas et al., 2007) menunjukkan bahwa pengadukan massa air akibat pasang-surut horizontal merupakan mekanisme utama penggelontoran (flushing) estuari.

Baca juga
Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut

Pengadukan Massa Air Laut Akibat Upwelling

Pengadukan merupakan kunci bagi dinamika samudra yang menciptakan arus dan pertukaran massa air lapisan dalam yang dingin dengan massa air permukaan yang lebih hangat. Proses ini mendistribusikan panas dari daerah lintang rendah ke daerah lintang tinggi dan membawa zat hara dari perairan dalam ke permukaan. Banas et al. (2007) menyimpulkan bahwa pengadukan massa air yang berupa upwelling memegang peranan penting dalam ekologi estuaria. Upwelling ini tidak hanya membawa zat hara tetapi juga plankton dari samudra. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa spesies plankton asal-samudra mendominasi estuaria selama periode produksi primer yang tinggi (> 3000 mg C per m2 per hari) maupun selama periode produktivitas rendah.

Banas et al. (2007) juga melaporkan bahwa selama upwelling yang kuat salinitas air permukaan meningkat menjadi 31 promil sedangkan konsentrasi klorofil naik dua kali lipat. Fitoplankton yang masuk ke estuaria ini dengan cepat dihabiskan oleh organisme pemakan plankton.

Di beberapa teluk, misalnya Teluk Willapa, AS, pengadukan massa air oleh pasang-surut meningkatkan impor fitoplankton dari samudra. Di Teluk Saldhana, Afrika Selatan, produksi primer selama musim panas dikendalikan oleh pengadukan baik oleh angin maupun oleh pasang-surut, yang membawa zat hara ke lapisan permukaan air yang miskin zat hara (Banas et al., 2007).

Baca juga
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Hasegawa et al. (2008) mempelajari fenomena “efek massa pulau” di sekitar pulau kecil dekat Kuroshio, Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa difusi SCM (Subsurface Chorophyll-a Maximum atau maksimum klorofil-a bawah-permukaan) membutuhkan turbulensi/pusaran air di perairan sekitar pulau tersebut. Turbulensi ini menyebabkan teraduknya massa air yang kaya zat hara.

Di laut ketika stratifikasi masa air terbentuk di lapisan yang rendah pada musim panas maka transport horizontal, yakni sirkulasi yang mengaduk air upwelling, merupakan faktor fisik utama yang mengendalikan produksi primer perairan (Banas, et al., 2007). Di danau tropis yang kecil dan dangkal, stratifikasi termal hanya terbentuk selama matahari bersinar. Starifikasi ini hilang pada malam hari karena air pemukaan menjadi dingin sehingga terjadi percampuran antara masa air permukaan dengan massa air dasar danau. Berulang-ulangnya kejadian ini mencegah terjadinya ledakan populasi komunitas biotik (Satyanarayana et al., 2008).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Pengadukan Massa Air Terhadap Produktivitas Primer Perairan

Tang et al. (2003) meneliti distribusi konsentrasi klrofoil-a dan kondisi perairan di teluk Tonkin, Laut Cina Selatan. Mereka menyimpulkan bahwa ada hubungan antara ledakan populasi fitoplankton pada musim dingin dengan pengadukan massa air laut secara vertikal yang diakibatkan oleh angin timur laut. Pengadukan vertikal massa air laut ini membawa zat-zat hara dari dasar laut menuju ke permukaan laut yang selanjutnya mendorong timbulnya ledakan populasi fitoplankton.

Peran pengadukan dalam mendistribusikan zat hara yang penting bagi produktivitas primer perairan ditunjukkan oleh hasil penelitian Nakayama et al. (2010). Mereka mengukur konsentrasi besi (Fe) terlarut dan total besi terlarut serta kadar zat hara di perairan permukaan daerah Oyashio (Pasifik Utara barat-laut) sebelum dan selama ledakan populasi fitoplankton musim semi (Maret sampai Mei 2007). Selama periode sebelum ledakan populasi (pertengahan Maret), mereka mengamati bahwa konsentrasi besi terlarut (0.3–0.5 nM) dan total besi terlarut (3–5 nM ), zat hara makro (10–15 µM NO3+NO2, 1.0–1.5 µM PO4 dan 20–30 µM Si(OH)4) serta klorofil a (Chl-a, 0.3–0.4 µg/l) adalah seragam secara vertikal pada kedalaman air 125 sampai 150 m akibat pengadukan vertikal selama musim dingin. Konsentrasi klorofil a yang tinggi disebabkan oleh tingginya konsentrasi besi dan zat hara makro. Mekanisme paling penting yang mentranspor zat besi ke lapisan permukaan laut, yang mengatur produksi primer selama ledakan populasi musim semi di daerah Oyashio, adalah masuknya massa air yang kaya besi dan zat hara akibat proses pengadukan secara vertikal dan lateral (horizontal) selama musim semi dan musim dingin.

Zat-zat hara yang dibutuhkan fitoplankton antara lain C, N, P, Fe, Si. Jika salah satu unsur ini tidak ada dalam air yang tercampur, maka produktivitas primer akan berkurang. Pengadukan massa air dan upwelling membawa pasokan baru zat-zat hara tersebut dari bagian laut yang lebih dalam.

Baca juga
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Produktivitas Primer Laut Purba Dibatasi Besi ?

Sebuah hipotesis menarik baru-baru ini dikembangkan bahwa produktivitas primer di sebagian besar Samudra Pasifik dibatasi oleh input besi. Prahl (1992) menyajikan data geokimia organik dari sebuah inti sedimen di salah satu wilayah ini, yakni di Pasifik tropis timur, sebagai bukti yang mendukung hipotesis tersebut. Data menunjukkan bahwa total organik karbon (TOC), terutama yang berasal dari produktivitas laut, mencapai maksimum pada 18 ka dan ini sangat berkorelasi dengan input debu eolia. Data ini menguatkan dugaan bahwa perubahan ekologis yang dialami komunitas fitoplankton terjadi di perairan permukaan selama periode peralihan glasial akhir sebagai akibat perubahan pasokan debu eolia dan ketersediaan besi.

Pola Harian Kedalaman Pengadukan dan Pengaruhnya Terhadap Produktivitas Danau

Pengaruh pengadukan akibat-turbulensi terhadap proses-proses metabolik fitoplankton telah diteliti oleh Nixdorf et al., (1992) melalui pengukuran kedalaman dan biologi di sebuah danau dangkal eutrofik Grosse Mueggelsee (kedalaman rata-rata 4,9 m). Transpor alga vertikal di lapisan yang teraduk disimulasikan dengan “lift method” (metode pengangkatan) yang memungkinkan penyesuaian kedalaman dan kecepatan gerakan partikel dalam kisaran yang luas (0,5 – 10 m, 0,03 – 3 cm/detik). Secara umum mereka menyimpulkan bahwa pengadukan akibat-turbulensi meningkatkan produksi primer harian berdasarkan luas. Produksi oksigen neto di dalam botol yang bersirkulasi meningkat sampai 3 kali dibadingkan pelepasan-oksigen oleh alga berdasarkan luas yang diinkubasikan pada satu posisi yang tetap. Hal ini terbukti terutama selama inkubasi sore hari yang menunjukkan pentingnya pengadukan selama siang hari.

Pengadukan Massa Air Akibat Angin

Pengadukan juga mempengaruhi berapa banyak cahaya yang diterima fitoplankton. Jika angin mengaduk laut sehingga lapisan air yang teraduk meluas sampai jauh di bawah zona kompensasi (zona dimana produksi oksigen fotosintetik seimbang dengan konsumsi oksigen), fitoplankton akan terdorong ke bawah lapisan yang kekurangan cahaya, sehingga produksi neto akan lebih rendah. Di wilayah laut di mana kecepatan angin bervariasi dari musim ke musim, produktivitas primer naik dan turun sesuai dengan kondisi tersebut.

Angin selatan yang bertiup di Teluk Willapa, AS, pada musim panas menyebabkan terjadinya upwelling pesisir yang membawa massa air yang dingin, bergaram dan kaya-zat hara ke permukaan air dan estuaria . Ledakan populasi fitoplankton di pesisir berlangsung selama kondisi upwelling ini. Sementara itu, angin utara yang bertiup pada musim dingin menyebabkan downwelling (penurunan massa air ke dasar perairan) di pesisir yang menyebabkan massa air permukaan menjadi lebih hangat, lebih tawar namun miskin zat hara dan biomas (Banas, et al., 2007). Pada kasus ini pengadukan massa air menyebabkan penurunan produktivitas primer di lapisan permukaan laut

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut

A 1.257 Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut

Oksigen dari udara masuk ke dalam air melalui difusi (Davydov dan Samoylenko, 1990). Difusi ini bisa dibantu oleh aerasi (Leclercq dan Hopkins, 1985). Aerasi meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam air (Ludwig dan Gale, 1991; Martin, 1978). Bagaimanapun, aerasi kadang tidak bisa mencegah terjadinya kematian ikan akibat kekurangan oksigen (Boyd, 1982).

Davydov dan Samoylenko (1990) mempelajari sumber-sumber pemasok oksigen di perairan. Aerasi atmosfer secara alami merupakan salah satu sumber pemasok oksigen walaupun peranannya di zona berair dangkal adalah kecil. Namun aerasi dengan bantuan manusia sanggup mentransfer oksigen dalam jumlah besar sehingga dimanfaatkan untuk memulihkan danau yang tercemar (Martin, 1978).

Baca juga Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Boyd (1982) mengembangkan persamaan untuk menghitung laju difusi oksigen oleh aerator. Dalam praktek, laju difusi tersebut lebih rendah daripada yang diperoleh di bawah kondisi standar. Hal ini bisa disebabkan oleh suhu mungkin tidak 20o C, konsentrasi oksigen terlarut mungkin lebih dari 0 mg/l, dan air saat diaerasi mungkin tidak menyerap oksigen dengan kecepatan yang sama seperti air keran. Substansi-substansi yang terkandung di dalam air sedikit menurunkan laju penyerapan oksigen dan konsentrasi kejenuhan oksigen.

Menurut Boyd (1982) efisiensi perpindahan oksigen berhubungan dengan ukuran gelembung udara; gelembung kecil memiliki bidang batas udara-air yang lebih luas daripada gelembung besar. Perbedaan konsentrasi yang lebih besar antara oksigen di dalam gelembung dan oksigen di dalam air bisa dicapai dengan menggunakan oksigen murni atau udara yang lebih padat. Penggunaan oksigen murni sebagai pengganti udara untuk memasok oksigen terlarut tidak menyebabkan masalah fisiologis bagi ikan (Meade, et al., 1991).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Loyacano (1974) dalam Boyd (1982) mempelajari pengaruh aerasi terhadap konsentrasi oksigen terlarut dalam kolam ikan lele putih. Sementara Leclercq dan Hopkins (1985) meneliti penggunaan aerator untuk memasok oksigen dalam tangki budidaya ikan tilapia biru Kedua penelitian itu memberkan kesimpulan bahwa konsentrasi oksigen terlarut meningkat sejalan dengan derajat aerasi. Namun, Plemmons (1980) dalam Boyd (1982) menunjukkan bahwa walaupun diaerasi, konsentrasi oksigen terlarut sering jatuh di bawah 2 mg/l di kolam ikan, terutama di kolam dengan padat penebaran tinggi.

Ludwig dan Gale (1991) mengevaluasi dua metode aerasi untuk mengoksigenasi pasokan air dalam hatchery. Dalam penelitian mereka, air dan gas oksigen dialirkan dengan arah yang berlawanan. Sejalan dengan peningkatan aliran gas oksigen, konsentrasi oksigen terlarut dalam air arus-keluar meningkat dari sekitar 100 menjadi 290 %. Pada metode lain, oksigen dimasukkan secara langsung ke saluran pasokan air hatchery. Pada laju aliran air yang konstan 660 liter/menit dan aliran gas oksigen antara 5 dan 8 liter/menit, konsentrasi oksigen terlarut bertambah dari 68,6 menjadi 224 %. Mereka menyimpulkan bahwa kedua metode oksigenasi ini merupakan cara yang efisien untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam pasokan air hatchery.

Baca juga Pengaruh Aerasi Terhadap Kualitas Air dan Produksi Ikan di Kolam

Sebuah penelitian telah dilakukan oleh Boyd (1982) untuk menentukan apakah aerasi malam hari untuk kolam dengan tingkat pemberian pakan tinggi bisa menurunkan resiko kehabisan oksigen terlarut. Hasilnya menunjukkan bahwa semua kolam yang tak diaerasi mengalami kematian ikan akibat rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, tetapi tidak ada ikan yang mati akibat kehabisan oksigen di kolam yang diaerasi. Perbandingan pola harian konsentrasi oksigen terlarut untuk kolam yang diaerasi dan yang tak diaerasi menunjukkan adanya perubahan mendadak dalam hal penurunan oksigen terlarut malam hari ketika aerasi dimulai. Setelah itu, konsentrasi oksigen terlarut tetap stabil selama periode aerasi.

Steeby (1976) dalam Boyd (1982) melakukan penelitian untuk mempelajari apakah aerasi dapat mencegah kematian masal ikan akibat kekurangan oksigen. Aerator dalam penelitan ini sanggup memindahkan udara yang dipadatkan sebesar 0,96 meter kubik per menit pada kolam yang ditebari sangat banyak ikan channel catfish dan diberi pakan dalam jumlah besar. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan sangat bagus pada kondisi cuaca normal. Bagaimanapun, banyak ikan yang mati akibat kekurangan oksigen selama satu periode cuaca berawan yang berkepanjangan, hanya beberapa minggu sebelum ikan akan dipanen. Secara kebetulan, sistem aerasi dioperasikan pada kapasitas maksimal ketika terjadi kematian ikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, Steeby menyimpulkan bahwa sistem aerasi saja tidak cukup untuk memasok oksigen yang diperlukan biota kolam ketika laju fotosintesis rendah.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kebiasaan Makan Kopepoda Acartia

Acartia merupakan salah satu zooplankton laut dominan sepanjang tahun (Park, Choi dan Moon, 1991). Dominansi ini dipertahankan antara lain dengan memanfaatkan secara maksimal sumber daya makananannya. Untuk memanfaatkan sumberdaya makanannya yang sedikit atau tidak selalu ada, Acartia mengembangkan daya gerak untuk menangkap makanannya itu (Tiselius, 1992). Kopepoda ini makan pada siang (Wlodarczyk, Durbin dan Durbin, 1992), namun lebih aktif mencari makan pada malam hari (Rodriguez dan Durbin, 1992).

Daya gerak individu betina Acartia tonsa sebagai respon terhadap sebaran diatom Thalassiosira weissflogii telah dipelajari oleh Tiselius (1992) dengan menggunakan teknik digital dan rekaman video standar. Daya gerak, yang diukur sebagai perpindahan tiap 10 detik, berkurang setelah 24 jam kelaparan tetapi tak terpengaruh oleh 4 jam kelaparan; daya gerak meningkat untuk sementara setelah dipindahkan dari air laut yang penuh makanan ke air laut yang tidak ada makanannya. Bila makanan hanya ada di pertengahan atas akuarium, kopepoda ini menghabiskan sebagian besar waktunya di sana dan menghasilkan pelet tinja sebanyak seperti di akuarium dengan sebaran makanan homogen. Analisis video terinci menunjukkan bahwa frekuensi makan lebih tinggi dan frekuensi melompat lebih jarang di akuarium yang ada makanannya daripada di air laut yang tak ada makanannya. Kopepoda ini melakukan gerak naik vertikal dengan melompat berulang-ulang untuk mencapai lapisan air yang ada makanannya; dengan perilaku seperti ini mereka dapat bertahan di dalam lapisan-makanan yang tebalnya hanya 30 mm yang berada di tengah-tengah kolom air laut tanpa-makanan setebal 200 mm. Bahkan dengan lapisan-makanan yang tipis seperti ini, kopepoda tersebut selama periode 2 jam memproduksi pelet tinja sebanyak seperti pada akuarium dengan sebaran makanan homogen. Respon yang cepat terhadap makanan dan kemampuan yang tinggi untuk tetap ada di dalam lapisan air tertentu mungkin penting bagi kopepoda yang sumberdaya maanannya jarang.

Baca juga Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton

Keragamaan perilaku makan individu Acartia hudsonica telah dipelajari oleh Rodriguez dan Durbin (1992). Mereka melakukan pengukuran fluorometrik untuk menentukan kandungan pigmen perut dan laju pengosongannya, yang merupakan dasar perhitungan laju makan dan volume makan harian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan perut (gut content) hampir selalu kurang dari 1,2 nano gram pigmen per kopepoda. Sekitar 45 % individu menunjukkan kadar pigmen agak tinggi (0,2 sampai 0,5 nano gram) baik pada siang maupun malam hari, tetapi persentase kopepoda dengan kadar pigmen lebih dari 0,5 nano gram meningkat dari 16 % pada siang hari menjadi 42 % pada malam hari.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Wlodarczyk, Durbin dan Durbin (1992) meneliti pengaruh suhu terhadap aktivitas makan Acartia dan ambang batas konsentrasi pakan di mana di bawah nilai konsentrasi ini aktivitas makan berhenti atau menurun drastis. Mereka menggunakan betina dewasa kopepoda laut Acartia hudsonica yang diberi makan diatom bersel satu Thalassiosira constricta (diamater 10,4 mikron bila dianggap bulat) pada suhu 4, 8, 12 dan 16 oC. Percobaan dilakukan selama siklus harian yang sama (pukul 05.00 sampai 10.00) dan berakhir menjelang tengah hari, saat itu laju makan relatif stabil, guna menstandarisasi pengaruh ritme makan harian. Ambang batas bawah aktivitas makan 280, 127, 282 dan 214 sel/ml berturut-turut pada suhu 4, 8, 12 dan 16 oC telah ditunjukkan oleh hasil analisis regresi bersegmen terhadap hubungan antara pigmen-pigmen lambung dan konsentrasi fitoplankton.

Selektivitas ukuran, laju pembersihan (atau kecepatan menghabiskan makanan dari lingkungan sekitar) dan laju penelanan makanan serta efisiensi asimilasi pada Acartia clausi dari Teluk Blanes Bay (Laut Catalan , NW Mediterranean) telah dievaluasi dalam percobaan grazing pada berbagai kosentrasi makanan. Acartia clausi mencapai koefisien grazing tertinggi untuk alga besar >70 µm (perpajjangan linier terpanjang). Dengan meningkatnya kadar zat hara, konsentrasi makanan efektif (Effective food concentration; EFC) membentuk kurva melengkung dengan nilai maksimum pada kadar zat hara intermediet. Sejalan dengan meningkatnya kadar makanan, laju pembersihan makanan oleh Acartia menunjukkan respon kurva-lengkung dengan kisaran modus yang sempit. Tidak ada aktivitas makan yang dapat dideteksi untuk A. clausi pada konsentrasi makanan < 0.1 mm3 per liter . Rata-rata laju penelanan makanan adalah 1.3 µg C per individu per hari. Konversi karbon yang ditelan menjadi jaringan adalah 30–80% ( Katechakis et al., 2004).

Baca juga Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Kemampuan Acartia untuk menseleksi alga makanan yang beracun dan tak beracun menarik perhatian banyak peneliti. Peranan mesozooplankton grazer (pemakan) dalam perkembangan ledakan populasi alga satu-spesies telah sering diteliti dalam kerangka di mana grazer, yang bergantung pada kemampuannya untuk mengenali, menseleksi spesies beracun dan menaikkan tekanan grazing pada spesies tak-beracun. Barreiro (2006) menyajikan beberapa skenario ekologi di mana grazer bisa menseleksi berbagai galur (beracun dan tak beracun) dari spesies yang sama, yang hidup bersama-sama dengan kepadatan yang sama di lingkungan alami sebelum ledakan populasi dimulai. Acartia clausi diberi makan makanan tunggal dan campuran dari 2 galur dinoflagelata Alexandrium minutum, penghasil racun “paralytic shellfish poisoning” (PSP; keracunan kerang yang bersifat melumpuhkan). Satu galur menghasilkan racun PSP dalam jumlah besar dan yang lainya sedikit. Barreiro mengamati strategi makan dan memperkirakan respon kopepoda berdasarkan pada kemampuannya menseleksi makanan. Hasinya menunjukkan bahwa kopepoda memakan secara selektif galur-galur A. minutum. Disimpulkan bahwa kopepoda tidak menolak secara efektif galur beracun. Jadi, tekanan pemangsaan oleh grazer tampaknya bukan merupakan mekanisme penting yang mendorong dominasi galur beracun atas galur tak beracun sebelum terjadinya ledakan populasi.

Jeong et al. (2001) mengukur laju penelanan Acartia spp. terhadap dinoflagellate Amphidinium carterae yang beracun, laju penalanan Acartia spp. terhadap dinoflagelata Oxyrrhis marina (yang sebelumnya dikenyangkan kemudian dilaparkan). Grazing oleh Acartia spp. terhadap A. carterae tidak dapat dideteksi; jadi dinoflagelata ini tidak dimakan oleh Acartia . Laju penelanan Acartia spp. terhadap O. marina adalah sangat rendah (maksimum = 749 Oxyrrhis per pemangsa per hari) pada hari ke-0 (O. marina dilaparkan selama 0 sampai 1 hari setelah dikenyangkan dengan A. carterae), tetapi meningkat dengan meningkatnya selang lama waktu kelaparan. Laju penelanan maksimum adalah 4710 Oxyrrhis per pemangsa per hari pada hari ke-11 (O. marina dilaparkan selama 11 sampai 12 hari). Bukti ini menunjukkan bahwa grazing A. carterae oleh O. marina kadang-kadang dapat memindahkan karbon dari A. carterae ke Acartia spp., yang tidak dapat memakan A. carterae.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Metode ablasi atau penghilangan tangkai mata dilakukan untuk merangsang produksi kuning telur udang betina. Operasi ini menghilangkan pusat neurohormon utama pada udang dan terutama menghilangkan sumber alami hormon penghambat kematangan gonad. Udang yang tangkai matanya diablasi akan berrespon terhadap operasi ini dengan melakukan perkembangan gonad secara cepat dan tak dapat dihentikan (Quackenbush, 1992).

Ablasi atau penghilangan tangkai mata pada udang mempercepat perkembangan gonad (Quackenbush, 1992). Selain itu ablasi juga merangsang ganti kulit dan pertumbuhan udang (Chakravarty, 1992). Hal ini menurut Koshio et al (1992) disebabkan oleh lebih efisiennya pemanfaatan energi. Pertumbuhan yang cepat akibat ablasi juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah makanan yang dicerna, efisiensi asimilasi dan konsumsi oksigen (Rosas et al., 1993).

Efek ablasi terhadap reproduksi udang akan lebih kuat bila kemudian udang dipelihara dengan menggunakan warna cahaya hijau (Honculada Primavera & Caballero, 1992). Pada percobaan dengan menggunakan warna cahaya hijau, ablasi meningkatkan jumlah total pemijahan, telur dan naupli sebanyak 14 sampai 17 kali dibandingkan bila udang dipelihara degan warna cahaya alami.

Baca juga Prosedur Ablasi dan Pengaruh Terhadap Reproduksi, Fisiologi, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang

Selain mempengaruhi reproduksi, ablasi juga merangsang ganti kulit (molting) dan pertumbuhan udang. Menurut Chakravarty (1992) ablasi tangkai mata merangsang molting dan mempercepat pertumbuhan udang galah jantan Macrobrachium rosenbergii. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh 50 % individu untuk menyempurnakan molting tahap keempat adalah 114 hari pada udang yang tak diablasi (grup 1) , 72,5 hari pada udang yang diablasi satu tangkai matanya (grup 3), dan hanya 21 hari pada udang yang diablasi kedua tangkai matanya (grup 2). Laju pertumbuhannya adalah 9.,3 % pada grup 2, 26,4 % pada grup 3 dan 24 % pada grup 1. Mortalitas lebih tinggi pada grup 2 dibandingkan grup 3 atau pun grup 1. Tingginya mortalitas pada grup 2, yang kedua matanya diablasi, menunjukkan pentingnya penglihatan bagi kelangsungan hidup udang.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Okazaki dan Freeman pada tahun 1993 mempelajari pengaruh ablasi tangkai mata terhadap pertumbuhan otot udang pada tingkat seluler. Pengamatan mereka dilakukan pada larva dan dewasa udang rumput (Palaemonetes pugio). Penghilangan tangkai mata larva udang ini menyebabkan peningkatan molting yang berkisar 9-15 % dibandingkan larva tak diablasi yang hanya berkisar 7-10 %. Larva yang diablasi menunjukan “cell density” (kepadatan sel) pasca molting 12-25 % lebih rendah dibandingkan dengan larva yang tak diablasi. Lama siklus molting tidak berbeda antara larva percobaan dan kontrol. Ablasi tangkai mata pada udang dewasa menghasilkan peningkatan molting 6-13 % dibandingkan udang kontrol yang hanya 3-6 %. Udang dewasa tak bertangkai mata memiliki kepadatan sel pasca molting 12-26 % lebih rendah dan lama siklus molting 17-36 % lebih singkat dibandingkan udang tak diablasi. Udang dewasa yang kebih kecil menunjukkan perbedaan kepadatan sel setelah ablasi yang lebih tinggi daripada udang dewasa yang lebih besar.

Baca juga Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting

Mengapa ablasi mendorong perumbuhan ? Koshio et al. (1992) melakukan penelitian pada lobster untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut mereka pertumbuhan yang cepat akibat ablasi tangkai mata juvenil lobster, Homarus americanus, bisa disebabkan oleh lebih efisiennya pemanfaatan energi seperti ditunjukkan oleh lebih rendahnya metabolisme makan, terutama efek kalorigenik makan dan lebih rendahnya ekskresi nitrogen dibandingkan pada lobster yang tidak diablasi. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan metabolisme standar antara juvenl lobster yang diablasi dan yang tidak diablasi. “Apparent digestibility” (daya cerna semu) bahan kering oleh lobster ablasi adalah lebih rendah daripada kontrol non ablasi bila diberi pakan berenergi rendah (rasio protein : energi tinggi) dan/atau pakan berkadar alfa-selulosa tinggi. Apparent digestibility untuk lipida menurun akibat ablasi tangkai mata, namun tidak ada pengaruh ablasi terhadap apparent digestibility untuk protein. Apparent digestibility untuk bahan kering dan energi menjadi lebih baik dengan meningkatnya kadar energi dalam pakan dan/atau menurunnya kadar alfa-selulsa pada lobster yang diablasi maupun yang tidak diablasi. Bagaimanapun, sementara apparent digestibility untuk protein dan lipida juga meningkat dengan meningkatnya kadar energi pakan pada lobster yang diablasi, pada lobster non ablasi apparent digestibility untuk protein relatif konstan dan apparent digestibility untuk lipida mencapai puncak ketika kadar energi dalam pakan sedang. Ketergantungan pemanfaatan energi terhadap protein mungkin lebh besar untuk lobster yang diablasi.

Pertumbuhan yang meningkat akibat ablasi juga disebabkan oleh meningkatnya metabolisme udang (Rosas et al., 1993). Ablasi meningkatkan jumlah makanan yang dicerna, efisiensi asimilasi dan konsumsi oksigen pada pink shrimp, Penaeus notialis . Hal ini tercermin dalam laju pertumbuhan yang dicapai. Ablasi tangkai mata udang betina meningkatkan lau respirasi dan penurunan tingkat metabolisme dibandingkan dengan udang yang tak diablasi. Peningkatan laju respirasi bisa berarti meningkatnya “physiological useful energy” (PUE; energi yang berguna secara fisiologis). Peningkatan energi ini selanjutnya akan mendorong pertumbuhan udang.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 06 Oktober 2010

Cara Memperoleh Artikel







C o f a

Contributions to Fisheries Advances


Cara memperoleh artikel-artikel perikanan dan kelautan dari Cofa :

1. Kirim e-mail ke Cofa untuk memberitahu nomor kode artikel yang Anda pilih (misal A 1.621; K 385; dst). Kami tidak akan menyalahgunakan alamat e-mail Anda !
2. Selanjutnya Cofa akan mengirim artikel-artikel tersebut ke e-mail Anda secara GRATIS




E-mail dialamatkan ke :
arsipcofa@gmail.com



Harapan kami, artikel-artikel tersebut berguna untuk Anda sebagai
sumbangan bagi kemajuan perikanan
di Tanah Air



Jumat, 01 Oktober 2010

Perubahan Kadar Asam Amino Akibat Perubahan Salinitas Lingkungan

Salinitas dalam lingkungan sekitar berpengaruh terhadap kadar asam amino di dalam tubuh biota air. Secara umum, kadar asam amino naik ketika salinitas naik. Tampaknya beberapa jenis asam amino berperanan dalam osmoregulasi.

Abbas et al. (1992) telah meneliti pengaruh salinitas laut terhadap kadar protein pada 15 spesies alga bentik dari Laut Bahrain. Kadar proteinnya agak rendah dan bervariasi dari 0,1 % (pada Laurencia papillosa) sampai 2,8 % (pada Ulva lactuca). Kadar protein yang lebih rendah dibandingkan daerah-daerah lain di Samudra Hindia mungkin disebabkan tingginya salinitas di perairan Teluk Arab (salinitas 40 – 60 ppt).

Liu dan Zhang (1992) ketika meneliti daya adaptasi Nitzschia palea terhadap salinitas menemukan fakta bahwa tidak ada variasi yang nyata dalam hal kadar protein sel yang tumbuh di media dengan berbagai konsentrasi NaCl. Namun, kadar asam amino total alga ini meningkat secara tajam dengan meningkatnya konsentrasi NaCl dari 0 menjadi 0,75 mol/liter di dalam media pertumbuhan. Kedua peneliti menyimpulkan bahwa karbohidrat dan asam amino bebas di dalam sel Nitzschia palea merupakan pengatur osmotik utama selama adaptasi terhadap perubahan salinitas eksternal.

Baca juga Pengaruh Salinitas Terhadap Udang Windu (Penaeus monodon)

Fernandes et al. (1993) mempelajari respon cyanobakteri pemfiksasi nitrogen terhadap salinitas dan stres osmotik. Mereka mengamati bahwa pada Anabaena torulosa (spesies air payau) dan Anabaena sp. galur L-31 (spesies air tawar) sintesis beberapa protein dihambat oleh stres salinitas. Salinitas dan stres osmotik merangsang banyak protein umum.

Komposisi asam amino bebas pada kerang Mya arenaria dalam hubungannya dengan salinitas medium telah dipelajari oleh Virkar dan Webb (1970). Mereka memindahkan Mya arenaria dari salinitas 20 promil ke medium dengan salinitas bertingkat (2 sampai 30 promil). Kromatografi pertukaran ion yang ditunjukkan oleh ekstrak otot hewan uji yang dipelihara selama lima hari menunjukkan bahwa perubahan kadar glisin dan alanin bertanggung jawab atas hubungan linier antara "ninhydrin-positive substance” (NPS) dan salinitas.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Hasil penelitian duPaul dan Webb (1970) menunjukkan bahwa akumulasi asam amino bebas dalam otot aduktor kerang Mya arenaria sebagai respon terhadap peningkatan salinitas tidak bersifat linier terhadap waktu. Sejalan dengan peningkatan salinitas, kadar alanin meningkat sedangkan aspartat menurun. Tingginya korelasi antara penurunan kadar asam aspartat dan peningkatan kadar alanin menunjukkan adanya hubungan langsung pembentukan alanin dari asam aspartat. Diduga bahwa asam aspartat mengalami dekarboksilasi membetuk alanin.

Kadar asam-asam amino (alanin, glisin, asam glutamat dan asam aspartat) meningkat pada Rangia cuneata (Elecypoda) ketika salinitas meningkat. Peningkatan kadar asam amino mengikuti suatu pola yang terjadi sebelum salinitas meningkat. Pola tersebut adalah alanin > glisin > asam glutamat > asam aspartat, tanpa memperhatikan lingkungan (Allen, 1961).

Komposisi asam amino bebas pada udang windu Penaeus monodon yang dipelihara dalam berbagai salinitas telah diteliti oleh Fang et al. (1992). Mereka membuktikan bahwa komposisi asam amino bebas di dalam hemolimfa udang windu yang telah diaklimasi terhadap salinitas 30 ppt adalah sama dengan komposisinya di dalam otot udang tersebut. Komposisi asam amino bebas dalam otot udang yang diaklimasi terhadap berbagai salinitas adalah sama satu dengan yang lain. Kadar asam amino, termasuk asam amino esensial, yang sangat tinggi di dalam hemolimfa udang yang diaklimasi terhadap salinitas 15 ppt menunjukkan bahwa asam-asam amino bebas tersebut lebih tersedia untuk diserap jaringan tubuh pada salinitas ini.

Baca juga Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan Ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Ekskresi amonia-N oleh udang dewasa Marsupenaeus japonicus berkorelasi terbalik dengan salinitas medium pada kisaran 20 – 35 g/l. Hal serupa dijumpai pada juvenil Marsupenaeus japonicus, juvenil dan sub-dewasa Penaeus monodon dan Penaeus chinensis serta kepiting dewasa Carcinus maenas. Meningkatnya ekskresi amonia-N pada salinitas rendah bisa menunjukkan adanya penggunaan senyawa-senyawa bernitrogen untuk mempertahankan osmolalitas cairan tubuh ketika konsentrasi natrium dan kalium berkurang. Biasanya diasumsikan bahwa protein dari jaringan tubuh dan asam-asam amino bebas dari makanan yang ditelan dikatabolisasi selama organisme menghadapi salinitas rendah guna menyediakan energi dan ion-ion yang dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa salinitas rendah meningkatkan katabolisme asam-asam amino, baik dari protein tubuh, asam amino bebas ataupun yang dicerna/diserap dari makanan, yang kemudian bisa menyebabkan pertumbuhan negatif atau penurunan efisiensi produksi (Setiarto, 2004).

Hegab dan Hanke (1983) meneliti peranan asam-asam amino dalam osmoregulasi pada ikan mas (Cyprinus carpio) yang bersifat stenohalin. Kadar dan kandungan asam-asam amino dominan telah ditentukan di dalam otot dan hati selama aklimasi ikan mas dari air tawar ke medium yang mengandung 1,5 % air laut dan selama aklimasi-kembali ke air tawar. Glisin dan histidin dengan jelas menunjukkan peningkatan kadar dan kandungannya di dalam otot selama periode aklimasi dan berkurang setelah ikan dipindahkan kembali ke air tawar. Taurin merupakan asam amino dominan di dalam otot dan hati. Perubahan kadar atau kandungannya selama aklimasi tidak sangat jelas dan, dengan demikian, diduga bahwa peranannya dalam osmoregulasi kurang penting dibandingkan pada ikan eurihalin. Kadar alanin dalam kedua organ meningkat ketika ikan ada di lingkungan berosmolalitas tinggi dan menurun ketika ikan dikembalikan ke air tawar. Peranan alanin dalam osmoregulasi tidak penting, terutama dalam jarigan otot. Kadar glutamat meningkat tajam hanya di dalam hati ketika ikan diaklimasikan ke medium yang mengandung 1,5 % air laut dan menurun lagi setelah ikan dikembalikan ke air tawar. Hal ini menunjukkan peranan metabolik organ hati dalam osmoregulasi.

Kadar asam-asam amino di dalam jaringan otot dan hati telah diukur oleh Assem dan Hanke (1983) pada ikan mujair (Sarotherodon mossambicus) selama beradaptasi terhadap air garam 2,7 %. Hasil penelitian menujukkan bahwa taurin adalah asam amino paling dominan di dalam otot dan hati, konsentrasinya meningkat tajam di dalam otot selama periode pengerutan sel (cell shrinkage), tetapi berkurang kembali selama aklimasi. Kadar glisin juga bertambah di dalam sel-sel otot selama proses aklimasi. Kadar asam-asam amino lain, seperti treonin, serin dan aspartat, juga meningkat tetapi tidak berperan banyak bagi tekanan osmotik di dalam sel. Alanin menunjukkan peningkatan di kedua jaringan, sedangkan glutamat bertambah terutama di dalam hati saja. Hal ini menunjukkan bahwa asam amino tersebut kurang berperanan dalam osmoregulasi.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Dari semua parameter kualitas air yang mempengaruhi ikan, amonia adalah yang paling penting setelah oksigen. Amonia merupakan salah satu gas yang umum dijumpai dalam air . Amonia mudah tertimbun di dalam sistem perairan karena ia merupakan hasil samping alami metabolisme ikan serta hasil penguraian sisa-sisa makanan dan bahan organik lainnya. Ada dua bentuk amonia dalam air, yaitu amonia tak terionisasi (disebut juga amonia bebas) dan amonia terionisasi. Bentuk amonia tak terionisasi (NH3) sangat beracun sedang bentuk terionisasi (ion NH4+) tidak beracun. Kedua bentuk ini secara bersama-sama disebut “amonia total”.

Di perairan alami seperti danau amonia mungkin tidak pernah mencapai tingkat yang berbahaya karena rendahnya kepadatan ikan. Konsentrasi amonia yang tinggi dan berbahaya biasanya hanya terjadi dalam sistem budidaya yang bersifat resirkulasi (air didaur ulang terus-menerus) dan di kolam budidaya setelah terjadinya kematian masal fitoplankton. Keracunan amonia juga timbul pada sistem budidaya intensif. Masalah yang dijumpai dalam sistem akuakultur biasanya berasal dari produksi amonia yang berlebihan.

Baca juga Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Amonia masuk ke dalam air melalui pupuk, hasil eksresi ikan dan hasil penguraian senyawa bernitrogen oleh mikroba. Dalam air, amonia terionisasi menjadi ion amonium tetapi reaksi ini bisa kembali dengan terbentuknya amonia bebas. Efek racun yang ditimbulkan amonia tak terionisasi bisa menyebabkan kerusakan insang, ginjal, limfa, jaringan tiroid dan darah ikan (Boyd, 1982).

Beberapa faktor mengubah daya racun amonia dalam air. Sebagian faktor ini mengubah konsentrasi amonia tak terionisasi dengan menggeser reaksi keseimbangan amonia – amonium, sedang faktor-faktor lainnya mempengaruhi daya racun amonia itu sendiri. Faktor-faktor tersebut, selain suhu dan aklimasi, adalah konsentrasi oksigen terlarut, pH, konsentrasi karbon dioksida, salinitas dan keberadaan racun lainnya (EPA,1986). Kalsium, kalium dan natrium juga dilaporkan mempengaruhi daya racun amonia (Borgmann and Borgmann, 1997; Soderberg and Meade, 1992; Weirich et al., 1993).

Baca juga Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Menurut Boyd (1982) amonia lebih beracun bila konsentrasi oksigen telarut rendah. Satyanarayana et al. (2008) menambahkan bahwa kondisi kekurangan oksigen timbul bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak terionisasi yang beracun.

Allan et al. (1990) meneliti pengaruh konsentrasi oksigen terhadap daya racun amonia. Mereka memperkirakan daya racun akut amonia sebagai nilai LC50 96-jam. Untuk juvenil udang Metapenaeus macleayi dan udang windu Penaeus monodon, nilainya adalah 1,39 dan 1,69 mg amonia tak terionisasi per liter (26,3 dan 37,4 mg total amonia-nitrogen per liter), berturut-turut. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut secara nyata (P < 0,05) meningkatkan daya racun akut amonia terhadap Penaeus monodon. Sembilan puluh persen udang yang dipelihara selama 96 jam pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 2,3 mg/liter dan konsentrasi amonia tak terionisasi 1,60 mg/liter (33,5 mg total amonia-nitrogen per liter) mati, namun hanya 33,3 % yang mati pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 5,7 mg/liter dan konsentrasi amonia 1,63 mg/liter (33,9 mg total amonia-nitrogen per liter). Nilai konsentrasi amonia “maksimum yang dapat diterima” (maximum acceptable) didefinisikan sebagai konsentrasi amonia di mana pertumbuhan berkurang 5 % selama 3 minggu. Untuk M. macleayi dan P. monodon nilai tersebut adalah 0,35 dan 0,21 mg amonia tak terionisasi per liter (7,7 dan 4,1 mg amonia total per liter), berturut-turut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Gas terlarut dalam air lainnya yang juga mempengaruhi daya racun amonia adalah karbon dioksida. Daya racun amonia berkurang dengan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (Boyd, 1982).

Menurut Brick (2003) pH mempengaruhi daya racun amonia. Kadar amonia tak terionisasi meningkat sejalan dengan meningkatnya pH. Dengan naiknya pH air maka sebagian besar total amonia berupa amonia tak terionisasi yang bersifat racun. Pada pH 8 daya racun amonia 10 kali lipat daya racunnya pada pH 7 (EIFAC, 1969). Weirich et al. (1993) menyatakan bahwa toleransi terhadap amonia bisa ditingkatkan dalam lingkungan air tawar dengan menurunkan pH lingkungan.

Pada pH yang sama, daya racun amonia dalam air laut 30 % lebih lemah dibandingkan dalam air tawar. Weirich et al. (1993) mempelajari pengaruh salinitas dan kalsium terhadap daya racun amonia bagi ikan sunshine bass (Morone sp.). Konsentrasi letal amonia nitrogen tak terionisasi terhadap 50 % ikan dalam waktu 96 jam (LC50 96 jam) berkisar dari 0,32 sampai 0,60 mg/liter dan meningkat secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi kalsium pada kisaran uji (5-80 mg/liter). Daya racun akut amonia nitrogen tak terionissasi tidak dipengaruhi oleh salinitas pada kisaran uji (1-29 g/liter), dan nilai LC50 96 jam adalah 0,70 ± 0,04 mg/liter amonia nitrogen tak terionisasi (rata-rata ± kesalahan baku) pada semua salinitas yang diuji. Penelitian ini menunjukkan bahwa ikan sunshine bass relatif peka terhadap amonia. Peneliti menyimpulkan bahwa dalam habitat air tawar peningkatan konsentrasi kalsium bisa memperbaiki toleransi ikan terhadap amonia.

Baca juga Variasi Daya Racun Amonia

Kesimpulan serupa dalam hal pengaruh kalsium terhadap daya racun amonia juga diberikan oleh Wicks et al. (2002). Ketika mempelajari pengaruh amonia terhadap aktivitas renang ikan salmon dan trout, mereka menemukan fakta bahwa pada pH konstan, peningkatan konsentrasi kalsium menurunkan daya racun amonia.

Menurut Borgmann dan Borgmann (1997) daya racun amonia terhadap Hyalella azteca pada pH tetap dalam media buatan dikendalikan oleh natrium dan kalium tetapi tidak oleh kalsium, magnesium atau anion. Sedikit peningkatan LC50 untuk amonia total (dari 0.15 menjadi 0.5 mM) terjadi ketika konsentrasi natrium meningkat dari 0.1 menjadi 1 mM atau lebih, tetapi peningkatan secara nyata LC50 (sampai lebih dari 10 mM amonia total) membutuhksn penambahan kalium. Kalium, bagaimanapun, lebih efektif menurunkan daya racun amonia ketika konsentrasi natrium tinggi (1 mM) daripada ketika kosentrasi natrum rendah (0.1 mM). Daya racun amonia tidak tergantung pH pada saat konsentrasi natrium dan kalium rendah, ketika daya racun amonia tampaknya sangat berkaitan dengan konsentrasi ion amonium cair (NH4+). Sebuah model matematika telah dibuat untuk meramalkan daya racun amonia berdasarkan konsentrasi natrium dan kalium serta pH.

Baca juga Daya Racun Amonia Bagi Larva Udang Windu Penaeus monodon

Pengaruh natrium dan kalsium terhadap daya racun amonia akut 96-jam telah diamati oleh Soderberg dan Meade (1992) pada ikan trout danau (Salvelinus namaycush) dan ikan salmon Atlantik (Salmo salar). Kalsium tidak melindungi larva maupun anak ikan salmon Atlantik dari keracunan amonia. Natrium melindungi smolt (larva salmon) dari keracunan amonia tetapi tidak mempengaruhi toleransi fry (anak ikan) salmon Atlantik terhadap daya racun amonia. Kedua kation ini meningkatkan toleransi anak ikan trout danau berukuran 8 gram terhadap keracunan amonia, tetapi tidak mempengaruhi secara nyata daya racun amonia terhadap anak ikan trout danau berukuran 0,9 gram. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek pelemahan yang ditimbulkan kation larutan terhadap daya racun amonia mungkin berhubungan dengan spesies, ukuran dan tahap hidup ikan.

Konsumsi oksigen oleh bakteri nitrifikasi yang menguraikan amonia beracun menjadi bentuk tak beracun tergantung pada jumlah amonia yang memasuki sistem tersebut. Melalui proses biologi, amonia beracun bisa diuraikan menjadi nitrat yang tak berbahaya. Meade (1974) menentukan bahwa 4 – 4,6 kg oksigen dibutuhkan untuk mengoksidasi setiap kg amonia. Bagaimanapun, karena adanya bakteri lain dalam kolam maka rasio ini sebaiknya 6 kg oksigen untuk 1 kg amonia. Tumbuhan membutuhkan banyak amonia sehingga mereka sangat berguna dalam mengendalikan konsentrasi amonia agar tidak melebihi batas yang membahayakan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...