Rabu, 20 Juli 2011

Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Bachionus

Pertumbuhan larva dan kelangsungan hidup larva ikan laut dalam produksi benih masal dipengaruhi oleh nilai nutrisi pakan hidup seperti rotifera dan Artemia (Matsumoto et al., 2009). Pakan hidup merupakan mata rantai penting yang menghubungkan nutrisi endogenous (dari dalam) dan aktivitas mencari makan eksogenus (dari luar) pada hewan air yang dibudidaya. Pakan hidup penting dalam pemeliharaan larva ikan, krustasea dan moluska hingga hewan-hewan ini dapat mencerna pakan buatan. Alga seperti Chlorella mudah dibudidayakan sebagai pakan Brachionus. Kadar asam-asam lemak esensial dalam pakan hidup merupakan faktor penting yang harus diperhatikan (Hertrampf and Piedad-Pascual, 2003).

Makin banyak perhatian diberikan pada penyediaan mikroalga untuk mempertahankan sifat-sifat yang konstan selama periode yang panjang. Tujuannya adalah untuk menjamin tercukupinya persediaan asam-asam lemak esensial (dan nutrisi-nutrisi penting lain) bagi larva moluska dan krustasea serta bagi zooplankton yang digunakan sebagai pakan hidup untuk memberi makan pertama larva ikan (Seychelles et al., 2009). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan metode efektif guna memperkaya pakan hidup dengan asam lemak esensial dan vitamin (Matsumoto et al., 2009).

Brachionus plicatilis sering digunakan sebagai pakan pertama kali bagi larva ikan laut budidaya. Sejak rotifera ini diperkenalkan sebagai pakan hidup, metode kultur masal rotifera telah dikembangkan. Setelah metode kultur masal ini berhasil dikembangkan maka produksi larva ikan menjadi mudah. Sebaliknya, timbul beberapa masalah larva ikan berkaitan dengan rotifera. Banyak di antara masalah ini disebabkan oleh ketidak cocokan kandungan nutrisi rotifera, misalnya kematian masal, malpigmentasi (salah-pigmentasi) dan cacat tubuh. Masalah lainnya disebabkan oleh ketidakstabilan kultur rotifera. Sebegitu jauh, masalah nutrisi tersebut sudah bisa diatasi dan beberapa di antaranya dilakukan dengan mengembangkan pakan yang diperkaya untuk rotifera. Asam n-3 highly unsaturated fatty acid (HUFA; asam lemak sangat tak-jenuh) yang mencakup eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) adalah penting bagi kesehatan dan aktivitas larva ikan, dan dengan demikian studi tentang pengayaan rotifera difokuskan pada n-3 HUFA, terutama EPA dan DHA (Kotani et al. 2009).

Baca juga Kultur Masal Brachionus dan Pemanfaatannya Sebagai Pakan Larva Ikan

Sebagai pakan hidup, Brachionus dikultur agar mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh larva ikan. Kandungan nutrisi rotifera ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain salinitas. Frolov et al. (1991) meneliti pengaruh salinitas rendah dan tinggi terhadap konsentrasi total protein, lipida, karbohidrat, glikogen, asam amino bebas dan asam amino pada Brachionus plicatilis. Kadar protein, karbohidrat dan glikogen menurun bersamaan dengan meningkatnya kadar asam amino bebas yang sejalan dengan meningkatnya salinitas dari 0.5 ke 28%. Salinitas memberikan pengaruh paling jelas terhadap konsentrasi asam-asam amino bebas seperti glisin, alanin, prolin, arginin dan asam glutamat. Perubahan konsentrasi asam amino protein tidak teramati. Pada salinitas kurang dari 17%. dan lebih dari 17%, kadar lipida berkurang. Secara proporsional pengaruh ini lebih besar pada salinitas tinggi.

Selain faktor lingkungan, komposisi kimia Brachionus juga dipengaruhi oleh jenis dan komposisi kimia makanannya. Akan tetapi para peneliti mengambil kesimpulan yang berbeda-beda mengenai pengaruh tersebut.

Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh Scott dan Baynes (1978) rotifera diberi pakan empat spesies alga bersel-satu (Dunaliella tertiolecta, Pavlova lutheri, Phaeodactylum tricornutum dan Isochrysis galbana) pada satu kisaran suhu. Pengukuran dilakukan terhadap laju pertumbuhan, bobot dan kadar total protein, karbohidrat dan lipida. Perbedaan besar ditemukan pada bobot dan komposisi biokimia rotifera sebagai akibat aktivitas makan dan kelaparan. Hanya ada perbedaan kecil yang disebabkan jenis alga yang digunakan sebagai pakan.

Salah satu mikroalga yang umum untuk makanan rotifera Brachionus plicatilis adalah Isochrysis galbana. Ada beberapa galur mikroalga ini yang tersedia. Karena galur mikroalga bisa memiliki komposisi dan karakteristik pertumbuhan yang berbeda, Sayegh et al (2007) mempelajari apakah perbedaan pertumbuhan dan perbedaan biokimia dalam galur I. galbana menyebabkan perbedaan sifat-sifat biokimia B. plicatilis. Empat galur I. galbana dan satu galur flagelata Nanochloropsis telah ditumbuhkan pada kondisi standar. Laju pertumbuhan, volume, produksi, dan komposisi sel (berat kering, karbohidrat, protein, lipida) ditentukan. Perbedaan nyata terjadi antara galur-galur dalam semua karakteristik ini (2 sampai 3 kali lipat), tetapi tidak ada pola yang jelas bahwa suatu galur adalah paling unggul. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk beberapa pengukuran, perbedaan galur secara nyata lebih besar daripada perbedaan antar spesies. Galur-galur ini kemudian dijadikan pakan rotifera, dan sejumlah parameter diukur: laju pertumbuhan, laju reproduksi, sifat-sifat fekunditas, sejumlah laju perkembangan, dan komposisi (berat kering, karbohidrat, protein, lipida). Tidak ada efek nyata dalam hal pengaruh galur mangsa terhadap beberapa karakteristik, tetapi tidak ada yang dramatis (jarang lebih dari 10% dan kadang-kadang sampai 30%), yang menunjukkan bahwa pembudidaya tidak perlu terlalu memperhatikan galur I. galbana yang mana yang digunakan sebagai pakan. Bagaimanapun, kami menunjukkan adanya sedikit perbedaan, yang disebabkan oleh perbedaan galur mangsa dan menyarankan agar untuk mencapai produktivitas maksimum perbedaan-perbedaan ini harusnya dipertimbangkan.

Menurut Hertrampf dan Piedad-Pascual ( 2003) komposisi kimia pakan hidup berbeda tergantung spesies, kultur, dan tipe makanan yang diberikan. Sebagai contoh , kadar air, protein kasar, lipida kasar dan abu kasar pada Brachionus plicatilis yang diberi makan ragi roti berturut-turut adalah 90,7; 67,0; 19,4 dan 7,5 % berat kering. Nilai-nilai tersebut pada Brachionus yang diberi pakan Chlorella adalah 86,9; 60,3; 29,8 dan 5,3. Secara umum, rotifera mempunyai profil asam lemak sama seperti alga makanannya. Kualitas nutrisi rotifera bisa ditingkatkan dengan memberinya makanan yang mengandung asam-asam lemak esensial, vitamin C dan lain-lain.

Frolov et al. (1991) mempelajari pengaruh komposisi biokimia berbagai jenis pakan terhadap kadar protein, lipida dan karbohidrat, komposisi protein dan asam lemak serta perubahan komposisi-komposisi ini selama periode kultur sekunder (48 jam) pada rotifera yang diberi pakan alga Monochrysis lutheri (rotifera semula diberi pakan ragi roti, Saccharomyces cerevisiae). Ada korelasi positif antara kadar protein dan lipida rotifera dengan kadar senyawa-senyawa ini dalam pakan. Tidak ada korelasi untuk karbohidrat. Perubahan paling nyata dan paling kecil terjadi pada kadar lipida dan protein, berturut-turut. Tidak ada korelasi antara komposisi asam amino pada rotifera dan pada pakan. Kadar total asam amino dalam protein dan komposisi asam aminonya adalah tetap. Konsentrasi diasilgliserol, monoasilgliserol dan asam lemak bebas dalam lipida rotifera tidak tergantung pada kadar senyawa-senyawa ini dalam lipida pakan, dan agak konstan. Para peneliti menemukan korelasi positif antara kadar triasilgliserol dan sterol ester dalam rotifera dan dalam makanannya. Sebagian besar perubahan yang nyata terjadi pada kadar triasilgliserol. Secara keseluruhan, komposisi asam lemak rotifera adalah sama dengan komposisi asam lemak makanannya. Makin besar derajat ketidak-jenuhan asam lemak lipida netral, maka makin besar variasi dalam fraksi ini bila dibandingkan dengan lipida polar.

Baca juga Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Selanjutnya Frolov et al. (1991) melaporkan bahwa perubahan komposisi biokimia umum dimulai dengan peningkatan kadar lipida setelah 1 jam makan. Kadar lipida mencapai maksimum setelah sekitar 6 jam makan, dan kemudian berkurang. Kadar karbohidrat mulai berkurang setelah 6 jam makan dan mencapai minimum setelah sekitar 24 jam makan, kemudian naik dan menjadi stabil. Kadar fosfolipid menurun sedikit setelah 12 jam makan, sedangkan kadar triasilgliserol meningkat setelah 6 jam dan peningkatannya melebihi fosfolipid. Perubahan kadar sterol dan sterol ester terjadi setelah 12 jam makan dan hilang sama sekali setelah sekitar 36 jam. Perubahan komposisi asam lemak lipida dimulai dengan perubahan pada lipida polar (setelah 1 jam). Perubahan komposisi asam lemak terjadi antara 6 dan 12 jam makan dan praktis berhenti setelah 24–36 jam.

Reitan et al. (1997) meneliti pengaruh kandungan nutrisi alga terhadap komposisi biokimia Brachionus yang memakannya. Mereka menggunakan mikroalga sebagai makanan dalam produksi rotifera Brachionus plicatilis dengan tujuan memindahkan nutrien esensial dari alga ke pakan hidup. Selain itu, alga diberikan secara langsung kepada larva ikan bersama dengan pakan hidup (Brachionus). Dalam hal ini, alga bertindak baik sebagai pakan larva ikan maupun pakan hidup rotifera. Alga di dalam tangki larva cenderung memodifikasi dan menstabilkan mutu nutrisi rotifera selama periode sebelum mereka dikonsumsi oleh larva ikan. Kandungan lipida dan komposisi asam lemak rotifera mencerminkan komposisi makanan alga, dan spesies alga yang digunakan bisa menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan kandungan asam lemak (terutama DHA, 22:6n-3, docosahexaenoic acid, dan EPA, 20:5n-3, eicosapentaenoic acid).

Karena alga dan konsentrasinya merupakan faktor penting dalam kultur masal rotifera, Kennari et al. (2008) melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh dua tipe alga, Chlorella sp. dan Scenedesmus obliquus, terhadap komposisi asam lemak rotifera air tawar, Brachionus calyciflorus. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kadar HUFA pada rotifera yang diberi makan Chlorella sp. (3.32%) relatif lebih banyak dari pada yang diberi makan S. obliquus (2.65%). Ada hubungan antara meningkatnya konsentrasi alga dengan peningkatan kadar relatif HUFA dan penurunan kadar asam lemak mono-tak-jenuh.

Wacker and Weithoff ( 2009) menguji kaitan ekofisiologis penting antara flagelata miksotrofik Chlamydomonas acidophila dan konsumennya, rotifera Elosa worallii, Cephalodella sp. dan Brachionus sericus, dengan membandingkan profil asam lemaknya. Flaglelata miksotropik ditumbuhkan pada kondisi autotropik ekslusif dengan cahaya, pada kondisi heterotropik eksklusif dengan sumber karbon organik (glukosa) tanpa cahaya, atau dalam kondisi gelap ditambah sumber karbon organik (=miksotrofik). Walaupun PUFA dengan lebih dari 18 atom karbon tidak terdeteksi pada C. acidophila, ditemukan eicosatetraenoic (ETA, 20:4n-3) dan eicosapentaenoic acid (EPA, 20:5n-3) dalam jumlah besar pada tiga rotifer konsumen. Perbedaan-perbedaan yang bersifat spesifik-spesies dalam hal profil asam lemak berkaitan dengan ETA, EPA dan precursor (bahan pokok) ALA ditemukan pada Brachionus yang diberi pakan bersifat heterotrofik yang mengandung lebih sedikit EPA. Karena di alam cara asimilasi karbon pada organisme-organisme miksotrofik berbeda, dan komposisi asam lemaknya bervariasi tergantung pada cara asimilasi karbon, ketersediaan ALA mungkin penting bagi konsumen mereka. Kekurangan pasokan pakan precursor ini untuk sintesis ETA dan EPA dapat menghalangi kemampuan konsumen dalam mengatur kadar ETA dan EPA.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Rotifera (Brachionus plicatilis Müller) telah dibudidayakan dengan pakan monokultur fitoplankton (Dunaliella tertiolecta, Tetraselmis suecica, Nannochloropsis sp., Phaeodactylum tricornutum), nanoplankton alami dan ragi roti. Komposisi biokimia rotifera yang dipanen pada fase eksponensial, stasioner and fase mati telah ditentukan. Kadar air berkurang pada semua sampel fase pertumbuhan stasioner. Kadar abu adalah paling tinggi pada fase mati. Lipida dan karbohidrat terlihat menurun antara fase eksponensial dan fase kematian. Kadar protein meningkat pada fase stasioner. Laju pertumbuhan, “doubling time” (waktu penggandaan), kadar lipida, karbohidrat dan protein rotifera yang diberi pakan Phaeodactylum tricornutum dan Nannochloropsis sp. menunjukkan bahwa monokultur tersebut adalah pakan yang paling sesuai untuk rotifera. Rotifera yang diberi pakan alga-alga ini diharapkan memenuhi kebutuhan nutrisi larva ikan (Caric et. al, 1993).

Upaya memperbaiki kandungan nutrisi rotifera juga dilakukan dengan memberinya pakan berupa bakteri penghasil asam lemak EPA. Bakteri antartika, galur ACAM 456, diketahui memproduksi eicosapentaenoic acid (20:5n - 3, EPA). Bakteri ini pada konsentrasi awal 107, 108 dan 109 sel per ml, digunakan sebagai pakan rotifera Brachionus plicatilis. Pada 6 dan 24 jam, rotifera disingkirkan, dipanen dan diekstrak untuk analisis komposisi asam lemak, yang kemudian dibandingkan dengan rotifera yang ditumbuhkan pada ragi roti. Penyerapan EPA, bersama dengan penanda asam lemak bakterial (i13:0, i15:0 and 14:0), dibuktikan pada semua konsentrasi pakan bakterial yang diuji. Penyerapan paling tinggi terjadi bila rotifera ditumbuhkan dalam medium yang semua mengandung 109 bakteri per ml. Setelah 24 jam makan, kadar EPA mencapai 9.4% dari asam lemak total dari rotifera pakan (6.7 nanogram EPA per rotifer). ACAM 456, galur bakteri dengan kemampuan memproduksi EPA, dengan demikian merupakan alternatif pakan yang kaya gizi bagi rotifera Brachionus plicatilis pada kondisi pakan yang mungkin bisa diterapkan pada banyak budidaya laut (Nichols, et al. 1996).

Baca juga Pakan Alami Penaeus

Kultur rotifera Brachionus plicatilis (200 ind./ml, 0.5 µg berat kering/individu) yang diberi pakan permulaan berupa ragi dan minyak ikan capelin (10:1 bobot/bobot) diberi pakan yang berbeda dan dipanen setelah 24 jam. Komposisi asam lemak rotifera dipengaruhi oleh komposisi makanannya. Kadar tertinggi HUFA n-3 (38%) dan HUFA 22:6 n-3 (19%) diperoleh setelah rotifera diberi pakan tepung cumi. Hubungan positif ditemukan antara HUFA n-3 dalam pakan yang diperkaya dan dalam rotifera (P < 0.05, uji-t). Kelaparan selama 49 jam tidak mengubah komposisi asam lemak rotifera (Rainuzzo et al., 1989).

Sebuah sistem kultur kontinyu intensif otomatis, yang bedasarkan pada prinsip “chemostat”, untuk memproduksi dua galur rotifera Brachionus plicatilis (tipe L dan S) telah diteliti oleh James and Abu-Rezeq (1989). Dengan menggunakan tangki fiberglas berkapasitas 1 meter kubik, adalah mungkin untuk mencapai produksi rata-rata 308.75 × 106 individu per meter kubik per hari rotifera tipe S dan 186.71 × 106 individu per meter kubik per hari rotifera tipe L dalam sistem kultur ini. Rotifera diberi pakan isolat mikroalga lokal Nannochloropsis galur MFD-2 yang diproduksi dengan menggunakan chemostat alga. Ragi roti digunakan sebagai pakan suplemen. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas rotifera dalam sistem kultur kontinyu agak lebih tinggi daripada dalam sistem kultur konvensional. Selain itu, komposisi asam lemak n-3 pada rotifera dalam sistem kultur ini menunjukkan bahwa rotifera-rotifera ini mengandung cukup banyak asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh larva ikan laut dan tidak membutuhkan pengayaan nutrisi lebih lanjut (James and Abu-Rezeq, 1989). Namun demikian sebagian besar peneliti menekankan pentingnya pengayaan nutrisi pada Brachionus sebelum rotifera ini diberikan kepada larva ikan. Beberapa jenis nutrisi yang ada di dalam air tidak dapat diserap atau dimakan secara langsung oleh Brachionus sedangkan mikroalga dapat menyerapnya secara langsung dari air. Mikroalga bisa diperkaya dengan nutrisi semacam ini dan bila Brachionus memakan mikroalga tersebut maka nutrisinya bisa diserap oleh tubuh rotifera ini.

“Nutritional enrichment” (pengayaan nutrien) untuk rotifera adalah penting dalam menstabilkan produksi larva ikan. Kotani et al. (2010) mempelajari pengaruh pakan bernutrien normal dan bernutrien overdosis terhadap komposisi nutrien rotifera. Populasi rotifera dalam dua sistem kultur diperkaya dengan empat kondisi, yang sesuai dengan dua tingkat pakan, dan dua periode pengayaan : 0.25 g/L selama 8 jam (normal), 0.25 g/L selama 24 jam (pengayaan yang lama), 0.75 g/L selama 8 jam (pengayaan overdosis), and 0.75 g/L selama 24 jam (pengayaan lama + overdosis). Ketika populasi rotifera kultur-kelompok diperkaya, pengayaan yang lama dan pengayaan overdosis tidak menyebabkan kadar asam lemak berbeda dari normal. Pengayaan overdosis adalah yang paling efektif di antara semua kondisi pengayaan jika menggunakan populasi rotifera kultur-kontinyu. Pada kedua metode kultur, kandungan DHA untuk kondisi pengayaan lama + overdosis adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan untuk kondisi pengayaan normal dan ini menghasilkan peningkatan rasio DHA/EPA dua sampai tiga kali. Dengan demikian, adalah mungkin untuk mengubah komposisi asam lemak rotifera dengan mengubah metode pengayaan.

Sebaliknya, tidak dapat disangkal bahwa asam lemak yang berlebihan berpengaruh negatif terhadap larva ikan. Lebih lanjut, meskipun studi ini difokuskan pada kadar asam lemak, adalah mungkin bahwa jenis-jenis nutrien lain menunjukkan kecenderungan yang sama, misalnya untuk protein atau vitamin. Adalah penting untuk memperbaiki komposisi pakan yang diperkaya. Pada pemeliharaan larva ikan, nilai nutrisi pakan hidup pada tahap larva adalah penting bagi pertumbuhan dan kesehatan larva (Kotani et al. 2009).

del Castillo e al. (2009) melakukan upaya untuk memperkaya kandungan gizi rotifera Brachionus plicatilis yang diberi pakan sel kering-beku thraustochytrid tropis Schizochytrium mangrovei (Isolat IAo-1). Rotifera dilaparkan selama 24 jam kemudian diberi pakan sel S. mangrovei pada konsentrasi 200, 300, 400, 500, 600 dan 700 mg per liter. Pengayaan dilakukan pada dua periode (jangka-pendek = 5 jam; jangka-panjang = 10 jam) untuk menentukan waktu optimum yang dibutuhkan untuk pengayaan maksimum rotifera. Ada peningkatan yang nyata dalam hal kadar lipida total, arachidonic acid (AA) dan DHA pada rotifera setelah makan S. mangrovei kering-beku yang menunjukkan keberhasilan penyerapan zat-zat gizi ini ke dalam komposisi biokimia rotifera. Sebaliknya, docosapentaenoic acid (DPA) tidak berubah nyata dalam rotifera yang diperkaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua faktor, konsentrasi makanan dan periode pengayaan, berpengaruh nyata terhadap kadar lipida, AA dan DHA rotifera. Penyerapan lipida, AA dan DHA meningkat secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi makanan kecuali untuk rotifera yang diberi pakan dengan konsentrasi tertinggi 700 mg per liter selama 10 jam. Selain itu, kadar lipida dan AA pada rotifera yang diperkaya adalah secara nyata lebih tinggi selama periode pengayaan jangka-pendek sementara kadar DHA secara nyata lebih tinggi selama periode pengayaan jangka-panjang. Jadi, disimpulkan bahwa konsentrasi pakan 700 mg per liter pada periode pengayaan 5 jam adalah optimum untuk pengayaan AA dan DHA rotifera. Skema strategis penggabungan jumlah produk dan lama pengayaan yang tepat untuk meningkatkan kadar DHA rotifera akan menjamin secara efektif produksi rotifera bergizi-superior dengan biaya minimal. Hal ini pada akhirnya akan menyukseskan pemeliharaan larva ikan laut di hatchery.

Seychelles et al. (2009) melakukan upaya untuk memperkaya Brachionus plicatilis dengan PUFA. Peneliti menggunakan empat spesies mikroalga [Isochrysis galbana (T-ISO), Chaetoceros muelleri (CHGRA), Pavlova lutheri (MONO), dan Nannochloropsis sp.] baik sebagai kultur segar maupun dalam bentuk pekatan-beku untuk memperkaya rotifera. Rotifera mempunyai konsentrasi asam lemak yang relatif sama bila diberi makan pekatan-beku atau mikroalga segar. Konsentrasi 20:4n-6, 22:6n-3, dan 20:5n-3 pada B. plicatilis dan pada mikroalga pakan berkorelasi linier. Asam lemak 20:4n-6 adalah yang paling siap diasimilasi : konsentrasinya dalam rotifera mencapai setengah konsentrasi dalam mikroalga pakan. Disimpukan bahwa keempat spesies mikroalga baik bentuk segar maupun bentuk pekatan-beku dapat digunakan untuk memperkaya kadar PUFA pada rotifera. Percobaan lebih lanjut diperlukan untuk menguji apakah asimilasinya berbeda bila rotifera diperkaya dengan mikroalga mono- atau multispesies.

Baca juga Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan

Kotani et al. (2009) memperkaya populasi Brachionus dengan Nannochloropsis oculata atau pakan komersial yang diperkaya. Bila diperkaya dengan N. oculata maka 24 jam kemudian arachidonic acid (ARA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) diperoleh dalam jumlah lebih tinggi. Hasil yang sama diperoleh bila menggunakan pakan (komersial) yang diperkaya, bahkan DHA juga meningkat.

Setelah pengayaan nutrisi dengan menggunakan N. oculata dan pakan komersial yang diperkaya, rotifera dari tangki pemanenan kultur kontinyu mengandung asam-asam lemak sebanyak 1.5–2 kali dibandingkan rotifera dari batch culture pada 48 jam setelah inokulasi. Pada percobaan yang dilakukan Tomoda et al., rotifera dari kultur kontinyu mengandung asam-asam lemak sekitar 1.5 kali dibandingkan rotifera dari batch culture dalam fase logaritmik akhir (Kotani et al. 2009).

Beberapa kondisi pengayaan (tipe dan konsentrasi minyak dalam medium kultur dan waktu pengayaan) telah diuji untuk mempelajari pengaruhnya terhadap komposisi lipida dan asam lemak rotifera (Brachionus plicatilis). Rotifera yang diberi pakan pendahuluan berupa ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) diberi pakan yang diperkaya dengan emulsi lipida yang mengandung campuran triasilgliserol (TAG) atau metil ester (ME) pada tiga konsentrasi yang berbeda. Rotifera disampling setelah pengayaan 0 (rotifera yang makan ragi), 3, 6, 12 dan 24 jam. Pada setiap konsentrasi dan waktu yang diuji, kadar lipida tertinggi diperoleh bila menggunakan TAG. Meskipun ada perbedaan komposisi asam lemak jenuh dan mono-tak-jenuh antara emulsi pengayaan, rotifera cenderung mempertahankan kadar asam-asam lemak ini tanpa dipengaruhi oleh periode dan konsentrasi minyak pengayaan. Peningkatan periode pengayaan, bukannya jumlah minyak yang ada dalam medium, lebih efektif dalam menaikkan kadar asam lemak n-3 sangat-tak-jenuh (n - 3 HUFA) pada rotifera. Rotifera menunjukkan lebih banyak mengikat eicosapentaenoic acid (EPA, 20:5n - 3) daripada docosahexaenoic acid (DHA, 22:6n - 3), tanpa memperhatikan rasio antara kedua asam lemak ini dalam emulsi. Penggunaan ME sebagai sumber pengayaan menyebabkan mortalitas betina pembawa-telur lebih besar daripada bila menggunakan TAG (Rodríguez et al., 1996).

Sebuah metode praktis untuk memperkaya rotifera dengan seng telah diteliti oleh Matsumoto et al. (2009). Perubahan konsentrasi mineral lain ketika seng ditambahkan ke dalam tangki pengayaan-rotifera juga dipelajari. Komposisi mineral rotifera dan Chlorella setelah pengayaan seng menunjukkan bahwa penambahan seng secara langsung ke media kultur adalah tidak efektif karena rotifera tidak dapat menimbun secara efisien seng yang berasal dari air. Kemampuan Chlorella untuk menyerap seng asal-air adalah jauh lebih besar daripada kemampuan rotifera, dan dengan demikian, seng mula-mula ditimbun di dalam Chlorella, yang kemudian dimakan rotifera. Konsentrasi seng maksimum pada rotifera adalah 585.0 µg per gram (berat kering) ketika rotifera diperkaya dengan seng saja. Konsentrasi seng ini bisa disamakan dengan konsentrasi yang ditemukan pada zooplankton alami. Pada rotifera yang secara bersamaan diperkaya dengan seng dan asam-asam amino n-3 HUFA, konsentrasi seng meningkat, tetapi konsenrasi n-3 HUFA tidak. Jadi, secara terpisah dilakukan pengayaan dengan seng dan asam-asam lemak. Konsentrasi seng pada rotifera yang diberi pakan Chlorella yang diperkaya-seng adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya pada rotifera yang diberi pakan Chlorella yang tidak diperkaya. Setelah pengayaan seng, rotifera diperkaya dengan asam-asam lemak, dan hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi DHA serta n-3 HUFA pada rotifera adalah lebih tinggi dibandingkan konsentrasinya setelah pengayaan secara bersamaan dengan seng dan asam-asam lemak. Dengan memperhatikan konsentrasi mineral-mineral lain dalam rotifera setelah pengayaan seng, konsentrasi mangan cenderung menurun ketika konsentrasi seng naik. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengayaan rotifera dengan seng dapat dilakukan dengan menggunakan mikroalga yang telah menimbun seng, dan pengayaan rotifera dengan asam-asam lemak juga bisa dicapai setelah pengayaan seng dan sebelum memberi makan larva. Metode ini juga dapat dimanfaatkan untuk memperkaya zooplankton dengan mineral-mineral lain.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...