Selasa, 26 Juni 2012

Warna Pada Produk Perikanan

Arsip Cofa No. C 062

Perubahan Warna Pada Produk Perikanan

Sen (2005) menyatakan bahwa perubahan warna merupakan masalah bagi daging merah ketika pasokan oksigen menjadi terbatas namun jarang terjadi pada produk makanan laut kecuali yang banyak mengandung pigmen. Bagaimanapun, pada beberapa spesies ikan timbulnya warna asing pada daging dan kulit bisa menyebabkan produk ikan tersebut kurang dapat diterima konsumen. Penelitian terhadap filet ikan rockfish yang disimpan pada kondisi atmosfer termodifikasi, yakni 80 % karbon dioksida dan 20 % udara, dan suhu 35 ± 2 °F serta keadaan gelap menunjukkan bahwa setelah 13 hari penyimpanan tidak ada perbedaan nyata dalam hal warna kulit atau daging antara sampel segar dan sampel yang disimpan dalam atmosfer termodifikasi. Tetapi warna kulit sampel segar dan sampel udara-kontrol menunjukkan perbedaan nyata setelah 13 hari penyimpanan. Diduga bahwa atmosfer-termodifikasi menunda proses pemudaran warna kulit yang diamati pada sampel udara-kontrol. Munculnya warna tak lazim pada lapisan peritoneal rongga perut ikan salmon setelah 2 minggu disimpan dalam atmosfer-termodifikasi dan dalam udara telah dilaporkan. Pigmen kehijauan dalam otot gelap ikan swordfish setelah 11 hari disimpan dalam CO2/O2 juga telah dilaporkan.

Baca juga
Produk Ikan Fermentasi

Warna Coklat Pada Ikan Rebus-Kering (Niboshi) Selama Penyimpanan

Takiguchi (1992) mempelajari oksidasi lipida dan pembentukan warna coklat pada ikan teri Engraulis japonica rebus-kering (niboshi) selama penyimpanan pada berbagai suhu antara -30 dan 30 °C selama 240 hari. Niboshi menjadi berwarna coklat selama penyimpanan pada suhu 30, 20 dan 0 °C. Intensitas warna tergantung terutama pada suhu penyimpanan; makin tinggi suhu penyimpanan makin tua warnanya. Niboshi yang disimpan pada suhu -20 dan -30 °C tetap hampir tak berubah warna. Kadar metionin, histidin dan lisin menurun pada niboshi yang menjadi berwarna coklat selama penyimpanan. Asam-asam amino ini, dengan demikian, diduga terlibat dalam reaksi pencoklatan seperti reaksi amino-karbonil.

Baca juga
Pendugaan Kesegaran Ikan

Pencoklatan Pada Ikan Asin-Kering

Smith dan Hole (1991) melaporkan bahwa lipida dalam ikan asin kering-matahari tradisional sangat mudah mengalami oksidasi selama pengolahan dan penyimpanan pada suhu udara tropis (25–30 °C), sehingga menyebabkan timbulnya warna coklat serta bisa kehilangan nilai gizi dan nilai ekonomi produk tersebut. Zat warna coklat terlarut, berfluoresensi dan dapat-diekstrak diketahui merupakan indikator yang berkaitan dengan tingginya derajat oksidasi lipida dalam ikan tersebut. Pada suhu 25°C produk-produk oksidasi lipida yang bereaksi dengan fosfolipida dan asam-asam amino menghasilkan fluoresensi yang nyata. Demikian pula, protein dan asam amino berinteraksi dengan produk oksidasi lipida menyebabkan terbentuknya warna coklat, walaupun pada suhu 25 °C reaksi ini hanya terjadi bila ada air. Suhu di atas 50 °C dibutuhkan untuk perkembangan warna coklat pada minyak ikan yang teraerasi saja. Kadar asam-asam amino bebas dalam ikan asin kering-matahari berkurang selama penyimpanan dan hal ini disebabkan keterlibatan asam-asam amino dalam fluoresensi dan pembentukan warna. Fluoresensi/warna berhubungan dengan perkembangan produk oksidasi lipida dan karena itu menjadi dasar untuk bertindak sebagai indikator oksidasi lipida yang luas.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Warna Gelap Pada Daging Ikan Akibat Oksidasi Lipida

Sohn et al. (2005) meneliti peranan oksidasi lipida dalam perkembangan bau tengik pada tahap awal penyimpanan-es pada otot biasa dan otot gelap ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata) budidaya. Kadar total hidroperoksida lipida dan “thiobarbituric acid-reactive substance” (TBARS; substansi reaktif-asam thiobarbituric) dalam otot gelap secara nyata lebih tinggi (P < 0.01) daripada dalam otot biasa selama 2 hari penyimpanan-es. Peningkatan kadar metmyoglobin otot gelap diikuti oleh pembentukan warna gelap secara perlahan-lahan selama penyimpanan-es. Untuk membedakan perubahan karakteristik bau pada otot, maka dilakukan evaluasi inderawi. Perubahan kecil dalam hal intensitas 7 macam bau diamati dalam otot biasa, tetapi terjadi peningkatan secara nyata dalam hal bau keseluruhan, bau amis, bau busuk dan bau tengik pada otot gelap selama 2 hari penyimpanan-es. Tidak ada hubungan antara kadar total hidroperoksida lipida dan intensitas bau pada otot biasa; bagaimanapun, ada hubungan nyata antara kadar total hidroperoksida lipida dan intensitas bau tengik dan bau keseluruhan pada otot gelap. Laju oksidasi lipida otot gelap ikan ekor kuning secara nyata lebih cepat dibandingkan pada otot biasa. Oksidasi lipida otot gelap sangat berkaitan dengan proses penggelapan daging dan perkembangan bau tengik selama tahap awal penyimpanan-es.

Baca juga
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) : Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi

Pengaruh Tekanan Tinggi Terhadap Warna dan Tekstur Daging Ikan

Matser et. (2000) meneliti pengaruh tekanan tinggi terhadap warna daging ikan untuk mengevaluasi kisaran perlakuan tekanan tinggi yang tidak mempengaruhi penampilan produk perikanan. Perlakuan tekanan tinggi lebih dari 150-200 MPa selama 5 menit menimbulkan warna tampilan seperti direbus pada ikan pollack (Pollachius virens), tenggiri (Scomber scombrus), tuna (Thunnus thynnus), cod (Gadus morhua), salmon trout (Salmon trutta), ikan mas (Cyprinus carpio), ikan sebelah (Pleuronectus platessa) dan anglerfish (Lophius piscatorius). Hanya gurita (Octopus vulgaris) yang tetap mempertahankan warna tampilan seperti kondisi masih mentah hingga tekanan 400 – 800 MPa. Pengaruh tekanan tinggi terhadap tekstur ikan cod (Gadus morhua) telah dievaluasi setelah penyimpanan beku selama 6 bulan. Kekerasan daging meningkat akibat tingginya tekanan pada nilai 200 dan 400 MPa. Selama penyimpanan hanya terjadi sedikit perubahahan kekerasan. Bahkan sampel yang tidak diberi perlakuan tekanan menunjukkan hanya sedikit peningkatan kekerasan selama penyimpanan.

Baca juga
Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya

Metabisulfit Mencegah Timbulnya Warna Hitam Pada Udang Mentah

Chakrabarti et al. (1992) melakukan penelitian mengenai pengendalian terhadap pembentukan warna hitam pada udang mentah dari daerah tropis. Mereka melaporkan bahwa metabisulfit memberikan hasil yang menggembirakan dalam mencegah pembentukan warna hitam pada berbagai spesies udang. Metabisulfit 0,3 % cukup untuk mengendalikan bintik hitam pada Penaeus monodon dan Penaeus indicus selama 5 hari disimpan dalam es sedang pencelupan dalam metabisulfit 0,4 % selama 30 detik mencegah bintik hitam pada Metapenaeus monoceros selama periode yang sama.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 24 Juni 2012

Echinodermata : Keragaman Spesies, Distribusi dan Embryo

Arsip Cofa No. C 061

Keragaman Spesies Echinodermata

Hickman et al. (2001) menjelaskan kelas-kelas utama echinodermata sebagai berikut :

- Asteroidea (bintang laut) banyak ditemukan di sepanjang garis pantai di mana mereka berkumpul dalam jumlah besar di bebatuan. Kadang-kadang mereka melekat begitu erat sehingga sulit dilepaskan tanpa memutuskan beberapa kaki tabungnya. Mereka juga hidup di dasar perairan berlumpur atau berpasir dan di antara terumbu karang. Mereka sering berwarna cerah dengan ukuran diameter tubuh berkisar dari satu sentimeter sampai satu meter. Asterias (Yunani, asteros : bintang) adalah salah satu genus yang umum di pesisir timur Amerika Serikat dan banyak dipelajari di laboratorium zoologi. Pisaster (Yunani, pisos : kacang, + asteros : bintang) sering terlihat di pesisir barat Amerika Serikat sama seperti Dermasterias (Yunani : dermatos : kulit, + asteros : bintang), bintang laut kulit.

- Beberapa ophiuroidea (bintang ular) yang umum dijumpai di sepanjang pesisir Amerika Serikat adalah Amphipholis (Yunani , amphi : kedua sisi, + pholis : sisik bertanduk) (vivipar dan hermafrodit), Ophioderma (Yunani, ophis : ular, + dermatos, kulit), Ophiothrix (Yunani, ophis : ular, + thrix, rambut), dan Ophiura (Yunani, ophis : ular, + oura : ekor). Bintang keranjang Gorgonocephalus (Yunani, Gorgo : nama monster betina yang menakutkan, + kephale : kepala) dan Astrophyton (Yunani, asteros : bintang, + phyton : mahluk, binatang) memiliki delapan lengan dengan cabang yang berulang-ulang.

Baca juga
Gonad Ikan dan Avertebrata


- Echinoidea (bulu babi) tersebar luas di semua laut, dari daerah intertidal sampai samudra dalam. Bulu babi biasanya suka meliang ke dalam substrat berpasir. Mereka tersebar di salah satu atau kedua pesisir Amerika Utara dengan genus-genus bulu babi yang umum adalah Arbacia (Yunani, Arbakes : raja pertama kerajaan Media), Strongylocentrotus (Yunani, strongylos : bundar, kompak, + kentron : runcing, duri), dan Lytechinus (Yunani, lytos : pecah, patah, + echinos : bulu babi) dan dolar pasir Dendraster (Yunani, dendron : pohon, tongkat, + asteros : bintang) serta Echinarachnius (Yunani, echinos : bulu babi, + arachne : laba-laba). Daerah Hindia Barat-Florida kaya akan echinodermata, termasuk echinoidea, di antaranya adalah Diadema (Yunani, diadeo : diikat sekeliling), dengan duri-duri panjang dan tajam seperti jarum.

- Holothuroidea (teripang) yang umum di sepanjang pesisir timur Amerika Utara adalah Cucumaria frondosa (Latin, cucumis : ketimun), Sclerodactyla briareus (Yunani, skleros : keras, + daktylos : jari tangan), dan teripang peliang yang transparan Leptosynapta (Yunani, leptos : ramping, + synapsis : bergabung). Sepanjang pesisir Pasifik ada beberapa spesies Cucumaria dan teripang coklat kemerahan Parastichopus (Yunani, para : di samping, + stichos : garis atau baris, + pous, podos : kaki) dengan papila yang sangat besar.

- Crinoidea (lili laut) mencakup lili laut dan bintang bulu (feather star). Mereka mempunyai beberapa karakteristik primitif. Sebagaimana ditunjukkan oleh catatan fosil, krinoidea pernah melimpah jauh lebih banyak daripada sekarang. Mereka berbeda dari echinodermata lainnya karena melekat selama bagian penting kehidupannya. Lili laut memiliki badan berbentuk bunga yang terletak pada ujung tangkai. Bintang bulu mempunyai lengan yang panjang dan bercabang banyak, sedangkan dewasanya bergerak bebas namun mereka tetap ada di tempat yang sama selama periode yang panjang. Selama metamorfosis bintang bulu hidup menempel dan memiliki tangkai, tetapi setelah beberapa bulan mereka melepaskan diri dan bergerak bebas. Banyak crinoidea menghuni perairan dalam, tetapi bintang bulu bisa juga menghuni perairan dangkal, terutama di daerah Indo-Pasifik dan Karibia-Hindia-Barat, di mana jumlah spesies yang ditemukan di sini paling banyak. Contohnya adalah Antedon dan Comantheria.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Morfologi dan Biologi Krinoid Purba

Brower (1992) melaporkan bahwa dua spesies cupulocrinid, Cupulocrinus crossmani n.sp. dan Praecupulocrinus conjugans (Billings) n.gen. , telah ditemukan dari Ordovician Tengah (Galena Group, Dunleith Formation) di Iowa utara dan Minnesota selatan. Berbagai ciri morfologi dan ontogenetik menunjukkan bahwa Praecupulocrinus lebih primitif daripada Cupulocrinus. Dua spesies ini umumnya ada bersama-sama. Selain itu, kedua taksa hidup bersama-sama pada tingkat-tingkat yang sama dengan panjang batang berkisar dari sekitar 1,5 cm untuk juvenil sampai 15 cm untuk dewasa. Urutan pertumbuhan yang relatif lengkap menggambarkan pertumbuhan dan variasi serta menunjukkan bagaimana dua krinoid berkerabat dekat ini membagi niche makanan. Volume mahkota (crown volume) bisa menjadi variabel yang memuaskan untuk menduga ukuran binatang ini. Sistem pencari makanan pada cupulocrinid terutama terbentuk dari penambahan lempengan baru pada ujung-ujung lengan. Jumlah lempengan lengan dan panjang lengan menunjukkan alometri positif relatif terhadap volume mahkota, terutama disebabkan perkembangan cabang baru pada ujung lengan. Kapasitas pencari makanan sama dengan jumlah kaki-tabung penangkap-makanan dikalikan dengan lebar rata-rata celah makanan. Kapasitas pencarian makananan juga bersifat alometri positif dari aspek volume mahkota dan jumlah jaringan yang harus dipasok makanan. Dengan demikian, rasio kapasitas pencarian makanan : volume mahkota adalah bersifat konstan atau sedikit menurun sejalan dengan bertambahnya ukuran dan umur. Lebar celah makanan bertambah untuk seluruh ontogeni sehingga krinoid dewasa memakan partikel makanan yang lebih besar daripada juvenilnya. Praecupulocrinus conjugans (Billings) n.gen. memiliki celah-celah makanan yang lebih sempit daripada Cupulocrinus crossmani n.sp. pada ukuran dan umur yang sama; hal ini menunjukkan adanya diferensiasi niche berdasarkan ukuran partikel makanan. Geometri kaki tabung dan lengan menunjukkan bahwa kedua cupulocrinid ini menggunakan cara yang sama dalam memakan suspensi. Morfologi kantung anus dan ketiadaan tonjolan-tonjolan “patelloid” pada lengan menunjukkan bahwa Cupulocrinus sepulchrum Ramsbotton dari Ordovician Atas yang ditemukan di Skotlandia adalah termasuk Dendrocrinus.

Baca juga
Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata

Distribusi Teripang di Indonesia

Anonymous (1992) menyusun daftar distribusi teripang di Indonesia. Actino ehinities, Actino lecanora, Actino mauritania dan Actino miliaris tersebar di barat Sumatera, selatan Jawa Tengah, selatan Kalimantan, selatan Sulawesi, timur Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Timor, Halmahera, Ambon dan utara Papua. Bohadschia argus, Bohadschia graeffei, Bohadschia marmorata, Bohadschia tenuissima dan Bohadschia vitiensis ditemukan di Sabang (utara Sumatera), barat Sumatera, Bangka-Belitung, timur Kalimantan, Kalimantan Selatan, selatan Sulawesi, Kendari, utara Sulawesi, Halmahera, Ambon-Banda. Distribusi Holothuria atra, Holothuria edulis, Holothuria leucospilota, Holothuria scabra, Holothuria nobilis, Holothuria impatiens, Stichopus chloronotus, Stichopus variegatus dan Thelenota ananas meliputi Sabang (utara Sumatera), barat Sumatera, Lampung, Bangka-Belitung, Kepulauan Seribu, Karimun Jawa, selatan Jawa Tengah, selatan kalimantan, timur Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Timor, tenggara Sulawesi, Halmahera, Ambon, Banda dan utara Papua Barat.

Baca juga
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata

Perkembangan Telur Sampai Juvenil Bintang Laut

Komatsu et al. (1992) mengamati proses perkembangan bintang laut, Luidia maculata, dari telur sampai juvenil. Telur berdiameter rata-rata 173 mikron. Satu setengah jam setelah pembuahan, terjadi pembelahan pertama pada suhu 20 °C. Pembelahan bersifat total dan radial. Embryo berkembang menjadi bipinaria melalui tahap blastula yang berkerut-kerut (bipinaria : larva bintang laut yang berenang bebas, bersilia, bilateral dan memiliki dua struktur mirip sayap). Metamorfosis terjadi secara bertahap pada bagian posterior (belakang) bipinaria 40 hari setelah pembuahan. Pada tahap ini muncul 9 spikula, yang bersesuaian dengan lempeng terminal pada rangka individu dewasa. Satu minggu kemudian, bipinaria mencapai panjang 2,5 mm. Enam puluh empat hari setelah pembuahan, metamorfosis menjadi sempurna dan menghasilkan juvenil dengan diameter sekitar 700 mikron. Juvenil ini memiliki 9 lengan dan setiap lengan mempunyai dua pasang kaki tabung. Perkembangan spesies ini menunjukkan tipe non brachiolaria sebagai mana semua spesies Luidia yang telah dilaporkan. Pengamatan ini menunjukkan bahwa juvenil yang baru saja bermetamorfosis memiliki 9 lengan seperti individu dewasa. Adalah sangat menarik bahwa waktu pembentukan lengan pada spesies bintang laut berlengan-banyak tampaknya berkaitan dengan sistematika spesies Luidia.

Pemijahan Buatan Pada Ekinodermata

ASEAN-Canada Cooperative Programe on Marine Science Phase II (1995) menyusun prosedur pemijahan buatan pada ekinodermata sebagai berikut. Balikkan tubuh ekinodermata dewasa dan tempatkan di dalam sebuah gelas piala yang dipenuhi dengan air encer/kontrol sampai luber. Rangsang binatang dewasa ini dengan menyuntikkan 1 ml kalium klorida (KCl) 0,5 M melalui membran peristomeal ke dalam coelom. Bila tidak ada respon setelah 30 detik maka penyuntikan KCl diulangi lagi dengan dosis yang berbeda. Perhatikan binatang dengan cermat ketika mereka mulai memijah karena ekinodermata jantan harus ditangani dengan cara yang berbeda. Ekinodermata jantan biasanya menghasilkan semburan sperma putih, sedangkan betinanya menghasilkan telur-telur yang relatif besar. Kedua jenis kelamin ini mungkin menghasilkan zat berwarna yang sebaiknya disingkirkan bila mungkin. Ekinodermata betina dibiarkan melakukan ”pemijahan-basah” di dalam gelas piala selama 15 – 30 menit. Telur yang dihasilkan seharusnya bundar dan bulat sempurna. Ekinodermata jantan sebaiknya dibiarkan melakukan “pemijahan kering”, artinya bahwa sperma dikumpulkan sebelum diencerkan dan diaktifkan dalam air laut. Bila jantan mulai memijah di dalam gelas piala mereka sebaiknya segera dipindahkan. Tempatkan ekinodermata jantan dengan sisi aboral menghadap ke atas di dalam cawan ceper dengan air laut menutupi sekitar setengah badannya. Ketika sperma berkumpul di permukaan tubuh ekinodermata ini dan di dalam cawan, kumpulkan sperma-sperma tersebut dengan pipet pasteur, dan pindahkan ke dalam sebuah gelas piala kecil atau tabung uji yang disimpan di dalam es hingga siap digunakan. Biarkan binatang memijah selama 15 – 30 menit. Sperma akan tetap tidak aktif bila dibiarkan dalam kondisi “kering” atau dalam konsentrasi sperma sangat tinggi dengan air laut sangat sedikit. Sperma ini dapat diaktifkan kembali dengan menambahkan air laut. Perawatan harus dilakukan untuk menghindari kontaminasi-silang antara sperma dan telur; gunakan pipet yang berbeda untuk memindahkan sperma dan telur.

Kepekaan Embryo Bulu Babi Terhadap Panas

Fujisawa (1992) melaporkan bahwa bulu babi, Hemicentrotus pulcherrimus, merupakan salah satu echinoidea yang tersebar paling luas di Jepang, dari bagian selatan Hokkaido sampai Kagoshima. Bulu babi ini memijah pada musim yang sama, dari musim dingin sampai musim semi, tidak tergantung pada perbedaan habitat. Suhu air laut selama musim pemijahan adalah sektar 6 °C di Teluk Mutsu, dan sekitar 17 °C di Sendai, Kagoshima. Perbedaan suhu air laut selama musim pemijahan dengan demikian lebih dari 10 °C antara kedua lokasi. Dalam penelitian ini dua kelompok bulu babi digunakan, satu kelompok dikumpulkan di Teluk Mutsu dan kelompok lain diperoleh di lepas pantai Sendai, Kagoshima. Kepekaan panas pada embryo kedua kelompok ini diamati. Kepekaan panas (thermosensitivity) didefinisikan sebagai suhu di mana embryo bulu babi dapat berkembang normal. Kepekaan panas embryo bulu babi di Teluk Mutsu adalah dari 5 sampai 19 °C, sedangkan untuk embryo bulu babi di Sendai adalah dari 8 sampai 22 °C. Batas-batas kepekaan panas bergeser secara nyata sebesar 3 °C. Selanjutnya kepekaan panas telur bulu babi dari Teluk Mutsu (M betina) yang dibuahi dengan sperma bulu babi dari Sendai (S jantan) serta persilangan sebaliknya (M jantan x S betina) diamati. Kepekaan panas embryo (M betina x S jantan) adalah sama dengan embryo (M betina x M jantan). Kepekaan panas embryo (M jantan x S betina) adalah sama dengan embryo (S betina x S jantan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepekaan panas embryo bulu babi diwarisi dari induk betina.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengawetan Ikan Dengan Es

Arsip Cofa No. C 059

Teknik Pendinginan Produk Perikanan

Medina et al (2009) menyatakan bahwa berbagai sistem pendinginan telah digunakan untuk melakukan proses “super-chilling/pendinginan super” (–4 °C sampai 0 °C) terhadap produk makanan laut; sistem ini terbukti efektif menghambat pertumbuhan bakteri dan memperpanjang umur produk ikan dingin. Bagaimanapun, super chilling terhadap daging bisa menyebabkan pembekuan-sebagian, yang bisa menimbulkan perubahan-perubahan negatif seperti “drip loss” (kehilangan air daging) dan penurunan "water holding capacity" (kapasitas menampung air); selain itu, aktivitas enzim bisa meningkat akibat meningkatnya konsentrasi materi terlarut di dalam air yang tak membeku dan memudahkan enzim memasuki substrat. Sistem pendinginan-air, seperti “refrigerated sea water” (RSW) dan “chilled sea water” (CSW) merupakan metode super chilling yang paling banyak dipakai untuk produk perikanan. Baik RSW maupun CSW diyakini dapat memperpanjang umur penyimpanan ikan dan kerang akibat penurunan suhu penyimpanan.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pendinginan-pembekuan merupakan strategi yang menguntungkan untuk menyediakan produk segar dengan kualitas tinggi. Pendinginan-pembekuan merupakan teknologi ganda yang melibatkan pembekuan dan penyimpanan beku (-30 °C atau lebih dingin lagi) diikuti dengan pencairan (thawing) dan kemudian dipasarkan pada suhu dingin. Teknik ini memberikan keuntungan logistik dan memungkinkan makanan dingin mencapai pasar yang jauh di mana produk dapat dikapalkan dalam kondisi sangat beku dan kemudian dicairkan ketika mencapai daerah tujuan sebelum dipajang di pasar.

Bagaimanapun, pembusukan ikan terbukti tidak hanya tergantung pada pembekuan dan kondisi penyimpanan beku (misal waktu dan suhu) tetapi juga pada kondisi pendinginan dan pencairan (waktu dan suhu). Teknik pendinginan yang lebih baru melibatkan penyimpanan produk perikanan pada suhu di bawah nol dengan menambahkan garam dan senyawa lain ke dalam campuran es-air. Teknik ini disebut “slurry ice system” (sistem suspensi es; suspensi = campuran air dan partikel tak larut yang melayang-layang dalam air tersebut) , “water-binary system” (sistem air kembar) atau “two-phases aqueous secondary refrigerant” (pendingin sekunder cair dua fase), disebut demikian karena dua fase yang berbeda, yaitu cair (air) dan padat (es), terdapat bersama-sama.

Baca juga
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) : Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi

Dibandingkan dengan teknik pemberian serpihan es tradisional, “slurry ice system” menunjukkan banyak kelebihan yang dapat diringkas sebagai berikut (Medina et al., 2009) :

- Suhu penyimpanan di bawah nol memperlambat reaksi kimia dan reaksi enzimatik yang terlibat dalam pembusukan makanan
- Laju pertukaran panas adalah sekitar empat kali lebih tinggi dibandingkan pada teknik pemberian serpihan es tradisional, sehingga pendinginan lebih cepat
- Permukaan luar produk diselubungi (oleh lapisan es) dengan sempurna sehingga pendinginan lebih efisien serta mencegah dehidrasi
- Mengalirnya suspensi es di atas permukaan produk memberikan efek mencuci permukaan produk tersebut, sehingga mengurangi jumlah mikroba dan menghambat masuknya mikroorganisme ke dalam daging
- Bentuknya yang bulat dan kecilnya ukuran kristal es memperkecil kerusakan fisik pada struktur seluler ikan
- Sifat suspensi es yang mengalir memungkinkan pertukaran berjalan terus-menerus sehingga penanganan dan distribusi produk akan lebih hiegenis
- Slurry ice system merupakan teknik yang serbaguna yang dapat digabungkan dengan bahan kimia pengawet lain, yang memiliki sifat antioksidan, antimikrobial atau antimelanosik.

Sayangnya, ada dua kelemahan slurry ice system bila diterapkan pada produk perikanan. Pertama, suhu tidak boleh turun agar pembekuan sebagian tidak terjadi; bila tidak, maka kualitas inderawi (mata ikan berkabut, warna menjadi pucat, dll) akan merosot. Kedua, dibutuhkan investasi awal untuk membeli generator dan peralatan lainnya; bagaimanapun, biaya seperti ini pasti ditemui bila menginginkan produk yang bermutu sesuai harapan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kemunduran Mutu Ikan Akibat Kesalahan Prosedur Pengesan

Botta dan Bonnell (1989) melaporkan bahwa untuk menentukan sebab-sebab penurunan mutu ikan cod Atlantik (Gadus morhua) segar, sebuah studi terkendali yang melibatkan 2.750 ikan cod yang ditangkap di wilayah North Atlantic Fishing Organization (NAFO) 2 J dan 3 K selama bulan Februari, Maret dan April 1983, dilakukan di bawah kondisi komersial. Mutu sampel diduga oleh pegawai pemeriksa Department of Fisheries and Ocean (DFO) yang terlatih dan berpengalaman dengan menggunakan standar penentuan mutu. Secara umum, mutu ikan cod ketika pertama kali dimuatkan ke kapal adalah sangat baik, tetapi ketika muatan dibongkar di darat mutunya jauh berkurang. Berbagai prosedur penanganan bertanggung jawab atas besarnya penurunan mutu. Prosedur-prosedur ini mencakup : a) penundaan lebih dari satu jam antara waktu ketika cod dimuatkan ke kapal dan ketika dieskan; b) penyimpanan ikan cod dalam es lebih dari enam hari; c) pengesan ikan cod dilakukan di dalam wadah terbuka yang terbuat dari papan, bukannya dalam kotak tertutup; dan d) penangkapan lebih dari 5 ton pada setiap saat.

Baca juga
Pendugaan Kesegaran Ikan

Pengaruh Penundaan Pengesan Terhadap Mutu Ikan Kaleng

Jeyasekaran dan Saralaya (1991) mempelajari pengaruh penyimpanan dalam air laut dingin ikan white sardin (Kowala coval) terhadap mutu produk kalengannya. Mutu ikan white sardin kaleng bisa diperbaiki dengan mengawetkan ikan segera setelah ditangkap di dalam air laut dingin sebelum dikalengkan. Penundaan pengesan menyebabkan banyak kemunduran mutu dan mempersingkat lama penyimpanan produk kaleng tersebut. Ternyata bahwa ikan yang mengalami penundaan pengesan ditolak setelah enam hari dan ikan yang segera dies dan yang dimasukkan air laut dingin diterima sampai sembilan dan sebelas hari, berturut-turut, untuk dikalengkan.

Baca juga
Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan/Pengesan

Rasio Terbaik Chilled Sea Water

Pizardi dan Quevedo (1989) melakukan studi terhadap sistem CSW (Chilled Sea Water; Air Laut Dingin) untuk mengawetkan ikan hake di atas kapal. Ikan hake ditangkap dengan trawl dan spesies Peru (Merluccius gayi peruanus) adalah khas karena teksturnya sangat lembut. Akibatnya, produk olahan ikan ini yang dibuat di darat mengalami penurunan hasil dan mutu. Karena itu perlu mendinginkan ikan ini di atas kapal guna meminimkan penurunan mutu dan kerugian ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio terbaik ikan : es : air laut adalah 1 : 1 : 1.

Baca juga
Pengolahan Cumi-Cumi Dengan Tekanan Tinggi dan Pendinginan

Perbedaan Umur Penyimpanan Dalam Es Akibat Perbedaan Spesies Ikan

Poole et al. (1990) melakukan percobaan pengesan ikan karang dari Wilayah Utara Australia untuk mengetahui “umur penyimpanan” (storage live) ikan-ikan tersebut di dalam es. Umur penyimpanan ikan-ikan yang diperoleh dari perikanan lepas-pantai dan dekat-pantai dibandingkan. Spesies yang terlibat dalam uji coba ini adalah Pristipomoides multidens, Pristipomoides typus, Lutjanus erythropterus, Lutjanus sebae, Lutjanus carponotus, Lutjanus johnii, Lethrinus fraenatus, Zabidius novemaculatus dan Epinephelus spp. Setiap ikan menunjukkan pola kemunduran mutu selama penyimpanan dalam es yang berbeda-beda antar spesies, kemungkinan besar disebabkan perbedaan sistem enzim dalam daging ikan yang khas untuk setiap spesies. Hal ini berarti bahwa metode penangkapan, penanganan dan pengolahan akan mempengaruhi spesies ikan individual dengan cara yang berbeda-beda dan kisaran yang berbeda pula.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan

Arsip Cofa No. C 060

Perbedaan Komposisi Kimia Daging Ikan Laut dan Tawar

Jeon et al (1990a) meneliti komposisi lipida dalam otot (daging) dan komposisi asam-asam lemaknya pada dua kelompok ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan di perairan tawar dan laut. Total lipida kelompok ikan budidaya laut adalah sedikit lebih kaya daripada kelompok ikan budidaya air tawar. Lipida netral paling melimpah dalam lipida otot kedua kelompok, diikuti fosfolipida dan gikolipida. Peningkatan kadar total lipida tampaknya tergantung pada fraksi trigliserida, karena sebagian besar lipida tersusun dari trigliserida. Fosfatidilkolin, fosfatidil etanolamin dan sfingomyelin telah diidentifikasi di dalam fosfolipida, dan kadar fosfatidilkolin adalah yang tertinggi. Secara khusus, senyawa 16 : 0 dan 18 : 1 berkadar tinggi telah diamati di dalam total lipida, lipida netral dan glikolipida. Bagaimanapun, 18 : 1 dan 18 : 2 berkadar rendah ditemukan di dalam fosfolipida, tetapi mereka memiliki kadar 20 : 4, 20 : 5 dan 22 : 6 yang tinggi. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal komposisi lipida otot dan asam-asam lemaknya antara dua kelompok ikan yang dibudidayakan di laut dan di perairan tawar.

Jeon et al. (1990b) menganalisis komposisi “approximate” (perkiraan) dan senyawa-senyawa pembentuk rasa pada ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dipelihara di perairan tawar dan laut selama 6 bulan. Dalam hal komposisi aproksimat, ada sedikit perbedaan kadar air dan kadar protein ikan nila yang dipelihara di laut dan di perairan tawar, tetapi kadar lipida dan abu pada ikan nila laut agak lebih tinggi daripada nila air tawar. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal kadar asam-asam amino, nukleotida, betain, TMAO dan total kreatinin antara kedua kelompok.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Pengaruh Kadar Pantetin dan Lipida Dalam Pakan Terhadap Komposisi Daging Ikan

Stowell dan Gatlin (1992) meneliti pengaruh berbagai kadar lipida dan pantetin dalam pakan terhadap komposisi tubuh ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) dengan menggunakan rancangan faktorial 2 x 3. Pakan kasein/gelatin murni yang mengandung dua macam kadar lipida dan tiga macam kadar pantetin diberikan kepada anak channel catfish. Ikan dianalisis untuk mengetahui komposisi perkiraan seluruh tubuh, hati dan filet serta indeks hepatosomatik dan “intraperitoneal fat” (IPF; lemak perut). Analisis asam lemak juga dilakukan terhadap lipida dalam filet. Lipida pakan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan dan komposisi tubuh. Pakan yang mengandung 10 % lipida biasanya menghasilkan nilai-nilai perolehan berat dan efisiensi pakan yang lebih tinggi, demikian pula nilai-nilai kadar lipida filet dan lipida seluruh tubuh serta IPF lebih tinggi. Pada hati, 10 % lipida pakan hanya meningkatkan secara nyata kadar abu. Penambahan pantetin tidak berpengaruh terhadap perolehan berat dan efisiensi pakan tetapi meningkatkan kadar asam oleat dalam lipida filet. Lipida pakan secara nyata mempengaruhi penampilan dan penimbunan lipida ikan channel catfish sedangkan pengaruh pantetin (pada dosis 250 dan 1000 mg/kg pakan) bisa diabaikan.

Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Pengaruh Tingkat Kematangan Gonad dan Perlakuan Panas Terhadap Kadar Air Daging Ikan

Kawai et al. (1992) meneliti cincangan daging punggung ikan chum salmon yang dipanasi selama 30 menit pada pH 3 – 9. Kadar air dalam cincangan tersebut yang didehidrasi dengan sentrifugasi adalah menunjukkan “water holding capacity” (WHC; kapasitas menampung air). WHC daging salmon adalah minimal pada pH 5 dan cenderung menurun dengan naiknya suhu pemanasan di atas 40 °C pada kisaran pH yang diuji. WHC ikan salmon yang gonadnya lebih matang adalah lebih besar daripada salmon yang kematangan gonadnya minimal (ikan yang ditangkap di laut pesisir) pada pH netral dan basa dengan suhu 60 °C atau kurang. Di atas suhu 80 °C, perbedaan WHC adalah sangat kecil di antara kedua tahap kematangan gonad salmon itu.

Baca juga
Daging Cumi-Cumi : Karakteristik, Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi

Pembentukan Senyawa-Senyawa Dalam Tubuh Ikan Selama Penyimpanan

Zhang et al. (1992) mempelajari aktivitas enzim yang melibatkan pembentukan senyawa-senyawa volatil (mudah-menguap) pada beberapa jaringan ikan ayu (Plecoglossus altivelis). Aktivitas mirip-lipoksigenase ditemukan pada enzim kasar dari jaringan kulit dan insang ikan ayu, tetapi tidak dijumpai pada jaringan otot/daging. Enzim kulit ini tidak stabil; kondisi separuh tak aktif terjadi setelah 4 jam peyimpanan pada 0 °C. Nilai pH dan suhu optimum adalah 7,4 dan 25 °C, berturut-turut. Senyawa-senyawa volatil yang dibentuk oleh enzim kulit tergantung pada substrat “polyunstaurated fatty acid” (PUFA; asam lemak poli-tak-jenuh). Lima senyawa yang mencakup 1-octen-3-ol dan (E)-2-nonenal dibentuk dari arachidonic acid, dan empat senyawa yang meliputi (E,Z)-2,6-nonadienal dan 3,6-nonadien-1-ol dihasilkan dari eicosapentaenoic acid (EPA) atau docosahexaenoic acid (DHA).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Perbaikan Rasa Daging Ikan Dengan “Olah Raga”

Kawaguty et al. (1990) dalam Chung and Kaneko (1990) melaporkan bahwa sistem budidaya ikan baru yang dilengkapi pompa energi-gelombang dengan efisiensi tinggi telah dikembangkan. Konsep dasar sistem ini adalah bahwa ikan budidaya dipaksa berenang di dalam tangki air laut sehingga kualitas dagingnya bisa diperbaiki dengan melakukan gerakan renang; fenomena ini disebut “jogging effect”. Tenaga untuk mensirkulasi air dipasok oleh sebuah pompa energi gelombang yang memanfaatkan energi alami yang dimiliki laut. Mula-mula, pengaruh kecepatan dan periode renang terhadap otot dan lemak tubuh ikan serta karakteristik pengawetan ikan budidaya pada suhu rendah dipelajari untuk mengetahui efek gerak badan terhadap kualitas daging ikan. Tampak jelas bahwa peningkatan mutu daging ikan adalah nyata pada kecepatan renang 2,5 PB/detik, di mana PB menunjukkan panjang badan ikan.

Baca juga
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Pelembekan Daging Ikan Pasca Kematian

Ando et al. (1992) melaporkan bahwa untuk menjelaskan mekanisme pelembekan pasca kematian otot ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss, perubahan struktur halus otot selama penyimpanan pada suhu 5 °C diamati dengan menggunakan mikroskop elektron transmisi kemudian menghubungkan hasilnya dengan perubahan kekuatan pecah otot. Nilai kekuatan pecah otot ini menurun dalam 24 jam penyimpanan setelah kematian. Pada saat yang sama, serabut-serabut kolagen dalam jaringan penghubung periseluler tampak terlepas. Tak ada bukti terjadinya penguraian cakram-Z. Berdasarkan hasil ini, diduga bahwa pelembekan daging ikan pasca kematian selama penyimpanan dingin adalah disebabkan oleh lepasnya serabut-serabut kolagen dalam jaringan penghubung periseluler, bukannya oleh lemahnya cakram-Z.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 18 Juni 2012

Faktor Penyebab dan Dampak Ledakan Populasi Alga

Arsip Cofa No. C 058

Peranan Bakteri Dalam Ledakan Populasi Dinoflagelata

Lee et al. (1990) meneliti distribusi flora bakteri laut dan spesies dinoflagelata di teluk Chinhae Bay yang terletak di bagian selatan Korea dari bulan Agustus 1989 sampai April 1990 dengan tujuan memperoleh informasi penting mengenai peranan bakteri laut dalam ledakan populasi (blooming) dinoflagelata. Sebanyak 251 galur bakteri laut telah diisolasi dari daerah penelitian. Di antara mereka, Flavobacterium spp. dan Acinetobacter spp. adalah yang paling dominan. Sebanyak 32 galur lainnya yang menyusun 13 % dari galur total adalah Erythrobacter spp. Berdasarkan karakter fisiologi, Erythrobacter spp. diidentifikasi sebagai Erythrobacter longus, Erythrobacter sp. (J-2) dan Erythrobacter sp. (J-8). Dari komunitas fitoplankton, 14 genus dan 29 taksa spesies dinoflagelata telah diidentifikasi. Gymnodinium sanguneum, Prorocentrum micans dan Prorocentrum minimum adalah spesies-spesies dominan musim panas. Bagaimanapun, Heterocapsa triquetra tampaknya menjadi spesies dominan pada bulan April. Kualitas air menunjukkan kondisi eutrofik (subur) atau hipereutrofik (sangat subur). Massa air yang kekurangan oksigen d temukan di air di atas dasar perairan pada bulan Agustus dan September.

Baca juga :
Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Peranan Perubahan Lingkungan Dalam Ledakan Populasi Alga

Vieira et al. (1992) melaporkan bahwa beberapa teluk kecil di pesisir timur laut Amerika Serikat telah mengalami ledakan populasi mikroalga yang disebut “brown tide” (pasang coklat) selama musim panas 1985. Satu spesies chrysophyta kecil (2 – 3 mikron), Aureococcus anophagefferens, yang sebelumnya tak teridentifikasi, ditemukan bertanggung jawab atas ledakan populasi ini. Ledakan populasi plankton terjadi lagi di beberapa teluk selama musim panas 1986, kemudian berkurang pada tahun 1987 dan 1988, dan akhirnya lenyap pada tahun 1989. Penelitian terhadap penyebab ledakan populasi yang baru ini menunjukkan bahwa gangguan cuaca adalah salah satu penyebabnya. Lebih jelasnya, awal terjadinya kekeringan dan variasi regim angin mengakibatkan perubahan hidrologis di daerah-daerah yang dipengaruhinya. Perbandingan variabel-variabel lingkungan antara daerah yang mengalami ledakan populasi dan yang tidak selama tahun 1980-an menunjukkan adanya faktor-faktor regional dan lokal yang penting bagi permulaan dan penstabilan ledakan populasi. Sebuah model sistem dinamis telah dimanfaatkan untuk menentukan nilai-nilai ambang batas variabel-variabel kunci dan untuk membantu memahami mekanisme-mekanisme dasar yang memicu ledakan populasi yang tak dapat diramalkan semacam ini.

Baca juga :
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pencemaran Memicu Ledakan Populasi Mikroalga

Marchetti (1990) dalam Vollenweider et al. (1992) mempelajari dua masalah utama berkaitan dengan perairan pesisir Adriatik bagian atas : apa yang disebut ledakan populasi alga dan gel atau ekskresinya. Masalah yang pertama mencakup reproduksi mikro alga secara tak terkendali yang menyebabkan terbentuknya massa materi hidup dalam jumlah sangat banyak sehingga airnya tidak layak untuk mandi (renang), dan pembusukan mikro alga ini menghabiskan banyak oksigen sehingga timbul kematian pada mahluk hidup penghuni dasar laut. Fenomena ini bukanlah hal baru di sepanjang pesisir Emilia-Romagna (Italia) tetapi menjadi makin parah selama 10 tahun terakhir dan sangat berhubungan dengan beban polusi dari sungai Po dan sungai-sungai kecil lainnya di sepanjang pesisir tersebut. Masalah yang kedua – dalam kaitannya dengan perairan pesisir Adriatik bagian atas selama musim panas 1988 dan 1989 – adalah disebabkan ekskresi materi-materi yang biasanya dikeluarkan sel alga untuk berbagai tujuan dan yang, pada kondisi yang belum sepenuhnya dipahami, dapat mencapai jumlah sangat banyak seperti yang terjadi pada musim panas 1989. Kesimpulan analisis ini adalah bahwa, walaupun terhadap masalah pertama telah dilakukan tindakan yang cukup berhasil dengan mengatasi sumber-sumber polusi, namun terhadap masalah kedua belum diambil tindakan yang cukup masuk akal.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Eutrofikasi dan Salinitas Rendah Menimbulkan Ledakan Populasi Alga

Vollenweider (1990) dalam Vollenweider et al. (1992) melaporkan bahwa proses eutrofikasi, yang berlangsung selama dua dekade di daerah pesisir Laut Adriatik Barat-laut, menunjukkan sifat-sifat siklus musiman. Pada musim dingin dan musim semi, ledakan besar populasi diatom biasanya terjadi sehinga menimbulkan apa yang disebut “dirty water” (perairan kotor), sedangkan pada musim panas ledakan populasi dinofalgelata menyebabkan “red tide” (pasang merah). Salinitas yang rendah dan masukan zat-zat hara yang banyak dari Sungai Po, Italia, serta sungai-sungai kecil lainnya mendorong timbulnya ledakan populasi alga ini. Kasus kehabisan oksigen di perairan dasar laut menyebabkan kematian ikan dan gangguan-gangguan lain yang berdampak buruk bagi perikanan. Ledakan populasi alga selama bertahun-tahun dan dua kejadian pembentukan lendir selama musim panas 1988 dan 1989 menjadi ancaman serius bagi industri pariwisata regional.

Baca juga :
Kematian Masal Ikan

Keracunan Akibat Ledakan Populasi Alga Hijau Biru

Hashimoto (1979), dengan mengutip beberapa peneliti, menyatakan bahwa tidak lebih dari 10 spesies alga hijau-biru bertanggung jawab atas ledakan populasi alga beracun, namun sejumlah besar spesies lain juga dapat menyebabkan ledakan populasi. Spesies yang paling bertanggung jawab adalah Microcystis aeruginosa dan kemudian Aphanizomenon flos-aquae. Microcystis aeruginosa bertanggung jawab atas lebih dari 50 % semua kejadian ledakan populasi alga. Telah dilakukan pengamatan pada tikus daya racun alga hijau-biru penyebab ledakan populasi. Racun dari Anabaena flos-aquae (atau Anabaena lemmermannii), salah satu penyebab ledakan populasi alga, dapat membunuh tikus dalam waktu singkat bila disuntikan atau diberikan lewat mulut kepada binatang itu. Burung air sangat kebal terhadap racun Microcystis, tetapi rentan terhadap racun Anabaena. Jadi ledakan populasi Anabaena kadang-kadang berbahaya bagi burung air karena daya acun akutnya.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kebutuhan Energi, Lipida, Asam Amino dan Mineral Pada Ikan

Arsip Cofa No. C 057

Kebutuhan Energi Pada Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa apa pun yang dimakan ikan, tanpa memperdulikan komposisi dan sifat makanan itu, harus mengandung cukup energi untuk mempertahankan proses-proses metabolik basal serta tersedia untuk pertumbuhan dan reproduksi. Kebutuhan energi ini bervariasi lebar sesuai dengan ukuran dan spesies ikan dan sesuai dengan suhu lingkungan serta tingkat aktivitas ikan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa seekor ikan rainbow trout yang sedang tumbuh dengan berat 100 gram memerlukan sekitar 3,1 kcal/hari pada suhu 15 °C. Ransum pakan trout standar mengandung sekitar 2200 kcal energi yang dapat dimetabolisasi per kilogram sehinga 3,1 kcal bisa disediakan oleh 1,4 g pakan/hari. Ikan dengan berat tubuh selain 100 gram perlu makan sebanyak 1,4 % berat tubuhnya per hari. Ikan pada suhu di atas atau di bawah 15 °C menunjukkan laju makan yang disesuaikan ke atas atau ke bawah, berturut-turut. Penelitian lain menunjukkan bahwa ikan sockeye salmon mencapai efisiensi pertumbuhan maksimal pada tingkat ransum sekitar 4,5 % berat tubuh dan bahwa makanan yang melebihi sekitar 6 % berat tubuh akan dikeluarkan lagi dari tubuh.

Baca juga :
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan dan Konsumsi Makanan

Kemampuan Ikan Memanfaatkan Kandungan Energi Dalam Makanan

Menurut Smith (1982) komponen makanan yang berbeda menyediakan energi dengan jumlah berbeda sesuai dengan kandungan energi dan daya cernanya. Lemak paling kaya energi – 9,45 kcal/gram – dan ikan trout, salmon serta lele bisa memperoleh sekitar 8,0 kcal/gram dari lemak ini setelah dicerna dan diasimilasi. Protein memiliki nilai energi 4,65 kcal/gram, dari nilai ini yang bisa dimanfaatkan sekitar 3,9 kcal/gram. Karbohidrat mengandung sekitar 4,1 kcal/gram, dari nilai ini yang bisa dimanfaatkan sangat bervariasi tergantung pada daya cerna karbohidrat tersebut. Glukosa dan gula sederhana lainnya menyediakan sampai 4,0 kcal/gram, sedang kanji hanya menyediakan sekitar 1,6 kcal/gram dan selulosa menyediakan energi hampir nol. Gambaran ini menjelaskan kebiasaan ikan salmonidae memangsa binatang lain dan bahwa kebanyakan makanan alaminya adalah binatang, bukannya tumbuhan – sistem metaboliknya sangat efektif untuk protein dan lipida tetapi tidak efektif untuk molekul-molekul besar seperti kanji atau selulosa.

Baca juga :
Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

Kebutuhan Lipida Pada Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa lipida yang dibutuhkan ikan adalah kompleks dan sangat berbeda dengan kebanyakan binatang darat, terutama yang berdarah panas. Perbedaan yag paling menyolok adalah dalam hal titik lebur lipida. Lemak mamalia berbentuk padat pada suhu yang kebanyakan lipida ikan masih cair. Basis kimia perbedaan titik lebur ini adalah panjang rantai karbon dalam molekul asam lemak dan jumlah serta lokasi ikatan tak jenuh dalam rantai karbon itu. Rantai karbon yang lebih pendek dan rantai dengan lebih banyak ikatan tak jenuh mempunyai titik lebur lebih rendah. Kebanyakan lipida dalam makanan alami ikan berasal dari tumbuhan dan mengandung asam-asam lemak dengan rantai sedikitnya 18 atom karbon. Rantai ini memiliki satu sampai tiga ikatan tak-jenuh dan diberi simbol 18:1 (asam oleat), 18:2 (asam linoleat) dan 18:3 (asam linolenat). Rantai-rantai karbon ini bisa dipanjangkan lagi oleh zooplankton dan ikan sehingga menghasilkan rantai dengan panjang 20:3, 22:5 dan 22:6 dengan menambahkan unit-unit dua atom karbon dan menghasilkan pasangan atom karbon untuk menciptakan ikatan tak-jenuh tambahan.

Smith (1982) menambahkan bahwa asam-asam lemak seri 18:3 bersifat esensial untuk pertumbuhan normal pada ikan rainbow trout, sedang seri 18:2 tampaknya sedikit diperlukan. Sebaliknya sedikitnya ada 1 % seri 18:3 di dalam makanan dan kurang dari 2 % seri 18:2 untuk asam lemak ini. Seri 18:1 tampaknya kurang penting dibandingkan seri 18:2. Ikan salmon dan lele mungkin memiliki kebutuhan yang sama. Jumlah total lipida esensial untuk pertumbuhan normal tampaknya sangat bervariasi. Rainbow trout akan tumbuh sangat lamban bila makanannya bebas lemak. Di alam lipida makanan berkisar dari 3 sampai 15 % (9 – 40 % berat kering). Pada beberapa pelet kering pakan trout komersial, kandungan lipidanya 6 – 14 % sedang untuk pelet basah (telah disimpan-beku) kandungan lipidanya 16 – 20 % (berat kering). Jadi kedua jenis pakan komersial ini tidak ada yang mencapai kadar lipida maksimal setinggi yang ditemukan dalam makanan alami.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kebutuhan Asam Amino

Lovell (1998) menyatakan bahwa asam amino dapat dibagi menjadi dua kelompok nutrisi, esensial dan non esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis binatang atau dapat disintesis tetapi dalam jumlah tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan maksimum. Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh binatang dalam jumlah cukup untuk mendukung pertumbuhan maksimum, yang menunjukkan bahwa amino nitrogen tersedia. Kebanyakan binatang monogastrik seperti ikan, membutuhkan 10 jenis asam amino esensial : arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan dan valin. Pada tikus, beberapa asam amino esensial, yaitu arginin, histidin, isoleusin, leusin, metionin, fenilalanin, triptofan dan valin dapat digantikan oleh analog α-hidroksi atau α-keto yang bersesuaian. Pada beberapa kasus, ikan dapat mengganti sebagian asam amino esensial dengan non esensial. Channel catfish tumbuh dengan baik ketika metionin merupakan satu-satunya asam amino bersulfur yang ada dalam makanannya, tetapi tidak ketika sistin menjadi satu-satunya asam amino bersulfur; bagaimanapun, sistin dapat menggantikan sekitar 60 % metionin. Tirosin, sejenis asam amino aromatik non esensial, dapat menggantikan sekitar setengah kebutuhan channel catfish akan fenilalanin yang merupakan asam amino aromatik esensial.

Baca juga :
Gejala-Gejala Defisiensi Nutrisi Pada Ikan

Kebutuhan Gizi Pada Ikan Pemangsa

Virtanen (1992) melaporkan bahwa spesies ikan budidaya di Finlandia kebanyakan adalah predator. Kebutuhan nutrisi ikan jenis ini dicirikan oleh tingginya kebutuhan akan protein dan oleh terbatasnya kemampuan memanfaatkan karbohidrat. Pakan ikan komersial dengan demikian terutama didasarkan pada makanan dengan kandungan protein tinggi, daya cerna protein yang besar dan profil asam amino yang baik, dan didasarkan pada minyak ikan dengan nilai energi tinggi. Pembatasan kandungan protein hanya untuk kebutuhan minimum dan peningkatan kandungan energi akan menurunkan beban nutrien, tetapi meningkatkan resiko ikan menjadi terlalu berlemak. Binatang invertebrata merupakan bagian penting pakan alami ikan salmonidae, tetapi arti penting nutrisinya hampir hanya sebagai sumber pigmen karotenoid.

Baca juga :
Kebutuhan, Pengaruh dan Gejala Defisiensi Vitamin E Pada Ikan

Kebutuhan Mineral Pada Ikan Sidat

Arai (1974) mempelajari pengaruh penambahan mineral ke dalam pakan ikan terhadap pertumbuhan ikan sidat, Anguilla japonica. Pakan kering komersial telah banyak digunakan untuk sidat di Jepang. Bagaimanapun, perhatian kurang diberikan terhadap campuran mineral yang harus ditambahkan ke pakan terseut. Hal ni menyebabkan tidak hanya kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan mineral pada ikan sidat, tetapi juga ketidak tahuan bahwa tepung ikan white fish yang merupakan bahan baku utama mengandung abu kasar setinggi 16 – 20 % namun ketersediaannya bagi sidat masih belum jelas. Sebaliknya, kekompakan pasta pakan kering dianggap sebagai faktor penting dan sejumlah besar kanji kentang diformulasikan dalam pakan komersial untuk sidat sebagai binder (pengikat) dan sumber karbohidrat. Efek negatif campuran mineral terhadap kekompakan pakan diduga menjadi salah satu sebab mengapa pabrik pakan mengabaikan mineral. Telah diketahui bahwa sidat membutuhkan campuran mineral berkadar tinggi untuk pertumbuhan. Bila dipelihara dengan pakan yang mengandung campuran mineral 1 % atau tidak mengandung mineral, pertumbuhan sidat terhenti dalam 2 minggu, diikuti oleh kehilangan berat badan. Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan campuran mineral ke dalam pakan ikan terhadap pertumbuhan sidat Anguilla japonica dengan menggunakan karboksimetilselulosa sebagai binder, dan hasilnya menunjukkan bahwa penambahan campuran mineral sebanyak 2 % memberikan efek menguntungkan terhadap pertumbuhan sidat.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Lamun : Habitat, Pertumbuhan dan Peranan Ekologis

Arsip Cofa No. C 056

Asosiasi Lamun di Dekat Hutan Bakau

Macnae (1968) menjelaskan asosiasi vegetasi pantai laut yang tumbuh di berbagai tipe substrat yang tak berbatu di sepanjang pantai Samudra Hindia dan Pasifik barat. Ia menyatakan bahwa ada kumpulan tumbuhan lamun (sea grass) yang kadang-kadang dijumpai di zona bawah hutan bakau, yaitu asosiasi Cymodocea. Asosiasi ini didominasi oleh salah satu spesies Cymodocea bersama spesies Diplanthera, Enhalus, Halodule, Syringodium, Thalassia dan Zostera.

Baca juga :
Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Variasi Genetik dan Asal Usul Spartina anglica

Lamun penghuni rawa asin Spartina anglica merupakan salah satu contoh klasik spesiasi alopoliploid. Tumbuhan ini berasal dari pantai selatan Inggris pada akhir abad ke-19 sebagai akibat penggandaan kromosom pada Spartina x townsendii, spesies hibrida antara spesimen asli Inggris Spartina maritima dengan spesies yang diintroduksi dari Amerika Serikat, Spartina alterniflora. Sifat-sifat asli Spartina anglica belum jelas; tidak diketahui apakah ia memiliki asal tunggal atau ganda. Untuk mengetahui masalah ini, Raybould, et al. (1991) melaklukan survei variasi genetik pada spesies induk Spartina anglica dengan menggunakan elektroforesis isozyme. Hasilnya menunjukkan bahwa Spartina alterniflora tidak memiliki variasi yang bisa dideteksi dan bahwa Spartina maritima memiliki derajat variasi yang sangat rendah (Raybould et al., 1991).

Pengaruh Nitrogen dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan Lamun

Bulthuis et al. (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan lamun Heterozostera tasmanica den Hartog di sedimen berpasir di teluk Port Philip Bay, Australia tenggara, dibatasi oleh kandungan nitrogen (tetapi tidak oleh fosfor) di dalam air sela-sela sedimen. Pada musim semi (September) sedimen di bawah Heterozostera tasmanica di 5 lokasi di teluk ini diperkaya dengan nitrogen (1000 g per m2) dan fosfor (20 g P per m2); responnya diukur 5 bulan kemudian pada akhir musim panas (Februari). Di satu lokasi (Rye), nitrogen dan fosfor ditambahkan baik secara terpisah maupun bersama-sama dalam rancangan faktorial 2 x 2; di empat lokasi lainnya nitrogen dan fosfor ditambahkan bersama-sama. Di Rye, pengayaan nitrogen menyebabkan peningkatan konsentrasi nitrogen total di dalam akar/rizoma dan daun Heterozostera tasmanica serta menyebabkan peningkatan secara nyata dalam hal berat kering daun (50 %), kepadatan kumpulan daun (40 %) dan ketinggian kanopi (20 %). Pengayaan fosfor menyebabkan peningkatan konsentrasi fosfor di dalam daun Heterozostera tasmanica tetapi tidak mengubah berat kering daun, kepadatan kumpulan daun maupun ketinggian kanopi.

Baca juga :
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Komunitas Seagrass Tropis dan Peranannya Dalam Menstabilkan Sedimen

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ada tiga komunitas tumbuhan yang penting dalam geografi pesisir di daerah tropis : makroalga (rumput laut) intertidal dan sublitoral pada pantai berbatu, padang lamun (seagrass) di laguna, dan hutan bakau di hamparan lumpur intertidal. Lamun dari dua famili tumbuhan berbunga, Potamogetonaceae dan Hydrocharitaceae, tersebar luas di seluruh daerah tropis. Dua kelompok spesies dapat dikenali : spesies berakar-dangkal yang dapat mengkoloni sedimen teroksidasi dan tak stabil (Halodule, Cymodocea dan Syringodium), dan spesies yang memiliki jalinan kuat akar rhizoma dan membentuk padang lamun dewasa (Thalassia dan Posidonia). Padang lamun muncul sebagai hamparan rumput rapat di perairan dangkal, di mana aksi gelombang dan pasang surut tidak berlebihan; padang lamun bertindak sebagai agen penimbun sedimen yang melayang-layang di dalam air. Spesialisasi spesifik dan generik memungkinkan padang lamun terdapat di berbagai situasi ekologis, termasuk di daerah pembentukan terumbu karang; mereka merupakan komponen yang umum terdapat dalam ekosistem laguna pesisir dan laguna di dalam atol atau di belakang terumbu penghalang. Daun yang luwes dan berbentuk pita memungkinkannnya dapat menahan gerakan air dan juga dapat beregenerasi dengan cepat sebagai respon terhadap grazing (aktivitas memakan tumbuhan) yang dilakukan penyu, duyung, manatee, dan banyak spesies ikan dengan cara yang sama seperti respon Zostera terhadap grazing yang dilakukan angsa di daerah lintang tinggi belahan bumi utara. Di mana sedimen tidak dapat stabil, terdapat spesies lamun pengkoloni; bila sedimen dapat distabilkan, seringkali terbentuk padang lamun permanen yang terdiri dari rumput penyu (Thalassia). Seperti halnya karang dan banyak biota laut lain, flora sea grass Atlantik kurang kaya daripada flora sea grass Indo-Pasifik barat yang memilki tiga per empat dari semua spesies. Ekosistem lamun paling umum terdapat di seluruh daerah Karibia, dan juga di Samudra Hindia serta Pasifik barat.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Lamun Mengurangi Energi Gelombang Laut

Fonseca dan Cahalan (1992) menyatakan bahwa lamun dapat memodifikasi arus air dan komposisi sedimen. Empat spesies lamun, Halodule wrightii, Syringodium filiforme, Thalassia testudinum dan Zostera marina telah dievaluasi kemampuannya dalam mengurangi energi gelombang pada berbagai kombinasi kepadatan tunas (tumbuhan) dan kedalaman air. Persen penurunan energi gelombang per meter hamparan lamun adalah 40 % bila panjang tumbuhan lamun ini sama dengan kedalaman air. Vegetasi lamun hampir sama dengan tumbuhan rawa asin dalam hal kemampuan mengurangi energi gelombang pada basis satuan jarak, tetapi hanya bila kedalaman air seimbang dengan ukuran tumbuhan. Jika lamun muncul sebagai hamparan yang lebar dan dangkal, maka pengaruh lamun terhadap energi gelombang akan besar.

Padang Lamun Sebagai Nursery Ground

McNeill et al. (1992) melaporkan keragaman kelimpahan ikan yang berasosiasi dengan hamparan lamun Zostera capricorni dari 16 lokasi di New South Wales, Australia. Sampel dikumpulkan dari setiap lokasi dengan seine net setiap 3 bulan selama 2,5 tahun. Satu lokasi secara nyata memiliki kelimpahan juvenil lima spesies ikan ekonomis penting yang lebih tinggi selama ketiga musim rekruitmen dibandingkan lokasi-lokasi lain. Lokasi ini adalah di dalam sebuah dermaga kecil di teluk Botani Bay. Antara Juni dan Maret setiap tahun, kelimpahan lima spesies ikan (Acanthopagrus australis, Rhabdosargus sarba, Girella tricuspidata, Achoerodus viridis dan Meuschenia trachylepis) mencapai 73 kali lebih banyak dibandingkan kelimpahan di 15 lokasi lainnya. Bagaimanapun, pada saat-saat lain dalam tahun tersebut, tidak ada perbedaan nyata antara lokasi itu dan 15 lokasi lainnya.

Baca juga :
Komunitas, Ekologi dan Pemanfaatan Rumput Laut

Interaksi Antara Kelp, Bulu Babi dan Lobster

Sebuah studi selama bertahun-tahun menunjukkan adanya jalinan interaksi rumit yang melibatkan produsen primer, herbivora, detritivora dan predator, yang semuanya berpengaruh kuat terhadap perikanan lobster yang sangat ekonomis penting di Nova Scotia. Pertama-tama perlu diperhatikan kejadian-kejadian di Teluk Margaret, Nova Scotia, antara 1968 dan 1976 yang diringkaskan oleh Mann (1977). Zona rumput laut (seaweed) dari garis pasang-surut tinggi, meluas ke zona pasang-surut (intertidal) dan turun sampai ke kedalaman sekitar 30 meter telah disurvei secara rinci pada 1968.

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kepadatan rata-rata bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis dalam rumput laut adalah 37 ekor per m2, tetapi distribusinya tidak merata. Ada gerombolan-gerombolan bulu babi yang padat, melebihi 100 per m2 , di daerah di mana rumput lautnya telah dibersihkan sama sekali hingga meninggalkan daerah berbatu yang hampir tak tertutup dan ada daerah yang penuh ditumbuhi kelp (lamun) dengan kepadatan bulu babi kurang dari 20 per m2. Selama periode sekitar 8 tahun, daerah-daerah ini didominasi oleh bulu babi yang tumbuh makin besar hingga mereka bergabung menjadi satu. Hal ini dilakukan oleh bulu babi-bulu babi yang membentuk gerombolan rapat di tepian hamparan kelp dan bergerak maju memakan tumbuhan tersebut atau menggigit tangkainya sehingga tumbuhan ini hanyut. Populasi bulu babi yang tetap tinggal di bebatuan akan mencegah pembentukan koloni baru mikro-alga yang permanen. Dalam delapan tahun lebih dari 90 % hamparan rumput laut subtidal di Teluk Margaret hancur oleh mereka.

Diduga bahwa, setelah menghabisi alga, populasi bulu babi akan berkurang akibat kelaparan sehingga alga akan kembali muncul. Hal ini tidak selalu benar. Dalam tahun pertama atau kedua setelah pembersihan alga, terjadi rekruitmen besar-besaran juvenil bulu babi. Dalam beberapa tahun berturut-turut intensitas rekruitmen ini melemah, tetapi kelas-kelas tahun yang sangat berhasil bertahan hidup akan tampak karena mendominasi populasi. Kepadatan populasi mula-mula naik sampai ke tingkat sedemikian hingga terlihat pertama kali pada tahun 1968. Setelah 12 tahun, tidak ada kasus rekolonisasi permanen permukaan batu oleh makro alga.

Penjelasan yang menarik mengenai ledakan populasi bulu babi adalah berkurangnya tekanan predator. Predator potensial bagi bulu babi meliputi berbagai jenis ikan, kepiting, bintang laut dan lobster. Di antaranya, hanya lobster yang menjadi sasaran perikanan yang intensif, dan telah ditunjukkan bahwa selama periode 1961 – 1971 hasil tangkapan lobster di Teluk Margaret menurun dari 360 menjadi 90 kg per nelayan, suatu petunjuk yang jelas bahwa biomas lobster sedang menurun. Diduga bahwa ada umpan balik positif dalam system ini, karena meskipun lobster bersembunyi di bawah batu atau meliang sepanjang siang, mereka berkeliaran dan memangsa invertebrata terutama pada malam hari. Lobster muda rentan terhadap pemangsaan oleh ikan, kepiting, anjing laut, dll., dan lobster yang berkeliaran di atas permukaan bebatuan yang tak tertutup pasti mengalami mortalitas yang lebih tinggi daripada lobster yang berkeliaran di sela-sela hamparan padat rumput laut. Selain itu, hamparan rumput laut dengan produktivitas dan keragaman habitatnya yang tinggi mempunyai lebih banyak fauna invertebrata daripada yang dimiliki permukaan bebatuan yang tak tertutup. Karena itu, diduga bahwa daerah di mana hamparan alga telah habis akan mendukung lebih sedikit produksi lobster daripada daerah yang ditumbuh-suburi oleh kelp.

Baru-baru ini studi ini telah dikembangkan agar dapat melingkupi daerah berskala geografis yang lebih luas (Wharton, 1980). Telah diketahui bahwa pada hampir 600 km sepanjang garis pantai Nova Scotia, dari ujung selatan Pubnico sampai Selat Canso di utara, dapat ditemukan rangkaian spasial (tempat terpisah-pisah) komunitas bulu babi yang sangat bersesuaian dengan rangkaian waktu yang diamati di Teluk Margaret. Pada ujung selatan, luas daerah yang ditutup kelp hampir 100 %, sedangkan populasi bulu babi kurang dari 0,1 per m2, dan keberadaan bulu babi ini sulit diketahui, seolah-olah bersembunyi dari predator. Mereka memakan potongan-potongan detritus rumput laut yang berserakan dan hanyut di bawah bebatuan.

Di Tanjung Sable, 20 km timur-laut Pubnico terjadi perubahan mendadak. Dalam beberapa kilometer kepadatan bulu babi meningkat sampai melebihi 40 per m2 dan ada bukti penggerombolan dan perusakan kelp. Beberapa km ke arah timur laut, kepadatan bulu babi melebihi 100 per m2, yang didominasi oleh rekruit baru dan luas daerah yang ditutupi kelp kurang dari 10 %. Jadi, sepanjang 400 km dari garis pantai ada sedikit tapi terlihat dasar laut terbuka yang didominasi bulu babi. Kepadatan bulu babi menurun perlahan dan ukuran rata-ratanya makin ke arah timur laut makin meningkat. Laju pertumbuhan bulu babi yang ada di dasar laut terbuka hanya sekitar sepertiga dari laju pertumbuhan bulu babi penghuni hamparan lebat kelp.

Kesimpulan dari hasil pengamatan ini adalah bahwa terjadi perusakan hamparan kelp di sepanjang pesisir, kecuali di ujung barat daya provinsi ini, dan bahwa kerusakan terjadi bertahun-tahun yang lalu di daerah timur-laut tetapi kerusakan yang terjadi di daerah ke arah ujung barat-daya baru akhir-akhir ini terjadi. Sebenarnya, proses ini masih berlanjut di sekitar Tanjung Sable, dan populasi bulu babi masih mengancam keberadaan hamparan kelp di sekitar Pubnico.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 14 Juni 2012

Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton

Arsip Cofa No. C 055

Perbandingan Ukuran dan Keragaman Spesies Zooplankton di Daerah Tropis dan Daerah Sedang

Fernando (1980) melaporkan bahwa perbandingan fauna zooplankton Cladocera, Copepoda dan Rotifera antara daerah beriklim sedang dan tropis menunjukkan perbedaan yang menyolok dalam hal komposisi ukuran dan keragaman spesies. Ada lebih sedikit spesies dan biasanya berukuran lebih kecil di daerah tropis daripada di daerah sedang baik di utara maupun selatan. Spesies yang lebih besar untuk genus Daphnia dan Simocephalus relatif jarang di daerah tropis, sedangkan anggota-anggota Eurycerus dan Saycia tidak ada. Anggota-anggota famili Holopedidae, Leptodoridae dan Polyphemidae meningkat kelimpahannya ke arah daerah beriklim sedang. Dua kopepoda cyclopoid kecil adalah umum dalam komunitas zooplankton tropis, namun banyak spesies yang lebih besar dan umum di daerah-daerah beriklim sedang tidak ada atau sangat jarang di daerah tropis. Komponen-komponen rotifera utama adalah Keratella tropica dan species dari Brachionus.

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Siklus Tahunan Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton Laut

de Puelles et al (2003) mempelajari perubahan musiman biomas, kelimpahan dan komposisi spesies zooplankton di sebuah stasiun neritik di Laut Balearic antara bulan April 1993 dan Mei 1994. Sampling dilakukan setiap 10 hari di sebuah zona yang dipengaruhi oleh arus utama yang bersirkulasi melewati kanal Mallorca. Tiga puncak utama biomas dan kelimpahan zooplankton telah ditemukan : (1) pada awal musim panas ketika termoklin berkembang, (2) pada musim gugur ketika termoklin lenyap, dan (3) pada awal musim semi. Fraksi zooplankton yang lebih kecil (100 – 250 mikron) menyumbangkan rata-rata 32 % dari total biomas dan 73 % dari total kelimpahan. Kopepoda merupakan kelompok yang dominan (64 % dari total kelimpahan) dengan Clausocalanus, Oithona dan Paracalanus sebagai genus-genus paling melimpah. Paracalanus parvus, Clausocalanus furcatus, Acartia clausi, Oithona plumifera, Temora stylifera, Centropages typicus dan Oncaea mediterranea merupakan spesies-spesies yang paling melimpah di daerah ini. Kelompok lain yang melimpah adalah cladocera (15 %) dan larva meroplankton (12 %; meroplankton merupakan plankton-sementara yang bila sudah tumbuh besar tidak menjadi plankton lagi), kedua kelompok ini sangat melimpah selama periode stratifikasi. Komunitas kopepoda dicirikan oleh spesies-spesies yang disebutkan di atas, yang melimpah selama siklus yang dipelajari. Bagaimanapun, pengaruh kondisi hidrologis Laut Balearic, seperti masuknya massa air Atlantik dan struktur fisik kolom air (stratifikasi dan pengadukan) menyebabkan keragaman zooplankton serta mempengaruhi kemunculan spesies-spesies khas selama siklus tahunan.

Baca juga :
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Komposisi Spesies Zooplankton Laut

Coyle et al. (2008) melaporkan bahwa Laut Bering bagian tenggara memiliki sumber daya perikanan terbesar di Amerika Serikat. Populasi ikan dan organisme liar berkembang dengan dukungan jaring-jaring makanan yang menghubungkan produsen primer dengan predator puncak melalui komunitas zooplankton. Perubahan iklim akhir-akhir ini ke arah kondisi yang lebih hangat bisa mengancam sumberdaya tersebut dengan cara mengubah produktivitas dan rantai makanan di dalam ekosistem Laut Bering tenggara. Komunitas zooplankton telah dipelajari di dekat kepulauan Pribilof dan di tengah-tengah paparan benua Laut Bering tenggara pada musim panas 1999 dan 2004 untuk mendokumentasikan perbedaan dan kesamaan dalam hal komposisi spesies, kelimpahan dan biomas antar daerah dan antar tahun. Antara Agustus 1999 dan Agustus 2004, komunitas zooplankton musim panas di tengah-tengah laut paparan benua bergeser dari spesies besar ke spesies kecil. Penurunan yang nyata diamati pada biomas scyphozoa besar (Chrysaora melanaster), kopepoda besar (Calanus marshallae), cacing panah (Sagitta elegans) dan euphausiid (Thysanoessa raschii, Thysanoessa inermis) antara tahun 1999 dan 2004. Sebaliknya, peningkatan kepadatan secara nyata terlihat pada kopepoda kecil (Pseudocalanus spp., Oithona similis) dan hidromedusa kecil (Euphysa flammea) pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1999.

Baca juga :
Kebiasaan Makan Kopepoda Acartia

Analisis isi perut ikan pollock (Theragra chalcogramma) umur 0 tahun yang ditangkap dari tengah-tengah laut paparan benua menunjukkan pergeseran makanan dari kopepoda besar ke kecil pada tahun 2004 dibandingkan pada tahun 1999. Pergeseran komunitas zooplankton diikuti oleh peningkatan 3 kali lipat stabilitas kolom air pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1999, terutama karena massa air yang lebih hangat di atas termoklin, dengan suhu rata-rata 7,3 °C pada tahun 1999 dan 12,6 °C pada tahun 2004. Peningkatan stabilitas kolom air dan kondisi yang lebih hangat bisa mempengaruhi komposisi zooplankton dengan cara menurunkan produksi primer musim panas dan menseleksi spesies yang lebih toleran terhadap lingkungan hangat oligotrofik (kurang subur). Data suhu dari waktu ke waktu di tengah-tengah laut paparan benua menunjukkan bahwa kondisi yang lebih hangat pada tahun 2004 merupakan bagian dari kecenderungan pemanasan global, bukannya bagian dari keragaman antar-tahun. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa bila iklim di Laut Bering terus-menerus hangat, maka komunitas zooplankton bisa bergeser dari taksa besar ke taksa kecil dan hal ini sangat berpengaruh terhadap predator puncak dan perekonomian yang didukung oleh predator puncak tersebut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Variasi Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton Estuaria

Lonsdale dan Coull (1977) melaporkan bahwa zooplankton di estuaria North Inlet dekat Georgetown, South Carolina, telah dikumpulkan pada selang waktu dua-minggu dari bulan Januari 1974 sampai Agustus 1975 (20 bulan) di empat stasiun. Jumlah zooplankton berkisar dari 377 sampai 84.414 per m3 (rata-rata = 9.257 per m3) dan biomas dari 640 sampai 140.169 mikrogram berat kering per m3 (rata-rata = 16.178 mikrogram berat kering per m3). Puncak utama kepadatan zooplankton terjadi antara bulan April dan Juli pada kedua tahun. Kopepoda (termasuk tahap-tahap larva) merupakan taksa dominan yang menyusun 64 – 69 % dari total jumlah dan biomas zooplankton. Spesies yang paling umum adalah Parvocalanus crassirostris (Dahl), Acartia tonsa Dana, Oithona colcarva Bowman, dan Euterpina acutifrons (Dana). Nauplius cirripedia merupakan meroplankton yang paling umum yang menyusun 13 % dari total zooplankton selama seluruh periode sampling. Kelompok lain yang penting adalah larva bivalva dan cacing polikhaeta serta larva Oikopleura sp. Perbandingan spesies-spesies utama kopepoda dan periodisitas reproduksi mereka dengan yang dikaporkan dalam literatur menunjukkan bahwa fauna North Inlet paling mirip dengan fauna perairan Florida.

Baca juga :
Ekologi Rotifera

Perubahan Kelimpahan dan Komposisi Zooplankton di Sekitar Bendungan

Nogueira (2001) mempelajari pola ruang (spatial) dan waktu (temporal) dalam hal distribusi zooplankton di sebuah bendungan tropis besar selama setahun. Zooplankton disampling di 10 stasiun limnetik. Rotifera merupakan kelompok yang paling kaya dalam hal jumlah spesies dan jumlah individu, terutama di zona-zona peralihan sungai-danau. Mereka dominan selama musim panas di sembilan stasiun sampling, dan berkurang pada musim semi. Spesies utamanya adalah Polyarthra vulgaris, Keratella americana, Keratella cochlearis dan Conochilus unicornis. Polyarthra vulgaris tersebar luas. Keratella lebih melimpah di stasiun-stasiun bagian hulu, sementara populasi padat Conochilus unicornis terlihat di sebuah daerah pinggiran yang terlindung. Di antara kopepoda, Calanoida lebih melimpah pada musim semi sedangkan Cyclopoida melimpah pada musim gugur. Tampak adanya fenomena ”longitudinal gradient” (perubahan perlahan-lahan ke arah hulu-hilir) dalam hal hubungan Calanoida/Cyclopoida, dengan Cyclopoida mendominasi stasiun-stasiun sampling di daerah hulu sedangkan Calanoida melimpah di zona-zona danau yang dekat bendungan. Notodiaptomus iheringi, Thermocyclops minutus and Thermocyclops decipiens merupakan spesies-spesies utama. Diaphanosoma birgei, cladocera yang paling banyak, terutama terdapat di zona-zona danau, sedangkan Moina minuta lebih melimpah di stasiun-stasiun sampling di sungai, yang umumnya berasosiasi dengan Bosminopsis deitersi. Puncak-puncak kelimpahan protozoa tintinnid terlihat di zona-zona bagian hulu selama musim panas dan semi.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Tuna dan Ikan Mirip-Tuna

Arsip Cofa No. C 054

Sumberdaya Tuna dan Ikan Mirip-Tuna

Majkowski (2005) dalam FAO Fisheries Department (2005) menyatakan bahwa sub ordo Scombroidei biasanya merujuk pada ikan tuna dan spesies mirip-tuna. Sub ordo ini mencakup tuna, billfish dan spesies-spesies mirip-tuna lainnya. Beberapa anggotanya merupakan ikan terbesar dan tercepat di laut. Tuna (Thunnini) mencakup spesies paling ekonomis penting karena arti penting ekonomis globalnya dan perdagangan internasional yang intensif untuk tujuan pengalengan dan sashimi (ikan mentah yang dianggap lezat di Jepang dan di makin banyak negara lain). Pada kenyataannya, anatomi beberapa spesies tuna tampaknya sesuai untuk pengalengan. Tuna diklasifikasikan menjadi empat genus (Thunnus, Euthynnus, Katsuwonus, Auxis ditambah Allothunnus) dengan lima belas spesies. Dari genus Thunnus, tuna ekonomis utama adalah albakor (Thunnus alalunga), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna sirip biru Atlantik (Thunnus thynnus), tuna sirip biru Pasifik (Thunnus orientalis), tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii) dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan spesies tuna pasar utama ketujuh. Mereka semua bersifat oseanik, sanggup melakukan pergerakan atau migrasi panjang dan menyumbangkan satu atau dua stok di setiap samudra. Kekecualiannya adalah tuna sirip biru Atlantik dan Pasifik yang penyebarannya terbatas. Tuna sirip biru selatan menyumbangkan stok tunggal yang besar di Samudra Atlantik, Hindia dan Pasifik.

Baca juga :
Bioekologi dan Dinamika Populasi Ikan Layang (Decapterus)

Majkowski (2005) dalam FAO Fisheries Department (2005) menambahkan bahwa tuna yang bukan spesies pasar utama adalah lebih bersifat neritik (hidup di dalam massa air di atas paparan benua); mereka mencakup tuna ekor panjang, tuna sirip hitam (Thunnus atlanticus), cakalang hitam (Euthynnus lineatus), kawakawa (Euthynnus affinis), tuna kecil (Euthynnus alleteratus), tuna peluru (Auxis rochei) dan tuna frigat (Auxis thazard). Billfish (Istiophoridae) terdiri dari marlin (Makaira spp.), ikan layaran (Istiophorus spp.), ikan tombak (Tetrapturus spp.) dan ikan pedang (Xiphias gladius, hanya satu spesies dalam genus ini). Kecuali dua spesies (ikan tombak Mediterania dan ikan tombak sisik bundar), semua billfish mempunyai daerah distribusi geografis yang sangat luas, tetapi tidak semua spesies terdapat di semua samudra. Billfish terutama tertangkap oleh longline (rawai) sebagai hasil samping penangkapan ikan pedang yang ditangkap di daerah-daerah tertentu menggunakan rawai atau harpun. Billfish juga merupakan target olah raga memancing, di mana mereka sangat berharga. Mereka semua merupakan makanan laut yang istimewa. Spesies mirip-tuna lainnya yang penting adalah tuna ramping (Allothunnus fallai), butterfly kingfish (Gasterochisma melampus), wahoo (Acanthocybium solandri), bonito (Cybiosarda, Orcynopsis dan Sarda) serta kelompok ikan tengiri (Scomberomorus spp.). Ikan-ikan tersebut memilki potensi besar terutama di negara-negara berkembang di mana perikanan rakyat dan perikanan rekreasi sekarang menangkap mereka.

Baca juga :
Ikan Kembung (Rastrelliger) : Distribusi, Migrasi, Pemijahan, Makanan dan Pertumbuhan

Distribusi Ikan Scombroidei

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa sumber daya ikan scombroidei di laut tropis mencakup beberapa spesies dari tiga famili : ikan pedang (Xiphias) dari famili Xiphidae, ikan layaran dan marlin (Makaira, Istiophorus dan Tetrapturus) dari famili Istiophoridae, dan tuna (Euthynnus, Katsuwonus, Thunnus) dari famili Scombridae. Sebelas spesies tuna, ikan pedang, ikan layaran dan marlin mendominasi komponen ikan predator besar dalam ekosistem samudra, juga mendominasi hasil tangkapan komersial dari laut tropis terbuka; beberapa spesies dari kelompok ini adalah jarang atau bersifat lokal. Selain itu dua belas spesies lain, yang merupakan ikan kecil mirip-tuna dan banyak di antaranya dikenal sebagai bonito, juga terdapat di daerah yang sama, namun sebagian di antaranya lebih penting dalam ekosistem paparan benua daripada dalam eksosistem samudra terbuka; ikan-ikan tersebut adalah dari genus Sarda (bonito), Auxis (frigate tuna) dan Orcynopsis dari Atlantik tropis, Gymnosarda dari Samudra Hindia, dan Cybiosarda dari wilayah Australia utara. Ikan pedang (Xiphias gladias (bukan gladius ?)), ikan layaran (Istiophorus platypterus) dan marlin biru (Makaira nigricans) adalah, seperti tuna sirip-kuning dan cakalang, merupakan spesies penghuni perairan permukaan tropis di seluruh dunia; seperti pada tuna , juga ada perbedaan distribusi spesifiknya. Mungkin yang paling penting adalah bahwa ikan layaran lebih cenderung terdapat dalam jumlah lebih besar di dekat daratan daripada di samudra terbuka.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa di samping spesies-spesies scombroidei oseanik yang tersebar luas, beberapa spesies terbatas pada satu basin samudra saja, atau bahkan daerah yang lebih sempit. Tongkol (Thunnus tonggol) dan kawakawa (Euthynnus affinis) melimpah di Indo-Pasifik barat, jarang di Pasifik timur dan tidak ada di Atlantik; ikan black skipjack (Euthynnus lineatus) hanya terdapat di Pasifik timur di mana ia sangat umum. Marlin bergaris (Tetrapturus audax) dan marlin putih (Tetrapturus albidus) hanya terdapat di Samudra Indo-Pasifik dan Atlantik, berturut-turut; marlin hitam (Makaira indica) tersebar luas di Indo-Pasifik tetapi hanya kadang-kadang ada di Atlantik. Semua spesies melakukan migrasi musiman dan ontogenetik; beberapa di antaranya ditemukan di seluruh samudra : ikan menjelajah daerah antara tempat pemijahan dan tempat mencari makan hampir sepanjang hidupnya. Ekologi dan migrasi tuna dikendalikan oleh kondisi oseanografi perairan permukaan samudra; suhu, kejernihan air dan keberadaan front (pertemuan dua massa air yang berbeda) samudra dan lain-lain merupakan faktor-faktor fisik utama yang menentukan distribusi ikan-ikan tersebut, sedangkan interaksi antara faktor-faktor fisik oseanografi dan produksi organisme nekton yang merupakan makanan ikan scombroidei besar menentukan keberadaan daerah pencarian makanan ikan tersebut.

Baca juga :
Gerombolan Ikan

Xiphias gladius Memijah di Laut Hitam ?

Gordina dan Bagnyukova (1992) membahas secara ringkas dua butir telur ikan yang dikumpulkan di Laut Hitam dan telah didentifikasi sebagai telur Xiphias gladius. Penemuan ini memberikan bukti tambahan dalam mendukung pendapat bahwa ikan ini kemungkinan memijah di Laut Hitam.

Baca juga :
Ikan Umpan Pada “Pole and Line” dan Longline

Kedalaman dan Suhu Air Habitat Makaira nigricans

Block et al. (1992) melaporkan bahwa pemancar akustik multiplex telah digunakan untuk memantau kedalaman, kecepatan renang, suhu tubuh dan suhu air yang disukai ikan blue marlin, Makaira nigricans, di dekat Kepulauan Hawai pada bulan Juli dan Agustus 1989. Blue marlin yang diteliti berbobot antara 60 sampai 220 kg dan ditelusuri jejaknya selama 1 sampai 5 hari. Semua ikan ini bergerak menjauhi titik penangkapan dan diikuti sampai 253 km dari pulau Hawai. Marlin biru yang ditelusuri ini tetap ada pada kolom air bagian atas setebal 200 m, menghabiskan setengah waktunya dalam lapisan atas 10 m, dan jarang berani ada di bawah termoklin. Pada air dekat-permukaan suhunya adalah hangat secara seragam (25 sampai 27 °C). Suhu air paling rendah, 17 °C, dijumpai pada lapisan terdalam yang pernah dilaporkan (209 m). Perubahan kedalaman yang terjadi dengan cepat dan aktivitas di bawah 10 m biasanya berlangsung kurang dari 60 menit. Suhu otot adalah sama dengan suhu air kecuali ada satu nilai suhu otot 2 °C lebih tinggi yang diamati pada awal penelusuran satu individual.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 09 Juni 2012

Klasifikasi, Morfologi, Distribusi dan Kelimpahan Krustasea

Arsip Cofa No. C 053

Klasifikasi Sub Filum Krustasea

Hickman et al. (2001) menyusun klasifikasi sub filum krustasea. Klasifikasi yang lebih tinggi untuk krustasea adalah komplek dan berubah-ubah akibat penambahan data baru. Klasifikasi berikut berdasarkan pada beberapa sumber dan mengabaikan taksa yang lebih kecil :

Kelas Remipedia (ri-mi-pee’dee-a) (Latin : remipedes, kaki-dayung). Tanpa karapas; protopoda berruas satu; memiliki antena dan antenula biramus (bercabang dua); semua alat gerak pada tubuh adalah sama; alat gerak pada kepala besar dan raptorial (berfungsi menangkap mangsa); ruas maxiliped bersatu dengan kepala. Contoh : Speleonectes.

Kelas Cephalocarida (sef’a-lo-kar’i-da) (Yunani : kephale, kepala, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak). Tanpa karapas; protopoda bersegmen satu, filopodia (kaki seperti daun); antenula uniramus (tak bercabang), antena biramus; tidak ada mata majemuk; tidak ada alat gerak pada bagian perut (abdominal), maksiliped mirip dengan kaki toracik. Contoh : Hutchinsoniella.

Baca juga :
Kebiasaan Makan Kopepoda Acartia


Kelas Branchipoda ((bran’kee-op’o-da) (Yunani : branchia, insang, + pous, podos, kaki). Filopodia; karapas kadang ada kadang tidak ada; tanpa maksiliped; antenula menyusut; ada mata majemuk; tanpa alat gerak abdominal; maksila menyusut.

- Ordo Anostraca (an-os’tra-ka) (Yunani : an-, awalan yang berarti tanpa, + ostrakon, cangkang). Tanpa karapas, tanpa alat gerak abdominal; antena uniramus. Contoh Artemia, Branchinecta.

- Ordo Notostraca (no-tos’tra-ka)(Yunani : notos, punggung, + ostrakon, cangkang) : udang kecebong. Karapas membentuk perisai dada yang besar; memiliki alat gerak abdominal, yang menyusut ke arah belakang; antena menyusut. Contoh : Triops, Lepidurus.

- Ordo Cladocera (kla-dah’se-ra) (Yunani : klados, cabang, + keras, tanduk) : kutu air. Karapas terlipat, biasanya menutupi badan tetapi tidak menutupi kepala; antena biramus; memiliki alat gerak abdominal. Contoh : Daphnia, Leptodora.

- Ordo Conchostraca (kon-kos’tra-ka) (Yunani : konche, cangkang + ostrakon, cangkang). Udang remis. Karapas berkatup-dua (seperti bivalva atau kerang) yang menutupi seluruh tubuh; antena biramus; semua alat gerak badan sama. Contoh : Lynceus.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kelas Maxillopoda (maks-i-lah’po-da) (Latin : maxilla, tulang rahang, + pous, podos, kaki). Biasanya memiliki somit (ruas tubuh) terdiri dari lima ruas cephalic (kepala), enam ruas thoracic (dada), dan empat abdominal ditambah satu telson (perpanjangan ruas terakhir tubuh ke arah belakang), tetapi menyusut; tidak ada alat gerak khas pada perut; mata nauplius memiliki struktur yang unik (mata maxillopoda); karapas ada atau tidak ada.

- Subkelas Ostracoda (os-trak’o-da) (Yunani : ostrakodes, bercangkang). Karapas berkatup dua yang menutupi seluruh tubuh; badan tidak beruas atau ruasnya tidak jelas; alat gerak badan tidak lebih dari dua pasang. Contoh : Cypris, Cypridina, Gigantocypris.

- Subkelas Mystacocarida (mis-tak’o-kar’i-da) (Yunani : mystax, kumis, + karis, udang, + ida, akhiran yang menyatakan jamak/banyak) : udang berkumis. Tanpa karapas; tubuh berruas-sepuluh; telson dengan cabang ekor mirip-cakar; alat gerak kepala hampir mirip, tetapi antena dan mandibula (alat gerak mirip rahang) bercabang dua, alat gerak kepala lainnya tak bercabang; ruas tubuh kedua sampai kelima memiliki alat gerak pendek berruas-satu. Contoh : Derocheilocaris.

- Subkelas Copepoda (ko-pep’o-da) (Yunani : kope, dayung, + pous, podos, kaki) : kopepoda. Tanpa karapas; torak (dada) secara khas memiliki tujuh ruas di mana ruas pertama dan kadang-kadang ruas kedua bersatu dengan kepala membentuk cephalohorax; antenula uniramus; antena bi- atau uniramus;memilki empat sampai lima pasang kaki renang; bentuk parasitik seringkali sangat termodifikasi. Contoh : Cyclops, Diaptomus, Calanus, Ergasilus, Lernaea, Salmincola, Caligus.

- Subkelas Tantulocarida (tan’tu-lo-kar’i-da) (Latin : tantulus, sangat kecil, + caris, udang). Tidak ada alat gerak kepala yang dapat dikenali kecuali antena pada individu betina seksual; memilki stylet di tengah-tengah kepala yang kuat; enam ruas dada masing-masing dengan sepasang alat gerak; ruas abdominal ada enam; ekto parasit mirip-kopepoda kecil. Contoh : Basipodella, Deoterthron.

- Subkelas Branchiura (bran-ki-ur’a) (Yunani : branchia, insang, + ura, ekor) : kutu ikan. Badan oval; kepala dan sebagian besar badan ditutupi oleh karapas pipih, yang bersatu secara tidak sempurna dengan ruas dada pertama; thorax (dada) memiliki empat pasang alat gerak, biramus; abdomen (perut) tidak besegmen, berkeping-dua; mata majemuk; antena dan antenula menyusut; maksilula sering membentuk cakram penghisap. Contoh : Argulus, Chonopeltis.

- Subkelas Cirripedia (sir-i-ped’i-a) (Latin : cirrus, rambut keriting, + pes, pedis, kaki) : barnakel/teritip. Sesil (hidup menempel) atau parasit ketika dewasa; kepala mengecil dan abdomen menyusut; tidak ada mata majemuk berpasangan; ruas badan tidak jelas; biasanya hermafrodit; pada bentuk yang hidup bebas, karapas berubah menjadi mantel yang mensekresi lempengan berkapur; antenula berubah menjadi organ penempel kemudian menghilang. Contoh : Balanus,Policipes, Sacculina.

Baca juga :
Habitat, Distribusi dan Migrasi Lobster Batu


Kelas Malacostraca (mal-a-kos’tra-ka) (Yunani : malakos, lunak, + ostrakon, cangkang). Biasanya memiliki delapan ruas pada torak dan enam plus telson pada abdomen; semua ruas memiliki alat gerak; antenula seringkali biramus; alat gerak dada pertama sampai ketiga sering menjadi maksiliped (jadi, bergabung dengan atau menjadi bagian mulut); karapas menutupi kepala dan sebagian atau seluruh torak, kadang-kadang tidak ada; insang biasanya berupa thoracic epipod (tonjolan di samping dada yang berubah menjadi alat pernafasan).

- Ordo Isopoda (i-sop’o-da) (Yunani : isos, sama, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula biasanya uniramus, kadang-kadang menyusut;mata tidak bertangkai; insang terletak pada alat gerak abdominal; badan umumnya gepeng punggung-perut; alat gerak toracik kedua biasanya tidak berkembang menjadi alat pemegang. Contoh : Armadillidium, Caecidotea, Ligia, Porcellio.

- Ordo Amphipoda (am-fip’o-da) (Latin : amphis, pada kedua sisi, + pous, podos, kaki). Tanpa karapas, antenula sering biramus; mata biasanya tanpa tangkai; insang terletak pada “thoracic coxae” (sendi pada pangkal kaki pertama di bagian dada); alat gerak kedua dan ketiga pada dada biasanya diadaptasikan untuk memegang; bentuk tubuhnya pipih secara bilateral (kanan-kiri). Contoh : Orchestia, Hyalella, Gammarus.

- Ordo Euphausiacea (yu-faws-i-a’si-a) (Yunani : eu, baik + phausi, bersinar terang, + Latin : acea, akhiran yang menyatakan berkaitan dengan) : udang kril. Karapas bersatu dengan semua ruas dada tetapi tidak semuanya menutupi insang; tanpa maksiliped; semua alat gerak dada memiliki eksopoda (kaki luar). Contoh : Meganyctiphanes.

- Ordo Decapoda (de-kap’o-da) (Yunani : deka, sepuluh + pous, podos, kaki) : udang, kepiting, lobster. Semua ruas dada bersatu dengan dan ditutupi oleh karapas;mata memiliki tangkai; tiga pasang alat gerak dada pertama berubah menjadi maksiliped. Contoh : Penaeus, Cancer, Pagurus, Grapsus, Homarus, Panulirus.

Baca juga :
Bioekologi dan Budidaya Kepiting

Fosil Ostracoda dan Kadar Oksigen Masa Silam

Boomer dan Whatley (1992) melaporkan bahwa ostracoda merupakan subkelas dari krustasea kecil yang menghuni sebagian besar lingkungan perairan; mereka telah dilaporkan dari jaman Kambrian sampai masa kini. Sifat-sifat biologi salah satu grup ostracoda laut, Platycopina (Triasik-Masa Kini), memungkinkan mereka untuk lebih sanggup bertahan terhadap penurunan kadar oksigen terlarut. Studi terhadap sejumlah seksi geologi menunjukkan bahwa subordo ini sering mendominasi interval stratigrafi yang kondisinya disaerobik (kekurangan oksigen). Dengan demikian, perubahan komposisi fauna pada jaman Jurasik Bawah di Mochras Borehole, Wales bisa ditafsirkan sebagai serangkaian perubahan lingkungan dengan kadar oksigen berfluktuasi.

Distribusi Kepiting Laut Tropis

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa rajungan tropis merupakan organisme berumur pendek bila dibandingkan dengan lobster batu, dan kebanyakan spesies mungkin bersifat tahunan. Meski beberapa genus, seperti Euphylax di Pasifik Timur, bersifat pelagis dan oseanis dalam hal distribusinya, sebagian besar bersifat neritik dan bahkan estuarin. Pada habitat-habitat ini mereka membentuk komponen penting biomas predator, yang memangsa banyak jenis invertebrata kecil dan ikan kecil. Jenis rajungan Indo-Pasifik barat yang penting adalah Neptunus pelagicus yang terdapat di seluruh kepulauan sebelah barat. Di Atlantik, rajungan biru dari genus Callinectes sapidus dari Atlantik barat merupakan basis perikanan kepiting utama di Karibia dan Teluk Meksiko; Callinectes latimanus (estuaria) dan Callinectes gladiator (paparan benua) merupakan spesies yang serupa dengan yang ada di Teluk Guinea.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Pengaruh Fase Bulan dan Pasang Surut Terhadap Kelimpahan Larva Penaeidae

Goswami dan Goswami (1992) mempelajari larva udang di Estuaria Mandovi, Goa, India, dengan tujuan menentukan waktu, fase bulan dan fase pasang-surut yang tepat untuk mengumpulkan benih udang tersebut dalam skala besar guna kebutuhan akuakultur. Larva dan post larva 8 spesies udang komersial penting ditemukan dalam sampel zooplankton dari permukaan dan dasar perairan. Mereka adalah, dalam urutan kelimpahan, Metapenaeus dobsoni (Miers), Metapenaeus affinis (H. Milne-Edwards), Metapenaeus monoceros (Fabricius), Parapeneopsis stylifera (H. Milne-Edwards), Penaeus merguiensis De Man, Penaeus indicus (H. Milne-Edwards), Penaeus monodon Fabricius dan Penaeus semisulcatus De Haan. Tahap mysis adalah dominan. Bagaimanapun, fase bulan, siklus harian dan naik-turunnya pasang-surut mempengaruhi keberadaan mereka. Lebih melimpahnya tahap protozoea dan misis terlihat dalam sampel yang diambil selama siang hari sedangkan post larva umum dijumpai pada malam hari. Kelimpahan larva udang penaeidae adalah lebih banyak selama bulan purnama dan pasang tinggi daripada selama periode bulan baru dan pasang rendah.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...