Kamis, 26 Juli 2012

Aspek Kimia Pembusukan Ikan

Arsip Cofa No. C 069

Alat Sensor Pemantau Pembusukan Ikan

Pacquit et al. (2006) menjelaskan mengenai sebuah alat sensor, yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi “chemical barcode”, guna memantau kesegaran ikan setiap saat. Sensor ini mengandung zat warna yang peka terhadap pH, yaitu “bromocresol green”, yang memberikan respon melalui perubahan warna-tampak terhadap senyawa-senyawa pembusukan mudah-menguap, seperti trimetilamin (TMA), amonia (NH3) dan dimetilamin (DMA), yang secara kolektif dikenal sebagai “Total Volatile Basic Nitrogen (TVB-N)”. Karakteristik sensor ini telah dipelajari, juga responnya dengan gas amonia. Uji coba terhadap ikan cod dan spesies ikan yang kurang dimanfaatkan membuktikan bahwa respon sensor berkorelasi dengan pola pertumbuhan bakteri dalam sampel ikan sehingga memungkinkan pemantauan pembusukan secara “real-time” pada berbagai spesies ikan. Respon sensor dapat diketahui dengan alat kolorimeter pemantulan-cahaya yang murah dan sederhana yang telah dikembangkan berdasarkan dua “light emitting diode” (LED) dan detektor cahaya.

Baca juga
Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan

Pacquit et al. (2007) melaporkan bahwa industri perikanan sangat tertarik dalam mengembangkan metode cepat untuk mengevaluasi kesegaran ikan dan produk makanan laut secara “real-time”. Salah satu metode tersebut adalah “smart packaging” (pengemasan cerdas) yang bisa memantau produk-produk penguraian mikroba dalam ikan kemasan. Ketika ikan membusuk, maka dilepaskan berbagai senyawa “basic volatile amine” yang dapat dideteksi oleh sensor pH. Alat ini memiliki wadah polimer yang di dalamnya terdapat zat warna peka-pH yang berespon, melalui perubahan warna-tampak, terhadap senyawa-senyawa “volatile” (mudah menguap) hasil pembusukan yang secara umum disebut “total volatile basic nitrogen” (TVB-N). Uji laboratorium terhadap filet ikan segar menunjukkan bahwa sensor tersebut secara akurat mendeteksi peningkatan konsentrasi senyawa amina di dalam kemasan. Respon ini ternyata berkorelasi dengan perubahan populasi mikroba (“total viable count” atau TVC dan Pseudomonas spp.). Selain itu, kebocoran zat warna telah diamati sepanjang waktu untuk mengevaluasi kelayakan formula sensor bagi makanan kemasan.

Baca juga
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Pembusukan Cairan Ikan

Beatty dan Collins (1939) mempelajari proses kimia selama pembusukan cairan yang keluar akibat penekanan daging ikan cod. Perubahan autolisis (perusakan sel oleh enzim milik sendiri) dalam cairan daging ikan cod bisa diabaikan bila dibandingkan dengan perubahan akibat bakteri yang mengkontaminasi cairan tersebut. Selama pembusukan awal, sebagian besar bakteri yang beraksi terhadap cairan ikan adalah disebabkan oleh pertumbuhan anaerob. Kemudian, ketika cairan benar-benar membusuk, oksidasi aerob diduga merupakan proses yang utama bila ada udara. Pembusukan cairan ikan laut selalu terjadi dalam dua tahap tanpa pengaruh ketersediaan udara, pertama adalah oksidasi asam laktat dan gula; tahap kedua adalah oksidasi asam-asam amino dan hidrolisis protein. Tahap kedua merupakan pembusukan tingkat lanjut. Karena produksi trimetilamin terjadi terutama selama tahap pertama, senyawa ini bisa menjadi indikator yang tepat untuk mengetahui kemungkinan terbentuknya senyawa-senyawa beracun akibat penguraian protein dan asam amino.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Peranan Amina Biogenik Dalam Pembusukan Ikan

Al Bulushi et al. (2009) melaporkan bahwa amina biogenik merupakan senyawa non volatil yang dibentuk oleh proses dekarboksilasi asam-asam amino. Walaupun banyak amina biogenik telah ditemukan dalam ikan, hanya histamin, cadaverin dan putrescin yang penting dalam penentuan kualitas dan keamanan ikan. Banyak laporan mengenai hubungan antara histamin dan keracunan ikan scombroid, namun histamin saja tampaknya tidak cukup untuk menyebabkan keracunan makanan. Putrescin dan cadaverin diduga berpotensi mendorong timbulnya keracunan histamin. Dengan memperhatikan pembusukan pada sisi lain, hanya cadaverin yang bisa menjadi indeks yang berguna untuk mengetahui tahap awal pembusukan ikan. Hubungan antara amina biogenik, evaluasi inderawi, dan trimetilamin selama pembusukan dipengaruhi oleh komposisi bakteri dan konsentrasi asam amino bebas. Jumlah bakteri mesofil sebanyak log 6–7 cfu/g ternyata berasosiasi dengan 5 mg histamin/100 g ikan, yaitu batas histamin maksimum yang diijinkan oleh Food and Drug Administration (FDA). Studi in vitro menunjukkan keterlibatan cadaverin dan putrescin dalam pembentukan nitrosamine, nitrosopiperidine (NPIP) dan nitrosopyrrolidine (NPYR), berturut-turut. Selain itu, garam tak murni, suhu tinggi, dan pH rendah mendorong pembentukan nitrosamine, sedangkan natrium klorida murni menghambat pembentukan senyawa tersebut. Memahami hubungan antara senyawa-senyawa amina biogenik dan keterlibatannya dalam pembentukan nitrosamin dapat menjelaskan mekanisme keracunan ikan scombroid dan menjamin keamanan banyak produk perikanan.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Laju Pembusukan Filet, Ikan Utuh Dengan Isi Perut dan Ikan Utuh Tanpa Isi Perut

Fernandez-Salguero dan Mackie (1987) menentukan konsentrasi senyawa volatil (mudah menguap) dan non volatil yang terbentuk dalam ikan hering (Clupea harengus) dan haddock (Melanogrammus aeglefinus) selama penyimpanan sebagai filet dan sebagai ikan utuh dalam es dan pada suhu 5 °C. Perbandingan laju pembentukan senyawa-senyawa amina non volatil utama (histamin, cadaverine dan putrescine) dan trimetilamin menunjukkan bahwa filet ikan haddock membusuk lebih cepat daripada ikan utuhnya yang isi perutnya sudah dibuang, dan bahwa ikan hering yang isi perutnya tidak dibuang membusuk lebih cepat daripada filetnya.

Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Pola Musiman Pembusukan Ikan Yang Disimpan Dalam ES

Grigorakis et al. (2003) melaporkan bahwa ikan sea bream (Sparus aurata) hasil budidaya karamba dari perairan laut Yunani telah disampling pada bulan Januari dan Agustus untuk mengetahui beberapa indikator pembusukan kimiawi dan mikrobiologi selama disimpan 15 hari di dalam es. Ikan musim dingin mencapai populasi mikroba yang lebih banyak (109 dibandingkan 107 untuk ikan musim panas) pada akhir periode penyimpanan. Nilai pH menunjukkan peningkatan setelah 8 hari penyimpanan. TVBN meningkat sedikit dan seragam. Katabolisme adenin nukleotida menunjukkan lambatnya laju dekomposisi “inosine monophosphate” dan akumulasi hipoksantin. Nilai K ikan musim panas pada awalnya lebih tinggi daripada nilai K ikan yang disampling pada musim dingin pada tahap-tahap awal penyimpanan, tetapi lebih rendah pada tahap-tahap akhir ketika pembusukan oleh mikroba terjadi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan musim panas memiliki tingkat aktivitas autolisis yang lebih tinggi tetapi laju pembusukan oleh mikroba lebih rendah.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 20 Juli 2012

Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut

Arsip Cofa No. C 068

Peranan Squalen Dalam Fisiologi

Ahn dan Kim (1991) mengulas hasil-hasil studi mengenai peranan squalen dalam fisiologi. Squalen, sejenis senyawa triterpen asiklik, merupakan “precursor” (bahan awal) penting dalam biosintesis sterol yang menjadi komponen penting penyusun membran pada binatang dan tumbuhan. Squalen ini juga merupakan lipida yang dijumpai pada banyak minyak ikan dan tumbuhan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa squalen bisa dimanfaatkan dalam pengobatan luka lambung, rematik, hipertensi dan penyakit asal-bakteri. Telah dilaporkan bahwa aktivitas anti-jamur yang ditunjukkan oleh amphotericin B terhadap Saccharomyces cervisiae bisa ditingkatkan secara sinergis bila digabungkan dengan squalen. Penelitian lain menunjukkan bahwa lipida semi-murni yang diekstrak dari hati ikan cucut meningkatkan daya tahan inang terhadap infeksi bakteri.

Baca juga
Komposisi Kimia Minyak Ikan

Ahn dan Kim (1991) menambahkan bahwa penelitian-penelitian mengenai lipida serum dalam kaitannya dengan squalen membuktikan bahwa squalen dalam pakan dapat mempengaruhi konsentrasi squalen dalam serum darah manusia serta konsentrasi kolesterol dalam hati tikus. Telah ditunjukkan bahwa squalen pakan yang diserap tubuh menyumbangkan sampai beberapa kisaran kandungan squalen dalam jaringan lemak, secara efektif meningkatkan sintesis kolesterol total dan juga meningkatkan pembuangan kolesterol dalam bentuk asam-asam empedu pada tinja tikus. Bagaimanapun, ada laporan bahwa pemberian squalen lewat mulut menurunkan HDL-kolesterol dan meningkatkan nilai “thiobarbiturate reactive substance” (TBA) serta fosfolipid dalam serum darah dan hati tikus. Juga dilaporkan bahwa squalen meningkatkan secara nyata jumlah leukosit (sel darah putih) yang bersirkulasi serta mendorong penambahan berat relatif limfa dan timus pada tikus. Bagaimanapun, berat relatif hati sedikit berkurang.

Baca juga
Proses Silase dan Dampak Negatif Minyak Ikan

Squalen dan Kesehatan

Narayan Bhilwade et al. (2010) melaporkan bahwa saat ini, peranan produk alami dalam menjaga kesehatan mendapat banyak perhatian, dan berbagai bahan fungsional telah dipelajari secara luas dalam hal kemampuannya mencegah banyak penyakit seperti penyakit “cardiovascular” (pembuluh jantung) dan kanker. Squalen merupakan salah satu contohnya. Produk alami ini tersebar di alam, baik pada tumbuhan maupun hewan, dan terutama dalam organ hati spesies ikan cucut tertentu (famili squalidae) sebagaimana ia diidentifikasi pertama kali sebagai substansi penyembuh dalam minyak hati ikan cucut. Sekarang telah diketahui bahwa squalen merupakan substansi fisiologis yang berfungsi pada tubuh binatang sebagai prekursor dalam biosintesis kolesterol. Sebenarnya, squalen telah lama digunakan sebagai sumber daya makanan fungsional yang menarik, sebagai pelengkap makanan atau bahkan obat karena memiliki sifat fisik yang unik serta banyak fungsi fisiologis seperti anti kanker dan anti “hiper-kolesterolemia” (konsentrasi kolesterol dalam darah yang tinggi). Sifat anti oksidan dan kemampuan squalen mengangkut oksigen menyebabkannya mampu mencegah penyakit kardiovaskuler.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kandungan Squalen dan Lipida Dalam Hati Ikan Cucut Laut-Dalam

Deprez et al. (1990) melaporkan bahwa ikan hiu laut-dalam (terutama cucut anjing) merupakan hasil samping penting pada perikanan trawl yang bertujuan menangkap Hoplostethus atlanticus, sejenis ikan laut-dalam. Untuk menguji apakah hati ikan-ikan cucut ini bisa menjadi sumber squalen dan lipida komersial penting lainnya, sebanyak 16 ikan cucut dari 8 spesies dikumpulkan dari perairan Tasmania pada kedalaman 700 – 1.200 meter selama pelayaran penelitian S02/88 FRV Soela. Ikan hiu tersebut adalah Centroscyrnnus crepidater (longnose velvet dogfish), Centroscyrnnus owstoni (Owston's dogfish), Centroscyrnnus coelolepis (Portuguese dogfish), Deania calcea (shovelnose dogfish), Etmopterus baxteri (Baxter's dogfish), Etmopterus sp. nov. (ikan cucut anjing kerdil tanpa nama), Dalatias licha (kitefin atau seal shark) dan Centrophorus squarnosus (leafscale gulper shark). Konsentrasi squalen, triasillgliserol, diasilgliseril ether, asam lemak total, pristane dan lipida-lipida lain dianalisis dengan kromatografi gas kapiler dan deteksi ionisasi nyala api kromatografi lapisan tipis. Hati ikan cucut tersebut mengandung banyak squalen (15 – 69 % berdasarkan berat), kecual hati Centrophorus squarnosus (1 %), yang mengandung secara tak wajar banyak diasilgliseril ether (79 %). Konsentrasi triasillgliserol dan diasilgliseril ether di dalam hati berkisar dari 1 sampai 26 % dan dari 7 sampai 79 % berdasarkan berat, berturut-turut. C 19 isoprenoid alkane pristane merupakan komponen minor dalam semua sampel (0,01 – 0,56 % berdasarkan berat hati). Tiga jenis asam lemak ester yang banyak ditemukan dalam semua sampel adalah asam lemak palmitat (16 : 0), oleat [18 : 1 (n – 9)] dan eicosa-11-enoic [20: 1 (n - 9)]. Asam lemak poli-tak-jenuh merupakan komponen minor. Data ini menunjukkan bahwa hati ikan cucut menyediakan hasil samping yang berharga dari perikanan trawl laut-dalam.

Baca juga
Pemanfaatan Limbah Ikan dan Udang

Bakes dan Nichols (1995) menganalisis minyak hati dari ikan cucut laut-dalam Somniosus pacificus, Centroscymnus plunketi, Centroscymnus crepidater, Etmopterus granulosus, Deania calcea dan Centrophorus scalpratus untuk mengetahui komposisi lipida, asam lemak dan squalen. Lipida-lipida utama pada semua spesies hiu ini adalah diasilgliseril eter dan triasilgliserol, sedangkan hidrokarbon utamanya adalah squalen. Lipida polar ditemukan dalam jumlah sangat sedikit. Asam-asam lemak mono-tak-jenuh (C 16 : 1, C 18 : 1, C 20 : 1, C 22 : 1 dan C 24 : 1) menyusun 62 – 84 % dari asam-asam lemak. Asam-asam lemak jenuh menyumbangkan 11 – 26 % dari total asam lemak, sedangkan asam-asam lemak poli-tak-jenuh merupakan komponen yang relatif minor (1 – 13 %). Semua ikan hiu memiliki komposisi lipida yang berbeda, tetapi profil diol dan asam lemaknya sama. Tingginya kandungan squalen (50 – 82 % dari semua komponen minyak) dalam semua spesies ikan hiu, kecuali Centroscymnus plunketi dan Somniosus pacificus, menunjukkan bahwa minyak dari ikan-ikan cucut laut-dalam yang dikumpulkan di perairan Australia selatan cocok untuk kepentingan industri.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Bahan dan Pengaruh Pengemasan Terhadap Mutu Produk Perikanan

Arsip Cofa No. C 067

Pengaruh Pengemasan Terhadap Mutu Ikan

Huang et al. (1992) mempelajari pengaruh pengemasan terhadap perubahan kimia dan mutu ikan spot (Leiostomus xanthurus). Ikan spot dibungkus dengan “Saran” (PVDC), “vacuum skin packaged film-to-tray” atau “film-to-film” dengan “intact skin packaging film” (ISPF) atau “vacuum packaged film-to-film” dengan surlyn dan didinginkan pada suhu 4 °C selama 15 hari. Sampel ikan yang dikemas ISPF memiliki amonia yang secara nyata lebih sedikit daripada ikan yang dibungkus. Tak ada perbedaan nyata dalam hal pH atau nilai TBA di antara bahan-bahan kemasan yang diteliti. Pengemasan vakum mengurangi daya hidup mikrobiologis pada ikan sekitar 3 hari bila dibandingkan dengan ikan yang dibungkus Saran. Ikan yang dikemas ISPF vakum film-to-film memiliki daya awet inderawi terlama, sedangkan ikan yang dibungkus PVDC memiliki daya awet tersingkat.

Baca juga
Warna Pada Produk Perikanan

Memperpanjang Daya Awet Ikan Dengan Kemasan Kitosan

Ahn dan Lee (1992) mempelajari efek pengawetan yang ditimbulkan oleh kemasan film (lapisan tipis) kitosan terhadap mutu ikan horse mackerel kering dan sedikit asin. Pada pembuatan film kitosan, kitosan cangkang kepiting “blue crab” dilarutkan dalam asam asetat encer (1,0 %; volume/volume), disaring dan dihamparkan pada lembaran plastik lalu dikeringkan pada suhu 50 ± 2 °C. Film kitosan kemudian dinetralkan dengan NaOH 1,0 N selama 2 jam dan dikeringkan pada suhu kamar setelah pencucian beberapa kali dengan air suling. Produk horse mackerel kering-asin disiapkan dengan mengeringkannya pada suhu 40 ± 2 °C selama 4 jam dalam alat pengering udara panas setelah dikemas dengan film kitosan. Berdasarkan hasil evaluasi inderawi, kemasan film kitosan sangat memperpanjang daya awet horse mackerel kering-asin. Dari hasil evaluasi kimiawi dan inderawi, disimpulkan bahwa pengemasan produk perikanan dengan film kitosan merupakan cara efektif untuk mempertahankan mutu ikan horse mackerel kering-asin.

Baca juga
Bakteri Pada Makanan Laut

Bahan Kemasan Yang Dapat Dimakan Dari Protein Serabut Otot Ikan

Cuq et al. (1995) melaporkan bahwa bahan kemasan biologis berbasis protein serabut otot ikan (myofibrillar protein) telah dikembangkan. Pengaruh konsentrasi protein, pH, suhu dan lama penyimpanan terhadap kekentalan “film forming solution” (FFS; larutan pembentuk lapisan-tipis) telah dievaluasi dengan menggunakan metodologi rancangan percobaan. Tujuan pertama adalah menentukan kisaran percobaan yang layak untuk pembentukan film (lapisan tipis). Nilai pH dan konsentrasi protein memiliki efek interaktif yang kuat terhadap kekentalan FFS. Selama penyimpanan FFS sebelum pencetakan, penguraian-sebagian terhadap komponen-komponen protein berberat molekul tinggi menyebabkan penurunan kekentalan, yang memungkinkan tercetaknya film. Dalam kisaran percobaan untuk pembentukan film, tak ada kondisi yang mempengaruhi sifat-sifat fungsional film tersebut. Kondisi standar adalah sebagai berikut : pH 3.0, konsentrasi protein 2.0 gram protein/100 gram FFS, suhu 25 °C dan lama penyimpanan 6 jam. Sifat-sifat fungsional pengemasan biologis standar adalah sedikit lebih baik daripada yang ditentukan untuk film berbasis protein yang sudah diketahui, dengan daya rentang hampir sama dengan film polietilen berdensitas rendah.

Baca juga
Bau Pada Ikan : Penyebab dan Cara Menghilangkan


Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengemasan Dalam Gas Karbon Dioksida, Oksigen, Nitrogen dan Hampa Udara

Arashisar et al. (2004) melakukan analisis mikroba (jumlah bakteri psikrotrofik, mesofilik aerob dan Enterobacteriacae) dan kimiawi [pH, total volatile bases nitrogen (TVB-N), oksidasi lipida (Thiobarbituric acid reactive substance, TBARS)] terhadap filet ikan rainbow trout (Oncorynchus mykiss) yang disimpan dalam kemasan udara (kontrol), vakum dan “modified atmosphere packaging” (MAP) dengan berbagai kondisi campuran gas pada suhu 4 ± 1 °C. Campuran gas yang dievaluasi adalah 100 % CO2 , 2.5 % O2 + 7.5 % N2 + 90 % CO2 dan 30% O2 + 30% N2 + 40 % CO2. Jumlah bakteri psikrotrofik adalah di atas 1 x 107 cfu/g pada hari ke-12 dalam 100% CO2. Bagaimanapun, jumlah bakteri mesofilik adalah di bawah 1 x 106 cfu/g pada akhir periode penyimpanan 14 hari. Jumlah Enterobacteriaceae secara nyata lebih sedikit di dalam sampel yang dikemas dengan MAP. Oksidasi lipida meningkat dengan cepat setelah 6 hari penyimpanan dalam sampel yang mengandung 30 % O2 . Sedangkan nilai-nilai TBARS minimum dilaporkan untuk filet yang dikemas dalam 100 % CO2 dan kemasan vakum; nilai-nilai TVB-N terendah diperoleh untuk filet yang disimpan dalam kemasan 100 % CO2.

Baca juga
Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan

Kelemahan Teknik Pengemasan Dengan Atmosfer Termodifikasi

Sen (2005), berdasarkan beberapa laporan penelitian, menyatakan bahwa ada beberapa kelemahan pengemasan dengan atmosfer termodifikasi (“modified atmosphere packaging”; MAP). Ikan lebih mudah didinginkan sebelum dikemas daripada setelahnya. Hal ini disebabkan oleh efek isolasi panas yang ditimbulkan oleh bahan kemasan dan oleh rendahnya daya hantar panas yang dimiliki gas (dalam hal ini, atmosfer termodifikasi). Penelitian dengan ikan belanak tropis (Mugil keelarti) menunjukkan perlunya menyimpan ikan kemasan MAP pada suhu di bawah 5 °C. Ikan belanak kecil utuh yang dikemas dalam atmosfer termodifikasi (60 % atau 80 % CO2 dan udara seimbang) kemudian disimpan pada suhu 6 sampai 7 °C memiliki daya awet 2 – 3 hari lebih lama dibandingkan sampel yang disimpan dalam udara biasa. Dari segi komersial ataupun untuk tujuan praktis apa pun, atmosfer termodifikasi pada suhu 5 – 7 °C sekalipun tidak memberikan keuntungan yang berarti. Suhu 0 – 2 °C disarankan untuk menyimpan produk ikan laut kemasan MAP; hal yang sama berlaku pula untuk produk ikan air tawar.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pembuatan, Pengolahan, Komposisi Kimia dan Aroma Kecap Ikan

Arsip Cofa No. C 066

Hepatopankreas Cumi-Cumi Untuk Pembuatan Kecap Ikan

Raksakulthal dan Haard (1992) memanfaatkan hepatopankreas cumi-cumi untuk membuat kecap dari ikan jantan capelin pantai (Mallotus villosus) dan garam (perbandingan berat/berat sebesar 4 : 1). Hepatopankeas cumi-cumi secara nyata meningkakan laju dan derajat hidrolisis protein, pembentukan asam amino bebas dan nilai uji organoleptik. Kondisi optimum untuk fermentasi adalah 20 – 25 °C, garam NaCl 25 % dan pH 6. Nilai uji organoleptik kecap ikan tidak banyak dipengarui oleh enzim pencernaan maupun enzim dari bakteri. Sisa-sisa enzim yang ada dalam larutan garam kecap ikan adalah semata-mata berasal dari hepatopankreas cumi-cumi, dan mempunyai nilai optimum untuk hidrolisis protein pada pH 6 serta merupakan enzim protease sulfhidril yang mencakup dipeptidilhidrolase (katepsin C).

Baca juga
Pemanfaatan Limbah Ikan dan Udang

Kondisi Pengolahan Kecap Ikan Sardin

Bae et al. (1990a) mempelajari kondisi pengolahan sardin (Sardinops melanosticta) utuh menjadi kecap ikan modifikasi. Ikan sardin lumat dihomogenisasi dan dihidrolisis dengan enzim-enzim proteolitik komersial. Nilai optimal pH, konsentrasi enzim dan suhu untuk hidrolisis dengan komplek enzim-2000 adalah 8, 7 % (berat/berat) dan 52 °C, sedangkan nilai-nilai tersebut untuk hidrolisis dengan alkalase adalah 8, 6 % (berat/berat) dan 60 °C. Pada kedua kasus,jumlah air yang masuk-akal, kecepatan agitasi (pengadukan) dan lama hidrolisis adalah 100 % (berat/berat), 100 rpm (putaran per menit) dan 210 menit. Perlakuan panas hidrolisat hasil penyaringan pada suhu 90 °C selama 2 jam dengan 6 % gula inversi adalah cukup untuk menon-aktifkan enzim-enzim ini dan mempasteurisasi hidrolisat tersebut. Aroma, rasa dan warna hidrolisat menjadi lebih baik selama proses pemanasan di mana produk-produk “browning” (goreng-garing) ikut berperanan. Hasil kecap ikan berdasarkan kadar nitrogen amino bebas dan protein dalam sardin utuh mentah adalah sekitar 86 %, dan sekitar 96 % dari senyawa-senyawa kecap ikan ini ada dalam bentuk nitrogen amino bebas.

Baca juga
Produk Ikan Fermentasi

Komposisi Kimia Kecap Ikan Dari Berbagai Negara

Park et al. (2001) mengumpulkan kecap ikan cair (n = 61) dari tujuh negara Asia Tenggara dan Asia Timur untuk dianalisis kandungan asam amino bebas, asam organik, nukleosida dan basa asam nukleat serta kreatin, kreatinin, pH, kadar garam, kadar air dan total nitrogen. Kecap ikan ini dibuat hanya dari spesies ikan seperti teri dan sardin. Nitrogen sebanyak 97,9 % ditemukan untuk semua senyawa yang mengandung nitrogen di dalam kecap ikan Vietnam. Kecap ikan dari Vietnam, Jepang dan Thailand menunjukkan konsentrasi yang tinggi untuk senyawa-senyawa ini, kecuali asam-asam organik, dan pola asam amino yang sangat mirip, sedangkan kecap ikan dari Myanmar dan Laos menunjukkan konsentrasi terendah dan pola asam amino yang berbeda dengan pola di ketiga negara pertama tadi. Kecap ikan dari Korea dan Cina menunjukkan konsentrasi menengah dan pola asam amino yang sama. Dari semua asam organik yang ditentukan, asetat dominan dalam kecap ikan Myanmar dan Cina, yang menunjukkan bahwa fermentasi asam asetat adalah dominan. Dalam kecap ikan dari negara-negara lain, kadar piroglutamat dan laktat adalah tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kreatinin yang berasal dari kreatin selama fermentasi kecap ikan dan hanya mengalami sedikit penguraian bakterial merupakan “marker” (penanda) untuk pengendalian kualitas dalam pabrik kecap ikan, karena penentuannya lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan senyawa lain.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika
Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Aroma Kecap Ikan

Dougan dan Howard (1975) melaporkan bahwa aroma kecap ikan fermentasi terdiri dari tiga macam : aroma keju, daging dan amoniak. Analisis menunjukkan bahwa bau keju dihasilkan oleh asam-asam lemak tingkat rendah, sedangkan bau amoniak disebabkan oleh amonia dan senyawa amina. Aroma mirip-daging jauh lebih komplek dan tidak dianalisis, tetapi telah ditunjukkan bahwa aroma ini mungkin dihasilkan oleh oksidasi atmosfer terhadap “precursor” (bahan-bahan asal) yang masih ada di dalam kecap matang.

Baca juga
Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan

Pengaruh Gula Terhadap Komponen Aroma Kecap Ikan

Bae et al. (1990b) mempelajari komponen aroma kecap ikan dari sardin utuh. Senyawa-senyawa volatil (mudah-menguap) dari kecap ikan sardin (Sardinops melanosticta) utuh yang dibuat dengan campuran 7 % enzim-2000 komplek dan 6 % gula inversi dipanaskan pada suhu 90 °C selama 2 jam kemudian hasilnya dibandingkan dengan kecap yang dibuat tanpa gula inversi. Tiga puluh tujuh jenis senyawa telah diidentifikasi dari seluruh komponen volatil kecap hidrolisat yang dipanaskan tanpa gula inversi dan 43 jenis diidentifikasi dari kecap hidrolisat yang dipanaskan dengan 6 % gula inversi. Cukup banyak 2,3-dihidrobenzofuran dan 2-acetylpyrrole, sedikit 2,5-hidrofuran, 2-etilbutanol, 2-pyrone, 2-asetilfuran, 2,6-dimetilpirazin, 2-asetilpirazin, 5-metil-2-furfural, furfuril asetat, butilpirol dan 2-metil-3-hidroksipiron diidentifikasi dalam kecap hidrolisat panas yang diberi 6 % gula inversi, namun senyawa-senyawa tersebut tidak ditemukan di dalam kecap hidrolisat panas tanpa gula inversi. Jumlah 2-metil-1-propanol, heksana, butil asetat dan butil alkohol menurun, sementara asam asetat dan asam butanoat teridentifikasi sebagai asam-asam lemak volatil.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kerupuk Ikan : Pengaruh Protein Ikan, Garam, Tepung dan Lama Pengukusan

Arsip Cofa No. C 065

Teknologi Produksi Kerupuk Ikan Tradisonal

Siaw et al. (1985) melaporkan bahwa produksi kerupuk merupakan industri rakyat yang penting di Malaysia. Kerupuk merupakan makanan ringan populer di Malaysia dan negara-negara ASEAN. Di negara-negara barat, makanan ini digolongkan sebagai “produk setengah-jadi” atau “intermediet” dan produk makanan ringan yang mengembang. Pada dasarnya, kerupuk dihasilkan melalui proses gelatinisasi tepung kanji dengan air hingga menjadi adonan yang kemudian dibentuk, direbus dan diiris-iris. Irisan-irisan tersebut lalu dijemur dan dicelupkan ke dalam minyak panas agar menjadi produk berpori dengan densitas rendah. Ikan, udang atau bahan makanan lainnya biasanya ditambahkan ke dalam adonan kerupuk. Banyak jenis ikan digunakan, yang paling umum adalah Clupea leiogaster. Ikan dibuang tulangnya secara manual dan dicampur dengan tepung, biasanya adalah tepung sagu (Metroxylon sagu) dan/atau tepung tapioka (Manihot utilissima). Adonan juga diberi garam, monosodium glutamat (MSG), air dan kadang-kadang gula. Bagaimanapun, metode produksinya buruk hingga menghasilkan produk bermutu rendah yang sifat mengembangnya tidak rata, berwarna gelap dengan bentuk, ukuran dan ketebalan bervariasi. Pada dasarnya ia merupakan adaptasi dari teknologi produksi sosis. Produk dari metode ini adalah unggul dalam hal penampilan, bentuk dan sifat mengembang linier serta lebih diterima oleh masyarakat.

Baca juga
Upaya Meningkatkan Mutu Filet Ikan

Metode Ekstrusi Untuk Membuat Kerupuk

Yu et al. (1981) melaporkan bahwa kerupuk telah berhasil dibuat dengan teknik ekstrusi. Derajat pengembangan kerupuk kering ketika digoreng ditentukan oleh suhu ekstruder dan rasio antara ikan dengan tepung tapioka di dalam produk tersebut. Ternyata bahwa sifat mengembang pada kerupuk berkurang dengan bertambahnya ikan.

Kerupuk Ikan Dari Mujair

Yu (1992) menyatakan bahwa kerupuk ikan ikan (fish cracker) merupakan makanan ringan populer di daerah ASEAN. Penjelasan ringkas diberikan mengenai pengolahan kerupuk ikan dari Oreochromis mossambicus, yang melimpah di tambak-tambak di Malaysia, tetapi tidak diterima sebagai ikan bermutu karena warna dagingnya, daging rebus beraroma lumpur dan tulangnya yang banyak. Spesies ikan mujair ini digunakan dalam berbagai kombinasi dengan ikan kembung Rastrelliger kanagurta untuk menghasilkan kerupuk ikan. Uji menunjukkan bahwa kerupuk ini diterima konsumen sampai jumlah mujair yang menggantikan ikan kembung sebanyak 60 %.

Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Hidrolisat Protein Ikan Untuk Campuran Kerupuk

Yu dan Tan (1990) melaporkan bahwa protein dari ikan mujair, Oreochromis mossambicus, telah dihidrolisis dengan menggunakan alkalase 0,61 untuk menghasilkan hidrolisat terlarut semprot-kering. Hidrolisis dilakukan pada suhu 50 °C, dengan rasio satu bagian air dan satu bagian ikan cincang, rasio enzim : substrat 1 : 50 pada pH 8,0. Reaksi diakhiri dengan pemanasan sampai suhu 90 °C selama 20 menit. Setelah netralisasi, fraksi terlarut yang diperoleh sesudah sentrifugasi disemprot-kering dengan alat “mini spray-drier” pada suhu udara 170 °C. Hidrolisat semprot-kering dicampurkan ke dalam kerupuk yang kemudian digoreng sebelum dimakan. Sepuluh persen hidrolisat ternyata memberikan nilai pengembangan linier maksimum. Evaluasi inderawi dengan 20 orang berpengalaman menunjukkan bahwa dalam hal penampilan, kerenyahan dan warna, kerupuk dengan hidrolisat memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan krupuk yang dibuat dari ikan Oreochromis mossambicus dan Sciaena sp. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal total penerimaan untuk ketiga sampel. Krupuk dengan hidrolisat juga memiliki kandungan nitrogen tertinggi.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Protein Ikan Memperbaiki Sifat-Sifat Kerupuk

Kyaw et al. (2001) menyatakan bahwa butiran kanji yang ada di tengah-tengah kerupuk yang mengandung 0 sampai 10 % ikan tidak mengalami gelatinisasi setelah pengukusan 2 jam. Hal ini disebabkan oleh gerakan air dari tengah-tengah menuju ke tepi kerupuk selama pengukusan. Jaringan protein ikan mulai berkembang di dalam adonan yang mengandung 15 % ikan dan jaringan protein ini menjebak molekul-molekul air. Molekul air ini membantu menyempurnakan gelatinisasi. Sifat-sifat viscoelastic (kental-elastis) adonan kerupuk meningkat dengan meningkatnya rasio ikan : kanji dan juga disebabkan oleh pembentukan jaringan protein ikan di dalam adonan.

Pengaruh Ikan dan Garam Terhadap Pengembangan Kerupuk

Cheow et al. (1999), melalui pengamatan mikroskop cahaya terhadap gel kerupuk ikan, menunjukkan peranan protein ikan dalam proses pengembangan kanji. Penambahan garam (20 g/kg) ke dalam kerupuk membantu mendistribusikan kanji secara merata di dalam protein ikan. Pembentukan berkas-berkas tipis otot ikan membantu pengembangan kerupuk. Pada kadar ikan 700 – 900 g/kg, berkas-berkas otot ikan membentuk jaringan kontinyu yang menyebabkan berhentinya pengembangan kerupuk. Dari studi scanning electron microscopy dengan pembesaran kuat, terlihat adanya jalur-jalur mirip “pegunungan yang panjang” di dalam sampel kerupuk yang mengandung 600 – 900 g/kg ikan dengan 20 g/kg garam.

Baca juga
Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan

Tepung Tapioka Untuk Pembuatan Kerupuk Ikan

Yu dan Low (1992) mempelajari pemakaian tepung tapioka pra-gelatinisasi untuk pembuatan kerupuk dengan metode pengeringan dalam tong. Variabel-variabel pengolahan diamati dengan lima macam campuran air : kanji, dengan perbandingan 50 : 50, 60 : 40, 70 : 30, 80 : 20 dan 90 : 10 pada empat suhu yang berbeda : 120.2 °C, 133.5 °C, 143.6 °C, dan 151.8 °C. Hanya kerupuk yang dibuat dari campuran air : kanji dengan perbandingan 70 : 30 yang di-pragelatinisasi pada suhu 133.5 °C, 143.6 °C dan 151.8 °C memiliki sifat pengembangan linier lebih besar daripada nilai penerimaan minimum 77 %. Kerupuk yang mengandung kanji pra-gelatinisasi dan diproduksi pada suhu 133.5 °C paling diterima oleh uji inderawi.

Keunggulan Tapioka dan Sagu Untuk Adonan Kerupuk Ikan

Cheow et al. (2004) mempelajari pengaruh sifat-sifat fisika kimia kanji terhadap pengembangan kerupuk. “Swelling power” (kekuatan-membengkak), daya larut dan pelepasan amylose dari kanji tergantung pada kadar lipida dan protein dalam kanji. Morfologi berbagai butiran kanji yang digunakan dalam gel kerupuk diamati dengan mikroskop elektron scanning. Ukuran butiran kanji yang membengkak di dalam gel diamati secara kuantitatif dengan analisis gambar. Rata-rata panjang dan lebar butiran kanji tapioka dan sagu yang mengalami gelatinisasi dan membengkak adalah lebih besar secara nyata dibandingkan pada kanji gandum, dan akibatnya, pengembangan linier kerupuk yang terbuat dari kanji gandum adalah lebih kecil daripada kerupuk yang terbuat dari kanji tapioka atau sagu. Pengembangan linier berkorelasi positif dengan swelling power dan daya larut kanji. Sifat-sifat tekstur gel kerupuk juga berkorelasi dengan pengembangan linier produk akhirnya.

Baca juga
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan

Lama Pengukusan Terbaik Untuk Adonan Kerupuk Ikan

Yaw et al. (1999) mempelajari pengaruh lama pengukusan terhadap kerupuk. Morfologi butiran kanji di dalam gel kerupuk dengan lama pengukusan berbeda-beda diamati dengan menggunakan “scanning electron microscopy” (SEM). Ada sebuah nilai optimum lama pengukusan kerupuk yang memberikan pengembangan linier paling baik dan tekstur gel kukus paling keras. Hal ini tercapai ketika butiran kanji mengembang sampai ukuran terbesarnya dan sebelum butiran tersebut pecah. Lama pengukusan 20 – 30 menit adalah cukup untuk memasak gel kerupuk. Pengukusan yang terlalu lama akan menghasilkan produk berkualitas rendah serta menambah biaya produksi.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 09 Juli 2012

Upaya Meningkatkan Mutu Filet Ikan

Arsip Cofa No. C 064

Memperbaiki Mutu Filet Ikan Dengan Fosfolipida Kedelai

Murano et al (2008) melaporkan bahwa fosfolipida kedelai diketahui menunjukkan efek antioksidan terhadap minyak dan lemak. Dalam studi ini dipelajari pengaruh fosfolipida kedelai yang terkandung dalam pakan terhadap oksidasi filet ikan. Selama 4 minggu, ikan rainbow trout diberi pakan makanan yang mengandung 0, 1,0 atau 2,5 % fosfolipida kedelai, di mana kandungan lipidanya disesuaikan dengan minyak kedelai. Kemudian dilakukan perbandingan stabilitas oksidasi dalam filet setelah periode pemberian pakan. Dalam filet ikan yang diberi pakan yang mengandung fosfolipida kedelai, kadar “thiobarbituric acid reactive substance” (TBARS) setelah uji oksidasi tampak dihambat secara nyata bila dibandingkan dengan filet ikan yang diberi pakan yang mengandung minyak kedelai. Demikian pula, sintesis malondialdehyde (MDA) dan 4-hydroxyalkenal (HAE) secara nyata terhambat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fosfolipida kedelai memperbaiki stabilitas penyimpanan filet ikan.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Pengaruh Pendinginan dan Karbon Dioksida Terhadap Mutu Filet Ikan

Eifert et al. (1992) melaporkan bahwa ikan stripped bass (Morone) hibrida, yang berasal dari sistem budidaya sirkulasi-ulang, telah dimasukkan ke dalam air dingin atau air dengan kadar CO2 dinaikkan sebelum dibunuh dan difilet. Ikan lain difilet dengan segera (kelompok kontrol) atau 3 jam setelah pengangkutan dan pemanenan (kelompok perlakuan stres). Semua filet disimpan pada suhu 1 – 4 °C. Filet diamati dalam hal ”aerobic plate count” (jumlah bakteri aerob), pH, kompresi/pengepresan, warna dan sifat-sifat inderawi. Filet kelompok perlakuan air dingin memiliki pH tertinggi dan secara nyata paling tidak kompak (dengan kata lain, paling lembek). Pertumbuhan fase logaritma dan tingkat pembusukan oleh organisme tertunda satu hari lebih pada filet CO2 dibandingkan pada kelompok-kelompok lain. Filet perlakuan air dingin secara nyata lebih gelap daripada filet kontrol dan filet perlakuan stres.

Baca juga
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Pengaruh Antioksidan Terhadap Komposisi Asam Lemak Filet Ikan

Sant'Ana dan Mancini-Filho (2000) melaporkan bahwa pengaruh penambahan antioksidan secara in vivo terhadap komposisi asam lemak daging ikan air tawar yang dikenal dengan nama “pacu” (Piaractus mesopotamicus) telah dibuktikan. Empat kelompok (salah satunya menjadi kelompok kontrol) juvenil ikan pacu dipelihara dengan pakan yang isokalori (sama-kalori) dan isoprotein (sama-protein). Sumber lipidanya adalah minyak kedelai; pakan diberi 100 ppm α-tocopheryl acetate, atau 100 ppm BHT atau 1,4 gram ekstrak rosemary (Herbalox®) per kg. Komposisi asam lemak dalam lipida dari berbagai kelompok ditentukan sebelum dan setelah iradiasi sebanyak 2 dan 3 kGy, berturut-turut, guna mengevaluasi efek perlindungan berbagai antioksidan. Demikian pula, “thiobarbituric acid reactive substance” (TBARS) ditentukan pada sampel yang diiradiasi dan tak diiradiasi. Hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan antioksidan mengubah komposisi asam lemak filet. TBARS dan iradiasi memperkuat peranan pentingnya dalam memberikan perlindungan terhadap oksidasi lipida. Di antara semua antioksidan yang digunakan, tokoferol adalah yang paling efisien, sebagaimana ditunjukkan oleh persentase “polyunsaturated fatty acid” (PUFA) yang tertinggi, oleh nilai-nilai TBARS yang terendah dan oleh analisis kadar asam lemak individual pada berbagai dosis iradiasi.


Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng
Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


α- Tokoferol Memperbaiki Mutu Filet Ikan

Harare et al. (1998) meneliti pengaruh tokoferol pakan terhadap stabilitas oksidatif filet ikan salmon Atlantik. Ikan diberi empat jenis pakan yang dilengkapi dengan 150 mg/kg alfa-tokoferol dan berbagai kombinasi γ- dan δ- tokoferol (50 atau 100mg/kg) selama 10 bulan, kemudian ikan dibunuh dan disimpan selama 16 hari di dalam es, atau selama 48 minggu pada suhu −30 °C. Konsentrasi tokoferol dalam filet ikan ketika dibunuh adalah 0,101 ± 0,001, 0,091 ± 0,004 dan 0,025 ± 0,002 kali konsentrasinya dalam pakan untuk α-, γ- dan δ- tokoferol, berturut-turut. Konsentrasi α- tokoferol, tetapi tidak γ- dan δ- tokoferol, dalam filet berkurang agak banyak selama penyimpanan-es dan penyimpanan-beku. Non α- tokoferol melindungi filet dari oksidasi lipida dengan cara yang tergantung-dosis selama penyimpanan beku, tetapi tampaknya bertindak sebagai pro-oksidan selama penyimpanan dalam es. Disimpulkan bahwa α- tokoferol mungkin lebih sesuai dari pada tokoferol campuran sebagai senyawa untuk mengoptimalkan stabilitas oksidatif filet ikan salmon Atlantik.

Baca juga
Daging Cumi-Cumi : Karakteristik, Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi

Pengaruh Vitamin E dan C Dalam Pakan Terhadap Mutu Filet Ikan

Ruff et al. (2003) melaporkan bahwa kualitas filet ikan dipengaruhi oleh kadar antioksidan dalam pakan sebelum ikan dibunuh. Oleh karena itu, sebuah percobaan telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh berbagai konsentrasi vitamin E dan C terhadap mutu filet ikan turbot (Scophthalmus maximus) berukuran-pasar. Turbot dengan rata-rata berat awal 347 ± 20 gram dibagi menjadi empat kelompok dan diberi pakan turbot komersial (60% protein, 12% lemak), dilengkapi dengan α-tocopheryl acetate (mg/kg) dan ascorbyl-2 monophosphate (mg/kg) pada tingkat pemberian pakan sebagai berikut : 500/100, 1000/100, 100/1000, 100/100, berturut-turut. Selama periode pemberian pelengkap pakan yang berlangsung 15 minggu, ikan diberi pakan sekenyangnya dan mencapai berat akhir rata-rata 916 ± 29 gram. Konsentrasi α-tokoferol meningkat secara nyata (P < 0,001) dalam jaringan (yaitu, otot, hati, jantung dan ginjal) ikan yang konsentrasi α-tocopheryl acetate dalam pakannya ditingkatkan. Ikan yang disimpan dalam es, filetnya menunjukkan tingkat oksidasi lipida yang secara nyata lebih rendah (P < 0,001), dan pemudaran warna yang secara nyata lebih lemah (P < 0,001). Peningkatan konsentrasi α-tocopheryl acetate dalam pakan berdampak negatif (P ≤ 0,001) terhadap konsentrasi asam askorbat dalam jaringan otot. Peningkatan konsentrasi vitamin C dalam pakan tidak memberikan pengaruh yang jelas terhadap kualitas filet ikan. Memperpanjang waktu pemberian pakan berdampak negatif terhadap oksidasi lipida (P < 0,001) dan pemudaran warna (P < 0,001). Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar α-tocopheryl acetate dalam pakan bisa mencegah pemudaran warna dan oksidasi lipida pada filet ikan turbot yang disimpan dalam es di toko-toko pengecer.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 03 Juli 2012

Bau Pada Ikan : Penyebab dan Cara Menghilangkan

Arsip Cofa No. C 063

Bau dan Flavor Minyak Ikan

Stansby (1971) melaporkan bahwa bau dan flavor tak enak pada minyak ikan muncul akibat terkontaminasi metabolit, pembusukan protein ikan atau akibat produk oksidasi minyak itu sendiri. Bau dan flavor yang dihasilkan menyebabkan minyak ikan kurang dapat diterima untuk banyak penggunaan. Bau atau flavor dalam daging ternak atau unggas yang diberi pakan yang mengandung minyak ikan lebih banyak disebabkan oleh sifat kondisi poli-tak-jenuh minyak ikan daripada oleh produk oksidasi atau flavor dan bau minyak ikan yang ada dalam pakan tersebut. Bau dan flavor tak enak bisa dihilangkan dengan metode pemurnian minyak ikan atau pada beberapa kasus, ditutupi dengan zat-zat tambahan.

Baca juga
Pembuatan, Pengolahan, Komposisi Kimia dan Aroma Kecap Ikan

Flagelata Penyebab Bau dan Rasa Tak Enak

Hegner (1946) menyatakan bahwa beberapa protozoa flagelata dapat memberikan rasa dan bau tak enak pada air minum. Organisme-organisme ini sering bersatu membentuk koloni dengan bentuk bulat atau bercabang-cabang. Salah satu spesies, yaitu Uroglena, menyebabkan timbulnya bau amis pada minyak hati ikan cod. Dinobryon, yang membentuk koloni bercabang-cabang, juga memberikan bau amis. Bau mirip ketimun masak dan rasa pahit serta pedas dihasilkan oleh Synura. Rasa dan bau minyak aromatik dibentuk di dalam tubuh dan dilepaskan ketika binatang itu membusuk. Dalam jumlah yang sangat sedikit minyak ini menimbulkan bau yang sudah dapat dicium. Sebagai contoh, satu bagian minyak dari Synura dapat dicium dalam 25 juta bagian air. Penambahan sejumlah tembaga sulfat, cukup sedikit saja agar tidak berbahaya bagi manusia dan hewan lain, akan menghancurkan protozoa-protozoa ini serta membebaskan air dari bau dan rasa yang tidak menyenanglan.

Baca juga
Produk Ikan Fermentasi

Bau Tak Enak Pada Ikan Budidaya

Boyd (1982) mengulas beberapa tulisan tentang bau tak enak pada ikan. Beberapa senyawa yang berbau lumut-tanah telah diisolasi dari organisme yang dikultur dan dari perairan alami. Senyawa geosmin (C12H22O) memiliki bau lumut-tanah yang kuat dan senyawa ini disintesis serta diekskresi ke dalam air oleh jamur actinomycetes dan alga hijau-biru. Senyawa-senyawa lain dengan bau lumut-tanah yang telah diisolasi dari kultur actinomycetes dan dari perairan alami adalah “mucidone” dan 2-metilisoborneol. Senyawa-senyawa ini serupa dengan geosmin dalam hal strukturnya. Alga hijau-biru penghasil geosmin, yakni Symploca muscorum dan Oscillatoria tenuis, telah dikultur di laboratorium. Ketika ikan channel catfish dimasukkan langsung ke dalam tangki kultur alga, ikan tersebut menjadi berbau lumut-tanah sama seperti bau alga itu dalam 2 hari, dan ketajaman bau mencapai maksimum setelah 10 hari. Bila ikan yang telah ditempatkan dalam tangki kultur alga selama 14 hari dipindahkan ke air-mengalir yang mengandung filtrat alga dari tangki kultur alga maka ikan tersebut menjadi berbau tak enak dengan kecepatan lebih lambat daripada ikan yang dipelihara secara langsung di dalam tangki kultur alga. Hal ini menunjukkan bahwa ikan bisa menyerap senyawa penyebab bau tak enak tanpa menelan alga tersebut – kemungkinan penyerapan terjadi melalui membran insang.

Baca juga
Komposisi Kimia Minyak Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa alga hijau-biru bersifat autotrof dan tidak memerlukan bahan organik untuk pertumbuhannya. Jadi, pemberian pakan ikan tidak berperanan secara langsung bagi pertumbuhan alga ini. Bagaimanapun, zat-zat hara anorganik yang berasal secara tidak langsung dari pakan mendorong pertumbuhan alga, dan alga hijau-biru sering melimpah di kolam. Actinomycetes bersifat heterotrof dan harus memiliki sumber bahan organik, sehingga pakan yang tak dikonsumsi, feses dan alga mati berfungsi sebagai substrat untuk pertumbuhan organisme-organisme ini. Zat-zat hara yang berasal dari pemupukan atau pun pakan mendorong perkembang biakan organisme penyebab bau tak enak, tetapi bau tak enak dalam ikan tidak terbatas di perairan yang mengalami pengayaan zat hara saja.

Boyd (1982) mengulas sebuah penelitian mengenai timbulnya bau tak enak pada ikan di kolam pemeliharaan. Bau tak enak pada ikan dijumpai sepanjang musim pertumbuhan. Kolam di tanah berpasir, serta kolam di tanah liat subur dengan kesadahan total dan produktivitas tinggi memiliki ikan berbau tak enak. Keberadaan bau tak enak tidak berhubungan dengan kelimpahan plankton atau kematian masal plankton. Selain itu, bau tak enak tidak berhubungan secara mantap dengan sejenis alga atau actinomycetes tertentu. Komunitas fitoplankton di kolam yang ikannya berbau tak enak sama dalam hal komposisi genusnya dengan komunitas plankton di kolam yang ikannya tidak berbau tak enak. Actinomycetes penyebab bau tak enak dijumpai dengan frekuensi yang sama di kolam yang ikannya tidak berbau tak enak maupun di kolam yang ikannya berbau tak enak. Kolam di tanah berpasir dengan air kurang sadah biasanya memiliki ikan berbau tak enak di musim semi atau musim gugur ketika suhu air sekitar 20 °C. Kolam di tanah yang lebih subur dengan air sadah memiliki ikan berbau tak enak selama bulan-bulan musim pertumbuhan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Menghilangkan Bau Tak Enak Pada Ikan Budidaya

Boyd (1982), dengan mengulas sebuah laporan, menyatakan bahwa bau tak enak bisa dihilangkan dari ikan dengan memeliharanya di dalam air mengalir yang bebas dari senyawa-senyawa penyebab bau tak enak. Tergantung pada suhu air dan derajat ketidak enakan bau, senyawa penyebab bau tak enak pada ikan channel catfish bisa dihilangkan dalam waktu 5 – 15 hari. Terjadi kehilangan berat badan 9 – 17 % ketika ikan yang berbau tak enak dicuci menurut prosedur tersebut. Kehilangan berat ini disebabkan ikan tidak makan selama prosedur tersebut. Selain itu, ada beberapa cara lain untuk mengurangi masalah bau tak enak dalam kultur ikan kolam. Limbah pakan sebaiknya dikurangi dengan menggunakan pakan yang bagus tanpa kelebihan jumlah. Bila mungkin, air dalam sistem kultur diganti untuk mengurangi pertumbuhan organisme penyebab bau tak enak. Kontrol kimia terhadap fitoplankton disarankan. Bagaimanapun, cara ini dipertanyakan karena dapat menyebabkan kehabisan oksigen. Juga dilaporkan bahwa peningkatan kekeruhan air baik secara mekanis maupun menggunakan ikan pemakan-dasar akan menekan pertumbuhan fitoplankton. Cara ini juga dipertanyakan.

Baca juga
Warna Pada Produk Perikanan

Cairan Buah Jeruk Untuk Menghilangkan Bau Sardin Panggang

Asahara dan Nishibori (1992) mempelajari pengaruh cairan buah jeruk dalam menghilangkan bau sardin panggang dengan uji gabungan analisis inderawi, kromatografi gas dan kromatografi gas-spektrometri massa. Dengan uji inderawi, ternyata bahwa bau sardin panggang jelas hilang dengan penambahan jeruk. Lima karbonil, satu alkohol dan sepuluh hidrokarbon yang diidentifikasi dalam sardin panggang juga terdeteksi dalam sardin panggang yang diberi cairan buah jeruk, dan pola kedua kromatografi gas senyawa-senyawa mudah-menguap ini pada dasarnya adalah sama. Bagaimanapun, alfa-pinene, beta-pinene, myrcene , d-limonene dan gamma-terpinene ditemukan hanya pada sardin panggang yang diberi cairan buah jeruk, dan telah dibuktikan bahwa senyawa-senyawa ini berasal dari jeruk.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...