Kamis, 30 Agustus 2012

Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan

Arsip Cofa No. C 071

Pendinginan Ikan

Sen (2005) menyatakan bahwa pendinginan ikan merupakan suatu proses di mana suhu ikan diturunkan sampai mendekati tetapi tidak di bawah titik beku air (yaitu 0 °C). Perlakuan ini menunda proses biokimia maupun bakteriologis di dalam ikan sehingga memperpanjang lama penyimpanan ikan dan produk ikan. Proses biokimia dan bakteriologis dalam produk pendinginan hanya terhambat dan tidak berhenti akibat penurunan suhu. Selama suhu dingin dipertahankan, penurunan kualitas ikan tetap lambat. Kualitas produk pendinginan tergantung terutama pada kualitas awal ikan, metode dan lama pendinginan serta efisiensi penyimpanan. Tujuan utama pendinginan adalah memaksimumkan peluang pengawetan nutrisi alami dan sifat-sifat fungsional ikan. Ikan bisa didinginkan dengan es atau dengan pendingin homogen seperti udara dingin atau cairan dingin (air tawar, air garam atau air laut). Es digunakan dalam bentuk hancuran es atau serpihan es. Air tawar dingin dipakai untuk pendinginan tingkat ringan. Untuk mencapai suhu 0 °C sampai 1 °C, digunakan air laut dingin atau air garam dingin.

Baca juga
Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan

Daya Awet Ikan Tengiri Selama Pengesan

Jhaveri et al. (1982) memantau pola pembusukan ikan tengiri Atlantik (Scomber scombrus L.) yang disimpan dalam es dengan menentukan kadar trimetilamin (TMA), “total aerobic plate count” dan kadar histamin. Akumulasi hipoksantin dipakai sebagai indeks kesegaran, dipadukan dengan evaluasi inderawi terhadap ikan segar. Hasil-hasil pengujian menunjukkan bahwa ikan tengiri tetap segar di dalam es selama penyimpanan sampai 9 hari, setelah itu akumulasi bakteri, TMA dan histamin berlangsung dengan cepat. Kadar hipoksantin meningkat antara periode penyimpanan 0 – 10 hari dan tampaknya bertambah dengan laju sedikit lebih lambat hingga hari ke-16, kemudian berkurang.

Baca juga
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) : Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi

Pendugaan Daya Awet Ikan Yang Disimpan Dalam Es

Kyrana et al. (1997) melaporkan bahwa ikan gilthead sea bream (Sparus aurata) telah disimpan dalam es yang sedang meleleh (0 °C) selama periode 24 hari sejak saat panen. Pendugaan inderawi terhadap ikan mentah utuh dan daging ikan matang dilakukan pada selang waktu yang teratur. Ikan yang organ dalamnya tidak dibuang diberi nilai tingkat kesegaran EC; E untuk ikan yang disimpan sampai 3 hari, nilai A untuk 7 hari berikutnya, dan nilai B untuk 4 hari kemudian serta nilai C (tidak layak) untuk hari-hari setelahnya. Nilai inderawi untuk flavor filet ikan matang menurun secara linier sejalan dengan bertambahnya periode penyimpanan : flavor khas segar ada selama 2 – 4 hari, yang berkurang menjadi agak hilang setelah 10 – 12 hari. Bau tak enak tercium pada penyimpanan 13 – 15 hari dan pada hari ke 18 sampai 19 daging ikan menjadi tidak enak dimakan. Kecuali mungkin untuk hipoksantin, tak satupun senyawa kimia yang dipelajari bisa menjadi indikator perubahan. Perubahan pH, trimetilamin dan “total volatile base” selama paruh pertama periode penyimpanan daging ikan adalah tidak nyata. Pembusukan lipida daging ikan, yang diduga berdasarkan kandungan asam lemak bebas dan nilai “thiobarbituric acid”, tampaknya tidak menjadi masalah yang serius selama ikan masih awet.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pendugaan Lama Penyimpanan Ikan Dalam Es Berdasarkan Degradasi Nukleotida

Spinelli (1967) mempelajari perjalanan dan laju penguraian nukleotida di dalam otot ikan halibut berbagai ukuran yang disimpan dalam es. Ia juga menentukan distribusi nukleotida dan hipoksantin. Defosforilasi ATP dan deaminasi AMP berjalan sangat cepat pada ikan halibut post-mortem, tetapi defosforilasi IMP agak lambat. Sekitar 2,0 mikroM IMP per gram ditemukan pada ikan halibut yang disimpan dalam es selama 21 hari; 0,5 mikroM IMP per gram ditemukan pada beberapa halibut setelah 41 hari. Laju defosforilasi IMP dan akumulasi hipoksantin bervariasi antar ikan, tetapi tidak berkorelasi dengan ukuran ikan. Baik nukleotida maupun hipoksantin menunjukkan distribusi yang seragam di seluruh otot ikan halibut. Penelitian ini menunjukkan bahwa penentuan nukleotida dan hipoksantin bisa digunakan untuk menduga lama penyimpanan ikan halibut dalam es, tetapi tidak akurat selama 2,5 minggu pertama penyimpanan.

Baca juga
Penyimpanan-Beku dan Penyimpanan-Dingin Telur dan Sperma Ikan

Keunggulan Es Kering Sebagai Pengawet Ikan Jangka Pendek

Jeyasekaran et al. (2004) melaporkan bahwa ikan emperor bream (Lethrinus miniatus) yang disimpan dalam kombinasi es kering dan es air pada tingkat optimum 20 % dan 50 % ternyata masih dalam kondisi bagus sampai 24 jam tanpa pemberian es ulang. Beban bakteri total berkisar dari 104 sampai 107 cfu/g, sedangkan total bakteri psikrofil dari 102 sampai 104 cfu/g. Total laktat ada dalam level 101 sampai 102 cfu/g. Produsen H2S terdeteksi hanya pada jam ke-6 dengan beban 102 cfu/g. Total coliform dan total bakteri anaerob pereduksi sulfit tidak menunjukkan kecenderungan yang konsisten. TVB-N meningkat dari 11,5 sampai 21,1 mg %, sedangkan TMA-N naik dari 1,3 sampai 2,7 mg % pada sampel yang disimpan dalam kombinasi es kering dan es air. TVB-N dan TMA-N pada sampel yang disimpan dalam es air saja adalah tinggi. Hipoksantin bervariasi dari 5,1 sampai 8,2 mg/100 g.

Baca juga
Pengolahan Cumi-Cumi Dengan Tekanan Tinggi dan Pendinginan

Perubahan Komposisi Bakteri Selama Pendinginan

Sen (2005) mengulas laporan-laporan penelitian mengenai perubahan komposisi flora bakteri selama pedinginan ikan. Selama penyimpanan dingin, komposisi genus mikroorganisme yang berhubungan dengan ikan mengalami perubahan besar. Proporsi bakteri mesofil (mikroorganisme yang tumbuh baik pada suhu sedang) yang semula dominan perlahan-lahan berkurang sementara bakteri psikrofil (bakteri yang tumbuh baik pada suhu hampir beku) meningkat. Pada kasus ikan lemuru dan tengiri India, mulanya genus Moraxella, Acinetobacter dan Vibrio menyusun 50 – 70 % dari total mikroflora, sedangkan Pseudomonas hanya 20 %. Pseudomonas yang bersifat psikrofil kemudian menjadi dominan dan menyumbangkan 75 – 80 % dari total flora pada saat pembusukan di dalam es. Pola perubahan seperti ini adalah sama dengan yang diamati pada ikan cod dari perairan dingin dan beriklim sedang (Laut Utara). Flora awal ikan cod North Sea terutama terdiri dari Pseudomonas, Achromobacter, Flavobacterium, Coryneforms dan Micrococcus spp. Komposisi flora ini mengalami perubahan nyata selama penyimpanan dalam es dan, apapun jenis flora awal pada ikan, kelompok Pseudomonas dan Achromobacter meningkat dengan mantap selama tahap-tahap awal pada saat kelompok-kelompok lainnya berkurang, dan kemudian setelah pengesan selama sekitar 15 hari, ketika ikan memasuki tahap awal pembusukan, kelompok Pseudomonas muncul sebagai bakteri dominan yang menyumbangkan 80 – 90 % flora. Pseudomonas mempunyai waktu generasi (dan juga “lag period” (periode ketertinggalan) pertumbuhan) yang paling singkat pada kisaran suhu 0 – 5 °C dan mampu memanfaatkan komponen nitrogen-non-protein yang ada dalam cairan otot ikan sebagai substansi pertumbuhan, sehingga dapat tumbuh dengan cepat melampaui bakteri-bakteri lain yang ada dan menjadi dominan dalam populasi yang meningkat sampai 108 bakteri per cm persegi.

Sen (2005), berdasarkan hasil-hasil beberapa penelitian, menyatakan bahwa kelompok Aeromonas merupakan pembusuk paling penting pada ikan rohu (Labeo rohita). Hal ini berlawanan dengan hasil pengamatan bahwa Pseudomonas adalah pembusuk utama pada ikan laut yang disimpan dalam es. Dua laporan lain menyebutkan bahwa proporsi Pseudomonas meningkat dengan mantap selama pengesan ikan mas dan mujaer (Oreochromis mossambica) hasil budidaya hingga bakteri ini mencapai 50 – 70 persen dari total flora pada saat pembusukan. Cukup aneh bahwa meskipun Pseudomonas mencapai posisi dominan pada saat ikan ditolak secara oranoleptik, peneliti tidak mencium bau busuk atau bau menyengat yang biasanya terjadi pada kasus pembusukan ikan laut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 27 Agustus 2012

Sosis Ikan

Arsip Cofa No. C 071

Daya Awet Sosis Ikan

Hing et al. (1972) menyatakan bahwa sosis ikan merupakan produk perikanan yang terdiri dari terutama ikan giling dan bahan-bahan lain seperti lemak, kanji, bumbu dan/atau bahan pengawet. Ia dikemas dalam bungkus plastik dan umumnya dipanasi pada suhu 83 – 90 °C selama 40 – 60 menit. Karena perlakuan panas ini tidak cukup untuk membunuh semua mikroorganisme yang terkandung dalam produk, pembusukan menjadi masalah terutama bila disimpan tanpa pendinginan. Industri sosis ikan di Jepang dimulai pada akhir tahun 1953 dengan produksi sekitar 2.000 metrik ton. Pada tahun 1963, produksi naik menjadi lebih dari 118.000 metrik ton. Keberhasilan produk ini disebabkan terutama oleh peningkatan daya awet non pendinginan melalui penggunaan bahan pembungkus impermeable (kedap air) dan bahan pengawet nitrofuran. Bagaimanapun, nitrofuran yang digunakan sebagai bahan pengawet sosis ikan di Jepang dilarang pemakaiannya di Amerika Serikat.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Sosis Ikan Yang Menyehatkan Sebagai Pengganti Sosis Babi

Cardoso et al. (2008) melaporkan bahwa dalam rangka mengembangkan sosis ikan menyehatkan yang rendah lemak dan mengandung “dietary fibre” (DF; serat makanan), tiga perubahan fundamental telah dilakukan terhadap resep asli sosis babi : (1) penambahan 4 % (berat/berat) Swelite® (sejenis serat makanan dari kacang bagian dalam); (2) penggantian daging babi dengan daging cincang ikan hake sebanyak 0 %, 50 % dan 100 %, serta (3) kombinasi penambahan Fibruline® (sejenis serat makanan dari akar tumbuhan chicory) dan daging cincang ikan hake (rasio Fibruline : cincangan ikan hake adalah 2.6 : 5.2, 5.2 : 2.6 dan 7.8 : 0.0, % berat/berat) sebagai pengganti lemak babi. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan Swelite pada sosis babi meningkatkan kekuatan dan kekerasan gel. Sebaliknya, makin banyak daging babi yang digantikan oleh daging ikan hake menyebabkan pengurangan kekuatan dan kekerasan gel. Terakhir, sosis tanpa lemak babi menunjukkan parameter-parameter tekstur dan warna menjadi lebih baik. Sosis yang mengandung banyak Fibruline kurang kompak dan lebih mudah dikunyah daripada sosis lemak babi (kontrol), dan juga menunjukkan kekuatan gel yang lebih besar. Sosis yang mengandung sedikit Fibruline memiliki sifat-sifat tekstur yang hampir sama dengan sosis kontrol, kecuali dalam hal kekerasan dan derajat kelengketan. Jadi, dengan memperhatikan beberapa parameter tekstural kunci, adalah mungkin untuk memproduksi sosis ikan rendah-lemak yang mirip dengan sosis babi asli.

Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Nisin Untuk Mengawetkan Sosis Ikan

Raju et al. (2003) mempelajari efisiensi nisin pada tiga konsentrasi, 12.5, 25 dan 50 ppm, dalam mempertahankan kualitas sosis ikan yang dibungkus dengan kemasan sintetis pada suhu kamar (28 ± 2 °C) dan suhu dingin (6 ± 2 °C). Kekuatan gel, kadar air yang keluar ketika sosis ditekan, “total volatile base nitrogen”, “total plate count” dan jumlah spora aerob dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan konsentrasi nisin. Sosis ikan yang diberi perlakuan 50 ppm nisin masih dapat diterima setelah penyimpanan pada suhu kamar selama 20 – 22 hari dibandingkan dengan kontrol, yang diterima hanya selama 2 hari. Daya awet sosis, pada suhu dingin, bervariasi dari 30 hari pada kontrol sampai 150 hari pada sampel yang diberi perlakuan 50 ppm nisin. Residu nisin berkurang perlahan-lahan di dalam sampel yang disimpan pada suhu dingin, namun dalam sosis ikan yang disimpan pada suhu kamar, pengurangan residu ini berlangsung cepat. Nisin pada konsentrasi 50 ppm memberikan pengaruh nyata (P = 0.05) terhadap kekuatan gel dan semua kriteria penerimaan, baik pada suhu kamar maupun suhu dingin.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penambahan Kitosan Pada Sosis Ikan

López-Caballero et al. (2005) melaporkan bahwa sosis ikan cod yang diberi kitosan (1,5 %), sejenis polisakarida asal kitin dari cangkang udang, telah dibuat dengan perlakuan tekanan-tinggi (350 MPa/7 °C/15 menit). Warna, sifat reologis (perubahan bentuk dan aliran materi), indeks biokimia (pH, total volatile basic nitrogen , thiobarbituric acid index) dan jumlah mikrobiologi (total bakteri, bakteri asam laktat, enterobacteria, pseudomonad, staphylococci) ditentukan selama penyimpanan dingin pada suhu 2 ± 1 °C. Penambahan kitosan dalam bentuk kering menyebabkan elastisitas dan “yellowness” (derajat kekuningan) meningkat secara jelas. Bila kitosan ditambahkan dalam bentuk larutan, maka “total volatile basic nitrogen” tetap stabil selama 25 hari penyimpanan. Dalam hal jumlah mikroba, kitosan terlarut tidak memberikan efek nyata pada sosis hasil perlakuan tekanan-tinggi. Bagaimanapun, bila kitosan ditambahkan dalam bentuk kering, jumlah mikrobanya dilaporkan lebih banyak.

Baca juga
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan

Bakteri Pada Sosis Yang Difermentasi

Aryanta et al. (1991) melaporkan bahwa campuran sosis ikan belanak cincang yang diberi gula, garam, nitrat, nitrit dan rempah-rempah telah difermentasi (48 jam, 30 °C) oleh flora indigenous (yaitu, flora yang secara alami ada di dalam bahan makanan tersebut) atau oleh kultur starter (Pediococcus acidilactici). Ekologi mikroba dan perilaku berbagai bakteri dipantau. Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum mendominasi fermentasi indigenous, hingga mencapai populasi 107–108 cfu/g pada jam ke 48, dan menurunkan pH menjadi 4,5 – 4,7. Pertumbuhan Staphylococcus aureus warneri, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Micrococcus varians dan Micrococcus leteus secara nyata (105–107 cfu/g) juga terjadi selama fermentasi ini. Pertumbuhan yang lambat ditunjukkan oleh Bacillus megaterium dan ragi. Pediococcus acidilactici mendominasi fermentasi bila ia diinokulasi sebagai kultur starter, tetapi bakteri asam laktat (Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum) indigenous juga tumbuh sampai 107–108 cfu/g. Pertumbuhan ragi dan bakteri lain terbatas selama fermentasi dengan kultur starter. Inokulum Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Salmonella sofia dan Staphylococcus aureus tumbuh sampai 106–107 cfu/g dalam campuran sosis selama fermentasi indigenous. Petumbuhan yang lebih lambat terjadi pada Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Vibrio parahaemolyticus. Pertumbuhan bakteri-bakteri ini secara nyata terhambat di dalam campuran sosis yang difermentasi oleh Pediococcus acidilactici.

Baca juga
Upaya Meningkatkan Mutu Filet Ikan

Perubahan Karakteristik Sosis Ikan Selama Penyimpanan

Sini et al. (2008) menyatakan bahwa sosis merupakan makanan yang umum dikonsumsi dan dikenal luas pada tahun-tahun terakhir ini. Para peneliti menyiapkan sosis dari daging cincang filet ikan rohu (Labeo rohita) dengan menggunakan resep standar, dengan dan tanpa penambahan bahan pegawet potassium sorbate (kalium sorbat) pada konsentrasi yang diijinkan dan dikemas menggunakan bahan alami. Sosis yang dihasilkan memiliki penampilan yang menarik dan bersifat lentur (dapat kembali ke bentuk semula meskipun diregangkan). Sosis ini kemudian dievaluasi dalam hal sifat-sifat fisika, kimia, organoleptik dan mikrobiologis selama penyimpanan pada suhu 5 °C dan 25 °C. Setelah 2 hari disimpan pada suhu kamar, sampel kontrol (tanpa kalium sorbat) kehilangan sifat kohesif (dengan kata lain menjadi tidak kompak) dan tampak seperti pasta lengket kemudian cairan kental keluar dari pembungkus akibat fermentasi yang diikuti pembentukan gas, sebagaimana dibuktikan oleh bau fermentasi, penurunan pH dan peningkatan jumlah bakteri total. Pada kasus sampel sosis yang diberi kalium sorbat, gejala-gejala pembusukan seperti ini terjadi pada hari ke-4 penyimpanan. Demikian pula, sampel kontrol pada suhu dingin (5 °C) ditemukan membusuk setelah 13 hari penyimpanan sedang sosis berbahan pengawet membusuk setelah 16 hari.

Baca juga
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) : Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi

Perubahan Tekstur Sosis Ikan Selama Penyimpanan Dalam Es

Chantarat et al. (2005) memepelajari perubahan kimiawi dalam otot ikan dan “natural actomyosin” (NAM) dari otot ikan bigeye snapper (Priacanthus tayenus) dan lizardfish (Saurida undosquamis) selama 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hari penyimpanan dalam es. “Myosin heavy chain” (MHC; rantai berat myosin) dari NAM yang diekstrak dari kedua ikan mengalami penguraian selama penyimpanan dalam es. Bagaimanapun, tidak terjadi perubahan actin. “Total volatile base” (TVB), trimethylamine (TMA) dan daya hidrofobi (menolak-air) meningkat, sedangkan total konsentrasi sulfhidril dan kapasitas emulsi NAM dari kedua spesies ikan berkurang secara nyata sejalan dengan makin lamanya penyimpanan (p < 0.05). “Texture Profile Analysis” (TPA) dan “shear force” (kekuatan pecah) sosis ikan emulsi yang dibuat dari kedua spesies yang disimpan dalam es selama 0, 4, 8 dan 12 hari diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa kekerasan, daya kohesi (kekompakan), derajat kelengketan, “chewiness” (kemudahan dikunyah) dan shear force sosis yang dibuat dari ikan yang dies adalah lebih rendah daripada yang dibuat dari ikan segar. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan nyata dalam hal kelengketan. Kehilangan selama pemasakan sosis ikan emulsi dari kedua spesies ikan meningkat selama waktu penyimpanan (p < 0.05). Tekstur sosis ikan big eye snapper adalah lebih baik daripada sosis ikan lizardfish. Gambar mikrograf “scanning electron microscop” (SEM) untuk sosis ikan emulsi dari kedua spesies menunjukkan bahwa sejalan dengan makin lamanya penyimpanan maka rongga-rongga kosong menjadi lebih besar, serat menjadi lebih tebal dan serabut protein menjadi kurang kontinyu. Perubahan-perubahan mikrostruktural lebih banyak diamati pada sosis yang terbuat dari ikan lizardfish dibandingkan dengan sosis yang dibuat dari bigeye snapper.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 22 Agustus 2012

Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan

Arsip Cofa No. C 071

Karakteristik Lendir Ikan Menentukan Jenis Bakteri Pembusuk

Menurut Sen (2005) ikan mempunyai beberapa faktor intrinsik penting yang membuatnya berbeda dengan banyak makanan hewani asal-darat dan yang sangat mempengaruhi karakteristik mikrobiologinya. Banyak di antara faktor-faktor tersebut menyebabkan ikan sangat mudah diserang bakteri. Dibandingkan dengan binatang darat, ikan lebih mudah diserang oleh mikroorganisme pembusuk. Flora bakteri yang menyerang ikan selama periode pasca kematian dan menyebabkan pembusukan adalah berhubungan dengan lingkungannya (air, tanah dan udara). Bukti-bukti menunjukkan bahwa karakteristik lendir pada tubuh ikan dan insang bertanggung jawab atas sangat beragamnya flora mikroba baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Demikianlah, flora pada ikan cucut India tidak menunjukkan adanya Pseudomonas spp. walaupun bakteri ini melimpah di dalam air laut. Flora ikan teleostei Australia dicirikan oleh banyaknya bakteri Micrococci sedang flora elasmobranchii dicirikan oleh Coryneform. Hal ini disebabkan oleh efek spesies yang berkaitan dengan karakteristik dan komposisi substrat lendir yang berbeda antar spesies.

Baca juga
Bakteri Pada Makanan Laut

Bakteri Penyebab Pembusukan Ikan dan Produk Perikanan

Gram dan Huss (1996) menyatakan bahwa pembusukan ikan segar dan produk ikan awetan disebabkan oleh aksi mikroba. Shewanella putrefaciens dan Pseudomonas spp. merupakan bakteri pembusuk khusus pada ikan yang diawetkan dengan es tanpa memperhatikan asal ikan. Ikan laut yang disimpan dalam atmosfer termodifikasi yang berasal dari perairan daerah beriklim-sedang dibusukkan oleh Photobacterium phosphoreum yang kebal-CO2 sedangkan bakteri Gram-positif mungkin merupakan pembusuk pada ikan kemasan CO2 yang berasal dari ikan segar atau ikan perairan tropis. Produk ikan dengan kandungan garam yang tinggi mungkin bisa membusuk akibat pertumbuhan bakteri halofil (pada ikan asin) atau akibat pertumbuhan bakteri anaerob dan ragi (pada ikan yang diasinkan dalam tong). Disimpulkan bahwa pembusukan mungkin disebabkan oleh bakteri asam laktat, bakteri psikrotrofik Enterobacteriaceae dan/atau Photobacterium phosphoreum.

Baca juga
Alergi Terhadap Ikan dan Makanan Laut

Pseudomonas Sebagai Bakteri Pembusuk Ikan Yang Dominan

Gillespie dan Macrae (1975) menentukan flora bakteri secara kualitatif dan kuantitatif dari sampel yang diambil pada berbagai tahap penanganan beberapa spesies ikan komersial penting di Queensland. Terjadi peningkatan jumlah bakteri secara keseluruhan selama proses penanganan dan pengolahan; baik komposisi maupun kuantitas flora bakteri dari sampel individual yang diambil pada setiap tahap penanganan adalah sangat bervariasi. Anggota-anggita genus Micrococcus membentuk bagian utama flora bakteri pada ikan yang baru ditangkap. Pseudomonas dan Moraxella spp. dominan di antara flora bakteri yang dapat tumbuh pada suhu 2 °C dan menyumbangkan sebagian besar populasi dalam sampel dengan jumlah bakteri yang banyak. Populasi bakteri psikrofil (bakteri yang tumbuh paling baik pada suhu mendekati titik beku) sangat berkurang pada tahap pemfiletan. Medium yang dibuat dengan penambahan tripsin pada homogenat otot ikan digunakan untuk menguji kemampuan isolat bakteri dalam memproduksi bau. Empat puluh tiga persen isolat pseudomonad memproduksi senyawa-senyawa bau sulfhidril pada suhu 5 °C. Hanya sebagian kecil bakteri dari kelompok lain yang menghasilkan bau yang dapat dideteksi. Anggota-anggota genus Pseudomonas diangap sebagai bakteri pembusuk ikan paling penting pada kondisi yang ada di Queensland.

Interaksi Di Antara Bakteri Pembusuk, Pseudomonas dan Shewanella

Gram dan Melchiorsen (1996) meneliti interaksi di antara bakteri-bakteri pembusuk ikan, Pseudomonas sp. dan Shewanella putrefaciens, dengan menggunakan ekstrak ikan dan jaringan ikan sebagai sistem model. Isolat Pseudomonas yang memproduksi senyawa chelator besi, yaitu siderophore, menghambat pertumbuhan S. putrefaciens di dalam medium agar-agar ekstrak ikan, tetapi aktivitas antagonis tidak ada, atau hanya lemah, bila medium ditambah dengan besi. Cairan filter-steril supernatan (cairan di lapisan teratas hasil sentrifugasi) dari Pseudomonas penghasil-siderophore yang tumbuh dalam ekstrak ikan bersifat menghambat S. putrefaciens bila jumlah Pseudomonas melebihi 108 cfu/ml. Sebaliknya, cairan supernatan dari isolat Pseudomonas yang tidak memproduksi siderophore tidak menghambat pertumbuhan Shewanella putrefaciens. Efek penghambatan, kecuali untuk satu galur Pseudomonas, tidak terlihat dalam cairan supernatan dari kultur Pseudomonas sp. yang medianya diperkaya dengan besi. Terakhir, Pseudomonas penghasil-siderophore menyebabkan penurunan jumlah maksimum sel Shewanella putrefaciens 1 - 2 satuan log dari 109 menjadi 1010 cfu/g bila galur-galur ini ditumbuhkan dalam blok otot ikan pada suhu 0 °C tetapi laju pertumbuhan Shewanella putrefaciens tidak terpengaruh.

Baca juga
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Bakteri Pembusuk Pada Ikan

Gram et al. (2002) menyatakan bahwa pembusukan makanan merupakan proses yang komplek dan sangat banyak makanan menjadi rusak karena pembusukan oleh bakteri meskipun menggunakan teknik-teknik pengawetan yang modern. Walaupun sangat banyak jenis bahan mentah dan kondisi pengolahan, namun mikroflora yang berkembang selama penyimpanan dan yang berkembang dalam makanan busuk dapat diduga berdasarkan pengetahuan mengenai asal makanan, substrat dasar dan beberapa parameter utama pengawetan seperti suhu, atmosfer, aw dan pH. Berdasarkan pengetahuan ini, analisis inderawi, kimiawi dan mikrobiologi yang lebih detail dapat dilakukan pada produk individual untuk menentukan organisme pembusuk spesifik yang aktual. Sementara parameter-parameter kimia dan fisika merupakan faktor-faktor utama yang menentukan jenis-jenis mikroorganisme pembusuk, kondisi yang lebih komplek mungkin ditemukan pada beberapa produk di mana perilaku interaktif mikroorganisme berperanan dalam pertumbuhan dan/atau aktivitas pembusukan mereka. Kondisi-kondisi tersebut di antaranya adalah fakta bahwa Pseudomonas spp. menunjukkan keunggulan kompetitif akibat produksi siderophore yang merupakan senyawa chelator besi, produksi senyawa oleh suatu organisme yang merupakan substrat bagi reaksi pembusukan oleh mikroorganisme lain (suatu proses yang disebut metabiosis) dan pengaturan sifat-sifat fenotipe yang mungkin terlibat dalam pembusukan melalui komunikasi dari sel ke sel. Selain itu juga dilaporkan adanya senyawa "N-acyl homoserine lactone" (AHL) di dalam bahan makanan yang disimpan dan yang busuk.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Jenis Bakteri Pembusuk

Sen (2005) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai pengaruh suhu terhadap jenis bakteri pembusuk ikan. Suhu penyimpanan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan jenis bakteri pembusuk. Sebuah studi telah dilakukan untuk mengetahui kemampuan pembusukan bakteri laut yang diisolasi dari ikan tropis yaitu lemuru (Sardinella longiceps), kembung (Rastrelliger kanagurta) dan udang Penaeus indicus pada suhu 28 ± 1 °C, 8 ± 1 °C dan 1 ± 1 °C. Pada suhu sekitar 28 °C kebanyakan bakteri adalah Pseudomonas spp., Vibrio spp., Moraxella spp., Acinetobacter spp., Flavobacteria, Cytophaga spp., Micrococcus spp., Arthrobacter spp. dan Alcaligenes spp. yang dapat membusukkan otot ikan. Pada suhu 1 ± 1 °C, sebagian besar bakteri pembusuk adalah galur-galur Pseudomonas grup II, III dan IV sementara kurang dari 25 % adalah galur Pseudomonas grup I, Vibrio, Moraxella, Acinetobacter dan tidak ada Flavobacteria, Cytophaga, Micrococcus, Arthrobacter dan Alcaligenes. Karakteristik psikrofilik (tumbuh paling baik pada suhu mendekati titik beku) pada banyak galur Pseudomonas yang diisolasi dari ikan dan udang tropis telah dilaporkan oleh banyak peneliti.

Baca juga
Pendugaan Kesegaran Ikan

Bakteri Pembusuk Pada Suhu Rendah dan Suhu Tinggi

Gram et al. (1987) meneliti kemampuan pembusukan pada 309 galur bakteri yang diisolasi dari ikan busuk pada suhu 0 dan 20 °C. Bakteri Gram negatif, non fermentatif, berbentuk batang dan dapat bergerak yang untuk sementara diidentifikasi sebagai Alteromonas merupakan organisme pembusuk utama pada suhu 0 °C. Bakteri ini juga ditemukan pada suhu 20 °C, tetapi sejumlah besar bakteri gram negatif, fermentatif, berbentuk batang dan dapat bergerak yang tergolong Vibrionaceae juga diidentifikasi sebagai organisme pembusuk pada suhu tersebut. Kebanyakan Vibrionaceae, bagaimanapun, tidak memproduksi hidrogen sulfida dari tio sulfat tetapi hanya dari asam amino yang bersulfur, L-sistein.

Baca juga
Aspek Kimia Pembusukan Ikan

Bakteri Pembusuk Ikan Pada Daerah Beriklim Sedang dan Tropis

Menurut Sen (2005) semula disimpulkan bahwa flora bakteri pada ikan dan krustasea laut dari daerah beriklim sedang dan dingin kebanyakan termasuk genera Gram negatif sedangkan pada spesies tropis didominasi oleh bakteri Gram positif. Penelitian terbaru mengenai bakteriologi ikan laut India menunjukkan adanya mikroflora Gram negatif (Pseudomonas, Acinetobacter, Flavobacterium, Moraxella dan Vibrio) dalam jumlah yang dominan. Tampaknya tidak ada perbedaan antara genus-genus mikroflora ikan antara perairan daerah sedang dan daerah tropis. Juga disimpulkan bahwa flora bakteri ikan tropis sangat mirip dengan flora bakteri spesies perairan dingin kecuali bahwa flora Gram positif sedikit lebih banyak pada spesies tropis. Studi terbaru terhadap bakteri ikan laut India selalu menunjukkan adanya Achromobacter (baru-baru ini diidentifikasi sebagai Moraxella dan Acinetobacter), Flavobacter, Pseudomonas dan Vibrio sebagai komponen utama flora bakteri. Achromobacter atau Flavobacter dominan pada pembusukan tahap awal, sedangkan Pseudomonas selalu mendominasi pada saat pembusukan tahap akhir. Sen (2005), berdasarkan hasil-hasil studi peneliti lain, melaporkan bahwa berbagai bagian tubuh ikan seperti lendir, insang, usus, tubuh tanpa-usus pada ikan kembung India (Rastrelliger kanagurta) dari Laut Arab di lepas pantai Calicut, India, mengandung berbagai galur mikroorganisme terutama genus Micrococcus, Acinetobacter, Flavobacterium dan Bacillus pembentuk-spora. Kebanyakan galur ini ditemukan pada insang; mikroorganisme pada lendir terutama adalah bakteri pembentuk spora. Sebuah penelitian mengenai pembusukan pada beberapa spesies ikan India selama penyimpanan pada suhu 3 °C dan 0  °C menemukan bahwa sementara Bacillus mendominasi flora pada ikan yang baru ditangkap, Pseudomonas dan Achromobacter menyumbangkan persentase yang tinggi flora mikroba selama pembusukan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 17 Agustus 2012

Virus di Perairan

Arsip Cofa No. B 014

Keberadaan Virus di Dalam Sumber Air

Katzenelson (1978) dalam Berg (1978) menyatakan bahwa virus merupakan material patogen dan daya patogen ini menimbulkan bahaya bagi lingkungan kita termasuk berbagai tipe perairan seperti air minum dan air yang digunakan untuk tujuan domestik dan rekreasi. Virus dari berbagai jenis ditemukan dalam badan air alami yang digunakan oleh manusia : mata air, sumur, sungai, danau, air keran dan air laut. Virus yang paling sering diisolasi termasuk kelompok enterovirus, yang mencakup poliovirus, echovirus dan coxsackievirus. Reovirus, adenovirus dan tipe-tipe lain juga ditemukan. Secara total, lebih dari 100 tipe telah diisolasi. Selain itu, indikasi-indikasi epidemiologi menunjukkan adanya virus dalam air yang merupakan agen hepatitis A. Banyak jenis virus di dalam air minum yang masuk ke tubuh melalui mulut bisa menyebabkan berbagai jenis penyakit. Kenyataannya, virus ditemukan dalam air minum di banyak tempat. Saat ini tak diragukan bahwa air merupakan vektor bagi penyakit akibat virus. Asal virus yang memasuki sumber air adalah karier (individu pembawa virus), yang sakit maupun sehat, yang mengeksresi virus ke dalam air limbah yang kadang-kadang mengandung 100 – 10.000 unit pembentuk-plak per 100 ml. Di banyak tempat, air limbah ini dibuang ke laut, sungai atau danau sehingga mencemari perairan alami dengan virus. Air banjir juga bisa tercemar dan mengangkut limbah bervirus ke dalam sumber air alami. Virus juga bisa menempuh perjalanan jauh melalui tanah dan akhirnya mencapai sumber air alami. Dengan demikian tidak mengherankan bila virus ditemukan pada hampir semua badan air, termasuk sumber air yang dimanfaatkan untuk tujuan domestik.

Baca juga
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Kelemahan Bakteri Tinja Sebagai Indikator Keberadaan Virus Dalam Air

Berg dan Metcalf (1978) dalam Berg (1978) menjelaskan kelemahan penggunaan bakteri tinja sebagai indikator keberadaan virus di dalam perairan. Bakteri coli tinja, streptococci tinja dan mungkin bakteri indikator tinja lainnya diekskresi oleh hampir semua orang dengan jumlah yang konstan. Virus diekskresi dengan jumlah bervariasi dan hanya oleh orang yang terinfeksi. Laju infeksi virus alami adalah lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa secara umum, dan tingkat kejadian infeksi adalah lebih tinggi di daerah yang sanitasinya buruk. Laju infeksi alami pada populasi anak-anak bisa bervariasi dari 5 % kurang sampai hampir 100 %. Kejadian infeksi alami untuk enterovirus dan reovirus adalah lebih tinggi pada bulan-bulan musim hangat dibandingkan pada bulan-bulan musim dingin. Kejadian infeksi alami untuk virus hepatitis A, rotarovirus dan adenovirus adalah paling tinggi pada bulan-bulan musim dingin. Jadi, walaupun jumlah bakteri coli tinja, streptococci tinja dan bakteri indikator tinja lainnya relatif konstan di dalam sebuah populasi, jumlah virus yang diekskresi adalah bervariasi dan tergantung pada kejadian infeksi.

Banyak faktor yang mempengaruhi rasio antara jumlah bakteri indikator tinja terhadap jumlah virus di dalam air limbah. Rasio tersebut bervariasi dari musim ke musim, dari populasi masyarakat ke populasi masyarakat lain, dan dari negara ke negara. Jumlah bakteri indikator tinja dan jumlah virus dalam air limbah pada suatu masyarakat juga bervariasi dari jam ke jam, yang menunjukkan pola ekskresi harian. Variasi-variasi tersebut, bagaimanapun, tidak banyak mempengaruhi rasio bakteri indikator terhadap virus karena bakteri maupun virus kedua-duanya menerima dampak yang sama. Karena tidak ada rasio yang konstan antara bakteri indikator tinja terhadap virus di dalam air limbah, maka rasio tersebut di dalam perairan penerima limbah atau tempat lainnya juga tidak konstan. Namun demikian, karena jumlah bakteri indikator tinja melebihi jumlah virus di dalam air limbah, ada kemungkinan bahwa pada beberapa kisaran jumlah bakteri indikator, tidak ada virus dalam sampel tersebut. Bakteri yang tidak membentuk spora terbunuh oleh disinfeksi lebih cepat daripada virus, dan virus umumnya bertahan hidup lebih lama daripada bakteri yang tidak membentuk spora tersebut di dalam lingkungan perairan alami. Baik di dalam air limbah yang didisinfeksi maupun di perairan permukaan, virus berhasil pulih ketika bakteri coliform tinja tidak pulih dalam uji standar (Berg dan Metcalf, 1978 dalam Berg, 1978).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Apakah Tinggal Di Dekat Perairan Meningkatkan Resiko Terinfeksi Virus WNV ?

Nolan et al. (2012) melakukan studi untuk menentukan apakah tinggal di dekat sumber air meningkatkan resiko terinfeksi “West Nile virus” (WNV). WNV merupakan arbovirus (virus yang dipindahkan oleh hewan arthropoda) dari famili Flaviviridae yang siklus perpindahan utamanya terjadi antara burung dan nyamuk; manusia menjadi inang insidentil. Di Amerika Serikat, nyamuk Culex quinquefasciatus telah ditunjukkan merupakan vektor penting penularan penyakit WNV. Virus ini secara klinis menyerang ratusan penduduk di daerah metropolitan Houston sejak diperkenalkan tahun 2002. Peneliti mengidentifikasi 356 kasus positif–WNV dan 356 kontrol dengan menggunakan populasi yang proporsional dengan model ukuran data Biro Sensus Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hidup di dekat sumber air berarus-lamban berasosiasi secara statistik dengan meningkatnya resiko infeksi pada manusia, dan tinggal di dekat sistem perairan berarus-sedang berasosiasi dengan penurunan resiko infeksi pada manusia. Tinggal di dekat muara sungai/danau yang tepiannya dipenuhi vegetasi juga menunjukkan peningkatan resiko infeksi bila dibandingkan dengan muara yang tepiannya dibeton. Habitat perairan berarus lambat dan sumber air yang tepiannya bervegetasi tampaknya mendukung siklus penularan virus dari nyamuk ke manusia.

Baca juga
Virus Pada Udang Penaeidae

Penyakit Perut Akibat Pencemaran Pasokan Air Oleh Virus

Brugha et al. (1999) melaporkan bahwa pada bulan Agustus 1994, sebanyak 30 dari 135 (23 %) karyawan pabrik roti dan lebih dari 100 penduduk South Wales dan Bristol di United Kingdom, secara mendadak menderita sakit perut “gastroenteritis”. Studi epidemiologi terhadap karyawan dan tiga kelompok masyarakat menunjukkan bahwa penyakit yang diderita karyawan adalah berkaitan dengan kebiasaan minum air dingin di pabrik roti (resiko relatif 3.3; 95 %) sedang kasus pada penduduk berkaitan dengan kebiasaan makan puding custard (resiko relatif 19.8; 95 %) yang berasal dari berbagai toko yang dipasok oleh sebuah pabrik roti. “Small round-structured virus” (SRSV; virus berstruktur bundar kecil) diidentifikasi di dalam sampel tinja pada 4 kasus karyawan dan 7 kasus penduduk. Analisis polimerase dan daerah capsid pada genom SRSV dengan reaksi rantai transkripsi-polimerase menunjukkan adanya virus kedua kelompok gen masing-masing dengan beberapa urutan nukleotida yang berbeda. Heterogenitas virus yang diidentifikasi pada kasus gastroenteritis menunjukkan bahwa custard kering mungkin secara tidak disengaja bercampur dengan air yang tercemar. Kejadian ini menunjukkan bagaimana kontaminasi makanan sekunder dapat menyebabkan gastroenteritis berskala luas di masyarakat, dan menunjukkan kemampuan teknik molekular dalam mendukung metode epidemiologi klasik pada penelitian penyakit yang terjadi secara mendadak.

Baca juga
Virus di Dalam Laut, Kerang dan Ikan

Menyingkirkan Virus Dari Air Dengan Membran

Madaeni et al. (1995) melaporkan bahwa membran makin banyak dipakai dalam proses disinfeksi untuk air mentah dan proses pemanfaatan kembali air limbah perkotaan. Efisiensi penghilangan virus adalah sangat penting dalam hal ini, terutama kemampuan mikrofiltrasi untuk menyaring virus. Telah dilakukan studi eksperimental perpindahan poliovirus menembus mikrofiltrasi 0.2 mikron dan membran ultrafiltrasi 30 kD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran ultrafiltrasi menolak virus dengan sempurna dan bahwa membran mikrofiltrasi menyingkirkan virus secara nyata pada kondisi yang tepat.

Baca juga
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Dapatkah Klor Menonaktifkan Virus Norwalk Dalam Air Minum ?

Keswick et al. (1985) melaporkan bahwa virus Norwalk di dalam air lebih kebal terhadap inaktivasi klor daripada poliovirus tipe 1 (LSc2Ab), human rotavirus (Wa), simian rotavirus (SA11) atau bakteriofage f2. Klor dengan dosis 3,75 mg/liter adalah efektif untuk mengatasi virus-virus lain tetapi gagal menonaktifkan virus Norwalk. Inokulum virus Norwalk tetap menginfeksi lima dari delapan sukarelawan meskipun ada residu klor bebas. Daya infeksi pada sukarelawan dibuktikan oleh “seroconversion” (perubahan kondisi dari serum negatif menjadi serum positif) virus Norwalk. Pada 14 dari 16 orang yang menerima inokulum tanpa perlakuan, serum darahnya menunjukkan positif terhadap virus Norwalk. Penyakit dialami oleh empat dari delapan sukarelawan dan 11 dari 16 orang kontrol. Inokulum virus Norwalk serupa yang diberi perlakuan 10 mg/liter klor menyebabkan penyakit hanya pada satu orang dan gagal merangsang serokonversi pada kedelapan sukarelawan. Klor bebas (5 sampai 6 mg/liter) ditemukan setelah 30 menit periode kontak. Norwalk virus tampaknya sangat kebal terhadap klor sehingga ia berperanan penting dalam kejadian mendadak munculnya penyakit asal-air.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...