Jumat, 28 September 2012

Kesadahan Air : Pengendalian dan Pengaruhnya Terhadap Ikan

Arsip Cofa No. C 084

Hubungan Kesadahan dan Alkalinitas

Boyd (1982) menyatakan bahwa istilah kesadahan total menunjukkan konsentrasi ion-ion logam bervalensi dua dalam air, yang dinyatakan sebagai ekuivalen kalsium karbonat dengan satuan miligram per liter. Kesadahan total biasanya berhubungan dengan alkalinitas total karena anion dari alkalinitas dan kation dari kesadahan biasanya berasal dari larutan mineral karbonat. Ada korelasi positif yang tinggi antara alkalinitas total dan kesadahan total dalam air kolam di daerah, misalnya, Alabama, AS. Di perairan daerah kering, pemekatan ion akibat penguapan bisa menyebabkan pengendapan ion-ion yang bertanggung jawab atas alkalinitas, sehingga kesadahan total mungkin agak lebih besar daripada alkalinitas total. Sepanjang dataran pesisir, air mata-air (air bawah tanah) kadang mempunyai alkalinitas tinggi dan kesadahan rendah; air kolam yang terisi oleh air dari mata air seperti ini mungkin juga memiliki alkalinitas tinggi dan kesadahan rendah.

Kesadahan Air Untuk Pertumbuhan Ikan Optimum

Swann (2000) menyatakan bahwa kesadahan air terutama mengukur kalsium dan magnesium, tetapi ion-ion lain seperti ion aluminium, besi, mangan, strontium, seng dan hidrogen juga tercakup. Bila tingkat kesadahan sama dengan gabungan alkalinitas karbonat dan bikarbonat, ia disebut kesadahan karbonat. Nilai kesadahan yang lebih besar daripada jumlah alkalinitas karbonat dan bikarbonat disebut kesadahan non karbonat. Nilai kesadahan sedikitnya 20 ppm harus dipertahankan untuk pertumbuhan optimum organisme akuatik. Nilai kesadahan yang rendah bisa dinaikkan dengan menambahkan kapur pertanian.

Baca juga
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Menurunkan Kesadahan Air dengan Zeolit dan Lumut Sphagnum

Cole (1994) menyatakan bahwa agen penurun kesadahan air yang bekerja berdasarkan pertukaran ion bisa dibuat secara sederhana dari gambut yang berasal dari lumut Sphagnum. Ketika air merembes melalui gambut ini, kalsium diserap dan material tumbuhan tersebut pada saat yang sama menghasilkan ion hidrogen sehingga terbentuk asam sulfat. Inilah sebabnya mengapa rawa-rawa Sphagnum mempertahankan keasaman yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa Sphagnum hidup menyerap kation dengan laju yang berbeda; ion trivalen dan bivalen jauh lebih mudah diserap daripada monovalen. Sphagnum mati tetap melanjutkan aksinya sebagai penukar ion. Aksi lumut ini sama dengan aksi damar dan zeolit komersial yang digunakan dalam deionisasi air. Zeolit terbuat dari satu golongan besar aluminium silikat alami yang mengandung air. Mereka menunjukkan efek penyaringan molekular dan memiliki sifat-sifat pertukaran basa yang membuat material ini berguna dalam proses penurunan kesadahan air. Demikian pula, sistem komplek pori-pori sangat kecil di dalam dinding sel Sphagnum bisa diadaptasikan untuk dapat berperanan seperti ini. Telah diketahui bahwa ion-ion logam yang melekat pada permukaan gambut kadang-kadang mencapai lebih dari 100 kali dibandingkan jumlahnya yang ada di dalam air.

Penyebab Rendahnya Kesadahan Air Di Daerah Pesisir

Boyd (1982) menyatakan bahwa air sumur di daerah dataran pesisir sering memiliki alkalinitas tinggi dan kesadahan kalsium rendah. Material geologis di dalam air bawah-tanah di daerah seperti ini sering mengandung banyak natrium. Air dengan nilai kesadahan total dan nilai alkalinitas total yang serupa merembes hingga mencapai “water table” (lapisan batuan kedap air) jauh di dalam tanah. Bila air ini bersentuhan dengan material geologis air bawah-tanah tersebut, maka kalsium dan magnesium yang semula ada di dalam air ditukar dengan natrium dalam material geologis itu. Hal ini menyebabkan air tanah menjadi kurang sadah secara alami.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Gipsum Untuk Meningkatkan Kesadahan Air Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) nilai kesadahan total bisa ditingkatkan dengan memberikan gipsum. Gipsum pertanian adalah 80 % murni dan mengandung sekitar 18,6 % kalsium. Jadi, setiap kilogram gipsum pertanian setara dengan 0,186 kg kalsium, atau 0,186 x (100 : 40) = 0,467 kg CaCO3 (kesadahan dinyatakan sebagai CaCO3). Untuk menaikkan kesadahan total 1 meter kubik air sebesar 1 mg/liter maka diperlukan 1 mg/l CaCO3 : 0,467 kg CaCO3 per kg = 2,14 kg gipsum pertanian. Pemberian gipsum tidak akan meningkatkan alkalinitas total.

Hubungan Kesadahan Air, Pengapuran dan Produksi Ikan

Boyd (1982), dengan mengutip beberapa hasil penelitian, melaporkan bahwa umumnya ada respon positif terhadap pemberian kapur pada kolam yang airnya memiliki kesadahan antara 10 – 20 mg/liter, tetapi respon ini tidak menyolok pada kolam yang kesadahan totalnya di bawah 10 mg/liter. Secara umum, makin jauh nilai kesadahan total di bawah 20 mg/liter, makin besar respon kolam terhadap pemupukan. Agar berespon maksimum terhadap pemupukan, kolam ikan yang kesadahan totalnya kurang dari 20 mg/liter sebaiknya dikapur. Bagaimanapun, bila kesadahan totalnya 12 – 15 mg/liter, peningkatan produksi ikan setelah pengapuran mungkin tidak lebih dari 20 – 25 %, dan bahkan peningkatan produksi ikan yang lebih kecil lagi bisa dihasilkan dari pengapuran kolam yang kesadahan totalnya 15 – 20 mg/liter. Pemberian kapur mungkin percuma dan membuang biaya bila dilakukan di perairan yang kesadahan totalnya hampir 20 mg/liter.

Baca juga
Alkalinitas Perairan dan Pengaruhnya Terhadap Ikan Budidaya

Pengaruh Kesadahan Terhadap Daya Racun Formalin Bagi Telur dan Larva Ikan

Meinelt dan Stueber (1992) mempelajari pengaruh kesadahan air terhadap daya racun formalin bagi telur dan embryo ikan. Uji embryo-larva telah dilakukan untuk ikan Brachydanio rerio selama 144 jam dengan konsentrasi formalin 37 %. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis air uji : air pertama 17,3 odH (308,8 mg CaCO3/liter) dan air kedua 3,5 odH (62,5 mg CaCO3/liter). Telah dibuktikan bahwa daya racun formalin meningkat dengan menurunnya kesadahan air.

Baca juga
Formalin Untuk Mengendalikan Parasit Ikan dan DampaknyaTerhadap Kualitas Air Kolam

Pengaruh Kesadahan Terhadap Daya Racun Pestisida Bayluscide

Tchounwou et al. (1992) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh beberapa faktor lingkungan terhadap daya racun bayluscide dalam membasmi mirasidia (tahap larva) Schistosoma mansoni. Hasil uji menunjukkan bahwa suhu, pH, kesadahan dan salinitas air berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup mirasidia dan bahwa kemampuan bayluscide dalam membunuh mirasidia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ini. Secara ringkas, bahan kimia ini lebih efektif dalam membunuh mirasidia Schistosoma mansoni di dalam air yang bersuhu lebih tinggi, pH lebih rendah, kesadahan lebih rendah dan kadar garam lebih rendah (air tawar).

Baca juga
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Pengaruh Kesadahan Terhadap Pertumbuhan dan Kerusakan Insang Ikan

Zhang dan Li (1992) mempelajari pengaruh pH rendah dan kesadahan terhadap tingkat kelangsungan hidup embryo, anak ikan dan ikan muda serta perubahan patologis insang ikan. Di dalam air sadah, perkembangan embryo ikan Misgurnus anguillicaudatus tertunda pada pH rendah dan pertumbuhan anak ikan juga terhambat pada pH kurang dari atau sama dengan 5,5. Di dalam air yang kurang sadah, tingkat kelangsungan hidup anak ikan dan ikan muda Ctenopharyngodon idellus terpengaruh pada pH kurang dari atau sama dengan 4,5. Aksi toksikologis terhadap ikan diperkuat akibat efek sinergis (efek saling menguatkan) antara pH rendah dan aluminium. Perubahan patologis yang mencakup peningkatan jumlah lendir, pembengkakan dan pelepasan epitel lamelar insang, hiperplasia (kondisi tertahannya perkembangan di mana organ atau bagiannya tumbuh kerdil) dan penggabungan jaringan insang telah diamati.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 26 September 2012

Alkalinitas Perairan dan Pengaruhnya Terhadap Ikan Budidaya

Arsip Cofa No. C 083

Arti Penting Alkalinitas Bagi Budidaya Ikan

Menurut Swann (2000) alkalinitas adalah kemampuan air untuk menetralkan asam tanpa meningkatkan pH. Parameter ini mengukur basa, yaitu bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO3-) dan, dalam kasus yang jarang, hidroksida (OH-). Akalinitas total adalah jumlah alkalinitas karbonat dan bikarbonat. Beberapa perairan mungkin hanya memiliki alkalinitas bikarbonat dan tidak mempunyai alkalinitas karbonat. Sistem buffer karbonat adalah penting bagi petani ikan, apapun metode produksi yang digunakan. Dalam produksi kolam, di mana fotosintesis merupakan sumber oksigen alami yang utama, karbonat dan bikarbonat merupakan area penyimpanan bagi kelebihan karbon dioksida. Dengan menyimpan karbon dioksida dalam sistem buffer ini, ia tidak akan menjadi faktor pembatas yang dapat mengurangi tingkat fotosintesis dan kemudian menurunkan produksi oksigen. Juga, dengan menyimpan karbon dioksida, sistem buffer ini mencegah terjadinya fluktuasi pH harian yang besar. Tanpa sistem buffer, karbon dioksida bebas akan membentuk banyak sekali asam lemah (asam karbonat) yang berpotensi menurunkan pH malam hari menjadi 4,5.

Selama periode puncak fotosintesis, sebagian besar karbon dioksida bebas akan dikonsumsi oleh fitoplankton dan, akibatnya, menyebabkan pH naik di atas 10. Padahal, ikan tumbuh dalam kisaran pH yang sempit dan pH yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan membahayakan ikan. Dalam sistem resirkulasi di mana fotosintesis secara praktis tidak ada, kapasitas buffer yang baik dapat mencegah pembentukan karbon dioksida yang berlebihan dan penurunan pH yang membahayakan. Disarankan agar petani ikan mempertahankan nilai alkalinitas total setidaknya 20 ppm untuk produksi ikan lele. Alkalinitas yang lebih tinggi, setidaknya 80 – 100 ppm, disarankan untuk kolam pemeliharaan ikan striped bass hibrida. Untuk pasokan air yang secara alami alkalinitasnya rendah, kapur pertanian bisa ditambahkan guna meningkatkan kapasitas buffering air tersebut.

Baca juga
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Kehilangan Alkalinitas Akibat Nitrifikasi Pupuk di Kolam

Boyd (1982) menyatakan bahwa istilah alkalinitas total menunjukkan konsentrasi total basa-basa di dalam air yang dinyatakan dalam ekuivalen kalsium karbonat dengan satuan miligram per liter. Di sebagian besar perairan, bikarbonat, karbonat atau keduanya merupakan basa-basa yang dominan. Nitrifikasi terhadap pupuk amonium akan menghasilkan ion nitrogen; ion ini dapat merusak alkalinitas air kolam ikan. Setiap miligram pupuk amonium sulfat, atau (NH4)2SO4, bisa merusak 1,52 mg alkalinitas; 1 miligram nitrogen dari senyawa ini bisa merusak 7,17 mg alkalinitas. Setiap miligram pupuk monoamonium fosfat, atau NH4H2PO4, bisa merusak 0,87 mg alkalinitas; dengan kata lain, 1 mg nitrogen dari material ini bisa merusak 7,13 mg alkalinitas. Untuk urea, setiap miligram pupuk ini dapat merusak 1,67 mg alkalinitas, atau 1 mg N dari urea dapat menetralkan 3,58 mg alkalinitas. Di kolam, alkalinitas yang hilang secara aktual per satuan pupuk amonium adalah lebih kecil daripada yang hilang secara potensial.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Keefektivan Kalsium Karbonat Dalam Meningkatkan Alkalinitas Air Laut Ozonasi

Whangchai et al. (2004) meneliti strategi untuk menambahkan dan mengendalikan kehilangan alkalinitas selama oksidasi amonia dalam sistem ozonasi. Penelitian bertujuan untuk memanfaatkan teknologi ozonasi guna menghancurkan metabolit beracun yang ada dalam kolam pembesaran udang. Kehilangan alkalinitas dan profil pH diteliti dalam sistem model ozonasi yang berisi air laut buatan dan amonia. Material-material tambahan seperti kapur berbasis kalsium karbonat, kapur terhidrat dan natrium bikarbonat dievaluasi dalam hal kemampuan kompensasi alkalinitasnya. Pada beberapa percobaan, pemberian material-material tambahan ini selama ozonasi digabungkan dengan perlakuan-perlakuan lain seperti rekarbonasi (pemberian CO2 dari luar).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapur berbasis kalsium karbonat tidak efektif lagi sebagai material penambah alkalinitas ketika ozonasi diterapkan untuk air laut yang mengandung amonia. Walaupun rekarbonasi memperbaiki keefektivan CaCO3 sebagai material penambah alkalinitas, pemberian bahan tersebut ke kolam ozonasi pembesaran udang yang luas adalah tidak praktis. Material yang efektif sebagai penambah alkalinitas untuk air laut ozonasi yang mengandung amonia adalah material yang lebih mudah larut, berupa kapur terhidrat dan natrium bikarbonat yang sangat murni dengan dosis yang tepat. Penggunaan natrium bikarbonat dan kapur terhidrat memungkinkan strategi pengendalian alkalinitas yang lebih tepat untuk kolam ozonasi “in situ” (di tempat yang bersangkutan) bagi pembesaran udang; bagaimanapun, dalam hal pemberian kapur terhidrat, masalah over dosis harus dipertimbangkan.

Baca juga
pH Rendah, Ikan dan Akuakultur

Pengaruh Alkalinitas Terhadap Produksi Ikan Budidaya

Boyd (1982) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai pengaruh alkalinitas terhadap budidaya ikan. Perairan alami yang mengandung 40 mg/liter atau lebih alkalinitas total dianggap lebih subur daripada perairan beralkalinitas lebih rendah. Tingginya kesuburan perairan beralkalinitas tinggi tidak disebabkan secara langsung oleh alkalinitas, tetapi lebih disebabkan oleh fosfor dan zat-zat hara lain yang konsentrasinya meningkat sejalan dengan meningkatnya alkalinitas total. Telah ditunjukkan bahwa ada hubungan antara alkalinitas total dengan produksi ikan yellow pikeperch (Stizostedion vitereum) dalam kolam yang tak dipupuk; produksi ikan ini naik sejalan dengan naiknya alkalinitas total sampai nilai 80 mg/liter dan setelah nilai ini produksi ikan tersebut turun.

Baca juga
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Dalam penelitian lain disimpulkan bahwa ada korelasi positif yang relatif tinggi (r = 0,67) antara alkalinitas total dan “standing crop” (panenan tetap) ikan di kolam yang tak dipupuk. Di kolam ikan yang dipupuk nilai alkalinitas total dalam kisaran 20 – 120 mg/liter memberikan sedikit pengaruh terhadap produksi ikan. Bagaimanapun, dalam kolam yang dipupuk yang mengandung alkalinitas total 0 – 20 mg/liter, produksi ikan cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya alkalinitas. Dengan demikian, diinginkan agar nilai alkalinitas total melebihi 20 mg/liter untuk kolam yang dipupuk. Sebagai tambahan, kolam dengan alkalinitas total 200 – 300 mg/liter telah berhasil digunakan untuk membudidayakan ikan. Bagaimanapun, kadang-kadang terjadi kekurangan karbon dioksida dalam danau dengan konsentrasi kalsium karbonat tinggi di dalam lumpur atau pada daerah tangkapan air danau tersebut, hingga menyebabkan produktivitas rendah.

Baca juga
Karbon Dioksida Dalam Perairan dan Pengaruhnya Bagi Biota Air

Pengaruh Alkalinitas Air Kolam Terhadap Pertumbuhan Larva Ikan

Rojas et al. (2004) menyatakan bahwa hubungan antara alkalinitas dan variabel-variabel kimia lain memainkan peranan penting dalam produktivitas global ekosistem perairan karena mereka mempengaruhi proses-proses kimia dan fisiologis vital. Prosedur pengapuran, yang mengubah alkalinitas air, mendorong terjadinya reorganisasi biologis, yang sering menyebabkan biota memberikan respon menguntungkan dalam jangka pendek. Demikianlah, pertumbuhan larva ikan curimbata (Prochilodus lineatus Valenciennes, 1836, Characiformes, Prochilodontidae) dan variabel-variabel limnologi telah dipelajari di kolam dengan berbagai nilai alkalinitas air. Percobaan dilakukan selama periode 60 hari dan mencakup tiga perlakuan : A – tanpa koreksi terhadap alkalinitas alami; B – dengan koreksi alkalinitas mingguan 30 mg CaCO3/liter; C – dengan koreksi alkalinitas mingguan 60 mg CaCO3/liter, masing-masing dengan dua ulangan. Variabel-variabel berikut dipantau : nilai-nilai maksimum dan minimum suhu udara dan air, alkalinitas, kesadahan, kalsium, pH, konduktivitas (daya hantar listrik), konsentrasi oksigen terlarut, padatan terlarut, kejernihan air, amonia, nitrit, nitrat, total fosfor, fosfat terlarut, klorofil-a dan berat fraksi organik zooplankton. Pertumbuhan ikan dalam panjang total dan berat kering ditentukan, juga hubungan antara berat kering dan panjang total larva pada perlakuan-perlakuan yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa pemeliharaan larva ikan curimbata pada nilai alkalinitas rata-rata 34,67 ± 3,75 mg CaCO3 (perlakuan B), yang menyediakan kalsium dengan konsentrasi rata-rata 4,68 ± 0,97 mg Ca2+ per liter, disarankan agar dapat mendorong pertumbuhan larva yang lebih baik dengan kondisi limnologis yang lebih baik pula.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 24 September 2012

Karbon Dioksida Dalam Perairan dan Pengaruhnya Bagi Biota Air

Arsip Cofa No. C 082

Bentuk-Bentuk Karbon Dioksida Dalam Perairan

Menurut Cole (1994), di kebanyakan perairan alami gas karbon dioksida ada bersama dengan logam alkali atau logam alkali tanah dan bergabung dengan mereka membentuk bikarbonat dan karbonat. Ada tiga bentuk karbon dioksida dalam air : (1) bentuk setengah-terikat, yang diwakili oleh ion bikarbonat, (2) bentuk terikat, yang diwakili oleh mono karbonat, dan (3) bentuk gas terlarut bebas. Selain itu juga ada bentuk terhidrat, yaitu asam karbonat. Di perairan alami yang logam alkali tanah atau logam alkalinya sangat sedikit, bentuk bikarbonat relatif sedikit. Sebaliknya, bila logam-logam tersebut melimpah, maka ada kemungkinan terbentuknya banyak bikarbonat. Pada kasus-kasus lain, setelah karbon dioksida diserap ia memasuki reaksi-reaksi kimia yang menyebabkan konsentrasi totalnya, dalam bentuk apapun, jauh melebihi nilai kejenuhan untuk gas tersebut.

Baca juga
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Pengaruh Pengapuran Terhadap Ketersediaan Karbon Dioksida Dalam Air

Boyd (1982) menyatakan karena pengaruhnya terhadap alkalinitas, pengapuran meningkatkan ketersediaan karbon bagi fotosintesis. Difusi karbon dioksida dari atmosfer biasanya mencegah karbon dioksida dalam membatasi produktivitas fitoplankton di danau. Hal ini diyakini tidak berlaku di kolam ikan yang alkalinitasnya relatif rendah. Bahan kapur bereaksi dengan karbon dioksida ketika dimasukkan ke dalam air, dan kelarutannya sampai derajat yang tinggi dikendalikan oleh konsentrasi karbon dioksida. Pengapuran akan bersaing dengan tumbuhan memperebutkan karbon dioksida dan mungkin menurunkan laju fotosintesis. Selain mengambil karbon dioksida dari air, kelebihan kapur yang mengendap ke dasar kolam akan bereaksi dengan karbon dioksida yang berdifusi dari atmosfer. Efek keseluruhannya adalah meningkatnya konsentrasi total ketersediaan karbon dioksida dalam beberapa minggu setelah pengapuran. Bahan kapur menjebak karbon dioksida yang bila tidak demikian akan hilang ke atmosfer.

Baca juga
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Sumber Karbon Bagi Plankton Danau Setelah Karbon Dioksida Habis

Cole (1994) mengulas hasil penelitian yang dilakukan di danau Star Lake di Vermont; pasokan karbon anorganik total di danau ini sangat rendah. Danau ini mengalami siklus karbon harian yang jelas di mana konsentrasinya naik dan turun. Karbon dioksida bebas, yang muncul pada pagi hari dan sebagian besar merupakan produk respirasi malam hari, banyak dikonsumsi oleh populasi alga pada siang hari, dan konsentrasi bikarbonat juga jatuh. Diduga bahwa di danau Star Lake yang kapasitas buffernya lemah setelah penyerapan karbon dioksida di pagi hari, ada sumber lain yang memasok karbon bagi bakteri dan fitoplankton sehingga bisa mempertahankan laju produksi yang cukup tinggi selama sisa siang harinya. Sumber lain pemasok karbon tersebut adalah pelepasan senyawa-senyawa organik yang diproduksi selama pagi hari oleh alga dan makrofita bentik.

Baca juga
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Daya Racun dan Fluktuasi Konsentrasi Karbon Dioksida

Boyd (1982) menyatakan bahwa karbon dioksida tampaknya tidak beracun bagi ikan; sebagian besar spesies ikan tetap hidup di dalam air yang mengandung karbon dioksida sampai 60 mg/liter, asalkan oksigen terlarut melimpah. Bila konsentrasi oksigen terlarut rendah, keberadaan karbon dioksida dalam jumlah cukup akan merintangi penyerapan oksigen oleh ikan. Sayangnya, konsentrasi karbon dioksida biasanya sangat tinggi ketika konsentrasi oksigen terlarut rendah. Hal ini disebabkan karbon dioksida dilepaskan dalam respirasi dan dimanfaatkan dalam fotosintesis. Ketika konsentrasi oksigen terlarut rendah, fotosintesis tidak berlangsung cepat. Dengan demikian.konsentrasi karbon dioksida naik karena karbon dioksida yang dilepaskan oleh respirasi tidak diserap oleh fitoplankton dan tidak diasimilasi menjadi bahan organik. Karena ada hubungan antara karbon dioksida dengan respirasi dan fotosintesis, konsentrasi karbon dioksida biasanya naik selama malam hari dan turun selama siang hari. Karbon dioksida dengan konsentrasi sangat tinggi terdapat di dalam kolam setelah kematian masal fitoplankton, setelah hilangnya stratifikasi suhu, dan selama cuaca berawan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penyingkiran CO2 Dengan Kalsium Hidroksida dan Pengaruhnya Bagi Ikan

Menurut Boyd (1982) karbon dioksida berkonsentrasi tinggi sering dijumpai di kolam ikan ketika konsentrasi oksigen terlarut rendah. Karena karbon dioksida berkonsentrasi tinggi menyulitkan penyerapan oksigen oleh ikan, maka kadang-kadang dikehendaki untuk menyingkirkan CO2 ketika konsentrasinya melebihi 10 – 15 mg/liter. Penyingkiran karbon dioksida bisa dilakukan oleh kalsium hidroksida (Ca(OH)2). Jumlah kalsium hidroksida yang diperlukan secara teoritis untuk menyingkirkan 1 mg/liter karbon dioksida adalah 0,84 mg/liter. Sebuah penelitian telah dilakukan dengan memasukkan ke dalam perairan yang mengandung karbon dioksida sejumlah 0, 0.84, 1.26 dan 1.68 mg/liter kalsium hidroksida untuk setiap miligram per liter karbon dioksida. Nilai-nilai ini bersesuaian dengan 0, 100, 150 dan 200 % jumlah kapur terhidrat yang secara teoritis diperlukan untuk menyingkirkan karbon dioksida dengan sempurna. Persentase aktual penyingkiran karbon dioksida secara kasar adalah 50 % lebih sedikit daripada yang diharapkan dari perhitungan. Ketidak sesuaian ini diduga disebabkan kalsium hidroksida tidak melarut dengan sempurna, dan sebagian bahan kimia ini tampaknya mengendap ke dasar perairan tanpa bereaksi dengan karbon dioksida. Pemakaian kapur terhidrat untuk menyingkirkan karbon dioksida tidak akan membahayakan ikan atau organisme lain karena pH tidak akan melebihi 8,4 kecuali bila kapur yang ditambahkan berlebihan. Semua pengaruh positif pemberian kapur terhidrat dalam perairan yang kehabisan oksigen tak diragukan disebabkan oleh penyingkiran karbon dioksida, bukan disebabkan oleh penurunan COD dan BOD.

Baca juga
Kesadahan Air : Pengendalian dan Pengaruhnya Terhadap Ikan

Pengaruh Karbon Dioksida Terhadap Pertumbuhan Diatom

Riebesell (1993) melaporkan bahwa pasokan karbon anorganik terlarut tidak dianggap membatasi produktivitas primer samudra, karena konsentrasinya di dalam air laut melebihi makronurient lain seperti nitrat dan fosfat sebesar 2 dan 3 ordo besaran, berturut-turut. Tetapi belum diketahui mengenai produksi baru di samudra dan sebagian besar aliran karbon vertikal yang diperantarai oleh beberapa genus diatom yang mampu memanfaatkan komponen karbon anorganik terlarut selain karbon dioksida. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa pada kondisi nutrien dan cahaya yang optimal, laju pertumbuhan diatom dibatasi oleh pasokan karbon dioksida. Peningkatan tekanan karbon dioksida di perairan permukaan sebesar dua kali lipat dari 180 menjadi 355 ppm dengan demikian dapat mendorong produktivitas laut.

Baca juga
Pengaruh Aerasi Terhadap Organisme Air, Konsentrasi Oksigen, Karbon Dioksida, Amonia, Nitrat, Nitrit dan Nitrogen

Pengaruh CO2 Terhadap Pertumbuhan Tanaman Air

Titus (1992) melaporkan bahwa Vallisneria americana, sejenis tumbuhan yang hidupnya tenggelam di dalam air, telah ditumbuhkan selama beberapa minggu di dalam rumah kaca untuk mempelajari perbedaan kemampuan tiga jenis sedimen dalam mendukung pertumbuhan sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi karbon dioksida pada pH rendah. Tumbuhan air ini menimbun biomas 21 – 24 kali lebih banyak pada konsentrasi karbon dioksida lingkungan 10 x dibandingkan pada konsentrasi oksigen lingkungan normal di semua sedimen. Baik pada konsentrasi karbon dioksida normal maupun 10 x, makrofita yang tumbuh pada sedimen yang berasal dari danau asam menimbun biomas sekitar 81 %, dan yang ditumbuhkan pada sedimen dari danau oligotrofik menimbun sekitar 47 % bila dibandingkan biomas makrofita yang tumbuh pada sedimen danau alkalin (bersifat basa). Meskipun karbon dioksida dan sedimen berpengaruh terhadap penimbunan biomas, namun tidak ada interaksi yang nyata (dengan menggunakan data yang diubah ke log) antara efek karbon dioksida dan efek sedimen, yang menunjukkan bahwa semua sedimen memungkinkan respon pertumbuhan yang sama secara proporsional terhadap peningkatan konsentrasi karbon dioksida. Vegetasi yang tumbuh pada sedimen yang kurang subur menunjukkan alokasi yang lebih besar untuk pertumbuhan horizontal daripada pertumbuhan vertikal dengan memproduksi lebih banyak stolon (batang horizontal) bila dibandingan dengan tinggi tumbuhan daripada makrofita yang tumbuh pada sedimen danau alkalin yang relatif subur.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 22 September 2012

Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Arsip Cofa No. C 081

Material-Material Yang Terkandung Dalam Air

Menurut Boyd (1982) air alami mengandung gas, ion-ion anorganik dan bahan-bahan organik dalam bentuk larutan dan partikel-partikel (anorganik dan organik, hidup maupun mati) dalam bentuk suspensi. Gas-gas nitrogen, oksigen dan karbon dioksida merupakan gas-gas yang paling melimpah dalam perairan alami, tetapi amonia tak-terionisasi, hidrogen sulfida dan metana bisa mencapai konsentrasi yang tinggi pada kondisi-kondisi tertentu. Asam silikat yang tak terionisasi dan ion-ion kalsium, magnesium, natrium, kalium, bikarbonat, karbonat, klorida dan sulfat menyumbangkan sebagian besar berat bahan anorganik yang terlarut dalam air.

Perairan alami juga mengandung dalam konsentrasi rendah banyak jenis ion anorganik lain, di antaranya adalah sulfat, klorida, silika, nitrat, amonium, fosfat, besi, mangan, seng, tembaga dan boron. Bahan-bahan organik terlarut dalam air kolam meliputi banyak jenis senyawa yang asalnya disintesis oleh biota kolam atau biota penghuni daerah tangkapan-air kolam tersebut. Beberapa contoh bahan organik terlarut adalah asam amino, protein, gula, asam lemak, vitamin dan “tannic acid”. Bahan organik berupa partikel meliputi bakteri, fitoplankton, zooplankton dan sisa-sisa organisme busuk; bahan anorganik partikel mencakup partikel-partikel tanah halus yang tersuspensi.

Baca juga
Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Pengaruh Proses Biogeokimia Terhadap Komposisi Kimia Air Danau

Lazzaretti et al. (1992) melaporkan bahwa spesies fosfor, besi, mangan dan sulfur telah dianalisis dalam sampel air dari bidang batas sedimen-air yang dikumpulkan pada empat waktu yang secara musim berbeda dalam setahun di dua lokasi sampling di basin selatan Danau Lugano (Lago di Lugano). Hasilnya menunjukkan kuatnya pengaruh proses-proses biogeokimia di dalam sedimen terhadap komposisi kimia air danau di atas sedimen tersebut. Konsumsi oksigen dan nitrat pada kondisi toksik sampai mikrooksik (konsentrasi oksigen sangat sedikit) dalam kolom air serta – akibatnya – pelepasan besi dan mangan tereduksi pada kondisi anoksik (tidak ada oksigen) telah diamati sebagai akibat langsung atau tak langsung penguraian bahan organik oleh mikroba. Pola musiman untuk pelepasan dan penahanan mangan dan besi tereduksi terlarut berhubungan erat dengan proses serupa untuk fosfat terlarut. Siklus besi, mangan dan fosfor berhubungan erat di dalam sedimen. Kedua tipe sedimen bertindak sebagai penampung hidrogen sulfida dan sulfat. Siklus sulfur dalam-sedimen diduga melengkapi siklus besi, mangan dan fosfor dengan menguraikan bahan organik. Siklus zat hara pada bidang batas sedimen-air dengan demikian dikendalikan oleh mekanisme “pompa ion” yang diatur oleh mikroba.

Baca juga
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Perubahan Kimia Air Danau Selama Kematian Masal Ikan Akibat Ledakan Populasi Alga

Barica (1973) mempelajari perubahan kimia air yang menyertai kejadian “summer fish kill” (kematian masal ikan musim panas) di danau eutrofik dangkal di Manitoba barat-daya, Kanada. Kematian masal ikan ini disebabkan oleh ledakan populasi alga Aphanizomenon flos-aquae. Perubahan kimia air yang paling dramatis terjadi selama beberapa hari sebelum ikan mati masal, yaitu selama puncak ledakan populasi alga dan selama kematian masal ikan tersebut. Konsentrasi oksigen terlarut dan amonia mengalami perubahan yang paling radikal. Konsentrasi oksigen terlarut mencapai maksimum kejenuhan 200 % atau lebih tepat sebelum ikan mati masal. Konsentrasi oksigen terlarut 20 sampai 24 mg/liter di dalam lapisan air permukaan danau adalah sangat umum; selama periode ini biomas Aphanizomenon mencapai maksimum. Kemudian, dalam beberapa hari, mulai terjadi kematian alga yang cepat dan seluruh alga hasil ledakan populasi mati. Fase berikutnya – kematian ikan yang sebenarnya – dicirikan oleh berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut dengan cepat mulai dari permukaan danau sampai ke dasar danau, yang disertai dengan pelepasan amonia ke dalam seluruh air danau tanpa ada pola zonasi yang jelas.

Perubahan Komposisi Air Sungai Akibat Bendungan

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) melaporkan bahwa pembendungan air sungai oleh waduk menyebabkan perubahan kualitas air sungai tersebut. Air yang dilepaskan dari dasar atau lapisan-dalam bendungan dicirikan oleh suhu yang lebih dingin, konsentrasi oksigen yang lebih rendah dan meningkatnya bahan-bahan beracun seperti hidrogen sulfida, besi dan mangan. Di dalam bendungan sendiri, airnya tidak cocok untuk ikan. Selain itu, lepasnya air berkualitas jelek dari bendungan mempengaruhi kelangsungan hidup populasi ikan dan invertebrata bentik di bagian hilir.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kandungan Mineral Dalam Air Kolam

Menurut Boyd (1982), karena perairan permukaan biasanya merupakan larutan encer alkali tanah bikarbonat dan karbonat, maka kalsium, magnesium, bikarbonat dan karbonat biasanya merupakan ion-ion dominan. Bagaimanapun, ada beberapa kekecualian. Di daerah kering, karbonat dan bikarbonat bisa mengendap dari larutan ketika penguapan meningkatkan konsentrasi ion. Perairan seperti ini bisa mengandung natrium, sulfat dan klorida dengan proporsi relatif tinggi. Perairan asam di daerah pesisir yang lembab sering sedikit mengandung bikarbonat alkali tanah tetapi relatif kaya akan natrium dan klorida. Air sumur sepanjang dataran pesisir sering dikurangi kesadahannya oleh suatu proses di mana kalsium dan magnesium dalam air sumur digantikan oleh natrium yang berasal dari bahan-bahan padat di dalam lapisan air bawah-tanah. Kolam yang terisi air semacam air sumur seperti ini mengandung natrium dan bikarbonat dalam konsentrasi relatif besar tetapi miskin akan kalsium dan magnesium.

Dalam suatu daerah beriklim tertentu, derajat mineralisasi perairan permukaan mencerminkan kelarutan mineral-mineral dari tanah dan batuan di daerah tangkapan-air perairan tersebut. Perairan di daerah tanah yang kering dan tipis biasanya miskin mineral daripada perairan di daerah yang bertanah subur dan tebal. Perairan yang mengaliri tanah yang berkembang dari batu kapur lebih kaya akan mineral daripada perairan yang mengaliri tanah berpasir (Boyd, 1982).

Baca juga
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Fosfat Di Dalam Lumpur dan Air

Menurut Boyd (1982) fosfat dalam lumpur dilepaskan dalam jumlah besar ke air ketika besi dan aluminium fosfat berdisosiasi di bawah kondisi tereduksi di dalam hipolimnion kolam (hipolimnion = masa air lapisan bawah di perairan tawar yang terstratifikasi). Fosfat ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan selama ada stratifikasi panas. Bila sratifikasi ini hilang maka fosfor dari hipolimnion teraduk merata di seluruh volume air dan fosfor tersebut sementara bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan. Bagaimanapun, proses yang dijelaskan di atas menyebabkan konsentrasi fosfor dengan cepat kembali ke normal.

Besi, aluminium dan kalsium fosfat dalam sedimen aerobik agak mudah larut, dan ada keseimbangan dinamis antara fosfat dalam sedimen dan fosfat dalam lapisan air di atasnya. Bila kondisi keseimbangan antara fosfat dalam air dan sedimen terganggu akibat penyerapan fosfat oleh tumbuhan, maka lebih banyak fosfat akan dilepaskan oleh sedimen (Boyd, 1982).

Baca juga
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Karbon Dioksida di Dalam Perairan Darat

Cole (1994) menyatakan bahwa air hujan dimuati karbon dioksida ketika ia jatuh ke bumi. Secara teoritis, sebanyak 0,55 sampai 0,66 mg/liter karbon dioksida masuk secara langsung ke permukaan perairan. Air yang mengaliri tanah organik dimuati lebih lanjut oleh karbon dioksida hasil dari pembusukan bahan organik dan kemudian masuk ke sungai atau danau melalui sumber air bawah-tanah, sehingga memasukkan gas karbon dioksida ke dalam larutan. Air bawah-tanah kaya akan karbon dioksida, dan karena itu mengandung asam karbonat yang bisa melarutkan karbonat dan memasukkannya ke dalam larutan sebagai bikarbonat. Bikarbonat selanjutnya masuk ke dalam lingkungan perairan sehingga bisa dimanfaatkan oleh kebanyakan tumbuhan air autotrof sebagai sumber karbon untuk fotosintesis. Respirasi tumbuhan, binatang dan bakteri pengurai aerob menambah karbon dioksida ke dalam lingkungan; penguraian karbohidrat secara anaerob di dalam sedimen dasar merupakan sumber lain gas karbon dioksida yang penting. Karbon dioksida bebas seperti ini yang dihasilkan di dalam badan air bisa menyebabkan terlarutnya CaCO3 yang ada di dalam sedimen sehingga membentuk Ca(HCO3)2.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 20 September 2012

Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Arsip Cofa No. C 080

Pengaruh Aerasi Terhadap Bakteri Patogen Edwardsiella ictaluri

Mqolomba dan Plumb (1992) melaporkan bahwa ikan lele channel catfish (Ictalurus punctatus) telah diinfeksi secara eksperimental dengan bakteri Edwardsiella ictaluri dengan cara pencelupan. Setelah penyakit klinis berjalan selama 52 hari, ikan yang masih hidup diberi salah satu perlakuan lingkungan berikut : suhu 25 °C dengan aerasi, 25 °C tanpa aerasi, atau suhu yang berubah-ubah (18 – 23 °C) tanpa aerasi. Setelah 29 hari mendapat perlakuan lingkungan tersebut, berbagai organ dan jaringan ikan percobaan diperiksa untuk menentukan pengaruh kondisi-kondisi tersebut terhadap konsentrasi Edwardsiella ictaluri (dinyatakan dalam “colony-forming unit per ml” sampel jaringan). Konsentrasi patogen ini secara nyata lebh tinggi (P < 0,05) dalam semua jaringan (ginjal badan, hati, ginjal kepala, darah, limfa, gelembung renang, otot, otak dan gonad) 52 hari pasca infeksi daripada 29 hari setelah diberi berbagai perlakuan lingkungan (81 hari pasca infeksi). Ikan yang dikenai konsentrasi oksigen terlarut mendekati normal (6,4 mg/liter) dan suhu konstan 25 °C memiiki konsentrasi Edwardsiella ictaluri yang secara nyata lebih sedikit (P < 0,01) daripada ikan yang dikenai konsentrasi oksigen rendah (2,6 atau 1,8 mg/liter) dan suhu konstan atau berubah-ubah.

Baca juga
Ekologi Parasit Ikan

Pengaruh Aerasi Terhadap Kejadian Penyakit Octomitiasis

Moore (1929) melaporkan adanya hubungan antara aerasi pasokan air dengan kejadian penyakit di hatchery (pembenihan ikan). Banyak lokasi hatchery lama dipilih berdasarkan dua kriteria, yaitu volume dan suhu air pasokan. Sejalan dengan waktu, disadari bahwa ada faktor ketiga yang tidak boleh diabaikan dalam praktek hatchery yang efisien, yaitu aerasi atau oksigenasi. Sehubungan dengan hal ini, telah dilaporkan kejadian penyakit di tiga hatchery lama di mana kondisi gas dalam pasokan air tampaknya menjadi faktor pembatas. Di hatchery di Caledonia, pemeliharaan anak ikan brook trout semakin sulit karena timbulnya penyakit octomitiasis pada anak ikan tersebut. Mortalitas anak ikan ini akibat penyakit tersebut adalah tinggi, tetapi ikan yang bertahan hidup, meskipun konsentrasi oksigennya rendah, mencapai pertumbuhan yang baik. Di hatchery lain yang konsentrasi oksigennya tinggi, sekitar 9 – 10 ppm, mortalitas anak ikan akibat penyakit octomitiasis adalah rendah.

Baca juga
Bakteri Penyebab Penyakit Pada Ikan

Pengaruh Aerasi Terhadap Penyakit Akibat Flexobacter

Boyd (1982) secara sepintas mengulas hasil penelitian berkaitan dengan hubungan antara aerasi dan kejadian penyakit ikan. Ikan channel catfish ditebarkan di kolam yang diaerasi secara kontinyu dan di kolam kontrol yang tidak diaerasi. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Flexobacter columnaris dijumpai pada dua kejadian terpisah dalam satu periode 6 hari setelah konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 2 mg/liter. Dua kasus penyakit lainnya berhubungan dengan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut. Bagaimanapun, diduga bahwa sebagian besar masalah penyakit tersebut dipicu oleh cepatnya perubahan suhu air akibat peralihan ke musim dingin dan hujan musim dingin.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penyakit dan Parasit Ikan Juga Terjadi Pada Kolam Yang Diaerasi

Boyd (1982) melaporkan hasil penelitian aerasi di kolam tanah seluas 0,02 – 0,04 hektar yang ditebari dengan benih ikan channel catfish sebanyak 20.000 ekor per hektar. Kolam ada yang diaerasi pada malam hari dan ada yang tidak. Rata-rata semua pengukuran konsentrasi oksigen terlarut adalah 1,52 dan 7,29 mg/liter saat fajar dan senja, berturut-turut, untuk kolam yang tak diaerasi serta 4,64 dan 8,25 saat fajar dan senja untuk kolam yang diaerasi. Parasit seperti Scyphidia sp., Cryptobia branchialis, Costia sp. dan Trichopyra sp. ditemukan pada ikan dari kolam yang diaerasi maupun yang tidak diaerasi. Infeksi Aeromonas hydrophila terjadi pada ikan di sebuah kolam yang diaerasi. Karena tidak terjadi kehabisan oksigen di kolam yang diaerasi, rata-rata kematian 8 % disebabkan oleh penyakit dan parasit. Kematian ikan di kolam yang tak diaerasi tidak disebabkan semata-mata oleh kehabisan oksigen terlarut karena masalah penyakit dan parasit sering muncul.

Baca juga
Pengaruh Aerasi Terhadap Organisme Air, Konsentrasi Oksigen, Karbon Dioksida, Amonia, Nitrat, Nitrit dan Nitrogen

Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Kejadian Parasit Ikan

Malhotra et al. (1991) melaporkan bahwa studi tiga tahun terhadap ekologi parasit ikan snow trout Schizothorax richardsonii penghuni perairan sungai Neeru Nullah, Bhaderwah, India, menunjukkan infeksi musiman Diplozoon sp. (Trematoda), Spinitectus sp. (Nematoda) dan sejenis Cestoda. Kejadian parasit yang rendah (secara kualitatif dan kuantitatif) pada ikan snow trout ini mungkin disebabkan oleh efek mekanis arus deras, konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi, dan sedikitnya populasi kopepoda, moluska dan burung (ketiganya merupakan inang-antara) di sungai tersebut. Infeksi parasit yang diamati selama musim semi dan panas hanya menunjukkan hubungan positif dengan naiknya suhu dan relatif rendahnya konsentrasi oksigen terlarut.

Baca juga
Pengaruh Aerasi Terhadap Kualitas Air dan Produksi Ikan di Kolam

Penyakit Gelembung Gas Akibat Aerasi Yang Berlebihan

Espmark et al. (2010) melaporkan bahwa dalam sistem pemeliharaan smolt (ikan juvenil salmon yang bermigrasi ke laut) Atlantik salmon yang intensif, dibutuhkan penambahan oksigen ke dalam air, tetapi ada resiko bahwa ikan bisa terpapar terhadap air yang super jenuh dengan oksigen. Untuk itu dilakukan studi guna meneliti proses dan tingkat keterpaparan berkaitan dengan penyakit gelembung gas yang disebabkan oleh hiperoksia (konsentrasi oksigen sangat tinggi), melalui kombinasi metode pengamatan morfologi dan tingkah laku ikan. Dalam percobaan tersebut, ikan Atlantik salmon tahap pra smolt dibagi menjadi tiga kelompok; satu kelompok kontrol (tidak diberi tambahan oksigen), dan dua kelompok yang menerima perlakuan peningkatan kejenuhan oksigen secara perlahan-lahan selama tiga minggu, kelompok yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen tinggi (130 %, 160 % dan 220 % kejenuhan oksigen dalam minggu ke-1, 2 dan 3, berurut-turut) dan kelompok yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen rendah (110 %, 140 % dan 190 % kejenuhan oksigen dalam minggu ke-1, 2 dan 3, berturut-turut).

Pada percobaan di atas, gejala pertama gangguan kesehatan muncul 8 hari setelah ikan dipaparkan ketika satu lapisan tipis bahan organik muncul di permukaan salah satu tangki kelompok ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan tinggi 160 %. Gejala pertama adanya gelembung gas di bawah-kulit muncul setelah 14 hari pada kelompok ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan tinggi 160 %. Setelah 16 hari, sebanyak 50 % ikan dari kelompok kejenuhan oksigen rendah dan 77 % ikan dari kelompok kejenuhan tinggi memiliki gelembung-gelembung gas di bagian-bagian utama tubuhnya, pada tingkat pemaparan kejenuhan oksigen 190 % dan 220 %, berturut-turut. Gelembung-gelembung gas muncul pada sebagian besar sirip, sepanjang gurat sisi, pada insang dan dalam mata. Gelembung gas terdeteksi melalui pengamatan visual dan diperkuat oleh pengamatan histologi. Pengamatan perilaku ikan menunjukkan bahwa selama minggu pertama ikan pada kelompok kejenuhan oksigen rendah (110 %) berenang lebih aktif secara nyata daripada kelompok kontrol maupun kelompok kejenuhan oksigen tinggi. Pada minggu ke-3, pada kelompok kejenuhan 190 %, aktivitas renang berkurang. Ikan yang dipaparkan terhadap kejenuhan oksigen 110 % selama minggu pertama juga menunjukkan lebih sering berbelok daripada ikan kelompok kontrol, dan perbedaan ini tetap terlihat dalam minggu ke-3 pada kelompok kejenuhan oksigen 190 %. Ikan pada kelompok kejenuhan oksigen tinggi maupun rendah tampak lebih panik daripada ikan kelompok kontrol, yang menunjukkan adanya stres fisiologis dan mungkin rasa sakit.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 18 September 2012

Ikan Kembung (Rastrelliger) : Distribusi, Migrasi, Pemijahan, Makanan dan Pertumbuhan

Arsip Cofa No. C 079

Biologi dan Alat Tangkap Ikan Kembung

Carpenter et al. (1997) menyatakan bahwa Rastrelliger kanagurta umumnya berukuran panjang cagak sekitar 25 cm, maksimum panjang cagak sampai 35 cm; ikan ini bersifat epipelagis dan neritik, sering terlihat di dekat terumbu karang. Ia memakan larva udang dan ikan. Rastrelliger kanagurta ditangkap terutama dengan purse seine, jaring insang dan “stake trap” (perangkap yang dipancang).

Baca juga
Perikanan dan Permasalahannya di Indonesia

Pengaruh Arus Laut Terhadap Migrasi Rastrelliger di Laut Jawa

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa Rastrelliger melakukan migrasi yang luas dan hal ini melibatkan pergerakan gerombolan-gerombolan besar dengan jumlah sampai beberapa juta ikan. Secara musiman, migrasi Rastrelliger membawa sumberdaya perikanan yang sangat penting bagi beberapa daerah pesisir tropis seperti pantai barat India. Migrasi ini tampaknya berkaitan dengan siklus oseanografi meskipun pola migrasinya belum dapat dipahami sepenuhnya. Demikianlah, di Laut Jawa telah diketahui bahwa pada saat terjadi arus balik yang bersamaan dengan permulaan angin muson timur-laut, stok Rastrelliger (beserta stok ikan layang, Decapterus) bergerak ke arah barat bersama-sama dengan arus air dan stok ikan ini hilang dari perikanan; setelah beberapa minggu berselang, stok yang berbeda memasuki perikanan Laut Jawa dari arah timur. Ketika arus muson berbalik lagi pada akhir musim, dua stok ikan memasuki Laut Jawa dari arah barat, satu tampaknya dari Samudra Hindia dan yang lain dari Laut Cina Selatan. Di lepas pantai barat India, Rastrelliger kanagurta bergerak ke arah pantai bersamaan dengan angin muson timur-laut, dan perikanan di tempat ini berdasarkan pada fakta tersebut.

Baca juga
Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Distribusi dan Makanan Rastrelliger

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ikan kembung (Rastrelliger) Indo-Pasifik barat merupakan komoditas perikanan yang sangat penting serta merupakan anggota ekosistem pelagis yang penting di paparan benua daerah tersebut. Rastrelliger terdapat di seluruh Indo-Pasifik barat dari Selat Mozambik sampai Laut Merah, di sebagian besar kepulauan Polinesia dari Queensland sampai Hawaii, dan ke arah utara sampai Taiwan dan Filipina. Di dalam daerah ini terdapat tiga spesies : Rastrelliger kanagurta menempati seluruh daerah, Rastrelliger brachysoma memiliki daerah distribusi yang terpusat di Selat Sunda dan meluas dari Laut Andaman sampai Fiji, sedangkan dari Teluk Thailand sampai Filipina terdapat spesies ketiga, Rastrelliger neglectus. Ketiga spesies bisa dibedakan terutama bedasarkan proporsi alometrik. Rastrelliger brachysoma tubuhnya relatif lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan spesies-spesies lain, Rastrelliger neglectus memiliki tubuh paling panjang dan paling sempit.

Bila dua spesies tersebut di atas terdapat bersama-sama, Rastrelliger kanagurta hidup di lepas pantai di mana ia memakan makroplankton sedikitnya 32 %, sedangkan Rastrelliger brachysoma hidup di zona neritik dan memanfaatkan partikel makanan yang lebih kecil daripada yang dimakan speseis lain. Sebenarnya, Rastrelliger, seperti kerabatnya yang lain, adalah pemakan selektif dan analisis isi perut ikan ini di seluruh daerah distribusinya menunjukkan bahwa mereka dapat memanfaatkan banyak jenis makanan; isi perutnya dipenuhi dengan material alga mikroskopik berwarna hijau bersama dengan kopepoda dan plankton kecil lain, termasuk medusa serta makroplankton seperti udang penaeidae pelagis dan larva serta juvenil ikan. Meskipun mungkin ada perkembangan dari pemakan mikro ke pemakan makro sejalan dengan pertumbuhannya, ikan kembung dewasa tampaknya bukan merupakan predator pemakan ikan seperti halnya ikan tenggiri dari daerah lintang-tinggi (Scomber). Selain itu ada beberapa bukti bahwa hanya ikan kembung besar yang benar-benar dapat melakukan penyaringan terhadap diatom yang mengalami ledakan populasi alga sehingga isi perut ikan kembung ini penuh dengan material tumbuhan.

Baca juga
Tuna dan Ikan Mirip-Tuna

Pemijahan, Makanan dan Migrasi Rastrelliger neglectus

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa adalah mengejutkan bila pendaratan ikan yang paling penting dari Teluk Thailand terdiri dari Rastrelliger neglectus, bukannya ikan demersal, dan mencapai hampir 120.000 ton pada tahun 1966. Perikanan ini jatuh pada tahun 1968, tetapi stok yang besar muncul kembali di Teluk ini pada tahun 1970 dan setelah itu kembali menyumbangkan hampir sepertiga dari total ikan yang didaratkan dari Teluk Thailand. Stok Teluk Thailand memijah di daerah yang relatif terbatas sepanjang pesisir barat; dalam daerah ini ada dua puncak pemijahan yaitu Februari – Maret (mayor) dan Juli – September (minor). Seperti banyak ikan pelagis di daerah tropis, pemijahan terjadi hanya pada permulaan malam hari, pemijahan final tampaknya sangat cepat selama permulaan malam. Makanan larva ikan terutama terdiri dari krustasea planktonik yang sangat kecil, sedangkan ikan dewasa dapat memanfaatkan baik zooplankton maupun fitoplankton. Migrasi ikan dewasa antara daerah pencarian makan di Inner Gulf (Teluk Dalam) dan daerah pemijahan di sepanjang pesisir barat telah dibuktikan melalui percobaan tagging (penandaan), namun percobaan tagging multi-lokasi menunjukkan banyaknya pertukaran individu ikan di seluruh bagian barat teluk tersebut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Makanan dan Kebiasan Makan Ikan Kembung Rastrelliger canagurta

Bhimachar dan George (1952) melakukan studi mengenai makanan dan kebiasaan makan ikan kembung Rastrelliger canagurta berdasarkan pengujian periodik isi perut ikan kembung dan plankton di perairan pesisir dekat Calicut (India) selama tahun 1949 dan 1950. Ikan kembung ini memakan terutama organisme plankton. Makanan utamanya adalah kopepoda, kladocera, larva dan dewasa decapoda, peridinia dan diatom. Post larva bivalva, telur dan larva ikan, larva cacing polikhaeta, naupli cirripedia, appendicularia dan pteropoda merupakan elemen-elemen minor makanan ikan kembung. Tak ada perbedaan besar antara makanan ikan kembung muda dan dewasa. Komposisi makanan bervariasi dari musim ke musim tergantung pada fluktuasi berbagai jenis plankton. Ada hubungan erat antara komponen makanan dan organisme planktonik di daerah dekat pantai. Bentuk-bentuk yang tidak-dapat dimakan seperti salpa, medusa (ubur-ubur), ctenophora, chaetognatha, noctiluca dan larva stomatopoda dihindari oleh ikan kembung dan sampai beberapa kisaran ikan ini menunjukkan sifat selektif dalam hal makan. Aktivitas makan berlangsung sepanjang tahun meskipun intensitasnya bervariasi dari musim ke musim. Tidak ada periode puasa yang jelas. Aktivitas makan adalah rendah selama periode pra-pemijahan dan pemijahan. Aktivitas makan agak tinggi pada kelompok ukuran 16 sampai 20 cm. Aktivitas makan mencapai maksimum selama periode September sampai Desember ketika plankton yang dapat dimakan melimpah.

Baca juga
Ikan Umpan Pada “Pole and Line” dan Longline

Hubungan Tingkat Kematangan Gonad dan Aktivitas Makan Ikan Kembung

Noble (1962) meneliti makanan dan kebiasaan makan ikan kembung Rastrelliger kanagurta di Karwar, India, dari bulan April 1960 sampai Maret 1961. Arti penting relatif berbagai elemen makanan ditentukan dengan “number method” (metode jumlah). Ikan kembung memakan plankton. Kopepoda dan diatom membentuk komponen makanan utama. Dinoflagelata dan cladocera merupakan makanan penting berikutnya. Larva bivalva, gastropoda dan decapoda, naupli cirripedia, larva cypris, Lucifer, mysids, appendicularia dan telur ikan membentuk elemen minor. Trichodesmium erythraeum, Noctiluca miliaris dan chaetognatha sebagai makanan ikan kembung tampaknya bisa diabaikan. Jumlah dan kualitas makanan ikan kembung ini bervariasi sejalan dengan variasi elemen planktonik di daerah dekat-pantai. Intensitas makan dalam rentang waktu setahun adalah berbeda-beda. Ikan kembung terlihat makan banyak ketika belum dewasa (Tingkat Kematangan Gonad tahap I). Ketika ia mulai mengalami matang gonad (TKG II) aktivitas makan juga meningkat dan pada TKG III aktivitas makan sangat intensif. Kemudian pada TKG IV, aktivitas makan berkurang dan pada tahap kematangan gonad selanjutnya (TKG V) aktivitas makannya rendah.

Baca juga
El Nino Southern Oscillation (ENSO) : Pengaruhnya Terhadap Komunitas Biologi Laut

Laju Pertumbuhan Rastrelliger kanagurta

George dan Banerji (1964), berdasarkan laporan berbagai penelitian, menyatakan bahwa panjang total ikan kembung Rastrelliger kanagurta mencapai 12 – 15 cm pada akhir tahun pertama dan 21 – 23 cm pada akhir tahun kedua. Laju pertumbuhannya adalah sedikit lebih dari 1 cm per bulan selama tahun pertama. Ikan kembung sepanjang sekitar 14 cm mungkin berumur 1 tahun. Mereka memijah setelah berumur 3 tahun penuh. Ikan pemijah diwakili oleh kelompok ukuran 23,0 cm atau lebih dan mungkin terdiri dari lebih dari satu kelompok umur.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 16 September 2012

Bioekologi dan Dinamika Populasi Ikan Layang (Decapterus)

Arsip Cofa No. C 078

Bioekologi Tiga Spesies Ikan Layang

Randall (1995) mendaftar tiga spesies ikan layang yang ada di perairan Oman, Arab : Decapterus macarellus, Decapterus macrosoma dan Decapterus russelli . Decapterus macarellus Cuvier bisa mencapai panjang tubuh 32 cm, terdapat di daerah tropis dan membentuk gerombolan pada habitat di dekat permukaan laut sampai kedalaman sekitar 200 meter; speseis ikan layang ini memakan zooplankton. Decapterus macrosoma Bleeker bisa mencapai panjang tubuh sekitar 30 cm; terdapat di daerah Indo-Pasifik termasuk Teluk Oman tetapi tidak ada laporan keberadaan spesies ini di Teluk Arab; ikan ini juga terdapat di Pasifik timur; spesies ikan layang ini membentuk gerombolan pada kedalaman habitat sekitar 30 sampai setidaknya 170 meter. Decapterus russelli Ruppell merupakan ikan layang yang bisa mencapai ukuran terpanjang, 39 cm; ikan layang jenis ini tersebar luas di Samudra Hindia di mana ia merupakan spesies paling umum dari genus Decapterus di perairan pesisir sampai kedalaman sedikitnya 100 meter; ia juga terdapat di Pasifik barat dari Australia sampai Jepang. Decapterus kiliche merupakan sinonim untuk Decapterus russelli.

Carpenter et al. (1997) menyatakan bahwa Decapterus macarellus bisa mencapai panjang total maksimum 32 cm, tetapi yang paling sering dijumpai memiliki panjang cagak sekitar 26 cm; spesies ini terdapat terutama di perairan terbuka pada kedalaman di bawah 40 meter; ia merupakan spesies yang membentuk gerombolan dan memakan terutama invertebrata planktonik kecil; ikan layang ini tertangkap dengan purse seine dan trawl. Decapterus macrosoma bisa mencapai panjang cagak maksimum 30 cm; memakan invertebrata planktonik kecil; tertangkap dengan purse seine dan trawl. Decapterus russelli atau “indian scad” umumnya memiliki panjang cagak 20 cm dengan maksimum 35 cm; menghuni perairan pesisir sampai kedalaman 100 meter; memakan invertebrata planktonik kecil serta tertangkap dengan purse seine dan trawl.

Baca juga
Ikan Umpan Pada “Pole and Line” dan Longline

Biologi dan Dinamika Populasi Decapterus russelli

Murty (1991) mempelajari beberapa aspek biologi dan dinamika populasi ikan layang (Decapterus russelli) di lepas pantai Kakinada, India. Decapterus russelli melimpah di perairan yang relatif dalam dan menyumbangkan 80 – 90 % hasil tangkap ikan carangidae dengan trawl. Parameter-parameter pertumbuhan von Bertalanffy diduga adalah sebagai berikut : L8 = 232,3 mm, K = 1,08 per tahun dan t0 = - 0,08 tahun. Hubungan panjang berat bisa dijelaskan oleh persamaan W (gram) = - 5,93433 + 3,40764 log L (mm). Panjang dan umur saat pertama kali matang gonad diduga adalah 150 mm dan 0,88 tahun, berturut-turut. Spesies ini memijah di lepas pantai Kakinada selama Desember – Agustus. Laju mortalitas diduga adalah Z = 6,65, M = 1,90 dan F = 4,75, sedangkan panjang dan umur saat pertama kali tertangkap adalah 158 mm dan 0,98 tahun, berturut-turut. Analisis hasil tangkap (yield) per rekruit menunjukkan bahwa : dengan tc di atas 0,6 maka Yw/R meningkat dengan meningkatnya F tanpa mencapai maksimum. Bagaimanapun, nilai Yw/R tertinggi diperoleh dengan tc hanya pada 0,6 saja.

Baca juga
Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Kebiasaan Makan Decapterus dayi

Decapterus dayi (sinonim Decapterus russelli) merupakan ikan karnivora pelagis, yang memakan ikan kecil, telur dan larva ikan, serta plankton dari golongan krustasea, polikhaeta dan moluska. Kesukaan makanan tampaknya ke arah Stolephorus spp., Leiognathus spp., Sardinella spp., larva ikan, Acetes spp., Penaeus spp., larva alima, kopepoda dan Cresis sp. Ikan layang kecil terutama memangsa krustasea sedangkan ikan yang lebih besar memangsa ikan lain. Ikan mangsa tersebut merupakan bagian utama makanan ikan layang sepanjang tahun dan sepanjang hari. Ikan layang aktif mencari makan pada bulan-bulan sebelum dan setelah angin muson namun melemah selama angin muson. Baik tahap kedewasaan maupun waktu dalam sehari tidak banyak mempengaruhi aktivitas makan. Berdasarkan kesukaan makanan dan tingkah laku makan Decapterus dayi, disarankan untuk mengeksploitasi ikan ini dengan teknik “light fishing” (penangkapan ikan dengan bantuan cahaya).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pertumbuhan, Pemijahan dan Kelimpahan Decapterus maruadsi dan Decapterus macrosoma

Hallier (1989) dalam Blaber and Copland (1990) melaporkan bahwa beberapa survei telah dilakukan terhadap ikan-ikan umpan tuna di Seychelles : pada Mahe Plateau di daerah lepas pantai dan di pesisir. Di Mahe Plateau, dua spesies ikan layang Decapterus maruadsi dan Decapterus macrosoma memiliki ukuran yang cocok untuk digunakan sebagai umpan tuna (kurang dari 15 cm) ketika juvenil. Decapterus maruadsi lebih melimpah tetapi kelimpahannya mengalami fluktuasi musiman. Ia memijah dari Maret sampai Juni. Setelah satu tahun, panjang cagak (fork length) Decapterus maruadsi mencapai 14 – 15 cm, dan setelah 2 tahun mencapai 21 – 22 cm ketika memijah. Stoknya diperkirakan 55.000 ton. Decapterus macrosoma ada sepanjang tahun tetapi dalam jumlah kecil. Pemijahan ikan ini tampaknya terjadi dari Maret – April sampai September dengan puncaknya pada bulan Juni – Juli. Panjang cagaknya hanya mencapai 10 cm setelah satu tahun dan 17 cm setelah 2 tahun ketika ia memijah. Stoknya diperkirakan 2.000 ton.

Baca juga
Tuna dan Ikan Mirip-Tuna

Distribusi, Fluktuasi Kelimpahan dan Musim Pemijahan Decapterus

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) di Pasifik barat ikan layang (Decapterus) adalah penting, bahkan dua spesies saja (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) membentuk hampir 40 % dari semua pendaratan ikan komersial dan 10 % dari semua hasil tangkap di Filipina selama tahun 1970-an. Bagaimana pun, perikanan layang didasarkan pada kelompok-kelompok umur juvenil; ikan layang yang didaratkan umumnya berukuran panjang kurang dari 20 cm meskipun merupakan ikan pasar yang istimewa. Laut Sulu dan selat-selat antar pulau di Filipina merupakan pusat populasi utama Decapterus. Meskipun seluruhnya ada di dalam kepulauan Filipina, Laut Sulu termasuk dalam (lebih dari 5.000 meter) dengan beberapa bagian yang menghadap Samudra Pasifik adalah dangkal, dan daerah yang dihuni oleh stok Decapterus adalah bagian-bagian yang lebih dangkal yang merupakan rangkaian pulau yang mengelilingi Laut Sulu tersebut - di pesisir selatan Palawan, selat antara Leyte dan Panay, sepanjang pesisir selatan Mindanao dan bagian selatan semenanjung Luzon. Walaupun ikan ini ada sepanjang tahun, puncak kelimpahan hasil tangkap yang didaratkan adalah selama musim kemarau April dan Mei. Tampaknya ada beberapa hubungan umum antara kelimpahan plankton dan fishing ground Decapterus; makanan ikan layang hampir seluruhnya berupa zooplankton.

Pemijahan Decapterus berlangsung agak sporadis sepanjang tahun di daerah yang sangat bervariasi dan luas, dan musim reproduksinya tidak serentak antar daerah. Selain keragaman lokal dalam hal musim reproduksi, ada perbedaan kelimpahan relatif antara dua spesies ikan layang. Di lepas pantai selatan Palawan, hasil tangkap ikan layang terutama adalah Decapterus macrosoma, sedang di dekat Manila dan sepanjang pesisir utara Palawan sebagian besar ikan layang adalah Decapterus russelli; belum ada penjelasan umum mengenai perbedaan distribusi ini (Longhurst dan Pauly, 1987).

Baca juga
Ikan Demersal : Habitat, Distribusi, Kelimpahan dan Biologi

Kelimpahan Musiman, Habitat dan Makanan Decapterus punctatus

Hales (1987) melaporkan bahwa studi dengan trawl-dasar (bottom trawl) selama lima tahun menunjukkan bahwa ikan layang (Decapterus punctatus) melimpah dan tersebar luas di seluruh South Atlantic Bight pada musim panas dan musim gugur, tetapi kurang melimpah dan terbatas di perairan yang lebih dalam (28 – 110 meter) dan lebih hangat (lebih dari 15 °C) selama musim dingin dan musim semi. Ikan dewasa dan juvenil terpisah secara ruang, dengan ikan dewasa mendominasi hasil tangkapan di bagian dalam dan luar paparan benua, sedangkan ikan juvenil mendominasi daerah pertengahan paparan sepanjang tahun. Hasil tangkapan di habitat karang-sepon secara nyata lebih besar dibandingkan hasil tangkapan di dasar berpasir pada musim dingin, namun hasil tangkapan di kedua habitat ini adalah sama pada musim-musim lainnya. Perubahan distribusi musiman ini mungkin berhubungan dengan produktivitas yang lebih tinggi dan stabilitas suhu di habitat karang. Analisis isi perut menunjukkan bahwa ikan layang memakan zooplankton pada siang hari; makanan berubah secara musiman dan keragaman mangsa meningkat sejalan dengan pertumbuhan ikan layang tersebut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 12 September 2012

Pakan Buatan Untuk Bandeng

Arsip Cofa No. C 077

Pakan Buatan Pengganti Pakan Alami Nener

Borlongan et al. (2000) melakukan penelitian dengan tujuan mengembangkan pakan bergizi seimbang dengan biaya produksi efektif sebagai makanan bagi larva ikan bandeng (Chanos chanos). Dua jenis pakan larva (pakan A dan pakan B) diformulasikan dan dibuat agar mengandung 45 % protein dan 10 % lipida. Beberapa bentuk pakan larva yang telah diuji adalah “microbound (ikatan-mikro)”/bukan pelet (kering-beku), ikatan-mikro/pelet (kering-oven) dan ikatan-mikro/serpihan (kering-drum) dan dievaluasi dalam hal ukuran partikel pakan, daya apung, stabilitas air dan penerimaan (acceptability) pakan. Teknik pembuatan yang menghasilkan pakan dengan ukuran partikel, daya apung dan stabilitas terbaik kemudian diterapkan untuk membuat pakan ikatan-mikro (menggunakan karaginan-K sebagai pengikat) yang selanjutnya dijadikan serpihan dengan menggunakan drum pengering. Pakan tersebut digunakan dalam serangkaian eksperimen pemberian pakan yang bertujuan menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bandeng yang dipelihara dengan berbagai skema pemberian pakan.

Dalam eksperimen di atas larva bandeng diberi pakan buatan saja atau kombinasi pakan buatan dan pakan hidup. Nener dalam perlakuan kontrol dipelihara dengan pakan hidup seperti Brachionus plicatilis dan naupli Artemia. Larva terlihat menelan pakan, yang menunjukkan bahwa pakan tersebut cocok secara fisik dan menarik bagi larva bandeng. Secara keseluruhan hasil percobaan pemberian pakan ini menunjukkan bahwa pakan buatan dapat diberikan kepada larva ikan bandeng sebagai kombinasi dengan rotifera Brachionus mulai hari ke dua atau ke delapan, dan dapat diberikan sebagai pakan tunggal (tanpa pakan hidup) mulai hari ke-15. Hasil penelitian ini akan dapat mengurangi ketergantungan larva bandeng terhadap pakan hidup dan memberikan keuntungan ekonomis yang nyata dalam bentuk penyederhanaan prosedur hatchery bandeng.

Baca juga
Pakan Alami Larva Bandeng (Chanos chanos)

Tepung Daun Singkong, Kentang dan Kangkung Sebagai Pengganti Tepung Ikan

Borlongan dan Coloso (1994) mempelajari kemungkinan menggantikan sebagian protein tepung ikan dengan protein tepung daun dalam pakan ikan bandeng, Chanos chanos. Lima pakan isokalori/berkalori-sama (375 kcal/100 gram pakan) telah diformulasikan agar mengandung tepung daun yang bersifat isonitrogen (protein 40 %) dan isolipid (10 %). Daun yang dipakai adalah daun kangkung (Ipomea reptans), kentang manis (Ipomea batata), ipil-ipil (Leucaena leucocephala) dan singkong (Manihot esculenta), atau kombinasi daun kangkung, kentang manis dan singkong. Pakan kontrol mengandung tepung ikan dan tepung kedelai sebagai sumber protein sedangkan pakan uji mengandung tepung ikan, tepung kedelai, dan tepung daun yang menggantikan 15 % protein tepung ikan. Sumber-sumber protein ini digabungkan hingga memberikan pola asam amino esensial yang optimal pada pakan. Setiap pakan diberikan kepada tiga kelompok ikan (sekitar 0,3 gram) yang dipelihara pada salinitas 20 ppt dan suhu 29 °C dalam sistem resirkulasi selama 12 minggu. Pertumbuhan, rasio konversi pakan (“Feed Conversion Ratio”, FCR), rasio efisiensi protein (“Protein Efficiency Ratio”, PER) dan kelangsungan hidup ikan yang diberi berbagai jenis pakan tidak berbeda nyata dibandingkan ikan kontrol. Bagaimanapun, ikan yang diberi pakan yang mengandung tepung daun singkong menunjukkan nilai-bilai terbaik untuk pertumbuhan, FCR, PER dan kelangsungan hidup. Data ini memperkuat dugaan bahwa tepung berbagai jenis daun ini bisa digunakan untuk menggantikan sebagian tepung ikan dalam pakan juvenil ikan bandeng bila kebutuhan asam-asam amino esensialnya terpenuhi.

Baca juga
Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan

Upaya Memanfaatkan Daun Eceng Gondok Untuk Pakan Nener

Santiago et al. (1984) mempelajari pengaruh pakan buatan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bandeng di perairan tawar. Nener bandeng liar (Chanos chanos), berat rata-rata 15 mg, dipelihara dalam air tawar selama 5 minggu dengan empat jenis pakan buatan kering. Moina atau campuran daun eceng gondok digunakan sebagai pakan. Nener yang diberi pakan buatan mencapai tingkat kelangsungan hidup rata-rata 83 – 95 % dan perolehan berat rata-rata 0,16 – 0,18 gram. Nener yang diberi pakan Moina dan campuran daun eceng gondok memiliki pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang jauh lebih rendah. Empat jenis pakan kering yang mengandung 40 % protein kasar tampaknya cukup bagi nener. Penggantian sampai 5 % protein kasar dengan tepung kedelai dan/atau tepung daun ipil-ipil (Leucaena leucocephala) tidak mempengaruhi pertumbuhan, tetapi pakan yang mengandung tepung daun ipil-ipil memberikan tingkat kelangsungan hidup yang sedikit lebih rendah.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Tepung Kacang Sebagai Alternatif Sumber Protein Pakan Bandeng

Borlongan et al. (2003) melakukan uji coba pemberian pakan selama 12 minggu untuk mengevaluasi penggunaan tepung kacang (Pisum sativum) sebagai sumber protein untuk juvenil ikan bandeng. Pakan praktis yang isonitrogen (30 % protein kasar) dan isokalori (16,5 kJ/gram) telah diformulasikan. Pakan kontrol mengandung tepung ikan, tepung kedelai, tepung daging dan tulang serta tepung kopra sebagai sumber protein utama. Tepung kacang secara bertahap menggantikan 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 %, 25 % dan 30 % total protein. Pakan komersial juga diuji sebagai kontrol tambahan. Pakan eksperimen diberikan dengan tiga ulangan kepada kelompok-kelompok juvenil ikan bandeng (berat awal rata-rata 0,42 plus minus 0,01 gram) sebanyak 10 % berat badan per hari.

Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa penampilan pertumbuhan (dinyatakan sebagai persentase perolehan berat dan SGR), kelangsungan hidup, rasio konversi pakan (FCR) dan rasio efisiensi protein (PER) bandeng yang diberi pakan, yang proteinnya diganti dengan tepung kacang sampai 10 %, adalah tidak berbeda nyata (P > 0,05) bila dibandingkan ikan yang diberi pakan kontrol. Penggantian dengan tepung kacang sebanyak 15 % atau lebih menyebabkan bandeng yang memakannya menunjukkan respon pertumbuhan yang secara nyata lebih rendah daripada bandeng yang memakan pakan kontrol tanpa tambahan tepung kacang sedikitpun. Namun demikian, terlihat bahwa ikan bandeng yang memakan pakan yang sampai 20 % total proteinnya diganti dengan tepung kacang menunjukkan laju pertumbuhan dan rasio konversi pakan yang lebih baik daripada pakan komersial kontrol. Komposisi tubuh ikan secara total (protein kasar, lemak kasar, serat kasar, ekstrak bebas-nitrogen dan kadar abu) pada bandeng yang diberi berbagai jenis pakan uji adalah tidak berbeda nyata. Koefisien “apparent digestibility” (daya cerna yang terlihat) untuk tepung kacang dan pakan eksperimen bandeng juga ditentukan. Hasilnya menunjukkan bahwa tepung kacang merupakan sumber protein yang dapat diterima dan dapat menggantikan sampai 20 % total protein pakan dalam pakan ikan bandeng.

Baca juga
Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Nener Yang Diberi Pakan Buatan

Alava dan Lim (1988) melaporkan bahwa larva ikan bandeng (Chanos chanos) yang diperoleh dari alam telah ditebarkan, masing-masing 200 ekor, dalam 18 tangki fiberglas berisi 30 liter air laut tersaring dan teraerasi. Nener ini diberi makanan enam jenis pakan kering buatan yang mengandung protein kasar rata-rata 40,8 %. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan. Larva bandeng mencapai berat badan rata-rata 0,173 – 0,202 gram, panjang total rata-rata 29 – 31 mm, nilai efisiensi pakan rata-rata 0,94 – 1,16, dan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 92 – 98 %. Respon nener bandeng yang sangat serupa terhadap enam jenis pakan menunjukkan bahwa keenam jenis pakan tersebut mengandung nutrisi esensial yang dibutuhkan oleh ikan yang tumbuh-cepat. Tepung kedelai bisa menggantikan tepung gluten jagung; tepung tulang dan daging dapat menggantikan tepung kepala udang sampai 8 % dari protein kasar.

Baca juga
Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

Mortalitas dan Pertumbuhan Bandeng Muda Yang Diberi Pakan Pelet Trout dan Pelet Kelinci

Sembrano-Timbol (1974) melaporkan bahwa ikan bandeng tahap pra-fingerling, fingerling dan juvenil telah ditangkap dari perairan Oahu (Hawaii) dan dipelihara dalam tangki dengan berbagai jenis pakan pelet untuk menentukan mortalitas dan pertumbuhan relatif serta kelayakan pemeliharaan buatan secara total. Hasil pengumpulan ikan bandeng dari alam menunjukkan bahwa bandeng muda terdapat secara lokal di perairan pantai yang dangkal. Bandeng dikelompokkan menjadi 3 kelompok ukuran (< 7, 7 – 11, > 11 gram). Mereka dimasukkan ke dalam tangki identik berisi air laut yang mengalir dengan debit 10 liter/menit.

Dalam dua percobaan pemberian pakan, satu kelompok ikan diberi pakan pelet ikan trout berprotein tinggi (berbasis tepung ikan), kelompok lain diberi pakan berupa pelet kelinci berprotein rendah (berbasis tumbuhan alfalfa) yang harganya seperempat lebih murah dibandingkan yang pertama. Ikan bandeng yang diberi pakan pelet trout menunjukkan perolehan berat yang lebih tinggi. Juga, mortalitas lebih rendah pada ikan bandeng yang diberi pelet trout (rata-rata 8 % dibandingkan 16 % untuk pelet kelinci). Ikan yang bertahan hidup menunjukkan perolehan berat rata-rata 27 % (untuk kelompok yang diberi pelet trout) dan 11 % (untuk kelompok yang diberi pelet kelinci) dalam 8 minggu. Penyakit dan pengaruh suhu dipertimbangkan. Disimpulkan bahwa pelet ikan trout secara nutrisi lebih unggul daripada pelet kelinci pada kondisi percobaan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pakan Alami Larva Bandeng

Arsip Cofa No. C 076

Makanan Alami dan Aktivitas Makan Larva Bandeng di Laut dan Estuaria

Banno (1980) mengumpulkan larva bandeng (nener) setiap minggu dan setiap hari dari habitat laut dan estuaria untuk mengetahui kebiasaan makan, periodisitas makan dan kelimpahannya selama musim larva 1977 dan 1978 di Hamtik, Antique. Analisis isi perut larva bandeng (panjang total 13,4 ± 0,9 mm dan berat badan 7,5 ± 1,9 mg) menunjukkan bahwa hanya 71 dari 636 dan 34 dari 391 larva yang dikumpulkan setiap minggu dari habitat laut dan estuaria, berturut-turut, mengandung plankton di dalam ususnya. Demikian pula, hanya 40 individu dari 1289 sampel laut dan 71 dari 1377 sampel estuaria yang dikumpulkan setiap hari, menelan plankton. Lima genera diatom, tiga kopepoda, dua tipe foraminifera, dan butiran pasir ditemukan dalam usus larva bandeng. Yang paling umum adalah Coscinodiscus sp., Oithona sp., Paracalanus sp. dan Calanus sp. Larva bandeng mulai makan plankton pada jam 06.00 dan berhenti pada pukul 19.00, dengan periode makan paling aktif pada jam 07.00 sampai 13.00, aktivitas makan sedang pada periode jam 14.00 sampai 17.00 dan aktivitas makan paling kecil pada jam 00.00 sampai 02.00. Data ini menunjukkan rendahnya aktivitas makan plankton pada bandeng di kedua tipe habitat. Hal tersebut bisa disebabkan oleh sedikitnya jumlah plankton selama pengumpulan larva bandeng. Bagaimanapun, hal ini sangat memperkuat dugaan bahwa sumber utama makanan larva bandeng adalah detritus dan nutrien anorganik yang sangat melimpah di sepanjang daerah pesisir dan yang mudah dimanfaatkan oleh larva bandeng untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Kelimpahan larva bandeng tidak berhubungan dengan ketinggian pasang surut.

Baca juga
Pakan Alami Penaeus

Mana Yang Lebih Baik Untuk Pakan Nener : Chlorella sp., Tetraselmis sp. atau Isochrysis ?

Juario dan Storch (1984) melakukan evaluasi biologis terhadap fitoplankton sebagai makanan larva ikan bandeng. Kultur fitoplankton Chlorella sp., Tetraselmis sp dan Isochrysis galbana digunakan sebagai pakan tunggal bagi larva bandeng (Chanos chanos) yang baru ditangkap (umur sekitar 21 hari). Studi ultrastruktural terhadap sel acinar pankreas dan hepatosit (sel hati) menunjukkan bahwa larva bandeng tidak dapat memanfaatkan Chlorella secara langsung, karena dinding selnya keras. Sebaliknya, larva bandeng dapat memanfaatkan secara langsung Tetraselmis dan Isochrysis. Tetapi bila Tetraselmis digunakan sebagai satu-satunya pakan maka nutrisinya tidak cukup untuk kebutuhan pertumbuhan dan kelangsungan hidup nener sehingga secara nutrisi Tetraselmis kurang baik dibandingkan Isochrysis.

Baca juga
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pengaruh Alga Terhadap Kualitas Brachionus Sebagai Makanan Nener

Acosta (1984) melakukan dua rangkaian eksperimen untuk mengevaluasi kualitas Brachionus plicatilis yang diberi pakan satu spesies tunggal alga bersel satu, Chlorella sp., Isochrysis galbana dan Tetraselmis tetrahele serta kombinasi mereka sebagai pakan untuk larva ikan bandeng. Dalam percobaan I, pertumbuhan paling baik terjadi pada larva bandeng yang diberi pakan Brachionus yang memakan Isochrysis, diikuti oleh larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan Tetraselmis; pertumbuhan paling buruk dialami oleh larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan Chlorella. Pengamatan dengan mikroskop elektron memperkuat hasil penemuan ini dan membuktikan bahwa hepatosit (sel hati) larva bandeng yang memakan Brachionus dengan Isochrysis memilki ciri ultra struktural yang optimum. Sel hati ini berukuran teratur, inti sel berdensitas ringan dan plasma banyak mengandung partikel glikogen. Sedangkan hepatosit larva bandeng yang memakan Brachionus dengan Chlorella menunjukkan kondisi abnormal; sel hati ini berukuran lebih kecil dengan inti sel berwarna gelap dan menyusut, jumlah glikogen dan mitokondria sedikit. Dalam percobaan II, larva bandeng yang diberi pakan Brachionus yang memakan kombinasi ketiga spesies alga tersebut di atas menunjukkan pertumbuhan yang secara nyata lebih baik daripada larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan kombinasi dua spesies alga manapun. Larva bandeng yang diberi pakan Brachionus yang diberi pakan kombinasi spesies fitoplankton mengalami pertumbuhan yang lebih cepat daripada larva bandeng yang memakan Brachionus yang diberi pakan satu spesies tunggal fitoplankton. Laju pertumbuhan sangat tinggi pada semua perlakuan. Perbedaan tingkat kelangsungan hidup larva bandeng adalah tidak nyata.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Nener Yang Diberi Pakan Artemia dan Kombinasi Artemia + Pakan Buatan

Figueroa-Bombeo (1983) melakukan percobaan untuk membandingkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang dan bandeng yang diberi pakan Artemia, pakan buatan dan kombinasi keduanya dengan rasio 1 : 1. Post larva Penaeus monodon dan larva Chanos chanos dipelihara selama 30 hari dengan padat penebaran 15 ekor per liter di dalam akuarium dan tangki putih (white basin), berturut-turut. Larva bandeng yang diberi pakan Artemia memiliki nilai tertinggi untuk berat badan rata-rata (0,14 gram) dan panjang total rata-rata (26,91 mm); nilai-nilai tersebut berbeda nyata dengan perlakuan-perlakuan lain. Konversi pakan terbaik 9,52 diperoleh larva yang diberi pakan lumat; nilai ini secara nyata berbeda dengan konversi pakan larva yang diberi pakan basah (moist diet) saja. Rasio efisiensi protein larva bandeng yang diberi pakan Artemia secara nyata lebih besar daripada perlakuan-perlakuan lain. Kelangsungan hidup adalah tertinggi untuk larva yang diberi pakan Artemia (48 %) tetapi nilai ini tidak berbeda nyata dengan larva yang diberi jenis-jenis pakan lainnya. Larva bandeng dengan berat rata-rata 20,7 mg lebih menyukai Artemia dengan kisaran ukuran 1 sampai 2 mm.

Baca juga
Pakan Buatan Untuk Bandeng (Chanos chanos)

Proses Pencernaan Bandeng Dalam Kaitannya Dengan Pakan Alami

Benitez et al. (1982) mempelajari proses pencernaan ikan bandeng (Chanos chanos), yang dipelihara dalam tambak air payau, dalam hubungannya dengan pakan alami yang berupa dua tipe : (1) komplek komunitas alga bersel satu dan plankton lain dan (2) alga hijau berfilamen beserta organisme-organisme yang berasosiasi dengannya. Pencernaan karbohidrat terjadi terutama di dalam pilorik kaeka dan usus. Ikan yang memakan alga berfilamen memiliki aktivitas karbohidrase yang secara umum lebih tinggi. Studi terhadap aktivitas amilase usus dan “feeding index” (indeks aktivitas makan) selama periode 24 jam menunjukkan bahwa puncak aktivitas amilase terjadi satu kali sehari pada sekitar tengah hari ketika perutnya penuh. Hal ini memperkuat dugaan bahwa sekresi enzim adalah bersamaan dengan aktivitas makan. Aktivitas protease terjadi terutama di dalam pilorik kaeka, usus dan pankreas. Ikan yang memakan alga bersel satu memperlihatkan aktivitas protease yang secara konsisten lebih tinggi. Aktivitas chymotrypsin diamati pada ikan yang memakan kedua tipe pakan alami. Sebaliknya, aktivitas tripsin hanya terjadi pada ikan yang memakan alga bersel satu. Tripsin bandeng sangat dihambat oleh ekstrak kasar dari alga berfilamen. Penghambatan tersebut bisa menyebabkan rendahnya laju pertumbuhan ikan yang memakan pakan alami ini.

Baca juga
Kultur Masal Brachionus dan Pemanfaatannya Sebagai Pakan Larva Ikan

Aktivitas Enzim Lipase Dalam Hubungannya Dengan Jenis Alga Yang Dimakan

Borlongan (1990) melaporkan bahwa ikan bandeng (Chanos chanos) telah diberi dua macam pakan alami untuk menentukan pola distribusi enzim lipase sepanjang saluran pencernaan dan untuk mengidentifikasi kondisi optimum bagi aktivitas lipase. Satu jenis makanan terdiri dari komplek biologis alga bersel satu dan diatom (Pakan A) dan yang lain terdiri dari alga hijau filamen berserat, yang didominasi oleh Chaetomorpha brachygona (Pakan B). Lokasi utama sekresi lipase dalam saluran pencernaan ikan bandeng adalah usus, pankreas dan pilorik kaeka. Aktivitas lipase alga lebih tinggi untuk ikan yang diberi Pakan A daripada yang diberi Pakan B. Aktivitas lipase usus terlihat maksimal pada suhu 45 °C dan pada pH 6,8 dan 8,0. Aktivitas lipase pankreas tampak maksimal pada suhu 50 °C dan pH 6,4 dan 8,6. Adanya dua nilai pH optimal, satu agak asam dan yang lain basa untuk lipase usus dan lipase pankreas, menunjukkan adanya keragaman fisiologis dalam pencernaan lipida pada ikan bandeng.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 06 September 2012

Pemanfaatan Kitin dan Kitosan

Arsip Cofa No. C 075

Kitin dan Kitosan

Kumar (2000) menyatakan bahwa kitin merupakan polisakarida amino alami paling melimpah dan diduga dihasilkan setiap tahun sebanyak produksi selulosa. Ia banyak menarik perhatian tidak hanya karena kurang dimanfaatkan, tetapi juga karena merupakan material fungsional baru yang berpotensi tinggi dalam berbagai bidang, dan kemajuan baru-baru ini dalam hal kimia kitin membuktikan bahwa kitin merupakan material yang sangat berharga.

Menurut Rinaudo (2006) kitin merupakan polimer alami paling penting kedua di dunia ini. Sumber utama bahan ini adalah dua jenis krustasea laut, udang dan kepiting. Sedangkan kitosan merupakan senyawa turunan kitin yang terpenting. Kitosan, yang larut dalam media asam cair, digunakan dalam banyak penerapan di bidang makanan, kosmetik, biomedis dan obat-obatan.

Baca juga
Bahan dan Pengaruh Pengemasan Terhadap Mutu Produk Perikanan

Aktivitas Anti Jamur dan Anti Bakteri Pada Kitin dan Kitosan

Allan dan Hadwiger (1979) melaporkan bahwa kitosan, yang merupakan bentuk deasetilasi dari kitin, menghambat pertumbuhan banyak jenis jamur, termasuk jamur patogen pada tumbuhan dan binatang. Semua jamur yang diuji yang dilaporkan mengandung kitosan sebagai komponen dinding selnya tidak peka terhadap efek fungisidal kitosan.

Tsai et al. (2002) mengevaluasi pengaruh derajat deasetilasi (DD) dan metode pembuatan kitosan terhadap aktivitas antimikroba. Kitin yang dibuat secara kimia (selanjutnya disebut kitin kimia) dan kitin yang dibuat secara mikrobiologi (selanjutnya disebut gkitin mikrobiologi) diperoleh dari cangkang udang. Kitin kimia dan kitin mikrobiologi kemudian di-deasetilasi secara kimia untuk mendapatkan berbagai produk kitosan dengan nilai DD berkisar dari rendah (47 . 53 %), sedang (74 . 76 %) sampai tinggi (95 . 98%). Selain itu, kitin mikrobiologi di-deasetilasi juga dengan berbagai jenis protease. Aktivitas antimikroba produk-produk ini dievaluasi di dalam medium dengan pH 6,0. Baik kitin kimia, kitin mikrobiologi maupun produk berkitin yang di-deasetilasi protease tidak ada yang menunjukkan aktivitas antimikroba. Untuk kitosan, aktivitas antimikroba meningkat sejalan dengan meningkatnya DD, dan lebih kuat melawan bakteri daripada melawan jamur. Minimal lethal concentration (MLC) untuk kitosan dengan DD tinggi terhadap Bacillus cereus, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Pseudomonas aeruginosa, Shigella dysenteriae, Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae dan Vibrio parahaemolyticus semuanya ada di dalam kisaran 50 - 200 ppm, sedangkan MLC terhadap Candida albicans dan Fusarium oxysporum adalah 200 ppm dan 500 ppm, berturut-turut. Tidak ada aktivitas anti jamur pada konsentrasi 2000 ppm terhadap Aspergillus fumigatus atau Aspergillus parasiticus. Perlakuan pendahuluan terhadap filet ikan salmon (Oncorhynchus nerka) dengan larutan kitosan 1 % (DD tinggi) selama 3 jam menghambat peningkatan konsentrasi senyawa volatile basic nitrogen, juga menghambat bakteri mesofil, psikrotrof, coliform, Aeromonas spp. dan Vibrio spp. Daya awet dengan demikian bertambah menjadi 5 sampai 9 hari.

Baca juga
Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia

Daya Racun Kitosan Dalam Makanan

Arai et al. (1968) melaporkan bahwa kitosan yang disiapkan dari kitin, komponen karapas krustasea laut, telah disarankan sebagai gfood additiveh (bahan yang ditambahkan ke dalam makanan). Oleh karena itu perlu untuk menguji daya racun kitosan bagi kesehatan manusia. Dosis kitosan 10 gram per kg berat badan adalah tidak berbahaya bagi tikus dalam uji pendahuluan. Dalam penelitian lanjutan, dilakukan pengujian terhadap dosis 20, 30 dan 50 gram. Tikus jantan dengan berat masing-masing 25 - 28 gram dibagi menjadi sepuluh kelompok termasuk kelompok kontrol, masing-masing terdiri dari lima binatang. Tikus dalam setiap kelompok kecuali kontrol, menerima pakan yang mengandung kitosan atau garam kitosan. Percobaan dilakukan selama 19 hari. Pakan harian sejumlah lebih dari sekitar 18 gram kitosan-bebas atau sekitar 16 gram kitosan-format adalah berbahaya bagi tikus. Daya racun kitosan-asetat sedikit lebih kuat daripada kedua bentuk kitosan di atas. Bagaimanapun, jumlah-jumlah tersebut adalah sama dengan dosis letal gula atau garam. Dengan demikian, kitosan tampaknya tidak digolongkan ke dalam kategori bahan beracun bila mempertimbangkan daya racun akutnya.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pemanfaatan Kitosan Dalam Biomedis

Rao dan Sharma (1997) melaporkan bahwa kitosan, sejenis mukopolisakarida asal laut, telah dipelajari dalam hal keamanan dan potensi hemostatik (penghentian aliran darah). Dari tujuh enzim yang digunakan, gleucine amino peptidase menyebabkan degradasi maksimum. Pemanasan dalam autoklav tampaknya merupakan metode sterilisasi yang ideal karena penurunan tensile strength (daya regang) yang diakibatkannya adalah paling kecil dan pengaruhnya terhadap laju hemolisis bisa diabaikan. Sterilisasi dengan glutaraldehid pada pH fisiologis menyebabkan kitosan tetap memiliki tensile strength maksimum. Uji toksisitas secara in vivo (di dalam tubuh organisme) menunjukkan bahwa kitosan bersifat non toksik, dan film kitosan yang steril tidak mengandung pyrogen (agen penyebab panas). Uji koagulasi dan hemaaglutinasi menunjukkan bahwa mekanisme hemostatik kitosan tampaknya tidak tergantung pada urutan proses koagulasi klasik dan tampaknya terjadi interaksi antara membran sel darah merah dan kitosan.

Baca juga
Produk Ikan Fermentasi

Pengaruh Kitin dan Kitosan Terhadap Pertumbuhan Ikan Mujaer

Shiau dan Yu (1999) mempelajari efek kitin, poly-ƒÀ-(1¨4)-N-acetyl-glucosamine, dan kitosan, sejenis polimer glukosamin yang diperoleh dengan cara deasetilasi kitin, terhadap pertumbuhan dan daya cerna nutrisi pada ikan mujaer hibrida, Oreochromis niloticus ~ Oreochromis aureus, yang diberi pakan berserat sebanyak 0, 2, 5 atau 10 % dari pakan dasar selama 8 minggu. Setiap pakan diberikan kepada tiga kelompok ikan dengan rata-rata berat badan awal 0,99 } 0,01 gram. Perolehan berat badan yang lebih rendah secara nyata (P < 0,05) terlihat pada ikan yang diberi pakan yang mengandung kitin dan kitosan, berapapun kadarnya, daripada ikan yang diberi pakan kontrol. Perolehan berat ikan menurun ketika penambahan kitin dan kitosan pakan meningkat (kitin, r = 0,97, P < 0,05; kitosan, r = 0,73, P < 0,05). Perolehan berat yang lebih tinggi (P < 0,05) terjadi pada ikan yang diberi pakan dengan kadar kitin 5 dan 10 % daripada ikan yang diberi pakan berkitosan. Rasio konversi pakan mengikuti pola yang sama dengan perolehan berat. Daya cerna lipida dan bahan kering adalah lebih rendah pada ikan yang diberi pakan yang mengandung kitin 10 % dbandingkan pada ikan yang diberi pakan kontrol. Daya cerna lipida dan bahan kering yang lebih rendah dan kandungan lipida badan ikan yang lebih rendah terlihat pada ikan yang diberi pakan berkitosan, berapapun kadarnya. Ikan yang diberi pakan yang mengandung kitin 2 dan 5 % memiliki daya cerna lipida yang lebih tinggi daripada ikan yang diberi pakan berkitosan. Kadar lipida tubuh ikan mencerminkan pola umum daya cerna lipida. Data ini menunjukkan bahwa penambahan kitin maupun kitosan, berapapun kadarnya, menghambat pertumbuhan tilapia.

Baca juga
Pemanfaatan Limbah Ikan dan Udang

Mempertahankan Daya Awet Ikan Dengan Kitosan

Fan et al. (2009) mempelajari efek pembungkusan dengan kitosan terhadap kualitas dan daya awet ikan silver carp selama penyimpanan beku. Sampel ikan diberi perlakuan dengan larutan kitosan cair 2 % kemudian disimpan pada suhu -3 ‹C selama 30 hari. Sampel kontrol dan sampel perlakuan dianalisis secara periodik dalam hal mikrobiologi (total viable count), kimia (pH, TBA, TVB-N, nilai-K) dan karakteristik inderawi. Hasilnya menunjukkan bahwa efek pembungkusan sampel ikan dengan kitosan adalah mempertahankan kualitas dan memperpanjang daya awet ikan selama penyimpanan beku, yang didukung oleh hasil analisis mikrobiologi, kimiawi dan evaluasi inderawi.

Kitosan Menghambat Oksidasi Lipida

Shahidi et al. (2002) melaporkan bahwa kitosan dengan berbagai berat molekul (nilai gapparent viscosity/kekentalan tampakh 14, 57 dan 360 cP) adalah efektif dalam mengendalikan oksidasi lipida pada ikan cod (Gadus morhua) cincang setelah pemasakan. Baik nilai peroksida (PV) maupun "2-thiobarbituric acid reactive substance" (TBARS) berkurang akibat perlakuan ikan sebelum pemasakan dengan 50, 100 dan 200 ppm kitosan 14, 57 dan 360 cP. Penghambatan oksidasi tergantung pada konsentrasi dan paling tinggi untuk kitosan 14 cP.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...