Minggu, 22 Desember 2013

Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata

Arsip Cofa No. C 169

Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Brachionus

Hagiwara dan Hino (1988) dalam Ricci et al. (1989) melaporkan bahwa rotifera laut Brachionus plicatilis typicus telah dibudidayakan dalam gelas 500 ml agar memproduksi telur istirahat. Tetraselmis tetrathele digunakan sebagai pakan kultur. Segera setelah terbentuk, telur istirahat dipaparkan terhadap berbagai suhu (5 – 25 oC) dan berbagai rejim cahaya (24 jam terang : 0 jam gelap dan 0 jam terang : 24 jam gelap). Bila telur dipaparkan terhadap cahaya segera setelah terbentuk, telur menetas secara sporadis dalam waktu satu bulan. Tidak terjadi penetasan bila telur disimpan selama 6 bulan pada kondisi gelap, berapapun suhunya. Telur-telur ini menetas secara bersamaan setelah dipaparkan terhadap cahaya, sedangkan telur yang disimpan pada suhu 5 oC menunjukkan laju penetasan dua kali lipat (40 %) dibandingkan telur yang disimpan pada suhu 15 – 25 oC (24 %). Klon yang berasal dari telur istirahat kemudian dipelihara pada berbagai suhu dan rejim cahaya dan selanjutnya dipelihara sampai generasi ketiga. Inkubasi pada suhu 25 oC dalam kondisi ada cahaya (terang) menghasilkan betina mictic terbanyak (5,4 % dan 5,2 %) selama generasi ke-2 dan ke-3, berturut-turut. Produksi terendah (0 dan 1,5 %) diperoleh bila telur disimpan pada suhu 5 oC dalam kondisi gelap total selama enam bulan.

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Ukuran Telur Istirahat Pada Brachionus

Serrano et al. (1988) dalam Ricci et al. (1989) mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap ukuran telur istirahat pada dua klon Brachionus plicatilis (rotifera). Klon dipilih berdasarkan perilakunya terhadap telur istirahat : satu klon mengeluarkan telur istirahat dari dalam tubuhnya sedangkan klon lain tetap menyimpan telur istirahat di dalam tubuh induk betina. Perbedaan ukuran telur istirahat antara kedua jenis klon tersebut adalah jelas walaupun perbedaan ini tidak sebesar perbedaan ukuran antara induk-induk betina. Efek interaksi suhu-salinitas terlihat dengan jelas. Hubungan terbalik antara ukuran dan suhu hanya berlaku pada suhu rendah. Pada suhu tinggi, ukuran telur bervariasi di sekitar nilai rata-rata; variasinya lebih besar bila dibandingkan variasi pada suhu sedang. Hal ini lebih jelas pada salinitas sedang yang dianggap sebagai paling dekat dengan optimum dalam percobaan ini. Pola variasi ini menunjukkan bahwa ukuran rata-rata telur istirahat adalah lebih besar daripada yang diharapkan, dalam kaitannya dengan suhu dan salinitas, ketika faktor-faktor ini mendekati batas-batas kisarannya yang umumnya ditemukan di alam, di mana mekanisme adaptasi dapat berevolusi. Ukuran telur istirahat adalah lebih besar pada kombinasi suhu-salinitas rendah-rendah dan tinggi-tinggi yang merupakan kombinasi paling umum di lingkungan beriklim sedang.

Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reproduksi Gastropoda

Takami (1992) mempelajari pertumbuhan dan jumlah anak pada siput Semisulcospira reiniana yang dipelihara selama 48 – 51 bulan pada tiga macam suhu di laboratorium. Anak baru lahir, yang diproduksi pada bulan Juli dan Agustus 1986, tumbuh hingga mencapai diameter cangkang rata-rata 8 – 9 mm pada umur 1 (bulan), 11 – 12 mm pada umur 2 (bulan), 12 – 13 mm pada umur 3 (bulan), dan 13 – 14 mm pada umur 4 (bulan). Kelahiran anak terjadi pada suhu 12 – 18 oC. Sejumlah besar anak, diperkirakan sebanyak 10 sampai 38 individu per betina selama sebulan, diproduksi pada suhu 20 – 28 oC. Pada kondisi suhu air tinggi, ukuran maksimum siput ini adalah kecil dan kelangsungan hidupnya rendah, tetapi produksi anaknya meningkat.

Baca juga :
Reproduksi dan Endokrinologi

Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Oyster

Sarvesan et al. (1990) melaporkan bahwa pemijahan oyster Crassostrea madrasensis di Muttukadu Backwater, India, berlangsung dari Januari sampai November dengan puncaknya pada bulan Februari – Maret dan September – Oktober. Oyster betina adalah dominan selama beberapa bulan dalam setahun, sedangkan jumlah individu jantan melebihi betina pada bulan Agustus dan September 1986 serta Februari dan Mei 1987. Di antara empat stasiun yang menjadi lokasi penelitian penempelan benih oyster, Muttukadu Bridge menunjukkan penempelan benih oyster yang paling tinggi terutama pada bulan Oktober. Maksimum 109 benih oyster menempel pada sebuah tiang yang tertutup kapur di jembatan tersebut. Disimpulkan bahwa kematangan gonad dan pemijahan oyster serta penempelan benihnya berkorelasi dengan salinitas dan suhu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Kematangan Gonad dan Pemijahan Scallop

Sastry (1963) melaporkan bahwa kerang subspesies Aequipecten irradians concentricus dari Alligator Harbor, Florida, mencapai matang gonad menjelang akhir bulan Juli ketika suhu musim panas menjadi maksimum dan menyebabkan terjadinya pemijahan awal pada bulan Agustus ketika suhu mulai turun. Suhu musim dingin menurunkan perkembangan gonad kerang scallop Florida ini. Selama musim dingin, scallop dirangsang untuk matang gonad pada suhu 23 ± 1 oC dalam 26 hari. Scallop matang gonad yang dipelihara di laboratorium memijah sebagai respon terhadap peningkatan suhu selama bulan-bulan yang berbeda. Subspesies Aequipecten irradians irradians dari Massachusetts dan Aequipecten irradians concentricus dari Florida dan North Carolina menunjukkan perbedaan kebutuhan suhu untuk pematangan gonad dan pemijahan. Subspesies scallop dari utara Cape Hatteras bereproduksi pada suhu yang lebih rendah bila dibandingkan dengan subspesies dari selatan. Pemijahan kedua subspesies ini tidak bertumpang tindih.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Moluska

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Reproduksi Cephalopoda

Forsythe dan Hanlon (1998) melaporkan bahwa kultur laboratorium 40 ekor Octopus bimaculoides dari April 1982 sampai Agustus 1983 selama satu siklus hidup penuh pada suhu 18 °C vs 23 °C menyediakan informasi tentang pertumbuhan, reproduksi dan umur gurita pantai ini. Pada suhu 18 oC, cephalopoda ini tumbuh dari ukuran saat menetas 0,07 gram menjadi rata-rata 619 gram dalam waktu 404 hari; individu terbesar berukuran 872 gram. Gurita yang dibudidayakan pada suhu 23 oC mencapai bobot tertinggi rata-ratanya 597 gram dalam waktu 370 hari; individu terbesar yang tumbuh pada suhu ini adalah 848 gram setelah 404 hari. Suhu tinggi mempercepat semua aspek biologi reproduksi dan memperpendek umur binatang ini sebesar 20 % (dari sekitar 16 bulan menjadi 13 bulan). Octopus bimaculoides merupakan spesies gurita dengan siklus hidup terlama dan telur berukuran besar serta anak-anaknya yang baru menetas bersifat bentik.

Baca juga :
Reproduksi Cumi-Cumi

Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Serangga Air

Watanabe (1992) mempelajari pengaruh suhu terhadap penetasan telur serangga air, lalat sehari (mayfly). Telur lalat sehari (Potamanthus formosus) dipelihara pada suhu konstan di laboratorium. Persentase telur yang menetas adalah 34 – 53 % pada kisaran suhu 15 – 30 oC, tetapi persentase penetasan ini jatuh mendadak bila suhunya di bawah 15 oC (± 13 oC) menjadi hampir 0 %. Hubungan antara suhu dan lama perkembangan dijelaskan dengan baik oleh sebuah persamaan hiperbola. Batas suhu untuk perkembangan telur menurut perhitungan adalah 10,5 oC dengan persentase penetasan 50 %. Nilai hasil perhitungan jumlah derajat-hari efektif adalah 222,2 di atas 10,5 oC. Penerapan hasil penelitian ini untuk sungai alami menunjukkan bahwa telur harus diletakkan hingga akhir September agar bisa menetas ketika suhu air menurun menjadi 15 oC. Telur yang diletakkan pada akhir periode penetasan tidak akan menetas sebelum musim dingin, dan mungkin melewati musim dingin kemudian menetas pada musim semi.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 11 Desember 2013

Pengaruh Suhu Terhadap Bakteri di Perairan

Arsip Cofa No. C 168

Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Bakteri Nitrifikasi

Menurut Fdz-Polanco et al. (1994) aktivitas dan konsentrasi bakteri nitrifikasi tergantung pada konsentrasi amonia bebas spesifik (rasio NH3/biomas); rasio ini sendiri ditentukan oleh suhu, pH, konsentrasi amonia dan konsentrasi biomas penitrifikasi. Jadi, suhu merupakan parameter kunci dalam proses nitrifikasi yang menghasilkan dua efek berlawanan : aktivasi bakteri dan penghambatan amonia bebas. Untuk bakteri Nitrosomonas hanya terlihat efek aktivasi; aktivitasnya mencapai maksimum pada kisaran suhu 28 – 29 oC. Pada Nitrobacter, penghambatan amonia bebas lebih dominan daripada efek aktivasi untuk nilai lebih dari 1 mg N-NH3/mg VAS yang memungkinkan akumulasi nitrit 80 %; (VAS = Volatile Attached Solid; Padatan Melekat Mudah-Menguap); nilai ambang batas penghambatan ini untuk biofilm nitrifikasi diperoleh dengan mengukur laju spesifik pemanfaatan substrat per unit bomas melalui uji aktivitas. Pengetahuan tentang ambang batas ini dalam proses biofilm adalah penting guna mengendalikan akumulasi nitrit dalam reaktor biofilm nitrifikasi.

Baca juga :
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Interaksi Suhu-Substrat Sebagai Faktor Pembatas Bakteri Heterotrofik Laut

Pomeroy dan Wiebe (2001) menyatakan bahwa komunitas bakteri heterotrofik aktif terdapat di semua lingkungan laut, dan walaupun laju pertumbuhan atau respirasinya mungkin dibatasi oleh interaksi konsentrasi substrat yang rendah dengan suhu yang mendekati batas bawah untuk pertumbuhannya, namun suhu dan konsentrasi substrat jarang dianggap secara bersama-sama sebagai faktor pembatas. Selan itu, usaha mengevaluasi batas-batas metabolik untuk suhu dan konsentrasi substrat kadang-kadang menghasilkan kesimpulan yang membingungkan, karena, sementara kita dapat mengukur konsentrasi karbon organik terlarut di perairan alami, sebagian besar data suhu dan konsentrasi substrat tidak tersedia untuk bakteri heterotrofik. Meskipun ada keterbatasan prosedur seperti ini, adalah berguna untuk menganggap suhu dan konsentrasi substrat sebagai faktor pembatas potensial yang berinteraksi.

Di perairan estuaria dan perairan permukaan samudra daerah beriklim-sedang, di mana pertumbuhan bakteri sering berkurang pada musim dingin, pertumbuhan dan respirasi bisa ditingkatkan secara eksperimental dengan menaikkan suhu atau dengan meningkatkan konsentrasi substrat organik, yang menyediakan bukti tak langsung bahwa pembatasan tersebut adalah pengaruh suhu terhadap penyerapan substrat atau asimilasi. Percobaan dengan isolat bakteri juga menunjukkan interaksi suhu-substrat. Di perairan kutub yang dingin secara permanen, sebagian besar bakteri heterotrofik tampaknya hidup pada suhu jauh di bawah suhu optimal pertumbuhannya. Namun demikian, bakteri di perairan permukaan yang dingin secara permanen dapat mencapai laju aktivitas pada musim panas yang setinggi laju aktivitas bakteri di perairan beriklim-sedang. Dalam es laut, laju produksi bakteri sering sekali rendah, bahkan pada saat konsentrasi substrat, termasuk asam-asam amino bebas, jauh lebih tinggi daripada di air laut. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu es laut bakteri heterotrofik menurunkan kemampuannya dalam menyerap atau memanfaatkan substrat organik (Pomeroy dan Wiebe, 2001).

Baca juga :
Bakteri Vibrio dan Vibriosis

Seleksi Bakteri Oleh Suhu Air di Estuaria

Sieburth (1967) melakukan serangkaian pengamatan terhadap bakteri heterotrofik planktonik di estuaria daerah beriklim sedang, yakni Teluk Narragansett, Pulau Rhode, untuk menentukan apakah perubahan suhu air musiman adalah cukup untuk menseleksi tipe bakteri tersebut. Perubahan populasi bakteri dalam sampel semi-bulanan yang diperoleh selama dua periode satu-tahun dan satu perode setengah tahun telah dipelajari. Lebih dari 2500 isolat telah diuji sampai ke genus dan sekitar 600 isolat sampel telah diuji secara serentak dalam hal kisaran suhu-pertumbuhan. Laju pertumbuhan populasi bakteri alami bervariasi sesuai dengan suhu air, tetapi respon bakteri terhadap suhu air terlambat dua bulan. Pergeseran kisaran suhu pertumbuhan secara musiman ini menunjukkan bahwa populasi bakteri bisa berubah hanya dengan perbedaan suhu inkubasi yang kecil.

Baca juga :
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Semua tipe bakteri termal dapat diisolasi dan populasinya cenderung tampak bila dilakukan inkubasi-ulang pada suhu 0, 18 dan 36 oC setelah inokulasi-permukaan. Isolat bakteri mesofilik (pertumbuhan di atas suhu 10 oC dan mencapai optimum di atas suhu 30 oC) hanya diperoleh pada media kultur 36 oC ketika suhu air di atas 10 oC. Sejumlah isolat ini bersifat peka-dingin dan labil di bawah suhu 18 oC. Bakteri psikrofil obligat (pertumbuhan di bawah suhu 16 – 20 oC, optimum pada suhu 9 – 10 oC) hanya diperoleh pada media kultur 0 oC ketika suhu air di bawah 10 oC. Dua tipe bakteri termal lainnya diperoleh pada media kultur 0 oC dan 18 oC. Organisme yang tumbuh pada suhu 0 oC dan memiliki kisaran pertumbuhan yang lebar antara 10 oC dan 30 oC dianggap sebagai tipe psikrofil fakultatif sedangkan organisme yang juga tumbuh pada suhu 0 oC tetapi kisaran puncak optimumnya lebih sempit (yaitu sektar 18 – 20 oC digolongkan sebagai tipe psikrotoleran. Selain tipe-tipe termal utama ini, beberapa isolat dari beberapa kelompok taksonomik menunjukkan kecenderungan memiliki suhu optimum ganda. Seleksi musiman tipe termal oleh suhu air terjadi pada semua kelompok taksonomik. Tidak ada efek penghambatan atau peningkatan oleh suhu terhadap kelompok taksonomi mana pun (Sieburth, 1967).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup Escherichia coli Dalam Air Danau

Sampson et al. (2006) melaporkan bahwa monitoring keberadaan bakteri Escherichia coli, indikator pencemaran tinja, dalam perairan yang menjadi tempat rekreasi merupakan masalah kesehatan publik yang harus diperhatikan. Walaupun Escherichia coli tidak menyebabkan penyakit pada manusia, namun keberadaan bakteri ini bisa menjadi indikator keberadaan mikroorganisme patogen lain. Banyak faktor yang bisa mengubah kelangsungan hidup Escherichia coli yang ada di luar usus binatang dan bisa mempengaruhi peluangnya untuk mengkoloni inang baru. Kelangsungan hidup bakteri di perairan rekreasi telah dihubungkan dengan suhu air, dan akhir-akhir ini juga dihubungkan dengan keberadaan pasir di pantai.

Sampson et al. (2006) telah melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui kelangsungan hidup isolat Escherichia coli di dalam air danau. Mikrokosmos air danau ditempatkan pada suhu 4, 10, 14 atau 25 oC selama sampai 36 hari, dan uji enzim-substrat (Colisure, IDEXX Corp.) digunakan untuk menentukan “most probable number” (MPN) Escherichia coli per 100 ml air. Jumlah Escherichia coli pada semua suhu berkurang selama percobaan. Penurunan ini paling menyolok pada suhu 14 oC dan paling kecil pada suhu 4 oC. Keberadaan pasir dalam mikrokosmos meningkatkan lama kelangsungan hidup Escherichia coli, tanpa terpengaruh suhu. Dari sudut pandang manajemen pantai, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Escherichia coli bisa bertahan hidup dalam lingkungan berair dingin lebih lama daripada dalam air hangat yang ditemukan pada akhir musim panas.

Baca juga :
Escherichia coli : Bioekologi, Keberadaan dan Kekebalannya

Pengaruh Suhu Air dan Salinitas Terhadap Keberadaan Vibrio dan Enterobakteri

Chaveza et al. (2005) mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap keberadaan Vibrio cholerae, Escherichia coli dan Salmonella spp. yang berasosiasi dengan air dan sampel kerang oyster di dua laguna di pesisir Atlantik daerah Veracruz, Mexico, selama perode 1 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman salinitas secara musiman dan suhu yang hangat, di samping masukan zat hara, bisa mempengaruhi keberadaan Vibrio cholerae, tipe non-O1 dan O1. Kondisi yang ditemukan di Alvarado (suhu 31,12 oC, salinitas 6,27 promil, pH = 8,74) dan laguna La Mancha (suhu 31,38 oC, salinitas 24,18 promil, pH = 9,15) selama musim hujan tahun 2002 menguntungkan keberadaan Vibrio cholerae, penyebab enterotoksin (racun-perut), dalam oyster. Vibrio alginolyticus terdeteksi di dalam sampel air laguna Alvarado selama musim dingin. Escherichia coli dan Salmonella spp. telah ditemukan dalam sampel air dari laguna La Mancha (90 – 96.7 % dan 86,7 – 96,7 %) serta di laguna Alvarado (88,6 – 97,1 % dan 88,6 – 100 %. Keberadaan bakteri mungkin disebabkan oleh air limbah dari perkotaan, pertanian dan industri.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 02 Desember 2013

Formalin Untuk Mengendalikan Parasit Ikan dan DampaknyaTerhadap Kualitas Air Kolam

Arsip Cofa No. C 167

Formalin Untuk Menghilangkan Parasit Pada Ikan Kakap

Menurut Seng dan Seng (1992) kejadian penyakit terkait-parasit pada budidaya ikan intensif sedang menjadi masalah yang serius di Asia. Industri budidaya ikan membutuhkan metode penanganan dan pengendalian parasit yang layak agar industri ini tetap ekonomis. Formalin, malasit hijau (malachite green), dipterex dan air tawar telah diuji kefektivannya dalam membasmi parasit monogenea (cacing trematoda) dari insang ikan kakap Lutjanus johni di dalam jaring apung yang terinfeksi dengan parah. Pengobatan dilakukan dalam akuarium kaca di mana 10 ekor ikan untuk setiap konsentrasi uji dimandikan dalam waktu singkat selama 30 menit dan diaerasi. Formalin secara nyata mengurangi parasit Haliotrema johni (48 %) dan Haliotrema sp. (78 %) pada kadar 30 ppm. Air tawar efektif dalam mengurangi Haliotrema sp. (91 %). Bahan kimia lain (dipterex dan malachite green) tidak efektif. Bagaimanapun, formalin 300 ppm dan air tawar mempengaruhi ikan sampai akhir periode percobaan 30 menit.

Baca juga :
Kekebalan Ikan terhadap Infeksi Patogen dan Parasit

Efek Pemberian Formalin Secara Berulang Terhadap Juvenil Ikan Lele

Bodensteiner et al. (1993) melaporkan bahwa ikan channel catfish Ictalurus punctatus dengan panjang total 70 – 148 mm telah ditangani dengan formalin berkonsentrasi 25 mikroliter/liter selama 4 jam setiap hari selama 4 hari berturut-turut dalam seminggu selama periode 28 minggu yang dimulai pada pertengahan September. Koefisien kondisi (rasio bobot badan terhadap panjang ikan) dan pengujian histologis terhadap jaringan insang digunakan untuk mengevaluasi kesehatan ikan yang diberi formalin. Jaringan ikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok yang tidak diberi formalin menunjukkan efek khas budidaya intensif, yang mencakup hipertrofi (pembesaran organ akibat meningkatnya ukuran sel), hiperplasia (pembesaran organ/jaringan akibat meningkatnya laju pembelahan sel) dan sekresi lendir yang berlebihan; tidak ada perbedaan morfometri insang antara kedua kelompok. Ikan channel catfish yang secara periodik diberi perlakuan formalin memiliki koefisien kondisi yang secara nyata lebih tinggi (P < 0,05) setelah 28 minggu dan tidak ada indikasi timbulnya efek negatif akibat formalin.

Baca juga :
Parasit Ikan

Pengaruh Kesadahan Air Terhadap Daya Racun Formalin

Meinelt dan Stueber (1992) mempelajari pengaruh kesadahan air terhadap daya racun formalin bagi telur dan embryo ikan. Uji embryo-larva ikan Brachydanio rerio (144 jam, 37 % formalin) telah dilakukan dengan menggunakan dua jenis air uji : air (1) memiliki derajat kesadahan 17,3 (308,8 mg CaCO3/liter) dan air (2) dengan derajat kesadahan 3,5 (62,5 mg CaCO3/liter). Hasil penelitian membuktikan bahwa daya racun formalin meningkat dengan menurunnya kesadahan air.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dampak Formalin Terhadap Daya Tetas Telur Ikan

Menurut Rach et al. (1997) formalin banyak digunakan untuk menangani infeksi jamur pada telur ikan dalam operasi akuakultur intensif. Penggunaan formalin di Amerika Serikat hanya diijinkan untuk telur ikan salmonidae dan esocidae; pemakaiannya untuk spesies ikan lain harus mendapat ijin khusus. Penelitan telah dilakukan untuk menentukan keamanan perlakuan formalin pada telur ikan spesies air hangat dan air dingin. Telur tak bermata dari ikan walleye (Stizostedion vitreum), ikan mas (Cyprinus carpio), white sucker (Catostomus commersoni), channel catfish (Ictalurus punctatus), dan sturgeon danau (Acipenser fulvescens) dipelihara dalam tabung penetasan miniatur dan selama 45 menit setiap hari diberi formalin sebanyak 1500, 4500 atau 7500 mikroliter/liter sampai menetas.

Penelitian tersebut memberikan hasil yang menunjukkan bahwa untuk semua spesies ikan yang diuji, persentase penetasan adalah lebih besar pada kelompok perlakuan 1500 mikroliter/liter daripada kelompok kontrol yang tak diberi formalin. Telur ikan walleye memiliki kepekaan yang paling lemah terhadap formalin dan memiliki laju penetasan 87 % dalam perlakuan formalin 7500 mikroliter/liter. Ikan sturgeon danau adalah spesies yang paling peka dengan rata-rata laju penetasan 54 % dalam perlakuan formalin 1500 mikroliter/liter. Batas keamanan perlakuan formalin adalah 1500 mikroliter/liter selama 15 menit untuk telur semua spesies ikan kecuali ikan sturgeon danau. Infeksi jamur menyebabkan laju penetasan banyak berkurang atau bahkan menjadi nol pada sebagian besar kelompok kontrol, sedangkan kebanyakan kelompok perlakuan bebas dari infeksi jamur. Hal ini menunjukkan efisiensi formalin sebagai fungisida (Rach et al., 1997).

Baca juga :
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Efisiensi Formalin Dalam Mengendalikan Ektoparasit dan Daya Racunnya Bagi Ikan Budidaya

Fajer-Ávila et al. (2003) melaporkan bahwa upaya pertama untuk membudidayakan ikan Sphoeroides annulatus (bullseye puffer fish) terhambat oleh serangan parasit monogenea Heterobothrium ecuadori dan dinoflagelata Amyloodinium ocellatum; kedua spesies parasit ini berkaitan dengan kematian pada spesies-spesies ikan budidaya lainnya. Penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi keamanan formalin bagi ikan bullseye puffer dan menentukan efisiensi formalin dalam mengendalikan serangan parasit. Konsentrasi letal median (LC50) formalin untuk ikan ini berkisar dari 1095 mg/liter selama 30 menit dan 972 mg/liter selama 60 menit sampai 79 mg/liter selama 72 jam. Konsentrasi efektif median (EC50) formalin untuk Heterobothrium ecuadori adalah 225 mg/liter selama 30 menit dan 87 mg/liter selama 60 menit. Indeks terapeutik hasil penelitan adalah 5 pada 30 menit dan 11 pada 60 menit. Formalin selanjutnya diuji secara in vivo (di luar tubuh mahluk hidup) terhadap Amyloodinium ocellatum. Dibandingkan dengan kontrol, formalin sebanyak 51 mg/liter secara nyata menurunkan jumlah parasit pada kulit (97 %) dan insang (68 %) ikan setelah pemaparan selama 1 jam, sedangkan formalin sebanyak 4 mg/liter secara nyata mengurangi jumlah parasit pada kulit (66 %) dan insang (84 %) setelah 7 hari. Perbedaan daya racun formalin terhadap ikan bullseye puffer dan terhadap parasit-parasit tersebut menunjukkan bahwa formalin adalah efektif dalam mengendalikan parasit epizootik untuk budidaya ikan bullseye puffer.

Baca juga :
Ekologi Parasit Ikan

Penggunaan Formalin Dalam Akuakultur dan Dampaknya

Boyd (1982) menyatakan bahwa formalin banyak digunakan dalam budidaya ikan untuk mengendalikan jamur pada telur ikan dan parasit eksternal pada ikan. Bahan kimia ini relatif tidak beracun bagi ikan dan digunakan sebanyak 1.000 – 2.000 mikroliter/liter (1.103 – 2.206 mg/liter) selama 15 menit dalam media air yang mengalir konstan, 167 – 250 mikroliter/liter (184 – 276 mg/liter) dalam tangki atau kolam air deras selama 1 jam, dan 15 – 25 mikroliter/liter (16,5 – 27,6 mg/liter) selama periode tak hingga di kolam. Sayangnya, formalin sangat beracun bagi plankton, dan kolam yang diberi formalin 15 mg/liter (13,6 mikroliter/liter) bisa menyebabkan kehabisan oksigen terlarut bila populasi planktonnya sangat padat.

Pengaruh Formalin Terhadap Parasit Ikan dan Kualitas Air Kolam

Rowland et al. (2006) melaporkan bahwa serangan cacing parasit trematoda monogenea (Lepidotrema bidyana dan Gyrodactylus sp.) terhadap ikan air tawar silver perch (Bidyanus bidyanus Mitchell) di kolam tanah telah ditangani dengan formalin (formaldehid 37 %). Konsentrasi 30 dan 40 mg/liter formalin adalah efektif, tetapi ikan di kolam yang diberi formalin 20 atau 25 mg/liter tetap terinfeksi parasit. Pada suhu 24,1 – 26,9 oC, konsentrasi formalin 30 atau 40 mg/liter menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) berkurang dari 10,1 – 11,9 menjadi 3,0 – 3 dan 1,2 – 1,7 mg/liter, berturut-turut, dalam perlakuan pemberian formalin 36 – 42 jam. Selain itu, pH air turun dari 7,2 – 8,4 menjadi 6,3 – 6,7 dalam 36 jam dan kekeruhan berkurang setelah 48 jam. Di kolam yang konsentrasi oksigen terlarutnya 1,2 – 1,7 mg/liter, ikan silver perch menunjukkan tanda-tanda stres yang parah, tetapi aerasi terus-menerus (daya aerator 10 HP per hektar) selama 3 hari dan pemasukan air beroksigen-tinggi selama 6 – 8 jam mencegah kematian. Pada suhu 13,2 – 15,7 oC, konsentrasi formalin 30 atau 40 mg/liter menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut turun dari 9,0 – 10,0 menjadi 6,0 – 8,1 mg/liter dan pH dari 7,0 – 7,3 menjadi 5,9 – 6,6 dalam waktu 72 jam. Konsentrasi total amonia-nitrogen naik dalam waktu 72 jam di kolam yang diberi formalin 30 atau 40 mg/liter. Ikan diserang-kembali oleh parasit Lepidotrema bidyana di semua kolam dalam waktu 30 hari perlakuan. Konsentrasi formalin 30 mg/liter disarankan untuk mengendalikan parasit monogenea pada ikan silver perch di kolam, tetapi aerasi diperlukan untuk mempertahankan kualitas air yang cukup pada suhu tinggi.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 25 November 2013

Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Arsip Cofa No. C 166

Pendekatan Ekologi Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Closs et al. (2004) menyatakan bahwa air danau yang jernih sering berubah warna menjadi coklat dan hanya sedikit cahaya yang bisa menembus dasar danau. Pada kondisi ini danau menunjukkan ciri-ciri terjadinya ledakan populasi alga : air danau tidak hanya berlumpur, tetapi juga berbau tak enak dan beracun bila diminum. Ledakan populasi alga terutama disebabkan oleh pasokan zat hara yang berlebihan. Alga membutuhkan nitrogen dan fosfor untuk tumbuh. Pada banyak perairan, pasokan zat hara mungkin terbatas, apalagi bila daerah tangkapan airnya ditumbuhi hutan sehingga zat hara terikat kuat di dalam ekosistem darat.

Bagaimanapun, dalam sistem pertanian, petani sering menaburkan pupuk untuk menigkatkan hasil panen. Zat hara dalam pupuk yang tidak diserap tanaman pertanian akan tercuci dan masuk ke saluran air lokal. Binatang ternak, terutama sapi, bisa juga mendepositkan sejumlah besar urin dan tinja kaya-zat hara secara langsung ke sungai tempat mereka minum. Di daerah pedesaan, sisa-sisa tumbuhan dan tinja hewan peliharaan dihanyutkan oleh limpasan ar hujan dan masuk ke sungai sehingga menjadi sumber lain pasokan zat hara. Bila sungai-sungai tersebut masuk ke danau, zat hara yang terkandung di dalamnya akan tertimbun dan mengubah danau itu dari kondisi oligotrofik (zat hara sedikit, produktivitas rendah, air jernih) atau mesotrofik (zat hara agak banyak, produktivitas dan kejernihan air sedang) menjadi kondisi eutrofik (zat hara banyak, produktivitas primer tinggi, air keruh) (Closs et al., 2004).

Jika zat hara merupakan faktor kunci yang memicu ledakan populasi alga, maka strategi manajemen harus diarahkan untuk menghilangkannya. Zat hara yang masuk ke perairan dari satu titik (point source), misalnya mulut saluran pembuangan limbah, dapat dikendalikan dengan menghilangkan titik sumber itu. Sayangnya, zat hara seringkali masuk ke sistem perairan melalui sumber yang bersifat banyak-titik dan menyebar di seluruh daerah tangkapan air. Kontrol terhadap sumber pencemar seperti ini akan melibatkan manajemen daerah tangkapan air yang mencakup daerah daratan yang sangat luas. Tindakan manajemen ini meliputi penghijauan, pendidikan dan penghambatan proses pencucian zat hara dari tanah yang jenuh dengan pupuk; yang berarti bahwa pengendalian terhadap sumber zat hara yang bersifat banyak-titik ini akan memakan waktu puluhan tahun (Closs et al., 2004).

Baca juga :
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Mengatasi Eutrofikasi Dengan Penutupan Sedimen dan Pengenceran Air

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa eutrofikasi danau bisa dicegah dengan metode penutupan sedimen karena menghalangi pelepasan zat hara dari sedimen dasar danau ke dalam air. Penggunaan lembaran plastik, “fly ash” (abu terbang), pasir yang kaya besi, dan tanah liat bisa disarankan untuk mendukung metode ini. Penutupan sedimen dengan menggunakan tanah liat dilaporkan telah berhasil mengatasi eutrofikasi danau. Metode ini lebih murah daripada penyingkiran sedimen, tetapi ada kerugiannya, yaitu (1) peningkatan kualitas air bersifat sementara, dan (2) kondisi alami untuk fauna bentos berubah.

Jorgensen (1980) menambahkan bahwa selain penutupan sedimen, metode lain yang bisa diterapkan untuk memulihkan danau yang mengalami eutrofikasi adalah dengan membiarkan air yang tak tercemar memasuki danau. Dengan membiarkan air tak tercemar yang miskin zat hara masuk ke danau, maka air danau menjad encer dan sedimen tercuci keluar danau. Metode ini telah digunakan di Danau Snake, Wisconsin, dengan beberapa keberhasilan. Tumbuhan air Lemna lenyap seluruhnya dari danau, sementara konsentrasi zat hara tidak berkurang, mungkin karena pengaruh zat hara yang berpindah di dalam sedimen. Bagaimanapun, penelitan di laboratorium menunjukkan bahwa konsentrasi zat hara nantinya akan berkurang bila sedimen banyak yang tercuci keluar. Danau Green di Washington memberikan hasil yang lebih baik : konsentrasi zat hara berkurang, kejernihan air meningkat dan spesies alga hijau biru lenyap.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengendapan Fosfor Menyebabkan Penundaan Eutrofikasi

Tezuka (1992) menyatakan bahwa meskipun basin utama Danau Biwa, Jepang, perlahan-lahan mengalami eutrofikasi sejak awal abad ini, namun tingkat eutrofikasinya tidak begitu parah selama 24 tahun terakhir dari sudut pandang parameter-parameter fisika-kimia seperti kejernihan air, konsentrasi oksigen terlarut minimum di lapisan hipolimnion dan konsentrasi fosfor total dalam badan air. Padahal, beban fosfor eksternal di Danau Biwa cukup tinggi untuk menyebabkannya mengalami eutrofikasi secara cepat. Untuk mengetahui kontradiksi ini, telah dilakukan pengujian terhadap keseimbangan massa fosfor di Danau Biwa. Hasil penelitian menguatkan dugaan bahwa sedimentasi fosfor memainkan peranan menentukan dalam menunda eutrofikasi di danau ini.

Baca juga :
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Efek Interaksi Ikan – Zat Hara Terhadap Eutrofikasi

Lacroix dan Lescher-Moutoue (1991) melaporkan bahwa untuk menduga efek masing-masing dan efek interaksi beban zat hara dan kepadatan anak ikan cyprinidae terhadap eutrofikasi, percobaan in situ (di tempat) telah dilakukan selama musim panas di 30 kurungan (karamba) masing-masing bervolume 9,5 m3 di sebuah danau mesotrofik dangkal yang dicirikan oleh tingginya padat penebaran ikan dan sedikitnya spesies fitoplankton dan zooplankton. Di semua kurungan tanpa ikan, kejernihan air dengan cepat meningkat. Beban zat hara, sekalipun pada nilai tertnggi, tidak menyebabkan penurunan kualitas air apa pun secara nyata. Adanya ikan tampaknya merupakan prasyarat bagi kemunculan gejala-gejala eutrofikasi. Efek ikan dan efek interaksi ikan - zat hara sering sangat nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek interaksi antara kepadatan anak ikan cyprinidae dan beban zat hara bisa mempercepat eutrofikasi danau.

Baca juga :
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Manajemen Populasi Ikan Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Jagtman et al. (1988) dalam Densen et al. (1990) melaporkan bahwa eutrofikasi danau-danau dangkal (kedalaman 1 – 3 meter) di Belanda menyebabkan perubahan dramatis dalam hal struktur dan fungsi jaring-jaring makanan. Selama 25 tahun terakhir vegetasi tepi danau hilang akibat eutrofikasi. Bersamaan itu pula, habitat ikan pike (Esox lucius), yang merupakan predator penting, hilang. Akibatnya, ikan bream (Abramis brama) mencapai biomas yang sangat tinggi di kebanyakan danau-danau dangkal tersebut. Tampaknya bahwa berbagai upaya harus dilakukan untuk mempercepat pemulihan danau. Manajemen stok ikan bisa menjadi penting dalam upaya pemulihan danau secara terpadu. Melimpahnya ikan bream, yang merupakan pemakan (zoo)plankton dan bentos, menyebabkan grazing (aktivitas memakan) alga oleh zooplankton menjadi rendah, dan air menjadi sangat keruh. Situasi ini bisa menghambat pemulihan danau meskipun masukan zat hara dari luar danau telah banyak dikurangi. Pengaturan terhadap populasi ikan bream dengan demikian berperan dalam mengatasi masalah eutrofikasi. Eksperimen biomanipulasi telah dimulai di danau-danau kecil di Belanda, yang diarahkan terutama untuk mengurangi populasi ikan bream dengan cara penangkapan dan memasukan ikan pemangsa. Manajemen stok ikan bersama dengan pengurangan beban zat hara dengan demikian bisa membantu mengatasi eutrofikasi dengan mengubah struktur jaring-jaring makanan yang menciptakan ekosistem yang lebih dikehendaki, yaitu ekosistem yang stabil dengan keanekaragaman yang tinggi.

Baca juga :
Dinamika Zat Hara di Estuaria

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 22 November 2013

Keberadaan Logam Berat di Perairan dan Biota Air

Arsip Cofa No. C 165

Keberadaan Logam Berat di Estuaria

Lincer dan Haynes (1976) menyatakan bahwa logam berat berumur sangat panjang dan dapat sangat beracun. Di dalam lingkungan estuaria, logam berat tidak dapat dimanfaatkan oleh biota air karena kekuatan ikatan kimianya sehingga logam berat ini terdaur ulang melalui rantai makanan secara terus menerus tanpa berakhir. Logam berat dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia maupun alam. Logam berat ditemukan dalam ramuan pestisida, limbah industri dan perkotaan serta limbah dari kegiatan penggalian tanah dan penambangan. Bila logam berat dimasukkan ke hulu sungai maka hanya sebagian kecil saja yang dapat ditemukan di dalam air yang meninggalkan estuaria. Konsentrasi logam berat di dekat pantai lebih tinggi daripada kosentrasinya di perairan yang lebih jauh ke arah laut. Logam berat cenderung bergabung dengan fraksi organik sedimen dasar estuaria dan tampaknya terkonsentrasi lebih banyak di lapisan permukaan sedimen daripada di dalam sedimen yang lebih dalam. Konsentrasi alami logam berat di dalam air laut mungkin lebih kecil bila dibandingkan dengan yang ada di dalam lumpur dasar. Sebagai contoh, konsentrasi kadmium hampir mencapai 0,08 ppm di air aut tetapi 130 ppm di lumpur dasar.

Lincer dan Haynes (1976) menambahkan bahwa biota estuaria, baik rumput laut, kerang, ikan maupun burung pemakan ikan, mudah menimbun logam berat. Kerang mampu menimbun logam berat sampai konsentrasi yang luar biasa. Sebagai contoh, oyster di estuaria Patuxent, Maryland, menimbun tembaga sampai melebihi 1000 ppm, di mana pada keadaan ini dagingnya tampak berwarna hijau dengan rasa tidak enak. Kadar merkuri dalam tubuh ikan di perairan tak tercemar umumnya kurang dari 0,1 ppm (berdasarkan berat basah), sedangkan sampel dari perairan tercemar memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi logam-logam berat di dalam daging kepiting komersial rata-rata adalah 21 ppm besi, 46 ppm seng, 466 ppm magnesium dan hampir 15 ppm tembaga. Berdasarkan urutan daya racun yang makin kecil terhadap biota air maka merkuri, perak dan tembaga menempati posisi teratas, diikuti oleh kadmium, seng, timah hitam, kromium, nikel dan kobal. Bagaimanapun, daya racun kadmium perlu dipertimbangkan terutama dalam hal pengaruh yang bersifat teratogenik (menimbulkan cacat) pada mamalia.

Baca juga :
Dampak Negatif Aluminium Bagi Lingkungan Hidup

Konsentrasi dan Distribusi Logam Berat Dalam Jaringan Cumi-Cumi

Miramand dan Bentley (1992) mengukur konsentrasi 11 jenis logam berat (perak, kadmium, kobal, kromium, tembaga, besi, mangan, nikel, timah hitam, vanadium dan seng) dalam jaringan dua spesies cephalopoda Eledone cirrhosa dan Sepia officinalis yang dikumpulkan dari pesisir Perancis di Selat Inggris pada bulan Oktober 1987. Jaringan cumi-cumi yang diamati adalah kelenjar pencernaan, saluran genital, jantung branchial, insang, saluran pencernaan, ginjal, otot, kulit dan cangkang. Jaringan kedua spesies cephalopoda ini menunjukkan kesamaan pola penimbunan logam berat : kelenjar pencernaan, jantung branchial dan ginjal merupakan lokasi utama penimbunan ke-11 logam berat yang diamati; kelenjar pencernaan menimbun perak, kadmium, kobalt, tembaga, besi, timah hitam dan seng; jantung branchial kaya akan tembaga, nikel dan vanadium; sedang ginjal menimbun banyak mangan, nikel serta timah hitam. Kelenjar pencernaan, yang menyumbangkan 6 – 10 % dari seluruh jaringan binatang, mengandung lebih dari 80 % konsentrasi badan total untuk perak, kadmium dan kobal serta mengandung 40 – 80 % konsentrasi badan total untuk logam-logam lain.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Logam Berat Terhadap Indra Pengecap Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa logam berat memberikan efek yang tidak lazim terhadap indra pengecap ikan. Perlakuan reseptor eksternal (indra pengecap) pada hidung ikan dengan menggunakan larutan encer Hg2+ atau Pb2+ diikuti pembilasan dengan air suling menunjukkan hasil bahwa reseptor pengecap menjadi kurang peka, baik terhadap logam berat maupun bahan kimia lain. Sekali respon tersebut diturunkan atau dihalangi oleh Hg2+ , respon tersebut tetap terhalang lebih lanjut meskipun logam berat itu sudah terbilas. Bagaimanapun, pembilasan dengan CuSO4 encer bisa memulihkan respon normal.

Baca juga :
Keberadaan Logam Berat di Perairan dan Biota Air

Logam Berat Mengganggu Proses Pematangan Sel Telur Ikan

Mommsen dan Walsh (1988) dalam Hoar et al. (1988) melaporkan bahwa logam kadmium dan tembaga diketahui tertimbun di dalam jaringan hati ikan, dan pada saat proses pematangan akhir sel telur dan penimbunan kuning telur maka logam-logam berat ini dipindah dari hati ke gonad dan ditimbun di dalam telur. Pada satu sisi hal ini merupakan cara pasif bagi ikan betina untuk mengurangi konsentrasi logam di dalam hatinya, namun pada sisi lain cara ini sangat berbahaya bagi sel telur. Tidaklah berlebihan untuk menduga bahwa dalam situasi di mana beban logam-logam berat meningkat dari konsentrasi sangat kecil menjadi konsentrasi sub letal, perpindahan logam berat ke gonad bersamaan dengan proses pematangan sel telur bisa menyebabkan penimbunan bahan beracun kuat ini di dalam sel telur. Walaupun logam berat ini sekarang tidak mempengaruhi ikan laut, keberadaannya mencemaskan bagi ikan-ikan perairan tawar dan payau di banyak bagian dunia. Komponen vitelogenin (kuning telur) itu sendiri mungkin terlibat dalam transpor logam berat dari hati ke gonad mengingat kemampuan vitelogenin dalam mengikat ion.

Mommsen dan Walsh (1988) menambahkan bahwa masalah lain bisa muncul melalui persaingan antara logam-logam berat yang ditimbun di dalam hati dengan ion-ion logam yang normalnya dipindah menuju gonad selama vitelogenesis (proses pembentukan komponen-komponen kuning telur), yakni magnesium, kalsium dan besi. Meskipun ikan dewasa dapat mengikat dan menetralkan racun logam-logam berat dengan cukup efisien melalui sintesis metalotionin di dalam hati secara spesifik, namun proses ini tidak cukup cepat untuk menghilangkan beban logam berat dari tubuh induk dan dengan demikian berpotensi meracuni sel telur. Juga karena metalotionin dirangsang di dalam hati, efektivitas sintesisnya bersaing dengan vitelogenin dan dengan demikian bisa diduga mengganggu keseimbangan arus vitelogenin ke gonad.

Baca juga :
Logam Berat Dalam Jaringan Tubuh Ikan

Pelepasan Logam-Logam Berat Oleh Diatom

Lee dan Fisher (1992) mengkultur diatom Thalassiosira pseudonana tanpa zat hara dalam kondisi gelap selama 22 hari; laju pelepasan karbon dan tujuh jenis logam diukur dengan radiotracer (pelacak radioaktif). Karbon seluler hilang lebih cepat pada suhu 18 oC dibandingkan pada suhu 4 oC karena lebih tingginya aktivitas mikroba pada suhu 18 oC. Laju kehilangan karbon berkurang setelah 7 hari. Formalin dan HgCl2 menghambat aktivitas mikroba sebagaimana ditunjukkan oleh evolusi 14CO2; keefektivan NaN3 lebih kecil. Sel diatom yang diberi perlakuan racun melepaskan 33 – 39 % karbonnya (sebagai karbon organik terlarut) dan sejumlah besar kadmium, selenium, seng dan perak. Kadmium, selenium dan seng, yang terutama dalam bentuk fraksi terlarut d dalam sel, dilepaskan dengan laju yang sama seperti laju pelepasan karbon serta dipengaruhi oleh aktivitas mikroba dan suhu. Sebaliknya, perak, amerisium, cerium dan kobalt dipertahankan oleh sel diatom yang membusuk; pelepasan unsur-unsur in lebih lambat daripada pelepasan karbon, dan suhu aktivitas mikroba tidak banyak berpengaruh terhadap laju pelepasan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadmium, selenium dan seng dengan cepat didaur ulang dari sisa-sisa plankton di perairan permukaan, sedangkan cerium, amerisium, perak dan kobalt dipindahkan dari perairan permukaan bersama tenggelamnya fitoplankton.

Baca juga :
Kondisi Logam-Logam Berat di Perairan Pesisir

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 19 November 2013

Dinamika Zat Hara di Estuaria

Arsip Cofa No. C 164

Sumber Zat Hara di Estuaria

Mann (1982) menyatakan bahwa perairan estuaria dicirikan oleh tingginya konsentrasi zat hara dan detritus tersuspensi, yang terutama berasal dari air selokan perkotaan. Estuaria menerima air dan materi biologis melalui mekanisme limpasan sungai, “tidal flushing” (penggelontoran air pasang-surut) dan upwelling. Upwelling membawa massa air yang dingin dan kaya zat hara dari bagian laut yang dalam menuju pantai. Masuknya air upwelling ke estuaria dapat menyebabkan pertukaran secara total massa air permukaan serentak dengan masuknya air dari sungai. Pada zona intertidal, dan di perairan dangkal tepat dibawahnya, terjadi pengendapan sedimen yang menyediakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan vegetasi rawa asin dan lamun (sea grass). Hal ini menyebabkan estuaria umumnya mempunyai daerah luas yang didominasi oleh makrofita, yang menyumbangkan produktivitas primer yang tinggi. Biasanya sejumlah besar zat hara beregenerasi dari permukaan sedimen di perairan dangkal. Karena itu pada estuaria air dasar sering lebih banyak mengandung zat hara daripada air permukaan. Singkatnya, estuaria dikenal sangat produktif dan bertindak sebagai perangkap zat hara. Selain itu, banyak estuaria disuburkan oleh masuknya limbah rumah tangga dan limbah pertanian.

Baca juga
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Peran Migrasi Ikan Dalam Transpor Zat Hara dari Estuaria ke Laut Pesisir

Deegan (1993) mengevaluasi akumulasi biomas serta perubahan energi tubuh ikan dan komposisi zat hara (karbon, nitrogen dan fosfor) dalam hubungannya dengan pola migrasi ikan menhaden (Brevoortia patronus). Penelitian bertujuan untuk menentukan apakah transpor biotik oleh ikan merupakan sumber penting energi dan zat hara bagi ekosistem perairan laut pesisir. Ikan menhaden mentranspor banyak energi, karbon, nitrogen dan fosfor dari estuari Louisiana ke daerah dekat-pantai di Teluk Meksiko. Ekspor nitrogen dan fosfor adalah sama besar dengan yang diekspor secara pasif oleh gerakan air, namun dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi ikan dapat memainkan peranan penting dalam mengekspor produktivitas estuaria ke ekosistem laut pesisir.

Baca juga
Silikat Dalam Air Laut

Peranan Sedimen Dalam Dinamika Zat Hara di Estuaria

Callender dan Hammond (1982) menyatakan bahwa aliran amonia, fosfat, silika dan radon-222 dari sungai pasang-surut Potomac dan sedimen estuari dikendalikan oleh proses-proses yang terjadi pada bidang batas sedimen-air dan di dalam sedimen lapisan permukaan. Hasil hitungan aliran difusi berkisar antara 0,6 dan 6,5 mmol/m2/hari untuk amonia, 0,020 dan 0,30 mmol/m2/hari untuk fosfat serta 1,3 dan 3,8 mmol/m2/hari untuk silika. Hasil pengukuran secara in situ (di tempat) aliran zat hara ini berkisar antara 1 dan 21 mmol/m2/hari untuk amonia, 0,1 dan 2,0 mmol/m2/hari untuk fosfat serta 2 dan 19 mmol/m2/hari untuk silika. Rasio aliran in situ terhadap aliran difusi bervariasi antara 1,6 dan 5,2 di sungai pasang-surut, antara 2,0 dan 20 di zona peralihan dan dari 1,3 sampai 5,1 di estuaria bagian hilir. Besarnya peningkatan aliran dari sedimen zona peralihan disebabkan oleh migrasi makrofauna. Peningkatan aliran zat hara berkorelasi dengan peningkatan aliran radon, yang menunjukkan bahwa aliran ini mungkin berasal dari daerah umum dan bahwa zat hara diregenerasi di dalam lapisan sedimen teratas setebal 10 – 20 cm. Rendahnya aliran fosfat dari sedimen sungai pasang-surut menunjukkan bahwa sedimen dasar perairan mengendalikan aliran fosfor dengan cara penyerapan oleh besi oksihidroksida yang ada dalam sedimen. Pada sungai pasang-surut, aliran amonia dan fosfat di dasar perairan adalah setara dengan setengah dan sepertiga input zat hara pada instalasi pengolah air limbah Blue Plains. Pada sungai Potomac pasang-surut, regenerasi sedimen dasar perairan memasok banyak zat hara yang dimanfaatkan oleh produsen primer dalam kolom air selama bulan-bulan musim panas.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pemasukan Nitrogen dan Fosfor ke Estuaria

Magnien et al. (1991) mempelajari beban (kandungan) zat hara eksternal, kolam zat hara internal dan produksi fitoplankton di tiga subsistem utama estuaria Teluk Chesapeake, yaitu Mainstem hulu, estuaria Patuxent dan estuaria Potomac, selama tahun 1985 - 1989. Rasio atom nitrogen terhadap fosfor (TN : TP) dalam beban zat hara total di Mainstem, Patuxent dan Potomac adalah 51, 29 dan 35, berturut-turut. Sebagian besar beban zat hara yang memasuki kepala estuaria berasal dari sungai dan instalasi utama pengolah air limbah. Sekitar 7 – 16 % beban nitrogen masuk ke kepala estuaria sebagai partikel, bertolak belakang dengan fosfor yang sebesar 48 – 69 %. Perbedaan ini diduga menyebabkan fosfor lebih banyak yang hilang melalui sedimentasi dan penguburan. Proses ini penting untuk mengendalikan rasio nitrogen : fosfor di estuari agar lebih tinggi daripada nilai input. Rasio TN : TP kolom air pada zona buangan air sungai (air tawar), oligohalin (salinitas rendah) dan mesohalin (salinitas sedang) untuk setiap estuari berkisar dari 56 – 82 di Mainstem, 27 – 48 di Patuxent dan 72 – 126 di Potomac. Angin badai yang terjadi di daerah aliran sungai Potomac telah dibuktikan banyak meningkatkan fraksi partikel nitrogen dan fosfor serta menurunkan rasio TN : TP dalam air buangan sungai. Kandungan zat hara selama bulan timbulnya angin badai (November 1985) bertanggung jawab atas 11 % nitrogen dan 31 % fosfor yang dikirimkan ke estuaria ini oleh sungai Potomac selama seluruh periode penelitian 60 bulan.

Baca juga
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Perilaku Fosfor dan Nitrogen di Estuaria Setelah Banjir

Eyre dan Twigg (1997) melakukan studi terhadap fosfor dan nitrogen dalam bentuk organik maupun anorganik, partikel maupun terlarut, serta sedimen tersuspensi, silika terlarut dan parameter-parameter fisika-kimia di estuaria sungai Richmond, New South Wales, setelah terjadinya banjir kecil. Pada kondisi banjir, konsentrasi zat hara adalah tinggi, tidak terjadi proses-proses di estuaria karena dilewati begitu saja, dan air tawar, sedimen serta zat hara dibuang langsung ke paparan benua. Estuaria dipulihkan oleh mengalirnya massa air asin (baji garam) sepanjang dasar perairan masuk ke sungai; estuaria kemudian mengalami perubahan stratifikasi massa air dari terstratifikasi agak kuat menjadi terstratifikasi sedang dan akhirnya menjadi sistem yang homogen secara vertikal. Waktu penggelontoran (flushing time) adalah pengendali dominan terhadap derajat proses internal zat hara, di mana kebanyakan zat hara yang dipasok sungai mengalami transformasi pada kondisi normal karena waktu penggelontorannya yang sangat lama. Fosfor anorganik terlarut tampaknya disingkirkan pada salinitas rendah karena melekat pada oksihidroksi koloid aluminium dan besi yang kemudian menggumpal dan mengendap. Pada salinitas tinggi, fosfor anorganik terlarut dilepaskan kembali akibat peningkatan pH yang tajam.

Eyre dan Twigg (1997) menambahkan bahwa silika dan nitrat terlarut mungkin diserap oleh fitoplankton, dan sebagian nitrat bisa juga disingkirkan dari air melalui denitrifikasi. Karena pasokan zat hara dari sungai mengandung nitrogen dalam jumlah terbatas (artinya, rasio nitrogen anorganik terlarut terhadap fosfor anorganik terlarut adalah rendah), maka produksi primer selama sebagian besar tahun tampaknya disokong oleh aliran amonium di dasar perairan yang dihasilkan oleh mineralisasi partikel nitrogen organik yang mengendap selama tahap pemulihan. Bila pasokan amonium di dasar perairan ini habis, nitrat asal-sungai menjadi sumber nitrogen yang penting. Juga tampaknya angin secara kontinyu mendorong terjadinya pengendapan dan pensuspensian kembali material dasar perairan pada saat massa air dangkal teraduk sempurna; fenomena ini sering terjadi selama kondisi normal. Model konsep tiga tahap ini (banjir, pemulihan, normal) mungkin lebih bisa diterapkan di estuaria Australia yang sangat bervariasi daripada di estuaria Eropa Barat dan Amerika Utara yang khas.

Baca juga
Subsistem Perairan Pesisir : Estuaria

Hubungan Salinitas Dengan Nitrat, Silikat dan Fosfat di Estuaria

Morris et al. (1981) telah memperoleh rekaman autoanalitik kontinyu tentang distribusi nitrat, silikat dan fosfat terlarut dalam perairan asin estuaria Tamar, Inggris barat daya, dan dalam air sungai yang masuk estuaria tersebut. Variabilitas jangka pendek dalam hal distribusi dipelajari dengan cara membuat profil distribusi zat hara setiap selang waktu kira-kira 3 jam dalam sehari, sedangkan perbandingan musiman diperoleh dari 10 survei yang dilakukan antara Juni 1977 dan Agustus 1978. Sementara nitrat dipertahankan selalu ada di seluruh estuaria bagian hulu, hubungan salinitas dengan silikat dan fosfat selalu menunjukkan adanya penyingkiran kedua zat hara ini secara non biologis dalam kisaran salinitas yang rendah (0 – 10 %). Upaya untuk menghitung secara tepat derajat penyingkiran tersebut dan untuk mengkorelasikannya dengan perubahan faktor-faktor lingkungan (pH, kekeruhan, fluoresensi klorofil, salinitas, komposisi air tawar) gagal karena adanya fluktuasi jangka-pendek konsentrasi silikat dan fosfat dalam air sungai yang masuk ke estuaria dan karena cepatnya perubahan kekeruhan akibat pengendapan dan pensuspensian-kembali sedimen dasar perairan sebagai imbas dari pasang surut.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 17 November 2013

Escherichia coli : Bioekologi, Keberadaan dan Kekebalannya

Arsip Cofa No. C 163

Pengaruh Cahaya dan Hidrogen Peroksida Terhadap Escherichia coli

Arana et al. (1992) mempelajari mekanisme bagaimana cahaya-tampak menyebabkan sel Escherichia coli menjadi dorman/tak aktif sehingga tidak dapat dikultur. Cahaya-tampak mungkin beraksi secara langsung terhadap sel Escherichia coli atau menghasilkan produk-cahaya (photoproduct) yang berdampak negatif terhadap sel tersebut. Dalam kondisi tak ada cahaya, peningkatan pemberian hidrogen peroksida (salah satu produk-cahaya yang terbentuk dalam sistem akuatik alami), menyebabkan peningkatan jumlah sel Escherichia coli yang tidak dapat dikultur dan sel yang dapat dikultur tapi rusak. Efek negatif ini tergantung pada konsentrasi peroksida. Dalam kondisi ada cahaya, penambahan senyawa-senyawa yang dapat menghilangkan hidrogen peroksida (misal, katalase, natrium piruvat dan tioglikolat) memberikan efek perlindungan bagi sel-sel Escherichia coli, karena jumlah CFU (Colony Forming Unit; unit pembentuk koloni) pada medium minimal dan pada medium yang pulih dari gangguan adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan bila senyawa-senyawa tersebut tidak ada. Bila hidrogen peroksida disingkirkan, jumlah CFU pada medium yang pulih dari gangguan tidak berkurang secara nyata, yang menunjukkan bahwa sel-sel yang tidak dapa dikultur tidak terbentuk. Hasil penelitian ini membuktikan adanya dampak langsung cahaya-tampak terhadap sel Escherichia coli dan bahwa hidrogen peroksida, yang terbentuk secara fotokimia, bisa menyebabkan Escherichia coli tidak dapat dikultur dalam sistem yang terkena cahaya.

Baca juga
Pengaruh Suhu Terhadap Bakteri di Perairan

Keberadaan Escherichia coli Pada Jaringan Ikan Yang Terluka

Kar et al. (1990) melakukan penelitian sejak Juli 1988 terhadap luka pada ikan yang bersifat wabah di Assam, India, yang menunjukkan bahwa ikan, terutama empat spesies yang tergolong genus Puntius, Channa, Macrognathus, dan Mystus, banyak diserang oleh penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian penyakit mungkin tidak disebabkan oleh polutan organik atau radioaktif dan logam berat. Kultur bakteri menunjukkan adanya koloni Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa dalam luka pada otot permukaan dan jaringan insang, sedangkan studi dengan mikroskop elektron menunjukkan adanya virus di dalam otot dan insang ikan yang sakit.

Baca juga
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Sumber Escherichia coli Pada Ikan Bentik dan Ikan Pelagis

Hansen et al. (2008) melaporkan bahwa Escherichia coli dan bakteri coliform tinja telah diisolasi dari lima spesies ikan bentik dan empat spesies ikan pelagis untuk menentukan peranannya dalam pencemaran tinja di perairan rekreasi. Semua ikan dikumpulkan selama musim gugur tahun 2006 di Southworth Marsh, Minnesota, sebuah pantai publik yang banyak mengandung Escherichia coli. Meskipun bakteri coliform tinja diisolasi dari kesemua spesies ikan, mereka hanya diisolasi dari 66 % dan 72 % dari individu ikan bentik dan ikan pelagis, berturut-turut. Sementara 42 % bakteri coliform tinja dari ikan bentik adalah Escherichia coli, hanya 4 % bakteri coliform tinja dari ikan pelagis adalah Escherichia coli. Spesies ikan yang berbeda bisa mengandung galur Escherichia coli yang identik, dan beberapa ikan bisa mengandung banyak galur Escherichia coli. Galur Escherichia coli yang diperoleh adalah sangat mirip dengan galur yang diisolasi dari sedimen, angsa Kanada, itik mallard dan air limbah. Tak satupun DNA Escherichia coli dari ikan yang sesuai dengan DNA isolat Escherichia coli dari pantai atau perairan manapun. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan bentik mengandung Escherichia coli, adalah lebih tepat untuk menganggap ikan-ikan ini sebagai vektor Escherichia coli dari sumber-sumber lain, bukannya menganggap ikan bentik sebagai sumber baru pencemaran Escherichia coli di lingkungan perairan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dinamika Populasi Escherichia coli di Dalam Usus Ikan

Del Rio-Rodriguez et al.(1997) meneliti keberadaan Escherichia coli dalam usus ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Infeksi dilakukan dengan memberikan makanan yang tercemar tetapi tidak melalui perendaman. Pada suhu 15 oC, Escherichia coli meningkatkan jumlahnya di dalam usus ikan setelah jumlahnya semula turun, dan masih dapat dideteksi setelah 4 hari. Pada suhu 6 oC, bakteri ini terdeteksi selama 2 hari tetapi jumlahnya berkurang terus. Kecenderungan yang sama juga terlihat bila ekstrak isi perut diinokulasi dengan Escherichia coli secara in vitro (di luar tubuh mahluk hidup), setelah menurun pada awalnya, pertumbuhan bakteri kembali pulih. Isi perut secara in vitro juga merupakan lingkungan yang cocok untuk transfer kekebalan dengan perantaraan plasmid.

Kekebalan terhadap oksitetrasiklin telah berhasil ditransfer dari Aeromonas salmonicida ke Escherichia coli. Hal ini tidak dapat dilakukan secara in vivo (di dalam tubuh mahluk hidup), mungkin karena inokulum Aeromonas salmonicida untuk setiap ikan tidak cukup banyak sebab ia tidak dapat mengering dengan baik pada pakan pelet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suhu sekitar 15 oC, keberadaan Escherichia coli pada ikan tidak bisa dijadikan indikator bahwa ikan tersebut baru-baru ini berenang melewati perairan yang tercemar. Keberadaan bakteri ini mungkin disebabkan infeksi telah terjadi beberapa hari yang lalu sebelum ikan diteliti, dan infeksi tersebut mungkin terjadi di tempat yang jauh dari lokasi penelitian. Selain itu, meskipun transfer kekebalan terhadap antibiotik bisa terjadi di dalam usus, kemungkinan dampak hal ini terhadap manusia adalah rendah (Del Rio-Rodriguez et al., 1997).

Baca juga
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Escherichia coli Dalam Usus Ikan Laut : Kekebalannya Terhadap Antibiotik dan Logam Berat

Alves De Lima E Silva dan Hofer (1993) mengisolasi Escherichia coli dari saluran usus ikan laut yang ditangkap di sepanjang pantai tercemar di Rio de Janeiro, Brazil, dan meneliti bakteri ini dalam hal kekebalannya terhadap tujuh jenis antibiotik dan empat logam berat. Hampir 40 % dari galur bakteri yang diamati adalah kebal terhadap satu atau beberapa jenis antibiotik; yang dominan adalah monoresitansi (satu-kekebalan) dan biresistansi (dua-kekebalan). Kekebalan total terhadap logam berat adalah 70,7 %, dan kekebalan terhadap logam berat adalah lebih kuat daripada kekebalan terhadap antibiotik saja. Kekebalan terhadap merkuri sangat berkaitan dengan kekebalan terhadap antibiotik dan terutama dengan kekebalan ganda. Sebagian besar galur yang dianalisis mentransfer kekebalan kepada galur penerima selama konjugasi.

Baca juga
Antibiotik dari Bakteri, Alga Laut dan Mimi

Air Buangan Hatchery Menyebabkan Escherichia coli Kebal Antibiotik

Stachowiak et al. (2010) mempelajari dampak air buangan dari hatchery ikan tawar (ikan trout dan kerabatnya) terhadap keberadaan mikroorganisme kebal-antibiotik di sungai kecil. Selama 6 bulan sebelum penelitian, hatchery ini tidak menggunakan antibiotik, namun memakai berbagai jenis biosida secara rutin untuk tujuan kebersihan. Bakteri heterotrofik dan Escherichia coli diisolasi baik dari sampel kolom air maupun sedimen di lokasi yang terletak di bagian hulu (atas) dan bagian hilir (bawah) hatchery, juga dari air buangan hatchery itu sendiri. Isolat yang dipilih secara acak (kira-kira 96 isolat per lokasi) diuji dalam hal kekebalannya terhadap antibiotik ampicillin, cephalexin, eritromisin dan tetrasiklin.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Stachowiak et al. (2010) menyimpulkan bahwa kekebalan terhadap sedikitnya satu jenis antibiotik adalah lebih dari 30 % baik untuk isolat bakteri heterotrofik maupun Escherichia coli dari setiap lokasi sampel. Tidak ada perbedaan nyata antara lokasi-lokasi pengambilan sampel dalam hal proporsi isolat bakteri heterotrofik yang kebal antibiotik apapun. Proporsi isolat Escherichia coli yang kebal tetrasiklin pada sampel air dan sedimen di lokasi penelitian bagian hilir (lokasi ini menerima air buangan) hatchery adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada air atau sedimen di lokasi bagian hulu (lokasi ini tidak menerima air buangan hatchery). Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan bahwa hatchery mungkin merupakan sumber mikroorganisme kebal-tetrasiklin bahkan ketika hatchery tersebut berhenti menggunakan antibiotik ini.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 14 November 2013

Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Arsip Cofa No. C 162

Sumber Alami Ion Hidrogen di Perairan

Menurut Cole (1994) bahwa sumber utama ion hidrogen dalam perairan alami adalah berbagai bentuk asam karbonat. Secara umum, sumber karbon dioksida di perairan juga memasok ion hidrogen. Karbon dioksida itu sendiri bisa berasal dari atmosfer yang masuk ke perairan bersama air hujan. Air hujan dalam kondisi setimbang dengan CO2 atmosfer memiliki pH sekitar 5,6 bila hanya mengandung asam karbonat. Bagaimanapun, analisis menunjukkan bahwa air hujan dengan pH lebih rendah banyak mendominasi beberapa tempat di dunia. Air hujan ber-pH rendah ini terutama disebabkan oleh kegiatan manusia, namun beberapa sumber alam juga turut berperan. Letusan gunung berapi mencemari atmosfer dengan sulfur dioksida (SO2), suatu gas yang sangat mudah larut hingga membentuk H2S. Senyawa yang terakhir ini bersifat asam lemah namun oksidasi lebih lanjut akan membentuk H2SO4 yang bersifat asam kuat. Sumber alami lain ion hidrogen di perairan adalah asam-asam organik yang secara kolektif disebut asam humus. Asam humus berasal dari material tumbuhan yang membusuk dengan perantaraan enzim bakteri. Asam humus lebih kuat daripada asam karbonat, bisa menyebabkan pH perairan turun menjadi sekitar 4,0.

Baca juga
Efek Negatif pH Rendah Bagi Kerang dan Ikan

Pengaruh Penyerapan Karbon Dioksida Oleh Tumbuhan Air Terhadap pH

Boyd (1982) menyatakan bahwa penyingkiran karbon dioksida dari air oleh tumbuhan air meningkatkan pH perairan alami. Hal ini disebabkan konsentrasi karbonat meningkat ketika karbon dioksida diserap dan karbonat ini terhidrolisis menghasilkan ion-ion hidroksil. Pada kebanyakan perairan, anion-anion alkalinitas berhubungan dengan kalsium dan magnesium, dan peningkatan konsentrasi karbonat yang disebabkan penyingkiran karbon dioksida pada akhirnya melebihi kelarutan produk kalsium karbonat. Pengendapan kalsium karbonat cenderung membatasi kenaikan pH karena hidrolisis karbonat merupakan sumber ion hidroksil yang menyebabkan pH naik. Dengan kata lain, pH berbanding langsung dengan konsentrasi karbonat. Pengendapan karbonat oleh kalsium mencegah pH kebanyakan perairan meningkat di atas 9,5 atau 10 di sore hari, bahkan ketika laju fotosintesis tinggi. Bagaimanapun, di beberapa perairan kesadahan kalsium jauh lebih kecil daripada alkalinitas total, dan anion-anion alkalinitas berhubungan dengan magnesium, natrium atau kalium (biasanya natrium). Magnesium karbonat lebih mudah larut daripada kalsium karbonat, sedang natrium dan kalium karbonat sangat mudah larut. Jadi, dalam air yang beralkalinitas tinggi dan berkesadahan kalsium rendah, karbonat yang dihasilkan dari penyingkiran karbon dioksida oleh tumbuhan air akan tertimbun dan nilai pH bisa naik menjadi 11 atau 12.

Baca juga
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi

Fluktuasi pH Air di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) ada saling ketergantungan antara pH, karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat. Sebab utama terjadinya perubahan variabel-variabel ini dalam kolam ikan adalah perubahan konsentrasi karbon dioksida akibat fotosintesis dan respirasi. Pengendapan kalsium karbonat akan membatasi penimbunan karbonat dan membatasi kenaikan pH. Sebagai contoh, pH akan naik lebih tinggi dalam larutan natrium bikarbonat daripada dalam larutan kalsium bikarbonat selama penyingkiran karbon dioksida dengan cepat oleh alga. Karena pengaruh karbon dioksida, pH air kolam paling rendah menjelang fajar dan paling tinggi pada sore hari. Fluktuasi harian pH paling besar ketika pertumbuhan fitoplankton cepat. Nilai pH pada awal pagi perlahan-lahan meningkat selama musim pertumbuhan. Pengubahan karbon dioksida menjadi bahan organik oleh fotosintesis lebih besar daripada pelepasan karbon dioksida dari bahan organik oleh respirasi, karena itu pH meningkat. Perairan dengan konsentrasi bikarbonat sedang atau tinggi mempunyai cadangan karbon dioksida yang lebih banyak daripada perairan dengan konsentrasi bikarbonat rendah, sehingga fluktuasi harian pH sering lebih kecil pada yang pertama dibandingkan pada kasus yang terakhir.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Fluktuasi pH Air Danau Selama 11 Tahun

Yoshikawa et al. (2004) memantau fluktuasi pH dan parameter kualitas air lainnya di Sawanoike Pond, Kyoto, Jepang, dari tahun 1993 sampai 2003. Rata-rata pH dan alkalinitas di danau ini selama periode pemantauan adalah 5,53 dan 16 MU.eq/liter, berturut-turut. Nilai-nilai tersebut termasuk terendah untuk hasil pengamatan efek hujan asam terhadap ekosistem perairan di danau-danau Jepang. Tidak ditemukan adanya kecenderungan meningkat maupun menurun untuk variabel-variabel ini selama periode penelitian. Bagaimanapun, konsentrasi H+ di danau ini cenderung berfluktuasi dengan proporsi yang terbalik terhadap ketinggian muka air (r = -0,652) dan berfluktuasi secara proporsional terhadap konsentrasi ion SO42- (r = 0,632). Sebaliknya, koefisien korelasi antara ion H+ dan suhu air maupun antara ion H+ dan konsentrasi klorofil-a adalah rendah (r = -0,143, r = 0,006, berturut-turut), yang menunjukkan bahwa fluktuasi pH tidak disebabkan oleh perubahan suhu air maupun aktivitas fotosintesis. Hasil pemantauan kualitas air ini mencakup pula kasus penurunan pH yang tak lazim selama bulan Oktober dan November 2000, yang menunjukkan pengaruh erupsi (letusan gunung) di Pulau Miyake-jima terhadap kualitas air danau Sawanoike Pond. Pada musim panas, konsentrasi oksigen terlarut di lapisan air dasar danau menurun (minimum 1,9 mg/liter) akibat meningkatnya alkalinitas (maksimum 52 MU.eq/liter) dan pH (maksimum 6,5) di air lapisan dasar.

Baca juga
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Fluktuasi pH Air Danau Akibat Perubahan Ketinggian Muka Air

Yoshikawa et al. (2005) melaporkan bahwa berdasarkan studi paleolimnologi terhadap perubahan keasaman danau Sawanoike Pond di Kyoto, Jepang, pH air kolam ini menurun sekitar 0,5 satuan dari tahun kira-kira 1960 sampai 1985. Peningkatan polusi udara yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab yang mungkin untuk pengasaman danau ini; bagaimanapun, pengaruh perubahan ketinggian muka air juga bisa menjadi penyebab perubahan pH air danau. Data menunjukkan adanya kemungkinan ketinggian muka air danau ini menurun sejak tahun 1960-an. Berdasarkan pemantauan kualitas air Sawanoike Pond selama 11 tahun, pH air danau ini cenderung berfluktuasi sejalan dengan ketinggian muka air. Walaupun beberapa penelitian membuktikan terjadinya penurunan pH air sungai selama meningkatnya curah hujan, namun hanya ada sedikit informasi mengenai pengaruh perubahan tinggi muka air terhadap pH air danau. Di Sawanoike Pond, pH air selama periode meningkatnya ketinggian muka air adalah sekitar 0,3 satuan lebih tinggi daripada selama periode menurunnya ketinggian muka air. Derajat fluktuasi pH air Sawanoike Pond yang menyertai perubahan ketinggian muka air adalah nyata. Nilai pH air danau ini yang relatif tinggi selama periode meningkatnya ketinggian muka air disebabkan terutama oleh tingginya alkalinitas dalam air bawah-permukaan yang masuk ke danau tersebut.

Baca juga
pH Rendah, Ikan dan Akuakultur

Kecenderungan Perubahan pH Air Laut

Dawson dan Spannagle (2009) menyatakan bahwa laut pada kondisi ekologi yang seimbang akan mempertahankan nilai pH yang relatif konstan, yaitu sekitar 8,2. Bagaimanapun, peningkatan konsentrasi CO2 atmosferik akibat kegiatan manusia selama satu abad yang lalu menyebabkan air laut menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang selalu meningkat. Meningkatnya penyerapan CO2 selama satu abad tersebut menyebabkan rata-rata pH air laut jatuh sekitar 0,1 unit, dari 8,2 menjadi 8,1. Nilai ini tampaknya kecil, tetapi karena pH diukur pada skala logaritma maka penurunan 0,1 unit mewakili peningkatan 25 % konsentrasi ion hidrogen. Dugaan nilai pH air laut di masa depan bervariasi sesuai dengan asumsi tentang emisi gas karbon dioksida dan proses-proses biofisika. “Intergovernmental Panel on Climate Change” (IPCC) menduga bahwa, berdasarkan kecenderungan emisi yang diharapkan, pH air laut akan turun sebesar 0,14 – 0,35 poin pada tahun 2100 tergantung skenario emisi. Hal ini berarti bahwa pH air laut akan menjadi serendah 7,75 pada akhir abad ini; nilai tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen sampai sebesar 180 % dibandingkan dengan nilai pH pada era pra-industri. Perubahan pH air laut sebesar ini belum pernah terjadi selama sedikitnya 20 juta tahun atau mungkin lebih. Setelah dua atau tiga abad lagi, pH air laut bisa jatuh menjadi 7 (bila emisi CO2 tinggi) atau stabil pada nilai sekitar 7,9 (bila emisi CO2 rendah).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 12 November 2013

Ikan Kowan (Ctenopharyngodon idellus) : Biologi dan Pengaruhnya Terhadap Ekologi Perairan

Arsip Cofa No. C 161

Perbandingan Komunitas Bakteri Usus Pada Ikan Kowan Dari Dua Habitat Yang Berbeda

Jiajia et al. (2012) melaporkan bahwa bakteri dalam usus vertebrata membentuk hubungan yang erat dengan inangnya. Kondisi ekternal dan internal inang, termasuk habitatnya, mempengaruhi komunitas bakteri usus. Sebaliknya, komunitas bakteri usus dapat mempengaruhi inang, terutama dalam hal daya tahan terhadap penyakit. Ketidak seimbangan komposisi komunitas bakteri usus dianggap merupakan faktor utama yang mempengaruhi kerentanan ikan inang terhadap penyakit. Timbulnya penyakit ikan mungkin sebagian disebabkan oleh perubahan populasi bakteri usus, yang diakibatkan oleh banyak faktor, termasuk makanan dan kondisi lingkungan tempat hidup inangnya. Telah dilakukan penelitian untuk membandingkan komunitas bakteri usus ikan kowan yang dikumpulkan dari kolam budidaya dan danau. Dalam penelitian ini telah berhasil diidentifikasi 66 unit bakteri yang secara taksonomi berbeda. Tidak ada korelasi yang nyata antara keragaman genetik ikan kowan dengan komunitas bakteri ususnya. Cetobacterium tampaknya lebih sering ditemukan di dalam usus ikan kowan yang dikumpulkan dari kolam.

Baca juga
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Pengaruh Introduksi Ikan Kowan Terhadap Habitat Asli

Boyd (1982) menyatakan bahwa ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) efektif dalam membasmi tumbuhan air sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pengendali biologis terhadap gulma air. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa upaya memperkenalkan binatang dari luar (atau “introduksi”) sering menimbulkan bahaya ekologis. Banyak ilmuwan khawatir bila ikan kowan memberikan dampak tak diinginkan terhadap ikan asli dan populasi alami. Semula tidak ada laporan bahwa ikan kowan berhasil melakukan reproduksi alami di Amerika Serikat, meskipun ikan ini sudah tersebar luas di 35 negara bagian dan di sejumlah sistem sungai. Namun kemudian banyak bukti yang menunjukkan bahwa ikan kowan telah dapat bereproduksi secara alami di Sungai Mississippi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa ikan kowan menurunkan produksi spesies budidaya primer, namun peneliti lain melaporkan tidak ada penurunan seperti ini. Ikan kowan mengurangi vegetasi yang tumbuh di garis pantai perairan, dan lama penangkapan ikan pantai menjadi lebih dari dua kali. Bagaimanapun, masih belum cukup data untuk mengevaluasi pengaruh potensial ikan kowan terhadap habitat asli di mana makrofita air sering merupakan komponen ekosistem yang dikehendaki.

Baca juga
Pengendalian Tumbuhan Air Secara Biologis dan Kimiawi

Dampak Ikan Kowan Terhadap Ekologi Danau

Mitzner (1978) melaporkan bahwa introduksi ikan kowan di Danau Red Haw, Iowa, menyebabkan penurunan kelimpahan makrofita air dari 2.438 gram/m2 pada tahun 1973 menjadi 211 gram/m2 pada tahun 1976, dengan spesies tumbuhan air Potamogeton, Elodea, Ceratophyllum, dan Najas semuanya dikendalikan secara efektif oleh ikan kowan. Selama tahun 1974 – 1976 nilai rata-rata nitrit, nitrat, biological oxygen demand dan kekeruhan menunjukkan penurunan secara nyata, sedangkan alkalinitas meningkat tajam dari rata-rata 115 mg/liter pada tahun 1974 menjadi 132 mg/liter pada tahun 1976. Konsentrasi rata-rata fosfat organik dan anorganik perlahan-lahan meningkat selama penelitian, tetapi tidak berbeda nyata. Rata-rata produksi primer hampir sama untuk tahun 1974 – 1975 yaitu sekitar 2 gram karbon/m2/hari, tetapi menurun secara nyata menjadi 1,35 gram karbon/m2/hari pada tahun 1976. Pertumbuhan ikan kowan meningkat tajam dari bobot rata-rata 380 gram pada bulan Juli 1973 menjadi 6.847 gram pada bulan Oktober 1976. Kondisi badan berkisar dari 1,05 – 2,02 dengan rata-rata kondisi lebih dari 1,37 pada Oktober dan 1,25 – 1,30 pada Januari – Februari. Ikan kowan mengkonsumsi semua kelompok tumbuhan utama di danau dengan kesukaan terbesar pada Najas dan Potamogeton.

Mitzner (1978) menambahkan bahwa pergerakan, perilaku dan aktivitas yang diamati dengan telemetri ultrasonik menunjukkan bahwa ikan kowan menghuni semua bagian danau, tetapi secara keseluruhan yang lebih disukai adalah bagian yang dangkal. Sebagian besar waktunya dihabiskan ikan kowan dengan berdiam di dekat hamparan tumbuhan air. Aktivitas pada malam maupun siang hari adalah sama. Penurunan biomas vegetasi sebesar 91 % dalam empat tahun meningkatkan peluang pemancing untuk memancing ikan dari pantai. Selama penelitian, popularitas pemancingan pantai ini meningkat 241 % dengan tingkat keberhasilan pemancingan lebih dari 0,70 ikan per jam.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Ikan Kowan Untuk Membasmi Tumbuhan Air dan Larva Nyamuk

Mamedniyazov (1990) berpendapat bahwa rejim hidrologis bendungan-bendungan di Turkmenistan sangat menguntungkan bagi tumbuhan bawah-air, dan sebagian besar bendungan tersebut mengalami pertumbuhan vegetasi yang sangat berlebihan akibat kedangkalannya. Contoh yang jelas adalah bendungan Kutlinskoye dan Vostochnoye yang selama tahun-tahun pertama keberadaannya dipenuhi oleh vegetasi bawah-air sampai 70 % dan 100 %, berturut-turut. Padahal makrofita air memainkan peranan penting dalam siklus hidup larva nyamuk Anopheles pulcherrimus. Dinamika populasi Anopheles pulcherrimus biasanya paralel dengan variasi pertumbuhan vegetasi air. Pada September 1970, juvenil ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) ditebarkan di bendungan-bendungan ini. Beberapa bulan kemudian, pertumbuhan vegetasi air yang berlebihan berhenti sama sekali. Hal ini selanjutnya menyebabkan hilangnya larva Anopheles pulcherrimus.

Baca juga
Pengaruh Kekeruhan Terhadap Binatang Air

Kesukaan Ikan Kowan Terhadap Tumbuhan di Perairan Menggenang dan Mengalir

Pine et al. (1989) melaporkan bahwa ikan kowan triploid, Ctenopharyngodon idellus, ditebarkan bersama tiga spesies tumbuhan air (Potamogeton pectinatus, Myriophyllum spicatum, dan Potamogeton nodosus) di dalam kanal dengan air menggenang dan mengalir pada musim dingin, semi dan panas. Konsumsi tumbuhan oleh ikan kowan triploid pada musim dingin adalah rendah tetapi meningkat tajam pada musim semi dan panas. Berdasarkan panjang tunas tumbuhan, untuk perairan menggenang pada musim semi kesukaan ikan kowan triploid adalah Potamogeton pectinatus = Potamogeton nodosus, Potamogeton nodosus = Myriophyllum spicatum, Potamogeton pectinatus > Myriophyllum spicatum; untuk perairan mengalir Potamogeton pectinatus = Myriophyllum spicatum = Potamogeton nodosus. Semua tumbuhan dari ketiga spesies ini menghasilkan tunas yang lebih panjang di dalam kanal berair mengalir daripada di dalam kanal berair menggenang. Perbedaan panjang tunas mungkin bisa mengubah laju konsumsi dan kesukaan ikan kowan triploid.

Kondisi air mengalir juga memberikan efek yang bervariasi terhadap kandungan nutrisi dalam tumbuhan, seperti ditunjukkan oleh analisa proksimat bahan kering dan persen lemak, abu, protein, serat kasar, ekstrak nitrogen bebas dan serat deterjen asam. Kadar abu secara konsisten lebih tinggi pada ketiga spesies tumbuhan di kanal berair mengalir. Hal ini mencerminkan respon morfologis tumbuhan terhadap air mengalir. Tak satupun variabel analisis proksimat tumbuhan yang berkorelasi secara statistik dengan kesukaan ikan terhadap tumbuhan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kemudahan-diperoleh dan kemudahan-dikunyah adalah lebih penting daripada kualitas nutrisi tumbuhan dalam menentukan kesukaan ikan kowan terhadap tumbuhan. Konsumsi alga oleh ikan kowan triploid, bagaimanapun, menyulitkan untuk menentukan korelasi antara faktor nutrisi dan konsumsi tumbuhan air berpembuluh (Pine et al., 1989).

Baca juga
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 07 November 2013

Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air

Arsip Cofa No. C 160

Pengaruh Herbisida Terhadap Tumbuhan Air di Danau

Wagner et al. (1997) melaporkan bahwa telah dilakukan pemberian herbisida di empat danau untuk mengatasi serangan tumbuhan air Myriophyllum spicatum L. di Wisconsin antara tahun 1997 dan 2001 dengan menggunakan fluridone berdosis 6–16 mikrogram/liter. Data pasca-perlakuan tahunan (4 – 7 tahun) dipelajari untuk menduga (1) pengaruh herbisida terhadap tumbuhan eksotik (tumbuhan yang berasal dari daerah lain); (2) perubahan komunitas tumbuhan asli; dan (3) pengaruh terhadap kejernihan air. Perubahan pada danau yang diberi perlakuan dibandingkan dengan danau yang tidak ditangani.

Berdasarkan hasil penelitian ini, Wagner et al. (1997) menyimpulkan bahwa perlakuan fluridone menyebabkan kelimpahan Myriophyllum spicatum dan tumbuhan eksotik menjadi mantap-kembali di 3 dari 4 danau perlakuan. Komunitas tumbuhan asli mengalami pergeseran di keempat danau setelah pemberian fluridone. Terjadi penurunan kelimpahan secara tajam, bila dibandingkan dengan danau yang tak diberi perlakuan, untuk tumbuhan air Elodea canadensis, Ceratophyllum demersum, dan Najas flexilis, yang menunjukkan adanya efek langsung pemberian fluridone. Sebaliknya, bila dibandingkan dengan danau yang tak diberi perlakuan, kelimpahan Potamogeton crispus dan Chara spp meningkat secara tajam di 1 dari 2 danau yang diberi perlakuan. Kedalaman Secchi berkurang secara nyata di 2 dari 3 danau. Di masa depan pemberian herbisida ini harus memperhatikan, antara lain, tumbuhan asli yang dominan, kepekaannya terhadap fluridone dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan berkaitan dengan penurunan kejernihan air.

Baca juga
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Jenis Tumbuhan Air Menentukan Efektivitas Herbisida

Boyd (1982) mengutip laporan peneliti lain mengenai pengendalian gulma air secara kimia di kolam pertanian. Dilaporkan bahwa dua atau tiga kali pemberian 1 mg/liter tembaga sulfat, berjarak 2 atau 3 hari, adalah efektif dalam mengendalikan Cladophora dan Spirogyra. Pemberian 3 mg/liter tembaga sulfat diperlukan untuk membunuh Chara. Endothal sebanyak 1 – 3 mg/liter efektif terhadap alga berfilamen dan tumbuhan bawah-air tetapi tidak efektif terhadap tumbuhan air berdaun terapung atau Chara. Silvex sebanyak 2 – 3 mg/liter membunuh tumbuhan air tenggelam dan beberapa jenis tumbuhan air yang berdaun terapung tetapi tidak membunuh Chara. Gabungan herbisida dengan jumlah yang sama antara Endothal dan Silvex sebanyak 1 – 3 mg/liter tidak lebih efektif untuk membasmi tumbuhan bawah-air daripada bila kedua jenis herbisida ini digunakan sendiri-sendiri, tetapi campuran tersebut memberikan pengaruh lebih besar terhadap populasi campuran tumbuhan air tenggelam dan tumbuhan air berdaun terapung. Paraquat dan Diquat pada dosis 3 mg/liter efektif terhadap tumbuhan air tenggelam tetapi tidak terhadap Chara. Fenac (17 kg/ha), simazin (22 kg/ha) dan 2,4-D (34 – 35 kg/ha) efektif terhadap gulma bawah-air. Pemberian herbisida tidak secara langsung membahayakan ikan dan tidak berpengaruh besar terhadap populasi organisme makanan ikan. Bagaimanapun, beberapa ikan mati akibat kehabisan oksigen bila sangat banyak Chara dan alga lain yang terbunuh.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Air Pengencer dan Tembaga Terhadap Efektivitas Herbisida

Kammerer dan Ledson (2001) menyatakan bahwa berbagai jenis herbisida dan algasida yang mengandung tembaga telah dikembangkan untuk mengendalikan tumbuhan air. Herbisida “diquat dibromide” dengan merk dagang Reward sering digunakan bersama dengan material berbahan dasar tembaga untuk memperkuat efek herbisida atau algisida. Biasanya herbisida dicampur dengan sedikit air (20 ml Reward dan 100 ml air) untuk memaksimumkan luas penyemprotan herbisida tersebut. Tipe air yang diuji untuk mengencerkan herbisida adalah sebagai berikut : air suling (pH 7,79), air sadah (pH 7,68 dan konsentrasi ion kalsium dan magnesium 349 ppm), air asam (pH 4,39) dan air basa (pH 9,40). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Reward yang digabungkan dengan semua jenis herbisida bertembaga bisa diencerkan dengan berbagai tipe air, baik air sadah, basa, asam maupun air suling. Ketidak layakan campuran Reward dan herbisida bertembaga bisa disebabkan oleh kurangnya air pengencer, pengadukan yang tidak sempurna dan/atau terlalu lama didiamkan dalam wadah (lebih dari 6 jam).

Baca juga
Pengendalian Tumbuhan Air Secara Biologis dan Kimiawi

Manipulasi Ketinggian Air Bendungan Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Hydrilla

Manning dan Johnson (1975) melakukan studi pengendalian tumbuhan air Hydrilla verticillata di bendungan Louisiana, AS, dengan kombinasi teknik manipulasi ketinggian air dan pemberian herbisida. Hydrilla dapat tumbuh sampai kedalaman 6 – 7 meter dan umumnya membentuk kumpulan yang sedemikian rapat hingga burung dan hewan kecil dapat berjalan di atasnya. Survei menunjukkan peningkatan serangan Hydrilla : semula kurang dari 0,8 ha pada Januari 1973 menjadi 216 ha pada November 1973. Hal ini membuktikan dengan jelas kemampuan Hydrilla untuk memencar dengan cepat dan menyerang daerah-daerah baru. Metode kontrol yang efektif diperlukan bila badan air yang diserang Hydrilla dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Teknik manipulasi fluktuasi ketinggian air yang dilakukan di Danau Sibley, Louisiana, pada tahun 1973 – 1974 sangat efektif dalam mengendalikan semua gulma air. Disimpulkan bahwa metode pengendalian terpadu yang menggabungkan fluktuasi ketinggian air dan pemberian herbisida (diquat dan tembaga sulfat pentahidrat) efektif mengurangi populasi Hydrilla verticillata sampai 100 %.

Baca juga
Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Efektivitas Herbisida Fluridone Dalam Mengendalikan Hydrilla dan Dampaknya

O’Dell et al. (1995) melaporkan bahwa pada tahun 1988 Hydrilla menyerang danau Istokpoga, Florida, yang berdampak parah bagi banyak fungsi air. Danau kemudian ditangani dengan herbisida fluridone untuk mengendalikan Hydrilla. Data kimia air selama lima tahun (1988 – 1992) menunjukkan bahwa penurunan populasi Hydrilla akibat pemberian herbisida menyebabkan peningkatan konsentrasi fosfor total dan klorofil-a serta penurunan kedalaman Secchi. Konsentrasi nitrogen total antara sebelum dan setelah perlakuan tidak meningkat secara nyata. Pemberian fluridone untuk danau Istokpoga menelan biaya sekitar $ 3,7 juta (sampai tahun 1992) dan hanya efektif untuk sementara waktu dalam mengendalikan Hydrilla.

Baca juga
Kanker dan Senyawa Anti Kanker Dari Tumbuhan dan Hewan Air

Minyak dan Deterjen Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida

Boyd (1982) menyarankan penggunaan minyak dan deterjen untuk meningkatkan efektivitas herbisida dalam membasmi jenis tumbuhan air yang daunnya dilapisi lilin. Daun banyak jenis tumbuhan air yang mengapung dan mencuat memiliki lapisan lilin tebal yang menyebabkan campuran herbisida-air atau larutan herbisida membentuk embun dan meluncur jatuh; hal ini mengurangi jumlah bahan aktif herbisida yang menembus permukaan daun. Bahan kimia “surfactant” (bahan aktif-permukaan) bisa ditambahkan ke dalam larutan herbisida-air untuk memencarkan larutan ini pada permukaan tumbuhan. Deterjen rumah merupakan surfactant yang sesuai. Bila herbisida yang dapat dilarutkan minyak dicampur dengan air, maka bahan pengemulsi bisa ditambahkan, kemudian campuran ini terus-menerus diaduk untuk mencegah memisahnya minyak dan air. Herbisida larut-minyak juga bisa dilarutkan di dalam minyak tanah, kerosen atau bahan bakar diesel. Larutan seperti ini sering menunjukkan aksi herbisidal yang lebih baik karena minyak membantu herbisida dalam menembus lapisan lilin dan karena minyak itu sendiri bersifat racun bagi tumbuhan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...