Kamis, 21 Februari 2013

Indikator Kesehatan Ikan

Arsip Cofa No. C 135

Perkembangan Konsep Indikator Kesehatan Ikan

Menurut Smith (1982) selama bertahun-tahun definisi untuk kesehatan ikan adalah ketiadaan penyakit. Hal ini menyulitkan karena sukar mengetahui kapan ikan menghadapi masalah dan kemudian mencoba menolong ikan tersebut. Hasilnya sering tidak memuaskan karena salah satu gejala pertama suatu masalah adalah ikan berhenti makan. Cara utama pemberian obat untuk menangani masalah – biasanya masalah penyakit – bila melibatkan jutaan ikan di dalam hatchery besar adalah mencampur antibiotik di dalam makanan. Hal ini berarti bahwa ikan sakit yang telah berhenti makan dengan demikian tidak mendapat obat dan biasanya mati. Kurangnya memahami kesehatan ikan seperti ini tidaklah mengherankan. Ikan yang sakit hanya menunjukkan sangat sedikit tanda-tanda luar hingga penyakitnya menjadi parah, dan mereka mempunyai lebih sedikit cara untuk memberi tahu kesusahannya kepada kita daripada binatang domestik. Sebaliknya, perhatikan bagaimana seringnya seorang dokter mendasari pengobatannya pada apa yang Anda “ceritakan” kepadanya mengenai keluhan-keluhan Anda. Pengetahuan mengenai kesehatan ikan makin berkembang, yang dimulai pada akhir tahun 1960-an, dengan fokus pada perubahan fisiologis yang diharapkan terjadi selama tahap-tahap awal infeksi atau masalah-masalah lainnya. Karakteristik-karakteristik fisiologis yang normal telah cukup dimantapkan sehingga penyimpangan dari normal bisa digunakan sebagai indikator masalah-masalah subletal.

Baca juga :
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Konsentrasi Alkalin Fosfatase Dalam Darah Sebagai Indikator Kesehatan

Fothergill et al. (1991) melaporkan bahwa kadar alkalin fosfatase dalam serum darah diusulkan untuk digunakan sebagai indikator kesehatan lumba-lumba Tursiops aduncas, T. truncatus, Lagenorhynchus obscurus. Nilai-nilai dasar untuk individu lumba-lumba yang diambil ketika binatang tersebut tampak sehat, yaitu nafsu makan, tingkah laku, dan tanda-tanda lain yang dipantau secara rutin adalah normal. Penurunan secara tajam konsentrasi alkalin fosfatase dalam serum darah, yang terjadi pada rentang waktu yang singkat, biasanya menunjukkan adanya penyakit. Konsentrasi alkalin fosfaste dalam serum darah pada lumba-lumba mengikuti pola relatif terhadap umur, seperti yang ditemukan pada manusia, dan bisa menjadi petunjuk kasar untuk menduga kondisi kedewasaan.

Baca juga :
Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya

Keterbatasan Leukokrit Sebagai Metode Pendugaan Kesehatan Ikan

Wedemeyer et al. (1983) mengevaluasi kepekaan leukokrit sebagai metode pendugaan toleransi stress dan kesehatan ikan dengan mengamati juvenil ikan coho salmon, Oncorhynchus kisutch, atau steelhead trout, Salmo gairdneri, pada kondisi berdesakan, penanganan, stres suhu dan stres penyakit. Leukokrit merupakan indikator yang peka untuk stres fisiologis akibat kondisi berdesakan pada kepadatan populasi 0,2 – 0,4 kg per liter, dan untuk stres akibat penanganan dan stres akibat perubahan suhu. Indikator ini agak tidak peka untuk prosedur sampling fisiologis sehingga tidak bisa dikembangkan lebih lanjut sebagai metode pendugaan stres. Pada kasus penyakit ikan, infeksi Renibacterium salmoninarum dan Yersinia ruckeri secara subklinis atau aktif tidak memberikan pengaruh penting terhadap nilai leukokrit. Sebaliknya, infeksi Aeromonas salmonicida secara nyata mengurangi nilai leukokrit. Bagaimanapun, tidak ada perubahan yang terlihat selama fase subklinis (inkubasi) sebelum penyakit berkembang. Dengan demikian, potensi leukokrit sebagai metode pendugaan kesehatan ikan tampaknya terbatas.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


“Macrophage Aggregation” Sebagai Indikator Kesehatan Ikan

Wolke et al. (1985), dengan mengutip beberapa laporan peneliti lain, menyatakan bahwa “macrophage aggregation” yang terpisah dan berbentuk bundar sampai oval serta mengandung pigmen umumnya ditemukan tersebar luas di dalam limfa, hati, dan ginjal ikan teleostei tingkat tinggi. Agregasi (kumpulan) seluler ini memiliki banyak nama yang bervariasi, di antaranya yang terbaru adalah “melano-macrophage center” (MMC). Informasi mengenai fungsi agregasi ini diperoleh berdasarkan pengamatan terhadap partikel-partikel, misalnya butiran karbon, yang disuntikkan ke tubuh ikan. Partikel-partikel tersebut ditelan oleh sel-sel fagosit yang kemudian bermigrasi ke “macrophage aggregation”. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi “macrophage aggregation” adalah sebagai pusat penimbunan material yang berlebihan atau benda asing untuk kemudian dihancurkan, dinetralkan daya racunnya, atau dimanfaatkan kembali. Beberapa studi membuktikan bahwa jumlah “melano-macrophage center” (atau “macrophage aggregation”) bervariasi tergantung pada ukuran, kondisi nutrisi atau kesehatan spesies ikan yang diuji. Terlihat bahwa jumlah dan ukuran “macrophage aggregation” meningkat dengan meningkatnya umur, kelaparan, dan/atau penyakit.

Baca juga :
Kekebalan Ikan terhadap Infeksi Patogen dan Parasit

HAI : Indeks Pendugaan Kesehatan Ikan

Adams et al. (1993) menyatakan bahwa “health assessment index” (HAI; indeks pendugaan kesehatan) merupakan perluasan dan penyempurnaan sistem necropsy (pengujian pasca kematian untuk menentukan penyebab kematian atau penyakit). HAI merupakan indeks kuantitatif yang memungkinkan perbandingan seperangkat data kesehatan ikan secara statistik. Variabel indeks merupakan angka-angka yang berkaitan dengan derajat keparahan atau kerusakan organ atau jaringan yang ditimbulkan oleh agen penyebab stres lingkungan. Pendekatan ini telah digunakan untuk mengevaluasi kondisi kesehatan umum populasi ikan di berbagai tipe bendungan di basin Sungai Tennessee (North Carolina, Tennessee, Alabama, Kentucky), di bendungan Hartwell (Georgia, South Carolina) yang tercemar oleh polychlorinated biphenyl (PCB), dan di Sungai Pigeon River (Tennessee, North Carolina) yang menerima limbah dari pabrik kertas berpemutih. Kemampuan HAI untuk menunjukkan secara akurat kondisi kesehatan ikan dalam sistem ini dievaluasi dengan membandingkan indeks tersebut dengan tipe-tipe lain indikator kesehatan ikan (analisis pencemar, bioindikator dan analisis reproduktif) yang dilakukan pada saat yang sama dengan penentuan HAI. Pada semua kasus, HAI menunjukkan status kesehatan ikan di semua lokasi dengan pola yang sama seperti yang ditunjukkan oleh semua metode pendugaan kesehatan tersebut. HAI terbukti merupakan metode yang sederhana dan murah serta cepat untuk menduga kesehatan ikan secara umum.

Baca juga :
Darah Ikan dan Kerang : Pengaruh Kondisi Biologi, Kimia dan Lingkungan

Variasi Di Antara Empat Indeks Kesehatan Ikan Penghuni Estuaria

Leamon et al. (2000) menguji variasi di antara empat indeks kesehatan untuk ikan Fundulus heteroclitus. Keempat indeks tersebut adalah kandungan glikogen hati, indeks hati-somatik, indeks kondisi dan rasio RNA-DNA. Ikan dikumpulkan dari lima lokasi pesisir di tenggara Connecticut. Kesehatan ikan, sebagaimana ditentukan dengan keempat indeks tersebut, bervariasi cukup besar antar estuaria dan antar jenis kelamin. Hubungan antara setiap indeks dan panjang spesimen ikan adalah berbeda nyata antara estuaria untuk kedua jenis kelamin. Bila diregresikan terhadap panjang, kemiringan indeks-indeks tersebut bervariasi dari positif sampai negatif. Untuk setiap indeks, ada perbedaan nyata di antara beberapa panjang rata-rata pada setiap estuaria untuk kedua jenis kelamin. Rangking estuaria untuk sebuah indeks tidak selalu sama dengan rangking estuaria tersebut untuk indeks lain.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 15 Februari 2013

Komponen Kimia Air Laut

Arsip Cofa No. C 134

Ion-Ion Dalam Air Laut

Mowka (2009) menyatakan bahwa air laut merupakan larutan cair yang mengandung sekitar 3,4 persen material terlarut. Air laut mengandung sejumlah besar unsur kimia, banyak di antaranya dalam konsentrasi sangat rendah. Dengan analisis yang cukup tepat, mungkin bahwa air laut mengandung semua unsur yang kita ketahui. Jika menganalisis air laut maka ada dua hal penting yang akan ditemukan. Pertama, proporsi semua unsur utama sangat konsisten di seluruh dunia. Hal ini menguntungkan karena organisme asli suatu daerah bisa dipindahkan ke banyak lokasi lain. Kedua, konsentrasi nutrien anorganik (nitrogen sebagai amonia, nitrit dan nitrat, serta fosfor sebagai fosfat) dan bahan organik terlarut adalah sangat rendah. Hal ini merupakan perbedaan kimia utama antara air laut di samudra dan air laut di akuarium.

Mowka (2009) menambahkan bahwa ion-ion utama yang ditemukan dalam air laut adalah – dari yang terbanyak - klorida, natrium, sulfat, magnesium, kalsium dan kalium. Mereka juga merupakan ion-ion utama di dalam sel binatang hidup. Ion-ion ini bertanggung jawab mempertahankan kelistrikan dan keseimbangan osmotik di dalam sel serta transmisi impuls saraf. Ketiadaan salah satu ion utama ini berakibat fatal. Ikan yang ditempatkan dalam air laut modifikasi yang tidak mengandung kalium akan segera mati akibat ketidak-seimbangan kimiawi di dalam tubuh binatang tersebut.

Ion-ion minor dalam air laut – dari yang terbanyak – adalah bikarbonat, bromida, borat, strontium dan silikat. Ion-ion ini terdapat dalam konsentrasi rendah, tetapi jauh lebih melimpah dibandingkan trace element (unsur yang ada dalam jumlah sangat sedikit). Bikarbonat adalah ion minor terpenting karena terutama bertanggung jawab dalam buffering (penyangga), atau mempertahankan nilai pH. Borat juga berperanan dalam sistem buffer tetapi pengaruhnya kecil dibandingkan bikarbonat. Arti penting ion-ion minor lain kurang jelas. Silikat penting bagi alga tertentu dan mungkin bagi beberapa binatang. Bromida dan strontium, bagaimanapun, tidak diketahui peranannya dalam proses biologis; mungkin bahwa ketiadaan salah satu ion ini tidak berpengaruh terhadap kesehatan organisme. Trace element adalah ion-ion yang normalnya ditemukan pada konsentrasi sedikit di atas atau di bawah 1,0 mg/liter. Istilah trace element tidak menunjukkan arti penting ion-ion ini bagi kesehatan organisme air. Yang jelas, tidak semua trace element merupakan unsur penting.

Baca juga :
Sifat Fisik Air Laut

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsentrasi Logam Dalam Air Laut

Krauskopf (1956) mendaftar faktor-faktor yang mengendalikan konsentrasi 13 logam (Zn, Cu, Pb, Bi, Cd, Ni, Co, Hg, Ag, Cr, Mo, W, V) di dalam air laut :

- pengendapan senyawa-senyawa tak-larut yang mengandung ion-ion logam yang biasanya ada di dalam air laut teraerasi;

- pengendapan sulfida secara lokal di lingkungan tereduksi;

- penyerapan (adsorption) oleh fero sulfida, feri oksida terhidrat, mangan dioksida terhidrat, apatit, partikel tanah liat dan bahan organik.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Krauskopf (1956) menyimpulkan :

- Air laut adalah sangat tak-jenuh dalam hal ke-13 logam tersebut di atas. Dengan kata lain, tidak terjadi pengendapan senyawa-senyawa yang mengandung ion-ion logam tersebut yang biasanya berlangsung di dalam air laut yang diaerasi, bahkan pada kondisi suhu dan pH ekstrim.

- Pengendapan sulfida secara lokal merupakan mekanisme pengendalian yang mungkin untuk tujuh unsur (Cu, Zn, Hg, Ag, Cd, Bi, Pb), tetapi mungkin bukan merupakan pengendali utama karena konsentrasinya tidak berhubungan dengan kelarutan sulfida.

- Adsorption (penyerapan molekul hingga menempel di permukaan atau masuk ke dalam materi) adalah mekanisme yang mungkin untuk semua unsur kecuali V, W, Ni, Co, dan Cr; bila Cr disingkirkan oleh reduksi lokal dan pengendapan hidroksida, sedang keempat logam lainnya disingkirkan oleh reaksi organik, maka konsentrasi yang tersisa menunjukkan konsentrasi logam-logam lainnya. Proses adsorsi ditambah dengan reaksi-reaksi organik merupakan penjelasan kualitatif untuk distribusi berbagai jenis logam-jarang (rare metal) di dalam batuan sedimen asal-laut. Kesimpulan ini mungkin bisa diberlakukan juga untuk logam-logam lain yang ada di tengah Sistem Periodik Unsur, tetapi tidak berlaku untuk logam-logam yang ada di kedua sisi Sistem Periodik Unsur.

Baca juga :
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Besi, Tembaga dan Nikel Dalam Air Laut

Corcoran dan Alexander (1964) mempelajari distribusi tiga jenis trace element, yaitu besi, tembaga dan nikel di perairan tropis Florida Current. Metode yang digunakan adalah pengukuran kolorimetrik langsung terhadap besi dan tembaga. Besi dan tembaga ada dalam air laut terutama sebagai kompleks-kompleks organik “terlarut”. Nikel diendapkan dari air laut sebagai karbonat. Konsentrasi nikel ditentukan dengan ekstraksi kompleks organik yang dilanjutkan dengan analisis kolorimetrik. Distribusi nikel sangat mirip dengan pola distribusi tembaga.

Baca juga :
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Partikel Bahan Organik Tak-Hidup di Dalam Air Laut

Riley (1971) menyatakan bahwa bahan organik tak-hidup dalam air laut berasal dari berbagai jenis tumbuhan, termasuk fitoplankton, tumbuhan air yang menempel di perairan dangkal, alga pelagis makroskopik dan material asal-darat yang dibawa air dan angin. Arti penting relatif berbagai sumber ini tidak dapat dijelaskan dengan pasti, tetapi hampir tak diragukan bahwa fitoplankton merupakan sumber yang paling penting. Produksi fitoplankton , yang ditentukan berdasarkan fiksasi karbon-14, ada dalam kisaran 50 – 150 gram per m2 dalam setahun di basin-basin samudra utama; bagaimanapun, beberapa daerah, terutama di dekat kutub utara, kurang produktif dibandingkan basin samudra tersebut dan produksi yang lebih tinggi dicapai oleh beberapa perairan pesisir dan estuaria dan mungkin di daerah samudra yang mengalami upwelling secara intensif.

Baca juga :
Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut

Hidrokarbon di Dalam Air Laut

Barbier et al. (1973) mengekstrak hidrokarbon terlarut dengan bantuan kloroform dari perairan pesisir dan laut terbuka; setelah fraksi tak-tersabunkan (unsaponifiable) diisolasi dan dilakukan kromatografi lapisan-tipis, senyawa-senyawa ini dianalisis dengan kromatografi gas-cairan dan spektrometri massa. Hidrokarbon menyusun sekitar 20 % dari total ekstrak; konsentrasinya bervariasi dari 10 sampai 140 mikrogram/liter. N-Parafin ada pada konsentrasi sekitar 12 %, dari n-C14 sampai n-C37, dengan maksimum pada n-C27 sampai n-C30. Karbon parafin yang tak lazim adalah tidak banyak. Air laut dari berbagai sumber (dikumpulkan pada kedalaman sampai 4500 meter) menunjukkan komposisi hidrokarbon terlarut yang sama. Komposisi ini tidak berbeda jauh dari hidrokarbon yang biasanya ditemukan dalam alga. Diduga bahwa hidrokarbon air laut berasal dari mikro atau makro fitoplankton. Perairan pesisir dengan jelas menunjukkan polusi oleh hidrokarbon-hidrokarbon berberat molekul rendah atau hidrokarbon berklorin.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 12 Februari 2013

Sifat Fisik Air Laut

Arsip Cofa No. C 133

Perubahan Kondisi Air Laut Selama Upwelling

D’Croz et al. (1991) melakukan penelitian empat tahun untuk mendokumentasikan perubahan air laut di Teluk Panama akibat upwelling musiman. Massa air hangat, dengan salinitas kurang dari 30 ppt, konsentrasi fosfat rendah, konsentrasi klorofil-a rendah dan kepadatan fitoplankton rendah terlihat selama musim hujan. Sebaliknya selama musim kemarau, ketika terjadi upwelling, massa air yang dingin dan asin dengan konsentrasi fosfat tinggi, konsentrasi klorofil tinggi dan fitoplankton melimpah mendominasi teluk tersebut. Suksesi spesies berhubungan dengan perubahan musiman ini. Chaetoceros cinctus dominan selama musim hujan sedangkan Chaetoceros curvisetus merupakan spesies dominan selama musim kering.

Baca juga :
Suhu dan Kandungan Panas Perairan : Aspek Fisik

Kenaikan Suhu dan Tinggi Muka Laut Akibat Gas Rumah Kaca

Wigley dan Raper (1987) mempelajari hubungan antara gas rumah kaca, perubahan suhu rata-rata global dan kenaikan muka laut akibat pemuaian panas samudra dengan menggunakan model upwelling-difusi dan difusi murni. Pemuaian panas akibat gas rumah kaca menyebabkan kenaikan muka laut yang diduga sebesar 2 – 5 cm antara tahun 1880 dan 1985. Proyeksi dibuat sampai tahun 2025 untuk berbagai skenario kekuatan gas rumah kaca. Untuk periode 1985 – 2025 nilai dugaan pemanasan akibat gas rumah kaca adalah 0,6 – 1,0 oC. Terkait nilai ini maka pemuaian panas samudra akan menyebabkan kenaikan muka laut setinggi 4 – 8 cm.

Baca juga :
Pengaruh Hujan Terhadap Perairan

Densitas dan Pengadukan Massa Air Laut

Open University (2004) menyatakan bahwa kisaran suhu air samudra adalah 0 – 25 oC, sedangkan kisaran salinitasnya secara umum sedikit lebih dari 34 – 36 ppt dan bisa lebih kecil lagi di basin samudra individual. Suhu dengan demikian lebih berpengaruh terhadap densitas (kepadatan) air laut daripada salinitas. Misalnya untuk suhu lebih dari 5 oC maka perubahan suhu 1 oC memberikan pengaruh terhadap densitas yang lebih besar daripada perubahan salinitas 0,1 ppt. Di daerah katulistiwa dan lintang-tinggi, di mana perubahan suhu musiman tidak begitu besar, penguapan/curah hujan dan pembentukan/peleburan es dapat menyebabkan perubahan salinitas – dan dengan demikian densitas – massa air permukaan secara nyata.

Telah diketahui bahwa pada kedalaman di bawah sekitar 500 – 1000 meter di samudra, suhu dan salinitas tidak banyak bervariasi. Pada kedalaman sekitar 1000 meter, bertambahnya kedalaman menyebabkan densitas air laut hanya meningkat sedikit. Profil densitas air laut hampir vertikal di bawah kedalaman sekitar 2000 meter. Sebaliknya, pada kedalaman kurang dari 500 meter di daerah lintang-tengah dan lintang-rendah, densitas air meningkat cepat dengan bertambahnya kedalaman di bawah lapisan air permukaan yang teraduk, dan kurva densitas ini hampir horizontal. Belokan tajam pada kurva densitas air disebut piknoklin. Di laut terbuka, piknoklin biasanya berhubungan dengan termoklin, namun posisi pasti mereka dan kemiringannya bergantung pada distribusi salinitas. Piknoklin utama timbul hampir bersamaan dengan termoklin permanen. Massa air di dalam piknoklin sangat stabil, artinya dibutuhkan energi besar untuk memindahkan mereka ke atas atau ke bawah. Piknoklin utama membentuk batas bawah atau “lantai” bagi turbulensi yang disebabkan oleh proses pengadukan di permukaan laut. Kedalaman lapisan massa air permukaan yang teraduk bergantung pada kekuatan angin dan pada proses-proses yang cenderung meningkatkan stabilitas gravitasi vertikal seperti pemanasan air permukaan dan curah hujan (Open University, 2004).

Termoklin Harian dan Termoklin Permanen

Open University (2004) menyatakan bahwa termoklin harian dapat terbentuk di mana saja ketika terjadi pemanasan yang cukup selama siang hari, namun termoklin ini hanya sampai kedalaman sekitar 10 – 15 meter dan perbedaan suhu air di atas dan di bawahnya secara normal tidak melebihi 1 – 2 oC. Pada musim panas, dengan mengabaikan variasi suhu musiman dan harian, termoklin permanen menyebabkan samudra secara keseluruhan terbagi menjadi tiga lapisan utama massa air. Ketebalan lapisan atas yang hangat dan termoklin permanen adalah lebih kecil pada daerah lintang-rendah dibandingkan pada daerah lintang-tengah karena pada daerah lintang-rendah angin biasanya lebih lemah dan perbedaan suhu musiman lebih kecil.


Termoklin, Konsentrasi Oksigen Minimum dan Kematian Masal Ikan

Longhurst dan Pauly (1987) menjelaskan bahwa di bawah termoklin, masa air laut bawah-permukaan di daerah tropis semuanya terbentuk di luar daerah tersebut, terutama melalui penenggelaman di dekat konvergensi (pertemuan massa air) subtropis. Massa air primer yang terbentuk dengan cara ini seringkali meluas dari bawah termoklin sampai kedalaman 500 – 600 meter, dan kemudian dimodifikasi oleh pengadukan. Bagaimanapun, massa air bawah-permukaan secara keseluruhan lebih seragam daripada massa air permukaan. Massa air bawah-permukaan sering memiliki salinitas maksimum di bagian tengahnya dan juga – yang lebih penting untuk perikanan – lapisan oksigen minimum. Yang terakhir ini hampir selalu ada di mana-mana di samudra tropis pada kedalaman yang bersesuaian dengan termoklin samudra utama. Di basin timur Atlantik dan Pasifik, dan terutama di Samudra Hindia barat laut, karakteristik ini berkembang dengan sangat kuat. Konsentrasi oksigen yang sangat rendah bisa meluas sampai kedalaman beberapa ratus meter, dan H2S mungkin ada meskipun dalam konsentrasi rendah. Oksigen minimum biasanya terjadi di dekat kedalaman yang gerakan air horizontalnya sangat terbatas. Upwelling pesisir yang terjadi secara musiman sepanjang pantai barat India membawa massa air berkonsentrasi oksigen sangat rendah ke paparan benua, dan hal ini menyebabkan dampak biologis penting terhadap fauna ikan demersal dan krustasea bentik. Terjebaknya biota dalam air upwelling beroksigen rendah di daerah pesisir ini mengakibatkan kematian massal ikan dan krustasea. Fenomena serupa tampaknya terjadi di lepas pantai Birma, di mana massa air yang miskin oksigen naik ke paparan benua.

Baca juga :
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Sinar Ultra Violet Oleh Air Laut

Armstrong dan Boalch (1961) mengukur spektrum penyerapan sinar ultra violet antara 200 dan 400 mix dengan menggunakan spektrofotometer. Pada panjang gelombang pendek, air laut alami memiliki absorbancy (daya serap) dua kali air laut buatan. Perbedaan yang ditunjukkan sampel dari laut dangkal disebabkan oleh bahan organik. Ditemukan adanya variasi regional, di mana perairan pesisir menunjukkan penyerapan sinar ultra violet yang lebih tinggi. Juga ditemukan adanya efek musiman yang kecil di mana absorbancy meningkat pada musim panas di Selat Inggris. Di perairan Atlantik yang dalam, peningkatan penyerapan di bawah 235 m/x mungkin disebabkan oleh tingginya konsentrasi nitrat. Pada panjang gelombang yang lebih besar, absorbancy adalah lebih kecil untuk massa air permukaan.

Baca juga :
Komponen Kimia Air Laut

Pengaruh Pigmen Fitoplankton Terhadap Warna Air Laut

Yentsch (1960) menyatakan bahwa dengan menggabungkan daya serap pigmen-pigmen fitoplankton dan daya serap air murni, maka daya serap cahaya biru meningkat tajam. Ketika konsentrasi pigmen fitoplankton meningkat, berkurangnya cahaya biru menggeser panjang gelombang transmisi maksimum ke arah cahaya hijau. Pada konsentrasi pigmen fitoplankton yang normalnya ditemukan di laut terbuka, pigmen klorofil merah memberikan sedikit pengaruh terhadap warna air laut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 09 Februari 2013

Bakteri Vibrio dan Vibriosis

Arsip Cofa No. C 132

Morfologi Vibrio

Colwell dan Grimes (1984) menyatakan bahwa semua anggota genus Vibrio adalah bakteri batang gram negatif dengan ukuran beragam dan morfologinya bervariasi mulai dari bentuk coccobacilli sampai sel berbentuk batang yang jelas dan beberapa di antaranya, yaitu vibrioid, berbentuk kurva. Pada kondisi kekurangan nutrisi atau di lingkungan alam, termasuk di estuaria dan samudra, bila terjadi kondisi oligotrophic (kurang subur), Vibrio bisa muncul dalam bentuk bola-bola kecil, yang menunjukkan strategi untuk bertahan hidup. Vibrio spp. bergerak dengan bantuan flagela-kutub yang berselubung : satu atau beberapa flagela (bulu cambuk) terdapat di salah satu kutub sel bakteri tersebut. Beberapa spesies juga membentuk flagela-samping yang tak berselubung, ketika tumbuh pada media padat. Flagela-samping memainkan peranan untuk melekat pada permukaan dan mungkin juga untuk menggerombol.

Beberapa Vibrio spp. menyebabkan penyakit pada populasi ikan laut, baik liar maupun budidaya. Penyakit yang paling umum, vibriosis, disebabkan oleh Vibrio anguillarum. Bagaimanapun, intensitas budidaya laut yang makin meningkat ditambah dengan sistematika bakteri yang terus disempurnakan menyebabkan daftar Vibrio spp. yang menyebabkab penyakit menjadi bertambah. Sindrom penyakit yang diberi istilah vibriosis juga dinamakan “luka merah”, “red pest”, “bintik merah” dan “penyakit merah” berdasarkan karakteristik luka pada kulit dan berdarah. Penyakit ini dikenal sejak tahun 1718 di Italia (Colwell dan Grimes, 1984).

Baca juga :
Bakteri Penyebab Penyakit Pada Ikan

Kepadatan Vibrio vulnificus di Dalam Air, Sedimen dan Usus Biota Estuaria

DePaola et al. (1994) menentukan kepadatan Vibrio vulnificus di dalam isi usus berbagai jenis ikan, oyster dan kepiting dan di dalam sedimen serta air di Gulf Coast, Amerika Serikat, dengan menggunakan prosedur most probable number (jumlah paling mungkin). Spesies Vibrio diidentifikasi dengan imunoesei enzim. Selama musim dingin, kepadatan Vibrio vulnificus adalah rendah, dan bakteri ini lebih banyak diisolasi dari ikan sheepshead dibandingkan dari sedimen dan air laut. Dari April sampai Oktober, kepadatan Vibrio vulnificus cukup lebih tinggi (2 sampai 5 log) pada ikan estuaria dibandingkan pada sedimen, air sekelilingnya ataupun pada oyster dan krustasea di dekatnya. Kepadatan tertinggi ditemukan dalam isi usus beberapa ikan pemakan-dasar (108/100 gram), terutama ikan yang memangsa moluska dan krustasea. Kepadatan Vibrio vulnificus pada ikan yang memakan terutama plankton dan ikan lain adalah sama dengan pada oyster, sedimen dan kepiting (105/100 gram). Vibrio vulnificus jarang ditemukan pada ikan lepas pantai. Keberadaan Vibrio vulnificus dengan kepadatan tinggi di dalam usus ikan-ikan yang biasa menghuni estuaria bisa memberikan dampak ekologis (pertumbuhan dan transport ikan) maupun dampak kesehatan masyarakat (makanan dan infeksi luka).

Baca juga :
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Vibriosis Pada Ikan Belanak dan Pengobatannya

Blanch dan Jofre (1992) melaporkan wabah vibriosis pada ikan belanak abu-abu keemasan (Mugil auratus). Ikan dipelihara di pembenihan yang terletak di Delta de l’Ebre (Catalonia, Spanyol). Vibrio anguillarum serotipe 01 telah diisolasi dari jaringan ginjal anterior ikan sakit. Uji patogenik menunjukkan adanya kemampuan menimbulkan sakit (virulensi) yang dimiliki galur Vibrio ini. Pengobatan ikan dengan nitrofurazone dengan cara ikan sakit dimandikan adalah efektif di pembenihan ini untuk mengendalikan wabah vibriosis tersebut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Vibrio harveyi Penyebab Kematian Pada Ikan Acanthopagrus dan Epinephelus

Saeed (1995) mempelajari Vibrio sp. yang sering berhubungan dengan mortalitas dalam budidaya ikan bream Acanthopagrus cuvieri dan kerapu lumpur Epinephelus tauvina. Ikan bream mengalami infeksi Vibrio secara laboratorium hanya bila bakteri tersebut dimasukkan “intramuscular” (lewat-otot), sedangkan ikan kerapu lumpur mengalami infeksi baik melalui intramuscular maupun “intraperitoneal” (lewat perut). Isolat bakteri diidentifkasi sebagai Vibrio harveyi. Nilai LD50 (lethal doses; dosis mematikan) 5 hari untuk ikan bream adalah 4.9 ± 0,21 × 107 CFU (colony forming unit; unit pembentuk koloni), dan untuk kerapu 1,56 ± 0,19 x 109 CFU untuk intramuscular dan 1,59 ± 0,17 × 109 CFU untuk intraperitoneal. Pada ikan kerapu lumpur, bakteri Vibrio ditemukan paling banyak di limfa dan ginjal untuk infeksi intramuscular, sedang untuk infeksi intraperitoneal Vibrio paling banyak dijumpai di limfa, kemudian di ginjal dan hati. Ikan bream menimbun sejumlah besar bakteri di dalam otot pada lokasi penyuntikan dan sejumlah kecil pada organ dalam.

Berdasarkan nilai LD50 dan jumlah bakteri pada jaringan, Saeed (1995) menyimpulkan bahwa ikan bream lebih peka daripada ikan kerapu lumpur terhadap isolat bakteri ini bila diberikan lewat jalur intramuscular. Berdasarkan tingginya nilai LD50 untuk kedua spesies, tampak bahwa Vibrio harveyi seharusnya dianggap sebagai patogen opportunistic (menimbulkan penyakit ketika sistem kekebalan ikan lemah). Oksitetrasiklin yang ditambahkan ke dalam pakan berhasil menghentikan mortalitas pada ikan kerapu lumpur dari mana Vibrio harveyi diisolasi dalam jumlah melimpah dan dalam bentuk murni.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Bakteri di Perairan

Kematian Masal Ikan dan Udang Laut Akibat Vibrio harveyi

Alvarez et al. (1998) melaporkan bahwa sejak tahun 1980, ikan belanak perak, Mugil curema, ikan Trachinotus carolinus L., Trachinotus falcatus L. dan udang penaeidae, yaitu Penaeus schmitti, P. (Litopenaeus) vannamei dan P. (Litopenaeus) stylirostris, yang dibudidayakan dan ditangkap di perairan Venezuela, mengalami serangan parah vibriosis yang menyebabkan penyakit “bacterial haemorrhagic septicaemia”. Pada mulanya diduga bahwa Vibrio anguillarum adalah agen penyebabnya, dengan pakan yang mengandung ikan Anchoa non-pasteurisasi dianggap sebagai sumber utama patogen tersebut. Bagaimanapun, sejak 1993, penelitian yang menjadi basis laporan ini menunjukkan bahwa mortalitas yang terjadi secara luas pada ikan dan udang penaeidae di Venezuela disebabkan oleh Vibrio harveyi.

Baca juga :
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Karakteristik Galur-Galur Vibrio Penyebab Penyakit Brown Ring

Castro et al., (1992) mempelajari beberapa karakteristik, yang mencakup biokimia, serologis, kekebalan terhadap obat dan profil plasmida, pada galur Vibrio yang diisolasi dari kerang Tapes philippinarum yang diserang penyakit “brown ring” (cincin coklat). Berdasarkan 36 uji standar fisiologis dan biokimiawi, semua galur yang diisolasi diinkubasikan di dalam genus Vibrio dan dibagi lebih lanjut menjadi 6 kelompok fisiologis. Galur-galur ini mirip dengan Vibrio pelagius dan Vibrio splendidus. Bagaimanapun, isolat dari setiap kelompok tidak menunjukkan reaksi-silang dengan antisera yang dibangkitkan untuk melawan beberapa galur rujukan dari berbagai spesies Vibrio, yang mencakup V. anguillarum, V. tubiashii, V. damsela, V. pelagius, V. splendidus dan spesies tak teridentifikasi Vibrio P1. Walaupun hanya 57,7 % dari galur yang diuji memiliki satu atau lebih plasmida, kebanyakan galur yang mengandung plasmida (93,3 %) mempunyai sebuah jalur plasmida besar 34,4 MDa. Sejumlah besar isolat, tanpa memandang kelompok taksonomiknya, adalah kebal terhadap antibiotik ampicillin dan erythromycin. Bagaimanapun, semua galur Vibrio peka terhadap kloramfenikol, tetrasiklin, gentamisin, nitrofurantoin, nalidixic acid dan trimethoprim sulphamethoxazole. Tidak ada korelasi antara kadar plasmida dan kekebalan terhadap obat.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 02 Februari 2013

Agar-Agar Rumput Laut

Arsip Cofa No. C 131

Pengaruh Lokasi Geografi Asal Rumput Laut dan Perlakuan Basa (NaOH) Terhadap Sifat Agar-Agar

Rebello et al. (1997) menyatakan bahwa sumber agar-agar pertama di dunia adalah Gelidium dari Jepang pada abad ke-17, tetapi pada awal abad ke-20 permintaan koloid-tumbuhan meningkat melebihi pasokan alga ini. Sejak itu Gracilaria memegang peranan penting dalam produksi agar-agar. Walaupun Gracilaria diketahui menghasilkan gel yang lemah, penggunaan hidrolisis-basa meningkatkan kekuatan gel, sehingga memungkinkan pembuatan agar-agar berkualitas bagus dari alga ini untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan lain-lain. Sifat fisik dan tekstur gel agar-agar merupakan faktor penting yang menentukan penerapannya terutama untuk industri makanan.

Rebello et al. (1997) mengumpulkan enam spesies Gracilaria ekonomis penting dari beberapa sumber komersial di dunia, dan Gracilariopsis lemaneiformis dari dua lokasi di Jepang. Kedua jenis rumput laut ini digunakan sebagai sumber bahan mentah untuk mengevaluasi kualitas agar-agar. Agar-agar diekstraksi menggunakan perlakuan pendahuluan dengan berbagai konsentrasi NaOH (0%, 3%, 5%, 7%, 10%) dan diinkubasikan pada suhu 80 oC selama 2 jam. Hasil agar-agar, kekentalan, dinamika peng-gel-an dan titik lebur serta tekstur gel ditentukan untuk gel agar-agar 1,5 %. Hasil agar-agar terbanyak diperoleh dari Gracilaria gracilis asal Argentina (39,5 %), sedang terendah dari G. gracilis asal Brazil (13,37 %). Suhu dinamika peng-gel-an adalah tertinggi pada agar-agar dari Gracilaria gracilis asal Turki (59 oC) dan terendah pada agar-agar dari Gracilaria edulis asal Indonesia yang diberi perlakuan non-basa (46 oC). Suhu titik lebur berkisar dari 96 oC untuk agar-agar dari Gracilariopsis asal Jepang dan G. chilensis asal Cili sampai 69 oC untuk agar-agar dari Gracilaria edulis asal Indonesia.

Secara umum, semua spesies menghasilkan agar-agar dengan kekuatan gel besar setelah perlakuan dengan 5 % NaOH, kecuali untuk G. chilensis dan dua spesies Gracilariopsis, yang menghasilkan agar-agar dengan kekuatan gel besar setelah perlakuan dengan 3, 7 dan 10 % NaOH. Kekuatan gel terbesar (2056 ± 13,6 per cm2) dan gel terkeras (261 ± 19,89 gram per mm2) diperoleh dari G. lemaneiformis asal Jepang (Oita Prefecture) setelah perlakuan dengan 7 dan 10 % NaOH, berturut-turut. Kekuatan gel terkecil (351 ± 93 per cm2) diperoleh dari G. gracilis asal Brazil setelah perlakuan dengan 3 % NaOH. Gel paling lunak (66,31 ± 9,63 gram per mm2) diperoleh dari G. tenuistipitata asal Cina, setelah perlakuan dengan 3 % NaOH. Gel paling fleksibel (11,62 ± 0,31 gram per mm2 x 102) diperoleh dari G. chilensis asal Chili setelah perlakuan dengan 3 % NaOH (Rebello et al., 1997).

Baca juga :
Antibiotik dari Bakteri, Alga Laut dan Mimi

Meningkatkan Hasil dan Kualitas Agar-Agar Dengan Penyimpanan di Tempat Gelap

Menurut Rincones et al. (1993) sintesis, hasil dan sifat kimia agar-agar dipengaruhi oleh beberapa faktor yang memodifikasi fisiologi alga. Komposisi agar-agar Gracilaria bergantung pada spesiesnya, sedangkan komposisinya di dalam spesies itu sendiri dipengaruhi oleh musim serta kondisi kultur. Pada studi budidaya Gracilaria dalam tangki, komposisi agar-agar juga bervariasi sesuai dengan kondisi kultur dan zat-zat hara.

Rincones et al. (1993) mempelajari pengaruh kegelapan dan amonia terhadap hasil dan kualitas agar-agar Gracilariopsis lemaneiformis. Rumput laut ini dibudidayakan pada kondisi terkendali di laboratorium dan dipupuk dengan amonia sebelum penyimpanan satu bulan pada kondisi gelap. Butir-butir kanji diketahui mengganggu sifat mekanis agar-agar. Kandungan kanji dalam jaringan alga dan aktivitas fosforilase kanji florida serta α-glukosidase diukur selama periode penyimpanan ini sebagai cara untuk mengikuti proses penguraian kanji dalam kondisi tidak ada cahaya, dan untuk mengetahui pengaruh kegelapan terhadap kandungan dan kualitas agar-agar yang disintesis. Agar-agar yang dihasilkan, kekuatan gel, kandungan 3,6-anhidrogalaktosa, sulfat dan kanji banyak dipengaruhi oleh perlakuan gelap tersebut. Nilai yang diperoleh mencerminkan pola optimisasi kualitas agar-agar ketika Gracilariopsis lemaneiformis disimpan di tempat gelap. Agar-agar yang diisolasi setelah perlakuan gelap adalah lebih sedikit tercemar oleh butiran kanji. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan hasil dan kualitas agar-agar, status nutrisi tanaman dan penurunan kadar kanji.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Lama Ekstraksi Terhadap Sifat Reologis Agar-Agar dari Gracilaria

Hurtado-Ponce (1992 a) menentukan pengaruh lama ekstraksi terhadap hasil bersih anhidra (tanpa air), sifat-sifat reologis (perubahan bentuk dan arus materi), dinamika pembentukan gel dan suhu titik lebur 1,5 % agar-agar dari enam spesies Gracilaria dan satu spesies Gracilariopsis yang dikumpulkan dari Filipina. Hasil agar-agar terendah diperoleh dari Gracilaria gverrucosah (10,1 %) bahkan setelah diekstraksi selama 120 menit, sedangkan hasil terbanyak didapat dari Gracilaria coronopifolia setelah diekstraksi selama 30 menit (23,5 %) maupun selama 60 menit (26,1 %) dan Gracilaria eucheumoides setelah diekstraksi selama 120 menit (27,3 %). Ekstraksi selama 60 menit terhadap Gracilariopsis heteroclada menghasilkan gel dengan kekuatan pecah tertinggi (1013 g), daya kohesi maksimum (7,4 mm), energi pemecahan terbesar (7481 g mm), dan paling kaku (137,3 g/mm). Gracilaria blodgettii menghasilkan gel paling lemah dalam uji ini. Suhu pembentukan gel dinamis paling rendah untuk Gracilaria blodgettii pada 60 menit (28 oC) dan tertinggi untuk Gracilaria edulis pada lama ekstraksi 120 menit (46,3 oC). Suhu titik lebur paling rendah pada lama ekstraksi 30 menit untuk Gracilaria salicornia (58,0 oC) dan paling tinggi pada lama ekstraksi 30 menit untuk Gracilaria edulis (95,0 oC). Ada efek interaksi yang kuat antara spesies, lama ekstraksi dan sifat-sifat reologis, tetapi tidak ada interaksi antara spesies, lama ekstraksi dan suhu. Setiap spesies menunjukkan sifat-sifat reologis yang baik pada lama ekstraksi yang spesifik.

Baca juga :
Kanker dan Senyawa Anti Kanker Dari Tumbuhan dan Hewan Air

Pengaruh Kapur dan Larutan Basa Terhadap Hasil dan Sifat Agar-Agar Gracilariopsis

Hurtado-Ponce (1992 b) mengamati sifat-sifat reologis pada 1,5 % gel agar-agar dari Gracilariopsis heteroclada yang ditangani dengan bubuk kapur komersial (CaCO3) selama penjemuran, dan kombinasi dua larutan basa selama pemanasan dalam media air di laboratorium. Semua sampel diberi perlakuan pemanasan selama satu atau tiga jam sebelum diekstraksi. Hasil agar-agar yang sedikit lebih banyak diperoleh dari sampel yang ditangani dengan kapur ketika penjemuran (2,9 - 4,5 %) dibandingkan dari rumput laut yang ditangani dengan larutan basa di laboratorium, yang hasilnya hanya 2,1 - 3,8 %. Sifat-sifat reologis (kekuatan pecah, daya kohesi, energi pemecahan dan kekakuan) dan sifat-sifat fisik (dynamic gelling dan suhu titik lebur) yang lebih baik diperoleh dari rumput laut yang ditangani di laboratorium setelah perlakuan 3 jam. Tak ada pengaruh lokasi pengumpulan, perlakuan basa dan lama penanganan terhadap hasil agar-agar yang diamati. Bagaimanapun, lokasi pengumpulan, perlakuan basa dan lama penanganan memberikan pengaruh nyata (P ≤ 0,01) terhadap sifat reologis, peng-gel-an dan suhu titik lebur.

Baca juga :
Aspek Ekologi dan Pemanfaatan Kandungan Kimia Dalam Rumput Laut

Pengaruh Perlakuan Basa Terhadap Sifat Agar-Agar Dari Gelidium

Whyte dan Englar (1981) mempelajari komposisi kimia dan sifat-sifat reologis agar-agar yang diisolasi dari Gelidium purpurascens, agar-agar setelah perlakuan basa, dan agar-agar komersial. Agar-agar dari Gelidium dan yang diberi perlakuan basa memiliki gel yang lebih lemah, sebagaimana diukur dengan alat Instron 1122, daripada agar-agar komersial. Pada agar-agar yang mendapat perlakuan basa, xylose, glukosa dan glucuronic acid hilang bersama dengan 86 % kandungan nitrogennnya, yang menunjukkan bahwa keberadaan senyawa-senyawa tersebut di dalam agar-agar adalah dalam bentuk kompleks karbohidrat-protein. Urut-urutan ekstraksi alga bertanggung jawab atas rendahnya hasil agar-agar yang diperoleh karena kehilangan terjadi akibat pengendapan etanol. Perlakuan asam terhadap residu dari cairan sisa ekstraksi alga menghasilkan tambahan agar-agar sebanyak 10 % dengan kekuatan gel yang meningkat namun kadar glukosanya juga meningkat.

Stabilitas Agar-Agar Dari Gracilaria eucheumatoides Selama Penyimpanan

Romero et al. (2008) mempelajari status polisakarida dinding sel rumput laut alga merah, Gracilaria eucheumatoides selama penyimpanan pasca-panen. Hasil agar-agar, komposisi kimia, sifat fisik dan tekstur agar-agar yang diberi perlakuan alkali ditentukan pada selang waktu yang berbeda-beda selama penyimpanan 31 bulan pada kondisi kering setelah panen. Terjadi fluktuasi minimal dalam hal hasil agar-agar, yang berkisar dari 22,9 % sampai 29,0 %. Kekuatan gel agar-agar rata-rata 318 gram/cm2 hingga bulan ketiga penyimpanan tetapi cukup banyak berkurang setelah itu. Kekentalan relatif dan berat molekul ekstrak bervariasi terbalik dengan lama penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisika ,maupun tekstur agar-agar secara umum menurun sejalan dengan lama penyimpanan, mungkin akibat depolimerisai seperti dibuktikan oleh penurunan berat molekul. Agar-agar yang diekstrak dari rumput laut sampai 3 bulan penyimpanan memiliki kualitas gel yang dianggap sesuai untuk digunakan sebagai/bersama makanan. Perpanjangan lama penyimpanan panen rumput laut tidak dianjurkan.

Baca juga :
Komunitas, Ekologi dan Pemanfaatan Rumput Laut

Memperbaiki Kualitas Agar-Agar Dari Alga Merah, Pterocladia

Rao dan Bekheet (1976) mempelajari pengaruh berbagai perlakuan terhadap kualitas agar-agar yang diproduksi oleh rumput laut Pterocladia; selain itu persyaratan untuk produksi material berkualitas tinggi telah distandarisasi. Dalam proses yang telah dimodifikasi, rumput laut dijemur di bawah matahari hingga pucat kemudian dicuci bersih dengan air, direndam selama 24 jam, lalu digiling sampai menjadi bubur dan dibilas lagi di dalam air. Bubur ini selanjutnya diekstrak dengan air (rasio rumput laut : air adalah 1 : 30) di bawah tekanan selama 2 jam setelah pH disesuaikan menjadi 6 dengan penambahan asam asetat. Gel agar-agar, setelah dibekukan lalu dicairkan kembali, diberi obat pemutih berupa NaClO sebelum dikeringkan dengan aliran udara panas. Perlakuan pendahuluan terhadap rumput laut dengan alkali pada suhu 80 oC selama 2 jam sebelum ekstraksi ternyata bisa memperbaiki kualitas agar-agar sampai kisaran yang sangat besar.

Karakteristik Agar-Agar dari Ceramiales : Laurencia

Produksi dunia agen pembuat gel, agar-agar, terutama bersumber dari alga merah ordo Gracilariales dan Gelidiales sebagai bahan mentah. Penelitian telah dilakukan terhadap,potensi satu spesies dari ordo alga merah kurang dimanfaatkan, Ceramiales, sebagai sumber agar-agar. Agar-agar dari rumput laut Laurencia flexilis yang dikumpulkan dari Filipina utara diekstrak dengan prosedur perlakuan tradisional dan perlakuan alkali, kemudian sifat-sifat ekstrak ini ditentukan dengan metode kimia, spektroskopik dan fisika. Agar-agar produk asli tradisional, berdasarkan 26 % berat kering, membentuk gel dengan kekuatan sedang (200 gram/cm2). Perlakuan alkali tidak meningkatkan kekuatan gel, yang menunjukkan sedikitnya jumlah residu galaktosa-6-sulfat, bahan awal (precursor) 3,6-anhydrogalactose (3,6-AG) pembentuk gel. Selain itu, analisis kimia dan “Fourier transform infrared” menunjukkan rendahnya kandungan sulfat dan tingginya 3,6-AG, yang tidak banyak dipengaruhi oleh perlakuan alkali. “Nuclear magnetic resonance spectroscopic analysis” menunjukkan 6-O-methyl-D-galactose berkait-3 dan 3,6-anhydro-L-galactose berkait-4 sebagai unit pengulangan utama dalam ekstrak asli tradisional, dengan sulfasi minor pada posisi-4 residu galaktosa berkait-3. Agar-agar asli tradisional dan agar-agar yang diberi perlakuan alkali memiliki kesamaan dalam hal tingginya suhu pembentukan gel dan suhu leleh, namun agar-agar asli tradisional menunjukkan syneresis (kontraksi gel yang diikuti oleh pemisahan cairan) yang lebih tinggi. Laurencia flexilis dapat menjadi sumber agar-agar yang bagus yang memiliki kualitas fisika-kimia dan reologis yang sesuai untuk bahan makanan. Karena ketidakmampuan perlakuan alkali untuk meningkatkan kualitas gel ekstrak agar-agar asli, maka disarankan agar ekstraksi agar-agar komersial dari rumput laut ini dilakukan tanpa mengikuti prosedur industri yang banyak dipakai (Villanueva, et al., 2010)

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...