Selasa, 26 Maret 2013

Penyebab Kekeruhan di Perairan Alami dan Kolam Ikan

Arsip Cofa No. C 141

Faktor-Faktor Penyebab Kekeruhan di Perairan

Akhurst dan Breen (1988) menyatakan bahwa dalam perairan menggenang, variasi kekeruhan yang cukup besar bisa disebabkan oleh variasi masukan dari sungai, pengadukan akibat turbulensi dan sedimen yang tersuspensi-kembali. Kestabilan kondisi kekeruhan tergantung pada gerakan air, ukuran partikel tersuspensi dan laju pengendapan partikel tersebut; laju pengendapan ini berbanding terbalik dengan ukuran dan berat partikel. Perilaku partikel tanah liat dalam suspensi dimodifikasi lebih lanjut oleh lapisan kation yang menempel di permukaan partikel itu. Jadi, sementara partikel tanah liat tetap tersuspensi selama periode yang panjang, terjadi perubahan muatan ion dalam air keruh seperti yang terjadi pada estuaria di mana terjadi percampuran air laut dan air tawar; perubahan muatan ini selanjutnya akan menyebabkan partikel tanah liat menggumpal. Situasi yang serupa juga bisa terjadi di beberapa eksosistem perairan darat seperti sungai dan danau.

Baca juga :
Pengaruh Banjir Terhadap Biota Perairan

Penyebab Kekeruhan di Estuari

Li dan Zhang (1998) melakukan studi perbandingan mengenai sifat-sifat dan transpor sedimen kohesif di muara Estuari Changjiang dan hasilnya menunjukkan bahwa “suspended sediment concentration” (SSC; konsentrasi sedimen tersuspensi) banyak ditingkatkan oleh tersuspensinya-kembali sedimen dasar perairan di daerah muara sungai, bersama dengan pecahnya gelombang pasang-surut dan arus pasang-surut yang kuat. Intrusi (penerobosan) salinitas dan sirkulasi gravitasi vertikal menyebabkan terjebaknya sedimen tersuspensi yang terbawa masuk dari sungai dan laut. Kekeruhan maksimum dengan demikian disumbangkan oleh tersuspensinya-kembali timbunan material dan erosi sedimen. Kekeruhan maksimum di Estuari Changjiang ditandai tidak hanya oleh tingginya SSC bila dibandingkan daerah sekitarnya, tetapi juga oleh tingginya konsentrasi material yang tercuci. Transpor sedimen adalah sangat penting. Kecepatan pengendapan sedimen tersuspensi ditingkatkan oleh flokulasi (penggumpalan). Pengendapan masal selama periode arus yang lemah sering meningkakan pembentukan lumpur cair. Disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kekeruhan maksimum adalah transpor materi secara adveksi dan pompa pasang-surut.

Baca juga :
Pengaruh Kedalaman Perairan Terhadap Ikan

Kekeruhan Estuaria Akibat Pengerukan dan Penggalian Cangkang Kerang

Clark (1977) menjelaskan bahwa cangkang oyster biasanya ditambang dengan sekop penghisap hidrolik yang dilengkapi dengan alat pemotong yang dapat berputar, yang melonggarkan dan memecah kumpulan cangkang dari karang yang menyelubunginya. Biasanya oyster mati yang diselubungi karang tertimbun oleh selapis lumpur yang tererosi dari darat. Gangguan parah terjadi bila lapisan endapan lumpur teraduk dan menyebar ke dalam air. Meskipun dasar perairan mengalami gangguan parah, para ahli masih berselisih mengenai apakah kerusakan yang ditimbulkannya bersiat permanen atau sementara. Kekeruhan di lokasi penggalian cangkang kerang bisa mencapai 10 kali lebih tinggi daripada yang disebabkan oleh arus, angin atau kegiatan pelayaran. Penggalian cangkang juga menimbulkan arus lumpur pekat yang menyelubungi dasar perairan sepanjang lintasannya dan menyebabkan binatang penghuni dasar tersebut mati lemas. Arus lumpur ini bisa membentang 1500 sampai 2000 kaki dari lokasi penggalian. Dampak lain yang mungkin timbul dari penggalian adalah penurunan dalam jumlah besar oksigen terlarut di lokasi penggalian, terjadinya eutrofikasi dan perubahan arus akibat perubahan bentuk basin perairan.

Clark (1977) menambahkan bahwa untuk mencegah polusi seringkali disarankan agar penggalian cangkang dilakukan minimal sejauh 1200 kaki dari terumbu karang oyster hidup dan daerah vital lainnya. Tetapi di Teluk Mobile, Alabama, di mana telah digali parit sepanjang 20 mil dan sebanyak 2 juta yard kubik cangkang digali setiap tahun, arus yang ditimbulkan angin dengan kecepatan 12 – 15 meter per jam menyebabkan massa air keruh mengalir sampai sejauh 1,5 mil dari lokasi penggalian. Foto udara yang dilakukan NASA memperlihatkan massa air keruh sepanjang 20 mil dengan lebar 0,5 mil yang digerakkan oleh angin berkecepaan sedikit lebih tinggi. Jadi, jarak minimal 1200 kaki tidak cukup pada kondisi seperti ini. Pemecahan yang paling baik adalah melarang penggalian terbuka terhadap cangkang kerang di estuaria kecuali bila menguntungkan masyarakat.

Faktor-Faktor Penyebab Kekeruhan Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa turbulensi (pergolakan air) yang disebabkan oleh biota kolam jarang menyebabkan kekeruhan akibat tanah liat. Bangunan pemecah gelombang sering memungkinkan perkembangan vegetasi garis pantai kolam yang menurunkan erosi tepian kolam oleh gelombang. Tidak ada hubungan antara kandungan mineral air dengan kekeruhan tanah liat di kolam. Faktor paling penting yang mempengaruhi kekeruhan oleh tanah liat dalam kolam adalah daerah tangkapan-air kolam tersebut. Daerah tangkapan-air yang tak terlindung sangat mudah terkena erosi, dan limpasan air dari daerah seperti ini menyebabkan kekeruhan di kolam. Bagaimanapun, bila tanah tersusun dari tanah liat halus yang tersebar maka hamparan rumput sekalipun tidak dapat mencegah erosi. Sebagai contoh, bercak-bercak tanah yang bersifat basa di daerah tangkapan-air yang tanahnya tersebar dan tidak permeabel terhadap air menyebabkan air limpasan menjadi keruh meskipun tanah tertutup vegetasi. Kekeruhan oleh tanah liat yang disebabkan erosi terhadap tanah liat yang tersebar akan menyebar lebih lama di dalam air kolam daripada kekeruhan yang disebabkan erosi terhadap tanah liat yang menggumpal. Secara umum, tanah liat yang tersebar banyak mengandung natrium, sedangkan tanah liat yang menggumpal mengandung cukup banyak kalsium.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penyebab Kekeruhan Air Kolam Ikan dan Dampaknya

Boyd (1982) mengulas literatur-literatur mengenai penyebab kekeruhan air di kolam ikan. Kekeruhan yang disebabkan oleh plankton biasanya dikehendaki dalam kolam ikan. Ledakan populasi plankton menguntungkan bagi peningkatan produksi ikan dengan mendorong pertumbuhan organisme makanan ikan. Kekeruhan akibat tingginya konsentrasi substansi humus tidak berbahaya secara langsung bagi ikan, tetapi perairan seperti ini biasanya tidak subur akibat keasaman, rendahnya kadar zat hara dan terbatasnya cahaya yang masuk yang diperlukan untuk fotosintesis. Jenis kekeruhan yang sangat tidak dikehendaki adalah yang disebabkan oleh partikel-partikel tanah liat tersuspensi. Kekeruhan akibat tanah liat akan membatasi masuknya cahaya ke dalam air, berpengaruh negatif terhadap produktivitas dan sebagian partikel akan mengendap di dasar hingga menimbuni telur ikan yang menyebabkan kematiannya serta merusak komunitas bentos.

Baca juga :
Pengaruh Kekeruhan Terhadap Binatang Air

Produksi Kekeruhan Oleh Ikan Mas Koki

Richardson dan Whoriskey (1992) melakukan percobaan untuk menentukan pengaruh ukuran tubuh, ukuran populasi dan struktur populasi serta suhu terhadap produksi kekeruhan oleh ikan mas koki (Carassius auratus) yang sedang mencari makan di kolam laboratorium. Suhu air berhubungan dengan pembangkitan kekeruhan, yang memuncak pada suhu 25 oC, tetapi menurun pada suhu 30 oC. Ikan mas koki menunjukkan aktivitas diurnal (aktif siang hari) pada semua suhu selain 25 oC, di mana perilaku nokturnal (malam hari) dominan. Panjang tubuh maupun ukuran populasi berpengaruh positif terhadap produksi kekeruhan. Kelompok yang terdiri dari sedikit ikan besar menghasilkan kekeruhan yang lebih nyata daripada kelompok yang terdiri dari banyak ikan kecil dengan biomas yang sama. Biomas dengan demikian merupakan penduga yang buruk untuk meramalkan tingkat kekeruhan, membuatnya sulit untuk memperkirakan dampak ikan mas koki terhadap komunitas multispesies setelah berhasil melakukan kolonisasi.

Pengapuran Menurunkan Kekeruhan

Boyd (1982), berdasarkan laporan-laporan penelitian lain, menyatakan bahwa ion-ion kalsium dan magnesium dalam air mendorong pengendapan koloid. Pemberian kapur menurunkan konsentrasi bahan organik koloid dan meningkatkan kedalaman pemasukan cahaya untuk fotosintesis. Pengapuran akan memudarkan warna air akibat humus dan mengurangi kekeruhan yang diakibatkan koloid partikel tanah liat. Derajat penghilangan kekeruhan tergantung pada tingkat pemberian kapur. Pengapuran danau-rawa meningkatkan daya pandang Secchi disc dari 2 meter menjadi 5 meter dan meningkatkan kedalaman air yang konsentrasi oksigen terlarutnya 4 mg/liter dari 2 meter menjadi 6 meter.

Baca juga :
Pengaruh Pengapuran Terhadap Biota Air

Pengaruh Fosfor Terhadap Kekeruhan Danau

Liere et al. (1991) melaporkan bahwa Danau Loosdrecht (Belanda) mengalami – akibat meningkatnya beban fosfor dari luar – perubahan dari danau yang jernih dengan sedikit makrofita, melalui periode waktu dengan pertumbuhan characea yang melimpah, menjadi danau keruh yang didominasi oleh cyanobakteri dan bahan detritus. Eutrofikasi diatasi dengan memanfaatkan sistem selokan dan mengurangi kandungan fosfor dari pasokan air. Pengurangan beban fosfor eksternal yang diakibatkan oleh tindakan tersebut tidak menyebabkan secara nyata penurunan kekeruhan oleh partikel tersuspensi. Hal ini bisa disebabkan oleh tingginya beban fosfor internal, baik yang disumbangkan oleh sedimen maupun oleh ikan. Bagaimanapun, konsentrasi klorofil Danau Loosdrecht tidak meningkat lebih jauh. Konsentrasi maksimum fosfor total berkurang sebanyak kira-kira 10 % per tahun. Klorofil a tidak terlihat memberikan reaksi yang nyata.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 21 Maret 2013

Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Arsip Cofa No. C 140

Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan

Lopes et al. (2001), dengan mengutip laporan-laporan penelitian lain, menyatakan bahwa pH air dalam akuakultur adalah penting untuk menjamin produksi ikan yang baik. Kisaran pH 6,5 – 9,0 biasanya disarankan untuk budidaya ikan, tetapi kisaran optimumnya mungkin berbeda untuk spesies ikan yang berbeda. Kebanyakan ikan yang terpapar terhadap air asam atau air basa menunjukkan peningkatan kehilangan ion lewat insang sehingga mengganggu pengaturan ionik. Akibatnya, nilai-nilai pH ekstrim dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi, terutama selama tahap-tahap larva. Nilai pH yang rendah menurunkan pertumbuhan dan reproduksi ikan. Laporan terbaru menyebutkan bahwa kisaran pH 9,0 sampai 11,0 menurunkan pertumbuhan dan bahwa pada kisaran ini beberapa spesies ikan teleostei mati dalam beberapa hari.

Baca juga :
pH Rendah, Ikan dan Akuakultur

Lopes et al. (2001) melakukan studi dengan tujuan menentukan pengaruh pH air (5,5, 6,0, 7,0, 8,0 dan 8,5) terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan silver catfish (Rhamdia quelen). Larva ikan ini diperoleh dari pijah-rangsang pada bulan November dan dipelihara di dalam tangki polietilen 40 liter (350 larva per tangki) di bawah kondisi terkendali dengan suhu 25 oC, sistem air digunakan-kembali (re-use system) dan aerasi kontinyu. Larva diberi pakan hingga kenyang enam kali sehari. Pada hari ke-0, 7, 14 dan 21 dan setelah kuning telur diserap, 10 larva dari setiap kelompok dipilih secara acak untuk mengevaluasi panjang, berat dan laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate, SGR). Panjang, berat kelangsungan hidup dan biomas pada akhir hari ke-21 adalah secara nyata lebih tinggi untuk larva yang dipelihara pada pH 8,0 – 8,5. Seperti yang diharapkan, laju pertumbuhan spesifik menurun dengan berjalannya waktu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai 8,0 – 8,5 adalah kisaran pH terbaik untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva spesies ikan ini.

Baca juga :
Efek Negatif pH Rendah Bagi Kerang dan Ikan

pH dan Pertumbuhan Ikan Budidaya

Boyd (1982) mengulas laporan-laporan mengenai hubungan pH air dengan budidaya ikan. Sebagian besar perairan alami mempunyai pH 6,5 – 9, tetapi ada banyak kekecualian. Titik-titik mati asam dan basa untuk ikan adalah sekitar pH 4 dan 11, berturut-turut. Bagaimanapun, bila perairan lebih asam daripada pH 6,5 atau lebih basa daripada pH 9 – 9,5 selama periode yang panjang, maka reproduksi dan pertumbuhan ikan akan menurun. Masalah-masalah terkait pH tidak umum dijumpai pada kolam ikan; bagaimanapun, di daerah pertambangan, rembesan air pertambangan yang berpH rendah bisa mengasamkan danau dan sungai. Pengasaman jangka panjang danau dan sungai akibat hujan asam memberikan pengaruh yang membahayakan populasi ikan di beberapa daerah di Eropa dan Amerika Utara.

Baca juga :
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi

Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Anak Ikan Salmon

Lacroix et al. (1985) memelihara ikan Atlantic salmon (Salmo salar) yang baru menetas selama fase awal mencari makan di dalam air asam dan sadah yang berasal dari Sungai Westfield (rata-rata pH 5,0) di Nova Scotia. Anak ikan dipelihara dalam sistem tangki air-mengalir secara in situ dan diberi pakan hatchery. Bioesei juga dilakukan terhadap air sungai yang diberi kapur (rata-rata pH 6,1) sebagai kontrol. Mortalitas kumulatif anak ikan setelah 30 hari percobaan dalam tangki adalah 70 % pada pH 5,0 dan hanya 4 % pada pH 6,1. Anak ikan dalam air sungai yang tak diberi perlakuan adalah tidak aktif, menelan sedikit makanan, dan kehilangan berat (sekitar 25 %) selama 15 hari pertama periode percobaan. Peningkatan secara tajam konsentrasi Ca2+ dan Na+ dalam tubuh terlihat pada anak ikan pada kedua nilai pH selama waktu itu, tetapi peningkatan Ca2+ terlambat dan bahwa konsentrasi Na+ lebih sedikit pada anak ikan yang dipelihara dalam air berpH rendah. Kematian terjadi 15 – 30 hari setelah ikan berenang ke atas dan semua anak ikan yang mati tampak sangat kurus, yang menunjukkan bahwa kematian mungkin disebabkan oleh kelaparan.

Lacroix et al. (1985), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menambahkan bahwa walaupun ada perbedaan perubahan komposisi ion pada anak ikan yang dipelihara pada pH 5,0 dibandingkan kontrol, tidak terjadi pengurangan cadangan ion tubuh bila dibandingkan dengan konsentrasi awal. Anak ikan yang bertahan hidup pada pH 5,0 mengembangkan toleransi setelah 25 hari serta memiliki laju pertumbuhan, faktor kondisi dan konsentrasi ion yang mirip dengan anak ikan yang dipelihara dalam air yang diberi perlakuan. Mortalitas anak ikan selama peralihan ke tahap mencari makanan eksogen, sebagai respon terhadap stres pH rendah dalam air sadah, mungkin menyebabkan berkurangnya rekruitmen dan penurunan atau kehilangan stok ikan salmon di sungai ini dan sungai-sungai asam lain di Nova Scotia.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh pH Terhadap Produksi Ikan Danau

Downing dan Plante (1993) menghitung nilai dugaan produksi biologis 100 populasi ikan dari 38 danau di seluruh dunia berdasarkan literatur. Hubungan antara produksi tahunan populasi ikan (P, kilogram per hektar per tahun), rata-rata tahunan biomas tetap (B, kilogram per hektar) dan maksimum berat badan individual (W, gram) diperkirakan adalah sebagai berikut :

Log10P = 0,32 + 0,94 log10B – 0,17 log10 W (R2 = 0,84)

Hubungan ini adalah sama dengan yang diamati pada populasi invertebrata di perairan-mengalir dan menunjukkan bahwa P menurun dengan naiknya W. Regresi sumbu utama menunjukkan bahwa hubungan P/B : W memiliki eksponen (pangkat) yang sama dengan yang diduga oleh teori alometrik. Nilai sisa (residu) dari persamaan multivariate (banyak-variabel) ini menunjukkan bahwa produksi ikan berkorelasi positif dengan suhu, konsentrasi fosfor dalam danau, konsentrasi klorofil a, produksi primer dan pH. Hasil studi ini bisa menjadi landasan untuk mengendalikan komponen-komponen ekosistem danau.

Baca juga :
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Hilangnya Populasi Ikan Akibat Penurunan pH Sungai dan Danau

Hultberg (1985) melaporkan bahwa dokumen-dokumen masa lalu tentang Danau Gardsjon dan danau-danau lain di sekitarnya di daerah aliran Sungai Anrasea, Swedia, menunjukkan bahwa ikan perch Perca fluviatilis L. dan sidat Eropa Anguilla phoxinus L. adalah spesies asli di semua danau. Ikan roach Leuciscus rutilus L., minnow Phoxinus phoxinus L., brown trout Salmo trutta L. dan ikan sea trout berasal dari banyak danau dan sungai. Nilai-nilai pH pada musim panas 6,0 dan 6,5 pada tahun 1940-an menurun selama tahun 1950-an dan 1960-an sebesar 1,0 sampai 1,8 di kebanyakan danau hingga awal tahun 1970-an nilai pH ini menjadi 4,5 sampai 5,5. Penurunan nilai pH, bersama dengan air ber-pH rendah selama mencairnya salju dan hujan musim gugur, menyebabkan stok ikan mengalami perubahan secara menyolok. Ikan roach hilang dari semua danau, ikan perch banyak terpengaruh di semua danau atau hilang seperti nasib spesies-spesies lain dari berbagai danau : ikan northern pike, tench Tinca tinca L., ikan crucian carp Carassius carassius L., sidat Eropa dan brown trout. Ikan minnow, brown trout dan sea trout lenyap dari banyak sungai.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 13 Maret 2013

Pengaruh Banjir Terhadap Biota Perairan

Arsip Cofa No. C 139

Pengaruh Banjir Terhadap Ledakan Populasi Alga di Sungai

Power (1992) melaporkan bahwa Cladophora glomerata, makroalga dominan di danau dan sungai di seluruh dunia, mengalami siklus ledakan populasi (blooming) di sungai yang tidak dikelola di California utara yang secara alami mengalami banjir pada musim dingin dan kekeringan pada musim panas. Di dua kanal yang dikelola yang mungkin jarang kebanjiran, bagaimanapun, standing crop Cladophora yang menempel adalah rendah sepanjang tahun. Perbedaan antara Cladophora di sungai yang dikelola dan yang tidak dikelola menunjukkan bahwa siklus Cladophora dikendalikan secara ekstrinsik (dari luar sistem) oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan hidrografi. Data pendahuluan mengenai pola-pola musiman kelimpahan binatang (konsumen Cladophora) di kanal yang dikelola dan yang tidak dikelola menunjukkan bahwa banjir di musim dingin mendorong ledakan populasi Cladophora di sungai dengan mengurangi kepadatan binatang konsumen tersebut.

Baca juga :
Pengaruh Hujan Terhadap Perairan

Pengaruh Banjir Terhadap Biomas Plankton Danau

Wen (1992) mempelajari komposisi relatif bakterioplankton, fitoplankton, zooplankton dan detritus seston selama periode tergenang air di sebuah danau dataran-banjir di Changjiang tengah (Cina). Puncak-puncak biomas bakterioplankton berkembang tak lama setelah banjir, bersamaan dengan pencucian awal zat hara organik dari vegetasi yang terendam banjir, dan terjadi lagi pada saat air tinggi, tak lama sebelum puncak biomas fitoplankton. Bentuk batang mendominasi biomas karbon bakterial. Fitoplankton mengalami ledakan populasi pasca banjir pada saat ketinggian air banjir mula-mula turun, yang bersesuaian dengan keluarnya air danau ke sungai. Biomas minimal terjadi selama kedatangan banjir, kemungkinan besar akibat gangguan dan pengenceran. Biomas alga biasanya didominasi oleh Chlorophyta. Biomas zooplankton tertinggi terlihat pada akhir banjir yang berhubungan dengan penurunan kekeruhan, dan terjadi lagi pada awal keluarnya air danau ke sungai yang sangat berkaitan dengan tingginya biomas fitoplankton.

Baca juga :
Sungai : Perubahan Ekologi serta Dampak Terhadap Biota dan Laut

Pengaruh Banjir Terhadap Serangga Air di Sungai

Lancaster (1992) melakukan percobaan lapangan untuk menentukan apakah ada variasi harian dalam hal pengaruh banjir terhadap lalat-sehari, baetidae. Banjir jangka-pendek telah dibuat pada kanal eksperimen dengan memompa air-tersaring dari anak sungai pada berbagai jam, yang menyebabkan pembuangan air meningkat tiga atau empat kali lipat. Sampel yang hanyut telah dikumpulkan sebelum, selama dan setelah banjir; sampel banjir dikumpulkan sebelum dan setelah banjir. Laju hanyut Baetis dari kanal yang banjir itu adalah lebih tinggi dibandingkan kontrol pada semua jam. Peningkatan hanyut secara alami terjadi pada semua kanal setelah matahari terbenam, dan laju hanyut pada kanal yang banjir adalah paling tinggi pada saat itu. Kerentanan nimfa untuk hanyut dari kanal telah dihitung sebagai rasio kepadatan nimfa yang hanyut pada kanal yang banjir dan pada kanal kontrol. Baetis tampaknya lebih rentan terhadap banjir setelah matahari tenggelam dibandingkan pada saat fajar atau tengah hari. Pada arus yang tak dimanipulasi, nimfa-nimfa besar paling sering hanyut setelah matahari tenggelam. Banjir tampaknya tidak memberikan pengaruh yang jelas terhadap distribusi ukuran nimfa yang hanyut bila dibandingkan dengan arus yang tak dimanipulasi pada saat yang sama.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Banjir Terhadap Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Macnae (1968) menyatakan bahwa di Queensland, Australia, setelah banjir sejumlah besar kepiting bakau (Scylla serrata) tampak keluar dari mulut sungai seolah-olah mereka terbawa hanyut oleh meningkatnya arus air tawar – atau mungkin pengenceran air di dalam liangnya membuat mereka pergi dan kemudian secara pasif terbawa ke arah hilir menuju ke perairan dengan salinitas yang lebih sesuai. Kejadian serupa telah diamati di mulut sungai Keiskama dan sungai Kowie di bagian tenggara Provinsi Cape di Afrika Selatan.

Baca juga :
Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan Ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Pengaruh Banjir Terhadap Tumbuhan Bakau

Menurut Macnae (1968) beberapa spesies tumbuhan bakau hanya tumbuh di tanah yang sangat kering. Spesies ini mencakup Xylocarpus spp., Lumnitzera spp. dan tumbuh-tumbuhan bakau yang berasosiasi seperti Osbornia octodonta dan Pemphis acidula. Avicennia marina, terutama di perbatasan distribusinya, tumbuh lebih tinggi di tanah yang lebih kering pada tepi teluk dari pada pohon yang tumbuh di tempat lebih jauh ke belakang. Juga pohon-pohon asosiasi Barringtonia menunjukkan kesukaan terhadap tanah yang sangat kering, sedang tumbuh-tumbuhan asosiasi nipah hidup di tanah yang tergenang air. Secara ringkas, zonasi tumbuhan bakau yang lengkap hanya ditemukan di daerah yang kisaran intertidalnya cukup besar, dengan curah hujan tinggi di semua musim, yakni air yang tersedia melebihi air yang hilang melalui evaporasi dan transpirasi, dan di mana lempung tersuspensi tersedia dalam air hingga menjamin bahwa pegendapan lumpur di permukaan tanah selalu menaikkan ketinggian tanah sehingga memungkinkan hutan bakau meluas ke arah laut.

Baca juga :
Pengaruh Kecepatan Arus Air Terhadap Alga, Kerang dan Ikan

Pengaruh Banjir Terhadap Reproduksi dan Rekruitmen Ikan Sungai

Agostinho et al. (2004) menyatakan bahwa regim banjir merupakan faktor paling berpengaruh secara musiman di sungai-sungai neotropis. Di dataran banjir Sungai Parana Hulu, Brazil, banjir merupakan faktor utama yang menentukan proses-proses biologis. Pada kenyataannya, siklus biogeokimia di sungai sangat dipengaruhi oleh peningkatan ketinggian muka air secara berkala. Banjir antara lain menyebabkan pertukaran langsung zat-zat hara di sungai. Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh banjir terkendali-bendungan terhadap beberapa karakteristik kumpulan ikan, reproduksi dan rekruitmen. Ikan dikumpulkan dari berbagai habitat di dataran banjir Sungai Parana Hulu (sungai, kanal dan laguna) selama tahun 1986 sampai 2001.

Berdasarkan hasil pengamatan, Agostinho et al. (2004) menyimpulkan bahwa periode air tinggi di Sungai Parana biasanya terjadi dari November/Desember sampai April/Mei. Variasi hidrografi tahunan mempengaruhi spesies-spesies ikan yang strategi sejarah hidupnya berbeda, serta mempengaruhi komposisi dan struktur kumpulan ikan. Banjir besar berkaitan dengan kekayaan spesies yang lebih tinggi. Frekuensi individu dengan gonad matang dan dipijahkan-sebagian, yang menunjukkan bahwa ikan sedang memijah, adalah lebih tinggi selama periode meningkatnya ketinggian air. Ketergantungan pada banjir tampaknya paling rendah untuk spesies yang hidup menetap yang induknya mengembangkan perilaku merawat anak, dan paling tinggi untuk spesies pemigrasi besar yang memijah di bagian hulu basin sungai dan menggunakan daerah yang terendam banjir sebagai daerah pemeliharaan anak ikan. Ikan pemigrasi diuntungkan oleh banjir tahunan yang berlangusng lebih dari 75 hari, di mana periode banjir yang lebih lama akan menghasilkan populasi ikan yang lebih besar. Tingginya muka air pada awal musim panas adalah penting bagi keberhasilan pemijahan spesies pemigrasi. Bagaimanapun, banjir mungkin kurang penting untuk rekruitmen juvenil ikan bila terjadi dalam waktu singkat. Operasi bendungan yang ada di hulu sungai (misalnya melepaskan lebih banyak air selama musim hujan) berpotensi mendorong terjadinya banjir yang lebih besar dengan lama waktu yang cukup untuk mendorong rekruitmen ikan, terutama spesies pemigrasi.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 11 Maret 2013

Pengaruh Hujan Terhadap Perairan

Arsip Cofa No. C 138

Hujan Sebagai Sumber Air Bagi Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa total hujan tahunan bervariasi dari 25 sampai 250 cm di daerah-daerah di mana ikan diproduksi dalam kolam. Walaupun hujan bisa terjadi sepanjang tahun d daerah tertentu, hujan yang lebih banyak biasanya terjadi selama beberapa bulan daripada bulan-bulan lainnya. Selain itu, total hujan tahunan maupun bulanan sangat bervariasi antar tahun. Air hujan yang jatuh langsung ke kolam ikan jarang cukup banyak untuk mengubah tinggi airnya, Bagaimanapun, hujan merupakan sumber semua air yang digunakan dalam budidaya ikan, sehingga pembudidaya ikan sebaiknya mengenal pola curah hujan di daerahnya itu.

Baca juga :
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Pengaruh Hujan Terhadap Konsentrasi Karbon Dioksida dan pH Perairan

Menurut Cole (1994) karbon dioksida masuk ke dalam air hujan ketika jatuh ke bumi. Secara teoritis, 0,55 sampai 0,60 mg/liter CO2 ada di dalam air hujan dan dimasukkan langsung ke permukaan perairan. Air hujan yang menembus tanah organik, selain melarutkan gas karbon dioksida, mungkin membawa pula produk-produk penguraian sebelum masuk ke sungai atau danau melalui jalur bawah-tanah. Air hujan dalam kondisi setimbang dengan CO2 atmosfer memiliki pH sekitar 5,6 bila hanya asam karbonat yang terlibat. Bagaimanapun, analisis menunjukkan bahwa nilai pH yang lebih rendah mendominasi air hujan di beberapa bagian dunia.

Baca juga :
Pengaruh Banjir Terhadap Biota Perairan

Pengaruh Curah Hujan Terhadap Konsentrasi Ion di Perairan

Boyd (1982) menyatakan bahwa curah hujan yang tinggi di daerah yang beriklim lembab menyebabkan konsentrasi ion-ion terlarut dalam perairan permukaan relatif rendah. Di daerah beriklim kering, penguapan memekatkan ion-ion di perairan permukaan. Air dari sumur biasanya lebih pekat konsentrasi ion-ionnya daripada perairan permukaan karena air sumur selama periode yang panjang selalu bersentuhan rapat dengan mineral. Secara umum, perairan permukaan di di daerah bercurah hujan sedang atau tinggi akan mempunyai konsentrasi ion total 20 – 500 mg/liter. Di daerah kering, konsentrasi ion total dalam perairan permukaan sering berkisar antara 500 dan 2.500 mg/liter, dan bahkan kadang-kadang lebih tinggi lagi. Sebaliknya, air laut mengandung sekitar 35.000 mg/liter ion total.

Konsentrasi Klorida di Perairan Tawar dan Air Hujan

Holden (1961) melaporkan bahwa analisis terhadap air di sejumlah loch (danau yang sempit atau terkurung-sebagian oleh daratan) di Skotlandia barat laut menunjukkan bahwa konsentrasi klorida (Cl) bervariasi sesuai dengan jarak (D) loch tersebut dari pesisir. Persamaan yang paling cocok yang menghubungkan parameter-parameter ini adalah :

Cl = K.D-n

dengan K dan n adalah konstanta.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Hujan Terhadap Sifat Biogeokimia Danau

Sadro dan Melack (2012) mempelajari pengaruh hujan ekstrim terhadap sifat biogeokimia dan metabolisme ekosistem sebuah danau oligotrofik (kurang subur) di Sierra Nevada, California. Selama periode 10 jam turun hujan musim gugur, air buangan danau meningkat dari < 1,0 liter/detik menjadi lebih dari 3.000 liter/detik; nilai ini lebih besar daripada air buangan danau yang terjadi selama puncak periode melelehnya salju. Sejumlah besar partikel asal-darat dan bahan organik terlarut tercuci ke dalam danau. Semua karbon organik terlarut autochthonous (dari dalam sistem) yang dihasilkan selama satu musim menjadi terbuang keluar danau dan digantikan oleh karbon organik terlarut allochthonous (dari luar sistem) ketika cahaya melemah sampai lebih dari 300 %. Akibat menyempitnya zona fotik (kolom air danau yang mendapat cahaya matahari), penurunan konsentrasi klorofil-a dalam kolom air, serta peningkatan konsentrasi bahan organik terlarut dan partikulat yang tersedia bagi mikroba maka produksi primer kotor danau total berkurang 47 % dan respirasi meningkat 30 % bila dibandingkan dengan nilai rata-rata musim gugur. Sebagai akibatnya, danau berubah dari sedikit autotrofik (bisa memproduksi bahan organik) menjadi sangat heterotrofik (tidak bisa memproduksi bahan organik). Bila frekuensi hujan meningkat, yang diakibatkan oleh perubahan iklim sebagaimana diramalkan, maka peningkatan masukan material asal-darat ke danau-danau di Sierra Nevada bisa menyebabkan produksi primer danau makin sering berkurang, terjadi peningkatan periode hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal) dan anoksia (kehabisan oksigen terlarut), dan ekosistem bergeser ke arah heterotrofi selama musim bebas-es.

Baca juga :
Keberadaan Logam Berat di Perairan dan Biota Air

Sumber Beberapa Jenis Logam Dalam Air Hujan di Daerah Pesisir

Szefer dan Szefer (1986) menganalisis konsentrasi beberapa jenis logam dalam sampel air hujan yang dikumpulkan di tiga lokasi di pesisir Baltik. Analisis dilakukan terhadap besi, mangan, timah, tembaga, kadmium, nikel, kobal, kalsium, magnesium, natrium dan kalium dengan menggunakan atomic absorbtion spectroscopy (AAS) dan terhadap uranium serta torium yang ditentukan secara spektrofotometrik dengan menggunakan Arsenazo III. Konsentrasi beberapa logam dalam air hujan menunjukkan adanya variasi regional dan musiman. Natrium, kalium, magnesium dan kobal ada di air terutama dalam bentuk terlarut, sedangkan timah, besi, uranium dan torium umumnya terkandung di dalam materi tersuspensi. Dengan memperhatikan perbandingan konsentrasi setiap logam relatif terhadap besi dan natrium sebagai unsur-unsur normalisasi, bisa dibedakan tiga kelompok logam, yaitu logam yang berasal dari laut (natrium), logam asal-darat (besi, magnesium, kalium, uranium, torium, mangan dan nikel) serta logam asal-manusia (timah, kadmium, tembaga dan kobal).

Baca juga :
Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut

Karakteristik Geokimia Partikel Materi Dalam Air Hujan di Daerah Pesisir

Filho et al. (1998) memantau partikel-partikel dalam air hujan di dua daerah pesisir di Rio de Janeiro : wilayah Sepetiba, yang mendapat banyak masukan logam dari aktivitas industri, dan Iguaba, yang tingkat pencemarannya sangat ringan. Partikel-partikel materi diperoleh melalui filtrasi sampel air hujan. Partikel-partikel tersebut kemudian dianalisis dengan alat aktivasi neutron. Hasilnya menunjukkan bahwa asal partikel materi dalam air hujan bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kerak bumi dan kegiatan manusia. Masuknya beberapa trace element ke dalam partikel asal-udara mungkin merupakan sumber penting bahan pencemar di lingkungan tanah, sedimen dan laut. Di kedua daerah, konsentrasi unsur-unsur kerak bumi (misalnya, aluminium, besi, natrium dan magnesium) menunjukkan keseragaman yang nyata. Lebih tingginya konsentrasi aluminium dan besi adalah sesuai dengan pendapat bahwa kedua unsur ini mendominasi lingkungan tropis. Konsentrasi unsur-unsur yang berasal dari kegiatan industri meningkat secara nyata di Sepetiba bila dibandingkan dengan di Iguaba. Vanadium menunjukkan pola yang berbeda dengan semua unsur lain karena konsentrasinya lebih tinggi di Iguaba daripada di Sepetiba. Tidak ada kegiatan manusia yang menjadi sumber vanadium di dekat Iguaba. Kemungkinan sumber vanadium ini adalah sisa-sisa hewan tunikata planktonik (Salpa spp.) yang melimpah di perairan Iguaba yang mengalami upwelling, yang mengandung konsentrasi vanadium sangat tinggi, bisa 10 kali lipat dibandingkan konsentrasinya di air laut, yang mencapai lebih dari 1.000 mikrogram per gram berat kering binatang tersebut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 06 Maret 2013

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis

Arsip Cofa No. C 137

Pengaruh Bentuk Daun Terhadap Fotosintesis Pada Tumbuhan Air

Nielsen dan Sand-Jensen (1993) mengamati profil fotosintesis tiga bentuk daun (filamen udara, lembaran terapung dan filamen tenggelam) dari makrofita amfibi penghuni sungai, Batrachium peltatum (Schrank) Presl, sehubungan dengan perbedaan morfologi/anatomi dan komposisi kimia daun. Batrachium peltatum tumbuh melimpah di sungai-sungai dataran rendah Denmark, yang dicirikan oleh perairan yang lewat-jenuh dengan CO2. Fotosintesis ketiga bentuk daun ini sangat serupa pada kondisi sekeliling di lingkungannya masng-masing. Pembentukan daun yang muncul ke udara dan daun terapung, dengan demikian, berperanan penting dalam belanja karbon selama pertumbuhan aktif di musim panas, yang memungkinkan tumbuhan terus berfotosintesis ketika terbuka terhadap udara. Daun yang tenggelam, sebaliknya, berfotosintesis lebih baik di perairan pada saat karbon dioksida terbatas, dengan memanfaatkan HCO3-, suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh daun yang muncul di udara dan daun terapung.

Semua tipe daun dirangsang oleh konsentrasi karbon dioksida di atas konsentrasi normal sampai tingkat jenuh yakni 30 – 40 mikromol/liter di udara (700 – 940 ppm) dan 500 – 1200 mikromol/liter di air. Kemiringan grafik fotosintesis vs konsentrasi CO2 adalah beberapa kali lipat lebih tingi di udara daripada di air karena lebih kecilnya hambatan difusi di udara, terutama untuk daun berbentuk lembaran terapung. Perbedaan fotosintesis yang dijumpai lebih berhubungan dengan bentuk morfologi daun daripada dengan komposisi kimia (klorofil, nitrogen, ribulosa-1,5-bifosfat karboksilase) ketiga macam daun tersebut (Nielsen dan Sand-Jensen, 1993).

Baca juga :
Faktor Penyebab dan Dampak Ledakan Populasi Alga

Variasi Laju Fotosintesis Antar Jenis Tumbuhan Air

Madsen et al. (1993) menentukan laju fotosintesis, kapasitas ekstraksi karbon dan aktivitas ribulose-1,5-biphosphate carboxylase/oxygenase (RUBISCO) pada 35 spesies makrofita air-tenggelam yang berbeda-beda dalam hal taksonomi, bentuk pertumbuhan dan habitat. Laju fotosintesis per unit klorofil dan berat kering pada konsentrasi CO2 sekelilingnya (sekitar 15 mikro M) maupun kapasitas ekstraksi karbon meningkat pada kelompok-kelompok tumbuhan dengan urutan : isoetidae, spesies amfibi, elodeidae tanpa penggunaan HCO3- yang jelas, elodeidae yang menggunakan HCO3-, angiosperma laut dan makroalga laut. Laju fotosintesis pada konsentrasi karbon dioksida yang makin meningkat (300 – 350 mikro M) menunjukkan pola yang sama seperti di atas tetapi perbedaannya lebih kecil di antara kelompok-kelompok ini. Hanya untuk makroalga laut fotosintesis pada CO2 sekeliling hampir sama dengan fotosintesis pada CO2 yang meningkat. Spesies dengan kapasitas ekstraksi karbon tinggi, diduga karena menggunakan HCO3- aktif, biasanya memiliki RUBISCO rendah. Pola yang berlawanan ditemukan pada spesies-spesies yang kapasitas ekstraksi karbonnya rendah.

Baca juga :
Pengendalian Tumbuhan Air Secara Biologis dan Kimiawi

Pengaruh Luas Danau Terhadap Fotosintesis Fitoplankton

Fee et al. (1992) mengukur fotosintesis fitoplankton selama 6 tahun di tujuh danau Canadian Shield yang terpencil yang mengalami stratifikasi sempurna selama musim panas dan memiliki waktu pembaharuan air (water renewal time) lebih dari 5 tahun tetapi luasnya bervariasi dari 29 sampai 34.700 hektar. Konsentrasi klorofil dan laju fotosintesis pada cahaya optimum adalah rendah di danau tersempit dan terluas, dan nilainya bertambah secara sistematis sampai hampir lima kali lipat di danau-danau yang berukuran sedang (sekitar 1.000 hektar). Nilai harian fotosintesis per meter persegi permukaan danau dan nilai tahunan fotosintesis per meter kubik lapisan air campuran juga bervariasi seperti itu, tetapi nilai tahunan fotosintesis per meter persegi adalah tinggi di danau yang luas (walaupun densitasnya rendah) karena musim pertumbuhannya lama.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Volume Sel Mikroalga Terhadap Laju Fotosintesis

Stel’makh (1992) membandingkan laju fotosintesis mikroalga yang berukuran kecil dan besar. Pada tiga musim dalam setahun, laju fotosintesis rata-rata fraksi fitoplankton berukuran 0,45 – 2,5 mikrometer di teluk Sevastopol (Ukraina) adalah berkisar dari 8,4 sampai 12,6 mg karbon per mg klorofil-a per jam, yang berarti 1,5 – 2,5 lebih besar daripada fraksi yang berukuran 2,5 – 150 mikrometer. Pada musim panas, laju pertumbuhan spesifik fraksi 0,45 – 2,5 mikron adalah 2 – 2,3 per hari; nilai ini kira-kira dua kali nilai untuk alga berukuran besar. Hasil-hasil penelitian ini mendukung teori bahwa laju proses-proses fungsional dalam mikroalga meningkat dengan berkurangnya volume sel.

Baca juga :
Pengaruh Pengadukan Terhadap Produktivitas Primer Perairan

Pengaruh Intensitas Cahaya Terhadap Fotosintesis Dunaliella

Dellarossa dan Silva Cifuentes (1991) mengukur laju fotosintesis in vitro pada berbagai intensitas cahaya pada 3 spesies Dunaliella : D. salina¸ D. pseudosalina dan D. lateralis, dan juga pada 3 galur asli Dunaliella salina. Setiap spesies menunjukkan respon fotosintetik yang khas dalam kisaran intensitas cahaya 35 sampai 600 mikroE/m2/detik. Laju produksi Dunaliella lateralis dan D. pseudosalina sangat terhambat pada intensitas cahaya tertinggi. D. pseudosalina adalah spesies yang paling efisien.

Pengaruh Cahaya dan Suhu Terhadap Laju Fotosintesis Alga Perifiton

St. Jonsson (1992) melaporkan bahwa komunitas alga epilitik (penempel batu) di Danau Thingvallavatn (Iceland) memiliki beberapa pola yang bersifat spesifik-spesies dan spesifik-kedalaman. Nilai dugaan laju fotosintesis spesifik (P max) adalah relatif rendah, dan berkurang sejalan dengan bertambahnya kedalaman dari 1,56 menjadi 0,85 mg oksigen/mg klorofil-a/jam. Juga terlihat adanya penurunan yang serupa dalam hal laju respirasi gelap. Dalam percobaan laboratorium terhadap komunitas alga epilitik alami, 68 sampai 79 % variasi laju fotosintesis (mg O2/m2/jam) disebabkan oleh cahaya, 0,4 sampai 8 % oleh suhu dan 2 sampai 5 % oleh biomas. Meskipun laju fotosintesis spesifik (Pmax)-nya rendah, produksi neto alga perifiton ini adalah tinggi, 146 – 315 gram O2/m2/tahun (55 – 118 gram karbon).

Baca juga :
Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

Nitrat Mengurangi Efek Negatif Radiasi Ultra Violet Terhadap Fotosintesis

Barufi et al. (2012) meneliti perlindungan terhadap radiasi ultra violet (ultraviolet radiation; UVR) pada alga merah agarofit Gracilaria tenuistipitata. Alga ini selama 1 minggu dikenai “photosynthetically active radiation” (PAR, 260 mikromol foton/m2/detik) atau PAR + UVR (UV-A, 8,13 W/m2 dan UV-B, 0,42 W/m2) pada berbagai konsentrasi nitrogen : 0, 0,1 dan 0,5 mM NO3-. Pigmen-pigmen fotosintesis berkurang selama periode percobaan terutama pada kondisi pasokan nitrogen sedikit dan UVR. Perlakuan alga dengan pasokan nitrogen banyak (0,5 mM) menghasilkan laju fotosintesis yang tetap tinggi selama periode percobaan. Sebaliknya, “mycosporine-like amino acids” (MAA; asam-asam amino mirip-mikosporin) meningkat sampai delapan kali lipat pada kondisi ada UVR dan 0,5 mM NO3-. Pada kondisi PAR + UVR, hasil quantum maksimal berkorelasi positif dengan kelimpahan MAA, sedangkan pada kondisi PAR tidak ada korelasi seperti ini.

Barufi et al. (2012) menambahkan bahwa hasil fotosintesis alga yang dikultur selama tujuh hari pada kondisi PAR + UVR kurang terpengaruh oleh pemaparan selama 30 menit terhadap UVR yang tinggi (16 W/m2) dan pulih dengan sempurna setelah dpindahkan ke radiasi PAR yang rendah, sedangkan alga yang dipelihara pada kondisi PAR lebih terpengaruh oleh UV dan tidak dapat pulih dengan sempurna. Laju pertumbuhan menurun setelah tiga hari pada kondisi UVR dan pasokan nitrat yang sedikit. Bagaimanapun, laju ini adalah sama bila dibandingkan dengan perlakuan PAR dan PAR + UVR setelah tujuh hari, dengan kekecualian sampel pada perlakuan konsentrasi NO3- 0 mM, yang menunjukkan bahwa aklimasi setelah pemaparan selama satu minggu adalah berkaitan dengan pasokan nitrat. Sebagai kesimpulan, UVR menimbulkan efek negatif terkecil terhadap fotosintesis dan laju pertumbuhan pada alga yang diberi banyak pasokan nitrogen bila terjadi perangsangan mekanisme perlindungan-cahaya, seperti penimbunan MAA. Perangsangan cahaya terhadap penimbunan MAA oleh UVR pada kondisi pasokan nitrogen yang banyak terlihat pada Gracilaria tenuistipitata bahkan setelah 20 tahun dalam kultur tanpa perangsangan sinyal cahaya fotomorfogenik ini.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 04 Maret 2013

Darah Ikan dan Kerang : Pengaruh Kondisi Biologi, Kimia dan Lingkungan

Arsip Cofa No. C 1365

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kondisi Hematologis Ikan

Adebayo et al. (2007), dengan mengutip beberapa laporan penelitian lain, menyatakan bahwa penggunaan parameter hematologis untuk mendiagnosis kondisi kesehatan ikan telah diterima secara luas di dunia sebagai alat manajemen budidaya ikan. Perubahan parameter hematologis akibat faktor-faktor lingkungan yang tak menguntungkan seperti kualitas air yang rendah, padat penebaran yang berlebihan dan lain-lain, menunjukkan kesehatan ikan budidaya. Pemantauan parameter hematologis secara teratur pada ikan budidaya dapat meningkatkan produksi ikan. Telah ditunjukkan bahwa dehidrasi dan gangguan-gangguan lain terhadap keseimbangan cairan dalam jaringan tubuh ikan bisa meningkatkan jumlah sel darah merah karena berkurangnya volume plasma darah yang bersirkulasi. Juga dilaporkan bahwa nilai hematokrit dan jumlah eritrosit berkurang akibat infeksi. Infeksi bisa juga menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah.

Ada variasi nilai-nilai hematologis dalam satu spesies ikan yang disebabkan oleh banyak faktor seperti umur, panjang ikan, kondisi nutrisi, musim, pemijahan, jenis kelamin dan variasi genetik. Jumlah sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin cenderung meningkat dengan bertambahnya panjang dan umur ikan. Kekurangan nutrisi, penyakit parasit dan infeksi atau gangguan kelenjar dan gangguan organik bisa menyebabkan situasi yang dikenal sebagai dyshaemopoitic anaemia akibat terhambatnya pembentukan sel darah merah. Nilai-nilai hematokrit meningkat pada ikan jantan sebelum masa pemijahan. Darah pada vertebrata yang sehat menunjukkan korelasi antara jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan konsentrasi hemoglobin.

Korelasi yang sama juga terlihat pada nilai-nilai parameter hematologis pada ikan Parachanna obscura. Nilai Packed Cell Volume (PCV) berkorelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin dan Erythocyte Sedimentation Rate (ESR; Laju Pengendapan Sel Darah Merah), namun berkorelasi negatif dengan jumlah eritrosit dan leukosit (P < 0,01). Jumlah leukosit pada ikan Parachanna obscura berkorelasi positif dengan konsentrasi hemoglobin, ESR dan jumlah eritrosit, namun berkorelasi negatif dengan PCV. Tak satupun dari koefisien variabel-variabel tersebut nyata pada tingkat 0,05. Panjang baku ikan ditemukan berkorelasi negatif dengan konsentrasi hemoglogin, ESR, jumlah eritrosit dan leukosit (Adebayo et al., 2007).

Adebayo et al. (2007) menambahkan bahwa infeksi parasit cukup banyak mengurangi nilai hematokrit dan jumlah leukosit. Stres akibat penangkapan, penanganan dan prosedur sampling menyebabkan variasi nilai-nilai hematologis intraspesifik. Lebih dari 85 % ikan Parachanna obscura dalam studi ini memiliki jumlah eritrosit antara 1,1 – 3,3 juta per mm3. Hal ini menunjukkkan tingginya kemampuan darah untuk mengangkut oksigen dan mungkin disebabkan oleh kebiasaan ikan tersebut memangsa ikan lain. Ikan ini dapat hidup di luar air selama beberapa jam karena ia bisa bernafas-udara. Konsentrasi hemoglobin cenderung lebih tinggi pada ikan penafas-udara sehingga jumlah eritrosit secara nyata lebih tinggi. Selama periode bernafas-udara, terjadi peningkatan secara tajam populasi eritrosit yang bersirkulasi akibat penurunan volume plasma darah yang bersirkulasi. Kejadian hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal) menyebabkan peningkatan produksi erythropoietin, yang selanjutnya meningkatkan jumlah eritrosit yang bersirkulasi.

Baca juga :
Indikator Kesehatan Ikan

Respon Sel Darah Oyster Terhadap Protozoa Parasit

Protozoa parasit Haplosporidium nelsoni (MSX) menimbulkan respon tipe radang pada oyster Crassostrea virginica. Ford et al. (1993) menghitung jumlah sel darah yang bersirkulasi dalam tubuh oyster yang terinfeksi Haplosporidium nelsoni guna mengetahui pengaruh parasitisme, seleksi kekebalan dan musim terhadap jumlah total dan jumlah masing-masing sel darah. Semua faktor berpengaruh nyata (P < 0,02) terhadap jumlah total, tetapi keragaman totalnya relatif kecil (musim (12 %) > seleksi (4 %) > infeksi (2 %)). Kepadatan sel darah yang bersirkulasi meningkat dengan meningkatnya intensitas infeksi pada binatang kebal, tetapi berkurang pada oyster yang rentan dengan infeksi ringan. Jumlah untuk kedua kelompok paling sedikit pada bulan Agustus dan paling banyak pada bulan Mei, pada saat-saat itu jumlah sel darah dalam oyster yang rentan adalah berkurang (P < 0,02) dibandingkan pada binatang yang kebal. Tidak ada perbedaan pada bulan November. Oyster yang rentan mungkin lebih dilemahkan oleh infeksi daripada binatang yang kebal, yang menyebabkan gangguan sistem sirkulasi darah dan menurunkan jumlah sel.

Jumlah sel darah yang menembus jaringan adalah meningkat dengan meningkatnya intensitas infeksi (P < 0,0001), tetapi secara statistik tidak menunjukkan asosiasi yang nyata (P > 0,05) dengan jumlah sel darah yang bersirkulasi pada oyster individual. Analisis frekuensi panjang dengan Coulter counter menunjukkan bahwa proporsi sel-sel besar (diduga merupakan sel darah granular) adalah lebih rendah (P < 0,0001) pada oyster yang rentan, yang juga terinfeksi dengan parah, dibandingkan pada oyster yang kebal, yang infeksinya sangat ringan. Hilangnya sel darah granular mungkin disebabkan degranulasi (penguraian granula) yang berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peradangan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa peranan utama respon sel darah pada penyakit MSX adalah untuk menutup luka, menyingkirkan sisa-sisa jaringan, serta memperbaiki jaringan dan bahwa fungsi-fungsi ini bisa membantu oyster bertahan hidup setelah terinfeksi (Ford et al., 1993).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :



Baca juga :
Pengendalian Jantung Ikan Oleh Adrenalin

Pengaruh Penangkapan dan Pengangkutan Terhadap Darah Ikan

Hattingh dan Van Pletzen (1974) mempelajari berbagai parameter darah pada ikan mudfish selama beberapa hari setelah penangkapan dan pengangkutan ikan tersebut. Konsentrasi hemoglobin, pH darah, tekanan osmotik, hematokrit, jumlah sel darah merah dan darah putih, specific gravity dan protein plasma berkurang sedangkan kadar air dalam plasma dan sel darah, fragility (daya-pecah) sel darah merah, jumlah trombosit dan konsentrasi methemoglobin meningkat dalam waktu 2 – 3 hari setelah penangkapan. Disarankan agar ikan tidak dipelajari segera setelah penangkapan dan transportasi bila mereka rentan terhadap jenis-jenis stres ini.

Baca juga :
Stres Mempengaruhi Hormon, Kekebalan Penyakit dan Perilaku Ikan

Pengaruh Pestisida Terhadap Parameter Darah Ikan

Anand dan Surendra (2012) melaporkan bahwa ikan Trichogaster fasciatus berperan sebagai indikator kualitas air disamping sebagai ikan hias dan ikan konsumsi. Hampir semua jenis pestisida masuk ke dalam perairan habitat ikan ini. Pengaruh pestisida dipterex pada konsentrasi sub letal terhadap beberapa parameter darah seperti “Total Erythrocyte Count” (TEC), “Total Leucocyte Count” (TLC), konsentrasi hemoglobin, “Erythrocyte Sedimentation Rate” (ESR) dan “Packed Cell Volume” (PCV) telah dipelajari. Dipterex merupakan insektisida organofosfor. Ikan yang dikenai konsentrasi subletal dipterex menunjukkan TEC, konsentrasi Hb dan PCV berkurang secara nyata, sedangkan TLC dan ESR meningkat setelah 1, 7, 15 dan 30 hari perlakuan.

Baca juga :
Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi

Pengaruh Kadmium dan Suhu Terhadap Darah Ikan

Salazar-Lugo et al. (2009) melakukan studi untuk menentukan pengaruh kadmium (Cd) dan suhu terhadap fragility (daya pecah) osmotik sel darah merah dan jumlah sel-sel darah pada ikan tropis Colossoma macropomum. Ikan ini dikenai 0,5 mg/liter kadmium klorida selama 24 hari dan dua perlakuan suhu (25 and 30 °C). Sampel darah diamati pada hari ke-0, 10 dan 24 setelah terpapar kadmium.

Hasilnya menunjukkan bahwa daya pecah osmotik sel darah merah semula terjadi pada konsentrasi NaCl 90 mmol/liter dan hemolisis total terjadi pada konsentrasi NaCl 10 mmol/liter. Limfosit merupakan sel darah yang palng melimpah (> 62 %), dan meningkat pada ikan yang terpapar kadmium. Bagaimanapun, persentase limfosit mutlak (ikan kontrol dan ikan yang terpapar) menurun pada hari ke-24 percobaan dan nyata pada suhu 30 oC. Setelah granulocytes acidophil, trombosit adalah jenis sel darah ketiga terbanyak dan tidak dipengaruhi oleh kadmium atau pun suhu. Bagaimanapun, jumlah trombosit mutlak adalah lebih tinggi pada ikan yang dikenai suhu 30 oC dibandingkan pada ikan yang dikenai suhu 25 oC selama 24 hari. Sebaliknya, ikan yang terkena kadmium pada suhu 30 oC menunjukkan peningkatan jumlah trombosit secara nyata. Kadmium dan suhu keduanya mempengaruhi jumlah trombosit. Jumlah reticulocyte berkurang pada ikan yang terkena kadmium. Efek sinergis (saling menguatkan) dihasilkan oleh kadmium dan suhu terhadap trombosit; bagaimanapun, faktor-faktor ini memberikan efek individual pada reticulocyte ikan (Salazar-Lugo et al., 2009).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...