Senin, 29 April 2013

Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Arsip Cofa No. C 146

Bakteri Coliform Dalam Air Sungai dan Tubuh Kerang

Roberts (1992) melaporkan bahwa bakteri coliform melimpah di dalam air dan tubuh bivalva di sungai serta terdapat dalam kisaran yang lebih kecil di daerah pesisir di Fiji. Sungai-sungai tersebut menerima air selokan yang telah diolah dan menjadi sangat tercemar. Jumlah bakteri coliform meningkat tajam di dalam tubuh moluska bivalva. Juga diketahui bahwa bakteri ini dapat bertahan hidup dan tumbuh di dalam air sungai serta air laut selama periode 5 hari, dan memiliki laju pertumbuhan yang cepat di dalam larutan zat hara pada kondisi laboratorium ideal.

Baca juga :
Escherichia coli : Bioekologi, Keberadaan dan Kekebalannya

Kontaminasi Bakteri Pada Kerang di Estuaria

Gore et al. (1992) menganalisis mutu bakteri dalam sampel kerang dari kebun kerang dan pasar di sekitarnya, pasir pantai, sedimen dan air dari estuaria Mahe, Kerala, India. Bakteri indikator seperti Escherichia coli dan streptococci tinja diisolasi dari air, sedimen dan sampel kerang dari kedua daerah terutama selama bulan-bulan angin muson dan pasca muson. Patogen seperti Salmonella dan Vibrio cholerae non 01 diisolasi dari sampel kerang. Limbah selokan dan air limpasan daratan dari daerah ini menyumbangkan kontaminasi lingkungan tersebut.

Baca juga :
Virus di Dalam Laut, Kerang dan Ikan

Keberadaan Virus Patogen Dalam Tubuh Oyster

Atmar et al. (1993) mengembangkan prosedur untuk mendeteksi asam nukleat virus enterik dalam oyster dengan reaksi rantai polimerase. Poliovirus tipe 1 dengan jumlah diketahui dibiakkan di dalam tubuh oyster. Virus diekstrak dan dipekatkan dengan menggunakan flokulasi organik dan pengendapan polietilen glikol. Penghambat reaksi rantai polimerase-transkripsi balik ditemukan dalam ekstrak oyster, yang mencegah perbanyakan asam nukleat virus sasaran. Teknik pengendapan cetyltrimethylammonium bromide cukup untuk menyingkirkan penghambat sehingga memungkinkan pendeteksian sampai serendah 10 PFU poliovirus. Virus Norwalk juga bisa dideteksi setelah dibiakkan di dalam oyster. Metodologi ini bisa berguna untuk mendeteksi virus ini dan virus patogen lain asal kerang.

Diare Akibat Mengkonsumsi Kerang

Kat (1987) dalam Dale et al. (1987) merinci gejala-gejala keracunan kerang di Belanda akibat mengkonsumsi remis mentah atau matang. Keracunan kerang penyebab diare telah dibuktikan berhubungan dengan keberadaan alga Dinophysis acuminata. Sebuah program sampling fitoplankton secara luas memantau ledakan populasi alga ini di perairan pesisir Belanda, dan bioesei tikus terbukti bisa menjadi cara yang meyakinkan untuk memantau keberadaan racun tersebut dalam tubuh kerang.

Hubungan Dinoflagelata dan Keracunan Kerang Penyebab Diare

Boni et al. (1992) melaporkan bahwa di Laut Adriatik, pasang merah (ledakan populasi alga yang menyebabkan air laut berwarna merah) akibat dinoflagelata berkali-kali terjadi tetapi tidak ada kasus keracunan kerang walaupun ada spesies dinoflagelata yang berpotensi beracun seperti Alexandrium (Protogonyaulax) dan Dinophysis. Pada bulan Juni 1989 beberapa kasus keracunan makanan dengan ciri khas muntah, sakit perut dan diare dilaporkan terjadi sepanjang pesisir Emilia-Romagna dan Marche, Italia, yang menghadap Laut Adriatik barat laut. Keracunan disebabkan memakan kerang, terutama mussel (remis). Penelitian mikroskopik menunjukkan adanya Dinophysis dalam air laut dan dalam usus remis. Mytilus galloprovincialis, Venus gallina, Topes semidecussatus dan Venus verrucosa telah dipantau racunnya dengan bioesei tikus, dan diarrhoetic shellfish poisoning (DSP; keracunan kerang penyebab diare) ditemukan hanya pada remis. Sampel kerang dari Friuli Venezia Giulia, Veneto, Emilia-Romagna dan Marche telah dipantau racunnya, dan dari 22 Juni diberlakukan larangan sementara penangkapan kerang selama periode DSP.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Gymnodinium breve Menyebabkan Kerang Menjadi Beracun

Hashimoto (1979) mengutip laporan bahwa pasang merah yang ditimbulkan oleh dinoflagelata Gymnodinium breve sering terjadi di sepanjang pesisir Florida. Keracunan pada manusia akibat memakan oyster, Crassostrea virginica, dan kerang Venus mercenaria campechiensis, yang menjadi beracun karena menimbun Gymnodinium breve. Telah ditunjukkan bahwa oyster yang diberi pakan berupa Gymnodinium breve hasil budidaya menjadi beracun dan bahwa anak ayam menjadi kehilangan keseimbangan dengan parah dan mati dalam 6 sampai 24 jam setelah memakan oyster beracun. Diduga bahwa keracunan pada manusia akibat memakan oyster jarang terjadi karena oyster menghuni perairan yang salinitasnya berbeda dengan salinitas perairan tempat Gymnodinium breve tumbuh. Salinitas yang cocok untuk oyster ini adalah sekitar 2,5 % yang terlalu rendah untuk pertumbuhan Gymnodinium breve. Dilaporkan bahwa oyster dan bivalva lain menunjukkan daya racun 140 – 550 MU/100 gram selama terjadinya pasang merah Gymnodinium breve.

Baca juga :
Darah Ikan dan Kerang : Pengaruh Kondisi Biologi, Kimia dan Lingkungan

Hubungan Kadar Racun di Perairan Dengan di Dalam Kerang

Racun venerupin ditemukan pada beberapa jenis kerang. Hashimoto (1979), berdasarkan penelitian lain, melaporkan bahwa daya racun venerupin yang terkandung dalam berbagai spesies kerang telah diuji dengan menyuntikkan ekstrak metanol racun tersebut ke tubuh tikus. Hasilnya menunjukkan bahwa racun ini terdeteksi pada kerang leher pendek, oyster dan Dosinia japonica, tetapi tidak ditemukan pada dua jenis bivalva, Meretrix lusoria dan Mactra veneriformis, juga tidak dijumpai pada gastropoda Batillaria multiformis. Racun venerupin ditimbun di dalam kelenjar pencernaan dan terdeteksi selama bulan Februari sampai Mei. Bivalva tak beracun menjadi beracun dalam waktu singkat bila dipelihara di daerah yang beracun, sedangkan kerang beracun kehilangan daya racunnya setelah dipindahkan ke perairan yang tak beracun.

Baca juga :
Racun Pada Hewan Laut

Distribusi Racun Penyebab Lumpuh Dalam Jaringan Kerang

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa banyak jenis bivalva dan beberapa sesies gastropoda menjadi beracun akibat menimbun alga Gonyaulax spp. Racun yang ditimbulkan adalah jenis Paralytic Shellfish Poisoning (PSP; keracunan kerang penyebab lumpuh). Remis, kerang dan simping (scallop) paling sering menimbulkan keracunan pada manusia di Amerika Utara dan Kanada. Ada perbedaan menyolok antar spesies kerang dalam hal distribusi racun dalam jaringan dan toxin retention (lamanya racun tertahan di dalam tubuh). Mytilus edulis menimbun racun terutama di dalam kelenjar pencernaan dan menahan racun selama sekitar 2 minggu di dalam tubuhnya. Kerang ini menimbun dan melepaskan racun dengan cepat, sehingga daya racunnya sejajar dengan pasang merah.

Kerang cangkang lunak, Mya arenaria, menimbun racun terutama di dalam kelenjar pencernaan selama musim panas, tetapi sebagian besar racun ditimbun di dalam insang selama musim gugur dan musim dingin. Kerang ini menyerap dan melepaskan racun secara perlahan-lahan. Sedangkan kerang Saxidomus giganteus menyimpan dua per tiga racun di dalam sifon, dengan konsentrasi yang berkurang secara perlahan-lahan. Bagian tubuh lain kerang ini termasuk hatinya menunjukkan daya racun yang rendah. Simping Chlamys nipponensis akazara menimbun racun terutama di dalam kelenjar pencernaan dan dengan jumlah sedang di dalam ovari. Kerang ini tetap beracun selama sekitar 6 minggu dan menjadi paling beracun setiap tahun selama Mei dan Juni. Oyster budidaya yang dikumpulkan di Miyazu memekatkan racun di dalam usus, sedangkan kerang leher pendek dan remis dari daerah Owase menimbun racun di dalam kelenjar pencernaan serta menahan racun di dalam tubuhnya tidak lebih dari satu bulan (Hashimoto, 1979).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 28 April 2013

Pengolahan Cumi-Cumi Dengan Tekanan Tinggi dan Pendinginan

Arsip Cofa No. C 146

Senyawa-Senyawa Dalam Daging Cumi-Cumi Yang Tak Segar

Gou et al. (2010) menyatakan bahwa cumi-cumi mentah yang termasuk dalam kelas Cephalopoda merupakan salah satu makanan laut paling umum di Jepang dan Korea. Bagaimanapun, cumi-cumi mentah sangat rentan terhadap pembusukan oleh mikroba, dengan ciri khusus terbentuknya flavor tak sedap (off flavor) seperti dimetilamin (DMA), trimetilamin (TMA) dan biogenik amina (BA) selama pendinginan dan penyimpanan beku. Trimetilamin N-oksida (TMAO) direduksi menjadi DMA dan TMA melalui aktivitas enzimatik dan reaksi mikroba. Penguraian enzimatik terhadap asam-asam amino bebas menyebabkan produksi BA seperti tirosin menjadi tiramin, ornitin menjadi putrescin, lisin menjadi cadaverine, histidin menjadi histamin dan arginin menjadi agmatin. Karena TMA dan BA yang diproduksi oleh pembusukan mikrobial telah diketahui merupakan racun potensial, maka keberadaan senyawa-senyawa tersebut dalam jangka panjang bisa menimbulkan masalah kesehatan yang serius seperti kerusakan otak, gangguan jantung dan kejang perut. Kebanyakan produk cumi-cumi dipasarkan dalam bentuk beku untuk mencegah cepatnya proses pembusukan enzimatik dan mikrobial.

Baca juga :
Pendugaan Kesegaran Ikan

Mutu Cumi-Cumi Yang Ditangani Dengan Pengolahan Tekanan Tinggi

"High pressure processing” (HPP; pengolahan tekanan tinggi) merupakan teknologi pengawetan makanan non-panas yang sedang berkembang yang secara efektif menonaktifkan patogen asal-makanan pada suhu rendah. HPP mempunyai banyak kelebihan dibandingkan teknik sterilisasi dan pasteurisasi tradisional, di antaranya distribusi panas yang seragam, proses berjalan pada suhu rendah dan waktunya yang singkat. HPP saat ini digunakan untuk mengolah produk komersial seperti jus, jeli, acar dan jam. Pada tahun-tahun terakhir ini, makin banyak perhatian ditujukan pada upaya memperbaiki keamanan dan memperpanjang daya awet makanan laut dengan cara yang tidak banyak merusak mutu makanan tersebut. Dengan demikian, penerapan HPP bisa memberi keuntungan potensial dalam pengolahan makanan laut (Gou et al., 2010).

Baca juga :
Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

Gou et al. (2010) melakukan studi untuk mengevaluasi pengaruh pengolahan tekanan tinggi (HPP) terhadap keamanan mikrobiologis dan mutu irisan cumi-cumi mentah selama penyimpanan dingin. Sampel irisan cumi-cumi mentah dalam kemasan vakum diberi perlakuan tekanan 200, 300 dan 400 MPa selama 20 menit. Jumlah bakteri psikrotrofik (bakteri yang tumbuh paling baik pada suhu hampir beku) dalam irisan cumi-cumi mentah yang diberi perlakuan tekanan 200, 300 dan 400 MPa berkurang sebesar 0,5, 2,5 dan > 4,7 log CFU/gram, berturut-turut. Jumlah trimetilamin (TMA) yang diproduksi dalam irisan cumi-cumi mentah berkurang 20, 33 dan 51 % pada perlakuan tekanan 200, 300 dan 400 MPa, berturut-turut, bila dibandingkan dengan kontrol. Jumlah biogenik amina (BA) dalam sampel kontrol meningkat secara nyata menjadi 1,33 sampai 1,70 mg/gram setelah 10 hari penyimpanan dingin, sedangkan jumlahnya dalam sampel cumi-cumi yang diberi perlakuan tekanan 400 MPa meningkat perlahan-lahan menjadi 1,33 mg/gram. Nilai aktivitas autolitik (penguraian-sendiri) dalam sampel cumi-cumi kontrol, perlakuan tekanan 200, 300 dan 400 MPa adalah 4,70, 2,28, 2,18 dan 1,55 nkat/gram, berturut-turut, setelah 20 hari penyimpanan dingin. HPP secara efektif menghambat pertumbuhan mikroba, pembentukan TMA dan aktivitas autolitik dalam irisan cumi-cumi mentah. Dengan demikian, HPP dapat digunakan sebagai teknik pengolahan yang efektif untuk memperbaiki keamanan mikrobilogis dan mutu makanan laut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Keunggulan Es Kering Dibandingkan Es Air Dalam Pengawetan Cumi-Cumi

Menurut Jeyasekaran et al. (2010) cumi-cumi yang termasuk genus Loligo umumnya dianggap sebagai sumber daya laut yang lebih berharga dalam pasar dunia. Penampilan daging cumi-cumi tergantung pada kondisi lingkungan terutama suhu dan tipe pencahayaan. Pendinginan cumi-cumi dengan es air mempunyai beberapa kelemahan seperti banyaknya drip loss (kehilangan cairan jaringan akibat menetes), dagingnya alot/keras, banyak nutrisi yang hilang dan penurunan protein extractability. Cephalopoda beku terutama sontong dan cumi-cumi membentuk komponen utama ekspor produk perikanan laut India. Medium yang paling sering dipakai untuk mendinginkan adalah es air. Penggunaan es air dalam jumlah besar, apalagi di daerah tropis, meningkatkan biaya transportasi udara, selain menimbulkan masalah melelehnya es dan air yang bocor; oleh karena itu dibutuhkan metode pengesan lain. Es kering baru-baru ini memperoleh popularitas di India sebagai medium yang bagus untuk transportasi cepat ikan segar lewat udara.

Baca juga :
Daging Cumi-Cumi : Karakteristik, Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi

Jeyasekaran et al. (2010) melaporkan bahwa potongan badan cumi-cumi berbentuk tabung telah dikemas dengan 100 % (berat/berat cumi-cumi) es kering (perlakuan I), 20 % es kering dan 50 % es air (perlakuan II) dan 50 % es air (perlakuan III) dalam kantung polietilen dan disimpan dalam kotak thermocole pada suhu kamar (32 ± 2 °C) selama 24 jam. Perubahan mutu selama penyimpanan dipelajari. Suhu terendah -30,3 °C dicapai dalam perlakuan I, sedangkan suhu 15 – 16 °C dicapai dalam perlakuan II dan III pada 1 jam penyimpanan. Komposisi gas dalam kemasan pada awalnya adalah 21 % oksigen, 0,4 % karbon dioksida dan 78,1 % nitrogen dalam perlakuan I, II dan III. Selama penyimpanan 24 jam, konsentrasi tertinggi karbon dioksida sebesar 82,5 % ditemukan dalam perlakuan II. Tabung cumi-cumi segar mempunyai flora bakteri Hafnia, Pseudomonas, Bacillus, Flavobacterium dan Alcaligenes. Hafnia menyusun 74 % dari semua flora bakteri. Alcaligenes (47%), Alteromonas (30%) dan Alcaligenes (56%) adalah dominan pada tabung cumi-cumi yang disimpan dalam 100 % es kering (perlakuan I), kemasan kombinasi (perlakuan II) dan dalam 100 % es air (perlakuan III), berturut-turut. Selama penyimpanan 24 jam terlihat adanya peningkatan konsentrasi total volatile base nitrogen dan trimetilamin nitrogen, nilai-nilai asam lemak bebas tidak menunjukkan kecenderungan yang jelas dalam semua kemasan. Perlakuan I memiliki jumlah bakteri paling sedikit sedangkan perlakuan III paling banyak. Penerimaan inderawi untuk cumi-cumi yang disimpan dalam perlakuan I dan perlakuan II adalah 24 dan 18 jam, berturut-turut.

Baca juga :
Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan/Pengesan

Penyimpanan Cumi-Cumi Dengan Suhu Super Dingin

Mutu daging cumi-cumi menurun dengan sangat cepat setelah penangkapan. Untuk mempertahankan mutu cumi-cumi dalam periode yang lebih lama, Ando et al. (2005) melakukan penyimpanan super-dingin. Cumi-cumi Loligo edulis hidup dibunuh dan disimpan pada suhu -2 oC (super dingin) dan 5 oC (dingin). Pada selang waktu tertentu, warna luar, tekstur dan nilai-K dievaluasi. Selain itu, konsentrasi asam amino bebas, protein larut air dan protein tak larut air serta jumlah sel hidup ditentukan. Dalam sampel yang disimpan dengan metode super dingin, pemutihan permukaan luar, peningkatan nilai-nilai K dan peningkatan jumlah sel hidup terhambat. Dengan memperhatikan struktur daging, asam-asam amino bebas, tekstur dan konsentrasi protein larut air dan protein tak larut air, tidak ada perbedaan antara kedua suhu penyimpanan. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyimpanan super dingin dapat memperpanjang periode pengawetan cumi-cumi dan mempertahankan mutu yang lebih baik daripada pendinginan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 21 April 2013

Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) : Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi

Arsip Cofa No. C 146

Pengaruh Pembekuan Terhadap Struktur Daging Ikan Mas

Menurut Pavlov et al (2008) pembekuan ikan dan produk perikanan merupakan metode terbaik untuk memperpanjang daya awetnya. Pembekuan memiliki ciri khas berupa penerapan yang mudah dan kondisi penyimpanan yang tidak menambahkan atau menyingkirkan bahan apapun ke/dari daging tersebut. Efek suhu rendah ditimbulkan oleh fakta bahwa kecepatan gerak molekul berkurang dengan menurunnya suhu dan bahwa semua proses di dalam sel menjadi berjalan lambat. Selain itu, pembentukan kristal es di dalam jaringan produk menurunkan resiko perkembangan mikroba. Pembekuan mengubah sejumlah sifat fisik dan biologis jaringan. Studi terhadap daging binatang berdarah panas menunjukkan adanya pengaruh pembekuan terhadap mikrostruktur jaringan.

Baca juga :
Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan

Pavlov et al. (2008) mempelajari histologi dan morfometri otot rangka dorsal (punggung) dari daging ikan mas (Cyprinus carpio) segar dan beku. Pengamatan dengan mikroskop cahaya terhadap sampel daging ikan segar tidak menunjukkan perubahan mikrostruktural apapun. Sampel dari daging ikan beku menunjukkan adanya perubahan struktural daging. Banyak ditemukan sel-sel otot yang mengalami proses awal penguraian di bagian tengah, namun tidak terlihat adanya perubahan di bagian tepi. Sarkoplasma sel-sel ini tanpa struktur fibrilar, tetapi memiliki sebuah massa detritus (bahan organik terurai) dengan komposisi granular/berbutir dan pola pewarnaan basofil yang menyolok. Studi morfometrik terhadap otot tangka dorsal menunjukkan bahwa berkas-berkas otot dalam daging ikan mas beku adalah lebih besar daripada dalam daging ikan segar. Disimpulkan bahwa pembekuan daging ikan mas menghasilkan berbagai perubahan struktural dalam sistem otot rangka dorsal yang bisa digunakan untuk membedakan daging ikan segar dari daging ikan beku yang telah dicairkan.

Baca juga :
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Pengaruh Pembekuan dan Penyimpanan-Beku Terhadap Pembentukan Gel Pada Daging Ikan Mas

Ganesh et al. (2006) mengamati pengaruh pembekuan dan penyimpanan beku terhadap kemampuan membentuk gel pada otot ikan mas (Cyprinus carpio). Daging segar ikan mas memiliki kemampuan yang baik untuk membentuk gel sebagaimana ditunjukkan oleh uji regangan besar (kekuatan gel 1027 gram.cm) dan perilaku dynamic viscoelastic. Pembekuan dan penyimpanan beku pada suhu 18 oC selama 180 hari secara nyata (P < 0,01) menurunkan kemampuan membentuk gel pada daging ikan mas. Penurunan kelarutan protein dan aktivitas enzim adenosintrifosfatase yang diaktifkan-kalsium pada daging ikan mas selama penyimpanan beku juga nyata (P < 0,05). Perubahan struktur protein selama penyimpanan beku terbukti dari berkurangnya viskositas/kekentalan dan profil filtrasi gel. Tingginya drip loss (kehilangan cairan jaringan dengan cara menetes) dan penurunan kemampuan membentuk gel pada daging ikan mas disebabkan oleh denaturasi protein selama penyimpanan beku.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Perubahan Kualitas Daging Cincang Ikan Mas Yang Dicuci dan Tak Dicuci Selama Penyimpanan Beku

Tokur et al. (2006) meneliti pengaruh penyimpanan beku pada suhu -18 °C terhadap kualitas kimiawi dan inderawi fish finger yang dihasilkan dari cincangan daging ikan mas (Cyprinus carpio) yang tak dicuci dan yang dicuci. Kadar air, kandungan protein kasar, lipida, abu kasar, asam lemak poli-tak-jenuh omega-3 dan omega-6 dalam fish finger yang dihasilkan dari cincangan daging tak dicuci adalah 68,50 %, 15,5 %, 6,00 %, 2,20 %, 2,31 % dan 55,2 %, berturut-turut, serta 70,23 %, 10,8 %, 2,14 %, 1,80 %, 2,28 % dan 54,6 %, berturut-turut, dalam fish finger yang dihasilkan dari cincangan daging yang dicuci. Nilai thiobarbituric acid (TBA, mg malonaldehyde/kg) secara nyata lebih tinggi dalam daging cincang yang dicuci daripada dalam daging cincang yang yang tak dicuci dan meningkat secara nyata selama penyimpanan beku dalam daging cincang baik yang tak dicuci maupun yang dicuci (P < 0,05). Penurunan pH secara nyata terjadi selama perlakuan pencucian (P < 0,05).

Tokur et al. (2006) menambahkan bahwa, berdasarkan hasil penelitian tersebut, tidak ada perbedaan pH yang nyata dalam daging cincang yang tak dicuci ataupun yang dicuci antara awal dan akhir periode penyimpanan (P > 0,05), namun terjadi peningkatan tajam pada bulan keempat dalam kedua kelompok. Kelarutan protein daging cincang baik yang tak dicuci maupun yang dicuci menurun secara nyata selama periode penyimpanan (P < 0,05). Parameter inderawi seperti warna, bau, flavour dan penerimaan umum untuk kedua kelompok berkurang selama penyimpanan beku (P < 0,05) tetapi masih dalam batas-batas penerimaan. Juga disimpulkan bahwa ikan mas merupakan sumber yang baik untuk pembuatan fish finger dan bahwa produk tersebut dapat disimpan selama lima bulan dalam kondisi beku tanpa terjadi perubahan yang tak dikehendaki dalam hal kualitas inderawi dan kimiawi.

Baca juga :
Daging Cumi-Cumi : Karakteristik, Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi

Daya Awet Ikan Mas Pada Berbagai Suhu Penyimpanan

Gelman et al. (1990) mengevaluasi shelf life (daya awet) dan perubahan kesegaran ikan mas (Cyprinus carpio L), yang dibesarkan dalam kolam, selama penyimpanan pada suhu 0 – 2 °C, 5 – 6 °C dan suhu kamar (26 – 29 °C). Pengamatan dilakukan dengan melakukan analisis inderawi, mikrobiologi, fisika dan kimia. Pengaruh pembuangan isi perut terhadap daya awet alami selama penyimpanan pada suhu 0 – 2 °C dipelajari. Yodin/kanji dan kalium sorbat dipelajari pengaruhnya terhadap daya awet alami ikan utuh yang disimpan pada suhu 0 – 2 °C dan 5 – 6 °C.

Hasil-hasil inderawi menunjukkan bahwa ikan utuh memiliki daya awet maksimum 24 sampai 25 hari pada suhu 0 – 2 °C. Lama penyimpanan di mana setelahnya ikan tidak layak untuk dijual (commercial shelf life) adalah 17 hari pada suhu 0 – 2 °C. Penyimpanan pada suhu 5 – 6 °C memperpendak daya awet 2 sampai 2,5 kali lipat. Pada suhu kamar (26 – 29 °C), pembusukan terjadi setelah 13 jam. Pembuangan isi perut ikan mas memperpendak potensial penyimpanannya pada suhu 0 – 2 °C. Perlakuan yodin terhadap ikan mas yang disimpan pada suhu 0 – 2 °C dan 5 – 6 °C tidak memperpanjang daya awet. Daya awet maksimum ikan yang diberi perlakuan sorbat pada suhu 0 – 2 °C dan 5 – 6 °C diperpanjang 1 – 2 hari, sedang commercial shelf life bertambah lama 3 – 4 hari. Total volatile basic nitrogen (TVBN), pH dan analisis penetrometer tidak bisa menjadi indikator yang meyakinkan untuk perubahan kesegaran selama periode daya awet. Nilai-nilai thiobarbituric acid tidak berguna karena bau atau flavor tengik tidak terdeteksi selama penyimpanan (Gelman et al., 1990).

Baca juga :
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan

Pengaruh Tekanan Tinggi Terhadap Profil Kimia-Fisika Filet Ikan Mas

Sequeira-Munoz et al. (2006) melaporkan bahwa filet mentah ikan mas (Cyprinus carpio) telah dikemas-vakum dengan tekanan 100, 140, 180 dan 200 MPa pada suhu 4 °C selama 15 dan 20 menit; perubahan fraksi lipida, profil elektroforetik filet tersebut diamati. Nilai senyawa-senyawa reaktif thiobarbituric acid (TBA) dalam sampel meningkat dengan meningkatnya tekanan dan lama perlakuan. Hasil yang sama diperoleh untuk konsentrasi asam-asam lemak bebas yang terbentuk akibat perlakuan tekanan. Nilai-nilai warna CIE, yaitu L (cerah), a (kemerahan) dan b (kekuningan), pada filet ikan mas juga meningkat sejalan dengan tekanan dan lama perlakuan tekanan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 16 April 2013

Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya

Arsip Cofa No. C 146

Senyawa dan Mikroba Berbahaya Dalam Produk Ikan Asap

Lin et al. (2008) menyatakan bahwa pengasapan merupakan salah satu metode tertua untuk mengawetkan makanan dan masih digunakan secara luas dalam pengolahan ikan. Teknik pengasapan tradisional melibatkan penanganan pra-pengasinan, pengasapan ikan utuh, ikan tanpa isi perut atau filet ikan. Asap dihasilkan oleh pembakaran kayu atau serbuk gergaji di dalam oven, yang diletakkan langsung di bawah ikan atau filet. Bagaimanapun, pengasapan secara langsung berpotensi menimbulkan resiko kesehatan terkait dengan senyawa-senyawa polycyclyc aromatic hydrocarbon (PAH) serta bahaya biologis seperti Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum, histamin dan parasit dalam ikan berflavor-asap.

Menurut Lin et al. (2008) asap kayu mengandung sedikitnya 100 jenis senyawa PAH dan turunannya yang teralkilasi. Total 15 PAH dengan jelas menunjukkan efek mutagenik dan genotoksisitas terhadap sel-sel somatik pada binatang percobaan secara in vivo. Senyawa-senyawa PAH ini harus dianggap berpotensi sebagai genotoksik dan karsinogenik bagi manusia. Senyawa PAH karsinogenik yang paling luas dipelajari adalah benzo(a)pyrene (BaP). Senyawa PAH lain yang berpotensi bersifat genotoksik dan karsinogenik pada manusia adalah benzo(a)anthracene, benzo(b)fluranthene, benzo(j)fluranthene, benzo(k)fluranthene, chrysene, cyclopental(cd)pyrene, dibenzo(ah)anthracene, dibenzo(ac)pyrene, dibenzo(ah)pyrene, dibenzo(ai)pyrene, dibenzo(aj)pyrene, indenol(1,2,3-cd)pyrene dan 5-methylechryzene.

Baca juga :
Ikan Kering : Pengolahan dan Penanganan

Metode alternatif untuk pengasapan adalah menggunakan flavor asap, yang biasa disebut juga pengasapan cair. Pengasapan cair merupakan alternatif yang lebih terkontrol daripada pembakaran kayu atau serbuk gergaji. Asap cair makin banyak diproduksi sejak akhir tahun 1950-an dan kini menjadi industri yang kuat dan diterima oleh banyak negara. Ikan berflavor-asap mengandung lebih sedikit PAH dibandingkan teknik pengasapan tradisional asalkan residu PAH dikendalikan berdasarkan undang-undang atau standarisasi (Lin et al., 2008).

Baca juga :
Pemanfaatan Antioksidan Dalam Pengawetan Ikan

Polycyclyc Aromatic Hydrocarbon (PAH) Dalam Ikan Asap

Menurut Larrson (1982), polycyclyc aromatic hydrocarbon (PAH) terbentuk dalam proses pembakaran tak sempurna, yang terjadi ketika kayu, batu bara atau minyak terbakar. Dengan demikian PAH bisa ditemukan dalam campuran kompleks di semua lingkungan. Karena PAH merupakan kelompok penting karsinogen, keberadaan senyawa-senyawa ini dalam makanan dipelajari secara intensif. Perhatian utama ditujukan pada benzo(a)pyrene (BaP) yang sangat karsinogenik. Telah diketahui bahwa PAH terdapat dalam asap yang digunakan pada pengolahan makanan, dan bahwa PAH mudah mengendap pada dan menembus permukaan bahan makanan selama pengasapan tradisional. Konsentrasinya dalam makanan asap tergantung pada beberapa variabel, termasuk jenis bahan penghasil asap, suhu pembakaran dan derajat pengasapan.

Sejumlah penelitian terhadap makanan asap menunjukkan bahwa konsentrasi PAH tertinggi ditemukan dalam produk pengasapan tradisional yang menggunakan serbuk gergaji atau kayu yang terbakar perlahan-lahan dengan mengeluarkan asap tanpa api. Pada pengasapan seperti ini suhu pembakaran sulit dikendalikan dan biasanya sangat tinggi. Konsentrasi BaP dan senyawa-senyawa PAH lain meningkat secara linier pada kisaran suhu produksi asap 400 – 1000 oC. Dalam pabrik pengasapan modern, bagaimanapun, adalah mungkin untuk mengendalikan proses pembakaran dan mencapai suhu produksi-asap yang diinginkan. Penggunaan generator asap eksternal memungkinkan untuk membersihkan asap dengan penyemprotan atau penyaringan sebelum asap tersebut memasuki ruang pengasapan bahan makanan. Pemerintah Republik Jerman Bersatu menetapkan batas 1 mikrogram/kg untuk konsentrasi BaP dalam produk daging asap sejak tahun 1973. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa konsentrasi PAH dalam ikan asap umumnya lebih tinggi daripada dalam produk daging asap (Larrson, 1982).

Larrson (1982) menentukan konsentrasi PAH dalam 70 sampel ikan asap dan produk ikan. Metode kromatografi gas kapiler dengan flame ionization digunakan untuk menentukan 13 komponen PAH secara bersamaan. Dalam 19 dari 46 sampel ikan asap komersial, terutama hasil pengolahan tradisional, konsentrasi BaP melebihi 1 mikrogram/kg. Konsentrasi BaP dalam sampel dari pabrik yang menggunakan generator asap eksternal adalah di bawah 1 mikrogram/kg, tanpa kecuali. Empat dari 16 sampel ikan asap kaleng mengandung lebih dari 1 mikrogram/kg BaP. Sebuah sampel ikan hering asap dari home industry menunjukkan konsentrasi tertinggi BaP dan total PAH dalam studi ini, yaitu 11,3 dan 1100 mikrogram/kg, berturut-turut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Jamur Pada Ikan Asap Kering

Fafioye et al. (2001) menyatakan bahwa ikan kering-asap adalah produk yang umum di pasar-pasar Nigeria. Tujuan utama metode pengawetan tradisional ini adalah memasak ikan sesegera mungkin dalam panas asap-kering guna mencegah penguraian enzimatik. Bagaimanapun, ikan kering asap masih diserang oleh mikroorganisme. Serangan serangga dan mikroorganisme ke dalam ikan kering-asap mungkin disebabkan oleh tingginya kelembaban relatif udara selama penyimpanan, minimnya fasilitas penyimpanan dan penanganan, suhu yang tidak menguntungkan dan tingginya kadar air dalam ikan bahkan setelah pengeringan. Sampel ikan asap-kering tradisional Clarias gariepinus (Burchell), Chrysichthys nigrodigitatus (Lacepede), Sarotherodon galilaeus (Trewavas), Heterotis niloticus (Cuvier) dan Heterobranchus bidorsalis (Geoffroy) telah dikumpulkan dari sebuah pasar di Nigeria dengan tujuan mengamati serangan jamur.

Baca juga :
Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi

Fafioye et al. (2001), berdasarkan hasil penelitian ini, menyimpulkan bahwa sampel ikan yang diinkubasi pada potato dextrose agar (PDA; agar-agar dektrosa kentang) selama 7 hari menunjukkan adanya serangan jamur. Jamur yang diisolasi dan diidentifikasi meliputi Mucor sp., Aspergillus sp., Rhizopus sp. dan Fusarium sp. Enam spesies jamur diisolasi dari Chrysichthys nigrodigitatus, lima spesies masing-masing dari Clarias gariepinus dan Heterobranchus bidorsalis dan tiga spesies masing-masing dari Sarotherodon galilaeus dan Heterotis niloticus. Aspergillus spp. adalah dominan pada kelima spesies ikan uji. Mucor spp. ditemukan pada Clarias gariepinus, Chrysichthys nigrodigitatus dan Sarotherodon galilaeus, sedangkan Fusarium spp. dijumpai pada pada Heterobranchus bidorsalis, Clarias gariepinus dan Heterotis niloticus. Jamur yang paling sering ditemukan pada spesies-spesies ikan tersebut adalah, berdasarkan urutan dari yang paling melimpah, Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus dan Mucor racemosus. Kelimpahan jamur bervariasi tergantung spesies ikan : 1,0 x 104 untuk Clarias gariepinus dan Chrysichthys nigrodigitatus, 9,0 x 103 untuk Heterobranchus bidorsalis dan 8,0 x 103 untuk Sarotherodon galilaeus dan Heterotis niloticus.

Baca juga :
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Jamur dan Racun Aflatoksin Dalam Produk Ikan Asap

Jonsyn dan Lahai (1992) menguji 20 sampel ikan Ethmalosa sp. kering-asap dari rumah dan pasar di Njala (Sierra Leone) dan hasilnya menunjukkan adanya 4 spesies jamur Aspergilli : A. flavus Links ex Fries, A. ochraceus Wilhelm, A. tamarii Kita dan A. niger van Tieghem. Ikan segar atau ikan kering-asap yang diawetkan dengan baik tidak menunjukkan tanda-tanda kontaminasi jamur. Ekstrak ikan berjamur mengandung aflatoksin B1, G1, G2 dan ochratoxin A dengan konsentrasi bervariasi. Isolat A. flavus yang ditumbuhkan pada medium yeast extract sucrose (YES; sukrosa ekstrak ragi), menghasilkan cukup banyak aflatoksin B1 dan G1 serta sangat sedikit G2. Pada medium YES, A. ochraceus menghasilkan banyak ochratoxin A tetapi tidak membentuk asam penisilin.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 13 April 2013

Peran Kalium Bagi Kolam, Udang dan Ikan

Arsip Cofa No. C 145

Peran Kalium Bagi Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa pupuk kalium sangat mudah larut dan ion K+ dilepaskan ketika pupuk larut. Ion-ion kalium tidak diserap oleh tumbuhan tetapi tetap ada dalam larutan atau berperanan dalam reaksi pertukaran ion dengan sedimen. Siklus geokimia untuk kalium di kolam agak tidak penting bila dibandingkan dengan siklus fosfor dan nitrogen. Konsentrasi kalium dalam perairan alami biasanya berkisar antara 0,5 dan 10 mg per liter. Kalium biasanya tidak penting dalam pemupukan kolam.

Baca juga :
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Pengaruh Kalium Dalam Air Terhadap Kebutuhan Kalium Pakan Pada Udang

Zhu et al. (2006) mempelajari pengaruh konsentrasi kalium dalam air laut terhadap kebutuhan kalium pakan pada udang Litopenaeus vannamei; penelitian dilakukan dengan air laut buatan bersalinitas 30 ‰. Konsentrasi kalium dalam air yang diuji adalah 332, 156 dan 104 mg per liter. Kandungan kalium dalam pakan eksperimental berbasis kasein-gelatin adalah 1,09 %, 1,53 %, 2,49 % dan 3,46 %, berturut-turut. Percobaan pemberian pakan berlangsung selama 56 hari. Pertumbuhan, aktivitas makan, “nutrient retention” (aktivitas mempertahankan nutrisi), dan efisiensi konversi pakan pada udang tersebut secara nyata dipengaruhi oleh konsentrasi kalium dalam air laut (P < 0,05), tetapi kandungan kalium dalam pakan memberikan sedikit pengaruh. Berat badan akhir, laju pertumbuhan spesifik, rasio efisiensi protein dan efisiensi konversi pakan pada udang yang terkena konsentrasi kalium dalam air 104 mg/liter adalah, berturut-turut, lebih dari 37 %, 26 %, 25 % dan 27,5 % lebih rendah dibandingkan pada udang yang terkena kalium berkosentrasi lebih tinggi (P < 0,05). Tidak ada efek interaksi yang nyata antara konsentrasi kalium air laut dengan kandungan kalium dalam pakan. Baik konsentrasi kalium dalam air laut maupun kandungan kalium dalam pakan tidak mempengaruhi kandungan kalium dalam tubuh udang. Hal ini menunjukkan bahwa Litopenaeus vannamei kurang mampu mengasimilasi kalium dari makanan secara efisien pada salinitas 30 ‰, dan bahwa penambahan kalium dalam pakan memberikan sedikit pengaruh terhadap pertumbuhan udang ketika konsentrasi kalium dalam air sekelilingnya adalah cukup.

Baca juga :
Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Pengaruh Penambahan Kalium Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Penaeus di Perairan Darat Asin

Prangnell dan Fotedar (2006) menyatakan bahwa udang “western king”, Penaeus latisulcatus, merupakan spesies kandidat untuk dibudidayakan dalam perairan darat yang asin (inland saline water). Kelangsungan hidup, pertumbuhan, faktor kondisi, osmo- dan iono-regulasi udang ini telah dipelajari dengan memeliharanya di dalam perairan darat yang asin dan diperkaya dengan kalium selama 202 hari. Udang PL 40 ditebarkan dalam tangki 250 liter dengan tiga jenis media : air dari perairan darat yang asin dengan penambahan kalium sampai 80 % (DA 80) dari konsentrasinya dalam air laut, 100 % (DA 100) dari konsentrasi kalium dalam air laut, dan media berupa air laut (AL).

Baca juga :
Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Berdasarkan percobaan tersebut, Prangnell dan Fotedar (2006) menyimpulkan bahwa kelangsungan hidupnya adalah 53 % dalam AD 80, 64 % dalam AD 100 dan 68 % dalam AL. Rata-rata berat, panjang total, panjang karapas, faktor kondisi dan interval ganti kulit pada udang ini adalah secara nyata lebih tinggi (P < 0,05) dalam AL daripada dalam AD 100 dan AD 80. Laju pertumbuhan spesifik udang ini dalam air laut secara nyata lebih tinggi (P < 0,05) daripada dalam AD 80. Tidak ada perbedaan nyata (P > 0,05) dalam hal kapasitas osmoregulasi di antara semua media kultur. Konsentrasi Na+, K+, Ca2+ dan S dalam serum darah dipengaruhi oleh konsentrasinya di dalam media kultur. Ca2+ adalah satu-satunya kation utama yang mengalami hiper-regulasi dan cenderung ditimbun, sedangkan Mg2+ dipertahankan pada konsentrasi yang jauh lebih rendah di dalam serum darah daripada di dalam media kultur. Kandungan air dalam hepatopankreas, otot ekor dan rangka-luar serta indeks organosomatik meningkat dari AD 80 ke AD 100 ke air laut (AL). Lebih rendahnya laju pertumbuhan dan faktor kondisi udang yang dipelihara dalam air perairan darat asin yang diperkaya dengan kalium menunjukkan adanya faktor pembatas lain selain konsentrasi kalium. Udang western king adalah regulator yang lebih baik untuk kation bervalensi-dua daripada kation bervalensi-satu, dan kebutuhan energi yang lebih banyak untuk meregulasi ion-ion dalam air perairan darat yang asin mungkin menjadi penyebab utama laju pertumbuhan yang lebih rendah.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Peran Kalium Dalam Pemanfaatan Air Bawah-Tanah Untuk Budidaya Kakap

Partridge dan Lymbery (2008) melaporkan bahwa dunia internasional sangat tertarik untuk memanfaatkan sumber air bawah-tanah yang asin di daratan untuk budidaya ikan laut (marikultur); bagaimanapun, kekurangan kalium merupakan faktor yang bisa membatasi pemanfaatan tersebut. Untuk itu dilakukan studi pengaruh penambahan kalium (sebanyak antara 25 dan 100 % dari jumlah kalium yang ada dalam air laut bersalinitas setara) terhadap pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup dan respon fisiologis ikan kakap (Lates calcarifer) pada salinitas hiperosmotik (45 ppt), hampir-isoosmotik (15 ppt) dan hipoosmotik (5 ppt). Kalium berkonsentrasi setara 25 % tidak diuji pada salinitas 45 ppt karena menyebabkan kematian ikan kakap pada penelitian terdahulu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang dipelihara dalam kalium berkonsentrasi setara 50 % pada salinitas 45 ppt tetap hidup selama 4 minggu tetapi kehilangan berat badan; sedangkan ikan yang dipelihara dalam kalium berkonsentrasi setara 75 % dan 100 % tetap hidup dan beratnya bertambah. Homeostasis kalium plasma darah pada ikan ini dipertahankan oleh mekanisme buffering dari otot rangka. Bahwa ikan-ikan ini menunjukkan dehidrasi otot, peningkatan aktivitas (Na+–K+) ATPase dalam insang, ginjal dan usus serta peningkatan konsentrasi natrium dan klorida dalam darah menunjukkan bahwa mereka mengalami stres osmotik. Pada salinitas 15 ppt, semua perlakuan konsentrasi kalium menghasilkan laju pertumbuhan yang sama. Buffering kalium plasma darah juga terjadi pada perlakuan konsentrasi kalium 25 dan 50 % tetapi tampaknya dalam kondisi kesetimbangan. Ikan kakap pada salinitas 5 ppt menunjukkan pertumbuhan yang sama untuk semua perlakuan konsentrasi kalium. Pada salinitas ini, tidak terjadi buffering kalium plasma dari otot; dan pada perlakuan konsentrasi kalium 25 % tampak bahwa konsentrasi kalium darah secara nyata lebih rendah dibandingkan semua perlakuan kalium tetapi tidak mempengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup maupun aktivitas (Na+–K+) ATPase. Data in menunjukkan bahwa secara proporsional lebih banyak kalium yang dibutuhkan pada salinitas hiperosmotik dibandingkan pada salinitas iso- dan hipo-osmotik, dan juga menunjukkan bahwa ikan kakap mempunyai kebutuhan yang lebih sedikit akan kalium daripada spesies ikan lain yang telah dipelajari dalam studi budidaya di air bawah-tanah asin di darat (Partridge dan Lymbery, 2008).

Baca juga :
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Kebutuhan Kalium Pada Anak Ikan Lele

Wilson dan El Naggar (1992) selama 8 minggu melakukan studi pemberian pakan untuk menentukan kebutuhan kalium pada juvenil ikan lele channel catfish, Ictalurus puntatus. Enam jenis pakan dengan kandungan kalium berkisar dari 0,01 sampai 0,49 % diberikan dengan tiga kali ulangan pada ikan lele (rata-rata berat awal 16,6 gram) dalam akuarium arus-mengalir dan suhu air 26,7 ± 1,1 °C. Air budidaya mengandung 4 mg/liter kalium. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal perolehan berat ikan ataupun efisiensi pakan di antara kelompok-kelompok percobaan. Tidak ada hubungan dosis-respon antara kandungan kalium dalam pakan dan kandungan kalium dalam tubuh ikan utuh, yang menunjukkan bahwa ikan lele ini tidak membutuhkan kalium dari pakan bila dipelihara dalam air yang mengandung kalium 4 mg/liter atau lebih. Bagaimanapun, bila data ini digunakan untuk menghitung keseimbangan kalium dalam seluruh tubuh ikan untuk setiap kelompok percobaan maka jelas bahwa ikan lele membutuhkan kalium yang dapat dipenuhi oleh kalium dalam pakan atau kalium yang diserap ikan dari air budidaya. Analisis regresi linear terhadap kandungan kalium dalam pakan vs nilai-nilai keseimbangan kalium dalam seluruh tubuh menunjukkan kebutuhan kalium sebesar 0,26 %. Kebutuhan sebesar ini adalah sama dengan kebutuhan kalium pada tikus, ayam dan babi muda.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 08 April 2013

Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Arsip Cofa No. C 144

Sumber-Sumber Fosfor Bagi Perairan

Cole (1994) menyatakan bahwa fosfor ditemukan di dalam meteorit, batuan, tanah dan bahkan di atmosfer matahari; ia tidak termasuk unsur terjarang. Bagaimanapun, fosfor jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan atom-atom utama lain penyusun mahluk hidup (karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan sulfur). Kelimpahannya pada permukaan bumi adalah sekitar sepersepuluh dari 1 % berdasarkan berat. Ia diserap dengan cepat dan dipekatkan oleh mahluk hidup. Fosfor dioksidasi dengan sangat mudah dan terdapat di batuan bumi sebagai ortofosfat (PO43-). Sumber utama ion ini adalah batu api (igneous rock) yang mengandung mineral fosfat, apatit, yaitu Ca5(PO4)4+ yang bergabung dengan OH-, Cl- atau fluor. Fluoro apatit adalah sumber mineral utama dalam material ini, tetapi masih ada sedikitnya 205 jenis mineral lain yang mengandung fosfor, namun kebanyakan mineral tersebut sangat jarang. Gas fosfin (PH3) tereduksi adalah bentuk fosfor yang bebas tetapi sangat mudah teroksidasi. Diduga bahwa kilatan cahaya yang kadang-kadang terlihat di rawa-rawa adalah fosfin dan mungkin gas-gas lain, yang diproduksi oleh penguraian anaerobik, ketika bersentuhan dengan udara. Ada sedikit fosfor lain dalam atmosfer bumi yang bergabung dengan debu.

Cole (1994) menambahkan bahwa batu api merupakan sumber asli fosfor di bumi. Proses-proses cuaca, yang mungkin dibantu asam karbonat, membebaskan sebagian besar fosfor yang kemudian diendapkan kembali atau dibawa ke laut. Aliran air dari benua ke laut merupakan pergerakan fosfor yang utama. Akumulasi fosfor dari mahluk hidup terbentuk di dekat samudra ketika fosfat yang ter-up welling diserap oleh plankton dan dikonsentrasikan oleh ikan laut yang merupakan makanan burung laut penghasil guano. Akumulasi guano raksasa terbentuk di pulau dan tebing karang kering, terutama di lepas pantai pesisir barat Amerika Selatan. Selain itu, fosfor dipekatkan di dalam tulang binatang vertebrata sebagai komponen utama rangka. Penimbunan fosfat merupakan peranan penting yang dimainkan oleh organisme dalam mengkonsentrasikan unsur esensial ini.

Sumber fosfat biotik lainnya adalah limbah manusia dan buangan deterjen laundry ke lingkungan. Kedua sumber ini bertanggung jawab atas 300 % peningkatan kadar fosfat di danau Zurich, Swiss, sejak Perang Dunia II. Dengan digunakannya bukit guano oleh industri dan pertanian maka terjadi arus balik dari laut ke benua. Karena fosfor dari batuan juga ditambang dan digunakan, maka fosfor tersebar luas di sebagian besar bola bumi. Fosfor ini kemudian tercuci ke laut, banyak di antaranya mencapai danau dalam rutenya itu. Pembusukan dan mineralisasi tumbuhan dan binatang merupakan sumber fosfor bagi komponen ekosistem yang hidup; bakteri mengubahnya dari molekul fosfor organik menjadi ortofosfat anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Cole, 1994).

Baca juga :
Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Fosfor Anorganik dan Organik Dalam Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa bentuk fosfor anorganik dalam perairan alami biasanya merupakan hasil ionisasi asam ortofosfat (H3PO4). Walaupun merupakan komponen yang relatif minor, fosfor sering menjadi zat hara paling penting relatif terhadap produktivitas ekosistem perairan. Pupuk berfosfor banyak digunakan dalam budidaya ikan, dan fosfor yang berasal dari limbah metabolik merupakan faktor penting dalam kolam yang ikan-ikannya diberi pakan buatan.

Baca juga :
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Boyd (1982) menambahkan bahwa selain ortofosfat, air kolam mengandung fosfor organik terlarut dan partikel fosfor. Fosfor organik terlarut dan fosfor yang terkandung dalam partikel bahan organik mati dimineralisasi oleh bakteri menjadi ortofosfat terlarut. Fosfor yang terkandung dalam partikel hidup mungkin memiliki laju turnover (pengembalian) yang tinggi karena singkatnya umur plankton. Kecuali segera setelah pemupukan, konsentrasi ortofosfat hanya merupakan sebagian kecil (biasanya kurang dari 10 %) dari konsentrasi fosfor total. Ikan dan organisme makroskopik lain mengandung fosfor dengan konsentrasi cukup tinggi, dan biomas gabungan mereka mengandung fosfor dengan jumlah agak tinggi.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsentrasi Fosfor dan Nitrogen di Sungai

Mulholland (1992) mempelajari selama 2 tahun peranan proses-proses di darat dan di sungai dalam mengendalikan konsentrasi nitrogen dan fosfor yang ada dalam air sungai. Penelitian di lakukan di sebuah sungai hutan berdaun-gugur di timur Tennessee. Lapisan tanah paling atas merupakan lokasi penimbunan yang sangat efektif untuk nitrogen dan fosfor anorganik selama gugur daun; dan aksi cuaca terhadap batuan dolomit induk merupakan sumber dominan fosfor anorganik bagi sungai. Zona tepi sungai merupakan sumber potensial NH4+ dan fosfor bagi sungai ketika konsentrasi oksigen terlarut dalam air bawah-tanah tepi sungai adalah rendah, tetapi merupakan tempat penimbunan fosfor ketika konsentrasi oksigen terlarut tinggi. Pergerakan nitrogen dan fosfor anorganik dalam sungai yang sangat terhambat terlihat pada akhir musim gugur sampai musim semi, terutama sebagai akibat penyerapan oleh mikroba pada daun-daun yang membusuk dan juga akibat penyerapan oleh alga. Tidak bergeraknya nitrogen dan fosfor anorganik menyebabkan penurunan konsentrasi unsur-unsur ini sejalan dengan bertambahnya jarak ke arah hilir dari mata air bawah-tanah, dengan demikian meningkatkan arti penting bentuk organik kedua unsur tersebut dalam air sungai di daerah hilir.

Baca juga :
Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Lumpur Sebagai Sumber Fosfor di Kolam Ikan dan Penyerapannya Oleh Tumbuhan Air

Menurut Boyd (1982) fosfor dari lumpur adalah penting dalam mengatur produktivitas fitoplankton di kolam yang tak dipupuk, dan kolam yang tak dipupuk dengan konsentrasi fosfor di dalam lumpur tinggi adalah lebih produktif daripada kolam dengan konsentrasi fosfor dalam lumpur rendah. Pada kolam yang dipupuk, lumpur bertindak sebagai endapan fosfor. Selama bertahun-tahun, fosfor tertimbun di dalam lumpur kolam yang dipupuk, sehingga menggeser keseimbangan fosfat dengan larut ke air. Namun demikian, bahkan setelah dipupuk bertahun-tahun, fosfor biasanya masih harus dimasukkan ke kolam tersebut untuk mempertahankan produktivitas primer yang tinggi.

Makrofita berakar sanggup menyerap fosfor dari sedimen. Makrofita terdapat di atas termoklin, sementara permukaan lumpur di bawah air epilimnetik adalah aerob. Pada kedalaman beberapa sentimeter, lumpur bersifat anaerob, dan konsentrasi fosfat di dalam air di sela-sela lumpur meningkat karena rendahnya potensial redoks membantu kelarutan besi dan aluminium fosfat. Dengan demikian akar-akar makrofita menyedot sangat banyak pasokan fosfor di dalam sedimen. Fosfor di dalam sedimen yang anaerob tidak masuk ke dalam air di atasnya di mana ia dapat diserap oleh fitoplankton atau daun-daun makrofita. Namun, fosfor mengendap pada bidang batas antara lapisan sedimen anaerob dan aerob (Boyd, 1982).

Baca juga :
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Peranan Ikan Dalam Menyumbangkan Fosfor Bagi Perairan

Kraft (1992) menggunakan sebuah model yang berdasarkan bioenergitika untuk menduga peranan ikan perch (Perca flavescens) dalam daur ulang zat hara. Ekskresi fosfor dan nitrogen oleh ikan muda umur kurang-setahun serta ikan yang lebih tua diduga untuk ekosistem danau. Model ini berhasil menduga ekskresi fosfor dengan membandingkannya dengan dugaan terdahulu untuk ikan yellow perch. Dibandingkan ikan kelas umur yang lebih tua, ikan umur kurang-setahun menyumbangkan bagi danau lebih banyak zat hara yang bersiklus melalui ekskresi; dan ikan umur kurang-setahun juga berfungsi sebagai cadangan fosfor yang penting dibandingkan dengan cadangan fosfor yang tenggelam bersama alga mati. Volume ekskresi fosfor oleh ikan yellow perch umur kurang-setahun pernah mencapai maksimum sebesar 0,3 mikrogram fosfor per liter per hari; ekskresi nitrogen maksimum sebanyak 10 mikrogram per liter per hari. Rasio nitrogen : fosfor yang diekskresikan bervariasi empat kali lipat selama musim panas. Nilai dugaan ekskresi fosfor sangat dipengaruhi oleh perubahan kandungan fosfor dalam tubuh ikan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 07 April 2013

Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Arsip Cofa No. C 143

Nitrogen Anorganik di Perairan Tawar dan Masalah Yang Ditimbulkannya

Welch (1952) menyatakan bahwa garam-garam amonium, nitrit dan nitrat memperkaya pasokan nitrogen yang penting dalam rantai makanan organisme. Garam-garam amonium (amonia nitrogen atau amonia bebas) berperanan dalam tahap pertama mineralisasi nitrogen organik. Biasanya dianggap bahwa nitrat memasok nitrogen dalam bentuk yang lebih mudah dimanfaatkan, namun dua bentuk senyawa nitrogen lain, terutama garam-garam amonium, juga banyak dimanfaatkan. Sementara beberapa jenis tumbuhan lebih menyukai nitrat, jenis-jenis vegetasi lain tumbuh sama baiknya dengan memanfaatkan nitrit maupun garam-garam amonium; selain itu ada beberapa tumbuhan, terutama ketika muda, yang lebih menyukai amonia. Variasi konsentrasi nitrogen dalam air adalah berhubungan dengan musim pertumbuhan vegetasi dan suhu yang, sampai beberapa kisaran, mengendalikan aksi bakteri.

Sebenarnya, nitrogen dalam bentuk teroksidasi akhir, yakni nitrat, tidak terdapat dalam jumlah banyak di perairan alami yang belum tercemar. Perairan biasanya akan diperkaya oleh nitrat dan senyawa-senyawa penting lain akibat perubahan-perubahan di daerah tangkapan-airnya yang menyertai aktivitas pertanian. Penelitian terhadap konsentrasi amonia dan nitrat di danau-danau Wisconsin menunjukkan bahwa alga, gulma air dan bakteri pereduksi nitrat merupakan konsumen penting nitrogen dan bahwa bakteri penitrifikasi membantu meningkatkan konsentrasi nitrat (Welch, 1952).

Baca juga :
Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut

Welch (1952) menambahkan bahwa nitrogen dianggap sebagai salah satu faktor pembatas paling penting dalam perkembangan fitoplankton. Nitrogen merupakan salah satu zat hara yang penting bagi produksi klorofil. Pembentukan klorofil berhenti sangat cepat bila terjadi kekurangan nitrat. Tampaknya ada kasus-kasus keracunan berkaitan dengan nitrogen. Larutan nitrit encer dilaporkan menimbulkan kerusakan pada beberapa jenis tumbuhan namun menguntungkan bagi spesies tumbuhan lain, dan larutan nitrit mungkin dipekatkan sampai ke titik yang berbahaya; larutan nitrit lebih beracun daripada larutan nitrat pada konsentrasi yang sama. Garam-garam amonia yang berlebihan bisa meracuni ikan bila ada bersama karbonat.

Baca juga :
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Bentuk-Bentuk Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Boyd (1982) menyatakan bahwa siklus nitrogen merupakan siklus biokimia di mana sebagian besar perubahan bentuk melibatkan reaksi biokimia, dan kebanyakan nitrogen di dalam ekosistem kolam terikat di dalam organisme hidup dan bahan organik busuk. Bentuk-bentuk nitrogen di dalam air meliputi : nitrogen gas, nitrat, nitrit, amonium, amonia dan berbagai bentuk nitrogen organik. Nitrogen organik berkisar dari senyawa terlarut yang relatif sederhana, seperti asam amino, sampai partikel bahan organik kompleks. Nitrogen terdapat di dalam lumpur dengan bentuk yang sama seperti yang ada di dalam air. Pupuk biasanya mengandung nitrogen dalam bentuk amonium atau nitrat. Kedua senyawa ini mudah larut dan ion-ion yang dihasilkan mungkin diserap tumbuhan dan diasimilasi menjadi nitrogen organik – biasanya dalam bentuk protein. Tumbuhan bisa dikonsumsi oleh binatang dan kemudian nitrogennya bisa diasimilasi menjadi protein jaringan binatang tersebut. Akhirnya, nitrogen digabungkan dengan protein tumbuhan atau binatang dan selanjutnya menjadi bahan organik mati yang akan diuraikan oleh mikroorganisme.

Baca juga :
Ekskresi Nitrogen dan Amonia : Pengaruh Faktor Biotik dan Lingkungan

Masukan Nitrogen dan Fosfor ke Estuaria Dari Daratan Sekitarnya

Correll et al. (1991) melaporkan bahwa studi interdisiplin jangka panjang terhadap estuaria Sungai Rhode dan daerah aliran airnya di dataran pesisir Mid-Atlantik di Amerika Utara telah dilakukan untuk mengukur masukan nitrogen dan fosfor dari ekosistem-ekosistem yang terkait secara hidrologis ke dalam estuaria ini. Ekosistem-ekosistem tersebut adalah hutan, lahan pertanian dan padang rumput yang semuanya ada di dataran tinggi; hutan tepi-sungai; rawa dataran banjir; dataran lumpur dan rawa pasang surut berair payau; dan teluk di estuaria. Air limpasan permukaan dari lahan pertanian mengandung nitrogen per hektar jauh lebih banyak daripada hutan dan padang rumput. Bagaimanapun, hutan pohon berkayu berdaun-gugur yang terletak di antara lahan pertanian dan sungai akan menyerap lebih dari 80 % nitrat dan total fosfor yang ada dalam air limpasan lahan pertanian, dan menyerap sekitar 85 % nitrat yang terkandung air bawah tanah dangkal dari lahan pertanian. Meskipun demikian, buangan zat hara dari hutan tepi sungai yang terletak di bawah (hilir) lahan pertanian masih lebih tinggi dibandingkan buangan dari padang rumput dan hutan lain.

Correll et al. (1991) menambahkan bahwa rasio atom nitrogen terhadap fosfor yang masuk ke estuaria dari daerah tangkapan airnya adalah 9 untuk total zat hara dan 6 untuk fraksi zat hara anorganik. Rasio N : P yang rendah seperti ini akan menyebabkan nitrogen lebih menjadi faktor pembatas daripada fosfor bagi pertumbuhan fitoplankton di estuaria. Rawa-rawa pasang surut di daerah estuaria menjebak zat-zat hara partikulat dan melepaskan zat hara terlarut. Hamparan lumpur subtidal (zona di bawah garis pasang-surut terendah) di bagian atas estuaria menjebak partikel fosfor, melepaskan fosfat terlarut, dan mengkonsumsi nitrat. Hal ini menyebabkan penurunan rasio N : P anorganik terlarut dalam estuaria. Bagaimanapun, estuaria bagian hulu merupakan tempat penenggelaman utama untuk total fosfor akibat penimbunan sedimen di daerah subtidal. Disimpulkan bahwa buangan nitrogen dan fosfor ke dalam Sungai Rhode, walaupun merupakan sebagian kecil dari beban total daerah tangkapan air, adalah cukup besar untuk menyebabkan masalah pengayaan zat hara (eutrofikasi) yang parah di estuaria bagian hulu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Nitrogen Terlarut

Ludwig dan Gale (1991) mengevaluasi dua metode aerasi untuk mengoksigenasi pasokan air dalam hatchery. Dalam penelitian mereka, air dan gas oksigen dialirkan dengan arah yang berlawanan. Sejalan dengan peningkatan aliran gas oksigen, konsentrasi oksigen terlarut dalam air arus-keluar meningkat dari sekitar 100 menjadi 290 %, sedangkan konsentrasi nitrogen terlarut menurun dari 102 menjadi 60 %; tekanan gas total dalam air arus-keluar bervariasi dari 101 sampai 108 %. Pada metode lain, oksigen dimasukkan secara langsung ke saluran pasokan air hatchery. Pada laju aliran air yang konstan 660 liter/menit dan aliran gas oksigen antara 5 dan 8 liter/menit, konsentrasi oksigen terlarut bertambah dari 68,6 menjadi 224 %, sedangkan konsentrasi nitrogen terlarut berkurang dari 108,4 menjadi 85,0 %. Mereka menyimpulkan bahwa kedua metode oksigenasi ini merupakan cara yang efisien untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dan menurunkan konsentrasi nitrogen terlarut dalam pasokan air hatchery.

Baca juga :
Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Peran Nitrogen Dalam Penguraian Bahan Organik di Kolam

Menurut Boyd (1982) peranan nitrogen dalam penguraian menjelaskan beberapa fenomena yang umum diamati di kolam. Kolam berair asam cenderung menimbun sejumlah besar bahan organik karena penguraian oleh bakteri terhambat dan sebagian besar penguraian dilakukan oleh jamur. Ketika mati akibat herbisida, tumbuhan-mencuat terurai lebih lambat daripada tumbuhan-tenggelam. Tumbuhan air tenggelam terurai lebih lambat daripada fitoplankton. Kandungan nitrogen meningkat dengan urutan : tumbuhan air mencuat < tumbuhan air tenggelam < fitoplankton. Bahan organik tertimbun lebih cepat di dalam lumpur kolam yang tak dipupuk daripada dalam lumpur kolam yang dipupuk karena nitrogen yang ditambahkan di dalam pupuk mendorong penguraian residu.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 05 April 2013

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Binatang Air

Arsip Cofa No. C 142

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Invertebrata Bentos Sungai

Quinn et al. (1992) mempelajari dampak pembuangan lumpur terhadap invertebrata bentik dengan membandingkan komunitas yang ada di arah hulu dan hilir dari pertambangan emas aluvial di 6 sungai di pesisir barat South Island, New Zealand. Rata-rata kekeruhan meningkat 7 – 154 NTU dibandingkan kontrol (rata-rata 1,3 – 8,2 NTU) akibat buangan pertambangan selama 2 bulan sebelum sampling. Pola peningkatan padatan tersuspensi (sangat berhubungan dengan kekeruhan, r = 0,95) adalah sama. Kepadatan invertebrata secara nyata lebih rendah di semua lokasi hilir, yang berkisar dari 9 sampai 45 % (median 26 %) dari kepadatan di lokasi-lokasi hulu yang bersesuaian. Kepadatan hilir sebagai persentase kepadatan hulu adalah berkorelasi negatif dengan logaritma beban kekeruhan (r = - 0,82, P < 0,05). Kepadatan taksa umum adalah biasanya lebih rendah di hilir penambangan. Kekayaan taksonomi secara nyata lebih rendah di lokasi-lokasi hilir pada empat sungai yang menerima beban kekeruhan lebih tinggi (kekeruhan rata-rata meningkat 23 – 154 NTU). Biomas dan produktivitas epilithon (organisme penempel batu) lebih rendah, dan mutu makanan yang lebih jelek di daerah hilir mungkin menyebabkan menurunnya kepadatan invertebrata. Pada beberapa lokasi, penurunan permeabilitas dasar sungai dan oksigen terlarut di sela-sela sedimen serta reaksi penghindaran oleh invertebrata (yakni, meningkatnya individu yang hanyut), juga berperanan dalam menyebabkan rendahnya kepadatan invertebrata.

Baca juga :
Pengaruh Hujan Terhadap Perairan

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Juvenil Udang Penaeus

Lin et al. (1992) melaporkan bahwa juvenil Penaeus japonicus selama 3 minggu dikenai berbagai tingkat kekeruhan sedimen tersuspensi : kontrol (2 ± 2 NTU), kekeruhan sedang (35 ± 15 NTU) dan kekeruhan tinggi (65 ± 15 NTU). Tingkat mortalitas udang meningkat setelah terkena kekeruhan tinggi. Juvenil udang tahap akhir yang terkena kekeruhan menjadi kurang toleran terhadap perubahan salinitas lingkungan dan menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi pada salinitas rendah. Pengaruh kekeruhan terhadap kapasitas osmoregulasi dipelajari dengan menentukan gradien (perbedaan) osmotik antara hemolimfa dan medium eksternal pada air laut pekat (salinitas 42 ppt) dan air laut encer (salinitas 15 ppt). Pada udang juvenil muda, kapasitas osmoregulasi umumnya tidak terpengaruh oleh kekeruhan. Pada juvenil tahap akhir, kapasitas osmoregulasi diturunkan secara nyata oleh kekeruhan. Penurunan kapasitas osmoregulasi disebabkan oleh terganggunya pengaturan konsentrasi Na+ dan Cl-. Aktivitas Na+-K+ ATPase dalam insang juvenil tahap akhir adalah meningkat dengan meningkatnya kekeruhan, tampaknya sebagai reaksi kompensasi atas terganggunya keseimbangan osmotik dan ionik.

Baca juga :
Penyebab Kekeruhan di Perairan Alami dan Kolam Ikan

Pengaruh Kekeruhan Air Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan

Gregory dan Northcote (1993) mempelajari pengaruh kekeruhan terhadap aktivitas makan pada juvenil ikan chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) di laboratorium. Daya penglihatan ditentukan dengan mengukur “jarak reaksi” juvenil ikan chinook terhadap mangsa yang berupa Artemia dewasa. Ikan chinook menunjukkan penurunan “jarak reaksi” sejalan dengan peningkatan kekeruhan; penurunan tersebut bersifat logaritma linier. Aktivitas makan pada ikan ini terhadap mangsa yang ada di permukaan air (Drosophila), mangsa planktonik (Artemia) dan bentos (Tubifex) diamati pada berbagai kisaran kekeruhan air (< 1, 18, 35, 70, 150, 370 dan 810 NTU). Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas makan berkurang pada kondisi yang lebih keruh untuk ketiga jenis mangsa. Diduga bahwa meningkatnya laju makan pada kondisi keruh mencerminkan penurunan resiko ancaman predator.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Kekeruhan Terhadap Perilaku Menghindari Pemangsa

Gregory (1993) mengamati pengaruh kekeruhan terhadap perilaku menghindari pemangsa pada ikan juvenil chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) dalam percobaan laboratorium terkendali. Model berupa burung dan ikan digunakan untuk menciptakan resiko pemangsaan. Ketika tidak ada pemangsa, juvenil chinook tersebar secara acak di dalam arena percobaan pada kondisi keruh (sekitar 23 NTU), tetapi pada kondisi jernih (kurang dari 1 NTU) mereka tidak jauh-jauh dari dasar. Bila model burung dan ikan pemangsa dimasukkan, ikan chinook mengubah distribusinya dan menempati bagian-bagian perairan yang lebih dalam tanpa tergantung pada tingkat kekeruhan. Bagaimanapun, respon mereka dalam kondisi keruh kurang menyolok dan berlangsung lebih singkat. Kekeruhan tampaknya mengurangi rasa takut akan pemangsaan pada juvenil ikan chinook.

Baca juga :
Pengaruh Kedalaman Perairan Terhadap Ikan

Kesukaan Juvenil Ikan Laut Terhadap Kekeruhan

Cyrus dan Blaber (1987) mengamati kesukaan juvenil 10 spesies ikan laut yang umum dijumpai di estuari-estuari Afrika tenggara. Percobaan yang dilakukan memungkinkan untuk menghilangkan semua faktor lingkungan selain kekeruhan. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa ikan Liza dumerilii (Steindachner) adalah spesies perairan jernih (< 10 NTU); Liza macrolepis (Smith), Rhabdosargus sarba (Forsskal), Gerres filamentosus Cuvier, dan Valamugil buchanani (Bleeker) lebih menyukai “perairan jernih sampai keruh sebagian” (< 50 NTU); Monodactylus argenteus (L.) menyukai perairan dengan kekeruhan sedang (10 – 80 NTU); dan empat spesies ikan sisanya, yaitu Rhabdosargus holubi (Steindachner), Acanthopagrus berda (Forsskal), Pomadasys commersonni (Lacépède) dan Terapon jarbua (Forsskal) tidak terikat dengan kekeruhan. Analisis statistik terhadap data laboratorium dan lapangan menunjukkan adanya korelasi yang nyata.

Pengaruh Kekeruhan Terhadap Distribusi dan Hasil Tangkap Ikan Laut

Cyrus dan Blaber (1992) mempelajari kekeruhan dan salinitas serta pengaruhnya terhadap distribusi ikan selama dua setengah tahun di estuaria Embley di Australia utara tropis. Baik kekeruhan maupun salinitas bervariasi secara nyata selama periode penelitian tetapi tampak jelas bahwa ada tiga pola musiman. Ketiga pola ini berkaitan dengan musim hujan, musim kering awal dan musim kering akhir. Selama ketiga musim tersebut timbul gradien kekeruhan dan salinitas yang jelas. Gradien kekeruhan dan salinitas ini merupakan kelanjutan dari gradien serupa yang ada di lingkungan laut sekitarnya di teluk Albatros. Derajat dan kisaran kedua faktor ini sangat ditentukan oleh pola curah hujan musiman di daerah tangkapan-air Sungai Embley. Distribusi dan kelimpahan 45 spesies ikan yang paling umum telah dianalisis dalam kaitannya dengan pola-pola kekeruhan, salinitas dan suhu di estuari ini. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kepadatan ikan di dalam estuari adalah berkorelasi dengan kekeruhan dan salinitas tetapi tidak dengan suhu. Ada hubungan terbalik yang kuat antara kekeruhan dan salinitas. Catch per Unit Effort (CPUE; hasil tangkap per satuan upaya) untuk setiap spesies ikan telah ditentukan dalam masing-masing dari ketiga kisaran kekeruhan dan salinitas. Hasilnya menunjukkan bahwa pola-pola yang berkaitan dengan kekeruhan dan salinitas ditemukan pada 30 dari 45 spesies ikan yang diamati.

Baca juga :
Pengaruh Banjir Terhadap Biota Perairan

Hubungan Kekeruhan dan Jenis Ikan Laut Dominan

Longhurst dan Pauly (1987) menunjukkan adanya hubungan antara kekeruhan dan jenis ikan dominan di paparan benua. Pada komunitas ikan tropis paparan benua telah diidentifikasi empat kumpulan ikan : ikan-ikan di perairan dekat-pantai dan estuari berlumpur dengan air yang keruh yang didominasi oleh sciaenidae; kumpulan ikan di perairan jernih dengan sedimen berupa deposit berpasir dan dicirikan oleh banyaknya ikan sparidae; kumpulan ikan di habitat terumbu berbatu (perairan jernih) yang didominasi oleh ikan lutjanidae; dan terakhir adalah kumpulan ikan di terumbu karang (perairan jernih) tanpa ada ikan dominan. Perbedaan mendasar pada keempat kumpulan ikan ini terutama adalah antara perairan keruh dan perairan jernih.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...