Senin, 25 November 2013

Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Arsip Cofa No. C 166

Pendekatan Ekologi Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Closs et al. (2004) menyatakan bahwa air danau yang jernih sering berubah warna menjadi coklat dan hanya sedikit cahaya yang bisa menembus dasar danau. Pada kondisi ini danau menunjukkan ciri-ciri terjadinya ledakan populasi alga : air danau tidak hanya berlumpur, tetapi juga berbau tak enak dan beracun bila diminum. Ledakan populasi alga terutama disebabkan oleh pasokan zat hara yang berlebihan. Alga membutuhkan nitrogen dan fosfor untuk tumbuh. Pada banyak perairan, pasokan zat hara mungkin terbatas, apalagi bila daerah tangkapan airnya ditumbuhi hutan sehingga zat hara terikat kuat di dalam ekosistem darat.

Bagaimanapun, dalam sistem pertanian, petani sering menaburkan pupuk untuk menigkatkan hasil panen. Zat hara dalam pupuk yang tidak diserap tanaman pertanian akan tercuci dan masuk ke saluran air lokal. Binatang ternak, terutama sapi, bisa juga mendepositkan sejumlah besar urin dan tinja kaya-zat hara secara langsung ke sungai tempat mereka minum. Di daerah pedesaan, sisa-sisa tumbuhan dan tinja hewan peliharaan dihanyutkan oleh limpasan ar hujan dan masuk ke sungai sehingga menjadi sumber lain pasokan zat hara. Bila sungai-sungai tersebut masuk ke danau, zat hara yang terkandung di dalamnya akan tertimbun dan mengubah danau itu dari kondisi oligotrofik (zat hara sedikit, produktivitas rendah, air jernih) atau mesotrofik (zat hara agak banyak, produktivitas dan kejernihan air sedang) menjadi kondisi eutrofik (zat hara banyak, produktivitas primer tinggi, air keruh) (Closs et al., 2004).

Jika zat hara merupakan faktor kunci yang memicu ledakan populasi alga, maka strategi manajemen harus diarahkan untuk menghilangkannya. Zat hara yang masuk ke perairan dari satu titik (point source), misalnya mulut saluran pembuangan limbah, dapat dikendalikan dengan menghilangkan titik sumber itu. Sayangnya, zat hara seringkali masuk ke sistem perairan melalui sumber yang bersifat banyak-titik dan menyebar di seluruh daerah tangkapan air. Kontrol terhadap sumber pencemar seperti ini akan melibatkan manajemen daerah tangkapan air yang mencakup daerah daratan yang sangat luas. Tindakan manajemen ini meliputi penghijauan, pendidikan dan penghambatan proses pencucian zat hara dari tanah yang jenuh dengan pupuk; yang berarti bahwa pengendalian terhadap sumber zat hara yang bersifat banyak-titik ini akan memakan waktu puluhan tahun (Closs et al., 2004).

Baca juga :
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Mengatasi Eutrofikasi Dengan Penutupan Sedimen dan Pengenceran Air

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa eutrofikasi danau bisa dicegah dengan metode penutupan sedimen karena menghalangi pelepasan zat hara dari sedimen dasar danau ke dalam air. Penggunaan lembaran plastik, “fly ash” (abu terbang), pasir yang kaya besi, dan tanah liat bisa disarankan untuk mendukung metode ini. Penutupan sedimen dengan menggunakan tanah liat dilaporkan telah berhasil mengatasi eutrofikasi danau. Metode ini lebih murah daripada penyingkiran sedimen, tetapi ada kerugiannya, yaitu (1) peningkatan kualitas air bersifat sementara, dan (2) kondisi alami untuk fauna bentos berubah.

Jorgensen (1980) menambahkan bahwa selain penutupan sedimen, metode lain yang bisa diterapkan untuk memulihkan danau yang mengalami eutrofikasi adalah dengan membiarkan air yang tak tercemar memasuki danau. Dengan membiarkan air tak tercemar yang miskin zat hara masuk ke danau, maka air danau menjad encer dan sedimen tercuci keluar danau. Metode ini telah digunakan di Danau Snake, Wisconsin, dengan beberapa keberhasilan. Tumbuhan air Lemna lenyap seluruhnya dari danau, sementara konsentrasi zat hara tidak berkurang, mungkin karena pengaruh zat hara yang berpindah di dalam sedimen. Bagaimanapun, penelitan di laboratorium menunjukkan bahwa konsentrasi zat hara nantinya akan berkurang bila sedimen banyak yang tercuci keluar. Danau Green di Washington memberikan hasil yang lebih baik : konsentrasi zat hara berkurang, kejernihan air meningkat dan spesies alga hijau biru lenyap.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengendapan Fosfor Menyebabkan Penundaan Eutrofikasi

Tezuka (1992) menyatakan bahwa meskipun basin utama Danau Biwa, Jepang, perlahan-lahan mengalami eutrofikasi sejak awal abad ini, namun tingkat eutrofikasinya tidak begitu parah selama 24 tahun terakhir dari sudut pandang parameter-parameter fisika-kimia seperti kejernihan air, konsentrasi oksigen terlarut minimum di lapisan hipolimnion dan konsentrasi fosfor total dalam badan air. Padahal, beban fosfor eksternal di Danau Biwa cukup tinggi untuk menyebabkannya mengalami eutrofikasi secara cepat. Untuk mengetahui kontradiksi ini, telah dilakukan pengujian terhadap keseimbangan massa fosfor di Danau Biwa. Hasil penelitian menguatkan dugaan bahwa sedimentasi fosfor memainkan peranan menentukan dalam menunda eutrofikasi di danau ini.

Baca juga :
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Efek Interaksi Ikan – Zat Hara Terhadap Eutrofikasi

Lacroix dan Lescher-Moutoue (1991) melaporkan bahwa untuk menduga efek masing-masing dan efek interaksi beban zat hara dan kepadatan anak ikan cyprinidae terhadap eutrofikasi, percobaan in situ (di tempat) telah dilakukan selama musim panas di 30 kurungan (karamba) masing-masing bervolume 9,5 m3 di sebuah danau mesotrofik dangkal yang dicirikan oleh tingginya padat penebaran ikan dan sedikitnya spesies fitoplankton dan zooplankton. Di semua kurungan tanpa ikan, kejernihan air dengan cepat meningkat. Beban zat hara, sekalipun pada nilai tertnggi, tidak menyebabkan penurunan kualitas air apa pun secara nyata. Adanya ikan tampaknya merupakan prasyarat bagi kemunculan gejala-gejala eutrofikasi. Efek ikan dan efek interaksi ikan - zat hara sering sangat nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek interaksi antara kepadatan anak ikan cyprinidae dan beban zat hara bisa mempercepat eutrofikasi danau.

Baca juga :
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Manajemen Populasi Ikan Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Jagtman et al. (1988) dalam Densen et al. (1990) melaporkan bahwa eutrofikasi danau-danau dangkal (kedalaman 1 – 3 meter) di Belanda menyebabkan perubahan dramatis dalam hal struktur dan fungsi jaring-jaring makanan. Selama 25 tahun terakhir vegetasi tepi danau hilang akibat eutrofikasi. Bersamaan itu pula, habitat ikan pike (Esox lucius), yang merupakan predator penting, hilang. Akibatnya, ikan bream (Abramis brama) mencapai biomas yang sangat tinggi di kebanyakan danau-danau dangkal tersebut. Tampaknya bahwa berbagai upaya harus dilakukan untuk mempercepat pemulihan danau. Manajemen stok ikan bisa menjadi penting dalam upaya pemulihan danau secara terpadu. Melimpahnya ikan bream, yang merupakan pemakan (zoo)plankton dan bentos, menyebabkan grazing (aktivitas memakan) alga oleh zooplankton menjadi rendah, dan air menjadi sangat keruh. Situasi ini bisa menghambat pemulihan danau meskipun masukan zat hara dari luar danau telah banyak dikurangi. Pengaturan terhadap populasi ikan bream dengan demikian berperan dalam mengatasi masalah eutrofikasi. Eksperimen biomanipulasi telah dimulai di danau-danau kecil di Belanda, yang diarahkan terutama untuk mengurangi populasi ikan bream dengan cara penangkapan dan memasukan ikan pemangsa. Manajemen stok ikan bersama dengan pengurangan beban zat hara dengan demikian bisa membantu mengatasi eutrofikasi dengan mengubah struktur jaring-jaring makanan yang menciptakan ekosistem yang lebih dikehendaki, yaitu ekosistem yang stabil dengan keanekaragaman yang tinggi.

Baca juga :
Dinamika Zat Hara di Estuaria

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 22 November 2013

Keberadaan Logam Berat di Perairan dan Biota Air

Arsip Cofa No. C 165

Keberadaan Logam Berat di Estuaria

Lincer dan Haynes (1976) menyatakan bahwa logam berat berumur sangat panjang dan dapat sangat beracun. Di dalam lingkungan estuaria, logam berat tidak dapat dimanfaatkan oleh biota air karena kekuatan ikatan kimianya sehingga logam berat ini terdaur ulang melalui rantai makanan secara terus menerus tanpa berakhir. Logam berat dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia maupun alam. Logam berat ditemukan dalam ramuan pestisida, limbah industri dan perkotaan serta limbah dari kegiatan penggalian tanah dan penambangan. Bila logam berat dimasukkan ke hulu sungai maka hanya sebagian kecil saja yang dapat ditemukan di dalam air yang meninggalkan estuaria. Konsentrasi logam berat di dekat pantai lebih tinggi daripada kosentrasinya di perairan yang lebih jauh ke arah laut. Logam berat cenderung bergabung dengan fraksi organik sedimen dasar estuaria dan tampaknya terkonsentrasi lebih banyak di lapisan permukaan sedimen daripada di dalam sedimen yang lebih dalam. Konsentrasi alami logam berat di dalam air laut mungkin lebih kecil bila dibandingkan dengan yang ada di dalam lumpur dasar. Sebagai contoh, konsentrasi kadmium hampir mencapai 0,08 ppm di air aut tetapi 130 ppm di lumpur dasar.

Lincer dan Haynes (1976) menambahkan bahwa biota estuaria, baik rumput laut, kerang, ikan maupun burung pemakan ikan, mudah menimbun logam berat. Kerang mampu menimbun logam berat sampai konsentrasi yang luar biasa. Sebagai contoh, oyster di estuaria Patuxent, Maryland, menimbun tembaga sampai melebihi 1000 ppm, di mana pada keadaan ini dagingnya tampak berwarna hijau dengan rasa tidak enak. Kadar merkuri dalam tubuh ikan di perairan tak tercemar umumnya kurang dari 0,1 ppm (berdasarkan berat basah), sedangkan sampel dari perairan tercemar memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi logam-logam berat di dalam daging kepiting komersial rata-rata adalah 21 ppm besi, 46 ppm seng, 466 ppm magnesium dan hampir 15 ppm tembaga. Berdasarkan urutan daya racun yang makin kecil terhadap biota air maka merkuri, perak dan tembaga menempati posisi teratas, diikuti oleh kadmium, seng, timah hitam, kromium, nikel dan kobal. Bagaimanapun, daya racun kadmium perlu dipertimbangkan terutama dalam hal pengaruh yang bersifat teratogenik (menimbulkan cacat) pada mamalia.

Baca juga :
Dampak Negatif Aluminium Bagi Lingkungan Hidup

Konsentrasi dan Distribusi Logam Berat Dalam Jaringan Cumi-Cumi

Miramand dan Bentley (1992) mengukur konsentrasi 11 jenis logam berat (perak, kadmium, kobal, kromium, tembaga, besi, mangan, nikel, timah hitam, vanadium dan seng) dalam jaringan dua spesies cephalopoda Eledone cirrhosa dan Sepia officinalis yang dikumpulkan dari pesisir Perancis di Selat Inggris pada bulan Oktober 1987. Jaringan cumi-cumi yang diamati adalah kelenjar pencernaan, saluran genital, jantung branchial, insang, saluran pencernaan, ginjal, otot, kulit dan cangkang. Jaringan kedua spesies cephalopoda ini menunjukkan kesamaan pola penimbunan logam berat : kelenjar pencernaan, jantung branchial dan ginjal merupakan lokasi utama penimbunan ke-11 logam berat yang diamati; kelenjar pencernaan menimbun perak, kadmium, kobalt, tembaga, besi, timah hitam dan seng; jantung branchial kaya akan tembaga, nikel dan vanadium; sedang ginjal menimbun banyak mangan, nikel serta timah hitam. Kelenjar pencernaan, yang menyumbangkan 6 – 10 % dari seluruh jaringan binatang, mengandung lebih dari 80 % konsentrasi badan total untuk perak, kadmium dan kobal serta mengandung 40 – 80 % konsentrasi badan total untuk logam-logam lain.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Logam Berat Terhadap Indra Pengecap Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa logam berat memberikan efek yang tidak lazim terhadap indra pengecap ikan. Perlakuan reseptor eksternal (indra pengecap) pada hidung ikan dengan menggunakan larutan encer Hg2+ atau Pb2+ diikuti pembilasan dengan air suling menunjukkan hasil bahwa reseptor pengecap menjadi kurang peka, baik terhadap logam berat maupun bahan kimia lain. Sekali respon tersebut diturunkan atau dihalangi oleh Hg2+ , respon tersebut tetap terhalang lebih lanjut meskipun logam berat itu sudah terbilas. Bagaimanapun, pembilasan dengan CuSO4 encer bisa memulihkan respon normal.

Baca juga :
Keberadaan Logam Berat di Perairan dan Biota Air

Logam Berat Mengganggu Proses Pematangan Sel Telur Ikan

Mommsen dan Walsh (1988) dalam Hoar et al. (1988) melaporkan bahwa logam kadmium dan tembaga diketahui tertimbun di dalam jaringan hati ikan, dan pada saat proses pematangan akhir sel telur dan penimbunan kuning telur maka logam-logam berat ini dipindah dari hati ke gonad dan ditimbun di dalam telur. Pada satu sisi hal ini merupakan cara pasif bagi ikan betina untuk mengurangi konsentrasi logam di dalam hatinya, namun pada sisi lain cara ini sangat berbahaya bagi sel telur. Tidaklah berlebihan untuk menduga bahwa dalam situasi di mana beban logam-logam berat meningkat dari konsentrasi sangat kecil menjadi konsentrasi sub letal, perpindahan logam berat ke gonad bersamaan dengan proses pematangan sel telur bisa menyebabkan penimbunan bahan beracun kuat ini di dalam sel telur. Walaupun logam berat ini sekarang tidak mempengaruhi ikan laut, keberadaannya mencemaskan bagi ikan-ikan perairan tawar dan payau di banyak bagian dunia. Komponen vitelogenin (kuning telur) itu sendiri mungkin terlibat dalam transpor logam berat dari hati ke gonad mengingat kemampuan vitelogenin dalam mengikat ion.

Mommsen dan Walsh (1988) menambahkan bahwa masalah lain bisa muncul melalui persaingan antara logam-logam berat yang ditimbun di dalam hati dengan ion-ion logam yang normalnya dipindah menuju gonad selama vitelogenesis (proses pembentukan komponen-komponen kuning telur), yakni magnesium, kalsium dan besi. Meskipun ikan dewasa dapat mengikat dan menetralkan racun logam-logam berat dengan cukup efisien melalui sintesis metalotionin di dalam hati secara spesifik, namun proses ini tidak cukup cepat untuk menghilangkan beban logam berat dari tubuh induk dan dengan demikian berpotensi meracuni sel telur. Juga karena metalotionin dirangsang di dalam hati, efektivitas sintesisnya bersaing dengan vitelogenin dan dengan demikian bisa diduga mengganggu keseimbangan arus vitelogenin ke gonad.

Baca juga :
Logam Berat Dalam Jaringan Tubuh Ikan

Pelepasan Logam-Logam Berat Oleh Diatom

Lee dan Fisher (1992) mengkultur diatom Thalassiosira pseudonana tanpa zat hara dalam kondisi gelap selama 22 hari; laju pelepasan karbon dan tujuh jenis logam diukur dengan radiotracer (pelacak radioaktif). Karbon seluler hilang lebih cepat pada suhu 18 oC dibandingkan pada suhu 4 oC karena lebih tingginya aktivitas mikroba pada suhu 18 oC. Laju kehilangan karbon berkurang setelah 7 hari. Formalin dan HgCl2 menghambat aktivitas mikroba sebagaimana ditunjukkan oleh evolusi 14CO2; keefektivan NaN3 lebih kecil. Sel diatom yang diberi perlakuan racun melepaskan 33 – 39 % karbonnya (sebagai karbon organik terlarut) dan sejumlah besar kadmium, selenium, seng dan perak. Kadmium, selenium dan seng, yang terutama dalam bentuk fraksi terlarut d dalam sel, dilepaskan dengan laju yang sama seperti laju pelepasan karbon serta dipengaruhi oleh aktivitas mikroba dan suhu. Sebaliknya, perak, amerisium, cerium dan kobalt dipertahankan oleh sel diatom yang membusuk; pelepasan unsur-unsur in lebih lambat daripada pelepasan karbon, dan suhu aktivitas mikroba tidak banyak berpengaruh terhadap laju pelepasan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadmium, selenium dan seng dengan cepat didaur ulang dari sisa-sisa plankton di perairan permukaan, sedangkan cerium, amerisium, perak dan kobalt dipindahkan dari perairan permukaan bersama tenggelamnya fitoplankton.

Baca juga :
Kondisi Logam-Logam Berat di Perairan Pesisir

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 19 November 2013

Dinamika Zat Hara di Estuaria

Arsip Cofa No. C 164

Sumber Zat Hara di Estuaria

Mann (1982) menyatakan bahwa perairan estuaria dicirikan oleh tingginya konsentrasi zat hara dan detritus tersuspensi, yang terutama berasal dari air selokan perkotaan. Estuaria menerima air dan materi biologis melalui mekanisme limpasan sungai, “tidal flushing” (penggelontoran air pasang-surut) dan upwelling. Upwelling membawa massa air yang dingin dan kaya zat hara dari bagian laut yang dalam menuju pantai. Masuknya air upwelling ke estuaria dapat menyebabkan pertukaran secara total massa air permukaan serentak dengan masuknya air dari sungai. Pada zona intertidal, dan di perairan dangkal tepat dibawahnya, terjadi pengendapan sedimen yang menyediakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan vegetasi rawa asin dan lamun (sea grass). Hal ini menyebabkan estuaria umumnya mempunyai daerah luas yang didominasi oleh makrofita, yang menyumbangkan produktivitas primer yang tinggi. Biasanya sejumlah besar zat hara beregenerasi dari permukaan sedimen di perairan dangkal. Karena itu pada estuaria air dasar sering lebih banyak mengandung zat hara daripada air permukaan. Singkatnya, estuaria dikenal sangat produktif dan bertindak sebagai perangkap zat hara. Selain itu, banyak estuaria disuburkan oleh masuknya limbah rumah tangga dan limbah pertanian.

Baca juga
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Peran Migrasi Ikan Dalam Transpor Zat Hara dari Estuaria ke Laut Pesisir

Deegan (1993) mengevaluasi akumulasi biomas serta perubahan energi tubuh ikan dan komposisi zat hara (karbon, nitrogen dan fosfor) dalam hubungannya dengan pola migrasi ikan menhaden (Brevoortia patronus). Penelitian bertujuan untuk menentukan apakah transpor biotik oleh ikan merupakan sumber penting energi dan zat hara bagi ekosistem perairan laut pesisir. Ikan menhaden mentranspor banyak energi, karbon, nitrogen dan fosfor dari estuari Louisiana ke daerah dekat-pantai di Teluk Meksiko. Ekspor nitrogen dan fosfor adalah sama besar dengan yang diekspor secara pasif oleh gerakan air, namun dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi ikan dapat memainkan peranan penting dalam mengekspor produktivitas estuaria ke ekosistem laut pesisir.

Baca juga
Silikat Dalam Air Laut

Peranan Sedimen Dalam Dinamika Zat Hara di Estuaria

Callender dan Hammond (1982) menyatakan bahwa aliran amonia, fosfat, silika dan radon-222 dari sungai pasang-surut Potomac dan sedimen estuari dikendalikan oleh proses-proses yang terjadi pada bidang batas sedimen-air dan di dalam sedimen lapisan permukaan. Hasil hitungan aliran difusi berkisar antara 0,6 dan 6,5 mmol/m2/hari untuk amonia, 0,020 dan 0,30 mmol/m2/hari untuk fosfat serta 1,3 dan 3,8 mmol/m2/hari untuk silika. Hasil pengukuran secara in situ (di tempat) aliran zat hara ini berkisar antara 1 dan 21 mmol/m2/hari untuk amonia, 0,1 dan 2,0 mmol/m2/hari untuk fosfat serta 2 dan 19 mmol/m2/hari untuk silika. Rasio aliran in situ terhadap aliran difusi bervariasi antara 1,6 dan 5,2 di sungai pasang-surut, antara 2,0 dan 20 di zona peralihan dan dari 1,3 sampai 5,1 di estuaria bagian hilir. Besarnya peningkatan aliran dari sedimen zona peralihan disebabkan oleh migrasi makrofauna. Peningkatan aliran zat hara berkorelasi dengan peningkatan aliran radon, yang menunjukkan bahwa aliran ini mungkin berasal dari daerah umum dan bahwa zat hara diregenerasi di dalam lapisan sedimen teratas setebal 10 – 20 cm. Rendahnya aliran fosfat dari sedimen sungai pasang-surut menunjukkan bahwa sedimen dasar perairan mengendalikan aliran fosfor dengan cara penyerapan oleh besi oksihidroksida yang ada dalam sedimen. Pada sungai pasang-surut, aliran amonia dan fosfat di dasar perairan adalah setara dengan setengah dan sepertiga input zat hara pada instalasi pengolah air limbah Blue Plains. Pada sungai Potomac pasang-surut, regenerasi sedimen dasar perairan memasok banyak zat hara yang dimanfaatkan oleh produsen primer dalam kolom air selama bulan-bulan musim panas.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pemasukan Nitrogen dan Fosfor ke Estuaria

Magnien et al. (1991) mempelajari beban (kandungan) zat hara eksternal, kolam zat hara internal dan produksi fitoplankton di tiga subsistem utama estuaria Teluk Chesapeake, yaitu Mainstem hulu, estuaria Patuxent dan estuaria Potomac, selama tahun 1985 - 1989. Rasio atom nitrogen terhadap fosfor (TN : TP) dalam beban zat hara total di Mainstem, Patuxent dan Potomac adalah 51, 29 dan 35, berturut-turut. Sebagian besar beban zat hara yang memasuki kepala estuaria berasal dari sungai dan instalasi utama pengolah air limbah. Sekitar 7 – 16 % beban nitrogen masuk ke kepala estuaria sebagai partikel, bertolak belakang dengan fosfor yang sebesar 48 – 69 %. Perbedaan ini diduga menyebabkan fosfor lebih banyak yang hilang melalui sedimentasi dan penguburan. Proses ini penting untuk mengendalikan rasio nitrogen : fosfor di estuari agar lebih tinggi daripada nilai input. Rasio TN : TP kolom air pada zona buangan air sungai (air tawar), oligohalin (salinitas rendah) dan mesohalin (salinitas sedang) untuk setiap estuari berkisar dari 56 – 82 di Mainstem, 27 – 48 di Patuxent dan 72 – 126 di Potomac. Angin badai yang terjadi di daerah aliran sungai Potomac telah dibuktikan banyak meningkatkan fraksi partikel nitrogen dan fosfor serta menurunkan rasio TN : TP dalam air buangan sungai. Kandungan zat hara selama bulan timbulnya angin badai (November 1985) bertanggung jawab atas 11 % nitrogen dan 31 % fosfor yang dikirimkan ke estuaria ini oleh sungai Potomac selama seluruh periode penelitian 60 bulan.

Baca juga
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Perilaku Fosfor dan Nitrogen di Estuaria Setelah Banjir

Eyre dan Twigg (1997) melakukan studi terhadap fosfor dan nitrogen dalam bentuk organik maupun anorganik, partikel maupun terlarut, serta sedimen tersuspensi, silika terlarut dan parameter-parameter fisika-kimia di estuaria sungai Richmond, New South Wales, setelah terjadinya banjir kecil. Pada kondisi banjir, konsentrasi zat hara adalah tinggi, tidak terjadi proses-proses di estuaria karena dilewati begitu saja, dan air tawar, sedimen serta zat hara dibuang langsung ke paparan benua. Estuaria dipulihkan oleh mengalirnya massa air asin (baji garam) sepanjang dasar perairan masuk ke sungai; estuaria kemudian mengalami perubahan stratifikasi massa air dari terstratifikasi agak kuat menjadi terstratifikasi sedang dan akhirnya menjadi sistem yang homogen secara vertikal. Waktu penggelontoran (flushing time) adalah pengendali dominan terhadap derajat proses internal zat hara, di mana kebanyakan zat hara yang dipasok sungai mengalami transformasi pada kondisi normal karena waktu penggelontorannya yang sangat lama. Fosfor anorganik terlarut tampaknya disingkirkan pada salinitas rendah karena melekat pada oksihidroksi koloid aluminium dan besi yang kemudian menggumpal dan mengendap. Pada salinitas tinggi, fosfor anorganik terlarut dilepaskan kembali akibat peningkatan pH yang tajam.

Eyre dan Twigg (1997) menambahkan bahwa silika dan nitrat terlarut mungkin diserap oleh fitoplankton, dan sebagian nitrat bisa juga disingkirkan dari air melalui denitrifikasi. Karena pasokan zat hara dari sungai mengandung nitrogen dalam jumlah terbatas (artinya, rasio nitrogen anorganik terlarut terhadap fosfor anorganik terlarut adalah rendah), maka produksi primer selama sebagian besar tahun tampaknya disokong oleh aliran amonium di dasar perairan yang dihasilkan oleh mineralisasi partikel nitrogen organik yang mengendap selama tahap pemulihan. Bila pasokan amonium di dasar perairan ini habis, nitrat asal-sungai menjadi sumber nitrogen yang penting. Juga tampaknya angin secara kontinyu mendorong terjadinya pengendapan dan pensuspensian kembali material dasar perairan pada saat massa air dangkal teraduk sempurna; fenomena ini sering terjadi selama kondisi normal. Model konsep tiga tahap ini (banjir, pemulihan, normal) mungkin lebih bisa diterapkan di estuaria Australia yang sangat bervariasi daripada di estuaria Eropa Barat dan Amerika Utara yang khas.

Baca juga
Subsistem Perairan Pesisir : Estuaria

Hubungan Salinitas Dengan Nitrat, Silikat dan Fosfat di Estuaria

Morris et al. (1981) telah memperoleh rekaman autoanalitik kontinyu tentang distribusi nitrat, silikat dan fosfat terlarut dalam perairan asin estuaria Tamar, Inggris barat daya, dan dalam air sungai yang masuk estuaria tersebut. Variabilitas jangka pendek dalam hal distribusi dipelajari dengan cara membuat profil distribusi zat hara setiap selang waktu kira-kira 3 jam dalam sehari, sedangkan perbandingan musiman diperoleh dari 10 survei yang dilakukan antara Juni 1977 dan Agustus 1978. Sementara nitrat dipertahankan selalu ada di seluruh estuaria bagian hulu, hubungan salinitas dengan silikat dan fosfat selalu menunjukkan adanya penyingkiran kedua zat hara ini secara non biologis dalam kisaran salinitas yang rendah (0 – 10 %). Upaya untuk menghitung secara tepat derajat penyingkiran tersebut dan untuk mengkorelasikannya dengan perubahan faktor-faktor lingkungan (pH, kekeruhan, fluoresensi klorofil, salinitas, komposisi air tawar) gagal karena adanya fluktuasi jangka-pendek konsentrasi silikat dan fosfat dalam air sungai yang masuk ke estuaria dan karena cepatnya perubahan kekeruhan akibat pengendapan dan pensuspensian-kembali sedimen dasar perairan sebagai imbas dari pasang surut.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 17 November 2013

Escherichia coli : Bioekologi, Keberadaan dan Kekebalannya

Arsip Cofa No. C 163

Pengaruh Cahaya dan Hidrogen Peroksida Terhadap Escherichia coli

Arana et al. (1992) mempelajari mekanisme bagaimana cahaya-tampak menyebabkan sel Escherichia coli menjadi dorman/tak aktif sehingga tidak dapat dikultur. Cahaya-tampak mungkin beraksi secara langsung terhadap sel Escherichia coli atau menghasilkan produk-cahaya (photoproduct) yang berdampak negatif terhadap sel tersebut. Dalam kondisi tak ada cahaya, peningkatan pemberian hidrogen peroksida (salah satu produk-cahaya yang terbentuk dalam sistem akuatik alami), menyebabkan peningkatan jumlah sel Escherichia coli yang tidak dapat dikultur dan sel yang dapat dikultur tapi rusak. Efek negatif ini tergantung pada konsentrasi peroksida. Dalam kondisi ada cahaya, penambahan senyawa-senyawa yang dapat menghilangkan hidrogen peroksida (misal, katalase, natrium piruvat dan tioglikolat) memberikan efek perlindungan bagi sel-sel Escherichia coli, karena jumlah CFU (Colony Forming Unit; unit pembentuk koloni) pada medium minimal dan pada medium yang pulih dari gangguan adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan bila senyawa-senyawa tersebut tidak ada. Bila hidrogen peroksida disingkirkan, jumlah CFU pada medium yang pulih dari gangguan tidak berkurang secara nyata, yang menunjukkan bahwa sel-sel yang tidak dapa dikultur tidak terbentuk. Hasil penelitian ini membuktikan adanya dampak langsung cahaya-tampak terhadap sel Escherichia coli dan bahwa hidrogen peroksida, yang terbentuk secara fotokimia, bisa menyebabkan Escherichia coli tidak dapat dikultur dalam sistem yang terkena cahaya.

Baca juga
Pengaruh Suhu Terhadap Bakteri di Perairan

Keberadaan Escherichia coli Pada Jaringan Ikan Yang Terluka

Kar et al. (1990) melakukan penelitian sejak Juli 1988 terhadap luka pada ikan yang bersifat wabah di Assam, India, yang menunjukkan bahwa ikan, terutama empat spesies yang tergolong genus Puntius, Channa, Macrognathus, dan Mystus, banyak diserang oleh penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian penyakit mungkin tidak disebabkan oleh polutan organik atau radioaktif dan logam berat. Kultur bakteri menunjukkan adanya koloni Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa dalam luka pada otot permukaan dan jaringan insang, sedangkan studi dengan mikroskop elektron menunjukkan adanya virus di dalam otot dan insang ikan yang sakit.

Baca juga
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Sumber Escherichia coli Pada Ikan Bentik dan Ikan Pelagis

Hansen et al. (2008) melaporkan bahwa Escherichia coli dan bakteri coliform tinja telah diisolasi dari lima spesies ikan bentik dan empat spesies ikan pelagis untuk menentukan peranannya dalam pencemaran tinja di perairan rekreasi. Semua ikan dikumpulkan selama musim gugur tahun 2006 di Southworth Marsh, Minnesota, sebuah pantai publik yang banyak mengandung Escherichia coli. Meskipun bakteri coliform tinja diisolasi dari kesemua spesies ikan, mereka hanya diisolasi dari 66 % dan 72 % dari individu ikan bentik dan ikan pelagis, berturut-turut. Sementara 42 % bakteri coliform tinja dari ikan bentik adalah Escherichia coli, hanya 4 % bakteri coliform tinja dari ikan pelagis adalah Escherichia coli. Spesies ikan yang berbeda bisa mengandung galur Escherichia coli yang identik, dan beberapa ikan bisa mengandung banyak galur Escherichia coli. Galur Escherichia coli yang diperoleh adalah sangat mirip dengan galur yang diisolasi dari sedimen, angsa Kanada, itik mallard dan air limbah. Tak satupun DNA Escherichia coli dari ikan yang sesuai dengan DNA isolat Escherichia coli dari pantai atau perairan manapun. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan bentik mengandung Escherichia coli, adalah lebih tepat untuk menganggap ikan-ikan ini sebagai vektor Escherichia coli dari sumber-sumber lain, bukannya menganggap ikan bentik sebagai sumber baru pencemaran Escherichia coli di lingkungan perairan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dinamika Populasi Escherichia coli di Dalam Usus Ikan

Del Rio-Rodriguez et al.(1997) meneliti keberadaan Escherichia coli dalam usus ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Infeksi dilakukan dengan memberikan makanan yang tercemar tetapi tidak melalui perendaman. Pada suhu 15 oC, Escherichia coli meningkatkan jumlahnya di dalam usus ikan setelah jumlahnya semula turun, dan masih dapat dideteksi setelah 4 hari. Pada suhu 6 oC, bakteri ini terdeteksi selama 2 hari tetapi jumlahnya berkurang terus. Kecenderungan yang sama juga terlihat bila ekstrak isi perut diinokulasi dengan Escherichia coli secara in vitro (di luar tubuh mahluk hidup), setelah menurun pada awalnya, pertumbuhan bakteri kembali pulih. Isi perut secara in vitro juga merupakan lingkungan yang cocok untuk transfer kekebalan dengan perantaraan plasmid.

Kekebalan terhadap oksitetrasiklin telah berhasil ditransfer dari Aeromonas salmonicida ke Escherichia coli. Hal ini tidak dapat dilakukan secara in vivo (di dalam tubuh mahluk hidup), mungkin karena inokulum Aeromonas salmonicida untuk setiap ikan tidak cukup banyak sebab ia tidak dapat mengering dengan baik pada pakan pelet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suhu sekitar 15 oC, keberadaan Escherichia coli pada ikan tidak bisa dijadikan indikator bahwa ikan tersebut baru-baru ini berenang melewati perairan yang tercemar. Keberadaan bakteri ini mungkin disebabkan infeksi telah terjadi beberapa hari yang lalu sebelum ikan diteliti, dan infeksi tersebut mungkin terjadi di tempat yang jauh dari lokasi penelitian. Selain itu, meskipun transfer kekebalan terhadap antibiotik bisa terjadi di dalam usus, kemungkinan dampak hal ini terhadap manusia adalah rendah (Del Rio-Rodriguez et al., 1997).

Baca juga
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Escherichia coli Dalam Usus Ikan Laut : Kekebalannya Terhadap Antibiotik dan Logam Berat

Alves De Lima E Silva dan Hofer (1993) mengisolasi Escherichia coli dari saluran usus ikan laut yang ditangkap di sepanjang pantai tercemar di Rio de Janeiro, Brazil, dan meneliti bakteri ini dalam hal kekebalannya terhadap tujuh jenis antibiotik dan empat logam berat. Hampir 40 % dari galur bakteri yang diamati adalah kebal terhadap satu atau beberapa jenis antibiotik; yang dominan adalah monoresitansi (satu-kekebalan) dan biresistansi (dua-kekebalan). Kekebalan total terhadap logam berat adalah 70,7 %, dan kekebalan terhadap logam berat adalah lebih kuat daripada kekebalan terhadap antibiotik saja. Kekebalan terhadap merkuri sangat berkaitan dengan kekebalan terhadap antibiotik dan terutama dengan kekebalan ganda. Sebagian besar galur yang dianalisis mentransfer kekebalan kepada galur penerima selama konjugasi.

Baca juga
Antibiotik dari Bakteri, Alga Laut dan Mimi

Air Buangan Hatchery Menyebabkan Escherichia coli Kebal Antibiotik

Stachowiak et al. (2010) mempelajari dampak air buangan dari hatchery ikan tawar (ikan trout dan kerabatnya) terhadap keberadaan mikroorganisme kebal-antibiotik di sungai kecil. Selama 6 bulan sebelum penelitian, hatchery ini tidak menggunakan antibiotik, namun memakai berbagai jenis biosida secara rutin untuk tujuan kebersihan. Bakteri heterotrofik dan Escherichia coli diisolasi baik dari sampel kolom air maupun sedimen di lokasi yang terletak di bagian hulu (atas) dan bagian hilir (bawah) hatchery, juga dari air buangan hatchery itu sendiri. Isolat yang dipilih secara acak (kira-kira 96 isolat per lokasi) diuji dalam hal kekebalannya terhadap antibiotik ampicillin, cephalexin, eritromisin dan tetrasiklin.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Stachowiak et al. (2010) menyimpulkan bahwa kekebalan terhadap sedikitnya satu jenis antibiotik adalah lebih dari 30 % baik untuk isolat bakteri heterotrofik maupun Escherichia coli dari setiap lokasi sampel. Tidak ada perbedaan nyata antara lokasi-lokasi pengambilan sampel dalam hal proporsi isolat bakteri heterotrofik yang kebal antibiotik apapun. Proporsi isolat Escherichia coli yang kebal tetrasiklin pada sampel air dan sedimen di lokasi penelitian bagian hilir (lokasi ini menerima air buangan) hatchery adalah secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada air atau sedimen di lokasi bagian hulu (lokasi ini tidak menerima air buangan hatchery). Hasil penelitian ini mendukung kesimpulan bahwa hatchery mungkin merupakan sumber mikroorganisme kebal-tetrasiklin bahkan ketika hatchery tersebut berhenti menggunakan antibiotik ini.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 14 November 2013

Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Arsip Cofa No. C 162

Sumber Alami Ion Hidrogen di Perairan

Menurut Cole (1994) bahwa sumber utama ion hidrogen dalam perairan alami adalah berbagai bentuk asam karbonat. Secara umum, sumber karbon dioksida di perairan juga memasok ion hidrogen. Karbon dioksida itu sendiri bisa berasal dari atmosfer yang masuk ke perairan bersama air hujan. Air hujan dalam kondisi setimbang dengan CO2 atmosfer memiliki pH sekitar 5,6 bila hanya mengandung asam karbonat. Bagaimanapun, analisis menunjukkan bahwa air hujan dengan pH lebih rendah banyak mendominasi beberapa tempat di dunia. Air hujan ber-pH rendah ini terutama disebabkan oleh kegiatan manusia, namun beberapa sumber alam juga turut berperan. Letusan gunung berapi mencemari atmosfer dengan sulfur dioksida (SO2), suatu gas yang sangat mudah larut hingga membentuk H2S. Senyawa yang terakhir ini bersifat asam lemah namun oksidasi lebih lanjut akan membentuk H2SO4 yang bersifat asam kuat. Sumber alami lain ion hidrogen di perairan adalah asam-asam organik yang secara kolektif disebut asam humus. Asam humus berasal dari material tumbuhan yang membusuk dengan perantaraan enzim bakteri. Asam humus lebih kuat daripada asam karbonat, bisa menyebabkan pH perairan turun menjadi sekitar 4,0.

Baca juga
Efek Negatif pH Rendah Bagi Kerang dan Ikan

Pengaruh Penyerapan Karbon Dioksida Oleh Tumbuhan Air Terhadap pH

Boyd (1982) menyatakan bahwa penyingkiran karbon dioksida dari air oleh tumbuhan air meningkatkan pH perairan alami. Hal ini disebabkan konsentrasi karbonat meningkat ketika karbon dioksida diserap dan karbonat ini terhidrolisis menghasilkan ion-ion hidroksil. Pada kebanyakan perairan, anion-anion alkalinitas berhubungan dengan kalsium dan magnesium, dan peningkatan konsentrasi karbonat yang disebabkan penyingkiran karbon dioksida pada akhirnya melebihi kelarutan produk kalsium karbonat. Pengendapan kalsium karbonat cenderung membatasi kenaikan pH karena hidrolisis karbonat merupakan sumber ion hidroksil yang menyebabkan pH naik. Dengan kata lain, pH berbanding langsung dengan konsentrasi karbonat. Pengendapan karbonat oleh kalsium mencegah pH kebanyakan perairan meningkat di atas 9,5 atau 10 di sore hari, bahkan ketika laju fotosintesis tinggi. Bagaimanapun, di beberapa perairan kesadahan kalsium jauh lebih kecil daripada alkalinitas total, dan anion-anion alkalinitas berhubungan dengan magnesium, natrium atau kalium (biasanya natrium). Magnesium karbonat lebih mudah larut daripada kalsium karbonat, sedang natrium dan kalium karbonat sangat mudah larut. Jadi, dalam air yang beralkalinitas tinggi dan berkesadahan kalsium rendah, karbonat yang dihasilkan dari penyingkiran karbon dioksida oleh tumbuhan air akan tertimbun dan nilai pH bisa naik menjadi 11 atau 12.

Baca juga
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi

Fluktuasi pH Air di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) ada saling ketergantungan antara pH, karbon dioksida, bikarbonat dan karbonat. Sebab utama terjadinya perubahan variabel-variabel ini dalam kolam ikan adalah perubahan konsentrasi karbon dioksida akibat fotosintesis dan respirasi. Pengendapan kalsium karbonat akan membatasi penimbunan karbonat dan membatasi kenaikan pH. Sebagai contoh, pH akan naik lebih tinggi dalam larutan natrium bikarbonat daripada dalam larutan kalsium bikarbonat selama penyingkiran karbon dioksida dengan cepat oleh alga. Karena pengaruh karbon dioksida, pH air kolam paling rendah menjelang fajar dan paling tinggi pada sore hari. Fluktuasi harian pH paling besar ketika pertumbuhan fitoplankton cepat. Nilai pH pada awal pagi perlahan-lahan meningkat selama musim pertumbuhan. Pengubahan karbon dioksida menjadi bahan organik oleh fotosintesis lebih besar daripada pelepasan karbon dioksida dari bahan organik oleh respirasi, karena itu pH meningkat. Perairan dengan konsentrasi bikarbonat sedang atau tinggi mempunyai cadangan karbon dioksida yang lebih banyak daripada perairan dengan konsentrasi bikarbonat rendah, sehingga fluktuasi harian pH sering lebih kecil pada yang pertama dibandingkan pada kasus yang terakhir.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Fluktuasi pH Air Danau Selama 11 Tahun

Yoshikawa et al. (2004) memantau fluktuasi pH dan parameter kualitas air lainnya di Sawanoike Pond, Kyoto, Jepang, dari tahun 1993 sampai 2003. Rata-rata pH dan alkalinitas di danau ini selama periode pemantauan adalah 5,53 dan 16 MU.eq/liter, berturut-turut. Nilai-nilai tersebut termasuk terendah untuk hasil pengamatan efek hujan asam terhadap ekosistem perairan di danau-danau Jepang. Tidak ditemukan adanya kecenderungan meningkat maupun menurun untuk variabel-variabel ini selama periode penelitian. Bagaimanapun, konsentrasi H+ di danau ini cenderung berfluktuasi dengan proporsi yang terbalik terhadap ketinggian muka air (r = -0,652) dan berfluktuasi secara proporsional terhadap konsentrasi ion SO42- (r = 0,632). Sebaliknya, koefisien korelasi antara ion H+ dan suhu air maupun antara ion H+ dan konsentrasi klorofil-a adalah rendah (r = -0,143, r = 0,006, berturut-turut), yang menunjukkan bahwa fluktuasi pH tidak disebabkan oleh perubahan suhu air maupun aktivitas fotosintesis. Hasil pemantauan kualitas air ini mencakup pula kasus penurunan pH yang tak lazim selama bulan Oktober dan November 2000, yang menunjukkan pengaruh erupsi (letusan gunung) di Pulau Miyake-jima terhadap kualitas air danau Sawanoike Pond. Pada musim panas, konsentrasi oksigen terlarut di lapisan air dasar danau menurun (minimum 1,9 mg/liter) akibat meningkatnya alkalinitas (maksimum 52 MU.eq/liter) dan pH (maksimum 6,5) di air lapisan dasar.

Baca juga
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Fluktuasi pH Air Danau Akibat Perubahan Ketinggian Muka Air

Yoshikawa et al. (2005) melaporkan bahwa berdasarkan studi paleolimnologi terhadap perubahan keasaman danau Sawanoike Pond di Kyoto, Jepang, pH air kolam ini menurun sekitar 0,5 satuan dari tahun kira-kira 1960 sampai 1985. Peningkatan polusi udara yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil merupakan penyebab yang mungkin untuk pengasaman danau ini; bagaimanapun, pengaruh perubahan ketinggian muka air juga bisa menjadi penyebab perubahan pH air danau. Data menunjukkan adanya kemungkinan ketinggian muka air danau ini menurun sejak tahun 1960-an. Berdasarkan pemantauan kualitas air Sawanoike Pond selama 11 tahun, pH air danau ini cenderung berfluktuasi sejalan dengan ketinggian muka air. Walaupun beberapa penelitian membuktikan terjadinya penurunan pH air sungai selama meningkatnya curah hujan, namun hanya ada sedikit informasi mengenai pengaruh perubahan tinggi muka air terhadap pH air danau. Di Sawanoike Pond, pH air selama periode meningkatnya ketinggian muka air adalah sekitar 0,3 satuan lebih tinggi daripada selama periode menurunnya ketinggian muka air. Derajat fluktuasi pH air Sawanoike Pond yang menyertai perubahan ketinggian muka air adalah nyata. Nilai pH air danau ini yang relatif tinggi selama periode meningkatnya ketinggian muka air disebabkan terutama oleh tingginya alkalinitas dalam air bawah-permukaan yang masuk ke danau tersebut.

Baca juga
pH Rendah, Ikan dan Akuakultur

Kecenderungan Perubahan pH Air Laut

Dawson dan Spannagle (2009) menyatakan bahwa laut pada kondisi ekologi yang seimbang akan mempertahankan nilai pH yang relatif konstan, yaitu sekitar 8,2. Bagaimanapun, peningkatan konsentrasi CO2 atmosferik akibat kegiatan manusia selama satu abad yang lalu menyebabkan air laut menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang selalu meningkat. Meningkatnya penyerapan CO2 selama satu abad tersebut menyebabkan rata-rata pH air laut jatuh sekitar 0,1 unit, dari 8,2 menjadi 8,1. Nilai ini tampaknya kecil, tetapi karena pH diukur pada skala logaritma maka penurunan 0,1 unit mewakili peningkatan 25 % konsentrasi ion hidrogen. Dugaan nilai pH air laut di masa depan bervariasi sesuai dengan asumsi tentang emisi gas karbon dioksida dan proses-proses biofisika. “Intergovernmental Panel on Climate Change” (IPCC) menduga bahwa, berdasarkan kecenderungan emisi yang diharapkan, pH air laut akan turun sebesar 0,14 – 0,35 poin pada tahun 2100 tergantung skenario emisi. Hal ini berarti bahwa pH air laut akan menjadi serendah 7,75 pada akhir abad ini; nilai tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen sampai sebesar 180 % dibandingkan dengan nilai pH pada era pra-industri. Perubahan pH air laut sebesar ini belum pernah terjadi selama sedikitnya 20 juta tahun atau mungkin lebih. Setelah dua atau tiga abad lagi, pH air laut bisa jatuh menjadi 7 (bila emisi CO2 tinggi) atau stabil pada nilai sekitar 7,9 (bila emisi CO2 rendah).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 12 November 2013

Ikan Kowan (Ctenopharyngodon idellus) : Biologi dan Pengaruhnya Terhadap Ekologi Perairan

Arsip Cofa No. C 161

Perbandingan Komunitas Bakteri Usus Pada Ikan Kowan Dari Dua Habitat Yang Berbeda

Jiajia et al. (2012) melaporkan bahwa bakteri dalam usus vertebrata membentuk hubungan yang erat dengan inangnya. Kondisi ekternal dan internal inang, termasuk habitatnya, mempengaruhi komunitas bakteri usus. Sebaliknya, komunitas bakteri usus dapat mempengaruhi inang, terutama dalam hal daya tahan terhadap penyakit. Ketidak seimbangan komposisi komunitas bakteri usus dianggap merupakan faktor utama yang mempengaruhi kerentanan ikan inang terhadap penyakit. Timbulnya penyakit ikan mungkin sebagian disebabkan oleh perubahan populasi bakteri usus, yang diakibatkan oleh banyak faktor, termasuk makanan dan kondisi lingkungan tempat hidup inangnya. Telah dilakukan penelitian untuk membandingkan komunitas bakteri usus ikan kowan yang dikumpulkan dari kolam budidaya dan danau. Dalam penelitian ini telah berhasil diidentifikasi 66 unit bakteri yang secara taksonomi berbeda. Tidak ada korelasi yang nyata antara keragaman genetik ikan kowan dengan komunitas bakteri ususnya. Cetobacterium tampaknya lebih sering ditemukan di dalam usus ikan kowan yang dikumpulkan dari kolam.

Baca juga
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Pengaruh Introduksi Ikan Kowan Terhadap Habitat Asli

Boyd (1982) menyatakan bahwa ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) efektif dalam membasmi tumbuhan air sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pengendali biologis terhadap gulma air. Pengalaman terdahulu menunjukkan bahwa upaya memperkenalkan binatang dari luar (atau “introduksi”) sering menimbulkan bahaya ekologis. Banyak ilmuwan khawatir bila ikan kowan memberikan dampak tak diinginkan terhadap ikan asli dan populasi alami. Semula tidak ada laporan bahwa ikan kowan berhasil melakukan reproduksi alami di Amerika Serikat, meskipun ikan ini sudah tersebar luas di 35 negara bagian dan di sejumlah sistem sungai. Namun kemudian banyak bukti yang menunjukkan bahwa ikan kowan telah dapat bereproduksi secara alami di Sungai Mississippi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa ikan kowan menurunkan produksi spesies budidaya primer, namun peneliti lain melaporkan tidak ada penurunan seperti ini. Ikan kowan mengurangi vegetasi yang tumbuh di garis pantai perairan, dan lama penangkapan ikan pantai menjadi lebih dari dua kali. Bagaimanapun, masih belum cukup data untuk mengevaluasi pengaruh potensial ikan kowan terhadap habitat asli di mana makrofita air sering merupakan komponen ekosistem yang dikehendaki.

Baca juga
Pengendalian Tumbuhan Air Secara Biologis dan Kimiawi

Dampak Ikan Kowan Terhadap Ekologi Danau

Mitzner (1978) melaporkan bahwa introduksi ikan kowan di Danau Red Haw, Iowa, menyebabkan penurunan kelimpahan makrofita air dari 2.438 gram/m2 pada tahun 1973 menjadi 211 gram/m2 pada tahun 1976, dengan spesies tumbuhan air Potamogeton, Elodea, Ceratophyllum, dan Najas semuanya dikendalikan secara efektif oleh ikan kowan. Selama tahun 1974 – 1976 nilai rata-rata nitrit, nitrat, biological oxygen demand dan kekeruhan menunjukkan penurunan secara nyata, sedangkan alkalinitas meningkat tajam dari rata-rata 115 mg/liter pada tahun 1974 menjadi 132 mg/liter pada tahun 1976. Konsentrasi rata-rata fosfat organik dan anorganik perlahan-lahan meningkat selama penelitian, tetapi tidak berbeda nyata. Rata-rata produksi primer hampir sama untuk tahun 1974 – 1975 yaitu sekitar 2 gram karbon/m2/hari, tetapi menurun secara nyata menjadi 1,35 gram karbon/m2/hari pada tahun 1976. Pertumbuhan ikan kowan meningkat tajam dari bobot rata-rata 380 gram pada bulan Juli 1973 menjadi 6.847 gram pada bulan Oktober 1976. Kondisi badan berkisar dari 1,05 – 2,02 dengan rata-rata kondisi lebih dari 1,37 pada Oktober dan 1,25 – 1,30 pada Januari – Februari. Ikan kowan mengkonsumsi semua kelompok tumbuhan utama di danau dengan kesukaan terbesar pada Najas dan Potamogeton.

Mitzner (1978) menambahkan bahwa pergerakan, perilaku dan aktivitas yang diamati dengan telemetri ultrasonik menunjukkan bahwa ikan kowan menghuni semua bagian danau, tetapi secara keseluruhan yang lebih disukai adalah bagian yang dangkal. Sebagian besar waktunya dihabiskan ikan kowan dengan berdiam di dekat hamparan tumbuhan air. Aktivitas pada malam maupun siang hari adalah sama. Penurunan biomas vegetasi sebesar 91 % dalam empat tahun meningkatkan peluang pemancing untuk memancing ikan dari pantai. Selama penelitian, popularitas pemancingan pantai ini meningkat 241 % dengan tingkat keberhasilan pemancingan lebih dari 0,70 ikan per jam.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Ikan Kowan Untuk Membasmi Tumbuhan Air dan Larva Nyamuk

Mamedniyazov (1990) berpendapat bahwa rejim hidrologis bendungan-bendungan di Turkmenistan sangat menguntungkan bagi tumbuhan bawah-air, dan sebagian besar bendungan tersebut mengalami pertumbuhan vegetasi yang sangat berlebihan akibat kedangkalannya. Contoh yang jelas adalah bendungan Kutlinskoye dan Vostochnoye yang selama tahun-tahun pertama keberadaannya dipenuhi oleh vegetasi bawah-air sampai 70 % dan 100 %, berturut-turut. Padahal makrofita air memainkan peranan penting dalam siklus hidup larva nyamuk Anopheles pulcherrimus. Dinamika populasi Anopheles pulcherrimus biasanya paralel dengan variasi pertumbuhan vegetasi air. Pada September 1970, juvenil ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) ditebarkan di bendungan-bendungan ini. Beberapa bulan kemudian, pertumbuhan vegetasi air yang berlebihan berhenti sama sekali. Hal ini selanjutnya menyebabkan hilangnya larva Anopheles pulcherrimus.

Baca juga
Pengaruh Kekeruhan Terhadap Binatang Air

Kesukaan Ikan Kowan Terhadap Tumbuhan di Perairan Menggenang dan Mengalir

Pine et al. (1989) melaporkan bahwa ikan kowan triploid, Ctenopharyngodon idellus, ditebarkan bersama tiga spesies tumbuhan air (Potamogeton pectinatus, Myriophyllum spicatum, dan Potamogeton nodosus) di dalam kanal dengan air menggenang dan mengalir pada musim dingin, semi dan panas. Konsumsi tumbuhan oleh ikan kowan triploid pada musim dingin adalah rendah tetapi meningkat tajam pada musim semi dan panas. Berdasarkan panjang tunas tumbuhan, untuk perairan menggenang pada musim semi kesukaan ikan kowan triploid adalah Potamogeton pectinatus = Potamogeton nodosus, Potamogeton nodosus = Myriophyllum spicatum, Potamogeton pectinatus > Myriophyllum spicatum; untuk perairan mengalir Potamogeton pectinatus = Myriophyllum spicatum = Potamogeton nodosus. Semua tumbuhan dari ketiga spesies ini menghasilkan tunas yang lebih panjang di dalam kanal berair mengalir daripada di dalam kanal berair menggenang. Perbedaan panjang tunas mungkin bisa mengubah laju konsumsi dan kesukaan ikan kowan triploid.

Kondisi air mengalir juga memberikan efek yang bervariasi terhadap kandungan nutrisi dalam tumbuhan, seperti ditunjukkan oleh analisa proksimat bahan kering dan persen lemak, abu, protein, serat kasar, ekstrak nitrogen bebas dan serat deterjen asam. Kadar abu secara konsisten lebih tinggi pada ketiga spesies tumbuhan di kanal berair mengalir. Hal ini mencerminkan respon morfologis tumbuhan terhadap air mengalir. Tak satupun variabel analisis proksimat tumbuhan yang berkorelasi secara statistik dengan kesukaan ikan terhadap tumbuhan. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa kemudahan-diperoleh dan kemudahan-dikunyah adalah lebih penting daripada kualitas nutrisi tumbuhan dalam menentukan kesukaan ikan kowan terhadap tumbuhan. Konsumsi alga oleh ikan kowan triploid, bagaimanapun, menyulitkan untuk menentukan korelasi antara faktor nutrisi dan konsumsi tumbuhan air berpembuluh (Pine et al., 1989).

Baca juga
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 07 November 2013

Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air

Arsip Cofa No. C 160

Pengaruh Herbisida Terhadap Tumbuhan Air di Danau

Wagner et al. (1997) melaporkan bahwa telah dilakukan pemberian herbisida di empat danau untuk mengatasi serangan tumbuhan air Myriophyllum spicatum L. di Wisconsin antara tahun 1997 dan 2001 dengan menggunakan fluridone berdosis 6–16 mikrogram/liter. Data pasca-perlakuan tahunan (4 – 7 tahun) dipelajari untuk menduga (1) pengaruh herbisida terhadap tumbuhan eksotik (tumbuhan yang berasal dari daerah lain); (2) perubahan komunitas tumbuhan asli; dan (3) pengaruh terhadap kejernihan air. Perubahan pada danau yang diberi perlakuan dibandingkan dengan danau yang tidak ditangani.

Berdasarkan hasil penelitian ini, Wagner et al. (1997) menyimpulkan bahwa perlakuan fluridone menyebabkan kelimpahan Myriophyllum spicatum dan tumbuhan eksotik menjadi mantap-kembali di 3 dari 4 danau perlakuan. Komunitas tumbuhan asli mengalami pergeseran di keempat danau setelah pemberian fluridone. Terjadi penurunan kelimpahan secara tajam, bila dibandingkan dengan danau yang tak diberi perlakuan, untuk tumbuhan air Elodea canadensis, Ceratophyllum demersum, dan Najas flexilis, yang menunjukkan adanya efek langsung pemberian fluridone. Sebaliknya, bila dibandingkan dengan danau yang tak diberi perlakuan, kelimpahan Potamogeton crispus dan Chara spp meningkat secara tajam di 1 dari 2 danau yang diberi perlakuan. Kedalaman Secchi berkurang secara nyata di 2 dari 3 danau. Di masa depan pemberian herbisida ini harus memperhatikan, antara lain, tumbuhan asli yang dominan, kepekaannya terhadap fluridone dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan berkaitan dengan penurunan kejernihan air.

Baca juga
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Jenis Tumbuhan Air Menentukan Efektivitas Herbisida

Boyd (1982) mengutip laporan peneliti lain mengenai pengendalian gulma air secara kimia di kolam pertanian. Dilaporkan bahwa dua atau tiga kali pemberian 1 mg/liter tembaga sulfat, berjarak 2 atau 3 hari, adalah efektif dalam mengendalikan Cladophora dan Spirogyra. Pemberian 3 mg/liter tembaga sulfat diperlukan untuk membunuh Chara. Endothal sebanyak 1 – 3 mg/liter efektif terhadap alga berfilamen dan tumbuhan bawah-air tetapi tidak efektif terhadap tumbuhan air berdaun terapung atau Chara. Silvex sebanyak 2 – 3 mg/liter membunuh tumbuhan air tenggelam dan beberapa jenis tumbuhan air yang berdaun terapung tetapi tidak membunuh Chara. Gabungan herbisida dengan jumlah yang sama antara Endothal dan Silvex sebanyak 1 – 3 mg/liter tidak lebih efektif untuk membasmi tumbuhan bawah-air daripada bila kedua jenis herbisida ini digunakan sendiri-sendiri, tetapi campuran tersebut memberikan pengaruh lebih besar terhadap populasi campuran tumbuhan air tenggelam dan tumbuhan air berdaun terapung. Paraquat dan Diquat pada dosis 3 mg/liter efektif terhadap tumbuhan air tenggelam tetapi tidak terhadap Chara. Fenac (17 kg/ha), simazin (22 kg/ha) dan 2,4-D (34 – 35 kg/ha) efektif terhadap gulma bawah-air. Pemberian herbisida tidak secara langsung membahayakan ikan dan tidak berpengaruh besar terhadap populasi organisme makanan ikan. Bagaimanapun, beberapa ikan mati akibat kehabisan oksigen bila sangat banyak Chara dan alga lain yang terbunuh.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Air Pengencer dan Tembaga Terhadap Efektivitas Herbisida

Kammerer dan Ledson (2001) menyatakan bahwa berbagai jenis herbisida dan algasida yang mengandung tembaga telah dikembangkan untuk mengendalikan tumbuhan air. Herbisida “diquat dibromide” dengan merk dagang Reward sering digunakan bersama dengan material berbahan dasar tembaga untuk memperkuat efek herbisida atau algisida. Biasanya herbisida dicampur dengan sedikit air (20 ml Reward dan 100 ml air) untuk memaksimumkan luas penyemprotan herbisida tersebut. Tipe air yang diuji untuk mengencerkan herbisida adalah sebagai berikut : air suling (pH 7,79), air sadah (pH 7,68 dan konsentrasi ion kalsium dan magnesium 349 ppm), air asam (pH 4,39) dan air basa (pH 9,40). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Reward yang digabungkan dengan semua jenis herbisida bertembaga bisa diencerkan dengan berbagai tipe air, baik air sadah, basa, asam maupun air suling. Ketidak layakan campuran Reward dan herbisida bertembaga bisa disebabkan oleh kurangnya air pengencer, pengadukan yang tidak sempurna dan/atau terlalu lama didiamkan dalam wadah (lebih dari 6 jam).

Baca juga
Pengendalian Tumbuhan Air Secara Biologis dan Kimiawi

Manipulasi Ketinggian Air Bendungan Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Hydrilla

Manning dan Johnson (1975) melakukan studi pengendalian tumbuhan air Hydrilla verticillata di bendungan Louisiana, AS, dengan kombinasi teknik manipulasi ketinggian air dan pemberian herbisida. Hydrilla dapat tumbuh sampai kedalaman 6 – 7 meter dan umumnya membentuk kumpulan yang sedemikian rapat hingga burung dan hewan kecil dapat berjalan di atasnya. Survei menunjukkan peningkatan serangan Hydrilla : semula kurang dari 0,8 ha pada Januari 1973 menjadi 216 ha pada November 1973. Hal ini membuktikan dengan jelas kemampuan Hydrilla untuk memencar dengan cepat dan menyerang daerah-daerah baru. Metode kontrol yang efektif diperlukan bila badan air yang diserang Hydrilla dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Teknik manipulasi fluktuasi ketinggian air yang dilakukan di Danau Sibley, Louisiana, pada tahun 1973 – 1974 sangat efektif dalam mengendalikan semua gulma air. Disimpulkan bahwa metode pengendalian terpadu yang menggabungkan fluktuasi ketinggian air dan pemberian herbisida (diquat dan tembaga sulfat pentahidrat) efektif mengurangi populasi Hydrilla verticillata sampai 100 %.

Baca juga
Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Efektivitas Herbisida Fluridone Dalam Mengendalikan Hydrilla dan Dampaknya

O’Dell et al. (1995) melaporkan bahwa pada tahun 1988 Hydrilla menyerang danau Istokpoga, Florida, yang berdampak parah bagi banyak fungsi air. Danau kemudian ditangani dengan herbisida fluridone untuk mengendalikan Hydrilla. Data kimia air selama lima tahun (1988 – 1992) menunjukkan bahwa penurunan populasi Hydrilla akibat pemberian herbisida menyebabkan peningkatan konsentrasi fosfor total dan klorofil-a serta penurunan kedalaman Secchi. Konsentrasi nitrogen total antara sebelum dan setelah perlakuan tidak meningkat secara nyata. Pemberian fluridone untuk danau Istokpoga menelan biaya sekitar $ 3,7 juta (sampai tahun 1992) dan hanya efektif untuk sementara waktu dalam mengendalikan Hydrilla.

Baca juga
Kanker dan Senyawa Anti Kanker Dari Tumbuhan dan Hewan Air

Minyak dan Deterjen Untuk Meningkatkan Efektivitas Herbisida

Boyd (1982) menyarankan penggunaan minyak dan deterjen untuk meningkatkan efektivitas herbisida dalam membasmi jenis tumbuhan air yang daunnya dilapisi lilin. Daun banyak jenis tumbuhan air yang mengapung dan mencuat memiliki lapisan lilin tebal yang menyebabkan campuran herbisida-air atau larutan herbisida membentuk embun dan meluncur jatuh; hal ini mengurangi jumlah bahan aktif herbisida yang menembus permukaan daun. Bahan kimia “surfactant” (bahan aktif-permukaan) bisa ditambahkan ke dalam larutan herbisida-air untuk memencarkan larutan ini pada permukaan tumbuhan. Deterjen rumah merupakan surfactant yang sesuai. Bila herbisida yang dapat dilarutkan minyak dicampur dengan air, maka bahan pengemulsi bisa ditambahkan, kemudian campuran ini terus-menerus diaduk untuk mencegah memisahnya minyak dan air. Herbisida larut-minyak juga bisa dilarutkan di dalam minyak tanah, kerosen atau bahan bakar diesel. Larutan seperti ini sering menunjukkan aksi herbisidal yang lebih baik karena minyak membantu herbisida dalam menembus lapisan lilin dan karena minyak itu sendiri bersifat racun bagi tumbuhan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 06 November 2013

El Nino Southern Oscillation (ENSO) : Pengaruhnya Terhadap Komunitas Biologi Laut

Arsip Cofa No. C 159

Dinamika Bakterioplankton Selama El Nino

Ducklow et al. (1995) mempelajari stok dan dinamika bakterioplankton di lapisan air 200 meter ke atas pada transek sepanjang garis bujur 140 oBB, pada bulan Maret – April dan Oktober 1992. Biomas bakteri zona eufotik menyumbangkan rata-rata 70 % karbon fitoplankton, baik pada bulan Maret – April maupun Oktober. Nilai yang cukup tinggi ini disebabkan oleh rendahnya biomas fitoplankton yang merupakan ciri khas zona “high nutrient, low chlorophyll” (HNLC; zat hara tinggi, klorofil rendah), sementara kelimpahan bakteri tinggi, dengan rata-rata 6 – 8 x 108 sel/liter di lapisan kedalaman 100 meter ke atas. Laju turnover dan, dengan demikian, laju produksi adalah rendah, dengan produksi bakteri (PB) rata-rata kurang dari 20 % produksi primer (PP). Biomas bakterioplankton lebih tinggi dan produksinya lebih rendah pada kondisi El Nino, yang sering terjadi di bulan Oktober, dibandingkan dengan hasil pengamatan pada kondisi El Nino di bulan Maret – April.

Secara keseluruhan, produksi bakteri memberikan sumbangan kecil bagi produksi primer di daerah dekat katulistiwa selama berlangsungnya El Nino. Diduga bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh dua faktor : (1) rasio BP : PP secara umum rendah (yakni, < 20 %) di perairan samudra, dan (2) bakteri berespon lebih lambat di daerah upwelling daripada fitoplankton, sehingga puncak kelimpahan bakteri dan fitoplankton selalu tidak bersamaan. Kelambatan respon bakteri ini bisa berkurang selama El Nino ketika kondisi upwelling berkurang (Ducklow et al., 1995).

Baca juga
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Perubahan Distribusi Plankton Akibat ENSO

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa data mengenai perubahan lingkungan dan stok ikan akibat ENSO menunjukkan bahwa El Nino berdampak besar bagi perikanan. Hingga kejadian ENSO 1982 – 1983, perubahan-perubahan tersebut semula diduga hanya mempengaruhi distribusi dan rekruitmen stok ikan anchovy Peru serta menyebabkan transpor organisme tropis di lepas pantai California dan Peru ke arah kutub. Sekarang diketahui bahwa pengaruh ENSO sangat luas. Dari Pasifik ekuatorial tengah sampai garis pantai Amerika Selatan, konsentrasi klorofil di permukaan laut adalah rendah secara tak wajar, dan masa air berklorofil tinggi bergerak ke arah timur-laut, bukannya ke arah barat, dari Galapago sebagai akibat perubahan pola sirkulasi air laut. Produksi primer neto tumbuhan menunjukkan penurunan 1,1 x 1015 ton karbon untuk Pasifik timur saja; nilai ini sama dengan 1,1 x 107 ton produksi ikan dengan asumsi rantai makanan tiga tingkat trofik. Konsentrasi klorofil maksimum di lapisan air yang dalam adalah dua kali nilai normal di lepas pantai California dan Peru; dinoflagelata ekuatorial (Ceratium, Pyrophycus) dan diatom oseanik (Planktoniella, Ethmodiscus) menggantikan diatom yang normalnya ada di pesisir (misal, Nitzschia). Dinoflagelata penyebab pasang merah di pesisir dan Mesodinium rubum tersebar luas di lepas pantai Peru. Biomas kopepoda epiplankton kecil adalah rendah di seluruh Pasifik timur, sedangkan kopepoda oseanik (Acrocalanus, Ischnocalanus, Euchaeta) ditemukan di pesisir Peru.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dampak Biologis Perubahan Kondisi Oseanografis Akibat El Nino

Sugimoto et al. (2001) mempelajari dampak El Nino terhadap komunitas biologi di Pasifik Utara bagian barat, dengan menitikberatkan pada interaksi antara ENSO dan angin muson Asia Timur. Dampak El Nino terhadap iklim di Timur Jauh dibuktikan dengan adanya fenomena “musim panas yang dingin dan musim dingin yang hangat”. Pengaruh pergeseran rejim iklim akibat aktivitas El Nino terhadap komunitas biologi laut adalah sebagai berikut : (1) Di Pasifik ekuator bagian barat, kolam air hangat meluas ke arah timur akibat El Nino, dan hal ini menyebabkan daerah penangkapan (fishing ground) utama ikan cakalang dan tuna mata besar bergeser ke arah timur; (2) Front salinitas air permukaan pada daerah Arus Ekuatorial Utara mundur ke arah selatan, yang berasosiasi dengan kejadian El Nino. Hal ini menyebabkan daerah pemijahan ikan sidat Jepang bergeser ke arah selatan sehingga terjadi penurunan transpor larva sidat tersebut ke Kuroshio dan daerah pesisir Jepang, yang selanjutnya mengakibatkan rekruitmen menjadi lemah; (3) Intensifikasi pendinginan musim dingin dan pengadukan vertikal terkait kejadian La Nina (El Nino) di daerah subtropis Pasifik Utara menyebabkan penurunan konsentrasi klorofil permukaan air serta penurunan aktivitas makan pada ikan sardin Jepang dan cumi-cumi Neon selama musim dingin sampai awal musim semi. (4) Pergerakan arus Oyashio ke arah selatan yang menjadi sangat melemah di pesisir timur Jepang selama tahun 1988 – 1991 menyebabkan penurunan konsentrasi klorofil dan biomas mesozooplankton pada akhir musim semi sampai awal musim panas di daerah peralihan Kuroshio-Oyashio. Terjadi perubahan spesies dominan ikan pelagis kecil akibat kegagalan rekruitmen ikan sardin Jepang.

Baca juga
Terumbu Karang : Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino

Pengaruh El Nino Terhadap Ikan dan Hewan Laut Lain

Menurut Longhurst dan Pauly (1987), di lepas pantai Ekuador, Peru dan di Galapagos fauna ikan pelagis mengalami perubahan besar, dan 61 spesies ikan asing ditemukan di lepas pantai Peru. Perikanan udang tropis mengalami peningkatan tajam di lepas pantai Ekuador dan Peru, padahal kedua tempat ini terletak di luar daerah distribusi udang tersebut. Perikanan scallop (simping) perairan-hangat berkembang di lepas pantai Peru, sedangkan hasil tangkap ikan demersal turun menjadi setengahnya di lepas pantai Ekuador. Ikan anchovy Peru bergerak ke bagian laut yang lebih dalam dan kebanyakan di antaranya mati akibat kelaparan atau kehabisan oksigen, ikan ini selanjutnya hilang sama sekali dari pesisir Peru. Ikan yang kemudian kembali ke pesisir Peru adalah mungkin bagian populasi ikan yang bertahan hidup yang bermigrasi ke selatan pada awal terjadinya El Nino. Ikan sardin, yang pada tahun-tahun belakangan ini menempati daerah distribusi ikan anchovy lama di Peru, bermigrasi ke selatan dan hampir semuanya meninggalkan pesisir Peru. Baik ikan anchovy maupun sardin mengalami mortalitas yang tak lazim di daerah lepas pantai yang diakibatkan oleh ikan pemangsa pelagis; musim reproduksi tahun 1982 untuk kedua spesies ikan ini sangat singkat.

Baca juga
Gerombolan Ikan

Sebaliknya, akibat El Nino ikan jack mackerel dan mackerel mengalami tahun-tahun pemijahan yang istimewa di lepas pantai Peru. Gerombolan lumba-lumba berbintik menunjukkan distribusi tak wajar di seluruh Pasifik tropis timur, dan tuna albakora mengubah jalur migrasinya di seluruh Samudra Pasifik Utara. Di Galapagos, dan di pesisir Amerika Selatan, burung laut gagal berkembang biak. Populasi burung dewasa pelikan dan cormoran terbang ke selatan dan mengalami mortalitas yang sangat tinggi. Anak-anak anjing laut berbulu mengalami aborsi atau tidak bisa bertahan hidup secara normal, dan banyak anjing laut anak-anak serta dewasa kelaparan. Reproduksi iguana laut gagal karena makanannya yang berupa alga intertidal digantikan oleh spesies alga yang tak bisa dimakan (Longhurst dan Pauly, 1987).

Baca juga
Suhu dan Kandungan Panas Perairan : Aspek Fisik

Pengaruh El Nino Terhadap Perikanan dan Sumberdaya Ikan

Espino (1991) mengamati karakteristik ikan demersal di lepas pantai Peru selama dan setelah kejadian El Nino. Terlihat bahwa selama berlangsungnya El Nino, sebagian besar spesies ikan demersal bermigrasi ke arah selatan; spesies ikan penghuni lapisan permukaan laut bergerak turun ke arah dasar, selain itu asosiasi dan dominansi spesies juga berubah. Semua perubahan ini mempengaruhi perikanan karena berkurangnya konsentasi ikan dan berkurangnya ketersediaan ikan sehingga mortalitas ikan akibat penangkapan berkurang. Semua perubahan ini menyebabkan rekruitmen yang lebih baik sehingga pertumbuhan ikan lebih besar dan pemulihan populasi lebih cepat. Selain itu, perikanan yang terpengaruh oleh migrasi ikan-ikan tersebut mengalihkan sasarannya akibat kemunculan sumberdaya hayati lain, misalnya udang, yang dapat mendukung perikanan selama El Nino berlangsung.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 01 November 2013

Ekskresi Nitrogen dan Amonia : Pengaruh Faktor Biotik dan Lingkungan

Arsip Cofa No. C 158

Pengaruh Kelaparan Terhadap Pola Harian Ekskresi Nitrogen

Brett dan Zala (1975) mengukur laju ekskresi amonia dan urea pada anak ikan sockeye salmon (Oncorhynchus nerka) di perairan tawar, pengukuran dilakukan pada selang waktu 2 – 3 jam sepanjang hari, rata-rata bobot ikan 29 gram dan suhu 15 oC. Satu kelompok ikan diberi pakan dengan ransum tetap sedangkan kelompok lain dilaparkan selama 22 hari. Ekskresi amonia meningkat tajam menjadi 35 mg N/kg per jam, 4 – 4,5 jam setelah mulai makan (pukul 08.30) dan turun ke tingkat dasar 8,2 mg N/kg per jam antara pukul 02.00 dan 08.00. Ekskresi urea relatif tetap stabil pada nilai rata-rata 2,2 mg N/kg per jam sepanjang hari. Ikan yang lapar menunjukkan laju ekskresi nitrogen yang mirip baik dengan ekskresi urea yang stabil maupun dengan ekskresi amonia tingkat dasar pada ikan yang diberi pakan. Konsumsi oksigen naik hingga mencapai puncak 370 mg oksigen/kg per jam tepat sebelum dan selama periode makan 1 jam, kemudian menurun menjadi 170 mg oksigen/kg per jam pada pukul 03.00. Untuk ikan yang lapar, fluktuasi metabolik harian ini berlangsung mulai dari awal (namun bervariasi dan nilainya makin berkurang), sedangkan ekskresi nitrogen tidak menunjukkan respon seperti ini. Disimpulkan bahwa untuk salmon pada suhu 15 oC yang tidak mengalami stres, amonia merupakan produk ekskresi utama metabolisme nitrogen eksogen.

Baca juga
Penanganan Kasus Keracunan Amonia di Akuarium dan di Kolam Ikan

Pengaruh Kadar Protein Pakan dan Tingkat Pemberian Pakan Terhadap Ekskresi Amonia

Chakraborty et al. (1992) mempelajari pengaruh kadar protein pakan dan tingkat pemberian pakan terhadap ekskresi amonia pada ikan mas, Cyprinus carpio. Ekskresi nitrogen dalam bentuk amonia ditentukan pada ikan mas yang bobot badannya 65,0 ± 8,0 gram dalam ruang metabolisme. Ikan diberi pakan dengan kadar protein 20, 35 dan 50 % pada tingkat pemberian 1, 2 dan 3 % bobot badan per hari. Ekskresi nitrogen sebagai persentase pakan yang ditelan adalah meningkat dengan meningkatnya kadar protein pakan tetapi menurun dengan bertambahnya tingkat pemberian pakan. Kehilangan energi dalam ekskresi berkisar dari 4,19 % (dengan kadar protein pakan 20 % pada tingkat pemberian 3 %) sampai 8,74 % (dengan kadar protein pakan 50 % pada tingkat pemberian 1 %).

Baca juga
Dampak Negatif Amonia Tak Terionisasi Bagi Ikan

Pengaruh Kelaparan dan Suhu Terhadap Ekskresi Amonia

Guerin-Ancey (1976b) mengamati pengaruh kelaparan dan suhu terhadap ekskresi amonia dan urea pada Ikan bass Dicentrarchus labrax yang telah diaklimasikan terhadap suhu 16, 18 dan 20 oC. Ekskresi amonia dan urea menurun selama periode kelaparan 7 hari hingga mencapai nilai konstan yang disebut “Endogenous Nitrogen Excretion” (ENE). Nilai ENE adalah 72 mg N per kg bobot badan ikan per 24 jam untuk amonia dan 12 mg N per kg per 24 jam untuk urea. ENE adalah sama untuk kelompok umur 0, 1 dan 2 serta terjadi lebih lambat pada suhu 16 oC dibandingkan pada 20 oC. Persentase urea yang diekskresi meningkat selama periode kelaparan. Cadangan nitrogen, berdasarkan hasil hitungan, adalah lebih besar pada ikan muda dan pada musim gugur.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Ekskresi Nitrogen

Savitz (1969) mempelajari pengaruh suhu terhadap “Endogenous Nitrogen Excretion” (ENE) pada ikan Lepomis macrochirus yang diaklimasikan terhadap suhu 7,2 , 15,6 , 23,9 dan 29,4 – 32,2 oC. ENE adalah jumlah nitrogen yang diekskresi ketika ikan diberi makanan yang tidak mengandung protein – dalam penelitian ini adalah glukosa. ENE berhubungan secara langsung dengan jumlah protein tubuh yang dimanfaatkan untuk energi, dan protein ini harus diganti sebelum pertumbuhan dapat terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa “ekskresi nitrogen endogen” adalah sangat tinggi pada suhu tertinggi dan menurun dengan menurunnya suhu aklimasi dari 29,4 – 32,2 oC ke 15,6 oC. Laju ekskresi nitrogen adalah sama pada suhu 15,6 dan 7,2 oC.

Baca juga
Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Pengaruh Suhu dan Bobot Badan Ikan Terhadap Ekskresi Amonia

Guerin-Ancey (1976a) meneliti pengaruh suhu dan bobot badan terhadap ekskresi amonia dan urea pada ikan Dicentrarchus labrax yang diaklimasikan terhadap suhu 12, 14, 16, 18, 20, 22 dan 24 oC. Laju ekskresi amonia dan urea adalah sangat tinggi pada suhu tertinggi yang dijuji dan menurun dengan menurunnya suhu. Antara suhu 18 dan 24 oC, laju ekskresi amonia adalah sama sedangkan laju ekskresi urea meningkat sejalan dengan naiknya suhu. Laju ekskresi pada ikan kelompok umur 0, 1 dan 2 juga dipelajari; hasilnya menunjukkan bahwa makin muda umur ikan maka laju ekskresinya menjadi faktor yang makin penting.

Pengaruh Volume Air Budidaya dan Konsentrasi Amonia Terhadap Ekskresi Amonia

Guerin-Ancey (1976c) mempelajari pengaruh volume air dan konsentrasi amonia lingkungan terhadap ekskresi amonia pada ikan muda yang diaklimasikan terhadap suhu 16, 18 dan 20 oC. Ikan bass Dicentrarchus labrax mengekskresi lebih sedikit amonia nitrogen ketika konsentrasi amonia di sekelilingnya meningkat dan ketika volume air berkurang. Ikan yang menghadapi masalah peningkatan konsentrasi amonia lingkungan menunjukkan peningkatan laju ekskresi urea. Keracunan amonia terjadi ketika konsentrasi amonia mencapai 10 mg/liter. Volume minimum yang bersifat non-autotoksik bagi ikan bass adalah 12 liter/kg pada suhu 16 oC, 15 liter/kg pada suhu 18 oC dan 15 – 20 liter/kg pada suhu 20 oC.

Baca juga
Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Pengaruh Konsentrasi Amonia Lingkungan Terhadap Ekskresi Amonia Pada Udang

Chen dan Nan (1992) melaporkan bahwa ekskresi amonia-nitrogen, aktivitas total ATPase dan Na+, K+-ATPase pada udang Penaeus chinensis (10,38 ± 0,30 gram) yang secara individual dikenai 0,037, 5,043, 10,106 dan 20,093 mg/liter amonia-nitrogen (amonia sebagai nitrogen, baik yang tak terionisasi maupun yang terionisasi) telah ditentukan setiap 4 jam sampai 24 jam. Ekskresi amonia-nitrogen pada udang kontrol (yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 0,037 mg/liter) meningkat sejalan dengan waktu. Ekskresi amonia nitrogen pada udang adalah meningkat dengan meningkatnya konsentrasi amonia-nitrogen lingkungan pada kisaran 0,037 sampai 5,043 mg/liter, tetapi menurun bila kisaran konsentrasi amonia-nitrogen lingkungan 5,043 sampai 20,093 mg/liter. Ekskresi amonia-nitrogen terhambat pada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen lebih dari 10,106 mg/liter setelah 4 jam. Udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 20,093 mg/liter mengambil lebih banyak amonia-nitrogen daripada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 10,106 mg/liter. Udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 5,043 mg/liter menunjukkan aktivitas total ATPase dan Na+, K+-ATPase di dalam insang yang lebih tinggi daripada udang kontrol setelah 4, 8, 16 dan 24 jam. Bagaimanapun, aktivitas total ATPase dan Na+, K+-ATPase pada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 10,106 dan 20,093 mg/liter secara nyata lebih rendah dari pada udang yang dikenai konsentrasi amonia-nitrogen 5,043 dan 0,037 mg/liter setelah 8 jam.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...