Minggu, 22 Desember 2013

Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata

Arsip Cofa No. C 169

Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Brachionus

Hagiwara dan Hino (1988) dalam Ricci et al. (1989) melaporkan bahwa rotifera laut Brachionus plicatilis typicus telah dibudidayakan dalam gelas 500 ml agar memproduksi telur istirahat. Tetraselmis tetrathele digunakan sebagai pakan kultur. Segera setelah terbentuk, telur istirahat dipaparkan terhadap berbagai suhu (5 – 25 oC) dan berbagai rejim cahaya (24 jam terang : 0 jam gelap dan 0 jam terang : 24 jam gelap). Bila telur dipaparkan terhadap cahaya segera setelah terbentuk, telur menetas secara sporadis dalam waktu satu bulan. Tidak terjadi penetasan bila telur disimpan selama 6 bulan pada kondisi gelap, berapapun suhunya. Telur-telur ini menetas secara bersamaan setelah dipaparkan terhadap cahaya, sedangkan telur yang disimpan pada suhu 5 oC menunjukkan laju penetasan dua kali lipat (40 %) dibandingkan telur yang disimpan pada suhu 15 – 25 oC (24 %). Klon yang berasal dari telur istirahat kemudian dipelihara pada berbagai suhu dan rejim cahaya dan selanjutnya dipelihara sampai generasi ketiga. Inkubasi pada suhu 25 oC dalam kondisi ada cahaya (terang) menghasilkan betina mictic terbanyak (5,4 % dan 5,2 %) selama generasi ke-2 dan ke-3, berturut-turut. Produksi terendah (0 dan 1,5 %) diperoleh bila telur disimpan pada suhu 5 oC dalam kondisi gelap total selama enam bulan.

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Ukuran Telur Istirahat Pada Brachionus

Serrano et al. (1988) dalam Ricci et al. (1989) mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap ukuran telur istirahat pada dua klon Brachionus plicatilis (rotifera). Klon dipilih berdasarkan perilakunya terhadap telur istirahat : satu klon mengeluarkan telur istirahat dari dalam tubuhnya sedangkan klon lain tetap menyimpan telur istirahat di dalam tubuh induk betina. Perbedaan ukuran telur istirahat antara kedua jenis klon tersebut adalah jelas walaupun perbedaan ini tidak sebesar perbedaan ukuran antara induk-induk betina. Efek interaksi suhu-salinitas terlihat dengan jelas. Hubungan terbalik antara ukuran dan suhu hanya berlaku pada suhu rendah. Pada suhu tinggi, ukuran telur bervariasi di sekitar nilai rata-rata; variasinya lebih besar bila dibandingkan variasi pada suhu sedang. Hal ini lebih jelas pada salinitas sedang yang dianggap sebagai paling dekat dengan optimum dalam percobaan ini. Pola variasi ini menunjukkan bahwa ukuran rata-rata telur istirahat adalah lebih besar daripada yang diharapkan, dalam kaitannya dengan suhu dan salinitas, ketika faktor-faktor ini mendekati batas-batas kisarannya yang umumnya ditemukan di alam, di mana mekanisme adaptasi dapat berevolusi. Ukuran telur istirahat adalah lebih besar pada kombinasi suhu-salinitas rendah-rendah dan tinggi-tinggi yang merupakan kombinasi paling umum di lingkungan beriklim sedang.

Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reproduksi Gastropoda

Takami (1992) mempelajari pertumbuhan dan jumlah anak pada siput Semisulcospira reiniana yang dipelihara selama 48 – 51 bulan pada tiga macam suhu di laboratorium. Anak baru lahir, yang diproduksi pada bulan Juli dan Agustus 1986, tumbuh hingga mencapai diameter cangkang rata-rata 8 – 9 mm pada umur 1 (bulan), 11 – 12 mm pada umur 2 (bulan), 12 – 13 mm pada umur 3 (bulan), dan 13 – 14 mm pada umur 4 (bulan). Kelahiran anak terjadi pada suhu 12 – 18 oC. Sejumlah besar anak, diperkirakan sebanyak 10 sampai 38 individu per betina selama sebulan, diproduksi pada suhu 20 – 28 oC. Pada kondisi suhu air tinggi, ukuran maksimum siput ini adalah kecil dan kelangsungan hidupnya rendah, tetapi produksi anaknya meningkat.

Baca juga :
Reproduksi dan Endokrinologi

Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Oyster

Sarvesan et al. (1990) melaporkan bahwa pemijahan oyster Crassostrea madrasensis di Muttukadu Backwater, India, berlangsung dari Januari sampai November dengan puncaknya pada bulan Februari – Maret dan September – Oktober. Oyster betina adalah dominan selama beberapa bulan dalam setahun, sedangkan jumlah individu jantan melebihi betina pada bulan Agustus dan September 1986 serta Februari dan Mei 1987. Di antara empat stasiun yang menjadi lokasi penelitian penempelan benih oyster, Muttukadu Bridge menunjukkan penempelan benih oyster yang paling tinggi terutama pada bulan Oktober. Maksimum 109 benih oyster menempel pada sebuah tiang yang tertutup kapur di jembatan tersebut. Disimpulkan bahwa kematangan gonad dan pemijahan oyster serta penempelan benihnya berkorelasi dengan salinitas dan suhu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Kematangan Gonad dan Pemijahan Scallop

Sastry (1963) melaporkan bahwa kerang subspesies Aequipecten irradians concentricus dari Alligator Harbor, Florida, mencapai matang gonad menjelang akhir bulan Juli ketika suhu musim panas menjadi maksimum dan menyebabkan terjadinya pemijahan awal pada bulan Agustus ketika suhu mulai turun. Suhu musim dingin menurunkan perkembangan gonad kerang scallop Florida ini. Selama musim dingin, scallop dirangsang untuk matang gonad pada suhu 23 ± 1 oC dalam 26 hari. Scallop matang gonad yang dipelihara di laboratorium memijah sebagai respon terhadap peningkatan suhu selama bulan-bulan yang berbeda. Subspesies Aequipecten irradians irradians dari Massachusetts dan Aequipecten irradians concentricus dari Florida dan North Carolina menunjukkan perbedaan kebutuhan suhu untuk pematangan gonad dan pemijahan. Subspesies scallop dari utara Cape Hatteras bereproduksi pada suhu yang lebih rendah bila dibandingkan dengan subspesies dari selatan. Pemijahan kedua subspesies ini tidak bertumpang tindih.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Moluska

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Reproduksi Cephalopoda

Forsythe dan Hanlon (1998) melaporkan bahwa kultur laboratorium 40 ekor Octopus bimaculoides dari April 1982 sampai Agustus 1983 selama satu siklus hidup penuh pada suhu 18 °C vs 23 °C menyediakan informasi tentang pertumbuhan, reproduksi dan umur gurita pantai ini. Pada suhu 18 oC, cephalopoda ini tumbuh dari ukuran saat menetas 0,07 gram menjadi rata-rata 619 gram dalam waktu 404 hari; individu terbesar berukuran 872 gram. Gurita yang dibudidayakan pada suhu 23 oC mencapai bobot tertinggi rata-ratanya 597 gram dalam waktu 370 hari; individu terbesar yang tumbuh pada suhu ini adalah 848 gram setelah 404 hari. Suhu tinggi mempercepat semua aspek biologi reproduksi dan memperpendek umur binatang ini sebesar 20 % (dari sekitar 16 bulan menjadi 13 bulan). Octopus bimaculoides merupakan spesies gurita dengan siklus hidup terlama dan telur berukuran besar serta anak-anaknya yang baru menetas bersifat bentik.

Baca juga :
Reproduksi Cumi-Cumi

Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Serangga Air

Watanabe (1992) mempelajari pengaruh suhu terhadap penetasan telur serangga air, lalat sehari (mayfly). Telur lalat sehari (Potamanthus formosus) dipelihara pada suhu konstan di laboratorium. Persentase telur yang menetas adalah 34 – 53 % pada kisaran suhu 15 – 30 oC, tetapi persentase penetasan ini jatuh mendadak bila suhunya di bawah 15 oC (± 13 oC) menjadi hampir 0 %. Hubungan antara suhu dan lama perkembangan dijelaskan dengan baik oleh sebuah persamaan hiperbola. Batas suhu untuk perkembangan telur menurut perhitungan adalah 10,5 oC dengan persentase penetasan 50 %. Nilai hasil perhitungan jumlah derajat-hari efektif adalah 222,2 di atas 10,5 oC. Penerapan hasil penelitian ini untuk sungai alami menunjukkan bahwa telur harus diletakkan hingga akhir September agar bisa menetas ketika suhu air menurun menjadi 15 oC. Telur yang diletakkan pada akhir periode penetasan tidak akan menetas sebelum musim dingin, dan mungkin melewati musim dingin kemudian menetas pada musim semi.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 11 Desember 2013

Pengaruh Suhu Terhadap Bakteri di Perairan

Arsip Cofa No. C 168

Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Bakteri Nitrifikasi

Menurut Fdz-Polanco et al. (1994) aktivitas dan konsentrasi bakteri nitrifikasi tergantung pada konsentrasi amonia bebas spesifik (rasio NH3/biomas); rasio ini sendiri ditentukan oleh suhu, pH, konsentrasi amonia dan konsentrasi biomas penitrifikasi. Jadi, suhu merupakan parameter kunci dalam proses nitrifikasi yang menghasilkan dua efek berlawanan : aktivasi bakteri dan penghambatan amonia bebas. Untuk bakteri Nitrosomonas hanya terlihat efek aktivasi; aktivitasnya mencapai maksimum pada kisaran suhu 28 – 29 oC. Pada Nitrobacter, penghambatan amonia bebas lebih dominan daripada efek aktivasi untuk nilai lebih dari 1 mg N-NH3/mg VAS yang memungkinkan akumulasi nitrit 80 %; (VAS = Volatile Attached Solid; Padatan Melekat Mudah-Menguap); nilai ambang batas penghambatan ini untuk biofilm nitrifikasi diperoleh dengan mengukur laju spesifik pemanfaatan substrat per unit bomas melalui uji aktivitas. Pengetahuan tentang ambang batas ini dalam proses biofilm adalah penting guna mengendalikan akumulasi nitrit dalam reaktor biofilm nitrifikasi.

Baca juga :
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Interaksi Suhu-Substrat Sebagai Faktor Pembatas Bakteri Heterotrofik Laut

Pomeroy dan Wiebe (2001) menyatakan bahwa komunitas bakteri heterotrofik aktif terdapat di semua lingkungan laut, dan walaupun laju pertumbuhan atau respirasinya mungkin dibatasi oleh interaksi konsentrasi substrat yang rendah dengan suhu yang mendekati batas bawah untuk pertumbuhannya, namun suhu dan konsentrasi substrat jarang dianggap secara bersama-sama sebagai faktor pembatas. Selan itu, usaha mengevaluasi batas-batas metabolik untuk suhu dan konsentrasi substrat kadang-kadang menghasilkan kesimpulan yang membingungkan, karena, sementara kita dapat mengukur konsentrasi karbon organik terlarut di perairan alami, sebagian besar data suhu dan konsentrasi substrat tidak tersedia untuk bakteri heterotrofik. Meskipun ada keterbatasan prosedur seperti ini, adalah berguna untuk menganggap suhu dan konsentrasi substrat sebagai faktor pembatas potensial yang berinteraksi.

Di perairan estuaria dan perairan permukaan samudra daerah beriklim-sedang, di mana pertumbuhan bakteri sering berkurang pada musim dingin, pertumbuhan dan respirasi bisa ditingkatkan secara eksperimental dengan menaikkan suhu atau dengan meningkatkan konsentrasi substrat organik, yang menyediakan bukti tak langsung bahwa pembatasan tersebut adalah pengaruh suhu terhadap penyerapan substrat atau asimilasi. Percobaan dengan isolat bakteri juga menunjukkan interaksi suhu-substrat. Di perairan kutub yang dingin secara permanen, sebagian besar bakteri heterotrofik tampaknya hidup pada suhu jauh di bawah suhu optimal pertumbuhannya. Namun demikian, bakteri di perairan permukaan yang dingin secara permanen dapat mencapai laju aktivitas pada musim panas yang setinggi laju aktivitas bakteri di perairan beriklim-sedang. Dalam es laut, laju produksi bakteri sering sekali rendah, bahkan pada saat konsentrasi substrat, termasuk asam-asam amino bebas, jauh lebih tinggi daripada di air laut. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu es laut bakteri heterotrofik menurunkan kemampuannya dalam menyerap atau memanfaatkan substrat organik (Pomeroy dan Wiebe, 2001).

Baca juga :
Bakteri Vibrio dan Vibriosis

Seleksi Bakteri Oleh Suhu Air di Estuaria

Sieburth (1967) melakukan serangkaian pengamatan terhadap bakteri heterotrofik planktonik di estuaria daerah beriklim sedang, yakni Teluk Narragansett, Pulau Rhode, untuk menentukan apakah perubahan suhu air musiman adalah cukup untuk menseleksi tipe bakteri tersebut. Perubahan populasi bakteri dalam sampel semi-bulanan yang diperoleh selama dua periode satu-tahun dan satu perode setengah tahun telah dipelajari. Lebih dari 2500 isolat telah diuji sampai ke genus dan sekitar 600 isolat sampel telah diuji secara serentak dalam hal kisaran suhu-pertumbuhan. Laju pertumbuhan populasi bakteri alami bervariasi sesuai dengan suhu air, tetapi respon bakteri terhadap suhu air terlambat dua bulan. Pergeseran kisaran suhu pertumbuhan secara musiman ini menunjukkan bahwa populasi bakteri bisa berubah hanya dengan perbedaan suhu inkubasi yang kecil.

Baca juga :
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Semua tipe bakteri termal dapat diisolasi dan populasinya cenderung tampak bila dilakukan inkubasi-ulang pada suhu 0, 18 dan 36 oC setelah inokulasi-permukaan. Isolat bakteri mesofilik (pertumbuhan di atas suhu 10 oC dan mencapai optimum di atas suhu 30 oC) hanya diperoleh pada media kultur 36 oC ketika suhu air di atas 10 oC. Sejumlah isolat ini bersifat peka-dingin dan labil di bawah suhu 18 oC. Bakteri psikrofil obligat (pertumbuhan di bawah suhu 16 – 20 oC, optimum pada suhu 9 – 10 oC) hanya diperoleh pada media kultur 0 oC ketika suhu air di bawah 10 oC. Dua tipe bakteri termal lainnya diperoleh pada media kultur 0 oC dan 18 oC. Organisme yang tumbuh pada suhu 0 oC dan memiliki kisaran pertumbuhan yang lebar antara 10 oC dan 30 oC dianggap sebagai tipe psikrofil fakultatif sedangkan organisme yang juga tumbuh pada suhu 0 oC tetapi kisaran puncak optimumnya lebih sempit (yaitu sektar 18 – 20 oC digolongkan sebagai tipe psikrotoleran. Selain tipe-tipe termal utama ini, beberapa isolat dari beberapa kelompok taksonomik menunjukkan kecenderungan memiliki suhu optimum ganda. Seleksi musiman tipe termal oleh suhu air terjadi pada semua kelompok taksonomik. Tidak ada efek penghambatan atau peningkatan oleh suhu terhadap kelompok taksonomi mana pun (Sieburth, 1967).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup Escherichia coli Dalam Air Danau

Sampson et al. (2006) melaporkan bahwa monitoring keberadaan bakteri Escherichia coli, indikator pencemaran tinja, dalam perairan yang menjadi tempat rekreasi merupakan masalah kesehatan publik yang harus diperhatikan. Walaupun Escherichia coli tidak menyebabkan penyakit pada manusia, namun keberadaan bakteri ini bisa menjadi indikator keberadaan mikroorganisme patogen lain. Banyak faktor yang bisa mengubah kelangsungan hidup Escherichia coli yang ada di luar usus binatang dan bisa mempengaruhi peluangnya untuk mengkoloni inang baru. Kelangsungan hidup bakteri di perairan rekreasi telah dihubungkan dengan suhu air, dan akhir-akhir ini juga dihubungkan dengan keberadaan pasir di pantai.

Sampson et al. (2006) telah melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui kelangsungan hidup isolat Escherichia coli di dalam air danau. Mikrokosmos air danau ditempatkan pada suhu 4, 10, 14 atau 25 oC selama sampai 36 hari, dan uji enzim-substrat (Colisure, IDEXX Corp.) digunakan untuk menentukan “most probable number” (MPN) Escherichia coli per 100 ml air. Jumlah Escherichia coli pada semua suhu berkurang selama percobaan. Penurunan ini paling menyolok pada suhu 14 oC dan paling kecil pada suhu 4 oC. Keberadaan pasir dalam mikrokosmos meningkatkan lama kelangsungan hidup Escherichia coli, tanpa terpengaruh suhu. Dari sudut pandang manajemen pantai, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Escherichia coli bisa bertahan hidup dalam lingkungan berair dingin lebih lama daripada dalam air hangat yang ditemukan pada akhir musim panas.

Baca juga :
Escherichia coli : Bioekologi, Keberadaan dan Kekebalannya

Pengaruh Suhu Air dan Salinitas Terhadap Keberadaan Vibrio dan Enterobakteri

Chaveza et al. (2005) mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap keberadaan Vibrio cholerae, Escherichia coli dan Salmonella spp. yang berasosiasi dengan air dan sampel kerang oyster di dua laguna di pesisir Atlantik daerah Veracruz, Mexico, selama perode 1 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman salinitas secara musiman dan suhu yang hangat, di samping masukan zat hara, bisa mempengaruhi keberadaan Vibrio cholerae, tipe non-O1 dan O1. Kondisi yang ditemukan di Alvarado (suhu 31,12 oC, salinitas 6,27 promil, pH = 8,74) dan laguna La Mancha (suhu 31,38 oC, salinitas 24,18 promil, pH = 9,15) selama musim hujan tahun 2002 menguntungkan keberadaan Vibrio cholerae, penyebab enterotoksin (racun-perut), dalam oyster. Vibrio alginolyticus terdeteksi di dalam sampel air laguna Alvarado selama musim dingin. Escherichia coli dan Salmonella spp. telah ditemukan dalam sampel air dari laguna La Mancha (90 – 96.7 % dan 86,7 – 96,7 %) serta di laguna Alvarado (88,6 – 97,1 % dan 88,6 – 100 %. Keberadaan bakteri mungkin disebabkan oleh air limbah dari perkotaan, pertanian dan industri.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 02 Desember 2013

Formalin Untuk Mengendalikan Parasit Ikan dan DampaknyaTerhadap Kualitas Air Kolam

Arsip Cofa No. C 167

Formalin Untuk Menghilangkan Parasit Pada Ikan Kakap

Menurut Seng dan Seng (1992) kejadian penyakit terkait-parasit pada budidaya ikan intensif sedang menjadi masalah yang serius di Asia. Industri budidaya ikan membutuhkan metode penanganan dan pengendalian parasit yang layak agar industri ini tetap ekonomis. Formalin, malasit hijau (malachite green), dipterex dan air tawar telah diuji kefektivannya dalam membasmi parasit monogenea (cacing trematoda) dari insang ikan kakap Lutjanus johni di dalam jaring apung yang terinfeksi dengan parah. Pengobatan dilakukan dalam akuarium kaca di mana 10 ekor ikan untuk setiap konsentrasi uji dimandikan dalam waktu singkat selama 30 menit dan diaerasi. Formalin secara nyata mengurangi parasit Haliotrema johni (48 %) dan Haliotrema sp. (78 %) pada kadar 30 ppm. Air tawar efektif dalam mengurangi Haliotrema sp. (91 %). Bahan kimia lain (dipterex dan malachite green) tidak efektif. Bagaimanapun, formalin 300 ppm dan air tawar mempengaruhi ikan sampai akhir periode percobaan 30 menit.

Baca juga :
Kekebalan Ikan terhadap Infeksi Patogen dan Parasit

Efek Pemberian Formalin Secara Berulang Terhadap Juvenil Ikan Lele

Bodensteiner et al. (1993) melaporkan bahwa ikan channel catfish Ictalurus punctatus dengan panjang total 70 – 148 mm telah ditangani dengan formalin berkonsentrasi 25 mikroliter/liter selama 4 jam setiap hari selama 4 hari berturut-turut dalam seminggu selama periode 28 minggu yang dimulai pada pertengahan September. Koefisien kondisi (rasio bobot badan terhadap panjang ikan) dan pengujian histologis terhadap jaringan insang digunakan untuk mengevaluasi kesehatan ikan yang diberi formalin. Jaringan ikan pada kelompok perlakuan maupun kelompok yang tidak diberi formalin menunjukkan efek khas budidaya intensif, yang mencakup hipertrofi (pembesaran organ akibat meningkatnya ukuran sel), hiperplasia (pembesaran organ/jaringan akibat meningkatnya laju pembelahan sel) dan sekresi lendir yang berlebihan; tidak ada perbedaan morfometri insang antara kedua kelompok. Ikan channel catfish yang secara periodik diberi perlakuan formalin memiliki koefisien kondisi yang secara nyata lebih tinggi (P < 0,05) setelah 28 minggu dan tidak ada indikasi timbulnya efek negatif akibat formalin.

Baca juga :
Parasit Ikan

Pengaruh Kesadahan Air Terhadap Daya Racun Formalin

Meinelt dan Stueber (1992) mempelajari pengaruh kesadahan air terhadap daya racun formalin bagi telur dan embryo ikan. Uji embryo-larva ikan Brachydanio rerio (144 jam, 37 % formalin) telah dilakukan dengan menggunakan dua jenis air uji : air (1) memiliki derajat kesadahan 17,3 (308,8 mg CaCO3/liter) dan air (2) dengan derajat kesadahan 3,5 (62,5 mg CaCO3/liter). Hasil penelitian membuktikan bahwa daya racun formalin meningkat dengan menurunnya kesadahan air.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dampak Formalin Terhadap Daya Tetas Telur Ikan

Menurut Rach et al. (1997) formalin banyak digunakan untuk menangani infeksi jamur pada telur ikan dalam operasi akuakultur intensif. Penggunaan formalin di Amerika Serikat hanya diijinkan untuk telur ikan salmonidae dan esocidae; pemakaiannya untuk spesies ikan lain harus mendapat ijin khusus. Penelitan telah dilakukan untuk menentukan keamanan perlakuan formalin pada telur ikan spesies air hangat dan air dingin. Telur tak bermata dari ikan walleye (Stizostedion vitreum), ikan mas (Cyprinus carpio), white sucker (Catostomus commersoni), channel catfish (Ictalurus punctatus), dan sturgeon danau (Acipenser fulvescens) dipelihara dalam tabung penetasan miniatur dan selama 45 menit setiap hari diberi formalin sebanyak 1500, 4500 atau 7500 mikroliter/liter sampai menetas.

Penelitian tersebut memberikan hasil yang menunjukkan bahwa untuk semua spesies ikan yang diuji, persentase penetasan adalah lebih besar pada kelompok perlakuan 1500 mikroliter/liter daripada kelompok kontrol yang tak diberi formalin. Telur ikan walleye memiliki kepekaan yang paling lemah terhadap formalin dan memiliki laju penetasan 87 % dalam perlakuan formalin 7500 mikroliter/liter. Ikan sturgeon danau adalah spesies yang paling peka dengan rata-rata laju penetasan 54 % dalam perlakuan formalin 1500 mikroliter/liter. Batas keamanan perlakuan formalin adalah 1500 mikroliter/liter selama 15 menit untuk telur semua spesies ikan kecuali ikan sturgeon danau. Infeksi jamur menyebabkan laju penetasan banyak berkurang atau bahkan menjadi nol pada sebagian besar kelompok kontrol, sedangkan kebanyakan kelompok perlakuan bebas dari infeksi jamur. Hal ini menunjukkan efisiensi formalin sebagai fungisida (Rach et al., 1997).

Baca juga :
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Efisiensi Formalin Dalam Mengendalikan Ektoparasit dan Daya Racunnya Bagi Ikan Budidaya

Fajer-Ávila et al. (2003) melaporkan bahwa upaya pertama untuk membudidayakan ikan Sphoeroides annulatus (bullseye puffer fish) terhambat oleh serangan parasit monogenea Heterobothrium ecuadori dan dinoflagelata Amyloodinium ocellatum; kedua spesies parasit ini berkaitan dengan kematian pada spesies-spesies ikan budidaya lainnya. Penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi keamanan formalin bagi ikan bullseye puffer dan menentukan efisiensi formalin dalam mengendalikan serangan parasit. Konsentrasi letal median (LC50) formalin untuk ikan ini berkisar dari 1095 mg/liter selama 30 menit dan 972 mg/liter selama 60 menit sampai 79 mg/liter selama 72 jam. Konsentrasi efektif median (EC50) formalin untuk Heterobothrium ecuadori adalah 225 mg/liter selama 30 menit dan 87 mg/liter selama 60 menit. Indeks terapeutik hasil penelitan adalah 5 pada 30 menit dan 11 pada 60 menit. Formalin selanjutnya diuji secara in vivo (di luar tubuh mahluk hidup) terhadap Amyloodinium ocellatum. Dibandingkan dengan kontrol, formalin sebanyak 51 mg/liter secara nyata menurunkan jumlah parasit pada kulit (97 %) dan insang (68 %) ikan setelah pemaparan selama 1 jam, sedangkan formalin sebanyak 4 mg/liter secara nyata mengurangi jumlah parasit pada kulit (66 %) dan insang (84 %) setelah 7 hari. Perbedaan daya racun formalin terhadap ikan bullseye puffer dan terhadap parasit-parasit tersebut menunjukkan bahwa formalin adalah efektif dalam mengendalikan parasit epizootik untuk budidaya ikan bullseye puffer.

Baca juga :
Ekologi Parasit Ikan

Penggunaan Formalin Dalam Akuakultur dan Dampaknya

Boyd (1982) menyatakan bahwa formalin banyak digunakan dalam budidaya ikan untuk mengendalikan jamur pada telur ikan dan parasit eksternal pada ikan. Bahan kimia ini relatif tidak beracun bagi ikan dan digunakan sebanyak 1.000 – 2.000 mikroliter/liter (1.103 – 2.206 mg/liter) selama 15 menit dalam media air yang mengalir konstan, 167 – 250 mikroliter/liter (184 – 276 mg/liter) dalam tangki atau kolam air deras selama 1 jam, dan 15 – 25 mikroliter/liter (16,5 – 27,6 mg/liter) selama periode tak hingga di kolam. Sayangnya, formalin sangat beracun bagi plankton, dan kolam yang diberi formalin 15 mg/liter (13,6 mikroliter/liter) bisa menyebabkan kehabisan oksigen terlarut bila populasi planktonnya sangat padat.

Pengaruh Formalin Terhadap Parasit Ikan dan Kualitas Air Kolam

Rowland et al. (2006) melaporkan bahwa serangan cacing parasit trematoda monogenea (Lepidotrema bidyana dan Gyrodactylus sp.) terhadap ikan air tawar silver perch (Bidyanus bidyanus Mitchell) di kolam tanah telah ditangani dengan formalin (formaldehid 37 %). Konsentrasi 30 dan 40 mg/liter formalin adalah efektif, tetapi ikan di kolam yang diberi formalin 20 atau 25 mg/liter tetap terinfeksi parasit. Pada suhu 24,1 – 26,9 oC, konsentrasi formalin 30 atau 40 mg/liter menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut (DO) berkurang dari 10,1 – 11,9 menjadi 3,0 – 3 dan 1,2 – 1,7 mg/liter, berturut-turut, dalam perlakuan pemberian formalin 36 – 42 jam. Selain itu, pH air turun dari 7,2 – 8,4 menjadi 6,3 – 6,7 dalam 36 jam dan kekeruhan berkurang setelah 48 jam. Di kolam yang konsentrasi oksigen terlarutnya 1,2 – 1,7 mg/liter, ikan silver perch menunjukkan tanda-tanda stres yang parah, tetapi aerasi terus-menerus (daya aerator 10 HP per hektar) selama 3 hari dan pemasukan air beroksigen-tinggi selama 6 – 8 jam mencegah kematian. Pada suhu 13,2 – 15,7 oC, konsentrasi formalin 30 atau 40 mg/liter menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut turun dari 9,0 – 10,0 menjadi 6,0 – 8,1 mg/liter dan pH dari 7,0 – 7,3 menjadi 5,9 – 6,6 dalam waktu 72 jam. Konsentrasi total amonia-nitrogen naik dalam waktu 72 jam di kolam yang diberi formalin 30 atau 40 mg/liter. Ikan diserang-kembali oleh parasit Lepidotrema bidyana di semua kolam dalam waktu 30 hari perlakuan. Konsentrasi formalin 30 mg/liter disarankan untuk mengendalikan parasit monogenea pada ikan silver perch di kolam, tetapi aerasi diperlukan untuk mempertahankan kualitas air yang cukup pada suhu tinggi.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...