Selasa, 30 Desember 2014

Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Arsip Cofa No. C 184

Daging Ikan Bergizi Tinggi (Highly Nutritional Fish Meat/HNFM)

Nonaka et al. (1989) melaporkan bahwa sebagai tipe baru daging cincang ikan untuk bahan makanan, daging bergizi tinggi (atau disebut "highly nutritional fish meat/HNFM") dari ikan sardin cincang telah dikembangkan. Proses pembuatannya adalah sebagai berikut : daging cincang segar digiling dalam larutan dingin 0,1 % NaHCO3 dan 0,1 % NaCl dengan volume 4 kali volume daging ikan; kotoran seperti tulang dan kulit dibuang. Daging giling ini dipisahkan dari air, lipida dan bau yang tak dikehendaki dengan cara sentrifugasi; kemudian dicampur dengan aditif. HNFM dengan demikian mengandung lipida 60 - 80 % lebih sedikit dan senyawa volatil sekitar 60 % lebih sedikit dibandingkan dengan surimi sardin asli, dan hanya mengandung sedikit flavor ikan.

Baca juga :
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Kandungan Gizi Daging Ikan Budidaya Dibandingkan Dengan Ikan Liar

Amerio et al. (1996) menentukan komposisi analitik dan nilai gizi filet ikan hasil budidaya intensif yang ada di pasar Italia seperti ikan sidat, rainbow trout, sea bass dan sea bream. Kandungan lipida (4,08 % dalam daging segar ikan rainbow trout, 6,81 % dalam sea bream, 7,62 % dalam sea bass, 27,19 % dan 30,57 % dalam sidat 700 dan 200 gram, berturut-turut) adalah lebih tinggi daripada data yang dilaporkan oleh literatur Italia (0,1 - 3,0 % untuk sea bass, 0,2 - 5,9 % untuk sea bream, 18,7 - 25,6 % untuk sidat, keragamannya lebih tinggi untuk daging segar ikan trout 2,1 - 14 %), yang umumnya berlaku untuk ikan liar. Indeks atherogenic dan thrombogenic sangat baik (Indeks atherogenic dari 0,48 sampai 0,54; indeks thrombogenic dari 0,23 sampai 0,42). Ikan, terutama sidat, kaya akan asam oleat, C18:1 (n-9), dengan konsentrasi 18,2 sampai 29 %), serta kaya akan (n-6)PUFA dan (n-3)PUFA, terutama pada ikan laut. Kualitas protein adalah bagus untuk semua spesies ikan.

Amerio et al. (1996) menyatakan bahwa hasil analisis tersebut di atas mendukung kesimpulan tingginya nilai gizi dalam daging ikan budidaya. Lebih tingginya kandungan lipida dalam daging ikan budidaya dibandingkan daging ikan liar harus diperhatikan dalam masalah diet karena lebih tingginya kandungan energi daging ikan, hal ini juga harus diperhatikan dalam pengolahan ikan karena berkaitan dengan upaya mencegah perubahan nilai inderawi, nilai komposisi dan nilai gizi produk ikan.

Baca juga :
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan

Penyimpanan Daging Ikan Dengan Metode Super-Dingin

Fukuma et al. (2012) melaporkan bahwa daging ikan telah diberi perlakuan super-dingin dengan cara pendinginan perlahan; dan perubahan tekstur, histologi serta komposisi protein daging tersebut dipelajari. Daging ikan yang suhu penyimpanannya diturunkan 1,0 °C per hari (kelompok perlakuan 1,0 °C) dan 0,5 °C per hari (kelompok perlakuan 0,5 °C) mulai membeku pada suhu sekitar -3,5 dan -5,0 °C, berturut-turut. Titik beku tergantung pada spesies ikan; titik beku terendah adalah -8,5 °C untuk ikan red sea bream dalam kelompok 1,0 °C. "Kekuatan pecah" (breaking strength) cenderung menurun lebih lambat pada kelompok 1,0 °C, tetapi serabut kolagen rusak lebih cepat dalam kelompok 1,0 °C. Pada elektroforesis SDS, terlihat adanya perubahan kecil pola jalur-jalur, tetapi hubungan antara hasil pengamatan ini dengan perubahan sifat-sifat histologi dan fisik tidak jelas. Penelitian ini menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk menghasilkan kondisi super-dingin dalam daging ikan; selain itu menunjukkan bahwa super-dingin merupakan metode penyimpanan baru potensial yang bisa menurunkan suhu tanpa menghasilkan kristal es.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Komposisi Asam Amino Daging Ikan Selama Pembekuan

Wesselinova (2000) menggunakan pendekatan baru untuk meneliti salah satu aspek pembekuan ikan laut (termasuk filet ikan scad, tengiri, cod, sea bream, bonito) setelah penyimpanan pada suhu -35 °C dalam jangka waktu berbeda-beda. Penelitian bertujuan untuk membuktikan apakah musim, tempat dan kedalaman lokasi penangkapan ikan mempengaruhi kandungan asam amino dalam daging beku ikan tersebut. Analisis asam-asam amino dalam protein daging ikan selama penyimpanan beku 3, 6, 9 dan 12 bulan menunjukkan bahwa bahkan pada akhir penyimpanan asam-asam amino tetap tidak berubah dan terlihat adanya sedikit penyimpangan dalam hal konsentrasi senyawa-senyawa lain. Kemunculan diaminopimelic acid (DAP) menunjukkan adanya pencemaran mikrobiologis, terutama setelah penyimpanan jangka panjang, tetapi kondisi suhu yang sangat rendah tidak memungkinkan peningkatan jumlah bakteri psikrofil secara drastis. Metionin sulfoksida yang juga muncul, menunjukkan bahwa hanya oksidasi metionin yang umumnya terjadi selama penyimpanan jangka panjang.

Baca juga :
Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan

Perubahan Konsentrasi Senyawa Volatil Dalam Daging Ikan Segar Selama Pendinginan

Miyasaki et al. (2011) meneliti perubahan senyawa volatil (mudah-menguap) dalam daging segar beberapa jenis ikan selama penyimpanan-es 3 sampai 4 hari menggunakan "electronic nose system" dan "gas chromatography-mass spectrometer” (GC/MS) dengan "headspace solid-phase micro-extraction (SPME)". Analisis komponen utama untuk sampel dengan menggunakan "electronic nose system" menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi beberapa senyawa volatil selama penyimpanan berlangsung cepat pada ikan sardin (Sardinops melanostictus), jack mackerel (Trachurus japonicus), dan chub mackerel (Scomber japonicus); berlangsung sedang pada ikan ekor kuning (Seriola quinqueradiata), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan tuna muda (Thunnus thynnus).

Sebaliknya dengan ikan-ikan tersebut di muka, perubahan konsentrasi senyawa volatil dalam daging adalah kecil pada ikan-ikan "daging putih" seperti red seabream (Chrysophrys major), Japanese seabass (Lateolabrax japonicus), ikan sebelah (Paralichthys olivaceus), puffer (Lagocephalus wheeleri), dan bartail flathead (Platycephalus indicus). Analisis SPME-GC/MS menunjukkan bahwa beberapa senyawa aldehid dan alkohol seperti 1-heptanol, (E)-2-octenal, (E)-2-hexenal, 1-pentanol, (E,E)-2,4-heptadienal,2,4-hexadienal, 1-hexanol dan 4-heptenal meningkat dengan cepat di dalam daging ikan jack mackerel dan chub mackerel, meningkat perlahan-lahan dalam daging ikan cakalang, serta meningkat sedikit dalam daging ikan red seabream dan puffer selama penyimpanan. Peningkatan konsentrasi senyawa-senyawa ini diyakini berdampak terhadap respon "electronic nose". Hexanal merupakan senyawa dominan yang meningkat kadarnya sejak awal penyimpanan ikan jack mackerel. Peningkatan konsentrasi senyawa volatil adalah sedikit pada ikan red seabream dan puffer. Peningkatan konsentrasi senyawa-senyawa aldehid dan alkohol diyakini bisa menjadi indikator yang sesuai untuk memantau kesegaran daging ikan kecuali untuk ikan berdaging putih (Miyasaki et al., 2011).

Baca juga :
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) : Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi

Oksidasi Selama Pencucian Daging Ikan Menurunkan Kemampuan Membentuk Gel

Tunhun et al. (2004) melaporkan bahwa untuk menguji efek oksidasi selama pencucian terhadap kemampuan membentuk gel, daging ikan dicuci dengan larutan CuCh dan dipanasi bersama dengan ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) untuk mencegah oksidasi lebih lanjut. Akibat pencucian dengan larutan CuCh, maka dimer "myosin heavy chain" (MHC, rantai berat myosin) terbentuk di dalam daging cucian oleh ikatan disulfida melalui oksidasi gugus SH. Kekuatan gel daging yang teroksidasi adalah lebih rendah daripada daging kontrol. Dalam gel ini, terjadi polimerisasi MHC dan aktin oleh ikatan disulfida meskipun oksidasinya kecil. Pasta daging teroksidasi dicampur dengan NEM (agen penghambat gugus SH) dan dipanasi agar terbentuk gel untuk menguji pengaruh penghambatan polimerisasi. Gel yang terbentuk memiliki kekuatan gel yang masih lebih lemah dibandingkan kekuatan gel kontrol.

Lebih lanjut, pengaruh oksidasi selama pencucian dibandingkan dengan pengaruh oksidasi setelah penggilingan garam. Gel dari daging teroksidasi setelah penggilingan menunjukkan hampir tidak ada penurunan kekuatan gel, namun terjadi polimerisasi MHC dan aktin melalui ikatan disulfida yang diikuti oleh oksidasi gugus SH. Disimpulkan bahwa pembentukan dimer (senyawa dua molekul) oleh oksidasi selama pencucian menurunkan kemampuan pembentukan gel, sehingga berbeda dengan peranan oksidasi dalam meningkatkan kemampuan pembentukan gel pada pasta daging setelah penggilingan dengan 3 % garam. Dengan demikian, pencucian daging ikan harus dilakukan hati-hati agar tidak mengoksidasi daging sehingga terbentuk surimi dengan kualitas tinggi (Tunhun et al., 2004).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 03 Desember 2014

Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi

Arsip Cofa No. C 183

Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Ikan Sungai Terkait Pestisida

Fianko et al. (2011) melaporkan bahwa basin Sungai Densu merupakan salah satu daerah pertanian terbesar di Ghana. Praktek penggunaan pestisida seperti organoklorin, organofosfat, piretroid dan lain-lain dalam pertanian serta program kesehatan publik makin banyak menarik perhatian terutama dalam hal dampak negatif potensial bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Salah satu dampak terburuk pembangunan industri di dunia adalah pemakaian dan pembuangan pestisida yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan manusia. Dampak kesehatan yang parah berkaitan dengan konsumsi makanan yang mengandung residu pestisida. Keberadaan pestisida dalam makanan, meskipun dengan konsentrasi sangat rendah, dianggap sebagai petunjuk terjadinya kontaminasi; resiko kesehatan akibat mengkonsumsi makanan terkontaminasi ini tergantung pada konsentrasi pestisida, frekuensi kontak dan lama periode terkena pestisida. Penelanan pestisida bersama makanan merupakan sumber utama penyakit dan mortalitas serta meningkatnya resiko kanker kulit, kandung kemih dan paru-paru.

Fianko et al. (2011) melaporkan bahwa telah dilakukan studi untuk menduga pengetahuan petani tentang keamanan dan pemakaian pestisida. Residu pestisida dalam sampel ikan serta resiko kesehatan potensial terkait pestisida juga dievalusasi. Data yang diperoleh dari survei lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani beresiko tinggi keracunan pestisida. Lebih dari 90 % pekerja pertanian tidak melakukan praktek keamanan selama penyiapan dan pemakaian pestisida sehingga banyak kasus penyakit terkait pestisida dalam masyarakat petani. Konsentrasi residu pestisida dalam sampel ikan sangat bervariasi dari 0,10 mikrogram/kg sampai 30,90 mikrogram/kg. Meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis aldrin, methoxychlor, chlordane, endrin al-dehyde, endrin ketone, endrin, p'p'-DDT dan d-HCH tidak berbahaya secara langsung bagi kesehatan manusia karena konsentrasinya lebih rendah daripada ambang batas toksik juga lebih rendah daripada dosis rujukan, namun mengkonsumsi ikan dan produk perikanan dari basin sungai ini adalah beresiko.

Baca juga :
Logam Berat Dalam Jaringan Tubuh Ikan

Residu Pestisida Dalam Air Danau dan Daging Ikan Mujaer

Essumang et al. (2009) melakukan studi untuk mengetahui keberadaan dan konsentrasi empat jenis pestisida organoklorin : dichlorodiphenyl dichloroethylene (2,4'-DDE), 4,4'-dichlorodiphenyldichloroethane (4,4'-DDD), p,p'-dichloro-diphenyltrichloroethane [p,p'-DDT] dan Propiconazol; serta empat jenis pestisida organofosfor : Fenitrothion, Chlorpyrifos, Dichlorvos dan Diazinon di laguna Chemu, laguna Korle, laguna Fosu dan laguna Etsii (keempat laguna terletak di Ghana). Teknik ekstraksi cairan-cairan dan cairan-padat digunakan untuk mengekstrak residu pestisida di dalam air dan dalam sampel ikan, berturut-turut, dengan menggunakan campuran etil asetat/diklorometana 1 : 1 (volume : volume) sebelum dianalisis dengan kromatografi gas.

Berdasarkan studi yang dilakukannya itu, Essumang et al. (2009) menyimpulkan bahwa kontaminasi pestisida dengan konsentrasi tertinggi ditemukan dalam laguna Chemu bila dibandingkan dengan laguna Korle dan laguna Fosu, dengan laguna Etsii menunjukkan kontaminasi paling kecil. Rata-rata total residu pestisida dalam sampel air dari keempat laguna : Chemu, Korle, Fosu dan Etsii adalah 2,6384 mg/liter, 0,4992 mg/liter, 0,3045 mg/liter dan 1,3629 mg/liter, berturut-turut. Rata-rata total residu pestisida yang diperoleh dalam sampel ikan (Sarotherodon melaanothern) dari laguna Fosu dan Etsii adalah 0,0155 mg/kg dan 0,0088 mg/kg, berturut-turut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi residu pestisida adalah berbahaya bagi manusia.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga :
Residu Oksitetrasiklin Dalam Tubuh Ikan dan Sedimen Kolam

Residu Pestisida Dalam Tubuh Ikan dan Kerang di Danau

Aksoy et al. (2011) melaporkan bahwa 47 sampel ikan (24 endemik Alburnus tarichi, 8 ikan Capoeta capoeta, 15 ikan mas Cyprinus carpio) dan 13 kerang (Unio stevenianus), dengan 10 spesimen per sampel, dikumpulkan dari Danau Van, Turki dan sungai-sungai yang memasuki danau tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pestisida jenis gamma-HCH terdeteksi di dalam 21 sampel ikan Alburnus tarichi (56,57 nanogram/gram ± 22,18 nanogram/gram) dan dalam dua sampel ikan Capoeta capoeta (27,6 nanogram/gram dan 36,45 nanogram/gram). Beta-HCH terdeteksi di dalam 8 sampel ikan Alburnus tarichi (24,95 nanogram/gram ± 4,42 nanogram/gram) dan dalam 2 sampel kerang (101,25 nanogram/gram dan 129,44 nanogram/gram). HCB ditemukan dalam satu sampel Alburnus tarichi (14,4 nanogram/gram) dan satu sampel kerang (181,25 nanogram/gram). Senyawa 4,4'-DDE terdeteksi dalam 21 sampel Alburnus tarichi (87,13 nanogram/gram ± 32,23 nanogram/gram), dalam 9 sampel ikan mas Cyprinus carpio (304,82 nanogram/gram ± 100,76 nanogram/gram) dan satu sampel kerang (149,31 nanogram/gram). PCB 28 terdeteksi dalam satu sampel Alburnus tarichi (19,46 nanogram/gram) dan PCB 101 ditemukan dalam satu sampel Capoeta capoeta (60,16 nanogram/gram). PCB 118 terdeteksi di dalam satu sampel ikan mas (277,5 nanogram/gram) dan dalam dua sampel Capoeta capoeta (43,77 dan 54,38 nanogram/gram). PCB terdeteksi hanya dalam satu sampel Capoeta capoeta (141,48 nanogram/gram). Disimpulkan bahwa (1) upaya harus dilakukan untuk mengurangi kontaminasi lingkungan perairan oleh pestisida-pestisida ini dan bahwa (2) konsentrasi pestisida dalam produk perikanan dari Danau Van serta sungai-sungai yang memasuki danau tersebut agar dipantau dan laporannya dipublikasikan secara teratur.

Baca juga :
Keberadaan Bahan Beracun di Perairan Pesisir

Residu Pestisida Organoklorin Dalam Daging Ikan Konsumsi

Kalyoncu et al. (2009) mengukur konsentrasi pestisida organoklorin dalam 18 spesies ikan dari beberapa pasar di Konya, Turki. Spesies-spesies ikan dipilih berdasarkan arti pentingnya bagi konsumsi ikan penduduk lokal. Ekstrak residu dianalisis dengan kromatografi gas mikro kapiler yang dilengkapi dengan detektor penangkap elektron. Total 14 jenis pestisida organoklorin ditemukan. Residu-residu ini ditemukan dalam semua spesies ikan kecuali trout, horse mackerel dan bonito. DDT dan metabolitnya serta HCH adalah pencemar dominan dalam daging ikan. Konsentrasi rata-rata DDT berkisar dari 0,0008 and 0,0828 mikrogram/gram. DDT merupakan residu dominan dalam ikan Sparus aurata. HCH, aldrin dan heptaklor dengan konsentrasi yang dapat diukur ditemukan dalam sebagian besar sampel. Bagaimanapun, dieldrin, endrin, ß endosulfan, p-p' DDT, dan p-p' DDD tidak ditemukan dalam ikan trout, Salmo trutta. Konsentrasi rata-rata endrin berkisar dari 0,0040 mikrogram/gram (Triglia lineate) sampai 0,0326 mikrogram/gram (Trachurus trachurus).

Baca juga :
Dampak Negatif Pestisida Bagi Perairan Pesisir

Residu Toxaphene Dalam Ikan Laut

Musial dan Uthe (1983) memberikan bukti kromatografis dan kimiawi mengenai keberadaan residu toxaphene, sejenis pestisida "polychlorinated camphene", pada ikan hering (Clupea harengus harengus) dan ikan cod (Gadus morhua) dari daerah-daerah yang terpisah jauh di pesisir timur Kanada. Toxaphene ditentukan dengan kromatografi gas kapiler. Residu toxaphene tidak terdeteksi di dalam sampel scallop laut-dalam (Placopecten magellanicus). Konsentrasi dalam jaringan ikan berkisar dari 0,4 sampai 1,1 mikrogram/gram berdasarkan berat basah dan dari 2,4 sampai 12 mikrogram/gram berdasarkan berat basah lemak. Data ini menunjukkan bahwa pencemaran lingkungan laut oleh toxaphene telah tersebar luas.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 24 November 2014

Suhu Air di Kolam Budidaya Ikan

Arsip Cofa No. C 182

Suhu Air di Kolam Ikan Daerah Tropis

Menurut Diana et al. (1997) dalam Egna dan Boyd (1997) akuakultur di daerah tropis umumnya dijalankan pada kondisi suhu yang dianggap lebih konstan daripada di daerah beriklim sedang. Bagaimanapun, kolam tropis mengalami penghangatan secara dramatis selama siang hari dan menjadi dingin pada malam hari, sehingga menimbulkan siklus harian. Juga, kebanyakan lokasi memiliki musim kering dan musim hujan, yang mungkin berbeda dengan di daerah-sedang akibat penutupan awan dan faktor-faktor lain. Fluktuasi harian membuatnya sulit untuk membandingkannya dengan daerah beriklim sedang, sehingga termometer maksimum-minimum merupakan alat yang sangat berguna untuk melakukan perbandingan ini. Di Rwanda, sebagai contoh, suhu air adalah paling dingin apalagi di daerah yang tinggi di atas permukaan laut, dengan nilai maksimum mingguan berkisar 22 - 30 oC dan minimum mingguan 22 - 25 oC. Indonesia, sebagai negara yang paling dekat dengan katulistiwa, memiliki suhu terhangat, dengan maksimum 30 - 41 oC dan minimum 21 - 28 oC. Letak lintang dan ketinggian tempat dengan demikian mempunyai dampak kuat terhadap kondisi suhu air, dan pada semua lokasi suhu air berubah dramatis dari siang ke malam, sering sebesar 10 oC selama satu hari. Kondisi suhu adalah cukup dingin di Rwanda yang dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi ikan mujaer, sementara kondisi suhu paling baik untuk pertumbuhan mujaer adalah di Indonesia dan Thailand.

Selain efek musiman, suhu air juga menunjukkan stratifikasi vertikal di kolam tropis dangkal. Pada kebanyakan kolam ini, massa air mengalami stratifikasi karena penghangatan lapisan permukaan selama siang hari dan terbatasnya angin. Sebagai contoh, suhu air kolam mengalami stratifikasi di Thailand pada pukul 14.00, dan stratifikasi ini hilang dari pukul 19.00 sampai 09.30 pagi berikutnya. Perbedaan maksimum (perbedaan antara suhu air lapisan atas dan lapisan dasar) terjadi pada pukul 14.00, dan perbedaan ini sering sebesar 3 - 5 oC. Stratifikasi sering hilang selama siang hari akibat hujan atau angin. Selama malam hari, stratifikasi lenyap akibat pendinginan air permukaan. Pola stratifikasi di Indonesia, Honduras dan Panama tampaknya serupa dengan di Thailand (Diana et al. ,1997, dalam Egna dan Boyd, 1997).

Baca juga :
Kemungkinan Memacu Pertumbuhan Ikan Dengan Memanipulasi Suhu Air

Sumber Alami Energi Panas di Kolam Ikan

Lamoureux et al. (2006) melaporkan bahwa sebuah model pengatur suhu dan panas kolam ("pond heat and temperature regulation" (PHATR)) telah dirancang untuk : (1) menduga suhu kolam tanah luar-ruangan untuk budidaya ikan dan (2) menentukan ukuran mekanisme transfer energi yang mempengaruhi perolehan atau kehilangan energi di kolam tersebut. Model ini memenuhi persamaan diferensial ordo pertama non-linier dengan menggunakan metode numeris Runge-Kutta ordo ke-4 dan berbagai data (data cuaca, karakteristik kolam dan laju aliran air). Data yang dihasilkan (dugaan suhu kolam) dibandingkan dengan data suhu kolam hasil pengukuran yang dikumpulkan dari kolam air hangat di Stasiun Pusat Penelitian Akuakultur, Louisiana State University Agricultural.

Berdasarkan hasil studi tersebut, Lamoureux et al. (2006) menyimpulkan bahwa model ini memberikan data suhu dugaan yang lebih tinggi 0,7 °C untuk kolam yang tak dipanasi dan 2,6 °C lebih tinggi untuk kolam yang dipanasi. Fluktuasi laju aliran air hangat yang digunakan untuk memanasi kolam diyakini bertanggung jawab atas lebih besarnya kesalahan dalam menduga suhu air kolam yang dipanasi. Secara rata-rata, dua vektor energi terpenting untuk kolam yang tak dipanasi adalah radiasi kolam gelombang panjang (39%) dan radiasi langit gelombang panjang (31%). Pada waktu-waktu tertentu, radiasi matahari bertanggung jawab atas sampai sebesar 49 % dari semua energi yang ditransfer ke kolam yang tak dipanasi. Untuk kolam yang dipanasi, secara rata-rata, mekanisme transfer energi yang penting adalah radiasi kolam gelombang panjang (25%), radiasi langit gelombang panjang (19%), air sumur-geotermal hangat (19%) dan air buangan (15%). Pada waktu-waktu tertentu, radiasi matahari bertanggung jawab atas sampai sebesar 50 % sedangkan air sumur hangat bertanggung jawab atas 60 % dari semua energi yang ditransfer ke kolam yang dipanasi.

Baca juga :
Pengaruh Kedalaman Perairan Terhadap Ikan

Karakteristik Suhu Air Kolam Ikan

Yaodong et al. (2004) menyatakan bahwa suhu air memiliki dampak penting terhadap keamanan musim dingin bagi ikan-ikan daerah tropis dan subtropis yang daya tahan terhadap suhu dinginnya relatif lemah. Dalam makalah ini, perubahan karakteristik suhu air di kolam ikan dan model simulasinya di musim dingin di daerah Guangzhou diteliti berdasarkan data pengamatan suhu air di kolam ikan dan suhu udara di stasiun meterologi terdekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa amplitudo (selisih nilai maksimum dan minimum) harian suhu air di kolam ikan relatif kecil dan ada keterlambatan waktu antara saat suhu udara harian mencapai maksimum dengan saat suhu air mencapai maksimum. Ciri ini sangat jelas pada suhu tiap jam dan suhu rata-rata harian. Perubahan harian suhu air pada cuaca cerah adalah jauh lebih besar dibandingkan pada cuaca mendung. Amplitudo harian suhu air perlahan-lahan berkurang dan keterlambatan waktu menjadi makin jelas dengan bertambahnya kedalaman air.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Perubahan Musiman dan Harian Suhu Air Kolam Ikan

Young (1975) melaporkan bahwa perubahan musiman suhu air, termasuk periode suhu rendah maupun tinggi, penurunan maupun peningkatan suhu telah direkam di kolam daerah beriklim sedang dan kolam tropis. Selama setahun, kisaran antara suhu mingguan rata-rata terendah dan tertinggi adalah lebih besar di kolam daerah-sedang dibandingkan di kolam tropis. Kisaran antara suhu air mingguan rata-rata minimum dan maksimum selama bulan-bulan terhangat di kolam tropis adalah lebih besar dibandingkan suhu mingguan rata-rata pada bulan apa pun dalam setahun di kolam daerah-sedang. Rata-rata mingguan suhu air dan udara menunjukkan pola yang sama dengan fluktuasi suhu musiman; di kolam tropis suhu udara mingguan rata-rata selalu lebih kecil daripada suhu air minimum mingguan rata-rata; di kolam daerah-sedang nilai ini ada di bawah, di dalam atau di atas kisaran antara suhu air mingguan minimum rata-rata dan maksimum rata-rata dalam setahun. Di kedua jenis kolam tidak terjadi fluktuasi harian selama bulan-bulan dingin; kisaran fluktuasi di bulan-bulan yang hangat bervariasi menurut waktu dalam setahun, dan kisaran ini lebih besar selama bulan-bulan paling hangat di kolam tropis. Di kedua kolam, suhu terendah kadang-kadang terekam antara pukul 02.00 dan 10.00 sedangkan suhu tertinggi terekam antara pukul 12.00 dan 20.00.

Baca juga :
Suhu dan Kandungan Panas Perairan : Aspek Fisik

Pendugaan Suhu Air Kolam Ikan Berdasarkan Suhu Udara

Shakir (2013) melaporkan bahwa sebuah model regresi logistik nonlinier dan linier sederhana sebagai simulasi suhu air permukaan berdasarkan suhu udara pada berbagai skala waktu telah disusun dengan memanfaatkan data suhu udara-air selama tahun 2005 - 2009. Parameter-parameter model linier maupun non linier diduga berdasarkan data seri-waktu 5 tahun suhu udara dan suhu air dengan menggunakan metode optimasi kuadrat terkecil. Variasi suhu air harian, mingguan dan bulanan diduga dengan sangat akurat oleh model regresi linier sederhana air-udara. Hasilnya menunjukkan bahwa ketika suhu harian air-udara dirata-ratakan selama periode mingguan dan bulanan, korelasi antara suhu air hasil pengukuran dan hasil simulasi menjadi lebih baik. Metodologi yang dikembangkan di sini untuk melakukan simulasi suhu air permukaan di sebuah kolam kecil yang airnya dipasok-ulang berdasarkan suhu udara pada berbagai skala waktu dapat diterapkan untuk mengisi data suhu air yang kosong atau hilang atau yang tak terekam dan dapat membantu dalam menduga penguapan serta menganalisis pengaruh perubahan iklim terhadap suhu air kolam di daerah semi-kering di India.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata

Pengaruh Intensifikasi Budidaya Terhadap Suhu Air Kolam Ikan

Augustyn (1995) menentukan pengaruh diversifikasi budidaya ikan mas dan dinamika kondisi atmosfer terhadap suhu dan kejernihan air kolam ikan. Peningkatan intensifikasi budidaya ikan mas menyebabkan penurunan kerjenihan air dan dengan demikian menimbulkan gradien (perbedaan) suhu vertikal dalam kolom air; pada kolam dengan budidaya yang intensif, di awal bulan Mei, Secchi disk tidak terlihat pada kedalaman 30 cm dan suhu lapisan air dekat dasar kolam pada hari cerah dan tidak berangin adalah lebih rendah 1 °C (atau lebih) dibandingkan pada kolam tanpa ikan.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 13 November 2014

Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Ikan dan Makrobentos

Arsip Cofa No. C 181

Pengaruh Kekurangan Oksigen Jangka Pendek Terhadap Ikan

Seager et al. (2000) melakukan percobaan laboratorium untuk mempelajari pengaruh lama dan frekuensi pemaparan terhadap daya racun rendahnya konsentrasi oksigen terlarut jangka-pendek bagi ikan. Untuk penelitian lama pemaparan, ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss [Walbaum]) dan roach (Rutilus rutilus L.) dipaparkan terhadap satu kisaran konsentrasi oksigen terlarut selama 1, 6 atau 24 jam. Untuk penelitian frekuensi pemaparan, ikan brown trout (Salmo trutta L.) dipaparkan selama 24 jam terhadap konsentrasi oksigen terlarut 4,0 dan 5,5 mg/liter dengan frekuensi satu atau dua kali seminggu selama periode 75 hari.

Seager et al. (2000) menyimpulkan, berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, bahwa selama waktu tertentu, ada kisaran sempit ambang batas konsentrasi di mana di atas ambang ini tidak terjadi kematian tetapi di bawah ambang tersebut mortalitas menjadi tinggi dan cepat. Kisaran ambang batas konsentrasi ini meningkat dengan meningkatnya lama pemaparan. Ikan roach dapat bertahan hidup pada konsentrasi oksigen yang lebih rendah dibandingkan ikan trout. Pengamatan terhadap hewan uji setelah pemaparan menunjukkan tidak ada efek pasca pemaparan yang nyata, meskipun pada konsentrasi oksigen terlarut yang sangat rendah. Untuk penelitian frekuensi pemaparan yang dilakukan di sini, konsentrasi oksigen terlarut, bukannya frekuensi pemaparan, merupakan faktor penting yang berpengaruh bagi ikan. Tidak terlihat adanya efek nyata terhadap laju pertumbuhan tetapi ada perbedaan nyata dalam hal kadar hemoglobin, jumlah sel darah (hematocrit) dan berat organ. Hasil-hasil penelitian ini memiliki implikasi penting dalam penentuan standar kualitas lingkungan yang bertujuan sebagai kontrol terhadap polusi sungai.

Baca juga :
Hubungan Tingkat Aktivitas Dengan Konsumsi Oksigen Pada Hewan Air

Pengaruh Kekurangan Oksigen Terlarut Terhadap Perikanan Trout di Danau

Weithman dan Haas (1984) melaporkan bahwa Danau Taneycomo, sebuah bendungan pembangkit listrik tenaga air seluas 700 hektar, di Taney County, Missouri barat daya, mendapat pasokan air hipolimnetik dingin dari bendungan di daerah hulunya. Perikanan trout (Salmo gairdneri) dengan model tebar-tumbuh-tangkap telah berjalan mantap di Danau Taneycomo, tetapi keberhasilan perikanan ini berkurang pada setiap musim gugur ketika masa air yang miskin oksigen memasuki danau tersebut. Perikanan ini diteliti secara mendetail dari bulan Juni 1978 sampai Mei 1980. Selama periode ini, rata-rata laju penangkapan ikan trout adalah 0,55 ikan/jam, dan dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen terlarut, jumlah ikan yang tersedia untuk ditangkap, laju pemasukan air dari bendungan di bagian hulu, pengalaman pemancing dan suhu air. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebesar 1 mg/liter, antara 6,0 dan 2,4 mg/liter, menurunkan laju penangkapan sebesar 0,1 ikan/jam. Selama musim gugur, perubahan laju penangkapan sebesar 0,1 ikan/jam bisa menyebabkan perubahan 20.000 jam pemancingan di Danau Taneycomo. Perkiraan kerugian ekonomi tahunan bagi perekonomian daerah Taney County akibat rendahnya konsentrasi oksigen terlarut adalah $ 358.000 (kisaran, $ 267.000 - $ 432.000).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga :
Konsumsi Oksigen Pada Ikan : Pengaruh Faktor-Faktor Biologi

Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Yang Rendah Terhadap Jaring-Jaring Makanan di Estuaria

Breitburg et al. (1997) menjelaskan bahwa studi ekologi, termasuk studi tentang eutrofikasi pesisir, memberikan penekanan yang bervariasi antara proses level-spesies vs level-ekosistem. Variasi respon spesies terhadap gangguan lingkungan fisik adalah penting dalam menentukan kapan proses level-spesies atau level-populasi akan berdampak kuat bagi organisasi ekologis. Breitburg et al. (1997) melakukan eksperimen laboratorium skala-mesokosmos dan skala-kecil untuk menentukan bagaimana konsentrasi oksigen yang rendah mempengaruhi laju pemangsaan pada zooplankton, larva ikan dan jaring-jaring makanan larva pemangsa yang khas di daerah mesohalin di Teluk Chesapeake. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan dasar Teluk Chesapeake berkurang selama musim panas hingga mencapai level yang secara fisiologis bisa menimbulkan stres atau bersifat letal (mematikan) bagi binatang yang mengandalkan respirasi aerobik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh rendahnya konsentrasi oksigen terhadap interaksi makan-memakan adalah bervariasi antar pasangan spesies dalam jaring-jaring makanan yang dipelajari. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah namun nonletal meningkatkan secara tajam laju pemangsaan terhadap larva ikan (terutama ikan gobi Gobiosoma bosc) oleh ubur-ubur sea nettle (scyphomedusa Chrysaora quinquecirrha) tetapi menurunkan laju pemangsaan oleh juvenil ikan striped bass (Morone saxatilis). Pemangsaan oleh predator tunggal, yaitu sea nettle, meningkat terhadap larva ikan, menurun terhadap telur ikan (Anchoa mitchilli), dan secara nyata meningkat tetapi tidak besar terhadap kopepoda (terutama Acartia tonsa) pada konsentrasi oksigen terlarut rendah. Perubahan interaksi predator-mangsa mencerminkan variasi antar spesies dalam hal toleransi fisiologisnya terhadap oksigen rendah dan pengaruh konsentrasi oksigen rendah terhadap perilaku meloloskan diri pada mangsa, serta terhadap aktivitas renang dan perilaku makan predator. Karena variasi pengaruh terhadap interaksi makan-memakan, konsentrasi oksigen terlarut yang rendah berpotensi menjadi penyebab utama perubahan peranan berbagai jalur lintasan energi di Teluk Chesapeake dan pada sistem estuaria lainnya (Breitburg et al., 1997).

Baca juga :
Dinamika Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan

Pengaruh Kekurangan Oksigen Yang Parah Terhadap Makrobentos Laut

Powilleit dan Kube (1999) mendeteksi kekurangan oksigen yang parah di bagian-bagian dangkal Teluk Pomerania (Laut Baltik selatan) untuk pertama kalinya pada bulan Juli/Agustus 1994. Kombinasi kondisi meteorologis dan hidrografi yang tak wajar bersama dengan beban zat hara yang umumnya tinggi di daerah pesisir ini diyakini menyebabkan hipoksia/anoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal/nol) yang luas. Pengaruh kejadian ini terhadap makrobentos dipelajari dengan membandingkan struktur komunitas sebelum dan setelah musim panas 1994 di empat lokasi yang derajat kekurangan oksigennya berbeda-beda. Perubahan struktur komunitas makrobentos yang terlihat di tiga lokasi adalah disebabkan terutama oleh hipoksia/anoksia pada musim panas 1994. Pemulihan makrobentos setelah kekurangan oskigen tidak mengikuti pola suksesi yang umumnya berlaku setelah ada gangguan lingkungan, yang dicirikan oleh rekruitmen masal spesies oportunistik dengan laju pergantian spesies yang cepat.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa di stasiun 2, lokasi yang menerima dampak paling parah, jumlah spesies, kelimpahan total dan biomas total makrobentos menurun tajam setelah kejadian kekurangan oksigen, dan rekolonisasi masih belum sempurna meskipun sudah dua tahun. Stasiun 1 dan 3, yang menerima dampak sedang, menunjukkan pemulihan yang hampir sempurna dalam hal komposisi dan kelimpahan spesies dalam waktu dua tahun, tetapi biomasnya masih rendah. Sementara terjadi rekolonisasi di stasiun 1 dan 3 oleh individu juvenil dan dewasa dari daerah pesisir di dekatnya yang tidak terkena dampak, suksesi di stasiun 2 didominasi oleh kolonisasi post larva (dari pemencaran planktonik). Stasiun 4 tidak dipengaruhi oleh kekurangan oksigen dan struktur komunitasnya hanya mengalami variasi kecil. Derajat pemulihan amfipoda yang secara umum sangat rendah di tiga stasiun yang terkena dampak dan bahkan pemulihan oligochaeta (Tubificoides (Peloscolex) benedeni dan Heterochaeta (Tubifex) costata) di stasiun 2 merupakan bukti lebih lanjut mengenai parahnya kekurangan oksigen dalam sedimen Teluk Pomerania (Powilleit dan Kube, 1999).

Baca juga :
Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 28 Oktober 2014

Arsip Artikel Perikanan : Kompilasi I

Arsip Cofa No. D 001


Ringkasan :
- Hubungan Perairan Asam dan Aluminium
- Bentuk-Bentuk Ion Aluminium di Alam
- Upaya Memperbaiki Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Ikan Hias
- Produktivitas Primer Laut Purba Dibatasi Besi ?
- Morfologi dan Biologi Krinoid Purba
- Distribusi Tetrodotoksin dalam Jaringan Tubuh Ikan Buntal, Fugu
- Moluska Purba Penghuni Karang dan Laguna
- Pengaruh Perikanan Terhadap Reproduksi Ikan Chrysoblephus
- Biologi dan Genetika Tumbuhan Pantai, Leymus
- Ikan Neenchelys dari Laut Banda
- Variasi Genetik dan Asal Usul Spartina anglica
- Fosil Ostracoda dan Kadar Oksigen Masa Silam
- Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan Piaractus
- Persilangan Laminaria dari Atlantik Utara dan Selatan
- Virus dan Bakteri Sebagai Komponen Komunitas Plankton
- Peranan Bakteri Fotosintesis Dalam Ekologi Danau
- Daya Apung Fitoplankton dan Arti Pentingnya
- Metode-Metode Pemulihan Danau Tercemar
- Mencegah Air Tercemar Memasuki Danau Sebagai Upaya Pemulihan Danau
- Keuntungan Penanganan Limbah Industri Secara Anaerob
- Cara Kerja Sistem Anaerob Dalam Penanganan Limbah Industri
- Biologi Daphnia
- Peranan Partenogenesis Dalam Reproduksi Daphnia
- Gas-Gas Terlarut Dalam Perairan
- Kelarutan Gas di Dalam Perairan
- Peranan Bakteri Dalam Menyingkirkan Amonia Dari Air Akuarium
- Kejadian Keracunan Amonia di Kolam Ikan
- Gejala-Gejala Klinis Keracunan Amonia Pada Ikan
- Hutan Bakau Sebagai Penghubung Antara Komunitas Darat dan Laut
- Asosiasi Tumbuhan Pantai Laut
- Pengaruh Cat Kapal Terhadap Imposeks Pada Gastropoda
- Kegagalan Reproduksi Siput Nucella Akibat Imposeks
- Pengaruh Timah Dari Cat Kapal Terhadap Reproduksi Siput Nucella lapillus
- Kekeruhan Estuaria Akibat Pengerukan dan Penggalian Cangkang Kerang
- Kesulitan Yang Dihadapi Dalam Merangsang Kematangan Gonad Bandeng Dengan Hormon
- Cangkok Hormon LHRH Untuk Merangsang Pemijahan Bandeng
- Merangsang Pelepasan Gonadotropin Dengan LHRH Pada Ikan Mas
- Variasi Kepekaan Gonad Ikan Terhadap LHRH
- Bahan-Bahan Beracun Yang Memasuki Perairan Pesisir
- Efek Negatif Herbisida Bagi Perairan Pesisir
- Konsumsi Oksigen di Air dan di Udara Pada Siput
- Perilaku Menggerombol Pada Ikan
- Keuntungan Perilaku Menggerombol Pada Ikan
- Peningkatan Konsentrasi Hemosianin Selama Estivasi Pada Siput
- Perubahan Metabolisme Protein Pada Siput Yang Berestivasi
- Pengaruh Kecepatan Renang dan Konsentrasi Oksigen Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Ikan Lele
- Sukrosa dan Metanol Meningkatkan Toleransi Embryo Oyster Terhadap Pendinginan dan Pembekuan
- DMSO dan Gliserol Sebagai Senyawa Pelindung-Beku Untuk Embryo Avertebrata
- Pengaruh Pemberian LHRHa Terhadap Konsentrasi Gonadotropin
- Cangkok LHRHa Meningkatkan Konsentrasi Hormon Gonadotropin Dalam Jangka Panjang
- Jamur Air Saprolegniales
- Kesulitan Dalam Mengidentifikasi Jamur Patogen Pada Hewan Air
- Kesulitan Dalam Mengisolasi Jamur Patogen Pada Hewan Air
- Penyakit Jamur Pada Ikan dan Telur Ikan
- Kejadian Wabah Aphanomycosis Pada Udang Crayfish
- Gejala dan Gambaran Klinis Aphanomycosis
- Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air
- Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air
- Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air
- Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air
- Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur
- Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur
- Kesuburan Telur dan Sperma Ikan Yang Disimpan-Beku dan –Dingin
- Prosedur Penyimpanan Dingin Telur dan Sperma Ikan
- Penyingkiran Logam Berat Dari Air Limbah
- Definisi dan Tipe-Tipe Estuaria
- Rancangan Hatchery Udang Laut

- Daftar Pustaka

Kata penting :
Aluminium, pH, sistem pengemasan ikan hias, stres, produktivitas primer laut, besi, krinoid, cupulocrinid, ikan buntal, moluska, sparidae, lamun, ostracoda, suhu, fitoplankton, bakteri, alga hijau-biru, daya apung, diatom, metode pemulihan danau, penanganan limbah secara anaerob, metana, partenogenesis, nitrogen, oksigen, karbon dioksida, keracunan amonia, filtrasi biologis, mangrove, asosiasi tumbuhan pantai laut, mangal, asosiasi Nypa, asosiasi Barringtonia, asosiasi Pes-caprae, asosiasi Cymodocea, gastropoda, imposeks, cat anti fouling, organisme penempel, tributiltin, TBT, timah, cat kapal, cangkang oyster, kekeruhan, penggalian, merangsang kematangan gonad, penyuntikan hormon, pelet hormon, luteinizing hormone-releasing hormone, LHRH, GtH (gonadotropin hormon), ikan mas, hormon pelepas hormon luteinizing (LHRH), TKG (Tingkat Kematangan Gonad), racun, pestisida, biosida, insektisida, hidrokarbon berklorin (organoklorin), DDT, organofosfat, malathion, karbamat, fungisida, herbisida, polychlorinated biphenyl (PCB), logam berat, rawa mangrove, rawa Spartina, gastropoda, konsumsi oksigen, suhu, Prosobranchia, Pulmonata, bobot badan, siput amfibi, perilaku menggerombol, gerombolan ikan, Hemosianin, siput, estivasi, tingkat konsumsi oksigen, hipoksia, metabolisme protein, renang, toleransi terhadap pendinginan dan pembekuan, embryo oyster Pasifik, pelindung-beku (cryoprotective), sukrosa, metanol, dimetil sulfoksida (DMSO), embryo remis, gliserol, LHRH analog, hormon gonadotropin (GtH), Saprolegniales, jamur patogen, penyakit jamur, antibiotik, aphanomycosis, crayfish, biotin, p-amino benzoat, nikotinamida, Chytridiomycetes, Oomycetes, asam glutamat, asparagin, pertumbuhan jamur, kesuburan telur dan sperma ikan, ikan mas, tawes, ikan kowan, bighead carp, ikan jambal, nitrogen cair (LN2, Liquid Nitrogeni), penyimpanan telur dan sperma ikan, menghilangkan logam berat dari air limbah, estuaria, hatchery udang laut, Piaractus mesopotamicus, Laminaria pallida, Laminaria schinzii, Laminaria abyssalis, Cupulocrinus crossmani, Praecupulocrinus conjugans, Caecum pulchellum, Bulla striata, Cerithium algicola, Fugu xanthopterus, Chrysoblephus laticeps, Chrysoblephus cristiceps, Leymus arenarius, Neenchelys daedalus, Spartina anglica, Spartina maritima, Spartina alterniflora, Botryococcus braunii, Daphnia pulex, Daphnia magna, Daphnia similis, Nitrosomonas, Artrocnenum, Salicornia, Nucella lapillus, Nassarius obsoletus, Cyprinus carpio, Spartina, Pomacea paludosa, Marisa cornuarieties, Pila globosa, Tilapia mossambica, Mystus armatus, Crassostrea gigas, Choromytilus chorus, Aphanomyces astaci, Saprolegnia, Achlya, Aphanomyces, Leptomitus, Pythium, Catenaria, Sapromyces, Saccharomyces rouxii, Saccharomyces mellis, Aspergillus glaucus, Labeo rohita, Puntius gonionotus, Ctenopharyngodon idella, Aristichthys nobilis, Pangasius sutchi.

donasi dg belanja di Toko One


Baca online (login facebook lebih dulu) :
Download lengkap (format pdf bisa diedit; 231 KB; 40 halaman)
ARTIKEL TERKAIT

Senin, 13 Oktober 2014

Prosedur Ablasi dan Pengaruh Terhadap Reproduksi, Fisiologi, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang

Arsip Cofa No. C 180

Upaya Merangsang Kematangan Gonad Udang Windu Dengan Ablasi

Singh (1987) melakukan percobaan pematangan ovari udang windu Penaeus monodon melalui ablasi tangkai mata di kolam air payau di daerah hilir Sundarban, Benggala Barat. Betina udang windu (bobot 100 gram atau lebih) yang belum matang gonad dan dibudidayakan dalam sebuah tambak (bhari) diablasi salah satu atau kedua tangkai matanya dan kemudian dipelihara bersama dengan udang jantan sehat matang gonad (bobot 80 gram atau lebih) pada jumlah yang sama di dalam karamba bambu (2,25 m x 2,25 m) di dalam tambak tersebut. Hewan uji diberi pakan dua kali sehari berupa cincangan daging udang penaeidae lain dan bivalva yang baru saja ditangkap dari lokasi tersebut. Kematangan gonad yang cepat dan diikuti oleh pemijahan terjadi dalam periode 10 – 21 hari setelah ablasi. Pelaksanaan ablasi sangat sesuai pada bulan-bulan musim kering Februari – Juli ketika penguapan air yang tinggi di perairan pantai dangkal mendorong peningkatan salinitas (26 – 32 ppt).

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea

Perbaikan Prosedur Ablasi

Diarte-Plata et al. (2012) memperbaiki prosedur ablasi agar kurang menyakitkan untuk menghindari hilangnya hormon-hormon dari kelenjar sinus organ X pada udang galah Macrobrachium americanum dewasa. Tiga kelompok perlakuan dan dua kelompok kontrol dianalisis untuk menentukan tingkat stres yang diakibatkan oleh : (1) ablasi unilateral, (2) ablasi unilateral dan penutupan untuk memungkinkan penggumpalan, dan (3) penjahitan luka (ligation) pada pangkal tangkai mata. Setiap kelompok dibagi menjadi dua sub kelompok untuk menganalisis pengaruh perlakuan dengan dan tanpa xylocaine. Untuk udang jantan dan betina kelompok kontrol hanya dimanipulasi tetapi tidak diablasi. Trauma yang disebabkan oleh perlakuan pada Macrobrachium americanum tercermin oleh tingkah laku terkait rasa sakit, seperti menyabetkan ekor sebagai respon refleks untuk melarikan diri dan menggosok-gosokkan bagian tubuh yang sakit. Selain itu, juga dilakukan pengamatan terhadap lima jenis tingkah-laku. Empat jenis berkaitan langsung dengan rasa sakit dan ketidaknyamanan, yaitu tidak berlindung di tempat persembunyian, kehilangan orientasi, melompat mundur dan membungkuk. Jenis tingkah laku kelima, yaitu perilaku makan, berkaitan dengan gangguan hormon yang disebabkan oleh penyingkiran kelenjar sinus organ X. Variabel-variabel yang dipengaruhi secara langsung oleh perlakuan adalah pendarahan, penjahitan luka dan kondisi hormon. Perlakuan yang menimbulkan rangsangan negatif paling nyata adalah penjahitan luka.

Pada kelompok udang yang diberi perlakuan penjahitan luka, sebanyak 50 % lebih menunjukkan tingkah laku menyabetkan ekor, 90 % lebih menggosok-gosokkan anggota badannya, 50 % lebih mengalami disorientasi (kehilangan arah) dan 80 % lebih menunjukkan perilaku meloncat-mundur daripada udang dalam kelompok-kelompok lain. Ablasi tanpa penutupan luka untuk memungkinkan penggumpalan darah memberikan rangsangan negatif yang cukup nyata. Terakhir, perlakuan dengan rangsangan negatif paling kecil adalah perlakuan terhadap udang betina menggunakan obat bius dan ablasi dengan penutupan luka untuk memungkinkan penggumpalan darah. Sub kelompok ini menunjukkan hanya 20% lebih udang yang menyabetkan ekor dan 30% lebih udang yang menggosok-gosokkan badannya dibandingkan kelompok kontrol, dan hanya 30 % yang tidak bersembunyi. Udang-udang ini juga tidak menunjukkan gejala kehilangan-arah ataupun perilaku membungkuk (Diarte-Plata et al., 2012).

Baca juga :
Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting

Pengaruh Ablasi Satu Tangkai Mata dan Dua Tangkai Mata Terhadap Molting dan Pertumbuhan

Venkitraman et al. (2004) melaporkan bahwa udang penaeidae Metapenaeus dobsoni dengan dua kisaran ukuran yang berbeda telah diablasi baik secara unilateral (salah satu tangkai mata) maupun bilateral (kedua tangkai mata) kemudian dipelajari secara individual. Udang unilateral mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang hampir sama seperti udang kontrol dalam kelompok ukuran 35 – 40 mm, tetapi mengkonsumsi makanan 57,8 % lebih banyak dibandingkan udang kontrol dalam kelompok ukuran yang lebih besar, 48 – 53 mm. Pertumbuhan dihitung berdasarkan perubahan panjang dan bobot badan; terlihat adanya variasi pertumbuhan yang nyata. Laju molting (ganti kulit) dan berat kering kulit sisa molting menunjukkan perbedaan yang nyata. Rata-rata periode intermolting meningkat dengan ablasi kedua. Berat kering kulit sisa molting pada setiap molting yang berturutan adalah menurun tanpa dipengaruhi oleh tingkat ablasi. Ablasi unilateral menghasilkan peningkatan berat kering sedangkan ablasi tangkai mata bilateral menghasilkan penurunan berat kering kulit sisa molting dan penurunan ini makin besar untuk setiap molting tahap berikutnya. Pada kelompok ukuran yang lebih besar, nilai “protein efficiency ration” (PER) adalah hampir sama dengan nilainya pada kelompok ukuran yang lebih kecil. Udang unilateral menunjukkan efisiensi konversi tertinggi. Laju produksi udang unilateral adalah 84 % lebih tinggi daripada kontrol sedangkan udang bilateral menunjukkan produksi negatif. Kecenderungan yang sama juga berlaku untuk efisiensi pertumbuhan neto.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ablasi tangkai mata unilateral dapat dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi konversi. Ablasi tangkai mata harus sering dilakukan pada udang dewasa guna merangsang kematangan gonad. Untuk pertama kali, ablasi dilakukan dengan tujuan membandingkan pengaruh penyingkiran satu tangkai mata versus dua tangkai mata serta perubahan yang terjadi pada udang juvenil terutama dalam hal proses-proses fisiologis terkait pertumbuhan (Venkitraman et al., 2004).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga :
Virus Pada Udang Penaeidae

Pengaruh Ablasi Unilateral dan Bilateral Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Nan et al. (1995) mempelajari pengaruh ablasi tangkai mata terhadap konsumsi oksigen dan ekskresi amonia nitrogen pada udang windu Penaeus monodon selama periode 24 jam. Konsumsi oksigen dan ekskresi amonia nitrogen adalah tinggi pada udang yang diablasi bilateral. Kedua variabel bernilai sedang pada udang yang diablasi unilateral, dan rendah pada udang utuh yang tak diablasi. Ablasi tangkai mata menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen dan ekskresi amonia nitrogen, tetapi rasio O : N (berdasarkan atom) menurun, yang menunjukkan pergeseran dari metabolisme yang didominasi-lipida ke metabolisme yang didominasi-protein. Konsentrasi oksigen letal adalah rendah pada udang yang diablasi unilateral, nilainya sedang pada udang yang tak diablasi, dan tinggi pada udang yang diablasi bilateral. Waktu letal (lethal time) adalah paling lama pada udang yang tak diablasi, sedang pada udang yang diablasi unilateral dan paling singkat pada udang yang diablasi bilateral.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Pengaruh Ablasi Terhadap Reproduksi, Biokimia dan Kelangsungan Hidup Larva Udang

Palacios et al. (1999) menyimpulkan bahwa ablasi tangkai mata meningkatkan secara nyata hasil reproduktif udang Penaeidae, dan teknik ini banyak digunakan untuk memperoleh larva udang di hatchery komersial. Ablasi menyebabkan gangguan mekanisme endokrin pada udang pemijah, dan kualitas larva yang dihasilkan mungkin juga terpengaruh oleh percepatan kematangan gonad yang tak terkendali. Dalam penelitian ini, selama periode produksi di sebuah hatchery komersial, beberapa udang betina diablasi dengan memotong salah satu tangkai mata pada pangkalnya; udang yang tak diablasi dianalisis sebagai kontrol. Analisis mencakup penampilan reproduktif, karakteristik biokimia telur dan naupli, serta kelangsungan hidup larva. Selain itu, perubahan fisiologis jangka panjang yang mungkin terjadi pada udang pemijah dievaluasi dengan menggunakan pendekatan histologis dan biokimia. Jumlah udang betina pemijah atau tahap kematangan gonad udang pemijah juga dipertimbangkan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut Palacios et al. (1999) menyimpulkan bahwa udang yang diablasi lebih sering memijah (P < 0,01) dan memiliki indeks gonadosomatik yang lebih tinggi (P < 0,05) tetapi perolehan beratnya lebih rendah daripada udang kontrol yang tak diablasi (P < 0,05). Udang betina yang diablasi memiliki kadar hemosianin dalam limfa darah yang lebih rendah (P < 0,01) dan kadar glukosa dalam hepatopankreas yang lebih rendah (P < 0,05) tetapi kadar total karotenoid dalam hepatopankreasnya lebih tinggi (P < 0,05). Telur udang yang diablasi mengandung asilgliserida lebih banyak (P < 0,05). Ada beberapa perbedaan level biokimia dalam jaringan dan telur antara udang betina yang diablasi dan yang tak diablasi. Tak ada perbedaan dalam hal komposisi biokimia naupli ataupun tingkat kelangsungan hidup larva sampai memasuki tahap post larva 1 antara udang yang diablasi dan yang tak diablasi.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 18 Agustus 2014

Penaeus vannamei : Reproduksi, Budidaya, Pakan dan Pertumbuhan

Arsip Cofa No. C 179

Perangsangan Kematangan Ovari Penaeus vannamei Dengan Ekstrak Otak Lobster

Yano dan Wyban (1992) melaporkan bahwa perangsangan kematangan ovari pada udang Penaeus vannamei, dengan menyuntikkan ekstrak otak dari lobster betina Homarus americanus, dengan ovarinya yang sedang berkembang, telah diteliti di bawah kondisi kultur tangki. Lima dari delapan betina yang disuntik esktrak otak menjadi matang gonad sedangkan hanya 2 dari 18 udang betina kontrol yang disuntik ganglion abdominal atau larutan garam menjadi matang gonad. Dua udang betina dengan tahap (Tingkat Kematangan Gonad) V telah ditemukan 17 hari setelah penyuntikkan ekstrak otak lobster. Ini menunjukkan bahwa kematangan ovari Penaeus vannamei di dalam tangki bisa dirangsang dan dipercepat dengan menyuntikkan esktrak otak dari betina spesies lain yang sedang matang gonad. Kematangan ovari bisa dirangsang oleh suatu hormon otak yang merangsang pelepasan “gonad-stimulating hormone” (GSH; hormon perangsang gonad) dari ganglion toracic. Jadi, “gonad-stimulating hormone-releasing hormone” (GSH-RH; hormon pelepas GSH) dinominasikan sebagai tipe hormon yang mungkin di dalam otak yang bertanggung jawab atas kematangan ovari pada udang ini.

Baca juga :
Virus Pada Udang Penaeidae

Hermaprodit Tak Normal Pada Udang Penaeus vannamei

Farfante dan Robertson (1992) menemukan dua ekor udang Penaeus vannamei hermaprodit di antara sekelompok induk F4 di sebuah lokasi budidaya di Venezuela. Udang-udang ini merupakan penaeoid yang dilaporkan pertama kali memiliki thelycum, petasma, appendix masculina, ovari, testis dan lubang-lubang genital jantan maupun betina. Gonopore jantan dan betina adalah normal; thelyca mirip seperti pada betina normal; petasma dan appendix masculina berukuran lebih kecil dibandingkan normalnya dengan bentuk yang tidak khas; ovari dan testis mengalami banyak penyusutan, tetapi pengamatan histologis menunjukkan bahwa jaringan gonad tersebut secara khas adalah sama seperti pada udang normal. Tidak tampak adanya faktor-faktor yang merangsang pembentukan ciri seksual tak normal ini. Kejadian hermaprodit ini, mungkin berkaitan dengan kondisi selama budidaya udang tersebut di dalam wadah terkurung.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Budidaya Udang Penaeus vannamei Intensif Dalam Sistem Kolam Air Deras

Robertson et al. (1992) melakukan percobaan pertumbuhan udang Penaeus vannamei intensif selama 49 hari dalam kolam air deras seluas 70 m2 di dalam rumah kaca. Penaeus vannamei ditebarkan pada berat rata-rata 80 mg dan kepadatan 223 – 229 individu/m2). Udang tumbuh dengan laju rata-rata 0,94 sampai 1,19 gram/minggu. Mereka dipanen pada ukuran rata-rata 6,5 sampai 8,1 gram dengan produksi biomas mencapai 1,36 – 1,56 kg/m2 dan tingkat kelangsungan hidup berkisar dari 78 sampai 83 %. Ketika biomas meningkat, pengelolaan resirkulasi air dan pertukaran air lebih diintensifkan. Air laut diganti semula dengan laju 3 % per hari kemudian dinaikkan menjadi 400 % per hari selama minggu akhir penelitian. Walaupun percobaan ini dilakukan selama akhir musim semi di Texas ketika suhu air sekeliling pada pagi hari berkisar dari 18,3 sampai 28,3 oC, suhu dalam kolam air deras dipertahankan agar mencapai rata-rata suhu harian rendah 26,8 oC dan rata-rata suhu harian tinggi 29,8 oC. Udang yang dibudidayakan secara bersamaan dalam kolam luar-ruangan adalah lebih kecil (4,3 sampai 5,0 gram) dan pertumbuhannya lebih lambat (0,62 sampai 0,71 gram/minggu). Hasil yang diperoleh dalam percobaan ini menunjukkan bahwa juvenil yang lebih besar bisa diproduksi dan juga menunjukkan bahwa Penaeus vannamei bisa dibudidayakan dengan berhasil di dalam sistem intensif kolam air deras ini sampai ukuran yang bisa dipasarkan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga :
Pakan Alami Penaeus

Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan Yang Baik Bagi Pertumbuhan Penaeus vannamei

Robertson et al. (1993) melaporkan bahwa percobaan pertumbuhan intensif di kolam tanah menunjukkan bahwa pertumbuhan udang Penaeus vannamei meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi pemberian pakan dan memperkuat dugaan bahwa pemberian pakan pada siang hari menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan pemberian pakan pada malam hari. Perbedaan pertumbuhan akibat frekuensi pemberian pakan adalah nyata, “instantaneous growth rate’ (IGR; laju pertumbuhan sesaat) meningkat dari 1,62 % sampai 1,66 % menjadi 1,71 % per hari ketika frekuensi pemberian pakan meningkat dari 1 sampai 2 menjadi 4 kali per 24 jam. Perbandingan nilai IGR antara udang yang diberi pakan pada malam hari (1,64 % per hari) dengan udang yang diberi pakan pada siang hari (1,68 % per hari) menunjukkan (P = 0,0633) bahwa pertumbuhan adalah lebih besar untuk udang yang diberi pakan pada siang hari dibandingkan udang yang diberi pakan pada malam hari. Tingkat kelangsungan hidup udang tidak berbeda nyata antar perlakuan frekuensi pemberian pakan, juga tidak berbeda nyata antar perlakuan waktu pemberian pakan (siang atau malam) ; rata-rata tingkat kelangsungan hidupnya adalah 74,7 ± 6,1 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penaeus vannamei yang dibudidayakan pada kondisi yang sama dengan kondisi percobaan ini sebaiknya diberi pakan sedikitnya 4 kali sehari, dan bahwa pemberian pakan pada siang hari adalah setidaknya sama baik dengan dan bahkan mungkin lebih disukai daripada pemberian pakan pada malam hari.

Baca juga :
Udang Metapenaeus : Bioekologi, Reproduksi dan Budidaya

Pengaruh Protein Hewani dan Nabati Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Penaeus vannamei

Gong et al. (2012) melakukan sebuah percobaan selama delapan minggu untuk membandingkan penampilan dua galur genetika udang Penaeus vannamei, yaitu galur T dan galur G, yang diberi pakan dengan berbagai kadar dan sumber protein. Kedua galur berasal dari populasi yang sama tetapi telah mengalami seleksi genetik secara khusus selama lebih dari empat generasi. Galur T dikembangkan untuk memperoleh udang yang tumbuh cepat dan kebal terhadap penyakit virus sindrom Taura, sedang galur G dikembangkan untuk mendapatkan udang yang tumbuh cepat dan produksi tinggi pada kondisi padat penebaran tinggi. Lima perlakuan pakan diberikan : dua pakan komersial dan tiga pakan semi-murni (A, B dan C). Pakan semimurni diformulasikan agar memiliki kandungan energi tercerna yang sama. Pakan A mengandung 35 % protein kasar, yang dibuat dari tepung ikan laut (ikan 15% dan cumi-cumi 15%). Pakan C mengandung 35 % protein kasar tetapi protein asal-lautnya berkurang, yakni tepung ikan (11,5 %) dan tepung cumi-cumi (11,5 %). Pakan B mengandung protein kasar hanya 2 % tetapi kandungan protein asal-lautnya sama seperti pada pakan C. Dua jenis pakan udang komersial, yang mengandung protein 35 % dan 40 %, berfungsi sebagai pakan rujukan. Perlakuan pakan dilakukan dengan tiga kali ulangan. Setiap tangki ditebari dengan 50 ekor udang yang diberi tanda (25 ekor galur T + 25 ekor galur G) dan 100 ekor udang tak bertanda, dengan berat awal rata-rata 10,4 gram pada kepadatan 107/m2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan secara nyata mempengaruhi pertumbuhan udang (P < 0,0001) tetapi tidak berinteraksi dengan galur udang. Udang yang diberi pakan A atau C tumbuh 25 % lebih cepat daripada udang yang diberi pakan B atau kedua jenis pakan komersial. Pakan A dan pakan C menghasilkan pertumbuhan yang sama (0,30 - 0,33 gram/hari) dan tingkat kelangsungan hidup yang sama (83 – 93 %) sampai mencapai ukuran panen 29 gram per udang; hal ini menunjukkan bahwa isolat protein kedelai yang menggantikan sebagian protein laut dalam pakan C dapat berfungsi sebagai sumber protein alternatif yang baik. Laju pertumbuhan dua galur udang adalah sama tanpa terpengaruh oleh sumber ataupun kadar protein pakan, tetapi kadar protein nabati dalam pakan tidak berinteraksi dengan galur udang bila diukur berdasarkan kelangsungan hidup : rata-rata kelangsungan hidup galur T lebih baik daripada galur G bila diberi pakan B, yakni pakan bernilai gizi rendah dengan kandungan protein 20 % dan tanpa protein nabati; tetapi hal ini tidak berlaku bila udang diberi pakan C, yang mengandung 35 % protein di mana 15 % di antaranya berasal dari protein nabati (kedelai). Analisis penanda mikrosatelit menunjukkan bahwa galur T dan galur G berkerabat sangat dekat dan berasal dari galur induk yang sama. Studi pendahuluan ini memberikan informasi yang bisa digunakan untuk studi lebih lanjut mengenai hubungan antara nutrisi pakan dan genetika serta untuk mengekplorasi potensi seleksi genetik guna meningkatkan efisiensi penggunaan protein nabati dalam budidaya udang (Gong et al., 2012).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 04 Agustus 2014

Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Arsip Cofa No. C 178

Kisaran Salinitas, pH, Amonia, Nitrit dan Nitrat pada Hatchery Udang

Treece dan Fox (1993) menyarankan kisaran beberapa faktor fisik dan kimia bagi operasi hatchery udang. Kisaran salinitas 25 – 36 ppt mungkin optimum untuk pemeliharaan larva udang, tetapi sebisa mungkin dipertahankan agar tidak berfluktuasi. Pembacaan salinitas harus dilakukan satu atau dua kali seminggu kecuali selama periode hujan ketika fluktuasi mungkin terjadi. Keasaman (pH) harus dibaca setiap hari di tangki pemelihaaan. Nilai pH 7,8 – 8,4 adalah bisa diterima, tetapi pH optimumnya 8,0. Nilai pH 8,4 atau lebih akan mulai menimbulkan stres bagi larva udang. Nilainya antara 8,0 dan 8,13 di tangki hingga tahap mysis III dan kemudian turun akibat masuknya air laut sehingga nilainya di bawah 8,0 sampai 7,75. Beberapa kematian terjadi tetapi mungkin tidak disebabkan oleh turunnya pH di bawah kisaran optimum. Total amonia dan nitrit dapat dipantau dengan alat uji yang murah (kecuali bila diperumit oleh adanya kesadahan magnesium) dan dapat diatur dengan pertukaran air. Amonia ada dalam bentuk terionisasi (NH3) yang beracun, terutama pada pH tinggi, dan bentuk terionisasi (NH4+) yang tak beracun, terutama pada pH rendah. Bentuk amonia terionisasi tidak dianggap beracun karena muatan ionnya mencegahnya menembus membran sel insang. Konsentrasi aman yang disarankan untuk amonia tak terionisasi (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N) adalah 0,1, 0,1 dan 200 mg/liter, berturut-turut.

Baca juga :
Dapatkah Kalsium Menurunkan Daya Racun Amonia ?

Pengaruh Aktivitas Renang dan Pemberian Pakan Terhadap Daya Racun Amonia

Studi daya racun biasanya dilakukan pada ikan yang sedang beristirahat dan tidak diberi makan dengan tujuan untuk membandingkan hasilnya. Berdasarkan penelitian terbaru, bagaimanapun, stres lingkungan, termasuk renang, bisa berdampak besar terhadap daya racun amonia. Juga jelas bahwa pemberian pakan meningkakan kadar amonia dalam tubuh. Jadi, pemberian pakan bisa memperburuk kondisi ikan akibat daya racun amonia. Ikan bisa lebih rentan terhadap peningkatan kadar amonia selama dan setelah makan atau ketika renang. Jadi, kriteria konsentrasi amonia yang disajikan oleh EPA tidak bisa melindungi ikan pemigrasi dan tidak sesuai untuk ikan yang diberi pakan secara teratur (Ip et al., 2001).

Baca juga :
Daya Racun Amonia Bagi Udang Windu Penaeus monodon Juvenil dan Dewasa

Kepekaan Ikan, Cladocera dan Amfipoda Terhadap Daya Racun Amonia

Dalam sistem uji perairan tawar, ikan secara khas lebih peka terhadap amonia daripada invertebrata seperti cladocera. Perbedaan kepekaan ini menjadi kurang jelas ketika kekuatan ion larutan uji meningkat di atas 1000 mg/liter TDS (Total Dissolved Solid; Padatan Terlarut Total). Bagaimanapun, beberapa spesies seperti amfipoda Hyallela azteca, menunjukkan pola kepekaan terkait-pH yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh ikan fathead minnow dan cladocera (Norberg-King et al., 2005).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Upaya Mengurangi Konsentrasi Amonia

Menurut Norberg-King et a. (2005) NH3 adalah senyawa yang agak mudah menguap dan merupakan bentuk amonia dominan pada pH > 9,3. Berdasarkan sifat ini telah dikembangkan sebuah prosedur untuk menyingkirkan amonia. Prosedur tersebut melibatkan peningkatan pH sampel sampai mendekati 11 dan kemudian aerasi atau pengadukan secara perlahan-lahan di dalam wadah yang rasio luas permukaan : volumenya besar (yakni, wadah luas tapi dangkal). Prosedur ini bisa menghilangkan sebagian besar amonia total dari sampel. Bagaimanapun, perhatian perlu diberikan untuk memantau dari dekat terhadap total volume sampel selama proses ini karena evaporasi (penguapan) yang tinggi bisa terjadi akibat rasio luas permukaan : volume yang besar itu.

Mekanisme Fisiologis Pada Ikan Untuk Mengurangi Kandungan Amonia Dalam Tubuh

Ip et al., (2001) melaporkan bahwa kebanyakan ikan teleostei bersifat "ammonotelic", artinya memproduksi dan mengekskresi amonia melalui difusi NH3 lewat insang. Mereka sangat rentan terhadap peningkatan kadar amonia dalam jaringan tubuh pada kondisi buruk. Beberapa ikan menghindari keracunan amonia dengan memanfaatkan beberapa mekanisme fisiologi. Pengurangan proteolisis dan/atau katabolisme asam amino mungkin merupakan mekanisme umum yang dilakukan beberapa ikan selama terpapar di udara atau terkena amonia. Ikan lain, seperti ikan belodok, dapat melakukan katabolisme asam amino sebagian dan menggunakan asam-asam amino sebagai sumber energi, yang menyebabkan penimbunan alanin, selama aktif di darat. Beberapa ikan mengubah kelebihan amonia menjadi senyawa yang kurang beracun seperti glutamin dan asam-asam amino lain untuk disimpan. Sedikit spesis mempunyai siklus ornitin—urea yang aktif dan mengubah amonia menjadi urea untuk disimpan maupun untuk diekskresi. Pada kondisi lingkungan dengan konsentrasi amonia meningkat, ikan belodok Periophthalmus schlosseri dapat terus-menerus mengekskresi amonia melalui transpor aktif ion amonium. Ada bukti-bukti bahwa beberapa ikan dapat memanipulasi pH permukaan tubuh untuk mempercepat penguapan NH3 selama terpapar di udara, atau pH medium luar untuk mengurangi daya racun amonia.

Baca juga :
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Astaksantin Meningkatkan Daya Tahan Udang Terhadap Stres Amonia

Pan et al. (2003) melakukan studi dengan tujuan menentukan apakah peningkatan konsentrasi astaxanthin tubuh melalui pemberian pakan pada juvenil udang windu Penaeus monodon dapat meningkatkan kapasitas pertahanan antioksidan dan daya tahan terhadap stres amonia. "Total Antioxidant Status" (TAS) dan superoxide dismutase (SOD) dalam hemolimfa dipilih sebagai parameter kapasitas antioksidan udang. Daya tahan terhadap stres kimiawi dievaluasi berdasarkan tingkat kelangsungan hidup udang, dan aspartate aminotransferase (AST) serta alanine aminotransferase (ALT) dalam hemolimfa. Postlarva Penaeus monodon umur 5-hari diberi pakan makanan yang dilengkapi 71,5 mg/kg astaksantin selama 8 minggu. Udang kemudian dipaparkan selama 72 jam terhadap 0,02, 0,2, 2 dan 20 mg/liter amonia.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pan et al. (2003) menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup udang yang diberi makan astaksantin (AX) adalah lebih tinggi daripada udang kontrol untuk semua konsentrasi amonia kecuali 20 mg/liter, yang menunjukkan bahwa daya tahan udang terhadap stres amonia ditingkatkan oleh astaksantin-pakan. Udang AX memiliki TAS lebih tinggi daripada udang kontrol pada konsentrasi amonia di atas 0,02 mg/liter dan SOD lebih rendah pada semua konsentrasi amonia yang menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan telah banyak ditingkatkan. AST pada udang AX lebih rendah dibandingkan pada udang kontrol untuk semua tingkat stres amonia. ALT pada udang AX lebih rendah daripada atau sama dengan udang kontrol untuk berbagai konsentrasi amonia. Baik AST maupun ALT mencerminkan bahwa fungsi hepatopankreatik udang ditingkatkan oleh astaksantin-pakan. Astaksantin bisa menjadi penting untuk Penaeus monodon ketika hewan ini di bawah kondisi stres amonia.

Baca juga :
Penanganan Kasus Keracunan Amonia di Akuarium dan di Kolam Ikan

Dampak Positif Amonia

MacIntyre et al. (2008) dalam Branson (2008) menjelaskan efek positif amonia bagi ikan. Ada beberapa bukti bahwa amonia berkonsentrasi rendah dapat merangsang pertumbuhan ikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan meningkat pada konsentrasi TAN (Total Amonia Nitrogen) 1,96 mg/liter (sekitar 0,035 mg/liter NH3-N). Penelitian lain menunjukkan bahwa amonia berkonsentrasi rendah bisa merangsang penggabungan amonia menjadi asam amino dan protein serta mengurangi biaya metabolik, karena pertumbuhan ikan ditingkatkan tanpa mengubah konsumsi makanan.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Variasi Daya Racun Amonia

Arsip Cofa No. C 177

Dua Bentuk Amonia

Menurut Ip et al., (2001) amonia merupakan racun tak lazim yang dihasilkan oleh, dan juga beracun bagi, binatang. Dalam larutan cair, amonia mempunyai dua bentuk, NH3 dan NH4+. Amonia total merupakan jumlah [NH3] + [NH4+] dan nilai pK untuk reaksi ion amonia/amonium adalah sekitar 9.5. Keseimbangan NH3/NH4+ baik di dalam tubuh binatang maupun di lingkungan sekitarnya tergantung pada suhu, tekanan, kekuatan ion, dan pH. pH merupakan faktor yang paling penting bagi binatang.

Baca juga :
Penanganan Kasus Keracunan Amonia di Akuarium dan di Kolam Ikan

Sumber Amonia

Sumber-sumber amonia menurut MacIntyre et al. (2008) dalam Branson (2008) adalah ekskresi tumbuhan dan hewan, penguraian bahan organik oleh mikroba, emisi gunung berapi, dan kegiatan manusia seperti pemupukan dan emisi industri. Dalam praktek budidaya ikan, amonia merupakan limbah metabolit utama yang dihasilkan ikan dari katabolisme protein yang terkandung dalam makanan. Amonia diekskresi oleh ikan melalui insang. Amonia juga bisa berasal dari pembusukan sisa-sia pakan, namun sumber amonia ini dianggap relatif kecil.

Asal dan Fluktuasi Konsentrasi Amonia Dalam Kolam Udang

Amonia berasal dari proses amonifikasi bahan organik dan deaminasi atau ekskresi binatang air sebagai hasil akhir metabolisme senyawa-senyawa bernitrogen dalam sistem budidaya. Amonia merupakan racun yang paling umum bagi udang Penaeus monodon dalam kolam budidaya dan dapat meningkat sampai 0,808 mg/liter amonia-N di hatchery, serta 6,497 mg/liter amonia-N di kolam pembesaran intensif meskipun air sering diganti (Chen dan Chin, 1989).

Baca juga :
Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Fluktuasi Konsentrasi Amonia Mempengaruhi Hasil Studi Daya Racun Amonia

Kualitas air sangat penting bagi kehidupan ikan. Kualitas air merupakan faktor-faktor lingkungan yang sangat berpotensi mempengaruhi kesehatan ikan. Ikan melakukan persentuhan erat dengan air melalui permukaan insang dan kulitnya. Efek subletal yang ditimbulkan buruknya kualitas air bisa menyebabkan ikan makin rentan terhadap penyakit, namun hubungan langsung antara kedua hal ini belum memiliki cukup bukti ilmiah. Literatur yang berkaitan dengan amonia dan daya racunnya pada ikan sangat banyak, bagaimanapun literatur-literatur tersebut sering bertentangan dan membingungkan. Pertentangan antar literatur tersebut mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar amonia akibat variasi laju ekskresi amonia harian, yang membuat perkiraan daya racun amonia menjadi sulit, dan bahwa efek amonia tidak dapat diramalkan berdasarkan pada konsentrasi amonia tak terionisasi saja (MacIntyre et al. (2008) dalam Branson, 2008).

Dampak Negatif Amonia Bagi Ikan

Menurut Boyd (1999) amonia nitrogen dalam bentuk tak terionisasi (NH3) dapat beracun bagi ikan dan organisme air lain. Konsentrasi amonia tak terionisasi berfluktuasi setiap hari karena proporsi amonia tak terionisasi terhadap total amonia nitrogen bervariasi akibat perubahan pH dan suhu. Meskipun mekanisme daya racun amonia belum dapat dijelaskan seluruhnya, sejumlah efek fisiologis dan histologis akibat tingginya konsentrasi amonia telah dapat diidentifikasi. Efek-efek ini mencakup: penurunan kemampuan organisme air untuk mengekskresi amonia, peningkatan kadar amonia dalam jaringan dan cairan tubuh, peningkatan pH darah, gangguan sistem enzim dan stabilitas membran serta kerusakan insang dan kerusakan jaringan berbagai organ dalam. Mortalitas jarang terjadi, tetapi pada banyak kasus, daya racun amonia tercermin dalam makin rentannya ikan terhadap penyakit dan penurunan pertumbuhan.

Daya Racun Amonia

Amonia tak terionisasi pada konsentrasi lebih dari 1,00 – 2,00 mg/liter biasanya bersifat letal dalam waktu 1 - 4 hari. Di bawah konsentrasi ini, ikan mungkin tidak mati, tetapi akan mengalami stres. Jika konsentrasi amonia tak terionisasi lebih dari 0,05 mg/liter, maka nilai ini harus diturunkan secepat mungkin (Noga, 2010).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor Kimia Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

Daya racun amonia pada konsentrasi tertentu tergantung pada beberapa faktor selain pH dan suhu. Daya racun meningkat dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut, tetapi efek ini sering ditiadakan karena konsentrasi karbon dioksida yang tinggi menurunkan daya racun amonia. Ada bukti bahwa daya racun amonia menurun dengan meningkatnya salinitas dan kadar kalsium. Ikan juga cenderung meningkatkan toleransinya terhadap amonia ketika diaklimasikan secara perlahan-lahan terhadap peningkatan konsentrasi amonia selama beberapa minggu atau bulan (Boyd, 1999).

Baca juga :
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Hubungan Suhu dan pH Dengan Daya Racun Amonia

Boyd (1999) menyatakan bahwa sulit untuk menentukan konsentrasi amonia yang berbahaya atau bersifat mematikan bagi spesies akuatik tertentu. Konsentrasi LC50 96-jam untuk amonia nitrogen tak terionisasi pada berbagai spesies ikan berkisar dari sekitar 0,3 sampai 3,0 mg/liter. Spesies perairan dingin biasanya lebih peka terhadap amonia daripada spesies perairan hangat. Amonia tak terionisasi tidak mempunyai efek letal atau subletal pada konsentrasi di bawah 0,005 sampai 0,01 mg/liter untuk spesies perairan dingin atau di bawah 0,01 sampai 0,05 mg/liter untuk spesies perairan hangat. Konsentrasi total amonia nitrogen tergantung pada pH dan suhu. Sebagai contoh, konsentrasi amonia nitrogen yang dibutuhkan untuk menghasilkan 0,05 mg/liter amonia nitrogen tak terionisasi pada nilai-nilai pH tertentu dan suhu 26 oC adalah sebagai berikut : pH 7, 8,33 mg/liter; pH 8, 0,88 mg/liter; pH 9, 0,13 mg/liter. Daya racun amonia tampaknya lebih besar di perairan dengan pH jauh di atas netral daripada di perairan netral atau asam.

Hubungan pH dan Daya Racun Amonia

Menurut Norberg-King et al. (2005) proporsi amonia tak terionisasi dalam sampel meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu. Pada kebanyakan sistem uji daya racun di lingkungan laut dan perairan tawar, daya racun amonia tak terionisasi meningkat dengan meningkatnya pH sedangkan daya racun amonia terionisasi menurun dengan meningkatnya pH. Bagaimanapun, untuk sebagian besar organisme uji, daya racun NH3 lebih besar daripada NH4+.

Baca juga :
Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Pengaruh Suhu, pH dan Salinitas Terhadap Daya Racun Amonia

Ip et al., (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi amonia dalam lingkungan menyebabkannya menjadi beracun. Suhu mempunyai efek kecil terhadap daya racun amonia, sedangkan kekuatan ionik air dapat mempengaruhi daya racun amonia bahkan menunjukkan efek yang sangat kuat terhadap daya racunnya. Air yang bersifat asam mengurangi daya racun amonia, sedangkan air yang bersifat basa memperkuat daya racun ini. Ambang batas konsentrasi amonia total ([NH3] + [NH4+]) yang menyebabkan efek-efek biologis berbahaya di perairan tawar, yang disarankan oleh EPA (1998), adalah 3.48 mg N/liter pada pH 6,5 dan 0,25 mg N/liter pada pH 9,0. Hanya ada relatif sedikit data untuk perairan asin, terutama daya racun amonia di lingkungan laut yang bersifat kronis. Kriteria nasional yang diusulkan EPA untuk perairan asin adalah kriteria konsentrasi kontinyu (nilai kronis) sebesar 0,99 mg N/liter total amonia dan kriteria konsentrasi maksimum (setengah rata-rata nilai akut) sebesar 6,58 mg N/liter total amonia, agak sedikit lebih rendah daripada nilai untuk perairan tawar dengan pH 8,0 sebesar 1,27 dan 8,4 mg N/liter total amonia, berturut-turut. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa spesies laut lebih peka terhadap amonia daripada spesies air tawar.

Pengaruh Kekuatan Ionik Terhadap Daya Racun Amonia

Delos dan Erickson (1999) menyatakan bahwa fraksi amonia sangat tergantung pada kekuatan ionik, tetapi dalam air tawar efek ini jauh lebih kecil daripada efek pH dan suhu serta cukup kecil pengaruhnya bagi LC-50 (konsentrasi letal 50 %) sehingga dianggap tidak mempengaruhi daya racun amonia. Tidaklah mengherankan bahwa amonia tak terionisasi adalah bentuk yang lebih beracun, karena ia merupakan molekul netral sehingga dapat berdifusi menembus membran epitelial organisme air jauh lebih mudah daripada ion amonium bermuatan.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 23 Mei 2014

Ekologi Rotifera

Arsip Cofa No. C 176

Ekologi dan Persebaran Habitat Rotifera

Menurut Hickman et al. (2001) rotifera merupakan kelompok kosmopolitan (ditemukan di seluruh dunia) dengan jumlah anggota sekitar 1800 spesies. Sebagian besar spesies menghuni perairan tawar, sedikit rotifera hidup di laut, dan beberapa spesies mendiami habitat darat, dan ada yang bersifat epizoic (hidup pada tubuh binatang lain) atau parasit. Rotifera beradaptasi terhadap berbagai kondisi ekologis. Kebanyakan spesies bersifat bentik, hidup di dasar perairan atau pada tumbuhan air kolam atau sepanjang tepian danau air tawar di mana mereka berenang atau merayap pada vegetasi. Banyak spesies penghuni lapisan tipis air antar butir-butir pasir pantai (meiofauna) adalah rotifera. Rotifera pelagis adalah umum dijumpai di perairan permukaan danau tawar atau kolam, dan mereka kadang menunjukkan fenomena siklomorfosis, yaitu variasi bentuk badan akibat perubahan musiman atau perubahan nutrisi. Rotifera penghuni laut sangat sedikit. Beberapa spesies rotifera yang ditemukan di pantai laut mungkin adalah spesies air tawar yang dapat beradaptasi terhadap air laut. Banyak spesies rotifera sanggup bertahan lama terhadap kekeringan; selama periode ini bentuk mereka mirip butiran pasir. Pada kondisi kekeringan, rotifera sangat toleran terhadap perubahan suhu, terutama rotifera yang hidup pada lumut. Pengkistaan yang sesungguhnya terjadi hanya pada beberapa rotifera. Jika mendapat air, rotifera yang kekeringan ini kembali menjadi aktif.

Baca juga :
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Ekologi dan Dinamika Populasi Rotifera Hexarthra

Herzig dan Koste (1988) dalam Snell dan King (1989) menemukan empat spesies rotifera Hexarthra di Neusiedler See, sebuah danau yang bersifat basa dengan salinitas dan ketinggian muka air berfluktuasi. Keempat spesies rotifera tersebut adalah Hexarthra mira, Hexarthra fennica, Hexarthra jenkinae (kadang-kadang) dan Hexarthra polyodonta. Analisis data jangka panjang menunjukkan pola fenologis umum yang tidak berubah dari tahun ke tahun. Mereka pertama kali muncul pada bulan Mei , berkembang menjadi maksimum pada Juni/Juli, kadang-kadang mengalami maksimum kedua pada Agustus/September dan kemudian hilang pada Oktober. Tetapi suksesi spesiesnya berbeda antar tahun, kadang-kadang hanya satu spesies yang ada (Hexarthra mira atau Hexarthra polyodonta).

Herzig dan Koste (1988) dalam Snell dan King (1989) menambahkan bahwa ada hubungan yang sangat konsisten antara kondisi kimia dan spesies dominan; peningkatan salinitas mendukung perkembangan Hexarthra polyodonta. Suhu rendah dan partikel tersuspensi akibat-angin berpengaruh negatif terhadap perkembangan populasi Hexarthra. Populasi Hexarthra yang lebih kecil memiliki keterkaitan dengan keberadaan Leptodora; hal ini menunjukkan adanya tekanan pemangsaan terhadap spesies rotifera yang terakhir tersebut. Di Neusiedler See, populasi Hexarthra tampaknya dikendalikan oleh faktor-faktor abiotik sampai kisaran yang lebar, tetapi pemangsaan oleh Leptodora dan kemungkinan besar oleh ikan muda memainkan peranan yang juga penting.

Baca juga :
Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton

Pemilihan Susbtrat dan Habitat Serta Adaptasi Rotifera

Pejler dan Berzins (1988) dalam Snell dan King (1989) melaporkan bahwa informasi mengenai distribusi 28 spesies rotifera famili Brachionidae dari berbagai perairan di Swedia selatan dan tengah telah dianalisis untuk menunjukkan hubungan distribusi organisme ini dengan substrat dan habitat. Beberapa brachionidae lebih menyukai habitat planktonik sedangkan lainnya lebih memilih habitat perifitik dan/atau bentik. Beberapa habitat non planktonik lebih dimanfaatkan daripada habitat lain, tetapi tidak ada bukti adanya daya tarik kimiawi yang ditimbulkan oleh substrat apapun. Sebaliknya, beberapa substrat tampaknya dihindari oleh rotifera, yang mungkin disebabkan oleh adanya sejenis alga perifiton. Selain tipe substrat, faktor-faktor berikut adalah penting dalam menciptakan niche ekologis tersendiri bagi famili brachionidae : suhu, kadar oksigen, tingkat makanan, lingkungan kimiawi, pemilihan makanan dan kepekaan terhadap pemangsaan. Dalam hal substrat dan habitat, beberapa rotifera bersifat spesialis sedangkan lainnya bersifat generalis; kelompok terakhir ini dicirikan oleh variasi morfologis yang besar. Spesies-spesies rotifera ini beradaptasi dengan berbagai cara terhadap habitat yang disukainya, seperti misalnya membentuk tonjolan-tonjolan kaki pembawa-telur. Duri-duri panjang, sebagai contoh, umumnya ditemukan pada rotifera penghuni perairan jernih, yang menunjukkan bahwa duri tersebut berfungsi sebagai perlindungan terhadap predator yang mengandalkan penglihatan dalam mencari mangsa.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Keragaman Spesies Rotifera di Danau

Segers et al. (1993) mempelajari keragaman spesies rotifera di 13 habitat perairan tawar di delta Niger hilir. Total 207 spesies rotifera telah ditemukan. Genus rotifera yang paling beragam adalah Lecane dengan 59 spesies. Sepuluh spesies rotifera tampaknya bersifat endemik bagi delta Niger hilir, tiga spesies lainnya terbatas di Afrika Tengah dan/atau Afrika Barat. Sebelas spesies tersebar di daerah-daerah Oriental (Timur) dan Afrika, sedang enam spesies terdapat baik di Amerika maupun di daerah penelitian. Tiga spesies dari kelompok yang terakhir tersebut mungkin merupakan hasil introduksi baru-baru ini ke benua Afrika. Dua danau yang diteliti (Iyi-Efi dan Oguta), yang mengandung 136 dan 124 spesies, merupakan habitat rotifera terkaya yang pernah diteliti. Diduga bahwa dataran banjir (sub)tropis merupakan habitat rotifera dengan keragaman tertinggi di dunia.

Baca juga :
Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Brachionus

Hubungan Antara Kelimpahan Rotifera dan Kelimpahan Flagelata dan Ciliata

Dolan dan Gallegos (1992) melaporkan bahwa rotifera melimpah (rata-rata sekitar 1.000 individu/liter) dari bulan Maret sampai September 1991 di sebuah sub estuaria dangkal di Chesapeake Bay, Amerika Serikat. Komunitas rotifera biasanya didominasi oleh Synchaeta cecilia dengan Brachionus plicatilis sebagai spesies terbanyak kedua. Kelimpahan rotifera berhubungan secara negatif dengan kelimpahan mikroflagelata. Bagaimanapun, laju reproduktif Synchaeta cecilia, yang dihitung sebagai jumlah telur per individu betina atau “egg ratio”, berkorelasi positif dengan jumlah mikroflagelata. Hubungan terbalik antara rotifera dan ciliata herbivora, yang didominasi oleh Strombidium sp. heterotrofik, muncul pada akhir musim semi sampai pertengahan musim panas, yang bersesuaian dengan periode kelimpahan mikroflagelata autotrofik dan heterotrofik.

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Laju Penelanan Bakteri Oleh Rotifera di Danau

Ooms-Wilms (1991) mempelajari aktivitas makan bakteri pada zooplankton yang berukuran lebih dari 33 mikron di Danau Loosdrecht, Belanda, pada bulan Juni dan Juli 1990, berdasarkan pengamatan mikroskopik terhadap bakteri yang diberi label fluoresensi (fluorescently labelled bacteria = FLB; 0,5 x 1,5 mikron) di dalam usus zooplankton tersebut. Spesies rotifera yang menelan FLB, dengan urutan laju penelanan makin menurun, adalah : Conochilus unicornis, Filinia longiseta, Anuraeopsis fissa, Brachionus angularis dan Keratella cochlearis. Spesies cladocera yang menelan FLB (Chydorus sphaericus, Bosmina longirostris dan Daphnia cucullata) melakukannya dengan laju yang lebih rendah daripada spesies rotifera. Laju makan bakteri pada rotifera dan cladocera, berdasarkan penelanan FLB, hanya merupakan 1,8 dan 0,01 % per jam, berturut-turut, dari produksi bakteri pada 28 Juni serta merupakan 3,9 dan kurang dari 0,01 % per jam dari produksi bakteri pada 26 Juli.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...