Rabu, 01 Januari 2014

Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata

Arsip Cofa No. C 170

Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Brachionus

Walz et al. (1988) dalam Ricci et al. (1989) mempelajari pengaruh suhu dan kualitas makanan terhadap parameter-parameter keseimbangan energi pada rotifera Brachionus angularis yang mencakup penelanan makanan, produksi, pertumbuhan dan mortalitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju penelanan makanan meningkat menjadi optimum pada suhu 15 dan 20 oC dan menurun pada suhu 25 oC. Parameter-parameter lain yang diteliti meningkat secara kontinyu pada kisaran suhu 5 – 25 oC. Nilai-nilai Q10 laju produksi adalah lebih tinggi daripada nilai Q10 laju penelanan makanan. Suhu juga memodifikasi hubungan antara konsentrasi makanan dan parameter-parameter bioenergetika tersebut.

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Aktivitas Makan Pada Udang

Wyban et al. (1995) mempelajari pengaruh suhu terhadap pertumbuhan, laju makan dan rasio konversi pakan (feed conversion ratio, FCR) pada udang juvenil Penaeus vannamei (Boone) dalam empat percobaan. Pada setiap percobaan (untuk percobaan 1 – 3), satu kelas umur udang dipelihara pada tiga suhu konstan (23, 27 dan 30 oC) dan suhu lingkungan sebagai kontrol (rata-rata 26,2 oC). Pada ketiga percobaan ini, ukuran rata-rata udang yang ditebarkan adalah 3,9, 10,8 dan 16,0 gram, berturut-turut. Pertumbuhan dan laju makan udang meningkat sejalan dengan peningkatan suhu pada setiap percobaan, tetapi peningkatan ini bervariasi di antara ketiga kelas ukuran udang sedemikian hingga pengaruh suhu terhadap pertumbuhan dan laju makan bersifat spesifik-ukuran. FCR udang kecil tidak berbeda untuk ketiga suhu yang diuji; FCR udang berukuran sedang dan besar bervariasi sesuai dengan suhu. Perbedaan respon pertumbuhan antar kelas ukuran menjadi dasar bagi percobaan ke empat, di mana dua kelas ukuran dipelihara pada tiga macam suhu.

Wyban et al. (1995), berdasarkan hasil penelitan tersebut, menunjukkan bahwa pertumbuhan dan laju makan berkaitan secara langsung dengan suhu dan bervariasi terbalik dengan ukuran. FCR terutama berkaitan dengan suhu, makin besar udang makin kecil efisiensi pakannya. Nilai koefisien suhu, terutama antara 23 dan 27 oC, menunjukkan bahwa pertumbuhan Penaeus vannamei sangat peka terhadap perubahan suhu yang kecil. Data ini juga menunjukkan bahwa suhu optima (suhu untuk pertumbuhan tercepat) adalah spesifik-ukuran dan menurun dengan meningkatnya ukuran udang. Untuk udang kecil (kurang dari 5 gram), suhu optima mungkin lebih dari 30 oC sedangkan untuk udang besar suhu optimumnya adalah sekitar 27 oC. Hasil penelitian ini tampaknya sesuai dengan distribusi Penaeus vannamei di lingkungan alaminya. Bagi petani Penaeus vannamei, data ini menunjukkan bahwa untuk semua ukuran udang penurunan pertumbuhan dan aktivitas makan akan terjadi bila suhu air kolam di bawah 23 oC, dan untuk udang besar hal tersebut terjadi bila suhu air kolam 30 oC atau lebih.

Baca juga :
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan dan Konsumsi Makanan

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Gastropoda

Petraitis (1992) mempelajari pengaruh suhu air dan ukuran tubuh terhadap laju grazing (aktivitas memakan tumbuhan) pada siput. Penelitian dilakukan dengan mengukur laju aktivitas gigi radular pada empat spesies gastropoda Australia. Spesies-spesies tersebut adalah Austrocochlea constricta, Bembicium nanum, Cellana tramoserica dan Nerita atramentosa. Penelitian di lakukan di Botany Bay di Cape Banks, New South Wales, Australia dari bulan September 1989 sampai Juni 1990. Hydrophone digunakan untuk mencatat parutan radular siput secara in situ (di lokasi asli). Nilai rata-rata yang berdasarkan semua pengamatan menunjukkan bahwa Cellana memiliki laju tercepat dengan nilai 80 parutan/menit, dan diikuti oleh Austrocochlea (71 parutan/menit), Bembicium (57) dan Nerita (39). Disimpulkan bahwa aktivitas makan yang lebih tinggi berhubungan dengan suhu air yang lebih hangat dan ukuran tubuh yang lebih kecil pada semua spesies yang diteliti kecuali Bembicium.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Moluska

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Konsumsi Pakan Pada Kerang Abalon

Britz et al. (1997) melaporkan bahwa petani komersial menggunakan pakan formula untuk mengetahui berapa jumlah ransum pakan yang harus diberikan untuk kerang abalon. Dua percobaan pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan ukuran abalon terhadap laju pertumbuhan dan indeks nutrisi abalon yang diberi pakan formula kering. Antara suhu 12 dan 20 oC laju pertumbuhan dan konsumsi pakan meningkat, “protein-efficiency ratio” (PER) menjadi lebih baik dan FCR (Food Consumption Ratio) tidak berbeda nyata. Bagaimanapun, antara suhu 20 dan 24 oC, pertumbuhan dan konsumsi pakan menurun tajam, dan PER serta FCR menjadi lebih buruk. Faktor kondisi abalon menurun dengan meningkatnya suhu. Disimpulkan bahwa suhu antara 12 dan 20 oC adalah optimal secara fisiologis untuk abalon Haliotis midae. Kisaran ini bersesuaian dengan kisaran suhu laut rata-rata di habitat alami abalon tersebut. Konsumsi pakan, yang dinyatakan sebagai persentase berat badan per hari, menurun dengan meningkatnya ukuran abalon.

Baca juga :
Nafsu Makan Pada Ikan : Pengaruh Faktor Fisiologi dan Lingkungan

Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan dan Pertumbuhan Gonad Bulu Babi

Siikavuopio et al. (2006) mempelajari pengaruh suhu air dan musim terhadap konsumsi makanan dan pertumbuhan gonad pada bulu babi Strongylocentrotus droebachiensis. Binatang ini diuji pada enam suhu (4, 6, 8, 10, 12 dan 14 °C) pada musim panas (Juli – September) dan musim dingin (November – Januari). Bulu babi (rata-rata berat badan basah ± simpangan baku = 64,5 ± 3,4 gram) dipelihara secara individual dalam wadah persegi dan diberi pakan secara ad libitum pakan formula basah. Gonad Index (GI), Feed Intake (FI, pengambilan makanan), dan “feed conversion ratio” (FCR; rasio konversi pakan) diukur.

Berdasarkan hasil penelitian itu, Siikavuopio et al. (2006) menyimpulkan bahwa Indeks Gonad meningkat secara nyata untuk semua perlakuan selama percobaan musim panas, dan bulu babi yang dipelihara pada suhu 6 °C memiliki Indeks Gonad secara nyata lebih besar dibandingkan bulu babi yang dipelihara pada suhu 4 °C (P < 0,05). Tidak ada perbedaan nyata dalam hal Indeks Gonad antara bulu babi yang dipelihara pada suhu 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 °C, dan mereka memiliki Indeks Gonad yang lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan suhu rendah. Pada percobaan musim dingin, bulu babi yang dipelihara pada suhu 8 °C menunjukkan Indeks Gonad yang secara nyata lebih tinggi daripada perlakuan suhu-suhu lain. Feed Intake meningkat secara nyata dan linier sejalan dengan meningkatnya suhu baik pada musim panas maupun musim dingin. Feed Intake pada musim panas (P) dan musim dingin (D) meningkat dari 0,34 (P) dan 0,26 (D) (gram/bulu babi per hari) pada suhu 4 oC, menjadi 0,71 (P) dan 0,93 (D) (gram/bulu babi per hari) pada suhu 14 oC. Pada musim panas, bulu babi yang dipelihara pada suhu 12 oC memilki FCR yang secara nyata lebih rendah (3,3) dibandingkan dengan binatang yang dipelihara pada suhu 8 oC (FCR = 4,0). Situasi ini berlawanan dengan situasi pada musim dingin, di mana bulu babi menunjukkan FCR yang lebih rendah (3,7) pada suhu 8 oC dibandingkan bulu babi yang dipelihara pada suhu 12 oC (FCR = 6,0). Secara keseluruhan, hasil penelitan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan gonad optimum bulu babi hijau dewasa dicapai pada suhu yang lebih tinggi di musim panas dibandingkan pada musim dingin.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...