Kamis, 27 Februari 2014

Pengaruh Suhu Terhadap Moluska

Arsip Cofa No. C 172

Pengaruh Suhu Terhadap Laju Denyut Jantung Kerang di Pantai Tropis

Trueman dan Lowe (1971) mempelajari pengaruh suhu terhadap denyut jantung moluska bivalva, Isognomum alatus, di pantai tropis. Pengamatan terhadap denyut jantung kerang Isognomum pada kondisi alami dan kondisi laboratorium di daerah tropis menunjukkan tidak adanya pola yang teratur dalam hal variasi laju denyut jantung. Penutupan cangkang, yang terjadi pada selang yang tidak teratur, menyebabkan denyut jantung terhambat hampir secara total. Perubahan suhu air menyebabkan laju denyut jantung meningkat atau menurun dengan segera. Selama kerang terkena udara dan cangkangnya terbuka, laju denyut jantung tergantung pada suhu, bahkan ketika secara langsung terkena cahaya matahari tropis. Suhu air dan keterlindungan terhadap cahaya matahari memberikan efek yang sama terhadap laju denyut jantung; namun pada beberapa bivalva litoral di Inggris, keterlindungan terhadap cahaya tidak mempengaruhi laju denyut jantung.

Baca juga :
Bioekologi, Keragaman Spesies dan Distribusi Moluska

Suhu Optimum Enzim Pencernaan Gastropoda

Banerjee dan Sur (1991) mempelajari perilaku beberapa enzim hidrolisis pada moluska gastropoda dalam kaitannya dengan suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu optimum amilase selulase, invertase, esterase serta enzim-enzim protease basa maupun asam pada tiga spesies moluska Laevicaulis alte, Pila globosa dan Pugilina cochlidium dari berbagai habitat berkisar dari 37 oC sampai 45 oC, kecuali untuk protease asam. Suhu optimum 55 oC juga ditemukan untuk enzim protease basa. Bagaimanapun, termostabilitas (stabilitas panas) paling tinggi, yaitu 70 oC, dilaporkan untuk enzim protease asam dalam kelenjar pencernaan Laevicaulis alte.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata

Toleransi Suhu dan Pengaruh Suhu Terhadap Respirasi Siput Amfibi

Freiburg dan Hazelwood (1977) melaporkan bahwa rata-rata konsumsi oksigen pada siput Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis menunjukkan peningkatan dengan naiknya suhu. Penyerapan oksigen pada suhu 35 oC berkurang dan mungkin menunjukkan stres respirasi yang lebih hebat pada suhu udara yang lebih tinggi. Suhu 10 – 35 oC dapat ditolerir dengan baik dan kecepatan respirasi pada siput Pomacea paludosa pra-test (baik di air maupun di udara) kembali normal setelah dibiarkan pada suhu normal selama 24 jam. Pada suhu 40 oC, Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis mati. Suhu maksimum yang dapat diterima adalah 35 oC (suhu letalnya 40 oC) untuk kedua spesies tersebut serta spesies-spesies lain. Suhu maksimum yang dapat ditolerir gastropoda adalah 38 oC untuk Physa virginiana, yang hidup di mata air panas; 35 oC (letal pada 43 oC) untuk Littorina littorea, 37 oC (letal pada 41 oC) untuk Australorbis glabratus, 31 oC untuk dua spesies siput limpet air tawar dan antara 40 – 45 oC untuk Pomacea urceus. Pomacea paludosa mampu hidup pada suhu rendah 5 oC. Kemampuan mentolerir kisaran suhu yang lebar serta kemampuan bernafas di udara maupun di air mempertinggi daya hidup siput Pomacea paludosa dan Marisa cornuarietis di perairan tawar mengalir maupun di kolam-kolam sementara yang sering kekeringan.

Baca juga :
Anatomi Gastropoda

Pengaruh Suhu Terhadap Perilaku Respirasi Siput Lymnaea

Sidorov (2005) mempelajari pengaruh suhu terhadap perilaku respirasi dan aktivitas saraf respirasi pada siput pulmonata Lymnaea stagnalis. Ventilasi paru-paru pada siput Lymnaea stagnalis terhenti pada suhu rendah (di bawah 10 oC), peningkatan suhu meningkatkan laju ventilasi. Perubahan aktivitas kelistrikan pada saraf respirasi Lymnaea menyebabkan perubahan perilaku respirasi secara mencolok pada siput ini selama perubahan suhu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Laju Pertumbuhan dan Metamorfosis Gastropoda

Zimmerman dan Pechenik (1991), dalam empat percobaan, memelihara larva gastropoda Crepidula plana pada suhu 29, 25 dan 20 oC dengan salinitas 30 ppt; dan dalam dua percobaan lainnya pada salinitas antara 4 – 30 ppt dengan suhu 25 oC. Laju pertumbuhan cangkang dan diferensiasi morfologis serta laju kompetensi dicatat. Larva dianggap kompeten untuk bermetamorfosis bila mereka dapat dirangsang untuk bermetamorfosis ketika terkena kalium klorida (KCl) berkonsentrasi tinggi (20 mM di atas konsentrasi lingkungan). Laju kompetensi larva menjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, tetapi hanya dalam satu dari empat percobaan suhu secara konsisten meningkatkan laju pertumbuhan dan diferensiasi morfologis. Larva gastropoda membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menjadi kompeten bila dipelihara pada salinitas yang lebih rendah. Larva yang kompeten juga tidak dapat dikenali berdasarkan panjang cangkangnya; banyak individu menjadi kompeten pada panjang cangkang 600 – 800 mikron, namun banyak individu lain yang belum kompeten meskipun panjang cangkangnya melebihi 1000 mikron. Pada suhu 29 oC banyak individu menjadi kompeten pada ukuran yang lebih kecil dibandingkan individu yang dipelihara pada suhu yang lebih rendah.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Larva Siput

Lucas dan Costlow (1979) memelihara larva veliger siput Crepidula fornicata (L.) selama 12 hari pada suhu konstan 15°, 20°, 25°, 30° dan 35°C, serta pada 5 oC “daily cycles of equal periodicity” (COEP; siklus harian periodisitas setara) dalam kisaran suhu 15 sampai 20 oC, 20 sampai 25 oC, 25 sampai 30 oC dan 30 sampai 35 oC. COEP mencakup periode-periode suhu maksimum, suhu minimum yang setara (6 jam), serta peningkatan dan penurunan suhu secara seragam setiap periode 24 jam. Kelangsungan hidup adalah tinggi dan tidak dipengaruhi oleh suhu yang konstan maupun suhu yang bersiklus dari 15 sampai 30 oC. Pada suhu 35 oC dan COEP 30 sampai 35 oC, semua larva mati sebelum hari ke-6. Laju pertumbuhan cangkang meningkat secara tajam pada kisaran suhu 15 sampai 25 oC, dan laju pertumbuhan pada suhu yang bersiklus dalam kisaran ini terletak di tengah-tengah antara laju pertumbuhan pada suhu konstan yang bersesuaian. Larva yang dipelihara pada COEP 15 sampai 20 oC dan COEP 30 sampai 35 oC mengalami diskontinyu pada cangkangnya akibat penghambatan sekresi cangkang selama menghadapi periode suhu yang buruk.

Lucas dan Costlow (1979) menambahkan, berdasarkan pengamatan tersebut, bahwa beberapa kelompok larva veliger Crepidula fornicata selama 2 hari dikenai siklus suhu harian dengan periodisitas setara dan tidak setara dalam kisaran suhu 30 sampai 35 oC. “Cycles of unequal periodicity” (COUP; siklus dengan periodisitas tak setara) mencakup periode-periode suhu maksimum dan suhu minimum yang tak setara - yang bervariasi antara 3 dan 15 jam - serta peningkatan dan penurunan suhu secara tak seragam untuk setiap periode 24 jam). Larva veliger ini mengalami pertumbuhan cangkang namun berat jaringan tubuhnya berkurang, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan kandungan karbon per larva. Pertumbuhan cangkang paling kecil dan penyusutan jaringan tubuh paling besar terjadi pada siklus-siklus ini yang dikenai suhu tinggi dalam waktu lama. Larva yang selama beberapa hari dikenai COUP suhu 30 sampai 35 oC (15 jam pada suhu 30 oC, 3 jam peningkatan suhu, 3 jam pada suhu 35 oC dan 3 jam penurunan suhu) menjadi pulih dan pertumbuhannya normal kembali bila dipindahkan ke suhu konstan 30 oC, tetapi pertumbuhannya tertunda sebanding dengan lama hari dalam siklus suhu. Laju pertumbuhan cangkang veliger dalam siklus suhu menunjukkan efek suhu lingkungan yang bersifat segera, sedangkan perubahan kandungan karbon per larva mencerminkan pengaruh suhu terhadap metabolisme umum dan kelangsungan hidup.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 10 Februari 2014

Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea

Arsip Cofa No. C 171

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Udang Penaeus

Chen dan Lai (1993) meneliti pengaruh suhu dan salinitas terhadap konsumsi oksigen dan ekskresi amonia pada udang Penaeus japonicus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen (O2 mg/gram/jam) dan laju ekskresi amonia-N (mikrogram/gram/jam) juvenil Penaeus japonicus Bate (berat 0,220 ± 0,051 gram) meningkat dengan meningkatnya suhu dalam kisaran 15 – 35 oC pada empat tingkat salinitas (15, 20, 25 dan 30 ppt). Konsumsi oksigen menurun dengan meningkatnya salinitas pada suhu 15 dan 25 oC; bagaimanapun, perbedaan konsumsi oksigen di antara berbagai perlakuan salinitas adalah tidak nyata pada suhu 35 oC. Ekskresi amonia nitrogen pada udang ini menurun secara jelas dengan meningkatnya salinitas pada semua suhu yang diuji. Hubungan antara konsumsi oksigen (OC), ekskresi amonia nitrogen (AE), suhu (T), salinitas (S) dan lama pemaparan (exposure time; t) adalah sebagai berikut :

OC = -0,0359 + 0,0235 T – 0,0024 S – 0,0043 t (r2 = 0,7464)
AE = 5,4183 + 2,2379 T – 1,2731 S – 0,2123 t (r2 = 0,7939)

Rasio O : N menunjukkan pergeseran pemanfaatan nutrisi dari metabolisme yang didominasi-protein ke metabolisme yang didominasi-lipida pada Penaeus japonicus, bila udang ini dikenai peningkatan salinitas sampai 30 ppt pada suhu 15 oC.

Baca juga :
Klasifikasi, Morfologi, Distribusi dan Kelimpahan Krustasea

Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung Lobster

Nakamura dan Kuramoto (1992) melaporkan bahwa lobster, Panulirus japonicus, telah diaklimasikan di dalam sebuah ruang perfusion (semacam akuarium, volume 25 x 40 x 30 cm3, suhu 20 ± 1 oC) selama sebulan. Data electrocardiogram (ECG) diperoleh dengan bantuan elektroda-elektroda yang ditanam dalam tubuh lobster. Rata-rata denyut jantung lobster adalah sekitar 100 denyut per menit selama musim semi dan musim panas atau sekitar 50 denyut per menit selama musim dingin. Pengaruh suhu rendah terhadap denyut jantung dipelajari secara in vivo. Untuk mendinginkan lobster sampai suhu 15 oC, air laut dingin (5 oC) dituangkan ke dalam akuarium. Laju pendinginan (0,1 – 1,0 oC/menit) tergantung pada volume air dingin dan diukur dengan termometer digital.

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pada musim semi dan musim panas, laju denyut jantung berkurang sejalan dengan penurunan suhu akibat pendinginan (misal sampai 66 denyut per menit). Bagaimanapun, laju denyut jantung tidak jatuh di bawah 60 denyut per menit pada suhu 15 oC. Pada musim dingin, laju denyut jantung tidak mengikuti penurunan suhu di bawah 18 oC meskipun lajunya turun pada menit-menit awal. Sebagai contoh, laju denyut jantung 31 ± 5 denyut per menit terjadi pada suhu 18 – 16 oC. Korelasi antara laju denyut jantung dan suhu yang diperoleh berdasarkan 18 percobaan pada musim dingin menunjukkan bahwa denyut jantung menurun untuk suhu 21 – 19 oC dan meningkat untuk suhu 19 – 16 oC. Korelasi negatif menunjukkan bahwa lobster memiliki mekanisme yang mencegah penurunan laju denyut jantung yang bergantung pada penurunan suhu tubuh (Nakamura dan Kuramoto, 1992).

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Kelimpahan Zooplankton di Estuaria Tropis

Osore (1992) mempelajari hubungan antara suhu air dan kelimpahan zooplankton di Gazi Creek, sebuah sungai kecil berhutan bakau tropis di selatan Mombasa, Kenya. Stasiun-stasiun sampling terletak di mulut sungai (stasiun 1), sungai bagian dalam (stasiun 3), dan di tengah-tengah keduanya (stasiun 2). Sampling dilakukan dua kali sebulan, dimulai dari stasiun 1 terus ke stasiun 2 sampai stasiun 3. Sebuah jaring bermata jaring 335 mikron dihela di dekat permukaan air selama 5 menit dan sampel yang dikumpulkan diawetkan dengan formaldehid 5 %. Parameter-parameter hidrografi dicatat selama pengambilan sampel. Penelitian di Gazi Creek dilakukan untuk mensurvei komposisi zooplankton baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sebanyak 22 taksa penting telah dipelajari untuk menentukan variasi musiman dalam hal kelimpahan dan distribusi zooplankton.

Osore (1992), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa populasi zooplankton paling tinggi pada bulan Maret (374 individu per m3). Kelimpahan ini perlahan-lahan menurun selama periode angin muson tenggara (Mei – September) hingga mencapai nilai terendah pada bulan Agustus (30 individu per m3). Kopepoda merupakan taksa yang paling melimpah (48,5 – 92,4 %) selama penelitian. Kelompok ini ditemukan di seluruh sungai kecil tersebut. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa mulut sungai kecil ini memiliki keragaman kopepoda yang lebih tinggi dibandingkan sungai bagian dalam. Berdasarkan Indeks Margalef, stasiun 1 memiliki nilai yang secara konsisten lebih tinggi dibandingkan stasiun 3. Suhu air permukaan menurun selama angin muson tenggara (28,0 sampai 25,5 oC) dan naik selama angin muson timur laut (29,0 sampai 35,5 oC). Kecenderungan dalam hal variasi suhu sangat bersesuaian dengan kelimpahan zooplankton, yang menunjukkan bahwa zooplankton hidup paling subur di perairan yang lebih hangat. Jumlah zooplankton yang banyak juga diamati sekitar bulan Mei (326 individu per m3) selama hujan panjang; mungkin karena banyaknya masukan zat hara. Secara umum, pH bulanan rata-rata hanya bervariasi sedikit, tetapi pH air bagian hulu selalu lebih rendah daripada pH di mulut sungai. Salinitas sangat konstan pada 35 ppt.

Baca juga :
Ekologi Rotifera

Pengaruh Suhu dan Letak Lintang Terhadap Keragaman Kopepoda Laut

Hernandez-Trujillo (1991) mempelajari komposisi spesies kopepoda laut dan kelimpahan setiap spesiesnya. Penelitian dilakukan dengan menganalisis kopepoda yang dikumpulkan di pesisir barat Baja California Sur selama beberapa bulan dalam periode tahun 1982 – 1984. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah dengan keragaman kopepoda yang tinggi seringkali terletak di bagian selatan lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air sampai 29 oC. Sebaliknya, daerah dengan keragaman kopepoda yang rendah terletak di bagian utara dan tengah lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air di bawah 20 oC. Pada tahun 1983, spesies-spesies tropis mendominasi komunitas kopepoda di daerah ini. Kelimpahannya berkurang selama tahun 1984, tanpa ada spesies yang dominan.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Pengaruh Suhu Terhadap Hasil Tangkap Udang Galah

Yamane (1992) mempelajari bagaimana suhu mempengaruhi jumlah tangkapan udang galah Jepang, Macrobrachium nipponenense, di daerah penangkapan udang tersebut yang terletak di basin selatan Danau Biwa, Jepang. Data yang digunakan dalam evaluasi adalah hasil tangkap oleh perangkap udang dalam waktu tiga tahun (8 Februari – 18 Desember 1987, 18 Maret – 24 Desember 1988 dan 18 Mei – 3 Desember 1990). Perangkap tanpa umpan diletakkan di dasar danau dengan jarak antar perangkap 2 meter pada kedalaman sekitar 2 meter. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah udang galah yang tertangkap dikendalikan oleh suhu air. Di daerah ini, suhu air tampaknya merupakan faktor penting yang mempengaruhi jumlah tangkapan udang.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...