Selasa, 28 April 2015

Arsip Artikel Perikanan : Kompilasi II

Arsip Cofa No. D 002


Ringkasan :
- Ciri Umum dan Kelompok-Kelompok Alga
- Perkembangan Gonad Ikan Sidat, Anguilla
- Pengaruh Kepadatan Populasi Terhadap Jenis Kelamin Ikan Sidat
- Variasi Kekebalan Penyakit Pada Spesies Ikan Yang Berkerabat Dekat
- Difusi Oksigen Secara Alami di Kolam Ikan
- Fitoplankton dan Produksi Oksigen di Kolam Ikan
- Pemijahan Buatan Pada Ekinodermata
- Peranan Persaingan Dalam Distribusi Ikan Karang
- Pengaruh Pemangsaan Terhadap Struktur Komunitas Ikan Karang
- Kultur Alga Bersel Satu, Chlorococcum littorale, Dengan Kepadatan Sangat Tinggi
- Perbandingan Karang Tropis Dengan Karang di Daerah Beriklim-Sedang
- Pelet Yang Mampu Melepaskan Hormon Gonadotropin Terus-Menerus
- Pelet GnRH Untuk Merangsang Pemijahan Berulang Pada Ikan Kakap
- Sejarah Hidup dan Reproduksi Ikan Kakap Lates calcarifer
- Pelet GnRH Untuk Merangsang Pemijahan Berulang Pada Ikan Kakap
- Upaya Merangsang Pemijahan Ikan Belanak Dengan Hormon dan Manipulasi Faktor Lingkungan
- Distribusi dan Reproduksi Mugil cephalus
- Pedoman Umum Media Isolasi Jamur Patogen
- Daya Patogen Jamur Penyebab Penyakit Ikan
- Pengaruh Kadar Protein Pakan Induk Ikan Terhadap Komposisi Kimia Telurnya
- Pengaruh Mutu Pakan Induk Ikan Terhadap Mutu Telur Yang Dihasilkan
- Pengaruh Karang Hidup Terhadap Komunitas Ikan Karang
- Ban dan Struktur Pengeboran Minyak Sebagai Habitat Buatan Untuk Ikan
- Hormon Untuk Mengubah Jenis Kelamin Individu
- Pembalikan Jenis Kelamin Ikan Dengan Hormon Reproduksi
- Proses Pembentukan Sperma Ikan Teleostei
- Pola Pembentukan Pasangan Kawin Pada Ikan Anemon, Amphiprion
- Biologi Reproduksi Anemonfish, Amphiprion
- Pembalikan Jenis Kelamin Pada Ikan
- Pengaruh Ukuran Ikan Terhadap Efisiensi Penangkapan Trammel Net dan Gill Net
- Pengaruh Perikanan Tangkap dan Pemulihan Stok Terhadap Dinamika Populasi Ikan Demersal
- Arti Penting Vitelogenin dan Komponen-Komponen Telur Ikan
- Morfologi Otot Ikan
- Keanekaragaman Bentuk Badan Ikan
- Pernafasan Udara Pada Ikan
- Hubungan Efek pH Dengan Gelembung Renang dan Kedalaman Habitat Ikan
- Hubungan Daya Apung, Darah, Tekanan Oksigen dan Gelembung Renang Ikan
- Penemuan Organisme Laut di Luar Daerah Distribusi Normalnya
- Zonasi Bentos di Pantai Berbatu dan Hutan Mangrove
- Pengaturan Daya Apung Pada Ikan
- Komposisi Kimia, Padatan dan Partikel Dalam Air Kolam Ikan
- Konsep Ekologi : Distribusi Umur Populasi
- Komposisi Ukuran dan Umur Populasi Kerang Pismo
- Siklus Hidup dan Dinamika Populasi Siput Limpet Helcion
- Fosil Avertebrata
- Proses Pembentukan Fosil Avertebrata
- Efektivitas Hormon Steroid Sintetis Dalam Merangsang Pembalikan Jenis Kelamin Ikan
- Perbandingan Antara Produksi Perikanan Laut dan Pertanian Darat
- Keunggulan dan Kelemahan Metode Akustik/Penginderaan Jauh Dalam Menduga Stok Ikan
- Aktivitas Algasida Senyawa Turunan Sulfonil Dari PCB dan Difenil Eter
- Pengaruh Hormon Terhadap Ciri Seks Sekunder Ikan
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Reproduksi Ikan Eupomacentrus
- Sejarah Teknik Pemijahan Buatan Pada ikan Dengan Hipofisasi
- Hutan Bakau Sebagai Jalur Migrasi
- Ekskresi dan Osmoregulasi Pada Lamprey dan Ikan Air Tawar
- Bioekologi Ikan Amia
- Bioekologi Ikan Pengisap (Sapu-Sapu)
- Migrasi Ikan dan Percampuran Air Sungai Dengan Air Laut
- Pertumbuhan Buaya
- Senyawa Sterol Pada Nannochloropsis
- Karakteristik Pertumbuhan, Pola Alokasi Biomas dan Zata Hara Pada Tumbuhan Rawa, Carex
- Respon Pertumbuhan Carex inopinata Terhadap Cahaya

- Daftar Pustaka
Kata penting :
Alga, Cyanophyta (alga hijau biru), Prochlorophyta, Rhodophyta (alga merah), Phaeophyta (alga coklat), Protista, perkembangan gonad ikan sidat, diferensiasi gonad, kepadatan populasi, jenis kelamin ikan, kekebalan penyakit, patogen (virus, bakteri, parasit), VHS (Viral Haemorrhagic Septicaemia), IPN (Infectious Pancreatic Necrosis), konsentrasi oksigen terlarut, fotosintesis, fitoplankton, pemijahan buatan pada ekinodermata, pomacentridae, peremajaan ikan karang, struktur komunitas ikan karang, pemangsaan ikan, angin badai, analog hormon pelepas hormon gonadotropin (GnRH-A), selulosa, kolesterol, analog hormon pelepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormone analogue; GnRHa), D-Ala6, Pro9-ethylamide, D-Arg6, Pro9-ethylamide, merangsang pemijahan ikan kakap, pembalikan jenis kelamin (sex reversal), analog hormon pelepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormone analogue; GnRHa), merangsang pemijahan ikan kakap, kolesterol, selulosa, ikan belanak abu-abu, Human Chorionic Gonadotropin (HCG), metiltestosteron, vitelogenesis, isolasi jamur patogen, terumbu karang, komunitas ikan karang, terumbu buatan, terumbu ban, pengeboran, pipa bawah laut, pengubahan jenis kelamin, estrogen, androgen, testosteron, steroid seks, diferensiasi seks, kerapu, spermatogenesis, ikan anemonfish, trammel net, gill net, ikan demersal, penangkapan ikan, perikanan, vitelogenin, morfologi otot ikan, bentuk badan ikan, pernafasan udara, paru-paru, ikan betok, efek Root, daya apung, gelembung renang, makroalga kecil, teritip, lichenes, daya apung ikan, kerang pismo, pembalikan jenis kelamin (sex reversal), androgen sintetis, 19-nor-ethynyltestosterone, 11-ketotestosterone, estrogen sintetis, hexesterol, euvastin, ethylestradiol, , kesuburan laut, metode akustik pendugaan stok ikan, penginderaan jauh (remote sensing), sulfonil, polychlorobenzene, PCB, algasida, DDT, herbisida, ciri seks sekunder ikan, keberhasilan reproduksi, damselfish, pijah rangsang, kelenjar pituitari, hipofisasi, sturgeon, karper, black carp, mangrove, bakau, rawa hutan bakau, insang, membran mulut, usus, urin, ikan Amia, ikan sucker, ikan pengisap/sapu-sapu, migrasi ikan, pertumbuhan buaya, lipida, Anguilla, Ceratomyxa shasta, Stegastes planifrons, Dascyllus aruanus, Dascyllus reticulatus, Chlorococcum littorale, Lates calcarifer, Mugil cephalus, Aphanomyces astaci, Ichthyoponus, Trichomaris invadens, Lagenidium callinectes, Scyliorhinus caniculata, Epinephelus tauvina, Poecilia shenope, Amphiprion clarkii, Amphiprion frenatus, Amphiprion perideraion, Polypterus, Amia, Scorpaena guttata, Sebastes, Sargassum, Caulerpa, Dictyopteris, Bifurcaria, Turbinaria, Chtamalus, Siphonaria, Nerita, Ostrea, Littorina, Tivela stultorum, Helcion pellucidum, Mastocarpus stellatus, Laminaria, Himanthalia, Poecilia reticulata, Chlorella fusca, Anabaena variabilis, Eupomacentrus partitus, Acipenser stellatus, Mylopharyngodon piceus, Aristichthys nobilis, Hypophthalmichthys molitrix, Ctenopharyngodon idellus, Catla catla, Labeo rohita, Cirrhinus mrigala, Nannochloropsis oculata, Nannochloropsis salina, Carex acutiformis, Carex rostrata, Carex diandra, Carex inopinata.

donasi dg belanja di Toko One


Baca online (login facebook lebih dulu) :
Download lengkap (format pdf bisa diedit; 217 KB; 40 halaman)
ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 24 April 2015

Merangsang Pemijahan Ikan Dengan LHRH (Luteinising Hormone Releasing Hormone)

Arsip Cofa No. C 192

Pemijahan Buatan Pada Bandeng Dengan Testosteron dan GnRH-A

Marte et al. (1988) telah melakukan sembilan percobaan untuk meneliti pengaruh pemberian secara kronis (menahun) hormon testosteron dan analog hormon pelepas gonadotropin tehadap kematangan pertama kali ikan bandeng umur 4 – 6 tahun dan pematangan kembali ikan umur 6 sampai lebih dari 9 tahun yang gonadnya telah menyusut/telah dikeluarkan isinya.

Pencangkokan hormon testosteron (T) atau T yang dikombinasikan dengan luteinizing hormone-releasing hormone analogue (LHRH-A) tidak banyak berpengaruh terhadap laju pematangan gonad ikan bandeng umur 4 tahun. Persentase ikan matang gonad adalah rendah dan sama dengan kontrol pada percobaan 1 (T, 31 – 35 %; kontrol, 35 %) dan percobaan 3 (T, 13 %; T plus LHRH-A, 28 %; kontrol, 22,2 %). Kebanyakan ikan umur 4 tahun yang matang gonad adalah jantan; betina matang gonad hanya diperoleh dari kelompok yang dicangkoki T pada percobaan 1. Pada percobaan 3, betina matang gonad yang dicangkoki T dapat menahan telur-telur yang berkuning telur, sedangkan ikan betina kontrol yang matang gonad tidak dapat, hal ini menunjukkan bahwa testosteron mungkin meningkatkan vitelogenesis dan mempertahankan kesatuan oosit vitelogenik. Ikan betina umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki, sekitar setengah ukuran ikan betina lebih tua yang pertama kali matang gonad, dirangsang untuk memijah. Hal ini merupakan masus pertama pematangan dan pemijahan bandeng umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki (Marte et al., 1988).

Marte et al., (1988) menambahnkan bahwa seperti pada percobaan 1 dan 3, persentase ikan dengan gonad telah dikeluarkan isinya yang matang kembali pada percobaan 7 dan 8 serupa dengan yang dicangkoki-T dan kontrol. Sebaliknya, ikan umur 4 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 2 dan 4, ikan umur 5 dan 6 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 5 dan 6, serta ikan umur 6 tahun dengan gonad telah dikeluarkan isinya pada percobaan 9 tetap tidak matang gonad atau gonadnya menyusut semuanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil percobaan ini mencakup umur dan sejarah reproduktif ikan, waktu pencangkokan hormon, kondisi percobaan dan pemeliharaan, serta stres.

Baca juga :
Mekanisme Kerja dan Pengaturan Sekresi Hormon

Pemijahan Buatan Dengan Hormon LHRH

Nandeesha et al. (1990) menyatakan bahwa sejumlah penelitian telah dilakukan pada spesies mamalia yang memperlihatkan kontrol neuroendokrin terhadap sekresi hormon-hormon gonad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangsangan sekresi gonadotropin endogen lebih mungkin dilakukan daripada penggunaan gonadotropin eksogen seperti ekstrak pituitari atau HCG. Luteinising Hormone Releasing Hormone (LHRH) mampu melepaskan Luteinising Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari kelenjar pituitari. Laporan penelitian yang dilakukan di Cina mengenai keberhasilan analog LHRH mamalia (D-Ala6, Pro9NEt) dalam merangsang pemijahan ikan karper telah menarik perhatian dunia terhadap penggunaan LHRH untuk memijahkan berbagai spesies ikan. Meski beberapa spesies ikan telah dilaporkan hanya berespon terhadap LHRH analog, penelitian mendetail tentang metodologi pemijahan ikan karper dengan LHRH analog di Cina menunjukkan bahwa petani ikan biasanya menggabungkan analog ini dengan pituitari atau HCG untuk memperoleh keberhasilan yang dikehendaki.

Kombinasi LHRH dan Antagonis Dopamin Untuk Pemijahan Ikan Buatan

Menurut Nandeesha et al. (1990) kemajuan besar dalam penelitian pemijahan ikan adalah penemuan dopamin yang beraksi sebagai faktor penghambat sintesis gonadotropin. Penelitian mendetail mengenai alasan kegagalan pemijahan ikan bila hanya menggunakan LHRH saja dengan jelas menunjukkan bahwa dopamin mempengaruhi aksi LHRH terhadap sekresi gonadotropin. Jadi, penghambatan aksi dopamin dengan agen-agen antagonis seperti pimozide akan mendorong aksi LHRH sehingga pemijahan bisa berhasil. Serangkaian penelitian di Cina yang dibiayai oleh IDRC dan dilakukan oleh Dr. R.E. Peter dari Kanada dan Dr. H.R. Lin dari Cina membuktikan bahwa kombinasi LHRH analog dengan antagonis dopamin dapat efektif menggantikan fungsi pituitari ikan dalam merangsang pemijahan ikan karper. Kedua ilmuwan ini menamakan teknik baru pemijahan tersebut “Linpe Method”.

Baca juga :
Reproduksi dan Endokrinologi

Cangkok Hormon LHRH Untuk Merangsang Pemijahan Bandeng

Lee et al. (1985) dalam Lee dan Liao (1985) melaporkan bahwa baru-baru ini ada beberapa metode yang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyuntikan hormon yang berulang-ulang. Teknik baru ini menggunakan pelet hormon yang melepaskan sejumlah tertentu “pesan” kimia selama periode yang panjang. Satu contoh khas pelet yang mampu melepaskan hormon sedikit demi sedikit adalah pelet yang berisi hormon pelepas-hormon luteinizing atau luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) dalam bentuk matriks kolesterol. Pelet ini dibuat untuk mengendalikan pelepasan senyawa neuropeptida tersebut ke dalam tubuh binatang.

Struktur molekul LHRH telah diketahui sehingga kita dapat memproduksi secara sintetis LHRH analog yang beberapa kali sampai ratusan kali lebih kuat daripada neuropeptida alami. LHRH analog (LHRH-A) ini dibentuk menjadi pelet dan telah berhasil digunakan untuk memperpanjang periode pemijahan ikan salmon Atlantik dan ikan rainbow trout. Ketika bandeng diberi pelet kolesterol LHRH-A seperti ini, kematangan gonad dengan persentase lebih tinggi dilaporkan berhasil dicapai pada ikan tersebut dan kematangan gonad ini terjadi kira-kira sebulan sebelum masa musim reproduksi normalnya (Lee et al., 1985, dalam Lee dan Liao, 1985).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Merangsang Pelepasan Gonadotropin Dengan LHRH Pada Ikan Mas

Menurut Peter (1983) dalam Hoar et al. (1983) LHRH sintetis dapat merangsang pelepasan GtH (gonadotropin hormon) dari pituitari teleostei. Telah ditemukan bukti langsung yang pertama untuk hal ini : penyuntikan LHRH secara intravena pada ikan mas, Cyprinus carpio, menyebabkan peningkatan secara tajam konsentrasi GtH dalam plasma darah dalam waktu 2 – 6 menit setelah penyuntikan. Dengan LHRH dosis rendah (250 nanogram/kg), mula-mula konsentrasi GtH plasma meningkat kemudian kembali normal dalam waktu sekitar 10 menit. Bagaimanapun, peningkatan konsentrasi hormon ini terus berlangsung sedikitnya selama 25 menit pada ikan yang diberi dosis tinggi (1 mikrogram/kg). Dua kali penyuntikan LHRH (3 mikrogram/kg) dengan selang waktu 3 jam menyebabkan peningkatan konsentrasi GtH plasma selama sedikitnya 12 jam. Kepekaan tertinggi terhadap LHRH selama siklus reproduksi ikan mas adalah dari musim pemijahan musim semi sampai musin panas, dan bahwa kepekaan minimal adalah pada musim dingin di mana kegiatan seksual ikan tidak aktif. Sayangnya, ovulasi buatan pada ikan mas dengan penyuntikan LHRH masih gagal.

Baca juga :
Pemijahan Buatan Pada Ikan

Variasi Kepekaan Gonad Ikan Terhadap LHRH

Peter (1983) dalam Hoar et al. (1983), berdasarkan laporan peneliti-peneliti lain, menyatakan bahwa perlakuan terhadap ikan salmon Atlantik atau rainbow trout yang belum matang gonad dengan steroid estrogen mendorong pituitari memproduksi GtH. Hormon pelepas hormon luteinizing (LHRH) menyebabkan pelepasan GtH dengan laju tergantung-dosis dari pituitari secara in vitro pada ikan rainbow trout muda yang diberi perlakuan steroid. Bagaimanapun, pituitari ikan yang tidak diberi perlakuan tidak melepaskan GtH setelah disuntik LHRH. Dalam kaitannya dengan respon in vivo terhadap LHRH, rainbow trout matang gonad (namun belum memijah) lebih peka terhadap LHRH dibandingkan ikan pada TKG (Tingkat Kematangan Gonad) lain. Penyuntikan tunggal LHRH menyebabkan peningkatan konsentrasi GtH yang tergantung-dosis, peningkatan ini tetap bertahan selama sedikitnya 6 jam, pada rainbow trout (Salmo truta) jantan yang matang gonad (sedang mengalami spermiasi). Senyawa analog LHRH buatan yang menghambat pelepasan LH pada mamalia (analog LHRH penghambat atau “inhibitory LHRH analogue”/i-LHRHa) juga menghambat pelepasan GtH yang dirangsang secara in vivo oleh LHRH pada ikan brown trout jantan dewasa. Bagaimanapun, senyawa-senyawa analog LHRH yang sangat aktif tidaklah lebih aktif daripada LHRH dalam merangsang peningkatan konsentrasi GtH plasma. Dengan menggunakan pituitari dari ikan rainbow trout muda yang diberi perlakuan steroid secara in vitro, telah ditemukan fakta bahwa senyawa analog LHRH paling aktif yang sedikit lebih aktif daripada LHRH dalam merangsang pelepasan GtH hanyalah des-Gly10[D-Ala6]LHRH etilamida; i-LHRHa juga efektif secara in vitro.

Baca juga :
Prosedur Penyuntikan Pituitari dan Pemijahan Buatan Pada Ikan Karper

Pengaruh Pemberian LHRHa Terhadap Konsentrasi Gonadotropin

Crim et al. (1988) melakukan penelitian dengan menggunakan ikan bioesei berupa ikan rainbow trout umur setahun yang testosteronnya mulai berkembang; hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan secara in vivo dengan LHRH analog asal mamalia berhasil merangsang pelepasan hormon gonadotropin (GtH). Setelah penyuntikan-sekali LHRH analog (LHRHa) secara intraperitoneal, baik LHRHa maupun GtH dengan cepat meningkat di dalam plasma darah dan tetap tinggi selama beberapa jam. Meskipun konsentrasi LHRHa dalam plasma darah turun sampai ke tingkat yang tak dapat dideteksi setelah 11 jam, namun konsentrasi GtH dalam plasma darah, yang mulai menurun setelah 7,5 jam, tetap lebih besar daripada nilai kontrol selama kira-kira 2 hari. Ikan trout yang kembali diberi LHRHa setelah kira-kira 47 jam mengalami peningkatan konsentrasi GtH dalam plasma darah secara cepat, yang menunjukkan bahwa pituitari tetap mempertahankan kepekaannya terhadap pemberian LHRHa selanjutnya. Berlawanan dengan peningkatan dalam waktu relatif singkat konsentrasi GtH plasma setelah pemberian LHRHa melalui penyuntikkan-sekali, peningkatan konsentrasi GtH yang lebih lama yang berlangsung selama beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu telah terbukti terjadi setelah pencangkokan hormon secara intramuskular atau intraperitoneal pada ikan trout dengan sebuah pelet LHRHa kolesterol. Penelitian lebih lanjut terhadap pelet campuran selulosa/kolesterol menunjukkan bahwa semua pelet kolesterol dengan adanya selulosa meningkatkan laju pelepasan LHRHa secara in vivo, terutama bila dibandingkan dengan pelet kolesterol murni (100 %) yang mengandung coklat mentega sebagai agen perekat. Disimpulkan bahwa pelepasan LHRHa secara cepat (dalam waktu singkat) dapat dicapai dengan menggunakan pelet selulosa/kolesterol, sedangkan pelepasan LHRHa dalam waktu panjang dapat dicapai dengan menggunakan pelet kolesterol murni.

Cangkok LHRHa Meningkatkan Konsentrasi Hormon Gonadotropin Dalam Jangka Panjang

Crim et al. (1988) melaporkan bahwa LHRH analog dari mamalia, (D-Ala6, Pro9-NHEt)LHRH, merupakan hormon yang berpotensi merangsang pelepasan GtH pada ikan rainbow trout umur setahun yang testosteronnya mulai berkembang. Penyuntikan-sekali cairan yang mengandung 20 mikrogram/kg LHRHa menyebabkan peningkatan konsentrasi LHRHa sampai ke level yang dapat dideteksi di dalam plasma darah yang belangsung beberapa jam, dan mempunyai pengaruh berjangka relatif singkat terhadap profil GtH plasma yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam dengan konsentrasi tertinggi GtH plasma terjadi selama beberapa jam pertama, yakni kira-kira 5 jam setelah perlakuan. Pemberian LHRHa melalui pencangkokan pelet kolesterol memperpanjang periode di mana hormon peptida ini bekerja terhadap ikan dan memungkinkan konsentrasi GtH plasma tetap tinggi dalam tubuh ikan selama lebih dari 48 jam, bahkan selama beberapa minggu tergantung pada jenis pelet selulosa/kolesterol yang dipakai. Pelet kolesterol murni, terutama yang mengandung agen perekat berupa mentega coklat, relatif lambat dalam melepaskan LHRHa sehingga memungkinkan pelepasan LHRHa dalam jangka panjang (berminggu-minggu). Dalam hal ini metode pencangkokan intraperitoneal maupun intramuskular sama-sama efektif. Sulit untuk menentukan dosis LHRHa yang tepat dalam cangkokan kolesterol bagi ikan-ikan dengan ukuran dan spesies yang berbeda; data terdahulu memperkuat dugaan bahwa untuk merangsang pemijahan ikan sea bass dengan berat badan 1 sampai 5 kg, dosis ambang LHRHa dalam sebuah pelet kolesterol kira-kira adalah 25 – 125 mikrogram hormon per pelet.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 20 April 2015

Ekologi Jamur Air

Arsip Cofa No. C 191

Klasifikasi dan Habitat Jamur Air

Phycomycetes air mencakup sejumlah kelas jamur di mana hubungan jamur tersebut dengan lingkungannya baru sedikit diketahui. Jamur lendir, yang mencakup Labyrinthulate dan kerabat dekatnya, tidak lazim digolongkan sebagai phycomycetes air : mereka hidup di tanah karena sebagian di antaranya berkerabat jauh dengan Oomycetes, tetapi ada sedikit jamur ini yang ditemukan di perairan tawar. Dengan demikian kelompok ini tidak dibahas dalam uraian ini. Kelas dan ordo jamur yang memiliki peranan penting dalam ekologi phycomycetes air tawar adalah :

- Kelas Oomycetes : Ordo Saprolegniales, Leptomitales, Lagenidiales, Peronosporales
- Kelas Hyphochytridiomycetes : Ordo Hyphochytriales
- Kelas Chytridiomycetes : Ordo Chytridiales, Blastocladiales, Monoblepharidales
- Kelas Zygomycetes : Ordo Mucorales, Entomophthorales
- Trichomycetes : Ordo Amoebidiales, Harpellales, Eccrinales, Asellariales

Ekologi Hyphochytridiomycetes masih belum banyak diketahui, sehingga sebagian besar uraian berikut membahas tiga kelompok jamur yaitu jamur biflagelata heterokont, jamur berflagel-satu dan Zygomycotina. Meskipun ketiga kelompok jamur ini telah dikenal, namun penelitian keseimbangan ekologi jamur-jamur tersebut tidak banyak dilakukan.

Jamur telah berhasil diisolasi dari ekosistem perairan yang meliputi sungai dan anak-anak sungai serta bagian hulu estuaria, juga danau dan kolam, danau-rawa, rawa serta sawah, kubangan dan genangan air sementara. Pada lokasi atau musim di mana air mengalir deras terbentuk kondisi perairan lotik (mengalir). Lingkungan lentik (menggenang) timbul pada badan air yan lebih tenang, dan di sini perubahan vertikal mendominasi sehingga terbentuk termoklin akibat perbedaan faktor-faktor fisika-kimia perairan dan merangsang biota melakukan migrasi vertikal harian. Lingkungan lentik yang agak dangkal bisa menjadi lotik pada saat hujan lebat. Jadi semua istilah umum ini hanya merupakan pendekatan dan harus digunakan sesuai dengan kondisinya.

Dalam semua jenis lingkungan tersebut ada empat zona yang mungkin terbentuk : zona perairan bebas, bidang batas udara/air, bidang batas air/dasar perairan dan zona litoral. Habitat-habitat ini bisa berhubungan dengan habitat lainnya melalui air permukaan dan air yang ada di sela-sela sedimen. Perbedaan zona-zona tadi timbul akibat interaksi iklim dan musim dengan perairan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tekanan oksigen dan karbon dioksida, pencucian dan pelarutan mineral serta ketersediaan substrat.

Dalam lingkungan perairan juga terjadi berbagai macam hubungan substrat. Sebagai contoh adalah :

(1) Substrat partikulat kecil (seperti serbuk sari, biji-biji tumbuhan kecil, plankton, potongan-potongan bangkai serangga ecil, dan lain-lain) yang melayang-layang bebas di dalam kolom air serta dicirikan oleh keberadaannya dalam air yang sangat singkat dan terpisah dari semua unit substrat.
(2) Substrat yang terletak atau melekat pada suatu obyek dalam sistem perairan (mencakup detritus dasar perairan, epifit dan parasit pada batang, daun dan akar tumbuhan tingkat tinggi, serta saprofit dan parasit yang menempel pada binatang besar di mana perubahannya lebih lambat dan bergantian (suksesi).
(3) Saprofit di dalam perut binatang di mana adaptasinya terhadap niche ekologis sama seperti yang dilakukan oleh parasit internal obligatif (yakni parasit internal yang hanya menyerang inang atau bagian tubuh inang tertentu saja) dan di mana pengaruh langsung lingkungan perairan ini terhadap pertumbuhan vegetatif jamur sangat kecil.

Baca juga :
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Jamur Air Saprolegniales

Istilah “jamur air”, meskipun dapat dipakai juga untuk menunjukkan beberapa anggota jamur lainnya, biasanya digunakan untuk menyatakan Saprolegniales, karena kebanyakan jamur ordo ini melimpah di perairan yang jernih dan mudah memulihkan-diri bila terjadi gangguan. Banyak spesies anggota ordo ini, bagaimanapun, hidup di darat. Kebanyakan spesies jamur ordo ini bersifat saprobik dan sedikit yang mempunyai nilai ekonomis penting secara langsung. Beberapa di antaranya merupakan parasit penting. Sebagian spesies dari genus Saprolegnia, seperti Saprolegnia parasitica, menyebabkan penyakit pada ikan dan telur ikan, dan bisa juga menimbulkan kerugian besar pada hatchery ikan. Genus Aphanomyces membawahi beberapa spesies yang merupakan parasit penghancur akar tumbuhan berpembuluh sehingga menyebabkan kerusakan parah pada pertanian gula bit, kacang dan lain-lain (Alexopoulus, 1960).

Baca juga :
Media Pertumbuhan, Kebutuhan Nutrisi dan Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Jamur Air

Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air

Menurut Alderman (1982) dalam Roberts (1982) salah satu kesulitan besar dalam meneliti penyakit jamur pada binatang air adalah masalah isolasi jamur yang akan diamati. Kulit yang rusak akibat infeksi mungkin diserang oleh lebih dari satu jenis jamur air, bahkan sekalipun bila diserang oleh satu jenis jamur masih ada kesulitan lain karena spora dari berbagai jenis saprofit yang tumbuh cepat akan menutupi spesies jamur primer tadi. Masalah ini menjadi lebih sulit apabila jaringan yang dipilih untuk isolasi tidak sesuai. Makin parah infeksi makin besar kemungkinan tercemar saprofit sekunder. Setelah binatang mati nilai isolat yang diperoleh dari bangkainya tidak berguna.

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa sebelum teknologi antibiotik berkembang, sangat sulit memastikan bahwa isolat bebas dari kontaminasi bakteri. Perlakuan pencucian dan subkultur harus dilakukan berkali-kali, bersama dengan penutupan gelas wadah kultur untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Saat ini, kebanyakan peneliti menggunakan antibiotik dalam media isolasi awal. Mungkin kombinasi antibiotik yang paling terkenal adalah penisilin dan streptomisin sebanyak 0,5 gram untuk setiap liter media agar-agar. Antimikroba lain yang juga dipakai adalah kalium telurit dan carbenisilin, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa antibiotik ini cukup menguntungkan. Beberapa jenis jamur, seperti Aphanomyces astaci terlalu peka terhadap antibiotik sehingga antibotik tersebut tidak dapat dipakai untuk mengisolasinya. Karena jamur ini tumbuh pada rangka luar inangnya, isolat jamur ini mungkin dapat diperoleh dengan mensterilkan permukaan bagian tubuh yang terinfeksi dengan alkohol sehingga terhindar dari kontaminasi.

Baca juga :
Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya

Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air

Menurut Dick (1976) dalam Jones (1976), efisiensi konversi energi dari substrat menjadi protoplasma jamur tergantung pada interaksi antara faktor lingkungan, kemampuan biokimia yang dimiliki jamur serta tipe sumber karbon yang tersedia dalam substrat. Fermentasi relatif tidak efisien dibandingkan dengan respirasi aerob yang menghasilkan lebih banyak energi dalam kondisi ada oksigen dan sumber karbon terbatas; fermentasi mengharuskan jamur memiliki derajat diferensiasi sitoplasmik internal yang tinggi dan respirasi endogenous yang tinggi pula. Bagaimanapun, dalam lingkungan perairan, difusi oksigen relatif lamban, dan kecuali bila terjadi pengadukan atau segera mendapat masukan oksigen dari hasil fotosintesis, akan timbul kecenderungan kekurangan oksigen, sehingga menghambat efisiensi respirasi. Dengan demikian, organisme yang beradaptasi terhadap respirasi oksidatif dalam lingkungan perairan menunjukkan kecenderungan laju pertumbuhan metaboliknya rendah pada sumber karbon yang terbatas, atau siklus vegetatifnya singkat pada substrat di mana sumber karbon dengan cepat menjadi terbatas, seperti pada kasus-kasus organisme holocarpic yang sering terdapat di lingkungan perairan. (Holocarpic adalah jamur yang seluruh talusnya berkembang menjadi badan buah atau sporangium. Lawan holocarpic adalah eucarpic).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Telah diketahui dengan baik bahwa melimpahnya zat gula yang sangat mudah difermentasi cenderung menghambat respirasi aerobik sekalipun pada kondisi aerobik (pergeseran ke pola fermentatif ini biasanya melibatkan enzim fumarate reduktase). Bila sumber nutrien seperti ini agak sulit diuraikan secara total karena strukturnya menghambat organisme kompetitor, dan bila sumber nutrien ini tersedia secara teratur atau secara periodik, kita bisa mengharapkan bahwa organisme akan berevolusi dengan mengembangkan suatu sistem enzim yang lebih dapat mendukung proses fermentasi meskipun kondisi lingkungan sebagian aerobik. Interaksi antara lingkungan perairan, substrat dan kemampuan biokimia jamur ini menjadi dasar penggunaan umpan klasik jeruk dan buah tumbuhan mirip-mawar untuk mengumpulkan jamur Rhipidiaceae dan Blastocladiaceae.

Jadi suatu substrat alami yang kompleks mungkin pada saat yang sama ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur, sebagian di antaranya berespirasi secara aerobik sementara yang lain menggunakan fermentasi. Dalam kondisi ini sulit untuk menghubungkan semua rasio (quotient) repirasi dengan nilai dugaan jumlah propagule (struktur reproduktif jamur) dan/atau jumlah massa miselial agar dapat menghasilkan persamaan produktivitas jamur, kecuali bila komposisi populasi jamur dapat diketahui.

Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air

Dick (1976) dalam Jones (1976) menyatakan bahwa jamur berperanan penting dalam aliran energi dan produktivitas ekosistem perairan melalui keberadaannya sebagai sumber karbon dan aktivitas metabolismenya terhadap substrat yang sesuai. Dalam lingkungan alami, penguraian substrat dilakukan baik secara bersama-sama maupun satu setelah yang lain oleh berbagai jenis jamur dan organisme lainnya yang mampu beradaptasi terhadap, atau toleran terhadap, kondisi lingkungan tertentu yang berkaitan dengan media cair. Kondisi tersebut berkenaan dengan laju difusi oksigen dan karbon dioksida serta pengaruh bahan-bahan terlarut, termasuk karbon dioksida, terhadap pH media. Ketersediaan oksigen, pH dan suhu merupakan parameter penting yang mempengaruhi efisiensi sistem enzim suatu jamur. Dalam lingkungan perairan, faktor-faktor ini bisa berubah dengan cepat. Fasilitas yang digunakan oleh jamur agar dapat mengaktifkan sistem enzim yang sesuai dengan kondisi yang selalu berubah-ubah ini dengan demikian sangat penting dipelajari untuk memahami ekologi jamur.

Baca juga :
Respirasi dan Metabolisme Jamur Air

Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air

Gleason (1976) dalam Jones (1976) menjelaskan secara singkat kebutuhan vitamin pada jamur air. Kebanyakan jamur air bersifat autotrof (bisa mensintesis sendiri) terhadap berbagai jenis vitamin atau hanya membutuhkan tiamin saja. Sering ada variasi yang besar dalam hal kebutuhan tiamin pada jamur-jamur yang berkerabat dekat. Keberhasilan penggunaan tiamin untuk mengidentifikasi jamur telah dibahas oleh beberapa peneliti. Vitamin-vitamin lain jarang dibutuhkan, di antaranya biotin, p-amino benzoat dan nikotinamida.

Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air

Menurut Gleason (1976) dalam Jones (1976) sumber nitrogen yang biasa digunakan jamur dibagi menjadi tiga kelompok : amino nitrogen, amonium nitrogen dan nitrat nitrogen. Kebutuhan nitrogen sangat bervariasi di antara jamur-jamur anggota Chytridiomycetes dan Oomycetes. Beberapa anggota Chytridiomycetes, Monoblepharidales dan Peronosporales dapat memanfaatkan amonium dan nitrat nitrogen. Sebagian anggota ordo terakhir ini dan Blastocladiales , Saprolegniales serta Leptomitales mampu memanfaatkan amonium nitrogen tetapi tidak bisa menggunakan nitrat nitrogen. Sebagian jamur air tidak dapat memanfaatkan sama sekali sumber nitrogen anorganik sebagai contoh, Catenaria dan Sapromyces. Asam glutamat atau asparagin sangat sering dipilih sebagai sumber amino nitrogen, tetapi banyak juga jenis asam amino lain yang bisa dijadikan sumber nitrogen. Menarik untuk diperhatikan bahwa penambahan lisin ke dalam media kultur jamur merangsang pertumbuhan Catenaria bila sumber nitrogen lain hanya diperoleh dari asparagin. Biasanya asam glutamat atau asparagin memungkinkan jamur tumbuh lebih cepat daripada sumber nitrogen anorganik.

Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menyatakan bahwa air dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur sama seperti pada organisme lain. Jamur biasanya membutuhkan selapis tipis air di sekitar sel-selnya, melalui air tersebut enzim dan nutrien berdifusi. Spesies jamur penyebab penyakit “akar kering” dapat bertahan hidup di media yang sangat kering karena air ditranspor dari bagian yang lembab melalui hifa dan juga karena air merupakan hasil samping reaksi metabolik jamur tersebut. Bagaimanapun, terlalu kebanyakan air bisa menyebabkan jamur membusuk. Sebagai contoh, sebagian besar jamur berfilamen tidak memproduksi spora dalam media yang terendam air, dan pertumbuhan dapat dihambat bila kondisi terendam air menyebabkan lingkungan menjadi anaerob.

Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menjelaskan bahwa pertumbuhan jamur biasanya dapat dicegah dengan mengeringkan substrat, suatu metode yang sering digunakan dalam industri makanan untuk mencegah pembusukan. Kandungan air pada jamur juga dapat dikurangi dengan membuat potensial osmotik di luar sel lebih negatif daripada di dalam sel. Sebagai contoh, gula atau garam dapat ditambahkan ke daging, buah atau jam untuk mencegah pertumbuhan jamur. Gula berkonsentrasi 50 – 70 % atau garam berkonsentrasi 20 – 25 % biasanya efektif. Bagaimanapun, ragi yang bersifat osmofilik seperti Saccharomyces rouxii dan Saccharomyces mellis, maupun spesies jamur berfilamen seperti Aspergillus glaucus, tumbuh subur pada kondisi lingkungan yang sangat osmotik.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 13 April 2015

Kultur Chlorella : Produksi Lipida dan Pemanfaatannya Dalam Pengolahan Air Limbah

Arsip Cofa No. C 190

Pengaruh Nitrogen dan Karbon Dioksida Terhadap Produksi Lipida Pada Kultur Chlorella

Widjaja et al. (2009) melakukan studi untuk mengetahui cara meningkatkan produksi lipida dari mikroalga air tawar Chlorella vulgaris dengan meneliti beberapa faktor penting seperti pengaruh konsentrasi CO2, kekurangan nitrogen dan waktu panen serta metode esktraksi. Suhu pengeringan selama ekstraksi lipida dari biomas alga ternyata mempengaruhi tidak hanya komposisi lipida tetapi juga kandungan lipida. Pengeringan pada suhu sangat rendah dan dengan kondisi hampa udara memberikan hasil terbaik tetapi pengeringan pada suhu 60 °C masih mempertahankan komposisi lipida sedangkan kandungan lipida total hanya menurun sedikit. Pengeringan pada suhu yang lebih tinggi mengurangi kandungan triasilgliserol. Bila sampel alga kering ditumbuk cukup halus, ultrasonikasi tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan lipida maupun terhadap lama ekstraksi.

Widjaja et al. (2009) menambahkan bahwa selain meningkatkan total kandungan lipida dalam sel-sel mikroalga akibat media kultur kekurangan nitrogen, ternyata bahwa perubahan dari media bernutrien normal ke media yang kekurangan nitrogen akan mengubah secara perlahan-lahan komposisi lipida dari lipida yang bebas asam lemak menjadi lipida yang banyak mengandung triasilgliserol. Karena kandungan lipida yang lebih tinggi diperoleh bila pertumbuhan alga sangat lambat akibat kekurangan nitrogen, maka masalah kandungan lipida dan waktu panen harus dipertimbangkan guna mendapatkan kandungan lipida yang lebih banyak dan produktivitas lipida yang lebih tinggi. Karena pertumbuhan alga ini banyak ditingkatkan oleh naiknya konsentrasi CO2, maka konsentrasi gas ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktivitas lipida. Pada konsentrasi CO2 rendah sampai sedang, produktivitas lipida tertinggi dapat diperoleh selama kekurangan nitrogen yang dapat melebihi produktivitas selama nutrisi normal. Pada konsentrasi CO2 tinggi, pemanenan pada akhir fase linier selama nutrisi normal menghasilkan produktivitas lipida tertinggi. Bagaimanapun, dengan mengurangi lama inkubasi dalam media kurang-nitrogen, kandungan lipida yang lebih tinggi serta produktivitas lipida yang lebih besar masih bisa dicapai pada kondisi ini.

Baca juga :
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pengaruh Besi Terhadap Pertumbuhan dan Penimbunan Lipida Pada Kultur Chlorella

Liu et al. (2008) menyatakan bahwa kelayakan ekonomi kultur masal alga untuk produksi biodiesel bisa diperbaiki dengan meningkatkan produktivitas biomas dan cadangan lipida. Pengaruh besi terhadap pertumbuhan dan penimbunan lipida dalam mikroalga laut Chlorella vulgaris telah dipelajari. Pada percobaan I, pengayaan media pertumbuhan dengan FeCl3-berchelat pada saat alga memasuki fase pertumbuhan akhir meningkatkan kepadatan sel akhir tetapi tidak merangsang penimbunan lipida di dalam sel. Pada percobaan II, sel-sel yang memasuki fase pertumbuhan eksponensial akhir dikumpulkan dengan cara sentrifugasi dan diinokulasi kembali ke media baru yang dilengkapi dengan lima level konsentrasi Fe3+. Total kandungan lipida dalam kultur yang dilengkapi dengan 1,2 × 10-5 mol/liter FeCl3 naik sampai 56,6 % biomas berdasarkan berat kering dan nilai ini adalah 3 - 7 kali lipat dibandingkan nilai dalam media lain yang konsentrasi besinya lebih sedikit. Selain itu, metode sederhana dan cepat untuk menentukan penimbunan lipida dalam Chlorella vulgaris dengan spektrofluorimetri telah dikembangkan.

Baca juga :
Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

Meningkatkan Produksi Lipida Pada Chlorella vulgaris Dengan Mengendalikan Kondisi Kultur

Lu et al. (2010) melaporkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas lipida dan dengan demikian mengurangi biaya produksi biodiesel mikroalga, pengaruh kondisi kultur termasuk konsentrasi KNO3, CO2 dan iradiansi cahaya (energi cahaya per satuan luas) terhadap pertumbuhan sel, kandungan klorofil-a dan penimbunan lipida pada Chlorella vulgaris telah diteliti secara sistematik dalam fotobioreaktor. Komposisi biokimia termasuk karbohidrat, protein dan lipida dianalisis secara bersamaan dengan spektroskopi FT-IR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas biomas terbesar dan kandungan lipida terbanyak bisa diperoleh pada kondisi kultur yang berbeda. Alga sebaiknya dipanen pada saat produktivitas biomas dan kandungan lipidanya optimum, yaitu ketika kondisi kulturnya dikendalikan pada 1,0 mM KNO3, 1,0 % CO2 dan 60 mikromol foton/m2/detik pada suhu 25 °C, produktivitas lipida tertinggi yang diperoleh adalah 40 mg/liter/hari, yang merupakan 2,5 kali lipat nilai yang dilaporkan oleh penelitian sebelumnya.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Glukosa Untuk Meningkatkan Produksi Lipida Pada Kultur Chlorella

Liang et al. (2009) meneliti biomas dan produktivitas lipida Chlorella vulgaris pada berbagai kondisi pertumbuhan. Pertumbuhan autotrofik menghasilkan kandungan lipida seluler yang lebih tinggi (38 %), namun produktivitas lipidanya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pertumbuhan heterotrofik dengan media asetat, glukosa atau gliserol. Nilai-nilai optimal pertumbuhan sel (2 gram/liter) dan produktivitas lipida (54 mg/liter/hari) diperoleh dengan memanfaatkan glukosa berkonsentrasi 1 % (berat/volume); konsentrasi glukosa yang lebih tinggi bersifat menghambat. Pertumbuhan Chlorella vulgaris pada media gliserol memiliki efek dosis yang sama dengan pada media glukosa. Secara umum, Chlorella vulgaris bersifat mixotrophic.

Baca juga :
Kultur Daphnia : Pengaruh Faktor Lingkungan

Asam-Asam Lemak Yang Dihasilkan Oleh Kultur Chlorella

Petkova dan Garcia (2007) mempelajari komposisi asam lemak tiga spesies Chlorella pada kondisi kultur fotoautotrof, heterotrof, kelaparan nitrogen dan pada kultur fotobioreaktor luar-ruangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam lemak 14:0, 16:0, 16:1, 16:2, 16:3, 18:0, 18:1, 18:2 dan a-18:3 terbukti berasal dari Chlorella. Sedangkan asam-asam lemak dengan 20 atom karbon dan empat atau lima ikatan rangkap dianggap tidak berasal dari Chlorella. Keberadaan jenis-jenis asam lemak lain di luar komposisi ini disimpulkan akibat kultur alga yang bersifat campuran, kontaminasi oleh bakteri atau senyawa asing.

Baca juga :
Kultur Masal Brachionus dan Pemanfaatannya Sebagai Pakan Larva Ikan

Kultur Chlorella Untuk Mengolah Air Limbah Perkotaan

Wang et al. (2010) melakukan studi dengan tujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan alga hijau Chlorella sp. pada sampel air limbah dari empat titik instalasi pengolahan limbah perkotaan lokal dan bagaimana pertumbuhan alga bisa menyingkirkan nitrogen, fosfor, chemical oxygen demand (COD) dan ion-ion logam dari air limbah. Keempat limbah cair tersebut adalah limbah sebelum pengendapan primer (air limbah no 1), air limbah setelah pengendapan primer (air limbah no 2), air limbah yang keluar dari tangki lumpur aktif (air limbah no 3) dan sentrat (air limbah no 4), yaitu air limbah yang dihasilkan oleh sentrifugasi lumpur.

Wang et al. (2010), berdasarkan studi yang dilakukannya itu, menyimpulkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan spesifik dalam periode eksponensial adalah 0,412, 0,429, 0,343, dan 0,948 per hari untuk air limbah no 1, 2, 3 dan 4, berturut-turut. Laju penyingkiran NH4-N adalah 82,4 %, 74,7 % dan 78,3 % untuk air limbah no 1, 2 dan 4, berturut-turut. Untuk air limbah no 3, sebanyak 62,5 % NO3-N, yang merupakan bentuk utama nitrogen anorganik, dihilangkan dengan laju yang besarnya 6,3 kali lipat laju pembentukan NO2-N. Dari air limbah no 1, 2 dan 4 sebanyak 83,2 %, 90,6 % dan 85,6 % fosfor serta 50,9 %, 56,5 % dan 83,0 % COD, berturut-turut, bisa dihilangkan. Hanya 4,7 % fosfor dihilangkan dalam air limbah no 3 dan COD dalam air limbah no 3 meningkat sedikit setelah pertumbuhan alga, mungkin akibat ekskresi molekul-molekul organik fotosintetik kecil oleh alga. Ion-ion logam, terutama Al, Ca, Fe, Mg dan Mn dalam sentrat disingkirkan dengan sangat efisien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alga yang ditumbuhkan dalam sentrat kaya-zat hara menyediakan pilihan baru penggunaan alga untuk mengolah limbah dan mengurangi beban zat hara dalam air.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 06 April 2015

Kultur Masal Brachionus dan Pemanfaatannya Sebagai Pakan Larva Ikan

Arsip Cofa No. C 189

Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Kultur Brachionus Berkepadatan Tinggi

Yoshimura et al. (1997) melaporkan bahwa penggunaan Chlorella sebagai pakan dalam kultur masal Brachionus memungkinkan untuk mengkultur rotifera ini dengan kepadatan 103 individu/ml. Disadari bahwa untuk meningkatkan kepadatan kultur 104 individu/ml, maka faktor-faktor penghambat (konsentrasi oksigen terlarut yang rendah, pemisahan buih, dan daya racun NH3-N) harus dikurangi dengan cara penambahan gas oksigen dan pengaturan pH agar bernilai 7. Bagaimanapun, bahkan setelah perbaikan seperti ini, masalah tetap ada. Salah satu masalah tersebut adalah pengendalian sisa-sisa makanan dan kotoran, partikel bahan organik dan mikroba yang sering menyumbat jaring pengumpul saat panen. Masalah lainnya adalah pengembangan metode kuantitatif yang lebih akurat untuk menentukan kepadatan Chlorella dan rotifer yang dapat menggantikan metode penghitungan konvensional.

Menurut Yoshimura et al. (1997) masalah-masalah tersebt di atas bisa dipecahkan dengan cara berikut. (1) Alat penyaring untuk menghilangkan partikel kotoran dalam media kultur : saringan berupa jaring nilon dengan rangka stainless steel telah dikembangkan untuk meningkatkan luas permukaan jaring sehingga lebih banyak kotoran yang disingkirkan. Dengan menggunakan saringan ini, panen kultur rotifera berkepadatan tinggi 104 individu/ml adalah mungkin tanpa menyebabkan jaring pemanen tersumbat. (2) Penentuan rotifera secara kuantitatif dilakukan dengan metode sentrifugasi : Peneliti menentukan kelimpahan rotifera berdasarkan sampel sentrifugasi dan mengukur volume paketnya ("packed volume", PV, ml/liter). PV rotifera lebih mudah dihitung dan lebih akurat (koefisien keragaman 4 %) daripada perhitungan kepadatan secara langsung (koefisien keragaman 15 %). Masalah yang dihadapi di sini adalah bahwa limbah organik dalam kultur rotifera menyebabkan pengukuran PV rotifera menjadi sulit. Dengan menempatkan sebuah filter di dalam tangki kultur masal, bagaimanapun, batas antara rotifera dan limbah organik di dalam tabung sentrifugasi menjadi lebih jelas terlihat.

Baca juga :
Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Brachionus

Kultur Masal dan Evaluasi Brachionus Sebagai Pakan Larva Ikan

Theilacker dan McMaster (1971) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan larva ikan anchovy, Engraulis mordax, yang dipelihara selama 19 hari pada kondisi lingkungan dengan pakan organisme hasil kultur laboratorium, melebihi laju pertumbuhan ikan anchovy yang diberi pakan plankton liar. Rotifera Brachionus plicatilis telah diketahui merupakan sumber makanan bergizi bila diberikan kepada larva ikan ini dengan konsentrasi 10 - 20/ml dan dalam kombinasi dengan dinoflagelata Gymnodinium splendens (100/ml). Kondisi optimum ditentukan untuk kultur masal rotifera ini. Konsentrasi pakan yang tinggi merupakan parameter terpenting yang dibutuhkan untuk menjamin hasil kultur rotifera yang banyak. Flagelata bersel satu, Dunaliella sp., dikultur dalam jumlah banyak sebagai pakan bagi rotifera. Teknik kultur rotifera yang dijelaskan dalam laporan ini bisa memproduksi hampir 2,5 juta organisme/hari, sehingga bisa menyediakan sumber makanan yang dapat diandalkan untuk studi penelitian. Panjang Brachionus plicatilis (tanpa telur) berkisar dari 99 dan 281 mikron, kebanyakan rotifera berukuran lebih dari 164 mikron dan kurang dari 231 mikron. Berat individu Brachionus 0,16 mikrogram dan mengandung 8×10-4 kalori.

Baca juga :
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Kemungkinan Kultur Masal Brachionus Dengan Pakan Chlorella

Maruyama et al. (1997) memanfaatkan alga Chlorella vulgaris (dalam bentuk "condensed suspension", yaitu media air berisi alga berkonsentrasi tinggi) sebagai pakan rotifera Brachionus plicatilis dan Brachionus rotundiformis untuk menggantikan Nannochloropsis oculata. Laporan ini menjelaskan karakteristik Chlorella vulgaris sebagai pakan rotifera yang hasilnya dibandingkan dengan Nannochloropsis oculata. Komponen sel Chlorella vulgaris seperti kandungan protein, asam-asam amino, mineral dan vitamin secara umum sama dengan Nannochloropsis oculata. Bagaimanapun, status taksonomi spesies-spesies alga ini berbeda. Berdasarkan pada kesamaan komponen sel ini, nilai gizi Chlorella vulgaris adalah sama dengan nilai gizi Nannochloropsis oculata bagi pertumbuhan rotifera. Nilai gizi Chlorella vulgaris dapat ditingkatkan dengan penambahan vitamin B12. Alga Chlorella vulgaris yang diberi perlakuan pengayaan gizi saat ini digunakan secara luas sebagai organisme pakan dalam kultur rotifera. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan "condensed suspension" Chlorella vulgaris memungkinkan untuk meningkatkan secara nyata kepadatan rotifera pada saat panen. Pemakaian "condensed suspension" Chlorella vulgaris membuat kultur rotifera menjadi sangat mudah karena kultur Nannochloropsis oculata tidak lagi dibutuhkan, dan produksi rotifera intensif dalam akuakultur sekarang dapat diwujudkan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Ragi dan Chlorella Untuk Pakan Kultur Brachionus

James et al. (1987) mempelajari penggunaan ragi laut dan ragi roti yang dikombinasikan dengan Chlorella sp. untuk produksi skala besar rotifera Brachionus plicatilis. Kepadatan rotifera kultur yang diberi pakan ragi laut secara nyata lebih tinggi daripada rotifera yang diberi pakan ragi roti. Produksi rotifera secara nyata lebih tinggi dan waktu penggandaan lebih sedikit untuk rotifera yang diberi pakan ragi laut daripada rotifera yang diberi pakan ragi roti. Tampaknya bahwa penambahan ragi laut sebagai pakan meningkatkan laju kelahiran dan produksi total rotifera di dalam sistem kultur.

Baca juga :
Ekologi Rotifera

Pemanfaatan Bakteri Penghasil Vitamin B12 Dalam Kultur Brachionus

Yu et al. (1988) melaporkan bahwa di antara 31 galur bakteri yang diisolasi dari tangki kultur Brachionus plicatilis, hanya 8 galur yang merupakan produsen vitamin B12 yang mendukung pertumbuhan rotifera bebas-kuman ketika mereka dimasukkan ke dalam suspensi ragi. Dari 6 galur yang telah dipelajari taksonominya, mereka diidentifikasi sebagai Pseudomonas. Produktivitas vitamin B12 diukur dengan metode bioesei Euglena. Konsentrasi vitamin B12 dalam suspensi bakteri diukur setiap hari dan konsentrasi tertinggi vitamin B12 diduga adalah 1,2 - 16,5 nanogram/ml selama 8 hari kultur. Sebagian besar (98,1 - 99,3 %) vitamin B12 yang dihasilkan ditimbun di dalam sel bakteri. Pertumbuhan rotifera diuji di dalam "batch culture" pada kondisi bebas-kuman, yang diberi bakteri penghasil vitamin B12 sebagai satu-satunya sumber makanan, dan bakteri-bakteri ini sebagai pelengkap alga Nannochloropsis oculata atau ragi roti Saccharomyces cerevisiae. Rotifera menunjukkan pertumbuhan yang cepat bila vitamin B12 produksi sel bakteri ditambahkan dengan kisaran 107-1011 sel/ml. Hasil penelitian ini memiliki arti bahwa dalam tangki produksi masal rotifera, bakteri penghasil vitamin B12 bisa memainkan peranan penting sebagai pemasok vitamin B12.

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Keunggulan Alga Beku Sebagai Pakan Kultur Brachionus

Menurut Lubzens et al (1995) alga eustigmatofita Nannochloropsis digunakan secara luas dalam banyak hatchery akuakultur untuk memantapkan tahap awal rantai makanan buatan. Keuntungan Nannochloropsis dibandingkan alga bersel satu lainnya adalah terutama pada komposisi asam lemaknya yang unik. Rotifera yang mengkonsumsi alga ini membawa asam-asam lemak tersebut (melalui rantai makanan) ke larva ikan. Kultur biomas alga dalam jumlah besar untuk mendukung rantai makanan ini merupakan beban yang berat bagi banyak hatchery, dan di banyak lokasi lain hal ini tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Dalam studi ini dilakukan penelitian untuk mempelajari kemungkinan pemakaian biomas alga Nannochloropsis beku sebagai pengganti alga Nannochloropsis segar sebagai satu-satunya sumber makanan bagi rotifera kultur atau sebagai perlakuan pengayaan sebelum rotifera diberikan kepada larva ikan.

Hasil penelitian yang dilakukan Lubzens et al (1995) memberikan kesimpulan bahwa laju reproduksi yang relatif tinggi ditemukan pada tiga galur rotifera yang diberi pakan Nannochloropsis beku. Total kandungan asam lemak rotifera-rotifera ini dan distribusi asam lemak berkaitan dengan komposisi kimia alga. Walaupun ada variasi musiman dalam hal komposisi biokimia dan distribusi asam lemak dalam biomas alga, kualitas alga beku jangka panjang cukup untuk menyediakan asam-asam lemak esensial bagi rotifera hampir sepanjang tahun. Tidak ada perbedaan komposisi asam lemak antara rotifera yang diberi pakan alga yang disimpan pada suhu -20 °C dengan yang disimpan pada suhu -70 °C. Biomas alga yang dicairkan pasca pembekuan dapat disimpan pada suhu 4 °C selama 7 hari dan digunakan untuk pakan rotifera tanpa memberikan efek negatif yang nyata terhadap komposisi dan kandungan asam lemak pada rotifera. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan biomas alga Nannochloropsis beku memungkinkan pengelolaan yang lebih mudah dalam produksi biomas rotifera yang diperkaya dengan lipida. Hal ini memudahkan untuk menyediakan rantai makanan buatan dengan asam-asam lemak esensial, yang merupakan faktor penting bagi perkembangan dan budidaya larva ikan, dengan relatif sedikit upaya produksi alga di lokasi hatchery.

Alga Beku-Kering Untuk Pakan Brachionus dan Pengaruhnya Terhadap Larva Ikan Yang Memakannya

Gatesoupe dan Luquet (1981) menggunakan pakan sediaan dan alga beku-kering Platymonas suecica, sebagai pakan untuk Brachionus plicatilis dalam kultur kontinyu dengan penggantian air seperempat volume setiap hari. Hasil yang tinggi, diperoleh dalam waktu satu bulan, hanya dicapai oleh tangki 60 liter, dengan air bersalinitas sedang (sekitar 18 ‰) dan dengan 33 % ransum berupa alga beku-kering : sekitar 120 Brachionus dihasilkan per ml per hari dengan cara ini, dua kali hasil yang didapat dengan alga hidup. Bila, dalam tiga eksperimen, rotifera diberi makan berupa pakan sediaan dan alga beku-kering dengan proporsi 3 : 1, kemudian rotifera ini diberikan kepada larva ikan sea bass, pertumbuhan larva ikan tersebut tidak berkurang, sedangkan tingkat kelangsungan hidupnya (25, 27 dan 11 % pada hari ke-25 atau 20) adalah lebih konstan daripada larva ikan yang makan rotifera yang diberi pakan alga (berturut-turut 24, 3 dan 1 %). Tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik diperoleh bila rotifera diperkaya dengan campuran zat gizi sebelum dimasukkan ke dalam tangki larva ikan (50 dan 16 %).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...