Selasa, 19 Desember 2017

Toleransi dan Pengaruh Salinitas Pada Ikan

Arsip Cofa No. A 079

Toleransi Ikan Air Tawar Terhadap Salinitas

Tekanan osmotik air meningkat dengan meningkatnya salinitas. Darah ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik kira-kira sama dengan tekanan 6 atmosfer, atau sekitar 7.000 mg/liter natrium klorida; ikan air tawar dapat hidup dengan baik di dalam air laut yang diencerkan sampai tingkat ini. Padatan terlarut sampai konsentrasi 2.000 mg/liter tidak berbahaya bagi ikan dan organisme air tawar. Beberapa spesies ikan air tawar peka terhadap perubahan salinitas yang mendadak. Ikan yang baru menetas bisa terbunuh oleh ketidakseimbangan osmotik bila ia dipindahkan dari salinitas 1.000 mg/liter ke 50 mg/liter. Ikan dewasa biasanya lebih toleran terhadap perubahan salinitas. Natrium klorida bisa digunakan untuk meningkatkan salinitas di kolam pemeliharaan dan kolam kecil percobaan. Sering tidak praktis untuk menyesuaikan salinitas di kolam besar, kecuali di kolam air payau di mana air laut bisa dimasukkan dengan memanfaatkan arus gravitasi atau arus air pasang (Boyd, 1982).

Boyd (1982) menyatakan bahwa secara umum salinitas biasanya tidak menjadi faktor penting dalam budidaya ikan. Lebih lanjut, perbedaan proporsi ion-ion utama biasanya tidak banyak mempengaruhi pengelolaan kolam ikan. Sebagai contoh, air dengan salinitas 75 mg/liter dan senyawa bikarbonat dan karbonat alkali tanah yang dominan dapat menghasilkan ikan sebanyak yang dihasilkan oleh air bersalinitas 500 mg/liter yang sangat kaya akan natrium, klorida dan sulfat di samping senyawa karbonat dan bikarbonat alkali tanah. Dengan mengasumsikan bahwa faktor-faktor lain adalah sama, maka prosedur yang pada dasarnya identik bisa digunakan dalam kedua jenis kolam tersebut untuk meningkatkan produksi ikan.

Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa ada perbedaan besar di antara ikan-ikan air tawar dalam hal toleransi garam sedemikian hingga kita bisa menyusun mereka menjadi kelompok : (1) stenohalin, yaitu relatif tidak toleran terhadap perubahan salinitas, (2) ikan-ikan air tawar pada umumnya, dan (3) eurihalin, yakni toleran terhadap perubahan konsentrasi garam. Di antara kelompok yang terakhir ini adalah banyak spesies ikan diadromus, seperti ikan sidat (Anguilla), salmon Atlantik (Salmo salar) dan juga beberapa jenis ikan stickleback (Gasterosteus) dan ikan killifish (Fundulus).

Di antara kelompok ikan stenohalin, ada variasi dalam hal kemampuan menyesuaikan diri terhadap salinitas yang lebih besar daripada salinitas normal; ikan karper (Cyprinus) dan ikan mas koki (Carassius) dapat mentolerir salinitas sampai 17 ppt, yang setara dengan penurun titik beku – 0,9 °C dan juga setara dengan konsentrasi garam-garam yang agak jauh lebih besar dibandingkan konsentrasi garam di dalam tubuhnya. Konsentrasi garam jaringan dan garam urin meningkat pada kondisi seperti ini dan pembuangan urin berkurang karenanya. Makin lambat perkembangan kondisi eksternal penyebab stres seperti ini yang dihadapi ikan, makin besar toleransi ikan tersebut terhadap perubahan ini. Kemampuan ikan air tawar untuk menyesuaikan diri terhadap garam-garam non toksik berkonsentrasi tinggi juga tergantung pada faktor-faktor spesifik-spesies seperti rasio luas insang terhadap luas permukaan tubuh, histologi insang, kontrol neurosekresi dan/atau kontrol hormonal terhadap permeabilitas membran serta konsentrasi oksigen dan suhu. Juga ada variasi fisiologis antar spesies yang dipengaruhi oleh ras dalam hal fungsi pengaturan ini (Lagler et al., 1977).

Toleransi Salinitas Pada Larva Ikan Macquaria

Burke (1992) memberikan laporan singkat mengenai percobaan yang dilakukan untuk menentukan pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup larva ikan Macquaria novemaculeata. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk memelihara larva ikan Macquaria novemaculeata yang masih berkantung kuning telur di dalam media bersalinitas 15 gram/liter selama satu minggu dan kemudian memindahkannya ke kolam yang telah disiapkan dengan salinitas sisa 2 gram/liter. Di dalam habitat baru ini larva tersebut masih dapat bertahan hidup tergentung pada kemampuannya untuk menemukan sumber makanan yang sesuai dan kemampuannya menghindari pemangsa yang mungkin ada.

Baca juga
Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan Ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Toleransi Terhadap Salinitas Rendah Pada Ikan Laut Clupeidae

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa, dengan beberapa kekecualian, ikan Clupeiformes terdapat di atau di dekat paparan benua dan sering kali mereka merupakan ikan pesisir sejati, dengan kemampuan toleransi yang besar terhadap salinitas rendah, meskipun tidak semua spesies bersifat eurihalin. Dalam satu spesies tunggal, seperti Sardinella, ada keragaman yang besar dalam hal toleransi terhadap salinitas rendah; ikan Atlantik tropis Sardinella aurita bersifat sangat stenohalin (atau setidaknya tidak ditemukan di perairan dengan salinitas kurang dari sekitar 35 promil), walaupun belum jelas apakah hal ini disebabkan oleh persyaratan ekologis yang mengharuskan ikan ini hidup di perairan bersalinitas tinggi ataukah disebabkan oleh ketidak mampuan fisiologis untuk mentoleransi salinitas rendah. Sebaliknya, ikan Sardinella maderensis dari Teluk Guinea secara teratur memasuki perairan estuaria dengan salinitas sedikitnya 20 promil.

Tampaknya, genus-genus ikan clupeidae anadromus (Hilsa, Macrura) bersifat toleran terhadap perairan yang sangat tawar. Walaupun ikan clupeidae anadromus penghuni perairan beriklim sedang dan subtropis (misalnya Alosa, Dorosoma, Pomolobus) terdapat baik di Samudra Atlantik maupun Indo-Pasifik, tidak ditemukan adanya ikan clupeidae yang berenang naik ke hulu sungai di Atlantik tropis maupun di Pasifik timur tropis. Sedikit spesies ikan clupeidae kecil non-migrasi menghuni perairan pesisir yang tawar, seperti ikan Afrika Barat kecil Pellonula vorax yang ditemukan di estuaria bagian atas tetapi tampaknya tidak pernah turun ke laut. Demikian pula, ikan Rhinosardinia menunjukkan tingkah laku yang sama di Amerika Selatan, serta Microthrissa dan Pellonula di Indo-Pasifik dijumpai hanya di kepala estuaria (Longhurst dan Pauly, 1987).

Baca juga
Perubahan Kadar Asam Amino Akiubat Perubahan Salinitas Lingkungan

Pengaruh Salinitas Terhadap Distribusi Ikan Juvenil Di Laguna

Zambriborshch dan Dumbuya (1990) melakukan studi untuk mempelajari komposisi, kelimpahan relatif dan distribusi ikan juvenil di sebuah laguna. Dua puluh delapan spesies ikan juvenil telah ditemukan di Laguna Dniester, Ukraina, pada tahun 1986. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa distribusi ikan-ikan juvenil tersebut dipengaruhi oleh salinitas. Jumlah spesies dalam kompleks air tawar meningkat dari zona arah-laut ke zona atas (arah-darat), dan jumlah spesies Ponto-Caspian dari zona atas ke zona arah-laut juga meningkat. Ikan roach, ikan azov kilka, ikan carassius dan gobi ditemukan dengan frekuensi tinggi, yakni 75 – 92 %. Pada kebanyakan kasus, ikan bream, roach, zander, percarina dan gobi bertanggung jawab atas lebih dari 46 % kelimpahan total.

Pengaruh Perubahan Salinitas Terhadap Asam Lemak Ikan

Bell et al. mengulas hasil-hasil penelitian tentang pengaruh perubahan salinitas terhadap asam lemak ikan. Pada usus ikan trout rasio asam lemak tak jenuh terhadap asam lemak jenuh di dalam fosfatidilkolin dan fosfatidiletanolamin adalah jauh lebih besar untuk ikan yang melakukan adaptasi terhadap air laut, hal ini diakibatkan oleh besarnya peningkaan jumlah asam lemak 22:6 (n-3). Hal ini menyebabkan peningkatan fluiditas membran yang terjadi tanpa mengubah kandungan kolesterol atau komposisi gugus kepala fosfolipida. Penelitian pada ikan guppy juga menunjukkan adanya peningkatan PUFA (poly unsaturated fatty acid; asam lemak poli tak jenuh), terutama asam lemak 22:6 (n-3) untuk ikan yang beradaptasi terhadap air laut tetapi, berlawanan dengan ikan trout, mereka juga menunjukkan bahwa proporsi fosfatidilkolin dan fosfatidiletanolamin berubah dalam berbagai jaringan. Bagaimanapun, tidak ditemukan adanya perubahan komposisi asam lemak pada insang ikan sidat air tawar yang beradaptasi terhadap air laut. Jadi, ada perbedaan hasil beberapa penelitian mengenai apakah terjadi perubahan komposisi asam lemak pada ikan yang berdaptasi terhadap air laut. Adalah mungkin bahwa jaringan tubuh yang berbeda, terutama jaringan epitel yang bersentuhan langsung dengan lingkungan luar, memberikan respon yang berbeda pada spesies yang berbeda bahkan pada spesies yang sama, tergantung pada kemampuan spesies ikan tersebut untuk melakukan osmoregulasi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bolis dkk pada tahun 1984 menunjukkan bahwa penurunan pH air akan meningkatkan kandungan PUFA dalam insang ikan trout.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Garam Pakan dan Salinitas Air Terhadap Pertumbuhan Ikan Sciaenops

Gatlin et al. (1992) melakukan tiga percobaan pemberian pakan selama delapan minggu untuk menentukan pengaruh garam-garam makanan pelengkap terhadap pertumbuhan dan osmoregulasi pada ikan red drum (Sciaenops ocellatus) muda pada berbagai salinitas air. Pada setiap percobaan, garam natrium klorida ditambahkan ke dalam pakan utama yang tersusun dari komponen semi murni dan praktis; pakan utama menyediakan 0,80 % klor, 0,84 % kalium dan 0,92 % natrium berdasarkan berat kering.

Dalam air tawar, ikan red drum yang diberi pakan utama yang dilengkapi dengan 2 % NaCl menunjukkan perolehan berat yang lebih besar dan efisiensi pakan yang lebih tinggi secara nyata (P < 0,05) daripada ikan yang diberi pakan utama saja. Dalam air payau (salinitas 5 ppt), ikan yang diberi pakan yang ditambahi 2 % NaCl menunjukkan perolehan berat yang secara numerik lebih besar tetapi tidak nyata (P = 0,076) dari pada perolehan berat untuk ikan yang diberi pakan utama. Dalam air laut buatan berkekuatan-penuh (salinitas 35 ppt), ikan yang diberi pakan yang dilengkapi dengan 2 dan 10 % NaCl menunjukkan perolehan berat yang tidak berbeda nyata (P = 0,23) dibandingkan pada ikan yang diberi pakan utama, dan ikan yang diberi pakan yang dilengkapi dengan 10 % NaCl menunjukkan penurunan efisiensi pakan yang nyata. Tidak ada garam-garam pelengkap yang secara nyata mempengaruhi osmolalitas darah atau konsentrasi hormon tiroid total pada empat minggu atau mempengaruhi kemampuan ikan yang dipelihara dalam air tawar atau payau untuk bertahan hidup ketika dipindahkan ke air laut berkekuatan-penuh pada 8 minggu (Gatlin et al., 1992).

Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan NaCl ke dalam makanan memperbaiki pertumbuhan ikan red drum dalam air encer (tawar dan payau), tetapi tidak dalam air laut berkekuatan-penuh. Garam-garam makanan untuk ikan red drum dalam air encer mungkin menyediakan ion-ion yang yang kurang cukup dapat diserap oleh ikan dari lingkungannya yang hipotonik (Gatlin et al. , 1992).

Pengaruh Salinitas Terhadap Tumor Pada Ikan

Berthiaume et al. (1993) mempelajari pengaruh salinitas terhadap kejadian tumor kulit pada ikan. Lymphocystis disease virus (LDV), sejenis iridovirus, merupakan agen penyebab tumor kulit jinak yang diamati banyak menyerang berbagai jenis ikan teleostei. Penyakit ini tampaknya sering terjadi, tetapi perwujudannya kurang dipahami karena kesulitan dalam mengisolasi dan mengkultur virus tersebut secara in vitro. Ikan sebelah Amerika (Hippoglossoides platessoides) telah ditangkap dengan jaring trawl di Teluk St. Lawrence dan kemudian diaklimatisasi selama sedikitnya 6 minggu di dalam tempat terkurung. Ikan ini kemudian dipaparkan terhadap berbagai salinitas yang lebih rendah dan diuji secara teratur selama periode enam minggu. Tumor limfokistis dicatat dan sampelnya diamati di bawah mikroskop elektron. Analisis statistik menunjukkan secara nyata peningkatan kejadian tumor dalam kaitannya dengan menurunnya salinitas sampai 7 gram/liter dan meningkatnya lama waktu pemaparan (exposure time) sampai 42 hari. Iridovirus ini terlihat melalui pengamatan mikroskop elektron ada di dalam tumor ikan.

Pengaruh Salinitas Terhadap Faktor Kondisi Pada Ikan Coregonus

Griffiths et al. (1992) menjelaskan kecenderungan pertumbuhan dan kondisi ikan Arktik cisco Coregonus autumnalis dan ikan broad whitefish Coregonus nasus di daerah Teluk Prudhoe, Alaska utara, untuk mempelajari efek subletal perubahan hidrografi akibat pembangunan causeway menuju Laut Beaufort. (catatan : causeway adalah jalan yang ditinggikan yang melintasi daerah rawa-rawa). Pertumbuhan ikan kelas umur-1 dan kelas umur-2 untuk kedua spesies berkorelasi positif dengan suhu. Korelasi antara kondisi (bobot badan basah total pada panjang tertentu) dengan suhu kurang erat dibandingkan korelasi antara pertumbuhan dan suhu. Bagaimanapun, ikan broad whitefish kecil, yang tidak mengembara jauh dari mulut sungai, menunjukkan asosiasi positif antara kondisi dan salinitas. Sebaliknya, ikan broad whitefish besar, yang mengembara jauh dari sungai, menunjukkan asosiasi negatif dengan salinitas. Daerah pencarian makan ikan broad whitefish besar mungkin dibatasi oleh masa air bersalinitas tinggi yang, bagaimanapun, membawa mangsa dengan level lebih besar dari pada normal ke habitat di dekat delta sungai di mana banyak terdapat ikan broad whitefish kecil. Ikan Arktik cisco tampaknya dapat mengeksploitasi suhu atau salinitas pada kisaran lebar dengan baik. Pertumbuhan ikan Arktik cisco dan broad whitefish kelas umur-1 dan kelas umur-2 diperkirakan bisa berkurang rata-rata sebesar 4 - 6 % akibat perubahan suhu yang disebabkan oleh pembangunan causeway. Besarnya perubahan ini diyakini tidak penting bagi ekologi kedua spesies ikan tersebut.

Pengaruh salinitas terhadap distribusi ikan laut dan CPUE

Cyrus dan Blaber (1992) melakukan studi untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap distribusi ikan di sebuah estuaria di Australia utara tropis. Salinitas bervariasi secara nyata selama periode penelitian yang berlangsung dua setengah tahun dan tampak jelas bahwa ada tiga pola musiman. Ketiga pola ini berkaitan dengan musim hujan, musim kering awal dan musim kering akhir. Selama ketiga musim tersebut timbul gradien salinitas yang jelas. Gradien salinitas ini merupakan kelanjutan dari gradien serupa yang ada di lingkungan laut sekitarnya di teluk Albatros. Derajat dan kisaran salinitas ini sangat ditentukan oleh pola curah hujan musiman di daerah tangkapan-air Sungai Embley. Distribusi dan kelimpahan 45 spesies ikan yang paling umum telah dianalisis dalam kaitannya dengan pola salinitas di estuari ini. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kepadatan ikan di dalam estuari adalah berkorelasi dengan salinitas. Ada hubungan terbalik yang kuat antara kekeruhan dan salinitas. Catch per Unit Effort (CPUE; hasil tangkap per satuan upaya) untuk setiap spesies ikan telah ditentukan dalam kisaran salinitas. Hasilnya menunjukkan bahwa pola-pola yang berkaitan dengan salinitas ditemukan pada 30 dari 45 spesies ikan yang diamati.

Baca juga
Pengaruh Salinitas Terhadap Udang Windu (Penaeus monodon)

Pengaruh Salinitas Terhadap Migrasi dan Hasil tangkap Ikan Belanak

Vieira dan Scalabrin (1991) mempelajari distribusi, statistik perikanan, migrasi pemijahan dan rekruitmen ikan belanak, Mugil platanus, di estuaria Lagoa dos Patos dan pesisir Brazil selatan. Antara tahun 1978 dan 1982 total tangkapan ikan belanak ini adalah sekitar 6.000 ton per tahun. Korelasi positif ditemukan antara total tangkapan tahunan dan rata-rata salinitas estuaria Lagoa dos Patos. Selama bulan April dan Mei ikan dewasa matang gonad mulai melalukan migrasi reproduksinya keluar dari estuaria akibat turunnya suhu air serta masuknya air laut ke dalam laguna dos Patos. Pemijahan terjadi di perairan lepas pantai dari Mei sampai Agustus; telur dan larvanya dihanyutkan ke pantai dan ke arah selatan oleh arus pesisir selatan. Rekruitmen di estuaria Lagoa dos Patos berlangsung sepanjang tahun dengan puncak kelimpahan selama musim dingin dan musim semi.

Pengaruh Salinitas Terhadap Kesuburan, Ukuran dan Komposisi Kimia Telur Ikan

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh salinitas terhadap kesuburan telur ikan. Lama kesuburan telur ikan dalam media pemijahan alami dapat disamakan dengan lama kesuburan sel sperma dan, secara umum, kesuburannya lebih singkat dalam air tawar daripada dalam air laut. Pada telur ikan salmonidae, kesuburan telur menurun tajam pada medium air tawar dalam waktu 30 detik. Bagaimanapun, telur ikan cod (Gadus morhua) tetap sangat subur pada media air laut (salinitas 34 promil) selama 15 menit.

Penurunan kesuburan telur dalam media air tawar berbarengan dengan penutupan lubang micropyle, atau terputusnya hubungan antara micropyle dengan membran kuning telur. Ketidakmampuan untuk mempertahankan osmoregulasi, pengaktivan yang tidak sempurna, atau perkembangan partenogenetik merupakan sebab-sebab singkatnya lama kesuburan telur dalam air laut.

Kamler (1992) mengulas secara ringkas pengaruh salinitas terhadap ukuran dan komposisi kimia telur ikan. Ada kecenderungan untuk memproduksi telur yang lebih kecil di dalam air laut, meskipun kisaran ukuran telur untuk ikan laut dan ikan yang memijah di perairan tawar bertumpang tindih dengan jelas. Hal yang sama berlaku untuk kandungan kalori bahan kering telur yang menunjukkan lebih rendahnya persentase lipida dalam telur ikan laut, sedangkan hidrasi dan kandungan garam mineral lebih tinggi pada telur ikan laut.

Baca juga
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Pengaruh Salinitas Tinggi Terhadap Perilaku dan Fisiologi Ikan Air Tawar Poecilia

Aktivitas perilaku dan perubahan histokimia pada mukopolisakarida, ATPase dam enzim-enzim pernafasan di dalam epitel insang ikan air tawar Poecilia reticulata Peters telah diamati oleh Gargiulo et al. (1992) pada waktu-waktu yang berbeda setelah dipaparkan terhadap air laut 100 %. Stres akut telah diamati dalam enam jam pertama, yang disertai dengan perubahan perilaku dan histokimia. Sampai selama 6 jam terlihat adanya penurunan aktivitas reaksi succinic-dehydrogenase, sitokrom oksidase, ATPase dan mukopolisakarida. Setelah enam jam pertama terjadi peningkatan tajam dalam hal konsentrasi ATPase dan enzim-enzim pernafasan hingga nilai-nilai tersebut sama dengan konsentrasinya pada ikan kontrol pada hari ke-7. Reaksi mukopolisakarida perlahan-lahan berkurang dan hilang sama sekali pada hari ke-7. Adaptasi perilaku berubah pada waktu yang sama, dan aktivitas tingkah laku kembali normal pada 24 jam. Diduga ada hubungan antara fleksibiltas adaptif ikan Poecilia reticulata dengan ciri-ciri morfologis dan fisiologis.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 30 Oktober 2017

Ion dan Mineral di Dalam Air dan Peranan Biologisnya

Arsip Cofa No. A 078

Ion-Ion Dalam Air Laut

Menurut Mowka (2009) ion adalah partikel bermuatan listrik. Ion memiliki kelebihan elektron (bermuatan negatif) atau kekurangan elektron (bermuatan positif). Beberapa molekul membentuk ion bila mereka dilarutkan di dalam air. Natrium klorida (NaCl) bila dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion natrium bermuatan positif (Na+) dan ion klorida bermuatan negatif (Cl-). Kalium nitrat (KNO3) menghasilkan ion kalium bermuatan positif (K-) dan ion nitrat bermuatan negatif (NO3-). Ion bisa berupa atom seperti natrium, kalium dan klorida, bisa juga berupa molekul sepeti nitrat. Ion-ion mayor yang banyak terdapat dalam air laut adalah klorida, natrium, sulfat, magnesium, kalsium dan kalium. Air laut juga mengandung ion-ion minor yaitu bikarbonat, bromida, borat, strontium dan silikat. Bikarbonat merupakan ion paling penting karena berperanan dalam mempertahankan pH air, atau yang dikenal dengan istilah buffering (penyangga). Borat juga berperanan dalam sistem buffer ini meskipun pengaruhnya kecil.

Peranan Ion Dalam Interaksi Air-Udara

Jungwirth dan Tobias (2006) mempelajari pengaruh ion spesifik pada bidang-batas air/udara. Bidang-batas yang mengandung larutan ion banyak dijumpai di mana-mana dan memainkan peranan penting dalam proses-proses fisika, kimia, atmosfer dan biologis antara lain sebagai berikut : (1) Ion-ion pada bidang-batas udara/air sangat penting bagi kimia atmosfer yang terjadi pada permukaan samudra dan aerosol air laut, demikian juga pada bongkahan-bongkahan salju di Kutub Utara yang tertutup percikan air laut. (2) Banyak jenis garam (misalnya NaCl) cenderung menghambat penggabungan gelembung, dan hal ini menjadi salah satu sebab mengapa buih terbentuk ketika gelombang air pecah di laut tetapi tidak terbentuk di danau air tawar. (3) Terlontarnya butiran garam yang terjadi pada bidang batas es/air laut berpengaruh terhadap iklim di daerah kutub. (4) Bidang batas cairan elektrolit/logam terlibat dalam elektroda dan proses perkaratan. (5) Ion tertentu memainkan peranan penting dalam interaksi antara partikel-partikel koloid dalam elektrolit. (6) Ion-ion pada bidang batas bio(makro)molekul/air sangat penting bagi stabilitas protein.

Baca juga
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Kandungan Ion dan Mineral Dalam Perairan

Boyd (1982) menyatakan bahwa perairan permukaan biasanya merupakan larutan encer akali tanah bikarbonat dan karbonat, sehingga kalsium, magnesium, bikarbonat dan karbonat merupakan ion-ion dominan. Bagaimanapun, ada beberapa pengecualian. Di daerah kering, karbonat dan bikarbonat bisa mengendap dari larutan ketika penguapan meningkatkan konsentrasi ion. Perairan seperti ini bisa mengandung natrium, sulfat dan klorida dengan proporsi relatif tinggi.

Perairan asam di daerah pesisir yang lembab sering sedikit mengandung bikarbonat alkali tanah tetapi relatif kaya akan natrium dan klorida. Air sumur sepanjang dataran pesisir sering dikurangi kesadahannya oleh suatu proses di mana kalsium dan magnesium dalam air sumur digantikan oleh natrium yang berasal dari bahan-bahan padat di dalam lapisan air bawah-tanah. Kolam yang terisi air semacam air sumur seperti ini mengandung natrium dan bikarbonat dalam konsentrasi relatif besar tetapi miskin akan kalsium dan magnesium.

Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Konsentrasi Mineral Dalam Perairan

Dalam suatu daerah beriklim tertentu, derajat mineralisasi perairan permukaan mencerminkan kelarutan mineral-mineral dari tanah dan batuan di daerah tangkapan-air perairan tersebut. Perairan di daerah tanah yang kering dan tipis biasanya miskin mineral dari pada perairan di daerah yang bertanah subur dan tebal. Perairan yang mengaliri tanah yang berkembang dari batu kapur lebih kaya akan mineral dari pada perairan yang mengaliri tanah berpasir.

Lembah, dataran tinggi dan prairi berbatuan kapur memiliki hamparan tanah luas yang berkembang dari batuan kapur yang lapuk. Tanah liat tandus umum dijumpai di prairi, sedang tanah permukaan di dataran pesisir seringkali berpasir. Derajat mineralisasi meningkat dalam urutan dataran pesisir, lembah dan dataran tinggi berbatuan kapur, dan prairi. Bagaimanapun, perbedaannya relatif kecil dalam hal proporsi ion-ion utama di dalam perairan yang ada di daerah-daerah yang tanahnya berbeda-beda tersebut; semuanya merupakan larutan encer karbonat dan bikarbonat alkali tanah dengan konsentrasi natrium, kalium, klorida dan sulfat rendah (Boyd, 1982).

Baca juga
Komponen Kimia Air Laut

Pengaruh Kation Terhadap Kelarutan Karbon Dioksida

Menurut Cole (1994) kelarutan gas di dalam cairan merupakan fungsi dari sifat-sifat gas itu sendiri dan dipengaruhi oleh tekanan, suhu dan salinitas. Dalam hal ini berlaku hukum Henry yang menyatakan bahwa pada suhu konstan jumlah gas yang diserap oleh suatu cairan dengan volume tertentu adalah sebanding dengan tekanan atmosfer gas tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh persamaan berikut :

c = K x p

Di sini c adalah konsentrasi gas yang diserap, bisa dinyatakan dalam miligram per kilogram, mikromol, milimol, miligram atau mililiter per liter. Tekanan parsial gas diberi simbol p, sedang K adalah faktor kelarutan yang nilainya berbeda-beda untuk setiap gas.

Kebanyakan gas mengikuti hukum Henry sehingga kita dapat menduga jumlah suatu gas yang akan ditemukan terlarut di dalam air danau. Namun konsentrasi CO2 bisa menjadi lebih tinggi daripada yang diramalkan oleh hukum Henry, yaitu bila karbon dioksida bergabung dengan kation-kation ketika masuk ke dalam air. Karbon dioksida ditemukan baik dalam bentuk bebas maupun terikat (Cole, 1994).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Peran Hormon Prolaktin Dalam Keseimbangan Ion Pada Ikan

Peran hormon prolaktin pada ikan teleostei air laut tidak sejelas pada ikan air tawar, terutama teleostei eurihalin, namun prolaktin tampaknya terlibat dalam pengurangan aliran natrium keluar dari tubuh pada beberapa spesies ikan laut. Pada ikan sebelah, Platichthys flescus, prolaktin mengurangi “sodium turnover” (natrium keluar tubuh dan digantikan natrium baru) sebesar 50 % tetapi aliran natrium keluar dari tubuh pada spesies ikan ini tidak banyak berkurang. Juga pada spesies ikan sebelah Platichthys stellatus, prolaktin mengurangi permeabilitas air dalam gelembung renang dan permeabilitas air dalam tubula ginjal. Prolaktin juga mengurangi aktivitas enzim ATP-ase yang diaktifkan natrium-kalium dalam insang dan ginjal (Matty, 1985).

Pengaruh Hujan Dan Kekeringan Terhadap Konsentrasi Ion di Perairan

Menurut Boyd (1982) rendahnya konsentrasi ion terlarut di perairan bisa disebabkan oleh tingginya curah hujan. Sebaliknya, tingginya konsentrasi ion terlarut di perairan bisa disebabkan oleh penguapan, terutama di daerah beriklim kering. Konsentrasi ion dalam air sumur lebih tinggi daripada konsentrasinya di perairan permukaan karena air sumur sering bersentuhan erat dengan mineral selama periode waktu yang lama. Konsentrasi ion total dalam perairan permukaan berkisar antara 20 – 500 mg/liter (untuk daerah dengan curah hujan sedang sampai tinggi) dan antara 500 – 2.500 mg/liter atau lebih (untuk daerah kering). Bandingkan dengan air laut yang mengandung sekitar 35.000 mg/liter ion total.

Konsentrasi Ion Dalam Darah Ikan Selama Aklimasi Terhadap Air Tawar

Venturini et al. (1992) mengevaluasi aktivitas ATPase ginjal, esofagus dan insang serta konsentrasi ion-ion Na+, K+ dan Cl- dalam serum darah pada ikan Eropean sea bass (Dicentrarchus labrax) selama aklimasi eksperimental terhadap air tawar. ATPase ginjal dan esofagus meningkat dalam salinitas rendah dan mencapai maksimum dalam air tawar. ATPase insang menurun selama percobaan aklimasi dan meningkat kembali sampai ke nilai normal setelah tiga minggu berada dalam air tawar. Konsentrasi ion Na+ dan K+ serum darah menurun selama percobaan ini dan meningkat lagi setelah tiga minggu berada dalam air tawar.

Penyerapan Ion-Ion dan Mineral Pada Ikan Air Tawar

Menurut Lagler et al. (1977) insang dan membran mulut ikan merupakan lokasi penyerapan ion aktif yang penting untuk mengganti kehilangan garam atau untuk melengkapi mineral makanan. Ion-ion berikut telah dibuktikan diserap oleh kedua struktur tersebut : litium (Li+), natrium (Na+), kalsium (Ca2+), klorin (Cl-), brom (Br-), fosfat asam (HPO4-) dan sulfat (SO42-). Masing-masing ion ini memiliki ambang batas penyerapannya sendiri-sendiri, tetapi data kuantitatif menunjukkan bahwa penyerapannya adalah sedikit kecuali klorin. Ikan lamprey (Petromyzon), karper (Cyprinus) dan ikan roach (Leuciscus, famili cyprinidae) mengambil ion klorida dari air sebanyak kurang dari 0,05 milimol Cl per liter. Ikan air tawar lain, seperti ikan perch (Perca), memerlukan konsentrasi ion klorida yang lebih tinggi daripada nilai ini sebelum penyerapan aktif melalui insang bisa berlangsung.

Lagler et al. (1977) menambahkan bahwa selain ada perbedaan yang bersifat spesifik-spesies dalam hal penyerapan ion klorida dan ion-ion lain, juga sangat mungkin bahwa perbedaan seperti ini meluas ke sifat-sifat fisiologis, tergantung pada karakteristik kimia air tempat hidupnya. Laju penyerapan ion ini bersesuaian dengan laju kehilangan ion lewat difusi : ikan lamprey (Petromyzon) menyerap 90 mikromol ion klor per 100 gram jaringan tubuh per jam, ikan salmon Atlantik (Salmo salar) 30, dan beberapa ikan minnow (cyprinidae) antara 4 dan 30. Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa penggantian ion klorida secara aktif oleh penyerapan melalui insang bisa sangat melebihi kehilangan ion klorin secara pasif. Banyak jenis mineral digantikan lewat makanan dalam jumlah yang cukup, tetapi jenis-jenis mineral lain memiliki mekanisme penggantian yang sama seperti pada klorida.

Pengaruh pH Rendah Terhadap Keseimbangan Ion Pada Kerang Anodonta

Maekelae dan Oikari (1992) mempelajari pengaruh rendahnya pH air terhadap keseimbangan ion pada kerang air tawar Anodonta anatina. Pada penelitian tersebut kerang air tawar Anodonta anatina selama 8 atau 10 hari dimasukkan ke dalam air dengan konsentrasi ion kalsium 3 mg per liter. Untuk menghasilkan pH antara 4,8 sampai 2,3 dan 7,3 maka air media pemeliharaan kerang ditambahkan asam sulfat. Berdasarkan hasil penelitian ini Maekelae dan Oikari (1992) menyimpulkan bahwa pH air 2,3 dan 2,6 menyebabkan laju mortalitas kerang menjadi 63 % selama 8 hari, tetapi pH yang lebih tinggi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup kerang Anodonta. Secara umum, pH rendah menyebabkan penurunan konsentrasi ion-ion natrium dan klorida di dalam hemolimfa, serta menyebabkan penurunan konsentrasi ion natrium di dalam jaringan lunak kerang. Peningkatan konsentrasi ion-ion kalsium dan natrium dalam hemolimfa kerang juga ditemukan.

Baca juga
Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut

Peranan Transpor Ion Dalam Perkembangan Sel Telur Ikan

Menurut Alderdice (1988) dalam Hoar et al., (1988) transpor ion berperanan dalam oogenesis, yaitu proses pembentukan sel telur ikan. Pergerakan ion-ion (dan hormon) melintasi membran sel telur akan merangsang berlangsungnya rantai proses yang menyebabkan berkembangnya oosit (sel telur) dan sempurnanya meiosis. Studi elektrofisiologis dan sitologis sangat bermanfaat dalam mempelajari peristiwa ini. Pada penelitian-penelitian tersebut terlihat adanya perubahan penting dalam hal potensial-istirahat dan potensial-aksi membran plasma oosit. Gejala-gejala ini secara mendadak mengubah laju influx (pemasukan) atau efflux (pengeluaran) ion, yang umumnya melibatkan ion-ion Ca2+, K+, Na+ dan Cl-, akibat perbedaan potensial lstrik yang timbul berkaitan dengan perbedaan menyolok konsentrasi ion di dalam dan di luar membran. Perubahan potensial membran secara mendadak ini berhubungan dengan perubahan yang cepat permeabilitas membran plasma oosit terhadap ion-ion tertentu.

Alderdice (1988) dalam Hoar et al., (1988) menambahkan bahwa mekanisme atau lintasan penembusan ion yang menyebabkan transmembran (pergerakan melintasi membran) berfluktuasi sebagai respon terhadap rangsangan tertentu disebut “channel” (saluran). Secara morfologis, saluran ini bertingkah laku seperti struktur protein dengan sebuah lubang di tengah. Mereka bertindak seperti “pintu”, yang membuka dan menutup sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi ion di dalam dan di luar membran atau depolarisasi membran. Bagaimanapun, meskipun saluran yang dapat-dirangsang listrik – yang menunjukkan potensial aksi – telah ditemukan pada oosit hewan tunikata, anelida, moluska, echinodermata, amfibi dan mamalia, namun saluran-saluran seperti ini belum ditemukan pada telur ikan teleostei secara meyakinkan. Bukti-bukti mengenai adanya perangsangan oleh listrik pada oosit ikan teleostei masih jarang; telur ikan padi (Oryzias latipes) dilaporkan tak dapat dirangsang oleh listrik.

Percobaan penggantian ion memperlihatkan bahwa potensial membran tergantung pada ion K+ dan Na+, tetapi tidak tergantung pada Ca2+ atau Cl-. Meskipun saluran-saluran Na+, beberapa tipe saluran Ca2+ dan tiga tipe saluran K+ telah diidentifikasi, namun peranannya dalam transpor ion melintasi membran oosit relatif tidak diketahui. Diperkirakan bahwa berbagai saluran ion terbentuk, menghilang, atau terkumpul selama perkembangan oosit; sebagian saluran tersebut terselip atau hilang dan sebagian lainnya tetap ada.

Telah dilakukan penelitian terhadap ikan book trout Salvelinus fontinalis untuk membandingkan sifat-sifat elektrofisiologis oosit, yang dipisahkan dari jaringan folikel, dengan sifat elektrofisiologis telur terovulasi. Oosit kontrol yang memiliki gelembung germinal (sel kelamin) dibandingkan dengan oosit yang diberi perlakuan dengan hormon 17α-20β-dihidroksiprogesteron (DHP) untuk merangsang GVBD (Germinal Vesicle Breakdown; pemecahan gelembung germinal). Gamet-gamet ini disimpan dalam larutan garam Cortland dan diuji dalam berbagai modifikasi larutan Ringer, yang semuanya memiliki osmolaritas konstan 310 – 320 mOsm/kg.

Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa dibandingkan dengan oosit yang memiliki gelembung germinal, potensial membran dalam telur yang terovulasi mengalami penurunan secara tajam. Dengan alasan yang sama, hambatan membran jauh lebih tinggi pada oosit setelah terjadinya GVBD, dan meningkat tajam setelah ovulasi. Daya hantar ion sebelum dan sesudah GVBD kira-kira konstan, sedangkan daya hantar ion-ion K+ dan Na+ menurun tajam selama berlangsungnya ovulasi. Tak ada bukti terjadinya perubahan daya hantar Cl-. Perlakuan oosit kontrol di dalam larutan Ringer yang rendah-Na+ dan tinggi-K+ menyebabkan oenurunan hambatan membran dan potensial membran, yang memperkuat dugaan bahwa depolarisasi merangsang lintasan penghantaran ion. Sebuah penjelasan mengenai efek ini adalah daya hantar tergantung-voltase; namun pembatasan elektroda tidak membuktikan kemungkinan ini. Studi ini membuktikan bahwa GVBD dan ovulasi meningkatkan hambatan membran, menurunkan arus membran, dan bahwa daya hantar ion-ion Na+ dan K+ serta depolarisasi membran menurun dengan terjadinya ovulasi. Karena itu sebagai wakil dari salmonidae, telur matang ikan brook trout relatif tidak permeabel terhadap ion Na+ dan K+ sebelum pembuahan (Alderdice, 1988, dalam Hoar et al., 1988).

Baca juga
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Peranan Ion Kalium Dalam Memulai Daya Gerak Sperma Ikan Teleostei

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Morisawa dan Suzuki (1980) menyimpulkan bahwa spermatozoa - yang tidak aktif di dalam larutan elektrolit dan non elektrolit yang isotonik terhadap plasma cairan sperma - akan menunjukkan daya gerak ketika cairan sperma tersebut diencerkan dengan larutan hipotonik pada ikan teleostei air tawar (empat spesies yang diuji) dan diencerkan dengan larutan hipertonik pada ikan teleostei laut (lima spesies yang diuji). Penurunan atau peningkatan, berturut-turut, dalam hal osmolalitas lingkungan mungkin menjadi faktor yang memulai daya gerak sperma pada spesies-spesies ikan tersebut. Daya gerak spermatozoa ikan chum salmon dalam larutan natrium klorida (yang isotonik terhadap plasma cairan sperma) terhambat sama sekali oleh sekitar 10 milimol ion kalium per kilogram. Spermatozoa ikan topminow, bagaimanapun, menjadi tidak bergerak di dalam larutan non elektrolit, dan daya geraknya dirangsang oleh elektrolit, terutama ion kalium. Dengan demikian ion, bukan osmolalitas, merupakan faktor penting yang menentukan daya gerak sperma ikan salmonidae dan teleostei vivipar. (catatan, vivipar = melahirkan anak).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Peranan Gelembung Renang Dalam Transpor Ion dan Air

Baldisserotto et al. (1990) melakukan studi untuk membandingkan konsentrasi ion-ion (Na+, K+, Cl-, Ca2+ dan Mg2+) di dalam empedu gelembung renang dan plasma darah beberapa spesies ikan teleostei air tawar, yaitu Sebastiscus marmoratus, Prochilodus affinis dan Prochilodus marggravii. Data untuk konsentrasi ion-ion di dalam empedu gelembung renang ikan Prochilodus scrofa juga disajikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua spesies yang dipelajari tersebut memiliki konsentrasi ion-ion Na+, K+, Ca2+ dan Mg2+ yang lebih tinggi dan konsentrasi ion Cl- yang lebih rendah di dalam empedu gelembung renang daripada di dalam plasma darah. Konsentrasi ion-ion Na+ dan K+ di dalam empedu gelembung renang tidak berbeda pada spesies-spesies ikan yang dipelajari. Empedu ikan Prochilodus scrofa memiliki konsentrasi ion Cl- yang lebih rendah dibandingkan pada ketiga spesies yang lain, konsentrasi Ca2+ yang lebih rendah dibandingkan pada Prochilodus affinis dan Prochilodus marggravii , serta konsentrasi Mg2+ yang lebih rendah dibandingkan pada Sebastiscus marmoratus dan Prochilodus affinis. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa kebiasaan makan tidak mengubah konsentrasi ion di dalam empedu gelembung renang ikan, dan bahwa epitel gelembung renang spesies-spesies ikan tersebut mentranspor ion dan air sehingga memekatkan ion-ion Na+, K+, Ca2+ dan Mg2+ serta menurunkan konsentrasi ion Cl-.

Laju Penggantian Ion Pada Ikan Cucut

Carrier dan Evans (1972) mempelajari laju “turnover” (penggantian) ion dan air pada ikan cucut perawat Ginglymostoma cirratum dengan bantuan radioisotop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju turnover adalah 0,46 persen/jam untuk ion natrium, 1,52 persen/jam untuk ion klorida, 81 persen/jam untuk air dan 0,14 persen/jam untuk urea. Perbandingan dengan data lain yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa laju turnover air pada ikan cucut ini jauh lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan pada ikan-ikan teleostei laut, sedangkan laju turnover untuk ion natrium dan klorida adalah sekitar 5 persen dibandingkan laju yang ditemukan pada ikan-ikan teleostei laut. Laju turnover urea sesuai dengan data yang telah dipublikasikan mengenai laju sintesis urea pada spesies elasmobtanchii lain.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 11 September 2017

Komposisi Kimia Air, Padatan dan Gas Terlarut

Arsip Cofa No. A 077
donasi dg belanja di Toko One

Komposisi Kimia Air Laut

Mowka (2009) menyatakan bahwa air laut merupakan larutan yang mengandung sekitar 3,4 persen material terlarut. Air laut mengandung banyak jenis unsur kimia, sebagian besar di antaranya ada dalam konsentrasi sangat rendah. Dengan metode analisis yang cukup canggih, adalah mungkin untuk membuktikan bahwa air laut mengandung semua unsur yang kita kenal. Bagaimanapun, hanya sedikit unsur yang perlu diperhatikan terutama karena merupakan ion-ion mayor, yaitu klorida (19.000 mg/liter), natrium (10.500 mg/liter), sulfat (2.600 mg/liter), magnesium (1.350 mg/liter), kalsium (400 mg/liter) dan kalium (380 mg/liter). Air laut buatan bisa disiapkan dengan meniru komposisi konsentrasi ion-ion mayor air laut alami ini. Ion-ion minor, yang terdapat dalam konsentrasi rendah tetapi lebih melimpah dibandingkan trace elemen, adalah bikarbonat (142 mg/liter), bromida (65 mg/liter), borat (25 mg/liter), strontium (8 mg/liter) dan silikat (8 mg/liter).

Bikarbonat merupakan ion paling penting karena terutama bertanggung jawab untuk buffering (penyangga), yaitu untuk mempertahankan pH air. Borat juga berperanan dalam sistem buffer ini, tetapi pengaruhnya kecil dibandingkan bikarbonat. Arti penting ion-ion minor lainnya kurang jelas. Silikat penting bagi alga tertentu dan mungkin bagi beberapa jenis binatang. Bromida dan strontium, bagaimanapun, tidak diketahui peranan pentingnya bagi proses-proses biologis manapun. Adalah mungkin bahwa bila ion bromida dan strontium ini tidak ada sama sekali maka tidak memberikan pengaruh bagi kesehatan organisme akuatik.

Trace elemen adalah ion-ion yang normalnya terdapat di dalam air laut dengan konsentrasi hampir 1 mg/liter atau kurang. Di antara trace elemen ini adalah fluorida, rubididum, aluminium, litium, barium, yodin, mangan, fosfor, torium, merkuri, uranium, kobalt, seng, timah, timbal, selenium, arsen, tembaga, besi, nikel, kadmium, krom, titanium, vanadium, molibdenum, cesium dan lain-lain.

Penamaan trace elemen hanya merujuk pada fakta bahwa unsur-unsur tersebut terdapat dalam jumlah “trace” (sangat sedikit). Istilah trace tidak berhubungan dengan peranan unsur-sunur tersebut bagi kesehatan organisme akuatik. Jadi, perlu diperhatikan perbedaan antara trace elemen dengan essential element (unsur penting) karena keduanya berbeda. Tidak semua trace elemen bersifat esensial.

Menurut Mowka (2009) tidak ada alasan untuk mengharapkan manfaat dari keberadaan, sebagai contoh, cesium atau strontium. Tidak ada proses biologi yang bergantung pada keberadaan mereka. Meskipun trace elemen normalnya ada di dalam air laut alami, tetapi mereka bukanlah elemen kimia esensial. Kebanyakan trace elemen bukanlah elemen kimia esensial.

Banyak trace elemen yang bersifat esensial merupakam logam-logam berat (misal krom, mangan, besi, kobal, tembaga dan seng). Arti penting mereka bagi organisme hidup tergantung pada kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai molekul organik, seperti enzim, dan membentuk kompleks stabil dengan fungsi-fungsi biologi spesifik (Mowka, 2009).

Baca juga
Komponen Kimia Air Laut

Komposisi Kimia Air Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) dalam pengertian luas, kualitas air ditentukan oleh sangat banyak variabel biologi, fisika dan kimia yang mempengaruhi kelayakan air untuk tujuan tertentu. Dalam budidaya ikan, kualitas air biasanya didefinisikan sebagai kesesuaian air bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan, dan biasanya kualitas air ini dipengaruhi hanya oleh beberapa variabel. Air alami mengandung gas, ion-ion anorganik dan bahan-bahan organik dalam bentuk larutan dan partikel-partikel (anorganik dan organik, hidup maupun mati) dalam bentuk suspensi. Perbedaan antara bahan terlarut dan bahan partikel agak tanpa aturan, yang didasarkan pada apakah bahan tersebut bisa disingkirkan melalui penyaringan atau tidak.

Gas-gas nitrogen, oksigen dan karbon dioksida merupakan gas-gas yang paling melimpah dalam perairan alami, tetapi amonia tak-terionisasi, hidrogen sulfida dan metana bisa mencapai konsentrasi yang tinggi pada kondisi tertentu. Asam silikat yang tak terionisasi dan ion-ion kalsium, magnesium, natrium, kalium, bikarbonat, karbonat, klorida dan sulfat menyumbangkan sebagian besar berat bahan anorganik yang terlarut dalam air. Bagaimanapun, perairan alami juga mengandung dalam konsentrasi rendah banyak jenis ion anorganik lain. Bahan-bahan organik terlarut meliputi banyak jenis senyawa yang asalnya disintesis oleh biota kolam atau biota penghuni daerah tangkapan-air kolam tersebut. Beberapa contoh bahan organik terlarut adalah asam amino, protein, gula, asam lemak,vitamin dan tannic acid. Bahan organik partikel meliputi bakteri, fitoplankton, zooplankton dan sisa-sisa organisme busuk; bahan anorganik partikel mencakup partikel-partikel tanah halus yang tersuspensi.

Gas-Gas Terlarut Di Dalam Air

Meskipun kita cenderung mengasosiasikan gas dengan atmosfer dari pada dengan air, namun harus diingat bahwa sedikitnya ada 5 atau 6 macam gas penting yang terlarut di dalam air danau, sungai dan laut. Gas-gas tersebut memiliki fungsi biologis dan fisikokimia, tetapi sifat dan asal masing-masing gas berbeda-beda (Cole, 1994).

Baca juga
Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut

Menurut Cole (1994) permukaan air yang bersentuhan dengan campuran gas dan uap air – yang disebut udara – menyerap beberapa komponen udara tersebut. Nitrogen, oksigen dan karbon dioksida sangat penting karena mempunyai peran biologis yang esensial. Di samping itu, nitrogen dan oksigen merupakan komponen terbesar penyusun atmosfer, yaitu masing-masing sekitar 78 % dan 21 %, yang ada di permukaan laut. Konsentrasi karbon dioksida di udara adalah 28 kali lebih kecil dari pada konsentrasi argon, namun kelarutannya di dalam air minimal 15 kali lebih besar dibandingkan argon. Hal ini karena disebabkan karbon dioksida, yang terlarut dalam bentuk gas, menempatti persen volume yang sama dengan argon meskipun konsentrasi argon di atmosfer lebih besar.

Di antara gas-gas atmosfer yang terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (trace gas) adalah molekul-molekul hidrogen, karbon monoksida, nitro oksida ozon, metana, amonia, sulfur dioksida dan gas-gas inert (yaitu gas-gas yang sulit bereaksi) seperti kripton dan neon. Uap air ada dalam jumlah yang sangat bervariasi dengan konsentrasi sampai 3 % volume.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Padatan dan Partikel Dalam Air Kolam Ikan

Boyd (1982) menggolongkan padatan dan partikel dalam air menurut konsentrasi kelompok-kelompok komponen tertentu yang didefinisikan sebagai berikut :

Padatan total (total solid) : Contoh air diuapkan sampai kering, dan berat residu – biasanya dalam miligram per liter – disebut konsetrasi padatan total. Untuk tujuan praktis, padatan total menyatakan semua bahan terlarut dan bahan partikel selain gas.

Total padatan mudah-menguap (total volatile solid) : Variabel ini merupakan berat yang hilang dari residu pada analisis padatan total setelah dibakar pada suhu 550 °C. Total padatan mudah-menguap merupakan jumlah bahan organik partikel dan bahan organik terlarut.

Padatan terlarut (dissolved solid) : Contoh air disaring, biasanya dengan saringan yang menahan kebanyakan partikel yang lebih kecil daripada 0,5 – 1 mikron, dan cairan yang tersaring diuapkan sampai kering. Untuk praktisnya, berat residunya menyatakan konsentrasi bahan-bahan terlarut, kecuali gas.

Padatan mudah-menguap terlarut (dissolved volatile solid) : Residu dari analisis padatan terlarut dibakar pada suhu 550 °C dan berat yang hilang ditentukan. Berat tersebut menunjukkan konsentrasi bahan organik terlarut

Bahan partikel (particulate matter) : Berat bahan kering yang tertahan pada saringan setelah air dilewatkan melalui sebuah saringan halus adalah bahan partikel total. Variabel ini juga bisa ditentukan dengan mengurangkan padatan terlarut dari padatan total.

Bahan organik partikel (particulate organic matter) : Variabel ini bisa ditentukan sebagai berat yang hilang setelah bahan kering yang tertahan pada saringan – yang digunakan dalam analisis bahan partikel – dibakar pada suhu 550 °C, atau dengan mengurangkan padatan mudah-menguap terlarut dari padatan mudah-menguap total.

Kesederhanaan analisis kasar ini jelas, dan data yang diperoleh sering kaya akan informasi. Sebagai contoh, tingginya nilai padatan terlarut menunjukkan bahwa perairan mengandung larutan dalam konsentrasi tinggi. Bila perairan mengandung padatan terlarut mudah-menguap dalam konsentrasi rendah, berarti perairan tersebut kaya akan mineral. Sebaliknya, perairan dengan konsentrasi padatan total tinggi dan konsentrasi total padatan terlarut dan mudah-menguap rendah berati kaya akan bahan anorganik tersuspensi. Air dari kolam ikan memiliki konsentrasi padatan yang bervariasi tergantung pada derajat mineralisasi, jumlah tanah liat tersuspensi, dan kelimpahan plankton. Pengukuran padatan terlarut dan bahan organik partikel, yang menunjukkan konsentrasi total ion-ion terlarut dan konsentrasi total bahan organik tersuspensi, berturut-turut, lebih banyak digunakan dalam budidaya ikan daripada jenis-jenis lain analisis padatan.

Baca juga
Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Padatan Tersuspensi di Dalam Air Laut

Armstrong dan Atkins (1950) mengumpulkan sampel air laut pada bulan Juni 1948 sampai November 1949. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel air laut tersebut mengandung bahan tersuspensi dengan konsentrasi (berat-kering dan -bakar) 2,77 sampai 0,45 gram/m3 (atau part per million, ppm). Pengukuran bahan organik tak-terlarut memberikan nilai 1,77 sampai 1,15 ppm berat kering pada suhu 100 °C. Residu yang dibakar mengandung 55 sampai 17 % silika, 28 sampai 3 % besi oksida, 20 sampai kurang dari 1 % aluminium dan 70 sampai 9 % kalsium karbonat. Tidak ada catatan suhu atau salinitas yang menunjukkan bahwa massa air mengalami perubahan selama periode sampling.

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan tingginya konsentrasi besi dibandingkan dengan yang ditemukan dalam larutan. Residu yabg dibakar kaya akan silikat, sebagai mana ditunjukkan oleh tingginya rasio silika aluminium, tetapi sangat diragukan apakah tambahan pasokan silikat yang tersedia bagi diatom adalah cukup untuk mengimbangi kebutuhan mereka yang dihitung berdasarkan pemanfaatan fosfat. Tampaknya lebih mungkin bahwa fosfat, dalam jumlah cukup, tersedia bagi fitoplankton non-silika.

Nilai Gizi Padatan Tersuspensi dan Sedimen Bagi Cacing

Taghon dan Greene (1992) menyatakan bahwa cacing polikhaeta Boccardia pugettensis dan Pseudopolydora kempi japonica, seperti banyak invertebrata lain, ketika pemasukan partikel tersuspensi meningkat maka mereka mengubah kebiasaan makan dari memakan sedimen menjadi memakan padatan tersuspensi secara pasif. Kedua peneliti menguji hipotesis bahwa perilaku tersebut secara energitika adalah menguntungkan sebab partikel tersuspensi mengandung nilai gizi yang lebih tinggi. Pada percobaan-percobaan laboratorium, binatang dibatasi hanya memakan endapan, dibatasi hanya memakan suspensi, atau dibiarkan memakan keduanya. Partikel tersuspensi memiliki konsentrasi yang lebih besar dalam hal bahan organik total, karbon organik, protein labil, nitrogen dan klorofil-a.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume makanan yang dikonsumsi kedua spesies cacing secara nyata lebih sedikit ketika mereka memakan suspensi. Laju makan suspensi pada Pseudopolydora (hanya 19 % dari laju makan endapan) adalah jauh lebih kecil dibandingkan laju makan suspensi pada Boccardia (45 – 75 % dari laju makan endapan). Laju pertumbuhan Pseudopolydora lebih rendah ketika memakan suspensi dibandingkan dengan ketika memakan endapan. Sebaliknya, Boccardia tumbuh sebaik atau lebih baik ketika memakan suspensi dibandingkan ketika memakan endapan. Meskipun memiliki kesamaan morfologi dan tingkah laku, ada perbedaan dalam hal kemampuan kedua spesies cacing memanfaatkan partikel bahan organik pada berbagai kondisi habitat mereka.

Baca juga
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Konsentrasi Zat-Zat Hara di Perairan Laut-Payau-Tawar Yang Saling Berhubungan

Selvam et al. (1992) mempelajari variasi harian variabel-variabel hidrologis dan zat-zat hara anorganik terlarut seperti PO43-, NO2--N, NO3--N dan NH4+-N di tiga biotop yang saling berhubungan yang mencakup perairan tawar, laut dan perairan payau hutan bakau di zona pesisir Kakinada, Andhra Pradesh, India. Sampel dikumpulkan pada selang waktu 3 jam, selama periode 24 jam. Di lingkungan laut, salinitas bervariasi dari 26 ppt sampai 32 ppt sedangkan di perairan hutan bakau nilainya berfluktuasi dari 12 ppt sampai 20 ppt, dan di kedua biotop ini salinitas menunjukkan fluktuasi tipe bimodal (dua-modus) Konsentrasi oksigen terlarut adalah tinggi di perairan hutan bakau selama siang hari tetapi berkurang dengan cepat selama malam hari.

Di lingkungan laut, konsentrasi PO43--P bervariasi dari 0,345 sampai 1,195 mikrogram at/liter, NO3--N dari 1,03 sampai 6,62 mikrogram at/liter dan NO2--N dari 0,086 sampai 0,506 mikrogram at/liter. Konsentrasi tertinggi dan terendah PO43--P, NO3--N dan NO2--N, yang tercatat di perairan hutan bakau adalah 0,790 dan 0,325 mikrogram at/liter, 7,10 dan 1,60 mikrogram at/liter serta 0,278 dan 0,060 mikrogram at/liter, berturut-turut. Konsentrasi PO43--P, NO3--N dan NO2--N adalah tinggi di kanal perairan tawar, dengan nilai maksimum dan minimumnya adalah 1,110 dan 0,730 mikrogram at/liter, 26,40 dan 9,98 mikrogram at/liter serta 0,520 dan 0,252 mikrogram at/liter, berturut-turut. Konsentrasi amonia adalah relatif tinggi di perairan hutan bakau . Produksi primer kotor dan neto di perairan hutan bakau adalah 4 kali lebih tinggi daripada di biotop laut. Tidak ada ekspor zat-zat hara terlarut dari lingkungan hutan bakau ke perairan laut di sekitarnya.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 21 Agustus 2017

Interaksi Antara Aktivitas Budidaya Ikan dan Kualitas Air

Arsip Cofa No. A 076
donasi dg belanja di Toko One

Karakteristik Fisika dan Kimia Air Mempengaruhi Budidaya Ikan

Air, sebagai media budidaya ikan, bersifat unik dalam beberapa hal. Air merupakan salah satu dari sedikit material yang bersifat cair pada suhu kamar; material lainnya adalah air raksa dan beberapa jenis hidrokarbon. Air memiliki viskositas (kekentalan) dan tegangan permukaan sangat tinggi, lebih tinggi dari pada semua cairan lain selain air raksa. Tegangan permukaan ini sangat membatasi difusi gas keluar-masuk air. Air memiliki panas spesifik yang tinggi, yang membuat wujudnya tetap tidak berubah meski suhu mengalami perubahan besar. Pengukuran energi didasarkan pada panas spesifik ini : dibutuhkan 1 kalori energi untuk meningkatan suhu 1 gram air sebesar 1 °C.

Terakhir dan terpenting, air memiliki hubungan unik antara suhu dan densitas, karena air murni dalam wujud cair mencapai densitas maksimum pada suhu 3,94 °C. Densitas air menurun pada suhu yang lebih rendah. Pada kebanyakan zat cair, densitas meningkat sejalan dengan penurunan suhu dan mencapai maksimum dalam wujud padat. Karena air tidak mengikuti pola ini, maka es mengapung di atas air dan mencegah kolom air dari pembekuan total pada kondisi dingin (Diana et al., 1997, dalam Egna dan Boyd, 1997)

Diana et al. (1997) dalam Egna dan Boyd (1997) menyatakan bahwa berbagai bahan kimia terlarut di dalam air, sebagai mana suhu dan sifat-sifat fisik lain, dan semuanya bergabung membentuk apa yang disebut kualitas air. Untuk sistem akuakultur, perubahan karakteristik air yang meningkatkan produksi panen akuatik akan dianggap meningkatkan kualitas air. Definisi ini penting dalam akuakultur, karena pemanfaatan perairan untuk menumbuhkan organisme air pada kepadatan tinggi sering menyebabkan karakteristik kimia, berdasarkan standar lingkungan, dianggap menurunkan kualitas air. Kecuali bila perubahan-perubahan ini menurunkan produksi akuatik, keamanan atau nilai organisme sasaran, mereka tidak dianggap menurunkan kualitas air untuk tujuan akuakultur.

Karakterisktik kualitas air yang baik mungkin berbeda untuk spesies organisme yang berbeda. Karakteristik perairan yang bisa mendorong peningkatan produksi ikan mujaer mungkin berbahaya bagi spesies lain seperti ikan rainbow trout. Spesies ini sering dipilih untuk akuakultur karena toleransinya yang tinggi terhadap kualitas air yang buruk. Dengan demikian, kualitas air harus dilihat dari sudut pandang spesies yang dibudidayakan.

Baca juga
Pengaruh Aerasi Terhadap Kualitas Air dan Produksi Ikan di Kolam

Pengelolaan Kualitas Air Untuk Budidaya Ikan

Dalam pengelolaan kualitas air, kita mengatur kondisi lingkungan sedemikian hingga kondisi tersebut ada dalam kisaran yang sesuai bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Dalam badan perairan alami, ikan terdapat dengan kepadatan yang relatif rendah di dalam perairan yang sangat luas. Dalam perikanan alami, perlu mencegah aktivitas manusia yang merugikan kualitas air dan produksi ikan. Air limbah bisa menyebabkan eutrofikasi sehingga ikan mati atau spesies dominan berubah. Serangan gulma air bisa merugikan perikanan. Limpasan air dari lahan pertanian mungkin mengandung bahan-bahan kimia yang beracun bagi ikan. Baru-baru ini, hujan asam yang disebabkan meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil, terutama batu bara, mengasamkan perairan alami dan menurunkan produksi ikan di daerah-daerah tertentu. Badan perairan alami biasanya memiliki fungsi multiguna dan pengelolaan kualitas air biasanya lebih diarahkan untuk memperbaiki kondisi ekologis secara keseluruhan daripada diarahkan untuk memperbaiki perikanan saja (Boyd, 1982).

Di perairan yang digunakan untuk budidaya ikan, produksi ditingkatkan dengan menggunakan pupuk, pakan ikan, atau kadang-kadang keduanya. Di perairan di mana pupuk digunakan, pengelolaan kualitas air biasanya melibatkan manipulasi keluar-masuknya zat hara untuk meningkatkan produksi plankton agar ikan tumbuh lebih cepat. Beberapa perairan terlalu asam dan harus diberi kapur sebelum pupuk digunakan. Air kolam mungkin terlalu keruh sehingga pemasukan cahaya tidak cukup untuk meningkatkan fotosintesis, walaupun pupuk tersedia dalam jumlah cukup. Laju pertukaran air mungkin terlau cepat sehingga zat hara pupuk terbawa hanyut dari kolam sebelum zat hara tersebut memberikan pengaruhnya bagi peningkatan produksi plankton.

Boyd (1982) menyarankan agar jenis dan tingkat pemakaian pupuk di kolam budidaya ikan harus tepat. Sebagai contoh, bila hanya fosfor yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan plankton, maka adalah suatu pemborosan bila menggunakan pupuk yang mengandung nitrogen, fosfor dan kalium. Kelebihan pemakaian zat hara dalam pupuk akan menyebabkan plankton menjadi sangat melimpah sehingga kadar oksiegn terlarut akan menjadi masalah. Pemakaian pupuk yang tidak cukup akan menyebabkan rendahnya kekeruhan sehingga cahaya menembus sampai ke dasar perairan yang mengakibatkan gulma air merajalela.

Baca juga
Formalin Untuk Mengendalikan Parasit Ikan dan DampaknyaTerhadap Kualitas Air Kolam

Pengaruh Intensifikasi Budidaya Ikan Terhadap Kualitas Air

Intensifikasi budidaya ikan melalui penebaran ikan dalam jumlah besar dan penggunaan pakan yang banyak bisa menimbulkan permasalahan kualitas air yang parah (Boyd, 1982). Walaupun ikan memakan sebagian besar pakan yang diberikan, tetapi banyak pakan yang ditelan ini dieksresikan ke dalam air sebagai sisa metabolik. Sisa metabolisme ini mengandung karbon dioksida, amonia, fosfor dan zat-zat hara lain yang merangsang produksi plankton. Amonia merupakan racun yang bersfat langsung bagi ikan, dan sebagian amonia ini berfungsi sebagai substrat bagi produksi nitrit yang juga sangat beracun. Karbon dioksida dalam konsentrasi tinggi mengganggu pemanfaatan oksigen terlarut. Jadi, ketika laju makan meningkat maka kelimpahan plankton dan konsentrasi metabolit racun tertentu meningkat.

Plankton berkepadatan tinggi dalam kolam menyebabkan parahnya ketidakseimbangan keluar-masuknya oksigen terlarut, yang bisa menyebabkan ikan tumbuh lambat atau bahkan mati. Banyak masalah kualitas air lainnya kadang-kadang terjadi pada budidaya ikan intensif, tetapi masalah-masalah yang biasanya paling penting adalah produksi planton yang berlebihan, konsentrasi oskigen terlarut yang rendah dan masalah metabolit beracun. Perhatian yang cermat terhadap masalah kualitas air mutlak diperlukan dalam budidaya ikan intensif. Berapapun besarnya perhatian terhadap pembangunan kolam, penebaran ikan, pemberian pakan serta pengendalian penyakit dan parasit, semuanya tidak akan berguna bila sejumlah besar ikan mati sebelum dipanen akibat habisnya oksigen terlarut atau akibat masalah-masalah kualitas air lainnya (Boyd, 1982).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Manajemen Budidaya Ikan Mempengaruhi Kualitas Air

Kualitas air dalam kolam ikan merupakan faktor utama yang menentukan produksi ikan. Kualitas air sangat dipengaruhi oleh praktek managemen kolam, seperti padat penebaran ikan, strategi pemupukan dan pemberian pakan tambahan. Kualitas air bisa dimanipulasi untuk mengatasi keterbatasan produksi kolam, baik secara kimia maupun fisik seperti aerasi, pemupukan, pengapuran atau pertukaran air. Manipulasi kualitas air kolam merupakan alat manajemen utama dalam produksi ikan mujaer semi-intensif dan bisa menjadi sangat penting dalam produksi ikan intensif.

Karakteristik air sangat membatasi produksi ikan dan bisa diubah sampai beberapa derajat dengan cara praktek-praktek akuakultur. Beberapa karakteristik air, seperti konsentrasi mineral terlarut, pH, alkalinitas dan kesadahan sangat dipengaruhi oleh sumber air dan tanah serta sifat-sifat geologis dan iklim daerah aliran sungai yang melingkupi lokasi budidaya ikan. Ikan mujaer tumbuh paling baik ketika suhu relatif hangat dan laju produksi primer perairan tinggi. Kegiatan-kegiatan lain yang melibatkan perairan dan daerah aliran sungai tersebut bisa mempengaruhi kualitas air. Harus diingat bahwa praktek-praktek akuakultur itu sendiri mempengaruhi kualitas air (Diana et al.,1997, dalam Egna dan Boyd, 1997)

Pengaruh Kualitas Air Terhadap Pertumbuhan Larva Ikan

Gehrke (1991) dalam Hancock (1992) pada sebuah workshop biologi ikan di Australia mendiskusikan faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan larva ikan pada kondisi pemeliharaan ekstensif, dengan perhatian utama ditujukan pada kualitas air. Gehrke menyimpulkan bahwa pertumbuhan larva ikan bisa diperbaiki dengan meningkatkan surplus energi, atau dengan meningkatkan efisiensi konversi energi menjadi pertambahan bobot badan (pertumbuhan). Dalam fasilitas pemeliharaan ekstensif, pertambahan energi untuk pertumbuhan dapat diperoleh dengan meminimalkan konsumsi energi metabolik. Di sini perlu ditekankan bahwa pengelolaan kualitas air yang baik akan dapat mengurangi konsumsi energi metabolik (aktivitas) lava ikan.

Pengaruh Pakan Berkadar Energi Tinggi Terhadap Kualitas Air Dan Eutrofikasi

Pengaruh pakan berkadar energi tinggi terhadap kualitas air kolam ikan telah dipelajari oleh Bohl et al. (1992). Mereka mengamati intensitas eutrofikasi dalam air buangan kolam budidaya ikan salmon (Salmo trutta) yang diberi pakan dengan berbagai kandungan energi berbeda-beda. Penelitian hidrokimia (fosfat, nitrat, amonia, oksigen) membuktikan bahwa pakan berkadar energi tinggi adalah lebih baik dibandingkan pakan berkadar energi rendah dalam hal pencegahan eutrofikasi.

Baca juga
Budidaya Ikan Intensif : Padat Penebaran, Kualitas Air dan Penghematan Biaya

Pengaruh Padat Penebaran Udang Windu Terhadap Kualitas Air Kolam

Allan dan Maguire (1992) melaporkan bahwa enam belas kolam fiberglas berdiameter 3,5 meter dan tinggi 1,2 meter dengan dasar sedimen telah digunakan sebagai model kolam budidaya udang windu (Penaeus monodon) untuk meneliti pengaruh empat tingkat padat penebaran (5, 15, 25 dan 40 udang per m2) terhadap kualitas air. Berdasarkan hasil penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa konsentrasi oksigen terlarut dan konsentrasi pigmen alga dipengaruhi oleh padat penebaran (P < 0,001), namun efek terkait-padat penebaran terhadap kualitas air tidak menjelaskan penurunan pertumbuhan udang akibat meningkatnya padat penebaran. Kepadatan populasi makrobentos, tetapi tidak berlaku untuk meiobentos, dalam lapisan sedimen pada setiap kolam menurun dengan meningkatnya padat penebaran.

Baca juga
Pengaruh Kekeruhan Terhadap Binatang Air

Kualitas Air Buangan Kolam Budidaya Ikan

Di Amerika Serikat, air buangan dari kolam ikan dianggap oleh Environmental Protection Agency sebagai sumber potensial pencemaran. Badan in telah mengembangkan nilai-nilai batas air buangan uji coba untuk sistem budidaya ikan kolam asli. Batasan utama adalah bahwa konsentrasi sesaat maksimum padatan yang dapat-mengendap di dalam air buangan tidak boleh melebihi 3,3 ml/liter. Padatan yang dapat-mengendap menyatakan volume material yang mengendap dari air selama 1 jam ketika air tersebut ditampung dalam kerucut Imhoff (Boyd, 1982)..

Boyd mengumpulkan data mengenai kualitas air buangan selama pemanenan ikan channel catfish dari delapan kolam di Universitas Auburn, Alabama. Air kolam dikeluarkan melalui pipa pengeluaran yang memanjang melewati dasar dari titik-titik terdalam di kolam. Pemanenan ikan melibatkan dua fase. Pada fase pengeringan, sekitar 95 % air dikeluarkan dan saluran pengeluaran ditutup. Selama fase penjaringan, ikan ditangkap dengan sebuah jaring besar. Saluran pengeluaran dibuka kembali satu sampai tiga kali selama fase penjaringan untuk menurunkan lebih lanjut tinggi air sehingga memudahkan penangkapan ikan.

Konsentrasi semua bahan pencemar potensial relatif rendah selama fase pengeringan, dan yang paling penting, nilai bahan yang dapat-mengendap selalu di bawah 3,3 ml/liter di kedelapan kolam. Bagaimanapun, selama fase penjaringan, aktivitas pekerja dalam mengoperasikan jaring dan ulah ikan yang ketakutan menyebabkan partikel-partikel sedimen yang halus teraduk di dalam air yang bervolume sedikit itu. Hasilnya adalah peningkatan secara tajam konsentrasi semua variabel yang bisa diukur selain nitrat. Hampir semua nilai bahan yang dapat-mengendap melebihi 3,3 ml/liter selama fase penjaringan. Jelas bahwa bahan pencemar bisa banyak dikurangi dengan tidak mengeluarkan air kolam setelah penjaringan dimulai.

Arti penting kolam ikan sebagai sumber pencemar tidak diketahui. Bahkan air yang dikeluarkan selama fase pengeringan dalam rangka pemanenan ikan memiliki konsentrasi bahan yang dapat-mengendap, BOD, COD, total fosfor dan total amonia nitrogen yang lebih tinggi daripada sungai-sungai kecil di sekitar Auburn, Alabama. Bagaimanapun, pengaruh pencemaran akibat air buangan kolam ikan bervariasi sesuai dengan volume air yang dikeluarkan dari kolam dan kecepatan arus serta karakteristik air sungai yang menerima air buangan kolam tersebut (Boyd, 1982).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 01 Juli 2017

Perikanan dan Permasalahannya di Indonesia

Arsip Cofa No. A 075
donasi dg belanja di Toko One

Tipe-Tipe Perikanan

Perikanan bisa dibagi menjadi tiga tipe umum (Boyd, 1982). Pada tipe pertama, ikan dipanen begitu saja dari perairan alami. Prosedur pengelolaan tertentu bisa dimanfaatkan : pengaturan alat tangkap, pembatasan jumlah tangkapan, penebaran spesies-spesies baru, pengurangan pencemaran dan lain-lain. Bagaimanapun, pada akhirnya kesuburan lingkunganlah yang menentukan produksi. Tipe perikanan ini bukanlah budidaya tetapi bisa disamakan dengan berburu. Sebagai perburuan, hasil bahan makanan per satuan luas permukaan adalah rendah.

Pada tipe perikanan kedua, spesies terpilih ditebarkan di perairan alami atau di tempat terkurung, dan pupuk digunakan untuk meningkatkan produktivitas primer. Melimpahnya organisme makanan ikan akibat tingginya produktivitas primer akan meningkatkan hasil ikan. Jala makanan dalam budidaya ikan pemakan-plankton adalah sederhana tetapi menjadi komplek bila ikan memakan serangga dan ikan lain. Tipe budidaya ini benar-benar tergolong pertanian dan bisa disamakan dengan praktek pemupukan padang rumput untuk menyuburkan tumbuhan makanan-ternak dalam rangka meningkatkan produksi ternak.

Tipe ketiga perikanan melibatkan penebaran spesies yang dikehendaki dan pemasokan pakan untuk meningkatkan produksi ikan melebihi tingkat produksi yang mungkin dicapai oleh kolam yang dipupuk. Jumlah air yang diperlukan untuk memproduksi suatu jumlah ikan sangat berkurang dalam metode ini. Bagaimanapun, lahan pertanian diperlukan untuk memproduksi pakan ikan. Metode budidaya ikan ini analog dengan produksi ternak di kandang yang dipasok dengan makanan (Boyd, 1982).

Baca juga
Alat Tangkap dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan

Laut dan Perikanan di Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 13.000 pulau. Dua pertiga wilayah Indonesia berupa perairan laut dan perairan darat. Bisa dikatakan Indonesia dikelilingi oleh perairan laut seluas 5,8 juta km persegi. Laut tersebut bisa digolongkan menjadi laut kepulauan, laut teritorial dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) 200 mil. Laut kepulauan (archipelagic water) didefinisikan sebagai laut yang mengelilingi setiap pulau dihitung 3 mil dari titik pesisir terluar selama musim air surut. Laut teritorial adalah laut antar pulau di luar laut kepulauan. Kedua laut ini diduga seluas 3,1 juta km persegi. ZEE diklaim melalui Dekrit Presiden Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980 yang hampir melipat-duakan perairan laut Indonesia.

Menurut statistik tahun 1990, sebanyak 75 % produksi perikanan Indonesia berasal dari penangkapan di laut. Bagaimanapun, sekitar 90 % dari produksi ini dihasilkan oleh nelayan kecil yang terdiri dari 1,52 juta orang yang beroperasi di laut kepulauan pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Ambon dan Papua.

Diperkirakan (pada tahun 1990) 345.045 kapal nelayan digunakan untuk menangkap ikan; dari jumlah ini 225.359 adalah perahu tanpa motor dan 119.686 perahu bermotor. Biasanya ukuran perahu adalah 10 Gross Ton atau kurang yang beroperasi di wilayah pesisir. Kapal yang lebih besar dari 10 Gross Ton, yang merupakan 1,2 % dari jumlah kapal total, dibatasi operasinya hanya di laut teritorial atau ZEE dengan tujuan melindungi nelayan kecil (Anonymous. 1992).

Di perairan umum seperti danau, sungai dan waduk, juga ada sekitar 470 ribu nelayan yang bekerja paruh-waktu di luar musim tanam padi. Di lapangan budidaya perikanan, ada sekitar 1,62 juta petani ikan yang menangani budidaya ikan bandeng, udang, mina padi dan sistem kurungan (baik laut maupun perairan tawar). Yang terakhir ini masih dalam tahap perkenalan.

Pembangunan subsektor perikanan menghadapi masalah rendahnya kemampuan nelayan tradisional akibat kekurangan keahlian, pengetahuan dan keuangan. Sarana dan prasarana fisik yang dibangun selama periode terdahulu memerlukan perawatan dan biaya operasional. Hal ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah Indonesia mengajak pengusaha asing atau pun pribumi untuk menangani bisnis perikanan. Eksploitasi ZEE memerlukan investasi yang besar untuk membuat kapal-kapal besar, peralatan penangkap ikan yang lebih canggih dan biaya operasi yang tinggi. Demikian pula dengan budidaya laut, budidaya perairan payau serta pengolahan dan pemasaran produk perikanan (Anonymous. 1992).

Baca juga
Program Pengelolaan Wilayah Pesisir

Perbandingan Antara Produksi Perikanan Laut dan Pertanian Darat

Walford dan Wilber (1955) menyatakan bahwa di antara banyak penyelesaian yang disarankan untuk memasok populasi penduduk dunia yang terus bertambah dengan makanan berprotein dalam jumlah cukup dan murah yang lebih sering diajukan dan dipikirkan banyak ilmuwan adalah bahwa laut merupakan daerah sangat luas yang belum dijamah manusia dan belum dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Laut mengandung semua bahan penyubur yang dapat larut dan semua bahan kimia “trace element” (unsur-unsur kimia yang dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit) yang diperlukan semua mahluk hidup. Laut menempati permukaan bumi seluas 2,5 kali luas daratan. Kedalamannya rata-rata 2,38 mil, sedangkan kedalaman tanah rata-rata hanya beberapa inci. Namun, hanya sebagian kecil dari total produksi makanan manusia yang berasal dari laut. Nelayan hanya menghasilkan sekitar 26 juta metrik ton ikan, krustasea dan moluska – suatu jumlah yang kurang dari setengah produksi daging dan telur tahunan dunia dan sekitar seperdelapan dari produksi susu. Panen bahan makanan dari semua laut hanya sekitar 1/120 per are dibandingkan hasil panen seluruh daratan, dan bagian yang dapat dimakan dari hasil tangkapan laut adalah sekitar 0,9 % dari pasokan makanan total manusia. Bila laut begitu luas dan subur, mengapa hasilnya begitu kecil ?

Menurut Walford dan Wilber (1955) kesuburan laut tidak semerata kesuburan darat. Produktivitas laut sangat bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, berkisar dari sangat subur sampai setandus gurun pasir. Dalam satu tempat, pola kesuburannya bervariasi musiman dengan fluktuasi yang besar dan sporadis. Karena kesulitan pengambilan sampel, produktivitas total semua laut sangat sulit diukur dengan tepat. Namun demikian, para ahli biologi laut umumnya sepakat bahwa produktivitas laut sama dengan produktivitas seluruh daratan , yakni sekitar 1,5 x 1010 ton karbon organik tiap tahun. Mereka juga umumnya sepakat bahwa air laut bukanlah medium yang kaya bagi produksi tumbuhan dan binatang. Hal ini bisa dijelaskan bahwa “siklus hidupnya adalah sedemikian hingga bagian terbesar produksi dan penguraian bahan organik dilakukan oleh populasi-populasi yang relatif kecil yang terdiri dari binatang dan tumbuhan mengapung dan sangat terpencar di dalam air sehingga sulit dipanen. Panen yang berhasil terbatas pada sebagian besar ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol dan bermigrasi dan ukurannya memudahkan penangkapannya. Ikan-ikan ini terdapat di ujung mata rantai makanan dan menimbun, tetapi hanya sebagian kecil dari total, produktivitas”.

Pengaruh Fluktuasi Stok Ikan Terhadap Perikanan

Tujuan utama penangkapan ikan adalah memperoleh keuntungan ekonomi tertinggi yang bisa didapatkan dari kegiatan penangkapannya itu. Kelimpahan stok ikan yang bervariasi mempengaruhi pendapatan nelayan melalui tiga cara :
(1). Berfluktuasinya stok suatu spesies berarti berfluktuasinya ketersediaan stok tersebut bagi perikanan, sehingga upaya (atau “effort” pada CPUE/Catch Per Unit Effort/Tangkapan Per Satuan Upaya) juga berfluktuasi. Fluktuasi ini mempengaruhi pendapatan nelayan maupun pemasaran dan harga pasar.
(2). Banyak usaha perikanan yang dikhususkan untuk mengeksploitasi stok satu atau beberapa jenis spesies, dengan menggunakan alat tangkap dan kapal khusus yang sesuai bagi spesies tersebut. Berfluktuasinya stok akan mempengaruhi perikanan spesifik ini, sehingga menyebabkan fluktuasi hasil tangkapan dan bahkan membutuhkan penyesuaian-penyesuaian untuk dapat menangkap spesies sasaran lain bila ketersediaan spesies sasaran semula rendah. Jadi, eksploitasi terhadap stok yang befluktuasi memerlukan keluwesan dalam hal pemilihan spesies sasaran.
(3). Stok yang berfluktuasi akan membutuhkan lebih banyak waktu pencarian daerah penangkapan serta membutuhkan lebih banyak upaya penangkapan bila siklus fluktuasi ada pada tingkat rendah sehingga meningkatkan biaya penangkapan dan memperkecil penambahan hasil per satuan upaya; sementara stok pada puncak kelimpahannya akan menyebabkan peningkatan keuntungan atau malah penurunan harga bila jumlah ikan yang dipasarkan melimpah. Jadi, stok yang berfluktuasi akan membutuhkan keluwesan (fleksibilitas) dalam hal pemasaran, dalam hal penyiapan produk, atau dalam hal penggantian spesies yang jarang dengan spesies yang lebih melimpah di pasaran. Telah umum diketahui bahwa bisnis perikanan merupakan sesuatu yang tidak pasti, terutama karena fluktuasi dan resiko-resiko lain, sehingga investasi di bidang industri perikanan terhambat.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Ada tiga masalah yang diakibatkan fluktuasi stok pada perikanan yang perlu diperhatikan. Pertama, nilai ekonomi ikan bervariasi sesuai dengan ketersediaan atau kelimpahan spesies pengganti. Disarankan untuk melakukan diskriminasi pasar bagi spesies yang dapat menggantikan, paling tidak sebagian, spesies sasaran bila kelimpahannya rendah. Kedua, perikanan modern skala besar harus bersifat luwes, sehingga dapat berpindah dari satu spesies sasaran ke spesies sasaran lain bila kelimpahan spesies sasaran semula mengalami perubahan. Dengan demikian, kapal dan alat tangkap yang sangat spesifik merupakan investasi yang tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Contoh terbaru mengenai hal ini adalah kasus perikanan kepiting di Laut Bering di mana hanya sedikit kapal yang dapat diubah untuk menangkap ikan cod, sebagai contoh, ketika sumber daya kepiting menurun drastis. Ketiga, industri pengolahan dan pemasaran ikan juga harus luwes dan tidak terlalu spesifik. Ia harus dapat disiapkan untuk mengubah spesies sasaran sesuai dengan ketersediaan spesies, dan perubahan spesies sasaran ini harus sesuai dengan yang dilakukan oleh industri penangkapan, yang membutuhkan informasi tentang komposisi kuantitatif ekosistem ikan laut dan perubahan yang terjadi di dalamnya.

Meskipun saat ini ilmuwan perikanan memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan mekanisme penyebab terjadinya fluktuasi rekruitmen atau untuk meramalkan besar stok empat – lima tahun yang akan datang, namun para pengelola perikanan mempunyai beberapa cara untuk mengurangi efek negatif variabilitas hasil tangkapan terhadap industri perikanan. Cara-cara tersebut di antaranya adalah pembatasan jumlah tangkapan yang didaratkan atau pembatasan alat tangkap, serta pengaturan dan komposisi armada penangkap ikan.

Karena suatu kegiatan perikanan yang berdasarkan pada satu spesies ikan dapat mempengaruhi ukuran stok spesies lain, adalah penting untuk mengetahui sifat hubungan yang terjadi antar stok sebelum membuat keputusan dalam rangka mengelola perikanan. Adalah sangat penting untuk mengetahui bagaimana fluktuasi spesies non sasaran akan mempengaruhi fluktuasi spesies sasaran. Kurangnya perhatian dalam masalah ini sehingga menerapkan teknik pengelolaan yang salah akan menyebabkan timbulmya pengaruh negatif terhadap industri perikanan dan mencegah tercapainya tujuan pengelolaan.

Pengelolaan perikanan yang rasional membutuhkan pengetahuan yang mendetail mengenai :
(1). Besar sumberdaya pada suatu saat;
(2). Fluktuasi alami sumberdaya dan penyebab-penyebabnya;
(3). Jumlah ikan yang dapat ditangkap pada suatu tahun tanpa banyak menurunkan produktivitas sumberdaya (yakni, respon sumberdaya terhadap penangkapan);
(4). Sifat-sifat lain yang dimiliki sumberdaya, seperti kapasitas pertumbuhan dan reproduksi dan migrasinya serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketersediaannya, yang semuanya mempengaruhi hasil dan produksi tertinggi yang bisa dicapai;
(5). Kekuatan ekonomi dan sosial yang mempengaruhi operasi penangkapan dan bagaimana faktor-faktor ini dipengaruhi fluktuasi stok.

Baca juga
Program Manajemen dan Pemanfaatan Sumberdaya Wilayah Pesisir

Fluktuasi stok menyulitkan stabilitas hasil lestari berjangka panjang yang konstan dalam pengelolaan yang rasional. Suatu perikanan, dengan demikian, harus dikelola menurut basis tahunan bila menghendaki pemanfaatan yang optimal. Hal ini menghendaki agar :
(1). Pengelola harus menyadari bahwa suatu perikanan satu-spesies juga mempengaruhi biomas spesies lain, sehingga membutuhkan pendekatan ekosistem menyeluruh untuk mengevaluasi akibat kegiatan pengelolaan.
(2). Suatu kegiatan perikanan harus diberi beberapa pilihan spesies sasaran agar dapat berpindah dari satu spesies ke spesies sasaran lain bila terjadi fluktuasi kelimpahan suatu spesies.
(3). Penangkapan intensif terhadap suatu spesies dominan di dalam ekosistem menekan fluktuasi spesies tersebut tetapi tidak selalu mempengaruhi fluktuasi spesies lain yang juga dipengaruhi oleh perikanan tersebut melalui mekanisme interaksi interspesifik seperti pemangsaan.
(4). Sebaiknya perikanan dengan sasaran banyak spesies tidak dapat seluruhnya dicegah karena akan selalu ada hasil samping tangkapan (by catch) dan orang jarang dapat meminimumkan hasil samping tersebut, kecuali pada perikanan purse seine dengan sarasan yang pasti. Karena pada banyak perikanan hasil samping tangkapan sangat sedikit yang dikembalikan ke laut dalam keadaan hidup, dan cara pengembalian hasil samping ini ke laut seharusnya dilakukan dengan baik.

Baca juga
Dampak Positif Ukuran Mata Jaring (Mesh Size) Yang Besar

Sebaiknya jumlah tangkapan yang diijinkan dari stok yang berfluktuasi dengan beberapa kelas-umur dalam bagian populasi yang dapat dieksploitasi disesuaikan dengan memperhatikan faktor-faktor berikut, yang telah dilaksanakan pada beberapa kegiatan perikanan : bila biomas spesies sasaran utama menurun tetapi masih di sekitar puncak kelimpahan, maka jumlah tangkapan yang diijinkan, yang ditentukan berdasarkan biomas rata-rata jangka panjang, dapat diteruskan, akan tetapi bila penurunan biomas terus berlangsung sampai dua tahun atau lebih sejak puncak kelimpahan penangkapan tercapai, maka jumlah tangkapan yang diijinkan harus diturunkan sampai sesuai dengan biomas stok pada tingkat fluktuasi terendah yang bisa dicapai. Lebih lanjut, bila biomas stok ada pada tingkat fluktuasi terendah maka jumlah tangkapan yang diijinkan adalah sedikit. Terakhir, bila biomas meningkat selama beberapa tahun terakhir, maka penangkapan intensif – yang melebihi jumlah tangkapan yang diijinkan bagi biomas rata-rata jangka panjang – seringkali masih mungkin dilakukan sampai dua tahun lagi.

Spesies sasaran yang berupa ikan pelagis kecil akan berespon tidak hanya terhadap penangkapan tetapi juga terhadap pengaruh biomas pemangsa. Jadi, besar biomas pemangsa harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah tangkapan yang diijinkan – bila biomas pemangsa tinggi, jumlah tangkapan yang diijinkan harus dikurangi, dan bila biomas pemangsa rendah maka penangkapan ikan pelagis tersebut bisa ditingkatkan. Sebagai tambahan, spesies ikan pelagis dan semi pelagis berespon terhadap kelainan faktor lingkungan, yang harus dipertimbangkan pula dalam menentukan jumlah tangkapan yang diijinkan.

Persaingan Antara Manusia (Nelayan), Mamalia dan Burung Memperebutkan Ikan

Manusia bersaing dengan binatang berdarah panas (burung dan mamalia) memperebutkan ikan, dan semuanya merupakan bagian ekosistem yang sama. Pada masa jaya perikanan anchoveta di Arus Peru, Schaeffer (1970) menduga bahwa hasil lestari maksimum (maximum sustainable yield) perikanan gabungan adalah sekitar 10 x 106 ton, yang pada saat itu terdiri dari 9,3 x 106 ton untuk manusia dan 0,7 x 106 ton untuk populasi lokal burung-burung guano (cormorant, bobby dan pelikan).

Menurut sejarahnya, produksi stok anchoveta dipengaruhi secara relatif oleh El Nino, gangguan periodik terhadap proses upwelling, dan akibatnya jumlah burung menjadi jatuh. Pada 1956 jumlahnya diperkirakan lebih dari 25 juta, tetapi El Nino 1975 mengurangi jumlah mereka menjadi sekitar 6 juta. Populasi burung-burung guano meningkat lagi sampai melebihi 15 juta pada 1961 – 1964, tetapi El Nino muncul lagi pada 1965, yang menurunkan jumlah mereka menjadi kurang dari 5 juta. Pada saat itu perikanan berkembang luas, dan antara 1965 – 1971 populasi burung tinggal kurang dari 5 juta. Idyll (1973) melaporkan bahwa El Nino pada 1972 terjadi lagi dan memperkirakan bahwa populasi burung-burung guano mungkin akan berkurang lebih lanjut atau bahkan lenyap.

Dampak yang lebih besar mamalia dan burung terhadap stok ikan adalah seperti yang didokumentasikan Laevestu dan Favorite (1978). Mereka menghitung bahwa konsumsi ikan hering oleh mamalia dan burung di bagian timur Laut Bering adalah 431 x 103 ton, jadi sepuluh kali lipat hasil tangkapan manusia (43 x 103 ton pada 1973). Bagaimanapun, hering bukanlah spesies yang paling dicari di bagian timur Laut Bering. Sejak tahuh 1960 terjadi peningkatan tajam hasil tangkapan ikan Pacific Polloc, Theragro chalcogramma. Pada 1973, setelah kehancuran perikanan anchoveta Peru, perikanan Pacific polloc menjadi perikanan spesies tunggal terbesar di dunia, dengan tangkapan hampir 4 x 106 ton terutama oleh orang-orang Jepang dan Rusia. Di antaranya, sebanyak 1,8 x 106 ton berasal dari Laut Bering timur, sisanya terutama berasal dari Pasifik barat laut, lebih dekat ke Jepang. Studi pemodelan oleh Laevestu dan Favorite (1976) menunjukkan bahwa karena ikan pollock dewasa bersifat kanibal, dan karena perikanan ini menangkap ikan dewasa, pengaruh penangkapan ikan tersebut adalah menurunkan mortalitas ikan juvenil yang sedang tumbuh cepat, sehingga meningkatkan produktivitas stok. Pollock besar merupakan pemangsa hering, sehingga model tadi meramalkan bahwa peningkatan tekanan penangkapan terhadap pollock akan menyebabkan peningkatan stok hering. Mereka berdua menduga bahwa anjing laut berbulu dan singa laut memakan paling tidak sebanyak Pollock yang ditangkap manusia. Alton dan Fredin (1974) memusatkan perhatian pada penurunan hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit effort) pada awal 1970-an dan menyarankan agar jumlah ikan yang boleh ditangkap dikurangi. Disepakati bahwa pengelolaan stok Laut Bering yang baik membutuhkan perhatian bukan hanya terhadap interaksi ikan multi spesies, tetapi juga terhadap pengelolaan secara bersama-sama stok burung dan mamalia laut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 20 Juni 2017

Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

Arsip Cofa No. A 074
donasi dg belanja di Toko One

Fotointesis Sebagai Dasar Budidaya Ikan

Menurut Boyd (1982), seperti halnya semua tipe produksi ternak, produksi ikan berasal dari radiasi matahari. Energi dalam radiasi matahari ditangkap sebagai energi kimia di dalam karbohidrat melalui reaksi kimia fotosintesis tumbuhan hijau. Fotosintesis merupakan dasar penting semua bahan organik dan semua energi yang tersedia secara biologis. Sudah tentu, tumbuhan memerlukan sejumlah zat hara anorganik di samping karbon dioksida dan air untuk pertumbuhan. Zat-zat hara anorganik ini meliputi nitrogen, fosfor, belerang, kalium, kalsium, magnesium, besi, mangan, tembaga dan kadang-kadang yang lainnya.

Sebagian karbohidrat yang dihasilkan dalam fotosintensis digunakan oleh tumbuhan untuk respirasi – suatu proses yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari fotosintesis. Dalam respirasi, karbohidrat dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air, dengan melepaskan energi yang bisa digunakan dalam reaksi-reaksi biokimia agar bisa berjalan. Sebagian besar sisa karbohidrat dari fotosintesis disintesis oleh tumbuhan menjadi berbagai senyawa organik : zat pati, selulosa, pektin, lignin, asam-asam amino, protein, asam nukleat, lemak, lilin, pigmen, minyak, vitamin, dll. Senyawa-senyawa ini dimanfaatkan untuk membangun jaringan tumbuhan atau untuk fungsi-fungsi penting lainnya.

Tumbuhan merupakan satu-satunya sumber energi dan bahan organik bagi binatang. Senyawa-senyawa berkarbon yang dibentuk oleh tumbuhan diperlukan oleh binatang sebagai sumber energi dan sebagai bahan biokimia penting bagi pertumbuhan dan pemeliharaan. Karena itu, fotosintesis dan asimilasi biokimia oleh tumbuhan berhubungan dengan produksi ternak. Lebih jauh, organisme mikroba yang tidak mampu berfotosintesis memanfaatkan material tumbuhan dan binatang mati sebagai makanan – mikroorganisme penyebab penyakit menggunakan jaringan hidup inang sebagai makanannya.

Oksigen yang dihasilkan oleh fotosintesis dimanfaatkan dalam respirasi untuk mengoksidasi bahan organik yang terikat dalam fotosintesis dan untuk melepaskan karbon dan energi yang tersimpan di dalam karbohidrat. Sebaliknya, karbon dioksida yang dilepaskan oleh respirasi bisa digunakan kembali sebagai pereaksi dalam fotosintesis. Sebagain energi yang dilepaskan dalam respirasi digunakan untuk menggerakkan fungsi-fungsi biologis, tetapi akhirnya semua energi yang dilepaskan oleh respirasi hilang ke lingkungan sebagai panas. Semua kehidupan tergantung pada input energi dari matahari dan pada siklus transformasi karbon dan oksigen. Pengelolaan terhadap transformasi ini untuk memproduksi bahan makanan manusia merupakan tujuan budidaya ikan dan pertanian secara umum.

Baca juga Daya Apung Fitoplankton dan Arti Pentingnya

Penyebab Tingginya Laju Fotosintesis Fitoplankton

Pada skala global, fotosintesis fitoplankton tahunan secara kasar sama dengan fotosintesis tahunan tumbuhan dan pepohonan di darat, padahal total biomas fitoplankton hanya 0,2 % dari total biomas tumbuhan darat. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Chisholm (1992) memberikan penjelasan untuk menjawab pertanyaan ini. Fitoplankton tumbuh sangat cepat. Mereka bisa menggandakan biomasnya dalam hitungan hari, sedangkan tumbuhan darat memerlukan waktu bulanan sampai tahunan.

Sebagai tambahan, Klochenko (1992) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa ada korelasi antara konsentrasi klorofil-a, laju fotosintesis dan penimbunan nitrit dalam media kultur alga hijau-biru dan alga hijau yang secara algologi murni.

Baca juga Distribusi, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Fitoplankton Laut

Variasi Konsentrasi Produk Fotosintesis Fitoplankton di Danau

Penggolongan hasil-hasil fotosintesis menjadi produk berberat molekul rendah, lipida, polisakarida dan protein pada fitoplankton alami di sebuah danau eutrofik daerah beriklim-sedang (Nantua, Perancis) telah diteliti oleh Feuillade et al. (1992) setiap bulan selama satu tahun, dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan dan spesies fitoplankton yang ada. Selain itu, pengaruh intensitas cahaya terhadap produk akhir fotosintesis juga telah dipelajari dengan menggunakan kultur Oscillatoria rubescens, spesies dominan di danau ini. Selama periode pengadukan, variasi konsentrasi produk fotosintesis menurut kedalaman adalah terutama disebabkan oleh intensitas cahaya. Selama periode stratifikasi termal ketika Oscillatoria rubescens berkumpul di bawah termoklin, proporsi relatif produk fotosintesis adalah tergantung pada komposisi spesies dan ketersediaan zat hara. Pada lapisan Oscillatoria rubescens, penggabungan karbon adalah rendah pada lipida dan sangat tinggi pada polisakarida.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :
Magic Nicer dicer asli Pemotong lengkap praktis

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) laju fotosintesis dalam kolam ikan berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton dan intensitas cahaya. Dengan asumsi bahwa intensitas cahaya sama, produksi oksigen terlarut oleh fotosintesis akan meningkat sejalan dengan kelimpahan fitoplankton. Pada kolam ikan, fitoplankton merupakan sumber utama kekeruhan sehingga penetrasi cahaya umumnya berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton. Karena itu, fitoplankton terbatas pada kedalaman-kedalaman yang lebih dangkal ketika kelimpahannya meningkat, sehingga terjadi stratifikasi vertikal yang kuat dalam hal laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen terlarut.

Produksi primer kotor dengan laju 1 – 4 mg/liter oksigen per jam telah diamati di lapisan teratas kolam ikan di Alabama, Amerika Serikat. Namun demikian, karena kelimpahan plankton, penetrasi cahaya sangat terbatas dan laju produktivitas primer menurun cepat sejalan dengan kedalaman. Titik kompensasi, yaitu kedalaman di mana jumlah oksigen yang dihasilkan fotosintesis tepat sama dengan jumlah oksigen yang dipakai untuk respirasi, berkisar dari 40 sampai 75 cm. Bila data ini dipadukan dengan kedalaman, maka produksi oksigen di kolam ikan berkisar dari 4 sampai 12 gram/m2 per hari. Untuk sebuah kolam dengan kedalaman rata-rata 1 meter, nilai-nilai ini bersesuaian dengan 4 – 12 mg/liter oksigen per hari.

Penelitian terhadap kolam-kolam ikan di Israel pada tahun 1962 menyimpulkan adanya stratifikasi vertikal yang tajam. Laju fotosintesis maksimum di kolam seperti ini berlangsung pada intensitas cahaya 1.500 – 8.000 kaki kandela (1 kaki kandela = 10,76 lux). Laju fotosintesis menurun cepat pada intensitas cahaya yang lebih rendah karena cahaya tidak memadai; fotosintesis sebesar 80 % dari maksimum pada 1.000 kaki kandela dan 50 % dari maksimum pada 500 kaki kandela. Intensitas cahaya di atas 8.000 kaki kandela menghambat fotosintesis; laju fotosintesis hanya 50 % dari maksimum pada 15.000 kaki kandela. Fotosintesis biasanya sekitar 80 – 90 % dari maksimum di dekat permukaan air, maksimum pada kedalaman 10 – 12 cm, dan sekitar 50 % dari maksimum pada kedalaman 30 cm. Berdasarkan hasil pengamatan ini disimpulkan bahwa ketika kolam ikan menjadi lebih kaya dengan zat hara, produktivitas primer meningkat pada lapisan-lapisan atas kolam tersebut, di mana kondisi cahaya menguntungkan, tetapi menurun pada lapisan-lapisan bawah, di mana penaungan oleh plankton menghambat masuknya cahaya ke lapisan air.

Pada hari yang cerah, laju fotosintesis meningkat cepat setelah matahari terbit dan tetap tinggi hingga matahari hampir terbenam, meskipun laju fotosintesis pada sore hari agak lebih rendah dibandingkan pada petang hari. Langit berawan menyebabkan penurunan laju fotosinesis.

Pola stratifikasi oksigen terlarut berdasarkan kedalaman mungkin berlawanan dengan yang dijelaskan di atas pada kolam di mana makrofita (vegetasi besar) tumbuh di bagian kolam yang dalam. Kolam ini memiliki sedikit fitoplankton sehingga laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi sering dijumpai pada hamparan gulma di bagian kolam yang dalam (Boyd, 1982).

Baca juga Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Variasi Fotosintesis Fitoplankton

Guilizzoni et al. (1991) melakukan penelitian selama setahun terhadap fitoplankton, produksi primer serta faktor-faktor fisika dan kimia yang berkaitan di sebuah danau eutrofik Lake Lugano di Italia. Berbeda dengan cara biasa menentukan karakteristik fitoplankton melalui berbagai struktur komunitas dan biomas, klorofil dan 12 karotenoid telah dianalisis dengan teknik kromatografi lapisan tipis. Ketergantungan fotosintesis pada banyak faktor telah dievaluasi secara statistik. Ditemukan bukti adanya adaptasi-matahari dan peranan karotenoid dalam perlindungan. Tampaknya, variasi aktivitas dan efisiensi fotosintesis terutama tergantung pada rezim cahaya beberapa hari sebelum pengamatan serta pada kandungan selular klorofil dan karotenoid tunggal, yang konsentrasinya tergantung pada faktor-faktor fisik (terutama cahaya) dan ukuran sel rata-rata serta pada kumpulan spesies.

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis Fitoplankton

Moss (1980) menyatakan bahwa fotosintesis maksimum mungkin terjadi di lapisan permukaan air, tetapi pada hari-hari yang cerah biasanya fotosintesis maksimum ini terjadi pada lapisan yang lebih dalam. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh populasi fitoplankton di lapisan permukaan lebih sedikit daripada lapisan di bawahnya, karena hal ini juga terjadi bila konsentrasi fitoplankton di dalam semua lapisan air sama. Sinar ultraviolet, meskipun dengan cepat diserap oleh air dan senyawa organik terlarut, namun masih ada di lapisan permukaan air dalam jumlah yang cukup untuk menghambat laju fotosintesis.

Penggabungan nilai fotosintesis-kedalaman memberikan nilai produksi primer dalam kolom air. Nilainya tergantung pada beberapa faktor termasuk metode pengukuran yang digunakan. Fotosintesis kotor dan produksi akhir material sel baru merupakan proses yang terpisah, terkait bersama-sama, tetapi oleh berbagai faktor. Intensitas cahaya yang tinggi mungkin mendorong cepatnya pembentukan produk fotosintesis – ATP dan NADPH2 - serta besarnya produksi oksigen tetapi komponen sel yang penting (misal PO4, NO3) hanya sedikit dibentuk sehingga biomas baru tidak dapat dihasilkan. Sel berespirasi cepat tetapi pertumbuhan sel atau populasi hampir tidak terjadi. Metode C-14 dalam kasus ini mungkin memberikan nilai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah daripada bila laju fotosintesis ini diukur dengan metode oksigen. Bila intensitas cahaya tinggi dan tidak ada zat hara yang menjadi faktor pembatas maka kedua metode tadi akan menunjukkan laju fotosintesis yang tinggi.

Menurut Moss (1980) ada dua faktor yang membatasi aktivitas fitoplankton. Faktor-faktor pembatas-laju mempengaruhi laju fotosintesis kotor sedangkan faktor-faktor pembatas-hasil menentukan batas maksimal potensi produksi biomas. Karena itu mereka terutama mempengaruhi produksi neto fotosintesis.

Cahaya adalah faktor pembatas-laju yang paling umum. Intensitas cahaya pada lapisan air makin dalam makin berkurang secara eksponensial di bawah tingkat fotosintesis maksimum. Hal ini menyebabkan penyerapan cahaya juga berkurang secara eksponensial di dalam kolom air. Cahaya mungkin menjadi faktor pembatas-laju maupun pembatas-hasil pada lapisan air di dekat permukaan pada danau yang sangat subur di mana begitu banyak sel-sel alga dibentuk sehingga sel alga menaungi sel di bawahnya. Pada danau dan sungai dataran rendah yang keruh akibat banyaknya materi aloktonus (yakni, dari luar sistem), cahaya mungkin juga menjadi faktor pembatas-hasil (Moss, 1980).

Baca juga Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Zat Hara Sebagai Faktor Pembatas Fotosintesis

Moss (1980) menyatakan bahwa faktor pembatas-hasil fotosintesis yang paling umum adalah faktor kimia. Berbagai jenis zat hara dibutuhkan oleh fitoplankton bagi pertumbuhannya tetapi beberapa zat hara ini terdapat dalam jumlah terbatas. Ada dua cara utama untuk mengetahui faktor pembatas potensial. Cara pertama adalah mengukur laju penyerapan karbon-14 dalam sampel plankton di mana ke dalam sampel ini dimasukkan berbagai jenis zat hara (nutrien) yang berpotensi sebagai faktor pembatas, bersama-sama dengan senyawa NaH14CO3. Peningkatan penyerapan karbon-14 secara tak wajar, yang diamati selama beberapa jam, berarti menunjukkan bahwa zat hara yang mendorong peningkatan ini adalah faktor pembatas. Banyak zat hara yang menyebabkan peningkatan laju penyerapan karbon-14, beberapa di antaranya diitemukan di danau dalam jumlah besar namun tidak bersifat racun. Penafsiran uji ini dengan demikian menjadi sulit. Untuk itu percobaan harus dilakukan lebih lama lagi agar dapat ditentukan apakah suatu zat hara memang dapat mendorong peningkatan produksi biomas fitoplankton ataukah tidak. Dengan cara ini jenis-jenis zat hara pembatas menjadi lebih sedikit. Fosfat, nitrat atau amonium, dan besi serta mangan, seringkali menjadi faktor pembatas di danau beriklim sedang, dan hasil ini diperkuat oleh percobaan di mana seluruh atau sebagian wilayah danau diberi pupuk. Di danau-danau Afrika tropis alami, senyawa nitrogen tampaknya lebih sering menjadi pembatas daripada fosfat. Hal ini mungkin menunjukkan melimpahnya batu-batu vulkanik yang kaya akan fosfat di daerah tangkapan-hujan (catchment area) di banyak danau Afrika, atau mungkin tingginya laju denitrifikasi di tanah daerah tangkapan-hujan danau-danau tropis tersebut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...