Senin, 27 Februari 2012

Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Arsip Cofa No. B 007


Kemampuan Ikan Untuk Beradaptasi Terhadap Perubahan Salinitas

Perairan tawar merupakan medium yang sangat encer dengan konsentrasi garam (0,001 – 0,005 gram mol per liter (M)) jauh di bawah konsentrasi garam darah ikan-ikan air tawar (0,2 – 0,3 M). Air dengan demikian cenderung memasuki tubuh ikan secara osmotik dan garam hilang melalui difusi ke luar tubuh. Meski permukaan tubuhnya ditutupi sisik dan lendir hingga hampir secara total tidak dapat ditembus air, namun pemasukan air dan kehilangan garam dapat terjadi melalui membran insang yang tipis. Kondisi yang sebaliknya terjadi pada ikan laut. Karena memiliki konsentrasi garam darah yang jauh lebih rendah (0,3 – 0,4 M) daripada air laut di sekelilingnya (sekitar 1 M), mereka cenderung kehilangan air dan kemasukan garam (Hickman and Hickman, 1974).

Hickman and Hickman (1974) menyatakan bahwa kebanyakan ikan bertulang sejati terbatas pada habitat air tawar atau air laut. Bagaimanapun, ada kira-kira 10% dari semua teleostei yang dapat berpindah-pindah dengan mudah di antara kedua habitat tersebut. Contohnya adalah ikan euryhalin (bahasa Latin : eury, lebar + hals, garam), yang pastilah memiliki mekanisme pengaturan osmosis yang sangat adaptif, seperti salmon, steelhead trout, banyak jenis ikan sebelah dan sculpin, killifish, stickleback dan sidat. Ikan yang hanya dapat mentolerir kisaran kadar garam yang sangat sempit disebut stenohalin (Latin : steno, sempit + hals, garam). Kelompok terakhir ini mencakup sebagian besar ikan air tawar dan ikan laut .

Menurut Black (1957) kemampuan ikan air tawar stenohalin untuk bertahan hidup dalam larutan garam tergantung pada histologi insang, luas permukaan insang, laju konsumsi oksigen, toleransi jaringan terhadap garam, dan pengendalian permeabilitas. Pengendalian permeabilitas bisa disebabkan oleh reaksi neurosekresi (hormon) terhadap lingkungan baru, dan bisa juga disebabkan oleh efek langsung terhadap sel-sel permukaan.

Beberapa spesies ikan air tawar peka terhadap perubahan salinitas yang mendadak. Ikan yang baru menetas bisa terbunuh oleh ketidak-seimbangan osmotik bila ia tiba-tiba dipindahkan dari salinitas 1.000 mg/liter ke 50 mg/liter. Ikan dewasa biasanya lebih toleran terhadap perubahan salinitas (Boyd, 1982).

Baca juga
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Adaptasi Terhadap Perubahan Salinitas Pada Ikan Teleostei

Black (1957) menyatakan bahwa ikan eurihalin dapat mentolerir kisaran salinitas di perairan . Meskipun beberapa spesies seperti ini tampaknya tidak mempunyai alasan dalam pergerakannya, spesies lain melakukan migrasi pemijahan singkat, biasanya ke perairan tawar atau payau. Berdasarkan hasil pengamatannya, Gunter pada tahun 1942 menyimpulkan bahwa untuk setiap ikan air tawar yang ditangkap di laut di Amerika Utara, ada sembilan spesies ikan laut yang ditangkap di perairan tawar. Tampaknya lebih mudah bagi ikan untuk menyesuaikan dirinya dengan kelebihan air daripada menyesuaikan diri dengan kelebihan garam.

Dua genus ikan yang paling sering diteliti dalam rangka mempelajari anatomi dan fisiologi ikan eurihain adalah Gasterosteus dan Fundulus. Hal yang menarik dari kedua genus ini (dan juga pada ikan Pleuronectes) adalah bahwa setiap spesies berbeda dalam hal kemampuannya beradaptasi. Fundulus diaphanus dan Gasterosteus (atau Pygosteus) pungitius kurang mampu mentolerir air laut dibandingkan Fundulus heteroclitus dan Gasterosteus aculeatus.

Pada semua kasus di mana pengukuran dilakukan terhadap ikan yang berhasil dipindahkan ke lingkungan yang lebih pekat, akan terjadi secara sementara kehilangan berat (air) dan peningkatan konsentrasi garam. Tetapi penyesuaian fisiologis yang diperlukan berlangsung dalam waktu 48 jam dan berat serta konsentrasi kembali normal. Bila, sebaliknya ikan bermigrasi dari laut ke perairan tawar maka mereka akan memperoleh air dan kehilangan garam serta harus menyesuaikan diri dengan peningkatan aliran urin dan penahanan garam di dalam tubuh.

Struktur yang memungkinkan penyesuaian terhadap perubahan salinitas bisa didaftar sebagai berikut :

(1) Permeabilitas permukaan tubuh. Pada migrasi yang berhasil ke atau dari lingkungan yang lebih pekat, rendahnya permeabilitas permukaan tubuh terhadap air (dan garam) merupakan modal yang besar. Sebaliknya, permukaan yang permeabel seperti insang bisa menjadi modal bila membantu penyesuaian terhadap medium baru. Sebagai contoh, individu kecil dari suatu spesies (dengan kepala lebih panjang daripada panjang total) bertahan hidup lebih baik selama pengenceran daripada individu berukuran besar, karena permukaan insang yang lebih luas membantu ikan selama terjadinya stres pernafasan sementara yang disebabkan oleh pengenceran.

(2) Aktivitas ginjal. Ikan yang memasuki perairan tawar harus meningkatkan filtrat glomerular dan aliran urin untuk membuang air yang masuk melintasi permukaan tubuh. Penyerapan-kembali garam oleh tubula ginjal penting di perairan tawar. Ketika memasuki laut, ekskresi urin secara otomatis berkurang karena cairan tubuh menjadi lebih pekat akibat kehilangan air secara osmotik. Ada tidaknya “distal convoluted tubule (tubula menggulung distal)” pada ikan eurihalin dianggap sebagai petunjuk asal medium spesies baru, tetapi tampaknya tidak menjadi faktor pembatas dalam penyesuaian. Bahkan glomerulus tampaknya tidak penting bagi ikan di perairan tawar, karena ikan piperfish dan toadfish aglomerular (tanpa glomerulus) ditemukan di estuaria dan sungai.

(3) Insang. Penelitian yang menarik dan berguna telah dilakukan terhadap sitologi insang di laboratorium. Pada Fundulus tipe sel yang sama bisa bertanggung jawab atas ekskresi dan penyerapan klorida dalam perairan laut dan tawar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel klorida ikan Fundulus heteroclitus beradaptasi lebih cepat terhadap air tawar (4 jam) daripada terhadap air laut (7 – 9 jam). Sel klorida digambarkan sebagai “sel asidofilik berbentuk tiang yang ditemukan dalam filamen insang dan terpusat pada sisi filamen yang dipasok oleh darah aferen”. Ketika mengekskresi klorida, sebuah gelembung eksretori muncul pada ujung bebas sel ini. Telah ditunjukkan bahwa aktivitas sel ini ditentukan oleh konsentrasi lingkungan internal. Bukti untuk fungsi sel di perairan tawar didasarkan pada peningkatan aktivitas fosfatase sel ini. Hasil serupa akan diperoleh ketika mengamati sel-sel insang ikan sidat (Anguiila rostrata). Bagaimanapun, celah seluler pengekskresi klorida pada sel insang sidat tidak hilang ketika ikan ini dipindah ke air laut. Perubahan sitologis dari laut ke perairan tawar terjadi dalam waktu 15 jam pada sidat.

Pusat pengendalian perubahan aktivitas struktur ini dan pengendalian tingkah laku, seperti aktivitas minum air laut, tetapi tidak minum air tawar, belum dapat ditentukan. Pengendalian oleh saraf diduga terlibat, dan aktivitas hormonal telah diteliti. Tiroid aktif (seperti selama migrasi dan pemijahan) mengganggu pengaturan osmotik pada ikan stickleback dan sidat. Sidat dewasa yang telah dibuang hipofisanya dapat mentolerir air laut dan air tawar dengan sama baiknya. Fundulus heteroclitus, sebaliknya, tidak dapat bertahan hidup di dalam air tawar atau air laut encer setelah hipofisektomi (pembuangan hipofisa). Pengamatan terhadap ikan ini menunjukkan terjadinya pembentukan batu ginjal. Telah ditunjukkan bahwa hipofisektomi pada ikan Fundulus heteroclitus menyebabkan atrofi (kondisi jaringan yang tak tumbuh normal) pada sel lendir insang tetapi tidak mempengaruhi sel-sel klorida.

Di alam, perubahan salinitas biasanya perlahan dan ikan bisa mengatur kecepatan perpindahan. Pada kebanyakan prosedur percobaan, bagaimanapun, ikan terkena stres akibat tajamnya perubahan salinitas, penanganan, dll.

Pengaruh Pemindahan Dari Perairan Tawar Ke Laut Terhadap Laju Makan, Pertumbuhan dan Osmoregulasi Ikan

Sebuah studi telah dilakukan oleh Arnesen et al. (1993) dengan tujuan menentukan perubahan musiman toleransi terhadap air laut dan pertumbuhan ikan anadromus Arctic charr (Salvelinus alpinus L.) yang dipelihara pada suhu yang sama (8°C) selama musim dingin dan musim panas. Ikan charr (panjang 20–27 cm), yang sebelumnya dipelihara di air tawar dengan fotoperiod alami, dipindahkan secara langsung (“pindah langsung”, PL) dari air tawar ke air laut (35 ppt), dari air tawar ke air payau (20 ppt), atau diadaptasikan secara bertahap (“adaptasi bertahap”, AB) ke air laut selama periode 10 hari. Ikan kontrol dipelihara dalam air tawar. Laju makan dan kemampuan osmoregulasi dipantau pada ketiga kesempatan ini selama 59 hari. Dua percobaan telah dilakukan, satu selama musim dingin (Desember – Januari) dan yang lain selama musim panas (Juni – Juli).

Pada kedua percobaan ini Arnesen et al. (1993) mengamati bahwa kematian ikan adalah rendah. Osmolalitas plasma yang dilaporkan pada ikan yang dipindahkan ke air laut ada dalam kisaran normal, tetapi osmolalitas pada hari ke-10, secara nyata lebih rendah pada musim panas (313 mOsm/kg (PL), 328 mOsm/kg (AB)) dibandingkan pada musim dingin (323 mOsm/kg (PL), 352 mOsm/kg (AB)). Pada musim dingin, laju makan dan pertumbuhan adalah tinggi pada ikan yang dipelihara di air tawar dan air payau, tetapi ikan charr yang dipindahkan langsung ke air laut laju makannya rendah dan bobot badannya menyusut. Ikan yang diadaptasikan secara bertahap terhadap air laut menempati posisi pertengahan. Selama musim panas, perbedaan laju makan yang terlihat adalah kecil dan semua ikan memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.

Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan Arctic charr menunjukkan perubahan musiman dalam hal laju makan dan pertumbuhan yang sejajar dengan perubahan musiman kapasitas hipoosmoregulasi. Kemampuan untuk bertahan hidup dan melakukan hipoosmoregulasi dalam lingkungan air laut-penuh, bagaimanapun, tampaknya tidak bisa menjadi indikator yang baik bagi keberhasilan adaptasi terhadap air laut dalam hubungannya dengan kemampuan mencapai laju makan dan pertumbuhan yang tinggi. Selama musim dingin, pemindahan ke air laut secara bertahap tampaknya bisa memperbaiki laju makan dan pertumbuhan bila dibandingkan dengan pemindahan secara langsung (Arnesen et al., 1993).

Baca juga
Pengaruh Salinitas Terhadap Udang Windu (Penaeus monodon)

Kemampuan Ikan-Ikan Laut Untuk Memasuki Perairan Tawar

Beberapa peneliti (lihat Black, 1957) mengamati ikan-ikan yang dipindahkan ke medium yang berbeda salinitasnya. Pemindahan eksperimental ikan elasmobranchii laut ke perairan tawar jarang berhasil, meskipun mereka kadang-kadang ditemukan secara alami di sungai-sungai berair tawar. Beberapa spesies bertahan hidup selama jangka waku yang tak dapat ditentukan di dalam air laut encer, dan menunjukkan peningkatan tajam aliran urin. Ikan Pleuronectes (=Platichthys) flesus dapat beradaptasi terhadap air laut encer lebih baik dibandingkan Pleuronectes platessa. Dalam hal ini P. flesus berhenti minum, meningkatkan ekskresi urin dan menahan garam di dalam tubuh. P. flesus dapat menyerap ion-ion dari air tawar dan hanya kehilangan sejumlah kecil garam melalui kulitnya.

Dua spesies ikan aglomerular (tidak memiliki glomerulus) diketahui sering memasuki perairan pasang atau perairan tawar. Hasil-hasil pengamatan sebagaimana yang disebutkan oleh Black (1957) menunjukkan bahwa toadfish (Opsanus tau) memasuki Teluk Chesapeake sedangkan sejenis ikan pipa air tawar, Microphis boaja, memijah di sungai-sungai tropis. Kedua ikan ini tampaknya dapat melakukan penyesuaian osmotik tanpa memerlukan glomerulus.

Black (1957) melaporkan penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa keberadaan garam-garam kalsium dalam air tawar akan meningkatkan secara tajam kelangsungan hidup binatang laut dan eurihalin di dalam medium ini. Hal ini disebabkan kalsium menurunkan permeabilitas sel, baik terhadap garam maupun air. Konsentrasi garam yang lebih tinggi daripada air laut bersifat letal bagi ikan teleostei laut bila kapasitas insang untuk mensekresi garam terlampaui dan garam tertimbun di dalam jaringan ini.

Baca juga
Komponen Kimia Air Laut

Aklimasi Eksperimental Terhadap Air Tawar Pada Ikan Belanak

Chervinski (1975) mempelajari daya adaptasi ikan belanak abu-abu Liza aurata terhadap berbagai konsentrasi garam. Ikan muda belanak abu-abu (panjang total 20 – 40 mm) dikenai perubahan salinitas, secara mendadak dan bertahap, dari air laut ke air tawar. Pada ikan ini, kematian tidak terjadi akibat penurunan salinitas, bahkan pada saat perubahan mendadak dari 100% air laut (salinitas 39 ppt) ke 10% air laut (salinitas 3,9 ppt). Namun, semua ikan mati akibat penurunan salinitas yang mendadak dari 100% air laut ke 100% air tawar (salinitas 0,4 ppt). Dengan penurunan salinitas perlahan-lahan hingga mencapai 10% air tawar (salinitas 0,4 ppt) semua ikan bertahan hidup. Pengamatan menunjukkan bahwa Ikan Liza aurata muda (70 - 80 mm) mengalami pertumbuhan di kolam air tawar.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Stres dan Mortalitas Ikan Laut Akibat Pemindahan Dari Air Laut Ke Air Tawar

Tiga puluh lima ikan American shad (Alosa sapidissima) telah dipindahkan dengan cepat (2,5 jam) dari air asin ke air tawar. Perubahan konsentrasi komponen darah yang aktif secara osmotik dan mortalitas ikan telah diamati selama dan setelah pemindahan ini. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan 20 ikan shad yang dipelihara dalam air asin pada kondisi yang sama dan dengan 44 ikan shad yang baru ditangkap dari laut dan dari perairan tawar (40 km dari pertemuan air laut – air tawar). Konsentrasi natrium dan klorida dalam darah kelompok ikan yang dipindah menurun tajam selama dan setelah pemindahan. Konsentrasi kalsium, glukosa dan asam laktat meningkat, sedangkan konsentrasi kalium dan magnesium tetap stabil. Ikan shad yang dipindah banyak yang mati mulai jam ke-5 setelah salinitas mulai berkurang. Tidak ada yang mati pada kelompok ikan yang dipelihara di air asin. Disimpulkan bahwa perilaku renang berbelok-belok yang ditunjukkan ikan shad dewasa di daerah pertemuan air asin – air tawar selama migrasi musim semi di Sungai Connecticut merupakan respon perilaku untuk memperlambat peralihan dari lingkungan air asin ke air tawar, sehingga bisa meminimkan stres fisiologis dan/atau untuk memungkinkan pemulihan sepenuhnya dari stres ini sebelum melanjutkan migrasi ke hulu sungai (Leggett and O'Boyule, 1976).

Pengaruh Perubahan Salinitas Terhadap Osmoregulasi dan Morfologi Sel Klorida Pada Juvenil Ikan Kakap

Pengaruh pemindahan-cepat juvenil ikan Australian snapper, Pagrus auratus, dari lingkungan air laut (30‰) ke lingkungan hiperosmotik pekat (45‰) dan hiperosmotik encer (15‰) terhadap osmolalitas serum, konsentrasi Na+, K+, Cl- dalam serum, hematokrit darah dan morfologi sel klorida insang telah diamati oleh Fielder et al. (2007) selama 168 jam setelah pemindahan tersebut. Osmolallitas serum, konsentrasi Na+, K+, Cl- meningkat setelah 24 jam di dalam lingkungan bersalinitas 45‰. Sebaliknya, setelah 24 jam di dalam media bersalinitas 15‰, konsentrasi K+ tidak berubah tetapi osmolalitas serum, konsentrasi Na+ dan Cl- berkurang. Perubahan kimia serum bersifat sementara dan kembali ke nilai-nilai awal setelah 168 jam di dalam lingkungan bersalinitas 45‰ dan 15‰. Pemindahan dari lingkungan bersalinitas 30‰ ke 45‰ dan 15‰ tidak mempengaruhi hematokrit darah (hematocrit = perbandingan volume sel darah merah dengan volume total darah).

Sel klorida insang ditemukan baik pada epitelia filamen maupun epitelia lamelar pada semua perlakuan salinitas. Identifikasi sel klorida dilakukan dengan teknik pewarnaan imunositokimia dengan menggunakan antiserum khusus untuk Na+, K+-ATPase. Pada media bersalinitas 45‰, jumlah sel klorida filamen dan lamelar tidak berubah, tetapi sel klorida filamen lebih melimpah daripada sel klorida lamelar. Sebaliknya, sel klorida filamen meningkat ukurannya setelah 72 jam dan pada jam ke-168 setelah pemindahan dari 30‰ ukurannya menjadi 1,4 kali lebih besar daripada ukuran awal. Pada media bersalinitas 15‰, jumlah sel klorida filamen serta ukuran sel klorida filamen maupun sel klorida lamelar berkurang setelah 72 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan snapper dapat berosmoregulasi pada kisaran salinitas yang lebar dan membuktikan bahwa baik sel klorida filamen maupun sel klorida lamelar bertangung jawab atas ekskresi garam yang berlebihan pada lingkungan hiperosmotik. Kemampuan ikan snapper untuk beradaptasi dengan cepat dan mempertahankan homeostasis (keseimbangan) dalam kisaran salinitas yang lebar mendukung fakta bahwa ikan snapper merupakan spesies yang cocok untuk budidaya kolam berbasis-darat, di mana salinitas dapat berfluktuasi dengan cepat (Fielder et al., 2007).

Baca juga
Perubahan Kadar Asam Amino Akibat Perubahan Salinitas Lingkungan

Adaptasi Terhadap Salinitas Selama Migrasi Pada Ikan Salmon

Smith (1982) menyatakan bahwa perbedaan utama antara “smolting migration” (migrasi atau ruaya ke arah hilir sungai yang bersamaan dengan perkembangan larva salmon menjadi smolt) dan migrasi pemijahan adalah bahwa migrasi pemijahan mungkin merupakan akhir bagi individu banyak spesies. Sedangkan migrasi ke hilir menjamin kelangsungan hidup kebanyakan individu. Respon terhadap stres karena migrasi ke hilir tidak seberapa besar dibandingkan dengan arti penting kelangsungan hidup ikan, sebaliknya bila ruaya ini tidak dilakukan maka tidak akan ada ruaya pemijahan. Karena ikan raibow trout memerlukan tiga atau empat hari untuk beradaptasi di dalam salinitas yang perlahan-pelahan meningkat sebelum mereka dapat bertahan hidup di dalam air laut murni, maka diduga bahwa ikan salmonidae peruaya memerlukan periode peralihan. Hal ini tidak terjadi di alam, kecuali bila estuarianya memanjang sehingga perubahan salinitas berlangsung secara perlahan-lahan. Ini bukanlah persyaratan fisiologis. Perubahan salinitas secara mendadak tidak menyebabkan kematian ikan yang siap menghadapi perubahan seperti ini.

Lebih lanjut, Smith (1982) menambahkan bahwa perilaku menyukai air laut (yang disebabkan oleh hormon tiroksin) menjaga ikan agar tetap menjalankan pola osmoregulai air laut dan mencegah ikan untuk kembali ke perairan tawar apabila ada perairan tawar di estuaria. Arti penting kesukaan terhadap air laut ini terlihat di dalam laboratorium : toleransi terhadap air tawar yang ditunjukkan oleh smolt ikan chinook salmon di dalam air laut baru menghilang hampir sebulan sesudah mereka memasuki laut. Mereka masih bertahan hidup bila dikembalikan ke air tawar murni 8 sampai 10 hari sesudah hidup di dalam air laut. Mereka memiliki kemampuan penuh untuk bertahan hidup di dalam air tawar, bila mereka menghendakinya. Pada kasus lain dalam pengamatan laboratorium, smolt ikan coho salmon menghabiskan waktu hampir sebulan di dalam air laut dan kemudian bertahan hidup dengan baik ketika dikembalikan ke air tawar. Sebaliknya, seekor ikan coho dewasa yang sudah ada di dalam air tawar selama tidak lebih dari tiga hari dan kemudian dikembalikan ke air laut ternyata mati dalam waktu semalam, mungkin akibat dehidrasi. Jadi smolt ikan salmon tampaknya jauh lebih tahan dan lebih kurang menderita stres selama migrasinya dibandingkan ikan dewasa. (Catatan : smolt adalah ikan trout atau salmon muda yang bermigrasi ke laut untuk pertama kalinya).

Pengaturan Daya Apung Pada Ikan Stickleback Sebagai Respon Terhadap Perubahan Salinitas Air

Gee dan Holst (1992) melaporkan bahwa ikan stickleback Culaea inconstans dan Pungitius pungitius mempertahankan keseimbangan daya apung dalam percobaan laboratorium dengan mengubah volume gelembung renang bila dimasukkan ke dalam air bersalinitas 0 sampai 22,5 ppt. Dengan membiarkan ikan Culaea inconstans di dalam larutan Percoll yang densitas airnya bisa dinaikkan tetapi tekanan osmotiknya sama seperti air tawar, kedua peneliti tersebut membuktikan bahwa spesies ini menyesuaikan daya apungnya sebagai respon terhadap perubahan densitas air. Bila Culaea inconstans dipindahkan secara mendadak dari air tawar ke air payau (salinitas 10 ppt) maka kesimbangan daya apungnya tidak tercapai hingga 96 jam kemudian. Selama periode penyesuaian gelembung renang ini, gaya hidrodinamik dimanfaatkan untuk memberikan daya angkat yang dibutuhkan. Kedua spesies ikan ini menghadapi perubahan salinitas di alam, dan kemampuan untuk berespon terhadap perubahan seperti ini sangat penting bagi keberhasilan adaptasi.

Kerusakan Patologis Jaringan Otot Ikan Akibat Gangguan Keseimbangan Garam-Air

Kuz’mina et al. (1992) melaporkan kerusakan patologis jaringan otot pada ikan sturgeon Rusia (Acipenser gueldenstaedti), sterlet (Acipenser ruthenus) dan stellata sturgeon (Acipenser stellatus) disertai oleh gangguan pertukaran air dan elektrolit di dalam jaringan otot itu : penurunan kandungan air total, peningkatan proporsi cairan ekstraselular dan perubahan kandungan elektrolit. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan sifat-sifat materi interseluler. Serum darah menunjukkan peningkatan yang jelas dalam hal konsetrasi kalsium yang diyakini merupakan reaksi kompensasi ikan ini untuk menormalkan fungsi jaringan otot dan jaringan lainnya.

Aklimasi Ikan Laut Terhadap Salinitas Rendah

Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa di antara ikan-ikan laut bertulang keras, seperti halnya ikan air tawar bertulang keras, ada beberapa spesies yang lebih bersifat – dan yang lainnya kurang bersifat – stenohalin. Penyesuaian terhadap konsentrasi garam yang lebih tinggi dan lebih rendah bisa dilakukan. Ikan belodok (Periophthalmus) sering ditemukan di dalam genangan air pasang surut terisolasi bersalinitas 4,5 persen; dan banyak spesies ikan laut bisa perlahan-lahan menyesuaikan diri untuk hidup di perairan payau bahkan di perairan yang hampir tawar. Pemindahan langsung dari salinitas 3,5 persen ke 0 persen sering berbahaya bahkan bagi spesies yang toleran misalnya ikan bandeng (Chanos chanos). Satu faktor penting pada ikan laut dalam penyesuaian terhadap salinitas yang diturunkan adalah keberadaan ion-ion kalsium berkonsentrasi tinggi. Karena kalsium mengurangi permeabilitas sel terhadap garam dan air, maka ikan Halichoeres bivittatus, seperti halnya ikan wrasse penghuni terumbu karang (famili labridae), bisa tetap sehat dan makan di dalam campuran larutan kurang dari 1/10 air asin dan 9/10 air tawar yang disaring melalui pasir karang berkapur.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda