Rabu, 10 Oktober 2012

Pengaruh Salinitas Terhadap Udang Windu (Penaeus monodon)

Arsip Cofa No. C 089

Pengaruh Interaksi Salinitas dan pH Terhadap Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan dan Osmoregulasi Udang Windu

Allan dan Maguire (1992) melaporkan bahwa tingkat-tingkat kritis pH rendah untuk udang windu muda Penaeus monodon (bobot rata-rata 4,2 – 5,5 gram) telah ditentukan dengan menggunakan bioesei statik dengan media berupa air laut yang diasamkan dengan asam hidroklorat (HCl). Nilai pH letal (LC50 96 jam) adalah 3,7 (batas-batas selang kepercayaan 95 % : 3,4 dan 4,1) pada salinitas 32 ppt. Nilai pH minimum yang dapat diterima, yang didefinisikan sebagai nilai pH yang menurunkan pertumbuhan sebanyak 5 % selama 23 hari, diduga adalah 5,9 pada salinitas 30 ppt. Dibandingkan dengan pH 7,8, udang yang dalam jangka panjang (23 hari) dikenai pH rendah (4,9) pada salinitas 30 ppt mengalami penurunan secara nyata kadar bahan kering (P < 0,001) dan peningkatan frekuensi ganti kulit/molting (P < 0,05). Untuk udang yang dipelihara dalam berbagai kombinasi pH (5,5 atau 7,8) dan salinitas (15 atau 30 ppt), pertumbuhan dihambat oleh pH rendah (P < 0,001) tetapi tidak dipengaruhi oleh salinitas (P > 0,05), sedangkan interaksi pH x salinitas adalah nyata (P < 0,05).

Dalam sebuah percobaan faktorial terpisah dengan udang yang dipelihara pada berbagai kombinasi pH (5,6 atau 7,8) dan salinitas (15 atau 30 ppt) osmoregulasi hemolimfa menjadi lebih buruk pada salinitas tinggi (P < 0,001) dan pH rendah (P < 0,01), dibandingkan dengan pada salinitas rendah dan pH tinggi, namun tidak ada interaksi yang nyata (P > 0,05). Pendugaan nilai-nilai pH rendah letal dan minimum yang dapat diterima akan membantu petani udang dalam mengelola kolam asam.

Baca juga
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Pengaruh Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Udang Penaeus

Gaudy dan Sloane (1981) meneliti pengaruh salinitas terhadap konsumsi oksigen pada udang budidaya Penaeus monodon Fabricius dan P. stylirostris Stimpson tahap post larva (32 dan 35 hari setelah metamorfosis, berturut-turut). Pada kedua spesies, tidak ada perbedaan antara individu yang tidak diaklimasikan dan yang diaklimasikan-sepenuhnya. Laju metabolik tidak dipengaruhi oleh variasi salinitas, tetapi Penaeus stylirostris menunjukkan kecenderungan (tidak nyata pada P < 0,05) untuk meningkatkan respirasi pada salinitas rendah.

Baca juga
Perubahan Kadar Asam Amino Akiubat Perubahan Salinitas Lingkungan

Pengaruh Salinitas Terhadap Konsentrasi Kalsium Darah dan Ganti Kulit Pada Udang Windu

Parado-Estepa et al. (1989) melaporkan bahwa udang windu Penaeus monodon telah diperoleh dari kolam di Iloilo, Filipina, pada tahun 1984 dan 1985 kemudian dipelihara dalam salinitas 8 sampai 44 permil. Total konsentrasi kalsium hemolimfa sangat dipengaruhi oleh tahap ganti kulit (molting) dan kurang terpengaruh oleh salinitas. Peningkatan secara tajam konsentrasi kalsium hemolimfa terjadi pada 3 sampai 6 jam setelah ganti kulit, diikuti oleh penurunan yang sama tajamnya pada 6 jam setelah ganti kulit sampai fase intermolting. Respon dua-fase ini terbatas pada udang yang dipelihara dalam salinitas 8, 20 dan 32 permil; dalam salinitas 44 permil, konsentrasi kalsium hemolimfa tetap sama di sepanjang periode sampling. Puncak konsentrasi kalsium total adalah lebih tinggi pada salinitas rendah (8 dan 20 permil) dibandingkan pada salinitas tinggi. Salinitas tidak berpengaruh terhadap lama siklus ganti kulit juga tidak terhadap waktu terjadinya ganti kulit. Hampir setengah kejadian ganti kulit berlangsung antara pukul 18.01 dan 0.00, dan sepertiga kejadian ganti kulit berlangsung antara pukul 0.01 dan 06.00.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga
Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan Ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Osmoregulasi Pada Udang Windu Selama Ganti Kulit Dalam Berbagai Salinitas

Ferraris et al. (1987) mempelajari pengaruh ganti kulit (molting) terhadap osmotik dan konsentrasi klorida dalam darah udang windu Penaeus monodon Fabricius (20 ± 3 g) pada berbagai salinitas. Udang diperoleh dari kolam di Iloilo, Filipina, pada tahun 1984. Mereka ditebarkan dalam salinitas 8, 20, 32 dan 44 permil, selanjutnya hemolimfa udang disampling selama ganti kulit (waktu 0) dan kemudian 0.125, 0.25, 0.5, 1, 2, 4, 6, 10 dan 14 hari setelah ganti kulit. Pada udang selama dan segera setelah ganti kulit, osmolalitasnya cenderung sesuai dengan osmolalitas lingkungan. Pada tahap-tahap pasca ganti kulit berikutnya, ada perbedaan yang makin besar antara salinitas hemolimfa dengan salinitas eksternal. Titik isoosmotik adalah lebih tinggi (940 ± 30 mOsm/ kg) selama molting daripada selama tahap intermolting (663 ± 8 mOsm/kg), yang menunjukkan perbedaan kebutuhan osmotik pada tahap awal ganti kulit. Hiperregulasi konsentrasi klorida dalam hemolimfa di bawah 20 permil, maupun titik isoionik (301 ± 6 mM), tidak tergantung pada tahap ganti kulit.

Pada salinitas 20 permil atau lebih, individu yang baru ganti kulit (0 sampai 0,25 hari pasca ganti kulit) cenderung menyesuaikan diri dengan konsentrasi klorida eksternal sedangkan individu intermolt (0,5 hari pasca ganti kulit) tidak. Sumbangan klorida hemolimfa bagi osmolalitas hemolimfa adalah lebih besar selama intermolt daripada selama ganti kulit, yang menunjukkan pentingnya peranan ion-ion bermuataan negatif lainnya selama ganti kulit. Bila ganti kulit terjadi dalam salinitas 20 permil (salinitas uji hampir sama dengan salinitas isoionik), hanya ada sedikit atau tidak ada perubahan osmolalitas hemolimfa atau pun konsentrasi klorida dari 0 sampai 14 hari pasca ganti kulit. Pada salinitas 8, 32 dan 44 permil, perubahan osmotik hemolimfa dan konsentrasi klorida dari fase molting ke intermolting adalah bersifat hiperbola. Regresi kuadrat-terkecil non linier menunjukkan bahwa udang umumnya mencapai fase intermolt dalam waktu 1 hari setelah ganti kulit. Udang pada fase intermolt melakukan pengaturan osmolalitas hemolimfa (620 sampai 820 mOsm/ kg) dan konsentrasi klorida (300 sampai 450 mM) pada kisaran yang jauh lebih sempit dibandingkan selama ganti kulit (520 sampai 1170 mOsm/ kg dan 250 sampai 520 mM, berturut-turut). Osmolalitas hemolimfa merupakan indikator respon fisiologis yang lebih sensitif daripada konsentrasi klorida hemolimfa.

Distribusi dan budidaya Penaeus monodon mungkin dibatasi dalam salinitas rendah oleh kemampuannya untuk mempertahankan osmolalitas hemolimfa pada nilai 500 mOsm/kg selama ganti kulit dan 600 mOsm/kg selama fase intermolt, dan dibatasi dalam salinitas tinggi oleh kemampuannya untuk menurunkan osmolalitas hemolimfa dari nilai pada saat ganti kulit menjadi nilai pada fase intermolt. Osmotik dan konsentrasi klorida dalam darah Penaeus monodon sangat bervariasi sejalan dengan tahap moting dan salinitas medium. Ketergantungan pada faktor-faktor eksternal, bagaimanapun, perlahan-lahan berkurang sejalan dengan perjalanan tahap-tahap molting, yang menunjukkan terjadinya penurunan permeabilitas kulit dan makin berkembangnya mekanisme penyerapan/sekresi ion sejalan dengan mengerasnya kulit luar (cangkang).

Baca juga
Daya Racun Amonia Bagi Udang Windu Penaeus monodon Juvenil dan Dewasa

Pengaruh Salinitas Terhadap Komposisi Asam Amino Udang Windu

Fang et al. (1992) melaporkan bahwa udang windu Penaeus monodon dibudidayakan oleh petani ikan dalam kolam air payau agar tumbuh lebih baik meskipun binatang ini merupakan spesies laut. Penelitian mengenai variasi asam amino bebas (Free Amino Acid; FAA) dalam hemolimfa dan otot udang ini yang dipelihara dalam berbagai salinitas menunjukkan bahwa komposisi asam amino bebas dalam hemolimfa udang yang diaklimasikan terhadap salinitas 30 ppt adalah sama dengan komposisinya di dalam otot udang tersebut, yang membuktikan bahwa binatang ini secara fisiologis memang merupakan spesies yang beradaptasi terhadap laut. Komposisi asam amino bebas dalam otot udang yang diaklimasikan terhadap salinitas-salinitas yang berbeda adalah sama satu dengan yang lain. Sangat tingginya konsentrasi asam amino bebas yang tergolong asam-asam amino esensial dalam hemolimfa udang yang diaklimasikan terhadap salinitas 15 ppt menunjukkan bahwa asam-asam amino bebas tersebut lebih tersedia untuk diserap jaringan tubuh pada salinitas ini.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda