Senin, 25 November 2013

Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Arsip Cofa No. C 166

Pendekatan Ekologi Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Closs et al. (2004) menyatakan bahwa air danau yang jernih sering berubah warna menjadi coklat dan hanya sedikit cahaya yang bisa menembus dasar danau. Pada kondisi ini danau menunjukkan ciri-ciri terjadinya ledakan populasi alga : air danau tidak hanya berlumpur, tetapi juga berbau tak enak dan beracun bila diminum. Ledakan populasi alga terutama disebabkan oleh pasokan zat hara yang berlebihan. Alga membutuhkan nitrogen dan fosfor untuk tumbuh. Pada banyak perairan, pasokan zat hara mungkin terbatas, apalagi bila daerah tangkapan airnya ditumbuhi hutan sehingga zat hara terikat kuat di dalam ekosistem darat.

Bagaimanapun, dalam sistem pertanian, petani sering menaburkan pupuk untuk menigkatkan hasil panen. Zat hara dalam pupuk yang tidak diserap tanaman pertanian akan tercuci dan masuk ke saluran air lokal. Binatang ternak, terutama sapi, bisa juga mendepositkan sejumlah besar urin dan tinja kaya-zat hara secara langsung ke sungai tempat mereka minum. Di daerah pedesaan, sisa-sisa tumbuhan dan tinja hewan peliharaan dihanyutkan oleh limpasan ar hujan dan masuk ke sungai sehingga menjadi sumber lain pasokan zat hara. Bila sungai-sungai tersebut masuk ke danau, zat hara yang terkandung di dalamnya akan tertimbun dan mengubah danau itu dari kondisi oligotrofik (zat hara sedikit, produktivitas rendah, air jernih) atau mesotrofik (zat hara agak banyak, produktivitas dan kejernihan air sedang) menjadi kondisi eutrofik (zat hara banyak, produktivitas primer tinggi, air keruh) (Closs et al., 2004).

Jika zat hara merupakan faktor kunci yang memicu ledakan populasi alga, maka strategi manajemen harus diarahkan untuk menghilangkannya. Zat hara yang masuk ke perairan dari satu titik (point source), misalnya mulut saluran pembuangan limbah, dapat dikendalikan dengan menghilangkan titik sumber itu. Sayangnya, zat hara seringkali masuk ke sistem perairan melalui sumber yang bersifat banyak-titik dan menyebar di seluruh daerah tangkapan air. Kontrol terhadap sumber pencemar seperti ini akan melibatkan manajemen daerah tangkapan air yang mencakup daerah daratan yang sangat luas. Tindakan manajemen ini meliputi penghijauan, pendidikan dan penghambatan proses pencucian zat hara dari tanah yang jenuh dengan pupuk; yang berarti bahwa pengendalian terhadap sumber zat hara yang bersifat banyak-titik ini akan memakan waktu puluhan tahun (Closs et al., 2004).

Baca juga :
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Mengatasi Eutrofikasi Dengan Penutupan Sedimen dan Pengenceran Air

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa eutrofikasi danau bisa dicegah dengan metode penutupan sedimen karena menghalangi pelepasan zat hara dari sedimen dasar danau ke dalam air. Penggunaan lembaran plastik, “fly ash” (abu terbang), pasir yang kaya besi, dan tanah liat bisa disarankan untuk mendukung metode ini. Penutupan sedimen dengan menggunakan tanah liat dilaporkan telah berhasil mengatasi eutrofikasi danau. Metode ini lebih murah daripada penyingkiran sedimen, tetapi ada kerugiannya, yaitu (1) peningkatan kualitas air bersifat sementara, dan (2) kondisi alami untuk fauna bentos berubah.

Jorgensen (1980) menambahkan bahwa selain penutupan sedimen, metode lain yang bisa diterapkan untuk memulihkan danau yang mengalami eutrofikasi adalah dengan membiarkan air yang tak tercemar memasuki danau. Dengan membiarkan air tak tercemar yang miskin zat hara masuk ke danau, maka air danau menjad encer dan sedimen tercuci keluar danau. Metode ini telah digunakan di Danau Snake, Wisconsin, dengan beberapa keberhasilan. Tumbuhan air Lemna lenyap seluruhnya dari danau, sementara konsentrasi zat hara tidak berkurang, mungkin karena pengaruh zat hara yang berpindah di dalam sedimen. Bagaimanapun, penelitan di laboratorium menunjukkan bahwa konsentrasi zat hara nantinya akan berkurang bila sedimen banyak yang tercuci keluar. Danau Green di Washington memberikan hasil yang lebih baik : konsentrasi zat hara berkurang, kejernihan air meningkat dan spesies alga hijau biru lenyap.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengendapan Fosfor Menyebabkan Penundaan Eutrofikasi

Tezuka (1992) menyatakan bahwa meskipun basin utama Danau Biwa, Jepang, perlahan-lahan mengalami eutrofikasi sejak awal abad ini, namun tingkat eutrofikasinya tidak begitu parah selama 24 tahun terakhir dari sudut pandang parameter-parameter fisika-kimia seperti kejernihan air, konsentrasi oksigen terlarut minimum di lapisan hipolimnion dan konsentrasi fosfor total dalam badan air. Padahal, beban fosfor eksternal di Danau Biwa cukup tinggi untuk menyebabkannya mengalami eutrofikasi secara cepat. Untuk mengetahui kontradiksi ini, telah dilakukan pengujian terhadap keseimbangan massa fosfor di Danau Biwa. Hasil penelitian menguatkan dugaan bahwa sedimentasi fosfor memainkan peranan menentukan dalam menunda eutrofikasi di danau ini.

Baca juga :
Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Efek Interaksi Ikan – Zat Hara Terhadap Eutrofikasi

Lacroix dan Lescher-Moutoue (1991) melaporkan bahwa untuk menduga efek masing-masing dan efek interaksi beban zat hara dan kepadatan anak ikan cyprinidae terhadap eutrofikasi, percobaan in situ (di tempat) telah dilakukan selama musim panas di 30 kurungan (karamba) masing-masing bervolume 9,5 m3 di sebuah danau mesotrofik dangkal yang dicirikan oleh tingginya padat penebaran ikan dan sedikitnya spesies fitoplankton dan zooplankton. Di semua kurungan tanpa ikan, kejernihan air dengan cepat meningkat. Beban zat hara, sekalipun pada nilai tertnggi, tidak menyebabkan penurunan kualitas air apa pun secara nyata. Adanya ikan tampaknya merupakan prasyarat bagi kemunculan gejala-gejala eutrofikasi. Efek ikan dan efek interaksi ikan - zat hara sering sangat nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek interaksi antara kepadatan anak ikan cyprinidae dan beban zat hara bisa mempercepat eutrofikasi danau.

Baca juga :
Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Manajemen Populasi Ikan Untuk Mengatasi Eutrofikasi

Jagtman et al. (1988) dalam Densen et al. (1990) melaporkan bahwa eutrofikasi danau-danau dangkal (kedalaman 1 – 3 meter) di Belanda menyebabkan perubahan dramatis dalam hal struktur dan fungsi jaring-jaring makanan. Selama 25 tahun terakhir vegetasi tepi danau hilang akibat eutrofikasi. Bersamaan itu pula, habitat ikan pike (Esox lucius), yang merupakan predator penting, hilang. Akibatnya, ikan bream (Abramis brama) mencapai biomas yang sangat tinggi di kebanyakan danau-danau dangkal tersebut. Tampaknya bahwa berbagai upaya harus dilakukan untuk mempercepat pemulihan danau. Manajemen stok ikan bisa menjadi penting dalam upaya pemulihan danau secara terpadu. Melimpahnya ikan bream, yang merupakan pemakan (zoo)plankton dan bentos, menyebabkan grazing (aktivitas memakan) alga oleh zooplankton menjadi rendah, dan air menjadi sangat keruh. Situasi ini bisa menghambat pemulihan danau meskipun masukan zat hara dari luar danau telah banyak dikurangi. Pengaturan terhadap populasi ikan bream dengan demikian berperan dalam mengatasi masalah eutrofikasi. Eksperimen biomanipulasi telah dimulai di danau-danau kecil di Belanda, yang diarahkan terutama untuk mengurangi populasi ikan bream dengan cara penangkapan dan memasukan ikan pemangsa. Manajemen stok ikan bersama dengan pengurangan beban zat hara dengan demikian bisa membantu mengatasi eutrofikasi dengan mengubah struktur jaring-jaring makanan yang menciptakan ekosistem yang lebih dikehendaki, yaitu ekosistem yang stabil dengan keanekaragaman yang tinggi.

Baca juga :
Dinamika Zat Hara di Estuaria

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda