Minggu, 22 Desember 2013

Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata

Arsip Cofa No. C 169

Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Brachionus

Hagiwara dan Hino (1988) dalam Ricci et al. (1989) melaporkan bahwa rotifera laut Brachionus plicatilis typicus telah dibudidayakan dalam gelas 500 ml agar memproduksi telur istirahat. Tetraselmis tetrathele digunakan sebagai pakan kultur. Segera setelah terbentuk, telur istirahat dipaparkan terhadap berbagai suhu (5 – 25 oC) dan berbagai rejim cahaya (24 jam terang : 0 jam gelap dan 0 jam terang : 24 jam gelap). Bila telur dipaparkan terhadap cahaya segera setelah terbentuk, telur menetas secara sporadis dalam waktu satu bulan. Tidak terjadi penetasan bila telur disimpan selama 6 bulan pada kondisi gelap, berapapun suhunya. Telur-telur ini menetas secara bersamaan setelah dipaparkan terhadap cahaya, sedangkan telur yang disimpan pada suhu 5 oC menunjukkan laju penetasan dua kali lipat (40 %) dibandingkan telur yang disimpan pada suhu 15 – 25 oC (24 %). Klon yang berasal dari telur istirahat kemudian dipelihara pada berbagai suhu dan rejim cahaya dan selanjutnya dipelihara sampai generasi ketiga. Inkubasi pada suhu 25 oC dalam kondisi ada cahaya (terang) menghasilkan betina mictic terbanyak (5,4 % dan 5,2 %) selama generasi ke-2 dan ke-3, berturut-turut. Produksi terendah (0 dan 1,5 %) diperoleh bila telur disimpan pada suhu 5 oC dalam kondisi gelap total selama enam bulan.

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Ukuran Telur Istirahat Pada Brachionus

Serrano et al. (1988) dalam Ricci et al. (1989) mempelajari pengaruh suhu dan salinitas terhadap ukuran telur istirahat pada dua klon Brachionus plicatilis (rotifera). Klon dipilih berdasarkan perilakunya terhadap telur istirahat : satu klon mengeluarkan telur istirahat dari dalam tubuhnya sedangkan klon lain tetap menyimpan telur istirahat di dalam tubuh induk betina. Perbedaan ukuran telur istirahat antara kedua jenis klon tersebut adalah jelas walaupun perbedaan ini tidak sebesar perbedaan ukuran antara induk-induk betina. Efek interaksi suhu-salinitas terlihat dengan jelas. Hubungan terbalik antara ukuran dan suhu hanya berlaku pada suhu rendah. Pada suhu tinggi, ukuran telur bervariasi di sekitar nilai rata-rata; variasinya lebih besar bila dibandingkan variasi pada suhu sedang. Hal ini lebih jelas pada salinitas sedang yang dianggap sebagai paling dekat dengan optimum dalam percobaan ini. Pola variasi ini menunjukkan bahwa ukuran rata-rata telur istirahat adalah lebih besar daripada yang diharapkan, dalam kaitannya dengan suhu dan salinitas, ketika faktor-faktor ini mendekati batas-batas kisarannya yang umumnya ditemukan di alam, di mana mekanisme adaptasi dapat berevolusi. Ukuran telur istirahat adalah lebih besar pada kombinasi suhu-salinitas rendah-rendah dan tinggi-tinggi yang merupakan kombinasi paling umum di lingkungan beriklim sedang.

Pengaruh Suhu Terhadap Laju Reproduksi Gastropoda

Takami (1992) mempelajari pertumbuhan dan jumlah anak pada siput Semisulcospira reiniana yang dipelihara selama 48 – 51 bulan pada tiga macam suhu di laboratorium. Anak baru lahir, yang diproduksi pada bulan Juli dan Agustus 1986, tumbuh hingga mencapai diameter cangkang rata-rata 8 – 9 mm pada umur 1 (bulan), 11 – 12 mm pada umur 2 (bulan), 12 – 13 mm pada umur 3 (bulan), dan 13 – 14 mm pada umur 4 (bulan). Kelahiran anak terjadi pada suhu 12 – 18 oC. Sejumlah besar anak, diperkirakan sebanyak 10 sampai 38 individu per betina selama sebulan, diproduksi pada suhu 20 – 28 oC. Pada kondisi suhu air tinggi, ukuran maksimum siput ini adalah kecil dan kelangsungan hidupnya rendah, tetapi produksi anaknya meningkat.

Baca juga :
Reproduksi dan Endokrinologi

Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Oyster

Sarvesan et al. (1990) melaporkan bahwa pemijahan oyster Crassostrea madrasensis di Muttukadu Backwater, India, berlangsung dari Januari sampai November dengan puncaknya pada bulan Februari – Maret dan September – Oktober. Oyster betina adalah dominan selama beberapa bulan dalam setahun, sedangkan jumlah individu jantan melebihi betina pada bulan Agustus dan September 1986 serta Februari dan Mei 1987. Di antara empat stasiun yang menjadi lokasi penelitian penempelan benih oyster, Muttukadu Bridge menunjukkan penempelan benih oyster yang paling tinggi terutama pada bulan Oktober. Maksimum 109 benih oyster menempel pada sebuah tiang yang tertutup kapur di jembatan tersebut. Disimpulkan bahwa kematangan gonad dan pemijahan oyster serta penempelan benihnya berkorelasi dengan salinitas dan suhu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Kematangan Gonad dan Pemijahan Scallop

Sastry (1963) melaporkan bahwa kerang subspesies Aequipecten irradians concentricus dari Alligator Harbor, Florida, mencapai matang gonad menjelang akhir bulan Juli ketika suhu musim panas menjadi maksimum dan menyebabkan terjadinya pemijahan awal pada bulan Agustus ketika suhu mulai turun. Suhu musim dingin menurunkan perkembangan gonad kerang scallop Florida ini. Selama musim dingin, scallop dirangsang untuk matang gonad pada suhu 23 ± 1 oC dalam 26 hari. Scallop matang gonad yang dipelihara di laboratorium memijah sebagai respon terhadap peningkatan suhu selama bulan-bulan yang berbeda. Subspesies Aequipecten irradians irradians dari Massachusetts dan Aequipecten irradians concentricus dari Florida dan North Carolina menunjukkan perbedaan kebutuhan suhu untuk pematangan gonad dan pemijahan. Subspesies scallop dari utara Cape Hatteras bereproduksi pada suhu yang lebih rendah bila dibandingkan dengan subspesies dari selatan. Pemijahan kedua subspesies ini tidak bertumpang tindih.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Moluska

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Reproduksi Cephalopoda

Forsythe dan Hanlon (1998) melaporkan bahwa kultur laboratorium 40 ekor Octopus bimaculoides dari April 1982 sampai Agustus 1983 selama satu siklus hidup penuh pada suhu 18 °C vs 23 °C menyediakan informasi tentang pertumbuhan, reproduksi dan umur gurita pantai ini. Pada suhu 18 oC, cephalopoda ini tumbuh dari ukuran saat menetas 0,07 gram menjadi rata-rata 619 gram dalam waktu 404 hari; individu terbesar berukuran 872 gram. Gurita yang dibudidayakan pada suhu 23 oC mencapai bobot tertinggi rata-ratanya 597 gram dalam waktu 370 hari; individu terbesar yang tumbuh pada suhu ini adalah 848 gram setelah 404 hari. Suhu tinggi mempercepat semua aspek biologi reproduksi dan memperpendek umur binatang ini sebesar 20 % (dari sekitar 16 bulan menjadi 13 bulan). Octopus bimaculoides merupakan spesies gurita dengan siklus hidup terlama dan telur berukuran besar serta anak-anaknya yang baru menetas bersifat bentik.

Baca juga :
Reproduksi Cumi-Cumi

Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan Telur Serangga Air

Watanabe (1992) mempelajari pengaruh suhu terhadap penetasan telur serangga air, lalat sehari (mayfly). Telur lalat sehari (Potamanthus formosus) dipelihara pada suhu konstan di laboratorium. Persentase telur yang menetas adalah 34 – 53 % pada kisaran suhu 15 – 30 oC, tetapi persentase penetasan ini jatuh mendadak bila suhunya di bawah 15 oC (± 13 oC) menjadi hampir 0 %. Hubungan antara suhu dan lama perkembangan dijelaskan dengan baik oleh sebuah persamaan hiperbola. Batas suhu untuk perkembangan telur menurut perhitungan adalah 10,5 oC dengan persentase penetasan 50 %. Nilai hasil perhitungan jumlah derajat-hari efektif adalah 222,2 di atas 10,5 oC. Penerapan hasil penelitian ini untuk sungai alami menunjukkan bahwa telur harus diletakkan hingga akhir September agar bisa menetas ketika suhu air menurun menjadi 15 oC. Telur yang diletakkan pada akhir periode penetasan tidak akan menetas sebelum musim dingin, dan mungkin melewati musim dingin kemudian menetas pada musim semi.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda