Senin, 10 Februari 2014

Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea

Arsip Cofa No. C 171

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Udang Penaeus

Chen dan Lai (1993) meneliti pengaruh suhu dan salinitas terhadap konsumsi oksigen dan ekskresi amonia pada udang Penaeus japonicus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen (O2 mg/gram/jam) dan laju ekskresi amonia-N (mikrogram/gram/jam) juvenil Penaeus japonicus Bate (berat 0,220 ± 0,051 gram) meningkat dengan meningkatnya suhu dalam kisaran 15 – 35 oC pada empat tingkat salinitas (15, 20, 25 dan 30 ppt). Konsumsi oksigen menurun dengan meningkatnya salinitas pada suhu 15 dan 25 oC; bagaimanapun, perbedaan konsumsi oksigen di antara berbagai perlakuan salinitas adalah tidak nyata pada suhu 35 oC. Ekskresi amonia nitrogen pada udang ini menurun secara jelas dengan meningkatnya salinitas pada semua suhu yang diuji. Hubungan antara konsumsi oksigen (OC), ekskresi amonia nitrogen (AE), suhu (T), salinitas (S) dan lama pemaparan (exposure time; t) adalah sebagai berikut :

OC = -0,0359 + 0,0235 T – 0,0024 S – 0,0043 t (r2 = 0,7464)
AE = 5,4183 + 2,2379 T – 1,2731 S – 0,2123 t (r2 = 0,7939)

Rasio O : N menunjukkan pergeseran pemanfaatan nutrisi dari metabolisme yang didominasi-protein ke metabolisme yang didominasi-lipida pada Penaeus japonicus, bila udang ini dikenai peningkatan salinitas sampai 30 ppt pada suhu 15 oC.

Baca juga :
Klasifikasi, Morfologi, Distribusi dan Kelimpahan Krustasea

Pengaruh Suhu Terhadap Denyut Jantung Lobster

Nakamura dan Kuramoto (1992) melaporkan bahwa lobster, Panulirus japonicus, telah diaklimasikan di dalam sebuah ruang perfusion (semacam akuarium, volume 25 x 40 x 30 cm3, suhu 20 ± 1 oC) selama sebulan. Data electrocardiogram (ECG) diperoleh dengan bantuan elektroda-elektroda yang ditanam dalam tubuh lobster. Rata-rata denyut jantung lobster adalah sekitar 100 denyut per menit selama musim semi dan musim panas atau sekitar 50 denyut per menit selama musim dingin. Pengaruh suhu rendah terhadap denyut jantung dipelajari secara in vivo. Untuk mendinginkan lobster sampai suhu 15 oC, air laut dingin (5 oC) dituangkan ke dalam akuarium. Laju pendinginan (0,1 – 1,0 oC/menit) tergantung pada volume air dingin dan diukur dengan termometer digital.

Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pada musim semi dan musim panas, laju denyut jantung berkurang sejalan dengan penurunan suhu akibat pendinginan (misal sampai 66 denyut per menit). Bagaimanapun, laju denyut jantung tidak jatuh di bawah 60 denyut per menit pada suhu 15 oC. Pada musim dingin, laju denyut jantung tidak mengikuti penurunan suhu di bawah 18 oC meskipun lajunya turun pada menit-menit awal. Sebagai contoh, laju denyut jantung 31 ± 5 denyut per menit terjadi pada suhu 18 – 16 oC. Korelasi antara laju denyut jantung dan suhu yang diperoleh berdasarkan 18 percobaan pada musim dingin menunjukkan bahwa denyut jantung menurun untuk suhu 21 – 19 oC dan meningkat untuk suhu 19 – 16 oC. Korelasi negatif menunjukkan bahwa lobster memiliki mekanisme yang mencegah penurunan laju denyut jantung yang bergantung pada penurunan suhu tubuh (Nakamura dan Kuramoto, 1992).

Baca juga :
Brachionus : Pengaruh Faktor Lingkungan, Pakan dan Telur

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Terhadap Kelimpahan Zooplankton di Estuaria Tropis

Osore (1992) mempelajari hubungan antara suhu air dan kelimpahan zooplankton di Gazi Creek, sebuah sungai kecil berhutan bakau tropis di selatan Mombasa, Kenya. Stasiun-stasiun sampling terletak di mulut sungai (stasiun 1), sungai bagian dalam (stasiun 3), dan di tengah-tengah keduanya (stasiun 2). Sampling dilakukan dua kali sebulan, dimulai dari stasiun 1 terus ke stasiun 2 sampai stasiun 3. Sebuah jaring bermata jaring 335 mikron dihela di dekat permukaan air selama 5 menit dan sampel yang dikumpulkan diawetkan dengan formaldehid 5 %. Parameter-parameter hidrografi dicatat selama pengambilan sampel. Penelitian di Gazi Creek dilakukan untuk mensurvei komposisi zooplankton baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sebanyak 22 taksa penting telah dipelajari untuk menentukan variasi musiman dalam hal kelimpahan dan distribusi zooplankton.

Osore (1992), berdasarkan hasil penelitian tersebut, menyimpulkan bahwa populasi zooplankton paling tinggi pada bulan Maret (374 individu per m3). Kelimpahan ini perlahan-lahan menurun selama periode angin muson tenggara (Mei – September) hingga mencapai nilai terendah pada bulan Agustus (30 individu per m3). Kopepoda merupakan taksa yang paling melimpah (48,5 – 92,4 %) selama penelitian. Kelompok ini ditemukan di seluruh sungai kecil tersebut. Bagaimanapun, bukti menunjukkan bahwa mulut sungai kecil ini memiliki keragaman kopepoda yang lebih tinggi dibandingkan sungai bagian dalam. Berdasarkan Indeks Margalef, stasiun 1 memiliki nilai yang secara konsisten lebih tinggi dibandingkan stasiun 3. Suhu air permukaan menurun selama angin muson tenggara (28,0 sampai 25,5 oC) dan naik selama angin muson timur laut (29,0 sampai 35,5 oC). Kecenderungan dalam hal variasi suhu sangat bersesuaian dengan kelimpahan zooplankton, yang menunjukkan bahwa zooplankton hidup paling subur di perairan yang lebih hangat. Jumlah zooplankton yang banyak juga diamati sekitar bulan Mei (326 individu per m3) selama hujan panjang; mungkin karena banyaknya masukan zat hara. Secara umum, pH bulanan rata-rata hanya bervariasi sedikit, tetapi pH air bagian hulu selalu lebih rendah daripada pH di mulut sungai. Salinitas sangat konstan pada 35 ppt.

Baca juga :
Ekologi Rotifera

Pengaruh Suhu dan Letak Lintang Terhadap Keragaman Kopepoda Laut

Hernandez-Trujillo (1991) mempelajari komposisi spesies kopepoda laut dan kelimpahan setiap spesiesnya. Penelitian dilakukan dengan menganalisis kopepoda yang dikumpulkan di pesisir barat Baja California Sur selama beberapa bulan dalam periode tahun 1982 – 1984. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah dengan keragaman kopepoda yang tinggi seringkali terletak di bagian selatan lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air sampai 29 oC. Sebaliknya, daerah dengan keragaman kopepoda yang rendah terletak di bagian utara dan tengah lokasi penelitian, yang berasosiasi dengan suhu air di bawah 20 oC. Pada tahun 1983, spesies-spesies tropis mendominasi komunitas kopepoda di daerah ini. Kelimpahannya berkurang selama tahun 1984, tanpa ada spesies yang dominan.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Pengaruh Suhu Terhadap Hasil Tangkap Udang Galah

Yamane (1992) mempelajari bagaimana suhu mempengaruhi jumlah tangkapan udang galah Jepang, Macrobrachium nipponenense, di daerah penangkapan udang tersebut yang terletak di basin selatan Danau Biwa, Jepang. Data yang digunakan dalam evaluasi adalah hasil tangkap oleh perangkap udang dalam waktu tiga tahun (8 Februari – 18 Desember 1987, 18 Maret – 24 Desember 1988 dan 18 Mei – 3 Desember 1990). Perangkap tanpa umpan diletakkan di dasar danau dengan jarak antar perangkap 2 meter pada kedalaman sekitar 2 meter. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah udang galah yang tertangkap dikendalikan oleh suhu air. Di daerah ini, suhu air tampaknya merupakan faktor penting yang mempengaruhi jumlah tangkapan udang.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda