Sabtu, 20 Oktober 2012

Racun Pada Hewan Laut

Arsip Cofa No. C 091

Perbedaan Istilah Toxin, Venom dan Poison

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa “toxin” (racun) adalah satu kelompok senyawa yang berpengaruh merugikan secara fisiologis terhadap mahluk hidup, sekalipun diberikan dalam jumlah kecil. Selain istilah ini, istilah “poison” dan “venom” sering digunakan, tetapi ketiga istilah ini memiliki definisi yang berbeda-beda. Toksin biasa digunakan dalam pengertian yang paling luas. Pernah disarankan dalam Simposium Internasional Mengenai Toksinologi agar istilah “toksin” sebaiknya dibatasi untuk substansi berprotein dan substansi antigenik. Dalam hal ini suatu senyawa bisa disebut toksin bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : terdapat pada tumbuhan, binatang, bakteri dan lain-lain; merupakan benda asing bagi korban, misal manusia dan lebih banyak bersifat racun dan berpengaruh buruk terhadap kesehatan atau kehidupan korban. Suatu substansi, bagaimanapun, tidak bisa disebut toksin bila digunakan sebagai obat dan dilihat dari aspek pengobatan. “Venom” biasanya merupakan substansi berprotein yang disekresi dari kelenjar racun atau dari sel pensekresi yang sangat khusus dan disalurkan oleh organ racun ke binatang lain. Sebaliknya, “poison” merupakan senyawa penyebab keracunan pada manusia akibat memakan organisme laut, yang memiliki substansi beracun di dalam seluruh tubuh atau dalam organ-organ tertentu. Untuk mudahnya, bagaimanapun, ketiga istilah tersebut digunakan dengan arti yang sama.

Baca juga
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Iktiotoksin (Racun Dalam Tubuh Ikan)

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ichthyotoxin (racun pada ikan; Hashimoto (1979) mengartikan “ichthyotoxin” sebagai racun yang mematikan bagi ikan, sedangkan istilah “fish toxin” diartikan sebagai racun yang diproduksi ikan) dijumpai di seluruh daerah tropis, mungkin (dan sejalan dengan intensifikasi rantai makanan) terdapat terutama pada predator puncak : barakuda dan jack (carangidae) merupakan dua jenis ikan yang paling umum beracun. Sesuai dengan asal racun dari luar, banyak spesies ikan yang beracun dengan gejala-gejala yang khas : keracunan histidin-histamin dari ikan scombroidea, keracunan yang bersifat halusinogenik dari ikan belanak, racun saraf yang fatal dari ikan belut moray, dan keracunan yang mirip racun Gonyaulax dari ikan clupeidae kecil pemakan-penyaring. Bagaimanapun, iktiotoksin yang paling berbahaya dan paling luas penyebarannya adalah racun yang secara umum diberi nama ciguatera; diberi nama demikian berdasarkan nama invertebrata laut beracun yang dijumpai oleh orang-orang Spanyol yang pertama kali mendiami Kepulauan Karibia. Istilah ini sekarang digunakan untuk sekelompok neurotoksin (racun saraf) yang ditemukan pada banyak jenis spesies ikan tropis yang kadang-kadang mengandung racun. Telah dibuat daftar sekitar 450 spesies ikan tropis , kebanyakan dari habitat terumbu karang, yang memiliki racun jenis ini. Di antara mereka yang menonjol adalah spesies ikan herbivora (grazer) yang memakan karang dan material alga.

Baca juga
Pencemaran Perairan Pesisir

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa iktiotoksin saat ini cukup banyak dijumpai pada ikan karang laut tropis, seperti snapper (lutjanidae), grouper (serranidae), jack (carangidae) dan ikan besar lain yang biasa dipasarkan. Di beberapa gugusan pulau seperti Johnston dan Phoenix, persentase spesies ikan yang beracun adalah sangat tinggi. Di tempat di mana terjadi komersialisasi ikan-ikan besar, misalnya untuk ekspor dari Pulau Midway dan Christmas ke Hawaii, maka ditemukannya ciguatera dalam satu “batch” (kumpulan) ikan tidak hanya menjadi tragedi yang membahayakan kesehatan masyarakat, tetapi juga secara efektif bisa mematikan suatu industri perikanan, seperti yang terjadi pada akhir tahun 1940-an.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Distribusi Tetrodotoksin dalam Jaringan Tubuh Ikan Buntal, Fugu

Kim et al. (1991) mengumpulkan dua puluh empat spesimen ikan buntal Fugu xanthopterus, dari sebuah pasar ikan di Pusan dan menelitinya dalam hal distribusi daya racun tetrodotoksin dengan metode bioesei tikus. Frekuensi spesimen beracun adalah 88, 75, 54, 13, 71, 80 dan 71 % untuk hati, usus, kulit, daging, testis, ovari dan empedu, berturut-turut. Daya racun paling tinggi adalah 417, 387, 112, 17, 39, 403 dan 178 MU/g, berturut-turut; dan daya racun rata-ratanya adalah 110 ± 25,0 (rata-rata ± standard error), 73 ± 20,3, 17,8 ± 5,1, 2,7 ± 1,1, 15,6 ± 5,4, 115 ± 33,0 dan 34 ± 9,3 MU/g, berturut-turut. Ada korelasi yang nyata antara daya racun hati dan usus, antara hati dan kulit dan antara hati dan ovari.

Fungsi Racun Bagi Binatang Yang Memproduksinya

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa penelitian etologis pada beberapa binatang laut beracun menunjukkan bahwa racun memegang peranan penting dalam menangkap mangsa. Racun seperti ini dicontohkan oleh racun nematokista pada ubur-ubur, “cephalotoksin” dalam kelenjar ludah gurita (octopodae) dan racun penyengat pada siput Conus; sebagian di antaranya dapat juga digunakan sebagai substansi pertahanan diri terhadap pemangsaan. Sebaliknya, racun yang terdapat dalam duri racun ikan tertentu dan racun kulit, tampaknya digunakan hanya untuk mempertahankan diri. Sering diamati bahwa ikan karnivora besar memuntahkan ikan yang mengandung racun kulit segera setelah mencaploknya. Moluska opisthobranchia, yang tidak bercangkang, mengembangkan kemampuan mensekresi racun yang sangat ampuh untuk mengusir pemangsa. Diduga bahwa racun yang diproduksi oleh karang atau sepon memiliki fungsi pelindung tidak hanya terhadap pemangsa, tetapi juga terhadap beberapa bentuk binatang sesil (penempel) yang bila tidak diusir akan menempel dan menutupi karang dan sepon. Bila binatang sesil tersebut menutupinya maka karang dan sepon itu bisa mati karena zooxanthellae yang bersimbiosis dengan binatang induk ini akan tertutup dan tidak mampu lagi berfotosintesis. Pada situasi seperti ini berbagai antibiotik atau terpenoid befungsi sebagai substansi pertahanan.

Hashimoto (1979) menambahkan bahwa beberapa racun laut diyakini memiliki arti penting fisiologis bagi organisme inangnya. Hal ini berlaku untuk beberapa binatang, misal ikan yang bermigrasi vertikal menempuh jarak jauh mengandung sejumlah besar ester lilin sebagai lipida utamanya, jadi bukannya gliserida, dan ikan (berumur) tua yang menimbun banyak vitamin A dalam hatinya. Sebagian ikan memiliki substansi beracun di dalam telurnya; tetradotoksin pada ikan tetraodontidae, ester lilin dalam telur ikan belanak, dan dinogunelin dalam ikan yang mengandung iktiotoksin. Racun terakhir ini merupakan sejenis fosfolipida istimewa yang memiliki adenosin sebagai bagian molekulnya yang mengandung nitrogen. Racun-racun ini memiliki fungsi fisiologis bagi perkembangan embryo.

Baca juga
Keberadaan Bahan Beracun di Perairan Pesisir

Racun Dalam Lendir Kulit Ikan Sidat

Shiomi et al. (1992) melaporkan bahwa racun berprotein dalam lendir kulit ikan sidat Jepang, Anguilla japonica, telah dimurnikan sampai kondisi murni secara elektroforetik dengan kromatografi kolom DEAE-selulosa dan HPLC pada TSKgel DEAE-SPW dan TSKgel G3000SW. Gliserol telah dibuktikan sangat efektif untuk menstabilkan racun ini. Dapat dilihat bahwa racun yang telah dimurnikan ini sangat mematikan bagi tikus; nilai dugaan LD 50 intravena untuk racun ini adalah serendah 3,1 mikrogram/kg. Berat molekul racun utuh adalah 40.000 sebagaimana ditentukan dengan HPLC pada TSKgel C3000SW. Hasil elektroforesis SDS menunjukkan bahwa racun ini terdiri dari dua subunit dengan berat molekul 230.000 dan 110.000. Glisin dan alanin melimpah dalam racun ini sedangkan asam-asam amino yang mengandung sulfur (metionin dan setengah-sistin) dan dua asam amino aromatik (tirosin dan triptofan) sangat sedikit.

Baca juga
Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi

Pengaruh Kondisi Habitat Terhadap Racun Yang Disekresi Siput Niotha

Hwang et al. (1992) mengumpulkan hampir 300 spesimen moluska gastropoda Niotha clathrata dari Taiwan Selatan. Semua spesimen diuji daya racunnya untuk menentukan tetradotoksin. Nilai frekuensi spesimen Niotha beracun adalah 30,0 %, 68,0 % dan 80,4 % untuk daerah Anping, Chiating dan Tungkang, berturut-turut. Potensi letal tertinggi untuk spesimen gastropoda ini adalah 1900 mouse unit (MU). Siput yang dikumpulkan dari Tungkang menunjukkan nilai tertinggi untuk spesimen beracun dan daya racunnya, diikuti dengan spesimen dari Chiating dan Anping. Spesimen yang dkumpulkan pada musim gugur dan semi menunjukkan daya racun yang lebih tinggi dibandingkan spesimen yang dikumpulkan pada musim-musim lain. Selain itu, juga telah dikumpulkan 17 spesimen Niotha clathrata lain untuk uji sekresi racun dengan menggunakan perlakuan kejutan listrik. Hasilnya menunjukkan bahwa gastropoda tersebut tidak mensekresi racun lebih lanjut bila diberi perlakuan kejutan listrik sebanyak dua kali dengan selang waktu sekitar 1 jam. Daya racun toksin yang disekresi adalah 206 MU. Penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa frekuensi kejadian spesimen beracun dan daya racunnya dipengaruhi oleh kondisi habitat gastropoda tersebut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda