Sabtu, 09 Oktober 2010

Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Keracunan histamin akibat memakan ikan busuk terjadi di seluruh dunia. Keracunan ini biasanya menimbulkan sakit yang agak ringan; bagaimanapun, komplikasi yang serius seperti gangguan jantung dan pernafasan agak jarang terjadi pada individu dengan kondisi tertentu. Ikan yang terlibat terutama adalah famili Scomberesocidae dan Scombridae (yang disebut juga ikan scombroid) dan banyak mengandung histamin. Histamin dengan kadar berbahaya dihasilkan melalui dekarboksilasi mikrobial terhadap histidin bebas di dalam jaringan otot ikan (Kanki et al., 2002)

Chen et al. (2010) melaporkan bahwa sebanyak 347 orang mengalami keracunan akibat mengkonsumsi ikan Tetrapturus goreng pada Juni 2007 di Taiwan Selatan. Salah satu sampel mengandung histamin sebanyak 52.3 mg/100 g, melebihi ambang bahaya 50 mg/100 g. Mengingat gejala-gejalanya yang mirip alergi dan tingginya kadar histamin pada sampel ikan goreng yang dikonsumsi maka kuat dugaan bahwa kasus ini merupakan keracunan histamin. Dalam penelitian ini dua isolat penghasil histamin lemah diidentifikasi sebagai Acinetobacter baumannii .

Baca juga Alergi Terhadap Ikan dan Makanan Laut

Yatsunami dan Echigo (1992) melakukan penelitian untuk mempelajari bakteri pembentuk histamin yang bersifat halotoleran (tahan garam) dan halofilik (suka garam) pada produk daging merah ikan. Empat puluh enam isolat bakteri pembentuk histamin yang halotoleran dan halofilik telah diisolasi pada 35 sampel dari 133 produk daging merah ikan. Dua puluh tiga isolat, 20 isolat dan satu isolat dari 46 bakteri pembentuk histamin adalah identik dengan Staphylococcus, Vibrio dan Pseudomonas III/IV-NH, berturut-turut. Dua isolat sisanya tak teridentifikasi. Empat puluh isolat menghasilkan 40 - 100 mg/100 ml histamin dalam media histidin yag ditambahkan ke NaCl 15% 14 hari pada suhu 20 derajat C.

López-Sabater et al. (1994) menganalisis kualitas bakteriologis dan kadar histamin pada sampel ikan tuna yang yang dikalengkan. Bahan mentah yang digunakan dalam proses pengalengan memiliki mutu yang bagus. Bakteri penghasil histamin hanya ditemukan pada tiga sampel dari tahap terakhir proses pengalengan sebelum sterilisasi. Kebanyakan bakteri yang diidentifikasi sebagai pembentuk histamin adalah gram negatif, dan hampir semuanya termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae. Morganella morganii adalah pembentuk histamin yang paling banyak dan aktif pada ikan tuna yang akan dikalengkan. Bakteri lain penghasil banyak histamin yang diisolasi selama operasi pengalengan adalah Klebsiella oxytoca, Klebsiella pneumoniae dan beberapa galur Enterobacter cloacae dan Enterobacter aerogenes. Mereka semuanya dapat memproduksi histamin lebih dari 500 ppm dalam kondisi eksperimental. Sebagian besar spesies tersebut muncul sebagai akibat kontaminasi ikan selama penangkapan dan penanganan yang tak hiegenis di pabrik pengalengan. Peningkatan kadar histamin dalam daging tuna adalah sesuatu yang tidak diharapkan dalam proses pengalengan. Kadar histamin harus di bawah nilai maksimum yang diijinkan baik oleh Masyarakat Ekonomi Eropa maupun Food and Drug Administration.

Baca juga Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Bakteri enterik (Enterobacteriaceae) telah dilaporkan merupakan bakteri dominan penghasil histamin pada ikan. Pada 1979, Taylor et al. (1979) melaporkan bahwa Klebsiella pneumoniae galur T2 penghasil-histamin telah diisolasi dari sasimi tuna busuk. K. pneumoniae merupakan HPB (Histamine Producing Bacteria; Bakteri Pembentuk Histamin) paling terkenal sejak laporan itu, sedangkan Klebsiella oxytoca juga dikenal sebagai HPB dari ikan. Bagaimanapun, K. pneumoniae galur T2 kemudian dikirim ke American Type Culture Collection (sekarang di Manassas, Va.) dan diidentifikasi sebagai Klebsiella planticola (ATCC 43176) pada 1987. Galur ini dilaporkan memiliki gen-gen hdc, kode untuk "histidine decarboxylase" tergantung-piridoxal fosfat. Pada 1981, Bagley et al. mengusulkan nama Klebsiella planticola untuk "Klebsiella spesies 2" guna membedakannya dari K. pneumoniae maupun K. oxytoca . Lebih lanjut, K. planticola, bersama dengan Klebsiella ornithinolytica dan Klebsiella terrigena, diklasifikasikan ke dalam genus baru, Raoultella pada tahun 2001 (Drancourt, et al., 2001. ). Bagaimanapun, Raoultella planticola tidak dapat dibedakan dari K. pneumoniae atau K. oxytoca dengan menggunakan sistem komersial, seperti API 20E (Biomérieux, Marcy l'Etoile, France). Uji tambahan diperlukan untuk membedakan R. planticola dari spesies Klebsiella. Demikian pula, pada 1989 nama Klebsiella ornithinolytica disulkan untuk "NIH group 12" pada National Institute of Health, Tokyo, Japan, dan "Klebsiella group 47" pada Centers for Disease Control, Atlanta, Ga., yang menunjukkan reaksi positif pada uji produksi indole dan ornithine decarboxylase. K. ornithinolytica juga diklasifikasikan ke dalam genus Raoultella. (Kanki et al., 2002)

Baca juga Biokimia Daging Ikan Bandeng

Semua galur dari ikan (22 galur R. planticola dan 5 galur R. ornithinolytica) menghasilkan antara 2.810 dan 5.250 mg histamin per liter. Sebanyak 15 dari 21 galur R. planticola menghasilkan antara 2.610 dan 5.200 mg histamin per liter. Galur R. planticola sisanya (6 galur) dan semua galur K. pneumoniae (51 galur) dan K. oxytoca (16 galur) tidak menghasilkan histamin. Tiga dari 5 galur R. planticola dan semua 8 galur R. ornithinolytica juga menghasilkan antara 3.370 dan 5.130 mg histamin per liter. Galur R. planticola (2 galur) dan semua galur R. terrigena (3 galur), K. pneumoniae (10 galur), K. oxytoca (2 galur), K. pneumoniae subsp. ozaenae (1 galur), dan K. pneumoniae subsp. rhinoscleromatis (1 galur) tidak menghasilkan histamin (Kanki et al., 2002).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Menurut Vidal-Carou et al. (1990) histamin dalam produk daging bisa menjadi indikator rendahnya kualitas bahan mentah, juga berhubungan dengan aktivitas mikrobial yang terlibat dalam proses fermentasi. Perubahan kadar histamin secara nyata terjadi selama penyimpanan/pembusukan daging baik pada suhu kamar maupun suhu dingin. Daging yang tak dimasak menunjukkan kadar histamin yang secara nyata lebih tinggi daripada daging yang dimasak.Pada daging yang dimasak nilai histamin berkisar dari 0,25 sampai 3,90 mg/kg. Untuk daging yang tak dimasak kisaran histaminnya adalah 0,25 sampai 249 mg/kg.

Wei et al.(2006) menyimpan sampel ikan tuna dalam kemasan vakum dan non vakum dengan bakteri-bakteri Klebsiella oxytoca, Morganella morganii atau Hafnia alvei pada suhu 2°C dan 10°C kemudian diuji untuk mengetahui pertumbuhan bakteri dan produksi histamin pada hari ke-3, 6, 10 dan 15. Tidak seperti yang disimpan pada suhu 2°C, sampel tuna yang disiimpan pada suhu 10°C menunjukkan pertumbuhan bakteri secara nyata sejalan dengan waktu dan mengandung banyak histamin (>200 mg/100g tuna pada hari ke-15). Pengemasan vakum tidak menunjukkan keuntungan apapun dalam mengendalikan pertumbuhan bakteri dan produksi histamin pada sampel tuna pada kedua suhu tersebut. Penyimpanan pada suhu rendah lebih efektif dalam mengendalikan produksi histamin oleh bakeri yang diuji.

Baca juga Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan

Semua galur R. planticola kebanyakan dapat tumbuh pada suhu 4°C (46 dari 48 galur) dan memanfaatkan histamin (46 dari 48 galur) dan semuanya memanfaatkan DL-ß-hydroxybutyric acid tetapi tidak etanolamin dan D-melezitose (48 dari 48 galur) (Kanki et al., 2002).

R. planticola dan R. ornithinolytica dapat tumbuh perlahan-lahan pada suhu 4°C. Selain itu, galur-galur ini sering diisolasi dari ikan mentah dan produk ikan. Respon pertumbuhan suhu-rendah dan distribusi galur-galur Raoultella penghasil-histamin dalam lingkungan adalah berhubungan dengan higienitas makanan. Tidak ada perbedaan kemampuan memproduksi histamin di antara galur-galur penghasil histamine, apapun sumbernya. Semua galur Raoultella penghasil histamin memproduksi sejumlah besar histamin. Ada sedikit keraguan bahwa R. planticola dan R. ornithinolytica merupakan HPB paling penting yang menyebabkan keracunan histamin (Kanki et al., 2002).

Kongpun dan Suwansakornkul (2000) menggunakan ikan tengiri segar yang baru disiangi sebagai bahan mentah pembuatan ikan asin dengan rasio ikan : garam sebagai berikut : 1:1, 2:1 dan 3:1 berdasar berat. Kadar histamin dan bakteri pembentuk histamin ditentukan pada hari ke-0, 2, 6, 7, 10 dan 13 setelah proses penggaraman. Kadar histamin meningkat dari 1.87 mg/100 g menjadi 115.52, 158.28 dan 125.10 mg/100 g pada hari ke-6 penggaraman untuk sampel dengan rasio ikan-garam 1:1, 2:1 dan 3:1, berturut-turut. Setelah 6 hari, kadarnya menurun tajam pada semua sampel hingga akhir proses. Jumlah tertinggi bakteri pembentuk histamin baik pada suhu 20°C maupun 37°C diamati pada sampel dengan kadar histamin terbanyak pada hari ke-6 penggaraman dan kemudian menurun hingga akhir penelitian.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda