Senin, 05 Juni 2017

Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Arsip Cofa No. A 070
donasi dg belanja di Toko One

Pengaruh Ketersediaan Oksigen dan Aktivitas Renang Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Ikan

Ketersediaan oksigen bisa membatasi metabolisme, bahkan ketika air jenuh dengan udara. Pada suhu di atas 15 °C, aktivitas ikan dibatasi oleh konsentrasi oksigen karena ikan sockeye salmon berenang dengan pola yang bisa dipertahankan pada kecepatan yang cukup jauh melebihi kecepatan ketika berenang dalam air yag superjenuh dengan oksigen. Pada suhu kurang dari 15 °C, suhu diduga menjadi pembatas – artinya, reaksi molekular yang menghasilkan energi tidak berlangsung cukup cepat sekalipun oksigen tersedia cukup. Suhu dan konsentrasi oksigen diduga menentukan batas atas untuk kebanyakan ikan lain tetapi hubungan ini belum dipelajari secara rinci untuk spesies lain selain sockeye salmon.

Aktivitas sebegitu jauh merupakan faktor tunggal terbesar yang mempengaruhi konsumsi oksigen. Hubungan antara keceparan renang dan konsumsi oksigen merupakan hubungan eksponensial sederhana dengan bentuk yang bisa disamakan seperti bentuk kurva kekuatan-aktivitas untuk peralatan pendorong-air, baik biologis atau mekanis. Tingkat konsumsi oksigen untuk tingkat kekuatan yang melebihi ‘aktif’ tidak dapat diukur, tetapi bisa ditentukan dengan cara ekstrapolasi (yakni perpanjangan kurva) dari bagian kurva sebelah kiri. Sebenarnya, hutang oksigen akan muncul karena sistem pengiriman oksigen tidak bisa bekerja pada tingkat sedemikian tinggi tersebut. Kemiringan kurva kekuatan ini menurun pada suhu yang lebih tinggi untuk sockeye salmon dan pasti berbeda untuk spesis ikan yang berbeda (Smith, 1982).

Baca juga Ekskresi Nitrogen dan Amonia : Pengaruh Faktor Biotik dan Lingkungan

Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Menurut Smith (1982), setelah menelan makanan konsumsi oksigen ikan meningkat tajam tanpa ada peningkatan aktivitas. Kejadian-kejadian yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen ini disebut “specific dynamic action” (SDA). Bisa langsung diduga bahwa peningkatan konsumsi energi berhubungan dengan sintesis enzim, lendir dan cairan pencernan lain yang diperlukan untuk mencerna makanan, tetapi hal ini tidak benar. Enzim telah ada di dalam sel sebelum ikan makan dan hanya dilepaskan selama pencernaan. Ukuran SDA berhubungan dengan jumlah protein di dalam makanan dan dengan persentase makanan yang digunakan untuk energi, bukannya untuk pertumbuhan. Protein yang dipakai untuk energi harus dibuang gugus aminonya (-NH2) dan kemudian diekskresikan sebagai amonia (NH3), kedua proses ini memerlukan masukan energi. Jadi peningkatan konsumsi oksigen akan diikuti oleh peningkatan ekskresi amonia.

Baca juga Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Pengaruh Kecepatan Renang dan Konsentrasi Oksigen Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Ikan Lele

Menurut Sukumaran dan Kutty (1977) selain tingkat aktivitas eksternal, faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen adalah konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam medium di sekitarnya, suhu, salinitas, tingkat kelaparan, derajat aklimasi, pH, musim, dll. Dalam sebuah penelitian, ikan Tilapia mossambica dipaparkan terhadap berbagai konsentrasi oksigen terlarut dan dipaksa berenang selama beberapa jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tilapia mossambica menggunakan energi anaerobik yang cukup besar pada kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal), dengan memanfaatkan lebih banyak protein selama kondisi hipoksia dan selama latihan jangka panjang. Disimpulkan bahwa produksi amonia anaerobik terjadi selama ikan melakukan aktivitas yang dipaksakan dan pada kondisi hipoksia.

Sukumaran dan Kutty (1977) melaporkan bahwa konsumsi oksigen, ekskresi amonia dan kuosien amonia (ammonia quotient, AQ, yaitu perbandingan volume NH3/volume O2) pada ikan lele, Mystus armatus, yang diaklimasikan terhadap dan diuji pada air tawar bersuhu 30 oC, telah ditentukan dengan mengamati kecepatan renang dan konsentrasi oksigen di medium sekitarnya. Pada kondisi normoksia (konsentrasi oksigen terlarut normal) ikan mempertahankan nilai AQ di sekitar 0,12, sedangkan pada saat konsentrasi oksigen terlarut rendah (kurang dari 2 ppm) nilai AQ meningkat tajam sampai 0,3 yang menunjukkan peningkatan metabolisme protein pada kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal). Mystus armatus yang dilatih berenang terus-menerus selama 5 jam dengan kecepatan bervariasi memanfatkan lebih banyak protein selama fase latihan terakhir. Peningkatan pemakaian protein mungkin berguna dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dan konsentrasi ion natrium dalam tubuh ikan. Setelah metabolisme Mystus armatus kembali pulih dari kondisi hipoksia, konsumsi oksigen meningkat tajam melebihi pada periode prahipoksia, yang menunjukkan bahwa oksigen sedang ditimbun di dalam tubuh ikan yang mengalami hipoksia.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :
Herbal Teh Sanna Al Sunnah

Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Ikan

Penelitian oleh Sukumaran dan Kutty (1977) menunjukkan bahwa meningkatnya ekskresi amonia pada ikan lele adalah sejalan dengan menurunnya konsumsi oksigen selama kondisi hipoksik. Nilai kuosien ammonia (AQ) pada ikan Tilapia mossambica selama fase aerobik cenderung konstan pada nilai sekitar 0,2 tetapi meningkat sampai 1,0 pada konsentrasi oksigen rendah. Kenaikan AQ dengan jelas menunjukkan pelepasan ekstra amonia secara anaerobik. Sesuai dengan pernyataan ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino dimanfaatkan sebagai sumber energi anaerobik dalam otot putih ikan karper. Namun, penelitian lain menyimpulkan bahwa adenilat merupakan satu-satunya sumber energi potensial amonia anaerobik.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya penurunan konsumsi oksigen dan peningkatan nilai AQ seperti yang diamati pada ikan Tilapia mossambica dan Rhinomugil corsula selama kondisi hipoksik. Peningkatan nilai AQ pada kondisi hipoksik pertama kali diamati pada Tilapia mossambica dan kemudian pada spesies lain yakni Rhinomugil corsula, Barbus sarana dan ikan mas koki. Peningkatan nilai AQ ini menunjukkan terjadinya peningkatan relatif degradasi protein.

Baca juga Konsumsi Oksigen Pada Ikan : Pengaruh Faktor-Faktor Biologi

Adalah mungkin bahwa peningkatan relatif produksi amonia selama kondisi anaerobik membantu mencegah terjadinya asidosis. Telah diketahui bahwa produksi metabolik dan pelepasan amonia ke dalam darah lebih besar daripada laju ekskresi ditambah detoksifikasi amonia pada ikan rainbow trout. Juga telah diketahui bahwa pada mamalia, amonia urin meningkat selama asidosis. Yang juga menarik untuk diperhatikan di sini adalah bahwa pada mamalia aktivitas renal glutaminase dipertinggi oleh asidosis. Dalam jaringan saraf mamalia, peningkatan konsentrasi amonia merangsang peningkatan glikolisis. Penelitian menunjukkan bahwa pada mamalia amonia yang terjebak dan terikat pelan-pelan dilepaskan dari sel-sel otot dan otak pada laju yang sesuai dengan aktivitas siklus ornitin selama sintesis urea di dalam hati. Pada ikan adalah mungkin bahwa amomia non-ionik diekskresi melalui difusi pasif mengikuti gradien (perbedaan) konsentrasi menembus permukaan insang dari darah ke air, dan bahwa aktivitas glutaminase dan glutamin acid dehidrogenase adalah tinggi pada insang ikan; bagaimanapun, sumber amonia dapat dikesampingkan atau sebaliknya diperhatikan. Pertukaran ion NH4+ degan Na+ pada insang ikan mas koki dan sidat (Anguilla anguilla) telah diamati oleh beberapa peneliti. Jadi ekskresi amonia juga membantu mempertahankan konsentrasi ion natrium.

Kutty (1972) menjelaskan nilai energi NH4 yang diekskresi oleh ikan Tilapia mossambica pada kondisi hipoksia dan selama aktivitas yang dipaksakan dengan asumsi bahwa amonia merupakan satu-satunya produk akhir metabolisme protein dan bahwa substrat untuk metabolisme protein seluruhnya berupa protein dan bukan senyawa perantara. Dengan asumsi di atas, Kutty menghitung nilai AQ maksimum anaerobik sebesar 0,335 untuk protein. Perhitungan ini juga didasarkan pada nilai dari energitika mamalia, tetapi disesuaikan untuk sistem ikan. Meskipun asumsinya lebar, AQ dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari metabolisme. Nilai rutin 0,24 menunjukkan bahwa sumber energi utama untuk ikan Tilapia mossambica adalah protein. Dibandingkan dengan nilai rutin 0,12 pada ikan lele Mystus armatus, maka ikan lele ini memanfaatkan lebih sedikit protein dalam metabolisme rutinnya. Peranan protein, bagaimanapun, dibatasi oleh asumsi yang dipakai. Sebagai contoh, Kutty juga menunjukkan bahwa deaminasi akhir mungkin bertanggung jawab atas sebagian besar amonia yang dihasilkan, dalam hal ini energi relatif yang diperoleh dari protein jauh lebih sedikit. Tetapi tipe ekskresi NH3 ini pada Tilapia mossambica tidak teramati selama aktivitas yang dipaksakan dan adalah mungkin bahwa amonia yang dihasilkan dalam percobaan ini menunjukkan energi yang sepenuhnya berasal dari metabolisme protein. Bagaimanapun, produksi anaerobik amonia dapat berlangsung terutama dalam kasus di mana nilai AQ lebih tinggi daripada nilai maksimum aerobik 0,335.

Driedzic dan Hochachka (1974) tidak menemukan adanya peningkatan NH4+ yang cukup besar dalam otot putih ikan karper setelah mengalami stres hipoksia, tetapi mereka menemukan adanya peningkatan asam amino nitrogen yang cukup besar di dalam otot. Mereka juga menyatakan bahwa amonia anaerobik diproduksi dari sumber adenilat dalam otot putih ikan karper pada kondisi hipoksia dan nasib NH4+ yang diproduksi belum diketahui. Dalam penelitian ini nilai AQ hipoksia sebesar 0,28 menunjukkan bahwa produksi dan/atau pelepasan amonia anerobik dapat diabaikan, seperti pada perhitungan yang berdasarkan energitika mamalia. Tetapi ada peningkatan ekskresi amonia yang menyolok pada konsentrasi oksigen yang rendah dan pelepasan amonia ekstra bisa berasal dari produksi amonia anerobik atau dari amonia yang terjebak dan/atau terikat dalam sel-sel otot dan darah.

Baca juga Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Daya Racun Amonia

Pengaruh Rendahnya Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Ekskresi Amonia

Regnault (1993) melaporkan bahwa kepiting Cancer pagurus dalam kondisi istirahat telah dipaparkan terhadap hipoksia yang parah (tekanan oksigen 40 Torr dan 15 Torr) selama 5 jam pada suhu 15 °C. Laju ekskresi amonia diukur pada kepiting yang diberi makan teratur dan kepiting yang dilaparkan. Penurunan laju ekskresi amonia sebesar 50 % dan 60 % terlihat pada tekanan oksigen 40 Torr dan 15 Torr, berturut-turut, pada kepiting yang diberi makan teratur. Penurunan ini tercapai sepenuhnya dalam 1 jam pertama. Pada kepiting yang dilaparkan 2-minggu, laju ekskresi amonia normoksik berkurang sebesar 40 % sebagai akibat kelaparan. Penurunan laju ekskresi lebih lanjut terjadi pada kedua kondisi hipoksia di atas (40 dan 15 Torr) tetapi efek hipoksia tampaknya dipengaruhi oleh efek kelaparan primer.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda