Kamis, 13 April 2017

Kebijakan Wisata Bahari Dalam Kaitannya Dengan Manajemen Wilayah Pesisir

Arsip Cofa No. A 060
donasi dg belanja di Toko One

Pengantar

Konservasi seringkali tampak sebagai sesuatu yang statis. Di Indonesia ada bukti-bukti bahwa konservasi merupakan komponen pembangunan yang dinamis. Dalam hal ini ia berkenaan dengan konservasi laut di Provinsi Maluku sebagai langkah pertama bagi usaha berskala nasional untuk mendesak disusunnya undang-undang tentang lingkungan yang berkaitan dengan pembangunan.

Bentuk konservasi laut yang paling murni adalah manajemen zona pesisir yang layak. Sesungguhnya semua pencemaran laut berasal dari darat, sedangkan sumber pencemar yang berasal dari laut sendiri adalah pelayaran dan pengeboran lepas pantai. Sekitar 65 % dari seluruh penduduk Indonesia tinggal di sepanjang garis pantai, yang membentang hampir 82.000 km secara geografis dan mungkin lebih dari 100.000 km bila pengaruh pasang-surut terhadap pesisir ikut diperhitungkan. Sebagian besar polusi darat berasal dari sini, dengan kesalahan manajemen daerah aliran sungai di dataran tinggi sebagai kekecualian.

Latar belakang resmi bagi gerakan konservasi di indonesia adalah pasal 33 UUD 45 dan Undang-Undang RI no 4 tahun 1982. Latar belakang ini juga ditemukan dalam sejumlah ordonansi dari jaman sebelum kemerdekaan, keputusan menteri, hukum, peraturan dan persetujuan serta uraian internasional, misalnya CITES (Conference on The International Trade in Endagered Species).

Berlawanan dengan latar belakang ini, Indonesia – sebuah negara kepulauan besar dengan tidak kurang dari 13.667 pulau besar dan kecil yang dikelilingi laut luas, total 7 juta km persegi – hanya mempunyai delapan buah cagar alam laut yang berukuran kecil dan pengelolaannya kurang memadai. Namun dalam Repelita IV, sekitar seratus daerah telah diusulkan agar dijadikan daerah yang dilindungi, sementara kurang lebih 30 juta hektar atau sekitar 10 % luas wilayah perairan Indonesia ditunjuk sebagai daerah konservasi.

Konservasi laut dan manajemen wilayah pesisir merupakan disiplin-disiplin yang relatif baru dan di Indonesia sebagai negara yang sangat besar nampaknya kedua disiplin ini tidak banyak mengalami kemajuan. Hal ini berlawanan dengan fakta yang melatarbelakangi, bahwa usaha mengelola laut dan pesisir harus dilakukan.

Baca juga Dampak Tambak Terhadap Kerusakan Hutan Bakau


Gerakan Konservasi

Ada beberapa faktor penting yang mendesak perlunya usaha konservasi. Berkurangnya pendapatan dari minyak menyebabkan makin giatnya usaha memperoleh devisa – yang menyolok adalah pariwisata.

Pariwisata di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan banyak negara lain di sekitarnya. Pemerintah Pusat telah memprioritaskan pariwisata sebagai “batu pondasi bagi strategi pembangunan negara dan ekonomi kita selama sisa abad ini dan di tahun-tahun mendatang”, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Ekonomi, Keuangan, Industri dan Pengawasan Pembangunan (Wardhana, 1986).

Presiden Suharto, dalam Rancangan Anggaran Belanjanya yang terbaru, menyatakan bahwa pengeluaran anggaran belanja negara akan terus diprioritaskan pada pembangunan pariwisata, meskipun pembelanjaan semua sektor harus dikurangi.

Daya tarik utama pariwisata di Indonesia terutama terletak pada aset alam Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan atau daerah yang dikelilingi laut, yakni maritim. Eksploitasi yang layak terhadap aset alam ini harus didasarkan pada kelestariannya. Konsep Wisata Bahari dengan konservasi sebagai intinya merupakan langkah logis selnjutnya.

Wisata bahari adalah bentuk wisata yang paling sering dicari para turis di Indonesia. Bila dikembangkan dan dikelola dengan tepat ia akan memberikan sumbangan penting bagi perolehan devisa. Ia tidak hanya menciptakan daya tarik hebat bagi pengelola pariwisata dalam mempertahankan dan melindungi aset alam ini, tetapi lebih dari itu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Wisata bahari sebagai bentuk pariwisata tidak dapat ada atau berkembang dalam keadaan vakum. Ia tidak akan pernah ada kecuai kalau ia menjadi bagian infrastruktur. Dengan kata lain, di sana harus ada jalan yang melaluinya, ada jembatan yang membentang di atas sungai, harus ada petugas yang terlatih, ada fasilitas medis dalam jumlah cukup, harus ada telekomunikasi yang efektif, dll. Pendeknya, infrastruktur terpadu secara horizontal dan vertikal harus dibangun di tempat di mana wisata bahari mempunyai niche, menurut istilah ekologi. Di sana harus ada kerangka kerja lembaga pendukung, program pelatihan ekstensif, sikap legislatif yang responsif, sistem perangsang resmi, dan, yang paling penting, dukungan serta partisipasi dari penduduk setempat.

Ini semua merupakan garis besar program, tetapi tidak tanpa hambatan.

Baca juga Terumbu Karang : Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino


Hambatan dan Dorongan

Pendanaan yang cukup merupakan hambatan yang umum bagi hampir semua program. Namun ada hal yang meringankan hambatan tersebut di Indonesia. Ada dorongan untuk menciptakan infrastruktur yang akan bertahan lama dan mampu berdiri sendiri. Hal ini tidak dapat dilakukan dalam sekejap mata dan membutuhkan tambahan dana serta bantuan lain untuk mendorong melahirkan rangsangan awal. Aspek tersebut kini digalakkan oleh Pemerintah Pusat.

Bila dilakukan usaha untuk mencukupi kebutuhan sendiri, peranan investor swasta, nasional atau internasional, memiliki arti penting. Untuk menarik investor semacam ini, prosedur harus dipermudah dan potongan pajak serta repatriasi profit (pajak keuntungan) perlu dipertimbangkan. Hal ini juga perlu digiatkan, bila tidak berskala nasional maka bisa berskala provinsi.

Pada wisata bahari, pembangunan infrastruktur akan menyebabkan pergeseran distribusi pendapatan. Dari sudut pandang kebijakan pembangunan nasional, penekanan geografis mungkin perlu dilakukan. Pemerintah telah berusaha merangsang pembangunan di Indonesia Bagian Timur.

Peningkatan taraf hidup regional melalui penambahan infrastruktur seperti dalam kasus wisata bahari, akan cenderung menarik orang dari negara lain, juga melibatkan orang-orang dari dalam negeri iru sendiri. Wisata bahari dengan demikian dapat medukung konsep Wawasan Nusantara, Konsep Kepulauan.

Pembangunan cenderung meningkatkan biaya lingkungan. Sebaliknya, konservasi, bila dilakukan dengan ketat, mengalami kemajuan sedikit. Pendekatan yang agak filosofi mungkin bisa memberikan jalan keluar bagi dilema ini.

Baca juga Program Pengelolaan Wilayah Pesisir


Di negara-negara maju, komponen masyarakatnya kurang lebih stabil dan hanya berubah sedikit dalam jangka waktu lama. Di negara-negara sedang berkembang, komponen masyarakatnya mirip potongan-potongan es yang mengapung di atas permukaan sungai - di sini mengumpul tetapi di tempat lain pecah berantakan - dan selalu berubah. Suatu saat unsur pembangunan yang demikian akan berubah. Konservasi yang ketat dan kekal dengan demikian sulit dilaksanakan. Kerusakan lingkungan juga tidak dapat diterima. Dan, di sini konsep “ecological minima” mungkin berguna.

Hardin (1968) mengemukakan pernyataan matematika bahwa dua atau lebih variabel tidak dapat dimaksimalkan pada saat yang bersamaan. Namun perlu diingat bahwa manajemen sumberdaya bukanlah matematis melainkan ekonomis. Tragedi yang sering terjadi karena kegagalan dalam menerapkan ilmu ekonomi yang, secara kebetulan menjadi dasar ekologi, meskipun kebetulan bahwa ekologi dan ekonomi tidak dapat bersatu. Berikut adalah contoh-contoh nyata :

Stok ikan regional cenderung berfluktuasi, suatu saat melimpah tetapi pada saat lain hampir tidak ada. Kita meyebut fenomena ini sebagai “pulsa” yang terjadi secara alami. Pada saat yang sama, stok ikan spesies-tunggal membentuk bagian terpadu dari suatu sistem kompleks, yang berinteraksi dengannya, ketika sistem berinteraksi dengan pulsa-pulsa tadi. Metode penangkapan ikan tradisional lebih berdasarkan pada model statis di mana model ini sendiri didasarkan pada mortalitas, pertumbuhan dan reproduksi, dengan apa yang disebut “mortalitas selektif-ukuran” diletakkan di atasnya. Metode penangkapan ikan yang stabil, atau kurang responsif, mendorong pulsa alami negatif sehingga hasil yang diperoleh menurun tajam atau bahkan sama sekali tanpa hasil. Bila orang menggunakan “ecological minima” di dalam model ini, hasil akan meningkat dengan jelas selama pulsa positif atau tidak menyebabkan perhentian total selama pulsa negatif.

Contoh lain dijumpai dalam upaya mengubah dataran rendah pasang surut menjadi daerah pertanian yang subur. Hal ini sering menyebabkan penurunan besar-besaran pada komunitas mangrove dan spesies-spesies yang ada di dalamnya. Meskipun pada saat ini terjadi perdebatan mengenai lebar jalur mangrove yang harus dipertahankan, tampaknya hanya ada sedikit argumen yang berkaitan dengan pelestarian beberapa komunitas mangrove ini. Penerapan prinsip ecological minima di sini akan melibatkan penentuan aspek atau spesies yang dilindungi, jika jenis spesies memang harus ditentukan, bila sistem ekoton yang layak bisa direncanakan dan pengubahan daerah bisa dilakukan di sekitarnya.

Dalam pandangan wisata bahari, pemilihan pendekatan yang akan diterapkan harus melalui beberapa fase. Fase I adalah identifikasi daerah yang sangat sesuai bagi konservasi dan dengan demikian juga sesuai bagi daerah wisata bahari. Fase II mencakup penunjukkan daerah konservasi di sekitar daerah wisata. Fase III adalah pengalokasian komponen infrastruktur dan kemudian diikuti dengan tahap pelaksanaan.

Baca juga Kebijakan Lingkungan Nasional dan Peran Masyarakat


Meskipun semua usaha ini relatif sederhana, sebenarya tidak demikian. Tujuan pengelolaan pembangunan regional tidak pernah ada. Aspek perdagangan harus dipertimbangkan, data cuaca harus dipelajari, harga-harga barang harus dipertimbangkan, dll. Masih ada pertanyaan mendasar : karena ia kompleks, apakah kita akan menelantarkan usaha-usaha untuk mengembangkan daerah tertentu, ataukah kita mencoba dan mencari modalitas yang paling cocok.

Di Provinsi Maluku usaha telah dimulai. Alasan logis bagi program pembangunan regional adalah sebagai berikut. Persetujuan para ahli telah diperoleh. Partisipasi dari masyarakat telah terjamin. Aset alam tersedia. Investor yang tertarik sudah ada. Tetapi bila orang melihat ke daerah lain – karena Maluku hanyalah pelopor – ditemukan banyak hambatan dan rintangan.

Saat ini usaha serupa telah dimulai di Papua dengan orientasi ke arah konservasi-dan-pembangunan. Ini merupakan hal yang menarik. Tanda awal telah muncul dan respon terhadapnya cukup menggembirakan. Rencana ini akan berbeda dalam skala dan pelaksanaan, tetapi seperti di Maluku, dibutuhkan undang-undang untuk menyejajarkan pembangunan dan pemeliharaan lingkungan yang layak sebagai intinya. Dan kita telah melakukannya lebih jauh bersama Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pengawetan Alam. Rencana telah disusun untuk mengetahui profil lingkungan secara luas di Indonesia Bagian Barat, dengan tujuan mengidentifikasi daerah-daerah yang berpotensi untuk dijadikan kawasan konservasi/wisata.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda