Rabu, 18 April 2012

Proses Silase dan Dampak Negatif Minyak Ikan

Arsip Cofa No. C 028

Proses Silase Untuk Memperoleh Minyak Ikan

Reece (1981) melaporkan bahwa peningkatan kadar FFA (free fatty acid, asam lemak bebas) dalam minyak ikan, yang dihasilkan dari silase ikan yang kemudian disentrifugasi, secara prinsip berhubungan dengan pelepasan FFA dari material padat selama proses pembentukan cairan ikan. Sebagian besar dari FFA awal ada di dalam saluran pencernaan ikan sebelum proses pengasaman. Pigmentasi minyak selama proses silase disebabkan oleh pelepasan produk hidrolisis asam terhadap hemoglobin, yaitu haemin. Penambahan hidrogen peroksida 2 % menghambat pigmentasi minyak dan menurunkan kadar FFA. Nilai peroksida minyak ikan, yang berkurang akibat perlakuan ini, bisa dikurangi lebih lanjut dengan penambahan antioksidan larut-minyak ke dalam silase tersebut.

Baca juga :
Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut

Reece (1981) menyatakan bahwa pengawetan ikan utuh dan limbah ikan dengan cara silase merupakan teknik yang telah lama dikenal. Perlakuan ikan cincang dengan asam menghasilkan senyawa protease asam yang menghidrolisis jaringan ikan menjadi produk cairan yang stabil dan cocok untuk pakan ternak. Silase sebagai cara untuk memperoleh minyak ikan dari ikan utuh dan limbah ikan, bagaimanapun, kurang mantap namun telah dibuktikan bahwa enzim-enzim proteolitik pada kondisi asam bisa digunakan untuk melepaskan minyak dari hati ikan dengan kandungan minyak rendah. Keuntungan metode ini adalah berkurangnya hidrolisis minyak oleh enzim lipase-pencernaan (yang biasanya paling aktif pada pH netral atau agak basa), lebih tingginya perolehan minyak dan berkurangnya proses emulsifikasi. Pemisahan minyak dari medium asam menghasilkan nilai FFA yang tinggi akibat disosiasi garam-garam asam lemak, dan lamanya periode inkubasi yang dibutuhkan untuk proses pencairan menyebabkan terjadinya penguraian minyak oleh lipase ber-pH optimum rendah yang ada pada beberapa spesies ikan. Lebih lanjut, minyak yang diperoleh dari silase ikan memiliki warna lebih gelap daripada yang diperoleh dari ikan segar, dan memiliki nilai iodin lebih kecil.

Baca juga :
Komposisi Kimia Minyak Ikan

Aroma Hijau Pada Minyak Ikan Sardin

Wada dan Lindsay (1992) menyatakan bahwa minyak ikan sardin yang mengandung asam lemak omega-3 poli-tak-jenuh merupakan minyak ikan domestik yang paling banyak diproduksi di Jepang. Bagaimanapun, selama penyimpanan flavor tak enak berkembang dan terbentuk aroma hijau pada tahap awal yang menimbulkan bau amis khas ikan. Telah dilakukan penelitian terhadap aroma hijau tersebut di dalam minyak ikan sardin teroksidasi. Penelitian menghasilkan penemuan senyawa aroma baru dengan nilai IE = 7,30 (kolom kapiler SE-54) dan diidentifikasi sebagai senyawa 1,5-oktadien-3-hidroperoksida. Konsentrasi senyawa hijau ini adalah hampir 30 ppb (bagian per milyar) di dalam minyak ikan sardin. Aroma hijau dari minyak sardin merupakan kombinasi semua senyawa berikut : nonadienal, trans-2-heksanal dan 1,cis-5-oktadien-3-one serta 1,5-oktadien-3-hidroperoksida.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Minyak Ikan Melemahkan Kekebalan Terhadap Penyakit

Obach dan Laurencin (1990) dalam Banning (1992) meneliti pengaruh pakan yang mengandung minyak ikan teroksidasi dan kekurangan antioksidan terhadap beberapa aspek respon kekebalan ikan turbot , Scophthalmus maximus. Ikan dengan berat kira-kira 85 gram diberi pakan komersial standar (kelompok kontrol) atau pakan dasar sama tetapi kekurangan antioksidan sintetis dan vitamin E, namun mengandung 7 % minyak ikan teroksidasi dan diberi sedikit vitamin C (kelompok teroksidasi). Ikan dari kedua kelompok divaksinasi terhadap Vibrio anguillarum 408, tepat sebelum percobaan dimulai. Setelah 9 bulan, respon chemiluminesent (perpendaran kimia) dari fagosit kepala ginjal, daya tahan terhadap infeksi bakteri dan produksi antibodi diuji untuk ikan dari kedua kelompok. Produksi antibodi plasma darah tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan. Respon chemiluminesent fagosit kepala ginjal secara nyata lebih rendah pada ikan kelompok teroksidasi. Tingkat mortalitas ikan yang terinfeksi Vibrio anguillarum 408 adalah lebih tinggi pada ikan kelompok teroksidasi (24 %) daripada kelompok kontrol (7 %).

Baca juga :
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Keracunan Makanan Akibat Minyak Ikan

Hashimoto (1979) mengulas hasil-hasil penelitian tentang sifat racun dari minyak ikan. Minyak hati ikan sea bass, bila diberikan kepada tikus, akan menggangu pertumbuhan dan kesehatannya bahkan membunuh banyak di antara tikus-tikus tersebut dalam waktu sebulan. Penyingkiran vitamin A dari minyak ikan tidak menyebabkan pertumbuhan menjadi lebih baik, yang menunjukkan bahwa efek sakit yang ditimbulkan oleh minyak hati ikan tidak disebabkan oleh vitamin A. Minyak hati ikan bisa mengandung tiga macam racun, yaitu racun minyak ikan secara umum, racun penyebab kejang dan racun penyebab lumpuh, yang semuanya mudah dibedakan dari vitamin A. Ketiga macam racun ini diyakini berupa senyawa amin dan senyawa lain yang belum diidentifikasi. Penelitian telah dilakukan terhadap hati ikan tengiri Spanyol, Scomberomorus niphonius, dan hati binatang paus (keduanya pernah menyebabkan keracunan masal di Yamaguchi Prefecture, Jepang) dan ternyata bahwa racun yang larut-air bersifat mematikan bagi tikus. Bagaimanapun, daya racunnya sangat lemah. Juga telah dilakukan penelitian terhadap tiga sediaan dari hati ikan sea bass, yaitu minyak, sisa-sisa hati yang lemaknya sudah dihilangkan dan esktrak cair. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya minyak ikan yang beracun bagi tikus.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda