Senin, 18 Agustus 2014

Penaeus vannamei : Reproduksi, Budidaya, Pakan dan Pertumbuhan

Arsip Cofa No. C 179

Perangsangan Kematangan Ovari Penaeus vannamei Dengan Ekstrak Otak Lobster

Yano dan Wyban (1992) melaporkan bahwa perangsangan kematangan ovari pada udang Penaeus vannamei, dengan menyuntikkan ekstrak otak dari lobster betina Homarus americanus, dengan ovarinya yang sedang berkembang, telah diteliti di bawah kondisi kultur tangki. Lima dari delapan betina yang disuntik esktrak otak menjadi matang gonad sedangkan hanya 2 dari 18 udang betina kontrol yang disuntik ganglion abdominal atau larutan garam menjadi matang gonad. Dua udang betina dengan tahap (Tingkat Kematangan Gonad) V telah ditemukan 17 hari setelah penyuntikkan ekstrak otak lobster. Ini menunjukkan bahwa kematangan ovari Penaeus vannamei di dalam tangki bisa dirangsang dan dipercepat dengan menyuntikkan esktrak otak dari betina spesies lain yang sedang matang gonad. Kematangan ovari bisa dirangsang oleh suatu hormon otak yang merangsang pelepasan “gonad-stimulating hormone” (GSH; hormon perangsang gonad) dari ganglion toracic. Jadi, “gonad-stimulating hormone-releasing hormone” (GSH-RH; hormon pelepas GSH) dinominasikan sebagai tipe hormon yang mungkin di dalam otak yang bertanggung jawab atas kematangan ovari pada udang ini.

Baca juga :
Virus Pada Udang Penaeidae

Hermaprodit Tak Normal Pada Udang Penaeus vannamei

Farfante dan Robertson (1992) menemukan dua ekor udang Penaeus vannamei hermaprodit di antara sekelompok induk F4 di sebuah lokasi budidaya di Venezuela. Udang-udang ini merupakan penaeoid yang dilaporkan pertama kali memiliki thelycum, petasma, appendix masculina, ovari, testis dan lubang-lubang genital jantan maupun betina. Gonopore jantan dan betina adalah normal; thelyca mirip seperti pada betina normal; petasma dan appendix masculina berukuran lebih kecil dibandingkan normalnya dengan bentuk yang tidak khas; ovari dan testis mengalami banyak penyusutan, tetapi pengamatan histologis menunjukkan bahwa jaringan gonad tersebut secara khas adalah sama seperti pada udang normal. Tidak tampak adanya faktor-faktor yang merangsang pembentukan ciri seksual tak normal ini. Kejadian hermaprodit ini, mungkin berkaitan dengan kondisi selama budidaya udang tersebut di dalam wadah terkurung.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Budidaya Udang Penaeus vannamei Intensif Dalam Sistem Kolam Air Deras

Robertson et al. (1992) melakukan percobaan pertumbuhan udang Penaeus vannamei intensif selama 49 hari dalam kolam air deras seluas 70 m2 di dalam rumah kaca. Penaeus vannamei ditebarkan pada berat rata-rata 80 mg dan kepadatan 223 – 229 individu/m2). Udang tumbuh dengan laju rata-rata 0,94 sampai 1,19 gram/minggu. Mereka dipanen pada ukuran rata-rata 6,5 sampai 8,1 gram dengan produksi biomas mencapai 1,36 – 1,56 kg/m2 dan tingkat kelangsungan hidup berkisar dari 78 sampai 83 %. Ketika biomas meningkat, pengelolaan resirkulasi air dan pertukaran air lebih diintensifkan. Air laut diganti semula dengan laju 3 % per hari kemudian dinaikkan menjadi 400 % per hari selama minggu akhir penelitian. Walaupun percobaan ini dilakukan selama akhir musim semi di Texas ketika suhu air sekeliling pada pagi hari berkisar dari 18,3 sampai 28,3 oC, suhu dalam kolam air deras dipertahankan agar mencapai rata-rata suhu harian rendah 26,8 oC dan rata-rata suhu harian tinggi 29,8 oC. Udang yang dibudidayakan secara bersamaan dalam kolam luar-ruangan adalah lebih kecil (4,3 sampai 5,0 gram) dan pertumbuhannya lebih lambat (0,62 sampai 0,71 gram/minggu). Hasil yang diperoleh dalam percobaan ini menunjukkan bahwa juvenil yang lebih besar bisa diproduksi dan juga menunjukkan bahwa Penaeus vannamei bisa dibudidayakan dengan berhasil di dalam sistem intensif kolam air deras ini sampai ukuran yang bisa dipasarkan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga :
Pakan Alami Penaeus

Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan Yang Baik Bagi Pertumbuhan Penaeus vannamei

Robertson et al. (1993) melaporkan bahwa percobaan pertumbuhan intensif di kolam tanah menunjukkan bahwa pertumbuhan udang Penaeus vannamei meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi pemberian pakan dan memperkuat dugaan bahwa pemberian pakan pada siang hari menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan pemberian pakan pada malam hari. Perbedaan pertumbuhan akibat frekuensi pemberian pakan adalah nyata, “instantaneous growth rate’ (IGR; laju pertumbuhan sesaat) meningkat dari 1,62 % sampai 1,66 % menjadi 1,71 % per hari ketika frekuensi pemberian pakan meningkat dari 1 sampai 2 menjadi 4 kali per 24 jam. Perbandingan nilai IGR antara udang yang diberi pakan pada malam hari (1,64 % per hari) dengan udang yang diberi pakan pada siang hari (1,68 % per hari) menunjukkan (P = 0,0633) bahwa pertumbuhan adalah lebih besar untuk udang yang diberi pakan pada siang hari dibandingkan udang yang diberi pakan pada malam hari. Tingkat kelangsungan hidup udang tidak berbeda nyata antar perlakuan frekuensi pemberian pakan, juga tidak berbeda nyata antar perlakuan waktu pemberian pakan (siang atau malam) ; rata-rata tingkat kelangsungan hidupnya adalah 74,7 ± 6,1 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penaeus vannamei yang dibudidayakan pada kondisi yang sama dengan kondisi percobaan ini sebaiknya diberi pakan sedikitnya 4 kali sehari, dan bahwa pemberian pakan pada siang hari adalah setidaknya sama baik dengan dan bahkan mungkin lebih disukai daripada pemberian pakan pada malam hari.

Baca juga :
Udang Metapenaeus : Bioekologi, Reproduksi dan Budidaya

Pengaruh Protein Hewani dan Nabati Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Penaeus vannamei

Gong et al. (2012) melakukan sebuah percobaan selama delapan minggu untuk membandingkan penampilan dua galur genetika udang Penaeus vannamei, yaitu galur T dan galur G, yang diberi pakan dengan berbagai kadar dan sumber protein. Kedua galur berasal dari populasi yang sama tetapi telah mengalami seleksi genetik secara khusus selama lebih dari empat generasi. Galur T dikembangkan untuk memperoleh udang yang tumbuh cepat dan kebal terhadap penyakit virus sindrom Taura, sedang galur G dikembangkan untuk mendapatkan udang yang tumbuh cepat dan produksi tinggi pada kondisi padat penebaran tinggi. Lima perlakuan pakan diberikan : dua pakan komersial dan tiga pakan semi-murni (A, B dan C). Pakan semimurni diformulasikan agar memiliki kandungan energi tercerna yang sama. Pakan A mengandung 35 % protein kasar, yang dibuat dari tepung ikan laut (ikan 15% dan cumi-cumi 15%). Pakan C mengandung 35 % protein kasar tetapi protein asal-lautnya berkurang, yakni tepung ikan (11,5 %) dan tepung cumi-cumi (11,5 %). Pakan B mengandung protein kasar hanya 2 % tetapi kandungan protein asal-lautnya sama seperti pada pakan C. Dua jenis pakan udang komersial, yang mengandung protein 35 % dan 40 %, berfungsi sebagai pakan rujukan. Perlakuan pakan dilakukan dengan tiga kali ulangan. Setiap tangki ditebari dengan 50 ekor udang yang diberi tanda (25 ekor galur T + 25 ekor galur G) dan 100 ekor udang tak bertanda, dengan berat awal rata-rata 10,4 gram pada kepadatan 107/m2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan secara nyata mempengaruhi pertumbuhan udang (P < 0,0001) tetapi tidak berinteraksi dengan galur udang. Udang yang diberi pakan A atau C tumbuh 25 % lebih cepat daripada udang yang diberi pakan B atau kedua jenis pakan komersial. Pakan A dan pakan C menghasilkan pertumbuhan yang sama (0,30 - 0,33 gram/hari) dan tingkat kelangsungan hidup yang sama (83 – 93 %) sampai mencapai ukuran panen 29 gram per udang; hal ini menunjukkan bahwa isolat protein kedelai yang menggantikan sebagian protein laut dalam pakan C dapat berfungsi sebagai sumber protein alternatif yang baik. Laju pertumbuhan dua galur udang adalah sama tanpa terpengaruh oleh sumber ataupun kadar protein pakan, tetapi kadar protein nabati dalam pakan tidak berinteraksi dengan galur udang bila diukur berdasarkan kelangsungan hidup : rata-rata kelangsungan hidup galur T lebih baik daripada galur G bila diberi pakan B, yakni pakan bernilai gizi rendah dengan kandungan protein 20 % dan tanpa protein nabati; tetapi hal ini tidak berlaku bila udang diberi pakan C, yang mengandung 35 % protein di mana 15 % di antaranya berasal dari protein nabati (kedelai). Analisis penanda mikrosatelit menunjukkan bahwa galur T dan galur G berkerabat sangat dekat dan berasal dari galur induk yang sama. Studi pendahuluan ini memberikan informasi yang bisa digunakan untuk studi lebih lanjut mengenai hubungan antara nutrisi pakan dan genetika serta untuk mengekplorasi potensi seleksi genetik guna meningkatkan efisiensi penggunaan protein nabati dalam budidaya udang (Gong et al., 2012).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda