Rabu, 24 Oktober 2012

Dampak Tambak Terhadap Kerusakan Hutan Bakau

Arsip Cofa No. C 093

Pembukaan Tambak Dengan Membabat Hutan Bakau

Menurut Macnae (1968), di banyak tempat di Asia Tenggara, terutama Jawa, Sumatera selatan, Filipina dan Taiwan budidaya udang dan ikan dalam tambak air payau yang dibuat setelah membabat hutan bakau telah sangat lama dilakukan, bahkan di Jawa sudah berabad-abad. Dalam pembuatan tambak ini, hutan bakau ditebang sama sekali kecuali bagian yang mengarah ke laut. Hal ini diperlukan terutama sebagai pelindung terhadap aksi merusak yang ditimbulkan laut dan juga karena di sebagian besar daerah yang dimanfaatkan untuk tambak pengendapan masih berjalan dengan cepat dan keberadaan tumbuhan bakau di bagian yang mengarah ke laut ini memungkinkan penyediaan benih bakau secara terus-menerus untuk mengkolonisasi tebing lumpur yang baru muncul. Lokasi tambak bervariasi dari beberapa ratus meter sampai beberapa kilometer dari laut. Tambak paling jauh dari laut cendeung kurang asin daripada yang terletak di belakang hutan bakau. Tebing antara, yang lebih dikenal sebagai pematang, sering ditanami tumbuhan bakau atau tumbuhan lain yang berguna, biasanya spesies tumbuhan yang bisa mentolerir garam. Hal ini membantu menstabilkan tebing.

Baca juga
Kebijakan Lingkungan Nasional dan Peran Masyarakat

Kerusakan Lingkungan Akibat Tambak

Lee (1993) menyatakan bahwa walaupun tambak budidaya telah lama dikenal di Asia Tenggara, namun mereka masih ditangani secara tradisional dengan sedikit pemupukan, intensifikasi dan miskin teknologi. Kesadaran saat ini mengenai arti penting konservasi ekosistem hutan bakau mengharuskan adanya strategi pengelolaan yang menggabungkan eksploitasi tradisional dengan konservasi hewan liar. Studi kasus di sebuah tambak di Hong Kong membeberkan konflik-konflik apa yang mungkin muncul bila tambak dikelola secara bersamaan untuk tujuan budidaya akuakultur dan sekaligus konservasi hewan liar. Laju sedimentasi meningkat akibat dikendalikannya pertukaran air di tambak, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan ketinggian substrat dan perubahan tipe serta luas penutupan (oleh) tumbuhan. Tambak pasang surut juga mendukung fauna yang berbeda, dan umumnya kurang beragam, dibandingkan fauna di daerah non tambak, mungkin karena kondisi fisik berfluktuasi lebih besar di daerah tambak. Pengelolaan ketinggian air untuk budidaya udang dan ikan juga menimbulkan konflik dengan burung air di tambak tersebut.

Baca juga
Konservasi Untuk Wilayah Pesisir Yang Kritis

Mana Yang Lebih Baik : Mempertahankan Hutan Bakau Atau Mengubahnya Menjadi Tambak Udang ?

Primavera (1995) menyatakan bahwa sekitar 50 % kerusakan hutan bakau di Filipina disebabkan oleh pembukaan tambak air payau. Penyempitan luas hutan bakau dari 450.000 hektar pada tahun 1920 menjadi 132.500 hektar pada tahun 1990 disertai oleh perluasan tambak budidaya sebesar 223.000 hektar pada tahun 1990. Perkembangan tambak ikan di negara ini disebabkan oleh dukungan besar-besaran dari pemerintah pada tahun 1950-an dan 1960-an yang diikuti oleh demam udang pada tahun 1980-an. Produksi tambak air payau meningkat dari 15.900 metrik ton senilai 7,6 juta peso pada tahun 1938 menjadi 267.000 metrik ton senilai 6,5 milyar peso pada tahun 1990. Sebaliknya, diperkirakan lebih dari $ 11.000 per hektar per tahun bisa dihasilkan oleh hutan bakau yang tak dikelola dan yang dikelola sehingga hutan bakau lebih ekonomis daripada sistem budidaya tambak yang paling menguntungkan sekalipun. Lenyapnya sistem hutan bakau beserta fungsi-fungsinya merupakan akibat paling penting dari budidaya tambak air payau di Filipina. Selain itu, budidaya udang intensif disertai dengan dampak ekologis dan sosial ekonomi lain seperti polusi perairan pesisir dan penurunan hasil panen makanan domestik. Disarankan untuk membuat undang-undang baru, melaksanakan peraturan yang sudah ada, konservasi hutan bakau yang masih ada, rehabilitasi besar-besaran terhadap area hutan bakau yang terancam rusak serta mempromosikan penangkapan ikan dan budidaya perikanan yang berwawasan lingkungan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Untung-Rugi Konversi Hutan Bakau Menjadi Tambak

Weinstock (1994) melaporkan bahwa konversi hutan bakau untuk tambak ikan dan udang telah berlangsung di Sulawesi Selatan, Indonesia, selama lebih dari setengah abad. Di beberapa wilayah tampaknya semua hutan bakau telah habis ditebang dan dampaknya terhadap lingkungan telah muncul, termasuk banjir dan erosi pantai. Satu kelompok masyarakat mengalami dampak lingkungan negatif walaupun pada saat yang sama pendapatan mereka meningkat melalui pengembangan sistem agroforestri hutan bakau. Penanaman secara monokultur Rhizophora mucronata (Lam.) di sepanjang pesisir telah mengurangi erosi dan banjir, melindungi tambak ikan dan udang yang ada di darat. Pemanenan pohon bakau secara terkendali memberikan pendapatan yang cukup besar melalui penjualan kayu bakar.

Baca juga
Terumbu Karang : Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino

Weinstock (1994) menambahkan bahwa penebangan hutan bakau untuk area tambak yang dimulai tahun 1930-an membuat beberapa desa di Kabupaten Sinjai, di pesisir tenggara Sulawesi Selatan, mengalami siklus perkembangan tambak secara penuh. Hal ini mencakup penggundulan hutan bakau sampai hampir total guna perluasan tambak sampai ke tepi laut; tambak-tambak tersebut kemudian hancur akibat terjangan gelombang dan angin secara langsung; siklus diakhiri dengan munculnya kembali hutan bakau di sepanjang pantai melalui aksi rehabilitasi oleh masyarakat. Hutan bakau yang baru ini bagi masyarakat Kabupaten Sinjai bukan hanya untuk perlindungan lingkungan tetapi juga sebagai hutan produksi, yang mampu menghasilkan kayu bakar senilai dua milyar rupiah (US $ 1.000) per hektar dari pohon berumur 7 tahun. Berdasarkan rotasi tujuh tahun, bisa diperoleh penghasilan bersih sekitar $ 140 per tahun per hektar, belum termasuk nilai ekonomi yang diberikan hutan bakau melalui perlindungan tambak dari erosi. Penduduk yang menanami lahan pasang surut dengan pohon bakau dan mengambil kayunya untuk dijual tidak dikenai pajak tanah. Sebaliknya, pengembangan tambak membutuhkan banyak tenaga kerja dan modal selama bertahun-tahun, selain itu pemilik tambak harus membayar pajak tanah tahunan.

Baca juga
Distribusi Vegetasi, Penyebaran Benih dan Kerusakan Daun Pohon Bakau

Pengembangan Tambak Udang Tanpa Merusak Hutan Bakau

Rasowo (1990) dalam Jaccarini and Martens (1992) melaporkan bahwa budidaya kolam untuk udang air payau baru-baru ini banyak menarik minat di Kenya. Daerah hutan bakau merupakan zona sasaran untuk pembangunan tambak-tambak ini. Dengan meningkatnya kesadaran akan peranan ekologis unik yang dimainkan hutan bakau, maka ada kebutuhan yang mendesak untuk menghentikan pengubahan rawa hutan bakau menjadi tambak budidaya. Untuk mengembangkan tambak budidaya tanpa merusak hutan bakau, disarankan untuk melakukan pergeseran dari sistem kolam pasang surut ke kolam pompa guna mengubah budidaya dari lahan hutan bakau ke lahan yang lebih tinggi. Budidaya laut yang “bersahabat” dengan hutan bakau di antaranya adalah “pen culture” (budidaya menggunakan pagar), kurungan dan rakit.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda