Selasa, 01 Mei 2012

Aedes : Habitat, Ekdison dan Daya Tahan Terhadap Insektisida

Arsip Cofa No. C 034

Keberadaan Aedes di Hutan Bakau

Macnae (1968) mengamati ekologi nyamuk Aedes di dalam hutan bakau. Ia melaporkan bahwa keberadaan serangga penggigit menyulitkan penelitian di daerah bakau, karena gigitannya menyakitkan dan bisa menimbulkan reaksi keras pada orang yang digigit. Nyamuk sering sangat banyak sekali. Di hutan bakau di Darwin, Australia, pada Januari 1962, lebih dari delapan puluh ekor nyamuk, diduga Aedes vigilax (Skuse), hinggap di lengannya yang terbuka dalam waktu dua menit. Tingkat kelimpahan ini tidak wajar. Banyak nyamuk yang berasosiasi dengan hutan bakau memiliki kebiasan berkembang biak yang aneh. Sebagai contoh Aedes pembaensis (Theobald), yang umum dijumpai di Teluk Lourenzo Marques ke arah utara pesisir Afrika, meletakkan telurnya di cangkang kepiting Sesarma meinerti dan larva menetas serta berkembang menjadi dewasa di genangan air di kaki liang yang dihuni oleh kepiting itu. Larva dan kepompongnya berwarna pucat.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata

Tempat Bertelur Nyamuk Aedes

Beehler et al. (1992) mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi peletakan telur pada nyamuk Aedes triseriatus. Kelima faktor tersebut mencakup air yang pernah diteluri, keberadaan bahan organik busuk, wadah air gelap, air bekas media pemeliharaan larva Aedes triseriatus sampai fase ke-4, dan keberadaan telur pada substrat kayu balsa. Analisis regresi menunjukkan bahwa air yang pernah diteluri dan keberadaan telur pada substrat secara nyata menarik nyamuk betina Aedes triseriatus untuk meletakkan telurnya.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata

Habitat Larva Nyamuk Aedes

Samarawickrema et al. (1993) melaporkan bahwa dalam rangka program pengendalian penyakit filariasis di Samoa, selama tahun 1978 survei bulanan terhadap larva nyamuk vektor penyakit tersebut, yaitu Aedes polynesiensis, telah dilakukan di empat desa di pulau utama Upolu. Survei yang lebih ekstensif terhadap distribusi habitat larva kemudian dilakukan di 22 desa di Upolu dan 18 desa di pulau Savai’i, untuk menentukan arti penting tipe habitat menurut kelimpahannya dan volume air serta apakah produktivitas mereka bersifat permanen atau musiman. Kepadatan larva dan distribusi habitat Aedes aegypti juga dipantau dan keberadaan larva pemangsanya, Toxorhynchites amboinensis, di Upolu utara dicatat dari 41 koleksi. Kelimpahan lava Aedes berfluktuasi sesuai dengan pola curah hujan di dua desa pantai dan di sebuah desa pedalaman yang penuh-belukar, tetapi tidak di desa perkebunan kelapa. Lima tipe utama habitat larva Aedes telah dijumpai : drum penyimpan air 200 liter, botol dan kaleng bekas, batok kelapa, ban mobil dan lubang-lubang pohon. Aedes pra dewasa selalu ditemukan di dalam drum dan lubang pohon, tetapi pemijahan nyamuk bersifat terputus di dalam kaleng, botol dan batok kelapa selama bulan Juli yang kering.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Fluktuasi Konsentrasi Hormon Ekdisteroid

Whisenton et al. (1989) mempelajari fluktuasi konsentrasi hormon ecdysteroid selama perkembangan pupa sampai dewasa pada nyamuk Aedes aegypti. Ekdisteroid adalah hormon-hormon steroid yang terutama bertanggung jawab atas ganti kulit (molting) dan metamorfosis pada serangga. Pada nyamuk, telah banyak diketahui peranannya dalam mengendalikan perkembangan ovari individu dewasa, namun pada dasarnya belum diketahui peranannya dalam mengendalikan perkembangan pasca embryo diptera. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa perubahan kuantitatif dan kualitatif konsentrasi ekdisteorid selama perkembangan pupa-dewasa nyamuk demam kuning, Aedes aegypti, adalah berhubungan dengan “sexual dimorphisme” pada saat nyamuk dewasa menetas dari kepompong. (Catatan : “sexual dimorphisme” berarti individu jantan dan betina memiliki bentuk yang berbeda). Selama perkembangan ini, konsentrasi ekdisteroid mencapai maksimum sebanyak satu kali pada Aedes jantan maupun betina. Puncak konsentrasi pada jantan (sekitar 220 pikogram ekdison ekuivalen per mg), adalah kira-kira 1,5 kali lebih banyak dibandingkan pada betina (sekitar 150 pikogram ekdison ekuivalen per mg), dan terjadi kira-kira 4 jam lebih awal. Akibatnya, nyamuk jantan menetas kira-kira 12 jam lebih dulu daripada betina. Ekdisteorid yang ada dalam tubuh nyamuk jantan dan betina mencakup ekdison, 20-hidroksiekdison, 26-hidroksiekdison dan 20, 26-dihidroksiekdison serta metabolit-metabolit polar. Jumlah relatif ekdistroid-ekdisteroid ini beserta senyawa-senyawa terkait adalah berfluktuasi selama perkembangan, dan pada dasarnya sama untuk jantan dan betina. Bila konsentrasi ekdisteroid total dihitung relatif terhadap reaktivitas-silang radioimunesei ekdisteroid yang ada maka tidak ada perbedaan seksual kuantitatif. Dengan demikian, tampak bahwa dimorfisme seksual dalam perkembangan Aedes mungkin disebabkan oleh perbedaan sementara konsentrasi ekdisteroid terkait.

Free Download E-Book Perikanan

Daya Racun Lima Jenis Insektisida Terhadap Larva Aedes aegypti

Parsons dan Surgeoner (1991) menentukan daya racun akut lima jenis insektisida (permetrin teknis, permetrin mikrokapsul, fenitrotion, karbaril dan karbofuran) terhadap fase-ketiga Aedes aegypti yang dipaparkan dua kali masing-masing selama 1 jam. Daya racun akut dua pemaparan 1-jam terhadap senyawa-senyawa ini, masing-masing diselingi dengan periode bebas-pestisida selama 6 jam, dibandingkan dengan hasil pemaparan 2-jam terus-menerus. Daya racun akut dinyatakan sebagai nilai LC 50 berdasarkan kelangsungan hidup sampai tahap dewasa. LC 50 untuk dua pemaparan 1-jam terhadap permetrin mikrokapsul (180 mikrogram/liter) secara nyata lebih rendah daripada nilai LC 50 untuk pemaparan 2-jam terus-menerus (250 mikrogram/liter). Tidak ada perbedaan nyata antara nilai-nilai LC 50 untuk dua pemaparan 1-jam dan pemaparan 2 jam terus menerus pada permetrin teknis (2,03 – 2,32 mikrogram/liter), fenitrotion (49,4 – 48,8 mikrogram/liter), karbaril (3.040 – 3.470 mikrogram/liter) dan karbofuran (1.590 – 2.130 mikrogram/liter). Penambahan selang waktu antar dua pemaparan 1-jam untuk karbaril dari 6 menjadi 24 jam tidak mempengaruhi secara nyata daya racun akut (nilai LC 50 selang waktu 6 jam dan 24 jam adalah 3,0 mg/liter dan 3,8 mg/liter, berturut-turut). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa larva nyamuk Aedes aegypti tidak pulih dari keracunan insektisida selama periode bebas-pestisida antar pemaparan.

Baca juga :
Dampak Negatif Pestisida Bagi Perairan Pesisir

Efisiensi Xanthan Dalam Membasmi Aedes

Pittendrigh and Zacharuk (1992) melakukan evaluasi laboratorium terhadap bubuk xanthan dalam mengendalikan nyamuk Aedes atropalpus (Diptera : Culicidae). Bubuk getah xanthan, yang merupakan agen potensial pengendali nyamuk, ditaburkan pada permukaan air yang menggenang dalam nampan laboratorium untuk menentukan efisiensinya dalam membunuh pupa Aedes atropalpus (Coquillett). Nilai ED-50 getah xanthan adalah 6,18 gram/m2 , dengan nilai LT-50 14,2 menit. Bila getah xanthan dberikan sebanyak 22,47 gram/m2, maka kedalaman air tidak mempengaruhi mortalitas pupa. Lapisan permukaan xanthan mencegah pupa mencapai bidang batas udara-air. Lapisan ini tidak secara nyata menurunkan konsentrasi oksigen terlarut di nampan uji.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda