Selasa, 01 Mei 2012

Pemijahan Buatan Pada Ikan

Arsip Cofa No. C 032

Merangsang Pemijahan Bandeng Dengan Hormon

Marte et al. (1988) mengulas laporan beberapa peneliti mengenai perangsangan pemijahan pada ikan, khususnya bandeng (Chanos chanos). Upaya-upaya yang pertama kali dilakukan untuk merangsang kematangan gonad pada juvenil bandeng tidak berhasil. Ikan yang belum matang gonad atau induk bandeng liar dengan gonad telah menyusut tidak memberikan respon terhadap hormon gonadotropin (GtH) atau berbagai kombinasi GtH dan steroid. Teknik mutakhir yang melibatkan pemberian secara kronis testosteron saja atau dikombinasikan dengan analog “luteinizing hormone-releasing hormone” (LHRH-A) efektif untuk merangsang agar gonad berkembang sangat cepat pada ikan rainbow trout yang belum matang gonad. Mekanisme di belakang perangsangan kecepatan perkembangan ini tampaknya merupakan aksi umpan balik positif testosteron terhadap sekresi GtH pituitari. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa tesosteron atau androgen lain yang dapat-diaromatisasi merangsang penimbunan GtH pituiatri. Dengan adanya aktivitas LHRH-A dalam melepaskan GtH, konsentrasi GtH yang bersirkulasi bersama darah meningkat, yang selanjutnya merangsang gonad. Strategi ini telah berhasil diterapkan untuk merangsang perkembangan gonad pada bandeng yang dipelihara dalam tangki di Hawaii. Pemberian secara kronis cairan 17 alfa-metiltestosteron (MT) dalam bentuk kapsul silastik bersama-sama dengan pelet kolesterol LHRH-A merupakan cara efektif untuk meningkatkan persentase ikan bandeng yang matang gonad.

Baca juga :
Reproduksi dan Endokrinologi

Kesulitan Yang Dihadapi Dalam Merangsang Kematangan Gonad Bandeng Dengan Hormon

Lee et al. (1985) dalam Lee dan Liao (1985) menyatakan bahwa ikan bandeng di dalam kolam dengan sebab yang tidak diketahui umumnya hidup tanpa melalui siklus reproduksi dan pemijahan sebagaimana yang seharusnya terjadi di alam. Fenomena ini sangat sering dialami ikan-ikan yang dibudidayakan. Faktor-faktor lingkungan yang biasanya menjadi perantara bagi aktivitas reproduksi ikan tidak dijumpai di dalam kondisi budidaya. Perlakuan-perlakuan hormonal telah diterapkan untuk mengatasi rintangan-rintangan yang menghambat produksi gamet dan pemijahan ikan budidaya.

Menurut Lee et al. (1985) dalam Lee dan Liao (1985), praktek yang umum untuk merangsang kematangan gonad pada ikan adalah dengan melakukan serangkaian penyuntikan hormon seperti yang telah berhasil diterapkan pada ikan sidat Jepang. Preparat hormon biasanya mengandung bahan kimia yang dikehendaki yang dilarutkan dalam suatu cairan (misal larutan garam normal, larutan garam fosfat bufer,dll) yang secara osmotik sesuai dengan lingkungan internal ikan penerima hormon. Bagaimanapun, bila larutan hormon seperti ini disuntikkan biasanya menghilang dengan cepat di dalam tubuh ikan dan hanya terdapat dalam jumlah tinggi bersama darah selama periode yang singkat. Agar konsentrasi hormon yang dikehendaki yang beredar bersama darah tetap tinggi maka dilakukan serangkain penyuntikan. Prosedur ini agak tidak efisien karena memakan banyak waktu dan sudah pasti meningkatkan stres pada ikan sebab makin banyak penyuntikan berarti ikan makin sering dipegang. Faktor stres ini dilaporkan menjadi salah satu faktor penghambat siklus reproduksi normal pada ikan. Tampaknya peningkatan stres bisa mengurangi keberhasilan perlakuan hormonal tersebut. Ini terutama terjadi pada ikan bandeng yang sangat peka terhadap tangan-tangan manusia yang memegangnya. Sebagai contoh, oosit dari induk bandeng liar mengalami kegagalan fungsinya bila mereka tidak diberi suntikan hormon (misalnya campuran homogen pituitari ikan karper, campuran homogen pituitari ikan salmon atau human chorionic gonadotropin) dalam beberapa jam setelah penangkapan. Demikian pula, dalam waktu 2 – 3 hari setelah dimasukkan ke dalam kolam peliharaan maka ikan akan menyerap kembali spermanya. Yang lebih parah lagi, ikan bandeng liar biasanya mati bila diberi lebih dari 3 kali suntikan. Sebagian masalah ini bisa diatasi dengan menggunakan ikan hasil budidaya meskipun banyak masalah lain yang belum teratasi. Jelasnya, prosedur yang dapat memberikan hormon yang dikehendaki dengan konsentrasi di dalam darah sesuai dengan kebutuhan dan meminimumkan stres akibat penanganan akan sangat bermanfaat.

Pelet GnRH Untuk Merangsang Pemijahan Berulang Pada Ikan Kakap

Almendras et al. (1988) melaporkan bahwa dua analog hormon pelepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormone analogue; GnRHa), (D-Ala6, Pro9-ethylamide) GnRH mamalia dan (D-Arg6, Pro9-ethylamide) GnRH salmon, digunakan untuk merangsang pemijahan ikan kakap. Penyuntikan tunggal GnRH merangsang sekali pemijahan, tetapi penyuntikan berulang (2 – 4 kali) yang berselang 24 jam menghasilkan satu sampai empat kali pemijahan pada individu-individu betina. Hal yang lebih menarik adalah ikan kakap yang memijah sampai lima kali setelah tubuhnya ditanami sebuah pompa osmotik yang melepaskan GnRH selama 14 hari. Metode lain yang lebih murah tetapi sama efektifnya adalah pencangkokan GnRH dalam pelet dengan suatu matriks kolesterol-selulosa. Pemijahan berulang pada seekor ikan betina dihasilkan hanya oleh dua pelet yang dicangkokkan bersamaan; satu individu ikan melepaskan sampai 7 juta butir telur dengan tingkat penetasan dan kesuburan yang baik. Ikan kakap kembali matang gonad lagi pada musim yang sama dan memijah berkali-kali pada bulan Juni maupun September bila dirangsang dengan GnRH dalam bentuk pelet. Perangsangan pemijahan berulang memberikan hasil yang tidak berbeda nyata bila dilakukan pada saat fase bulan baru maupun pada fase perempatan bulan pertama. Terakhir, individu jantan sanggup membuahi telur dari satu ikan betina selama sedikitnya empat kali pemijahan berturut-turut. Sebagai kesimpulan, pelet, pompa dan penyuntikan berulang menyebabkan ikan kakap memijah berkali-kali, tetapi pelet lebih dapat diandalkan, lebih murah dan lebih aman bagi ikan.

Pelet Yang Mampu Melepaskan Hormon Gonadotropin Terus-Menerus

Sherwood et al. (1988) menjelaskan sebuah metode mengenai cara menanam analog hormon pelepas hormon gonadotropin (GnRH-A) ke dalam pelet yang terbuat dari berbagai matriks agar dapat melepaskan hormon ini terus-menerus dengan laju yang berbeda-beda. Pelet yang mengandung GnRH-A dimasukkan ke dalam ruang penyiram in vitro kemudian pelepasan analog GnRH ini diukur melalui radioimunoesei yang menggunakan suatu antiserum khusus dari analog hormon tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa matriks yang mengandung selulosa 25, 50, 75 atau 100 % yang dikombinasikan dengan kolesterol mampu melepaskan GnRH-A dengan laju pelepasan awal pada 1 jam pertama sebanyak 19 – 40 % dari total analog GnRH yang terkandung dalam pelet tersebut; lebih dari 90 % analog dilepaskan setelah 24 jam. Sebaliknya, pelepasan GnRH-A dari sebuah pelet yang terbuat dari selulosa 5 % dan kolesterol atau 100 % kolesterol hanya 5 – 6 % dari jumlah total analog setelah 1 jam dengan total pelepasan sebanyak 18 – 21 % setelah 24 jam dan 36 – 38 % setelah 25 hari. Diyakini bahwa pelet yang tak beracun dan murah ini sesuai untuk budidaya ikan. Pelet kolesterol-selulosa dengan kandungan selulosa 25 – 100 % sangat berguna bagi ikan dewasa yang membutuhkan rangsangan cepat GnRH-A untuk mematangkan telur tahap akhir dan memijahkannya. Pelet kolesterol 95 atau 100 % mungkin paling sesuai untuk melepaskan hormon secara terus-menerus bagi ikan yang membutuhkan waktu beberapa hari untuk mematangkan ovari tahap akhir atau bagi ikan yang memijah selama beberapa hari berturut-turut.

Pemijahan Buatan Pada Ikan Belanak

Alvarez-Lajonchere et al. (1991) melakukan percobaan pemijahan buatan dan pemeliharaan larva pada ikan belanak Mugil liza pada akhir musim pemijahan alami 1987/1988 di Tunas de Zaza, di mana tahap juvenil spesies ikan mugilidae dipelihara untuk pertama kalinya di Kuba. Semua ikan betina yang diamati memiliki oosit (sel telur) yang menyusut. Dari 18 ekor yang dipilih, empat (22,2 %) mati selama perlakuan hormon. Dari empat belas ekor yang bertahan hidup setelah perlakuan, pemijahan alami atau pembuahan buatan terjadi pada tujuh ekor di antaranya (50 %). Hasil pemijahan terbaik diperoleh dengan 60 – 90 mg/kg pituitari belanak dalam 3 – 4 dosis parsial (selang waktu 24 jam). Telur dari seekor betina dengan tingkat fertilisasi tertinggi (60 %) dierami pada suhu 24 °C, yang menghasilkan 90 % kelangsungan hidup telur terbuahi pada saat menetas. Percobaan pemeliharaan menunjukkan bahwa larva ikan yang dihasilkan siap menerima makanan luar pada hari ke 3 – 4 dan bahwa tahap post larva berakhir 40 hari setelah menetas; juga bahwa tangki terpal tidak cukup, dan bahwa penggunaan organisme pakan peralihan antara rotifera dan Artemia bisa memperoleh hasil yang lebih baik. Pada akhir siklus pemeliharaan (49 hari), 220 juvenil dipanen dalam satu dari empat perlakuan yang diberikan (kelangsungan hidup 0,20 %).

Baca juga :
Merangsang Pemijahan Ikan Dengan LHRH (Luteinising Hormone Releasing Hormone)

Upaya Merangsang Pemijahan Ikan Belanak Dengan Hormon dan Manipulasi Faktor Lingkungan

Menurut Lee dan Tamaru (1988) ikan belanak abu-abu (Mugil cephalus L.) merupakan spesies yang dibudidayakan secara luas. Teknik pemijahan buatan untuk spesies ini, bagaimanapun, belum dikembangkan. Di antara teknik perangsangan pemijahan yang saat ini tersedia, larutan homogen pituitari ikan karper ditambah Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan larutan homogen pituitari ikan karper ditambah analog hormon pelepas hormon luteinizing (LHRH) adalah yang paling memberi harapan. Perlakuan yang terakhir ini disarankan. Kematangan gonad ikan belanak jantan telah berhasil dirangsang sepanjang tahun dengan menggunakan 17-alfa –metiltestosteron yang diberikan lewat mulut, penyuntikan atau pencangkokan. Terapi hormon praktis untuk mengendalikan kematangan gonad ikan belanak betina masih diteliti.

Lee dan Tamaru (1988) menambahkan bahwa kematangan gonad pada ikan belanak jantan dan betina telah dapat dirangsang di luar musim pemijahan dengan manipulasi parameter-parameter lingkungan seperti fotoperiode dan suhu atau dengan penyuntikan “gonadotropin serum kuda betina hamil” (Pregnant Mare’s Serum Gonadotropin; PMSG). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penurunan suhu air diperlukan, bagaimanapun, untuk menyempurnakan vitelogenesis. Cara lain yang tersedia adalah mengendalikan kematangan testikular tanpa menggunakan manipulasi lingkungan. Spermatogenesis dapat dirangsang secara efektif kapan pun dengan memanfaatkan androgen yang bisa digunakan dengan berbagai cara (yakni lewat mulut, penyuntikan atau pencangkokan). Saat ini, pengendalian kematangan gonad ikan betina masih memerlukan faktor pemicu lingkungan untuk menyempurnakannya.

Merangsang Pemijahan Lele Dengan Pituitari Non Ikan

Fagbenro et al. (1992) meneliti ovulasi dan pemijahan buatan pada ikan lele, Clarias isheriensis, dengan menggunakan ekstrak pituitari dari sumber non ikan. Ekstrak pituitari aseton-kering diperoleh dari kodok Bufo regularis, kodok Afrika Rana adspersa dan ayam Gallus domesticus. Ekstrak pituitari tersebut dievaluasi dengan tujuan mencari alternatif agen perangsang selain pituitari ikan untuk memijahkan Clarias isheriensis. Dosis tunggal 4 mg ekstrak pituitari kering per kg ikan betina disuntikkan secara intraperitoneal (lewat perut), dan ternyata berhasil merangsang ovulasi dan pemijahan pada semua perlakuan; tidak ada perbedaan nyata (P > 0,05) dalam hal persentase pembuahan telur. Semua ekstrak pituitari efektif dalam merangsang ovulasi dan pemijahan Clarias isheriensis dan, dengan demikian, dapat digunakan sebagai sumber alternatif hormon-hormon pituitari.

Hormon Terbaik Untuk Pijah Rangsang

Caroisfeld (1988) dalam Hernandez (1989) mempelajari fisiologi reproduksi dan pemijahan buatan pada ikan dalam kaitannya dengan budidaya Colossoma. Berbagai teknik hormonal dan intevensi lingkungan saat ini tersedia untuk merangsang vitelogenesis, spermiogenesis, pematangan gonad akhir, spermiasi, ovulasi dan pemijahan pada ikan budidaya. Perlu dicatat bahwa hormon yang paling berhasil untuk merangsang reproduksi ikan adalah ekstrak pituitari dan analog LHRH.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pemijahan Buatan

Marte et al. (1988) menyatakan bahwa keberhasilan pijah rangsang pada ikan bandeng dipengaruhi oleh sejarah reproduksi ikan, kondisi lingkungan dan pemeliharaan, serta waktu pemberian hormon. Ikan yang akan pertama kali matang gonad memberikan respon yang lebih kuat terhadap hormon reproduksi daripada ikan yang sudah pernah memijah. Pijah rangsang lebih berhasil pada suhu air laut yang lebih rendah (22 – 26 °C) dibandingkan pada suhu yang lebih tinggi (26 – 32 °C). Pengaruh perlakuan pemberian hormon testosteron dan testosteron + LHRH-A terhadap pematangan-kembali mungkin lebih nyata bila percobaan dimulai beberapa bulan lebih awal atau segera setelah musim pemijahan sebelumnya.

Berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu bahwa ikan bandeng yang diberi perlakuan kronis metil testosteron + LHRH-A memiliki laju pematangan gonad yang tinggi, hasil penelitian yang dilakukan Marte et al. (1988) menunjukkan sedikit kemajuan pada ikan yang diberi testosteron atau testosteron + GnRH-A. Pada beberapa percobaan, ikan diduga matang gonad secara spontan karena ikan yang telah matang gonad dengan persentase tinggi diperoleh baik dari kelompok yang diberi pelakuan maupun kelompok kontrol 9 – 12 minggu sejak pencangkokan. Di Hawaii, laju pematangan gonad ikan yang diberi hormon adalah rendah dalam bulan April dan memuncak hanya pada Juli. Perbedaan hasil-hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh perbedaan sejarah reproduki ikan, kondisi lingkungan dan pemeliharaan, serta waktu pemberian hormon. Ikan di Hawaii diduga merupakan ikan yang baru pertama kali matang gonad sedangkan ikan dalam penelitian ini adalah induk yang sudah pernah memijah. Suhu air laut lebih rendah di daerah Hawaii (22 – 26 oC) daripada suhu air dalam fasilitas yang dipakai dalam penelitian ini (26 – 32 oC).

Pengaruh perlakuan pemberian hormon testosteron dan testosteron + LHRH-A terhadap pematangan kembali mungkin lebih nyata bila percobaan dimulai beberapa bulan lebih awal atau segera setelah musim pemijahan sebelumnya. Di Hawaii, musim pemijahan bandeng adalah pada bulan Juli dan percobaan untuk merangsang kematangan gonad dimulai pada bulan Januari, 6 bulan sebelum musim pemijahan. Jumlah ikan telah matang-gonad pada kelompok yang diberi hormon pada awalnya rendah tetapi meningkat ketika mendekati puncak musim pemijahan. Penelitian ini dimulai pada bulan Februari, 3 bulan sebelum puncak musim pemijahan bandeng. Bisa diharapkan bahwa pematangan gonad dimulai pada saat ini dan pemberian hormon berpengaruh sedikit terhadap peningkatan laju pematangan gonad yang sudah tinggi itu (Marte et al., 1988).

Baca juga :
Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

Luas Area Budidaya Mempengaruhi Keberhasilan Pijah Rangsang Bandeng

Pada penelitian yang dilakukan oleh Marte et al. (1988) dengan ikan bandeng yang dipelihara dalam berbagai ukuran jaring apung, bandeng mencapai pertumbuhan normal tetapi tidak pernah matang gonad di dalam jaring apung berdiameter kurang dari 6 meter (28,3 m2). Fasilitas pemeliharaan lain di mana bandeng dilaporkan matang gonad paling tidak berdiameter 6 meter atau lebih. Mungkin keterbatasan ruang yang luasnya kurang dari 28 m2 tidak menyediakan cukup area renang bagi bandeng yang sangat aktif. “Stres kronis” akibat keterbatasan ruang ini mungkin menghambat daya respon sumbu pituitari-gonad pada ikan yang dipelihara dalam jaring apung kecil. Selain itu, bandeng yang dipelihara dalam jaring apung mungkin masih memiliki sifat sebagai ikan liar dan lebih peka terhadap stres penangkapan dan stres penanganan daripada bandeng yang dipelihara dalam tangki. Hal ini sebagian bisa menjadi sebab respon negatif ikan dalam beberapa percobaan.

Pengaruh Suhu Terhadap Pemijahan Buatan Pada Sidat

Satoh et al.(1992) merangsang pemijahan ikan sidat Jepang (Anguilla japonica). Sekali seminggu, ikan sidat betina katadromus diberi gonadotropin komersial, DES-Na dan vitamin E dengan total 6 kali, dan kemudian diberi kelenjar pituitari ikan kering-aseton beberapa kali selama periode yang singkat namun sesuai. Sidat jantan katadromus disuntik dengan gonadotropin komersial dan vitamin E sebanyak lebih dari 5 kali. Kemudian mereka dipelihara pada suhu air 18 – 20 °C, namun pemijahan tidak terjadi. Ketika suhu air dinaikkan menjadi 21 – 22 °C, perilaku pemijahan terlihat pada malam hari dan pemijahan berlangsung pada awal pagi. Telur yang dibuahi pada pemijahan ini menetas dengan normal.

Baca juga :
Prosedur Penyuntikan Pituitari dan Pemijahan Buatan Pada Ikan Karper

Stres Penanganan Mengganggu Pijah Rangsang

Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya merangsang kematangan gonad tahap dini pada bandeng yang belum matang gonad berumur 5 atau 6 tahun memberikan hasil negatif. Ikan umur 6 tahun yang pernah memijah juga tetap menyusut gonadnya. Selama percobaan pemijahan buatan, pemindahan ikan bandeng dari satu jaring apung ke jaring apung lain dalam rangka perawatan jaring apung tersebut, mungkin cukup menggangu fungsi pituitari atau gonad. Efek negatif stres penanganan ini diduga kuat menjadi penyebab kegagalan bandeng tidak-matang gonad dalam berrespon terhadap pemberian gonadotropin dan steroid pada percobaan-percobaan pendahuluan. Pada penelitian tersebut, ikan dipelihara dalam jaring apung berdiameter 3 m dan ditangani secara berulang. Ikan dari stok yang sama dengan yang digunakan dalam percobaan perangsangan hormonal, dipelihara dalam jaring apung berdiameter 10 m dan sama sekali tak diganggu, menjadi matang gonad dan memijah selama periode ketika percobaan perangsangan dengan hormon dilakukan. Demikian pula, ikan yang dibiarkan dalam jaring apung berdiameter 10 m dan ikan berumur 6 tahun yang pernah memijah mulai melakukan pemijahan pada bulan April. Total 31 pemijahan diperoleh dari stok ini sejak 10 April sampai Oktober.

Merangsang Kematangan Gonad Ikan Bandeng Muda

Marte et al. (1988) melaporkan bahwa upaya untuk merangsang kematangan gonad tahap dini pada bandeng belum-matang gonad umur 5 atau 6 tahun memberikan hasil negatif. Ikan umur 6 tahun yang pernah memijah juga tetap menyusut gonadnya. Bandeng umur 5 dan 6 tahun dipelihara dalam jaring apung berdiameter 5 meter dan dibiarkan tak diganggu kecuali ketika perawatan jaring yang kadang-kadang dilakukan hingga mereka dipindahkan ke jaring apung berdiameter 6 meter pada awal percobaan. Ikan yang pernah memijah juga dipindah dari jaring apung berdiameter 10 meter hanya selama perlakuan awal. Pemindahan ini mungkin cukup mengganggu fungsi pituitari atau gonad. Efek negatif stres penanganan ini diduga kuat menjadi penyebab kegagalan bandeng tidak-matang gonad dalam berespon terhadap pemberian gonadotropin dan steroid pada percobaan-percobaan terdahulu (Lacanilao et al., 1985). Dalam studi ini, ikan dipelihara dalam jaring apung berdiameter 3 meter dan ditangani secara berulang. Ikan dari stok yang sama dengan yang digunakan dalam percobaan perangsangan hormonal, dipelihara dalam jaring apung berdiameter 10 meter dan sama sekali tak diganggu, matang gonad dan memijah selama periode ketika percobaan perangsangan dengan hormon dilakukan (Lacanilao dan Marte, 1980; Marte dan Lacanilao, 1986). Demikian pula, ikan yang dibiarkan dalam jaring apung berdiameter 10 meter dan ikan umur 6 tahun yang pernah memijah mulai melakukan pemijahan pada bulan April. Total 31 pemijahan diperoleh dari stok ini sejak 10 April sampai Oktober.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda