Kamis, 26 Juli 2012

Aspek Kimia Pembusukan Ikan

Arsip Cofa No. C 069

Alat Sensor Pemantau Pembusukan Ikan

Pacquit et al. (2006) menjelaskan mengenai sebuah alat sensor, yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi “chemical barcode”, guna memantau kesegaran ikan setiap saat. Sensor ini mengandung zat warna yang peka terhadap pH, yaitu “bromocresol green”, yang memberikan respon melalui perubahan warna-tampak terhadap senyawa-senyawa pembusukan mudah-menguap, seperti trimetilamin (TMA), amonia (NH3) dan dimetilamin (DMA), yang secara kolektif dikenal sebagai “Total Volatile Basic Nitrogen (TVB-N)”. Karakteristik sensor ini telah dipelajari, juga responnya dengan gas amonia. Uji coba terhadap ikan cod dan spesies ikan yang kurang dimanfaatkan membuktikan bahwa respon sensor berkorelasi dengan pola pertumbuhan bakteri dalam sampel ikan sehingga memungkinkan pemantauan pembusukan secara “real-time” pada berbagai spesies ikan. Respon sensor dapat diketahui dengan alat kolorimeter pemantulan-cahaya yang murah dan sederhana yang telah dikembangkan berdasarkan dua “light emitting diode” (LED) dan detektor cahaya.

Baca juga
Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan

Pacquit et al. (2007) melaporkan bahwa industri perikanan sangat tertarik dalam mengembangkan metode cepat untuk mengevaluasi kesegaran ikan dan produk makanan laut secara “real-time”. Salah satu metode tersebut adalah “smart packaging” (pengemasan cerdas) yang bisa memantau produk-produk penguraian mikroba dalam ikan kemasan. Ketika ikan membusuk, maka dilepaskan berbagai senyawa “basic volatile amine” yang dapat dideteksi oleh sensor pH. Alat ini memiliki wadah polimer yang di dalamnya terdapat zat warna peka-pH yang berespon, melalui perubahan warna-tampak, terhadap senyawa-senyawa “volatile” (mudah menguap) hasil pembusukan yang secara umum disebut “total volatile basic nitrogen” (TVB-N). Uji laboratorium terhadap filet ikan segar menunjukkan bahwa sensor tersebut secara akurat mendeteksi peningkatan konsentrasi senyawa amina di dalam kemasan. Respon ini ternyata berkorelasi dengan perubahan populasi mikroba (“total viable count” atau TVC dan Pseudomonas spp.). Selain itu, kebocoran zat warna telah diamati sepanjang waktu untuk mengevaluasi kelayakan formula sensor bagi makanan kemasan.

Baca juga
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Pembusukan Cairan Ikan

Beatty dan Collins (1939) mempelajari proses kimia selama pembusukan cairan yang keluar akibat penekanan daging ikan cod. Perubahan autolisis (perusakan sel oleh enzim milik sendiri) dalam cairan daging ikan cod bisa diabaikan bila dibandingkan dengan perubahan akibat bakteri yang mengkontaminasi cairan tersebut. Selama pembusukan awal, sebagian besar bakteri yang beraksi terhadap cairan ikan adalah disebabkan oleh pertumbuhan anaerob. Kemudian, ketika cairan benar-benar membusuk, oksidasi aerob diduga merupakan proses yang utama bila ada udara. Pembusukan cairan ikan laut selalu terjadi dalam dua tahap tanpa pengaruh ketersediaan udara, pertama adalah oksidasi asam laktat dan gula; tahap kedua adalah oksidasi asam-asam amino dan hidrolisis protein. Tahap kedua merupakan pembusukan tingkat lanjut. Karena produksi trimetilamin terjadi terutama selama tahap pertama, senyawa ini bisa menjadi indikator yang tepat untuk mengetahui kemungkinan terbentuknya senyawa-senyawa beracun akibat penguraian protein dan asam amino.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Peranan Amina Biogenik Dalam Pembusukan Ikan

Al Bulushi et al. (2009) melaporkan bahwa amina biogenik merupakan senyawa non volatil yang dibentuk oleh proses dekarboksilasi asam-asam amino. Walaupun banyak amina biogenik telah ditemukan dalam ikan, hanya histamin, cadaverin dan putrescin yang penting dalam penentuan kualitas dan keamanan ikan. Banyak laporan mengenai hubungan antara histamin dan keracunan ikan scombroid, namun histamin saja tampaknya tidak cukup untuk menyebabkan keracunan makanan. Putrescin dan cadaverin diduga berpotensi mendorong timbulnya keracunan histamin. Dengan memperhatikan pembusukan pada sisi lain, hanya cadaverin yang bisa menjadi indeks yang berguna untuk mengetahui tahap awal pembusukan ikan. Hubungan antara amina biogenik, evaluasi inderawi, dan trimetilamin selama pembusukan dipengaruhi oleh komposisi bakteri dan konsentrasi asam amino bebas. Jumlah bakteri mesofil sebanyak log 6–7 cfu/g ternyata berasosiasi dengan 5 mg histamin/100 g ikan, yaitu batas histamin maksimum yang diijinkan oleh Food and Drug Administration (FDA). Studi in vitro menunjukkan keterlibatan cadaverin dan putrescin dalam pembentukan nitrosamine, nitrosopiperidine (NPIP) dan nitrosopyrrolidine (NPYR), berturut-turut. Selain itu, garam tak murni, suhu tinggi, dan pH rendah mendorong pembentukan nitrosamine, sedangkan natrium klorida murni menghambat pembentukan senyawa tersebut. Memahami hubungan antara senyawa-senyawa amina biogenik dan keterlibatannya dalam pembentukan nitrosamin dapat menjelaskan mekanisme keracunan ikan scombroid dan menjamin keamanan banyak produk perikanan.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Laju Pembusukan Filet, Ikan Utuh Dengan Isi Perut dan Ikan Utuh Tanpa Isi Perut

Fernandez-Salguero dan Mackie (1987) menentukan konsentrasi senyawa volatil (mudah menguap) dan non volatil yang terbentuk dalam ikan hering (Clupea harengus) dan haddock (Melanogrammus aeglefinus) selama penyimpanan sebagai filet dan sebagai ikan utuh dalam es dan pada suhu 5 °C. Perbandingan laju pembentukan senyawa-senyawa amina non volatil utama (histamin, cadaverine dan putrescine) dan trimetilamin menunjukkan bahwa filet ikan haddock membusuk lebih cepat daripada ikan utuhnya yang isi perutnya sudah dibuang, dan bahwa ikan hering yang isi perutnya tidak dibuang membusuk lebih cepat daripada filetnya.

Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Pola Musiman Pembusukan Ikan Yang Disimpan Dalam ES

Grigorakis et al. (2003) melaporkan bahwa ikan sea bream (Sparus aurata) hasil budidaya karamba dari perairan laut Yunani telah disampling pada bulan Januari dan Agustus untuk mengetahui beberapa indikator pembusukan kimiawi dan mikrobiologi selama disimpan 15 hari di dalam es. Ikan musim dingin mencapai populasi mikroba yang lebih banyak (109 dibandingkan 107 untuk ikan musim panas) pada akhir periode penyimpanan. Nilai pH menunjukkan peningkatan setelah 8 hari penyimpanan. TVBN meningkat sedikit dan seragam. Katabolisme adenin nukleotida menunjukkan lambatnya laju dekomposisi “inosine monophosphate” dan akumulasi hipoksantin. Nilai K ikan musim panas pada awalnya lebih tinggi daripada nilai K ikan yang disampling pada musim dingin pada tahap-tahap awal penyimpanan, tetapi lebih rendah pada tahap-tahap akhir ketika pembusukan oleh mikroba terjadi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan musim panas memiliki tingkat aktivitas autolisis yang lebih tinggi tetapi laju pembusukan oleh mikroba lebih rendah.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda