Senin, 27 Agustus 2012

Sosis Ikan

Arsip Cofa No. C 071

Daya Awet Sosis Ikan

Hing et al. (1972) menyatakan bahwa sosis ikan merupakan produk perikanan yang terdiri dari terutama ikan giling dan bahan-bahan lain seperti lemak, kanji, bumbu dan/atau bahan pengawet. Ia dikemas dalam bungkus plastik dan umumnya dipanasi pada suhu 83 – 90 °C selama 40 – 60 menit. Karena perlakuan panas ini tidak cukup untuk membunuh semua mikroorganisme yang terkandung dalam produk, pembusukan menjadi masalah terutama bila disimpan tanpa pendinginan. Industri sosis ikan di Jepang dimulai pada akhir tahun 1953 dengan produksi sekitar 2.000 metrik ton. Pada tahun 1963, produksi naik menjadi lebih dari 118.000 metrik ton. Keberhasilan produk ini disebabkan terutama oleh peningkatan daya awet non pendinginan melalui penggunaan bahan pembungkus impermeable (kedap air) dan bahan pengawet nitrofuran. Bagaimanapun, nitrofuran yang digunakan sebagai bahan pengawet sosis ikan di Jepang dilarang pemakaiannya di Amerika Serikat.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Sosis Ikan Yang Menyehatkan Sebagai Pengganti Sosis Babi

Cardoso et al. (2008) melaporkan bahwa dalam rangka mengembangkan sosis ikan menyehatkan yang rendah lemak dan mengandung “dietary fibre” (DF; serat makanan), tiga perubahan fundamental telah dilakukan terhadap resep asli sosis babi : (1) penambahan 4 % (berat/berat) Swelite® (sejenis serat makanan dari kacang bagian dalam); (2) penggantian daging babi dengan daging cincang ikan hake sebanyak 0 %, 50 % dan 100 %, serta (3) kombinasi penambahan Fibruline® (sejenis serat makanan dari akar tumbuhan chicory) dan daging cincang ikan hake (rasio Fibruline : cincangan ikan hake adalah 2.6 : 5.2, 5.2 : 2.6 dan 7.8 : 0.0, % berat/berat) sebagai pengganti lemak babi. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan Swelite pada sosis babi meningkatkan kekuatan dan kekerasan gel. Sebaliknya, makin banyak daging babi yang digantikan oleh daging ikan hake menyebabkan pengurangan kekuatan dan kekerasan gel. Terakhir, sosis tanpa lemak babi menunjukkan parameter-parameter tekstur dan warna menjadi lebih baik. Sosis yang mengandung banyak Fibruline kurang kompak dan lebih mudah dikunyah daripada sosis lemak babi (kontrol), dan juga menunjukkan kekuatan gel yang lebih besar. Sosis yang mengandung sedikit Fibruline memiliki sifat-sifat tekstur yang hampir sama dengan sosis kontrol, kecuali dalam hal kekerasan dan derajat kelengketan. Jadi, dengan memperhatikan beberapa parameter tekstural kunci, adalah mungkin untuk memproduksi sosis ikan rendah-lemak yang mirip dengan sosis babi asli.

Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Nisin Untuk Mengawetkan Sosis Ikan

Raju et al. (2003) mempelajari efisiensi nisin pada tiga konsentrasi, 12.5, 25 dan 50 ppm, dalam mempertahankan kualitas sosis ikan yang dibungkus dengan kemasan sintetis pada suhu kamar (28 ± 2 °C) dan suhu dingin (6 ± 2 °C). Kekuatan gel, kadar air yang keluar ketika sosis ditekan, “total volatile base nitrogen”, “total plate count” dan jumlah spora aerob dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan konsentrasi nisin. Sosis ikan yang diberi perlakuan 50 ppm nisin masih dapat diterima setelah penyimpanan pada suhu kamar selama 20 – 22 hari dibandingkan dengan kontrol, yang diterima hanya selama 2 hari. Daya awet sosis, pada suhu dingin, bervariasi dari 30 hari pada kontrol sampai 150 hari pada sampel yang diberi perlakuan 50 ppm nisin. Residu nisin berkurang perlahan-lahan di dalam sampel yang disimpan pada suhu dingin, namun dalam sosis ikan yang disimpan pada suhu kamar, pengurangan residu ini berlangsung cepat. Nisin pada konsentrasi 50 ppm memberikan pengaruh nyata (P = 0.05) terhadap kekuatan gel dan semua kriteria penerimaan, baik pada suhu kamar maupun suhu dingin.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penambahan Kitosan Pada Sosis Ikan

López-Caballero et al. (2005) melaporkan bahwa sosis ikan cod yang diberi kitosan (1,5 %), sejenis polisakarida asal kitin dari cangkang udang, telah dibuat dengan perlakuan tekanan-tinggi (350 MPa/7 °C/15 menit). Warna, sifat reologis (perubahan bentuk dan aliran materi), indeks biokimia (pH, total volatile basic nitrogen , thiobarbituric acid index) dan jumlah mikrobiologi (total bakteri, bakteri asam laktat, enterobacteria, pseudomonad, staphylococci) ditentukan selama penyimpanan dingin pada suhu 2 ± 1 °C. Penambahan kitosan dalam bentuk kering menyebabkan elastisitas dan “yellowness” (derajat kekuningan) meningkat secara jelas. Bila kitosan ditambahkan dalam bentuk larutan, maka “total volatile basic nitrogen” tetap stabil selama 25 hari penyimpanan. Dalam hal jumlah mikroba, kitosan terlarut tidak memberikan efek nyata pada sosis hasil perlakuan tekanan-tinggi. Bagaimanapun, bila kitosan ditambahkan dalam bentuk kering, jumlah mikrobanya dilaporkan lebih banyak.

Baca juga
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan

Bakteri Pada Sosis Yang Difermentasi

Aryanta et al. (1991) melaporkan bahwa campuran sosis ikan belanak cincang yang diberi gula, garam, nitrat, nitrit dan rempah-rempah telah difermentasi (48 jam, 30 °C) oleh flora indigenous (yaitu, flora yang secara alami ada di dalam bahan makanan tersebut) atau oleh kultur starter (Pediococcus acidilactici). Ekologi mikroba dan perilaku berbagai bakteri dipantau. Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum mendominasi fermentasi indigenous, hingga mencapai populasi 107–108 cfu/g pada jam ke 48, dan menurunkan pH menjadi 4,5 – 4,7. Pertumbuhan Staphylococcus aureus warneri, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Micrococcus varians dan Micrococcus leteus secara nyata (105–107 cfu/g) juga terjadi selama fermentasi ini. Pertumbuhan yang lambat ditunjukkan oleh Bacillus megaterium dan ragi. Pediococcus acidilactici mendominasi fermentasi bila ia diinokulasi sebagai kultur starter, tetapi bakteri asam laktat (Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum) indigenous juga tumbuh sampai 107–108 cfu/g. Pertumbuhan ragi dan bakteri lain terbatas selama fermentasi dengan kultur starter. Inokulum Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Salmonella sofia dan Staphylococcus aureus tumbuh sampai 106–107 cfu/g dalam campuran sosis selama fermentasi indigenous. Petumbuhan yang lebih lambat terjadi pada Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Vibrio parahaemolyticus. Pertumbuhan bakteri-bakteri ini secara nyata terhambat di dalam campuran sosis yang difermentasi oleh Pediococcus acidilactici.

Baca juga
Upaya Meningkatkan Mutu Filet Ikan

Perubahan Karakteristik Sosis Ikan Selama Penyimpanan

Sini et al. (2008) menyatakan bahwa sosis merupakan makanan yang umum dikonsumsi dan dikenal luas pada tahun-tahun terakhir ini. Para peneliti menyiapkan sosis dari daging cincang filet ikan rohu (Labeo rohita) dengan menggunakan resep standar, dengan dan tanpa penambahan bahan pegawet potassium sorbate (kalium sorbat) pada konsentrasi yang diijinkan dan dikemas menggunakan bahan alami. Sosis yang dihasilkan memiliki penampilan yang menarik dan bersifat lentur (dapat kembali ke bentuk semula meskipun diregangkan). Sosis ini kemudian dievaluasi dalam hal sifat-sifat fisika, kimia, organoleptik dan mikrobiologis selama penyimpanan pada suhu 5 °C dan 25 °C. Setelah 2 hari disimpan pada suhu kamar, sampel kontrol (tanpa kalium sorbat) kehilangan sifat kohesif (dengan kata lain menjadi tidak kompak) dan tampak seperti pasta lengket kemudian cairan kental keluar dari pembungkus akibat fermentasi yang diikuti pembentukan gas, sebagaimana dibuktikan oleh bau fermentasi, penurunan pH dan peningkatan jumlah bakteri total. Pada kasus sampel sosis yang diberi kalium sorbat, gejala-gejala pembusukan seperti ini terjadi pada hari ke-4 penyimpanan. Demikian pula, sampel kontrol pada suhu dingin (5 °C) ditemukan membusuk setelah 13 hari penyimpanan sedang sosis berbahan pengawet membusuk setelah 16 hari.

Baca juga
Mutu Daging Ikan Mas (Cyprinus carpio) : Pengaruh Pembekuan dan Tekanan Tinggi

Perubahan Tekstur Sosis Ikan Selama Penyimpanan Dalam Es

Chantarat et al. (2005) memepelajari perubahan kimiawi dalam otot ikan dan “natural actomyosin” (NAM) dari otot ikan bigeye snapper (Priacanthus tayenus) dan lizardfish (Saurida undosquamis) selama 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hari penyimpanan dalam es. “Myosin heavy chain” (MHC; rantai berat myosin) dari NAM yang diekstrak dari kedua ikan mengalami penguraian selama penyimpanan dalam es. Bagaimanapun, tidak terjadi perubahan actin. “Total volatile base” (TVB), trimethylamine (TMA) dan daya hidrofobi (menolak-air) meningkat, sedangkan total konsentrasi sulfhidril dan kapasitas emulsi NAM dari kedua spesies ikan berkurang secara nyata sejalan dengan makin lamanya penyimpanan (p < 0.05). “Texture Profile Analysis” (TPA) dan “shear force” (kekuatan pecah) sosis ikan emulsi yang dibuat dari kedua spesies yang disimpan dalam es selama 0, 4, 8 dan 12 hari diteliti. Hasilnya menunjukkan bahwa kekerasan, daya kohesi (kekompakan), derajat kelengketan, “chewiness” (kemudahan dikunyah) dan shear force sosis yang dibuat dari ikan yang dies adalah lebih rendah daripada yang dibuat dari ikan segar. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan nyata dalam hal kelengketan. Kehilangan selama pemasakan sosis ikan emulsi dari kedua spesies ikan meningkat selama waktu penyimpanan (p < 0.05). Tekstur sosis ikan big eye snapper adalah lebih baik daripada sosis ikan lizardfish. Gambar mikrograf “scanning electron microscop” (SEM) untuk sosis ikan emulsi dari kedua spesies menunjukkan bahwa sejalan dengan makin lamanya penyimpanan maka rongga-rongga kosong menjadi lebih besar, serat menjadi lebih tebal dan serabut protein menjadi kurang kontinyu. Perubahan-perubahan mikrostruktural lebih banyak diamati pada sosis yang terbuat dari ikan lizardfish dibandingkan dengan sosis yang dibuat dari bigeye snapper.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda