Selasa, 30 Oktober 2012

Jaring Apung : Aspek Bioekologi, Ekonomi dan Akuakultur

Arsip Cofa No. C 096

Konsentrasi Fosfor, Karbon dan Nitrogen Dalam Sedimen Danau Di Bawah Jaring Apung

Trojanowski (1991) menganalisis sedimen dasar di danau Letowo dan Szczytno Male, Polandia. Di kedua danau ini terdapat jaring apung untuk membudidayakan ikan trout. Penelitian dilakukan dengan mengukur perubahan konsentrasi karbon organik, total nitrogen dan berbagai bentuk fosfor pada tahun 1981 dan 1984. Studi terhadap inti sedimen dasar danau menunjukkan bahwa persentase protein P, lipida P dan nukleat P dalam bahan kering sedimen adalah berkurang hingga mencapai nilai 0 % pada kedalaman sedimen 10 cm; persentase fosfat fosfor turun sampai mencapai nilai konstan 49 dan 42 mg % di danau Letowo dan Szczytno Male, berturut-turut. Pada musim panas, sedimen tersebut menunjukkan nilai tertinggi (selama tahun tersebut) untuk konsentrasi berbagai bentuk fosfor organik, dan nilai terendah untuk konsentrasi karbon organik, total nitrogen dan fosfor anorganik. Dalam periode ini, konsentrasi karbon organik dan total nitrogen mencapai nilai tertinggi hanya pada sedimen yang ada di bawah jaring apung. Selama tahun-tahun periode penelitian, konsentrasi berbagai jenis zat hara menunjukkan kecenderungan naik.

Baca juga
Perikanan dan Permasalahannya di Indonesia

Budidaya Jaring Apung di Danau dan Pengaruhnya Bagi Perekonomian Nelayan Lokal

Menurut Swar dan Pradhan (1992) budidaya jaring apung di Nepal dimulai di Danau Phewa pada tahun 1972. Saat ini, tiga danau di Lembah Pokhara, Nepal, digunakan untuk budidaya jaring apung, yakni Danau Phewa, Begnas dan Rupa. Spesies utama yang dibudidayakan adalah ikan pemakan plankton Aristichthys nobilis dan Hypophthalmicthys molitrix, yang dipelihara dalam jaring apung yang biasanya terbuat dari nilon atau polietilen, tanpa pemberian makanan tambahan. Padat penebaran bervariasi sesuai dengan tingkat kesuburan danau; di Danau Phewa 6 ikan per m3 sedang di Danau Begnas serta Rupa 10 ikan per m3. Tingkat produksi tahunan per m3 adalah 3,4 kg di danau Phewa, 4,7 kg di Danau Begnas dan 5,0 kg di Danau Rupa. Mortalitas selama periode produksi adalah sekitar 5 %. Sebuah unit dengan 5 jaring apung terbukti menjadi pekerjaan tambahan yang cukup berarti bagi satu keluarga nelayan dan bisa memberi tambahan pendapatan tahunannya sebesar 9.000 – 14.000 Rupee Nepal. Budidaya jaring apung menghadapi beberapa hambatan, terutama kekurangan benih ikan. Sebuah fasilitas pembenihan dan dukungan teknis diperlukan untuk mengembangkan dan mengintensifkan budidaya jaring apung ini di Lembah Pokhara.

Baca juga
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Kemungkinan Membudidayakan Ikan Nila Dalam Jaring Apung

Beltran Galeano (1988) menjelaskan budidaya ikan nila (Sarotherodon niloticus) dalam jaring apung pada tahap percobaan. Hasilnya menunjukkan bahwa semua fase pertumbuhan ikan nila ini bisa berkembang dalam jaring apung; unit produksi minimal ada 8 jaring apung : 4 unit untuk reproduksi-produksi anak ikan, 2 unit untuk pemijahan dan 2 unit untuk penggemukan. Disimpulkan bahwa bahan plastik tidak dapat menahan kekuatan angin.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Ikan Kerapu Dalam Jaring Apung

Chua dan Teng (1980) mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ikan kerapu estuaria, Epinephelus salmoides, dalam jaring apung. Produksi ekonomi ikan kerapu estuari bisa dicapai dengan menyediakan lokasi budidaya yang tepat di mana kualitas airnya bagus, mengelola budidaya secara benar dan merawat jaring apung secara teratur, mencegah penyakit dan memberikan pengobatan yang efisien, memilih padat penebaran yang optimum, memberi pakan yang seimbang dengan frekuensi pemberian pakan yang optimum, memanipulasi perilaku ikan dengan menyediakan tempat-tempat persembunyian buatan, serta memanipulasi karakteristik fisiologis misalnya dengan menggunakan agen perangsang pertumbuhan. Masalah utama dalam budidaya jaring apung adalah banyaknya material yang menempel pada jaring apung sehingga membutuhkan tenaga kerja dan biaya yang besar untuk merawat jaring apung. Masalah lainnya adalah adanya pemangsa, kanibalisme dan pencurian.

Baca juga
Budidaya Ikan Intensif : Padat Penebaran, Kualitas Air dan Penghematan Biaya

Pemijahan Ikan Kerapu di Tangki Beton dan di Jaring Apung

Toledo et al. (1993) mengumpulkan ikan kerapu liar Epinephelus suillus (Valenciennes) pada tahun 1989 sampai awal 1990. Untuk memantau pemijahan alami di tempat terkurung, 6 ikan betina dewasa (3,5 – 5,0 kg) dan 4 ikan jantan dewasa (7 – 12 kg) dipindahkan ke tangki beton berukuran 4,6 x 4,6 x 2 meter, sementara satu ikan betina dewasa (5,3 kg) dipasangkan dengan dua ikan jantan yang siap memijah (berat 6,0 - 6,5 kg) di dalam jaring apung berukuran 4 x 4 x 3 meter. Pemijahan spontan terjadi secara berturut-turut 5 – 17 kali sebulan dari Juli 1990 sampai Juni 1991 (kecuali Mei) di dalam tangki dan 5 – 10 kali sebulan dari Juli sampai Oktober 1990 di dalam jaring apung. Jumlah telur yang dikumpulkan, rata-rata tingkat fertilisasi dan rata-rata tingkat penetasan di dalam tangki dan jaring apung setiap bulan berkisar dari 0,5 – 15,8 juta dan 2,3 – 3,9 juta, 67 – 88 % dan 72 – 89 %, dan 2 – 81 % serta 29 – 68 %, berturut-turut. Permulaan siklus pemijahan bulanan di tangki maupun jaring apung adalah selama periode 3 hari sebelum atau setelah fase bulan seperempat terakhir (atau fase bulan tiga per empat).

Baca juga
Keunggulan dan Kelemahan Sistem Budidaya Polikultur

Polikultur Rumput Laut dan Ikan Karnivora Dalam Jaring Apung

Hurtado-Ponce (1992) melaporkan bahwa budidaya ikan laut dan kerang dalam jaring apung sekarang menjadi cara yang berhasil untuk meningkatkan produksi. Perpaduan budidaya rumput laut bersama ikan dalam jaring apung bisa menghasilkan produksi yang lebih besar. Hal ini terbukti dengan berhasilnya budidaya jaring apung untuk ikan ekor kuning dan ikan red sea bream bersama dengan Laminaria di Jepang, budidaya ikan kerapu besama Gracilaria di Thailand, serta budidaya ikan kakap bersama Gracilariopsis di Filipina. Budidaya terpadu rumput laut dengan ikan karnivora atau kerang dalam jaring apung menyebabkan pemanfaatan sumber daya laut yang lebih baik, mengurangi dampak intensifikasi akuakultur, meminimalkan grazing (aktivitas memakan tumbuhan), dan memaksimalkan produksi.

Hurtado-Ponce (1992) mencoba membudidayakan rumput laut Kappaphycus alvarezii var. tambalang pada rakit bambu berukuran 3 x 3 meter yang ada di dalam jaring apung induk ikan kakap Lates calcarier berukuran 4 x 4 meter di SEAFDEC substasiun Igang, Guimaras, Filipina, dari Desember 1989 sampai Mei 1990. Pertumbuhan dan produksi rumput laut tersebut dipengaruhi oleh bulan musim. Laju pertumbuhan dan produksi tertinggi tercatat pada bulan Januari dan Mei, berturut-turut, sedangkan laju pertumbuhan dan produksi terendah terjadi pada bulan Maret. Total produksi rumput laut sekitar 123 ton (basah) atau 37 ton (kering) per hektar bisa diperoleh dari sistem kultur ini selama periode pemeliharaan 5 bulan. Budidaya Kappaphycus alvarezii var. tambalang di jaring apung adalah mungkin, yang menunjukkan bahwa rumput laut ini bisa ditumbuhkan bersama dengan ikan karnivora, sebuah praktek yang masih jarang dilakukan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda