Selasa, 12 Februari 2013

Sifat Fisik Air Laut

Arsip Cofa No. C 133

Perubahan Kondisi Air Laut Selama Upwelling

D’Croz et al. (1991) melakukan penelitian empat tahun untuk mendokumentasikan perubahan air laut di Teluk Panama akibat upwelling musiman. Massa air hangat, dengan salinitas kurang dari 30 ppt, konsentrasi fosfat rendah, konsentrasi klorofil-a rendah dan kepadatan fitoplankton rendah terlihat selama musim hujan. Sebaliknya selama musim kemarau, ketika terjadi upwelling, massa air yang dingin dan asin dengan konsentrasi fosfat tinggi, konsentrasi klorofil tinggi dan fitoplankton melimpah mendominasi teluk tersebut. Suksesi spesies berhubungan dengan perubahan musiman ini. Chaetoceros cinctus dominan selama musim hujan sedangkan Chaetoceros curvisetus merupakan spesies dominan selama musim kering.

Baca juga :
Suhu dan Kandungan Panas Perairan : Aspek Fisik

Kenaikan Suhu dan Tinggi Muka Laut Akibat Gas Rumah Kaca

Wigley dan Raper (1987) mempelajari hubungan antara gas rumah kaca, perubahan suhu rata-rata global dan kenaikan muka laut akibat pemuaian panas samudra dengan menggunakan model upwelling-difusi dan difusi murni. Pemuaian panas akibat gas rumah kaca menyebabkan kenaikan muka laut yang diduga sebesar 2 – 5 cm antara tahun 1880 dan 1985. Proyeksi dibuat sampai tahun 2025 untuk berbagai skenario kekuatan gas rumah kaca. Untuk periode 1985 – 2025 nilai dugaan pemanasan akibat gas rumah kaca adalah 0,6 – 1,0 oC. Terkait nilai ini maka pemuaian panas samudra akan menyebabkan kenaikan muka laut setinggi 4 – 8 cm.

Baca juga :
Pengaruh Hujan Terhadap Perairan

Densitas dan Pengadukan Massa Air Laut

Open University (2004) menyatakan bahwa kisaran suhu air samudra adalah 0 – 25 oC, sedangkan kisaran salinitasnya secara umum sedikit lebih dari 34 – 36 ppt dan bisa lebih kecil lagi di basin samudra individual. Suhu dengan demikian lebih berpengaruh terhadap densitas (kepadatan) air laut daripada salinitas. Misalnya untuk suhu lebih dari 5 oC maka perubahan suhu 1 oC memberikan pengaruh terhadap densitas yang lebih besar daripada perubahan salinitas 0,1 ppt. Di daerah katulistiwa dan lintang-tinggi, di mana perubahan suhu musiman tidak begitu besar, penguapan/curah hujan dan pembentukan/peleburan es dapat menyebabkan perubahan salinitas – dan dengan demikian densitas – massa air permukaan secara nyata.

Telah diketahui bahwa pada kedalaman di bawah sekitar 500 – 1000 meter di samudra, suhu dan salinitas tidak banyak bervariasi. Pada kedalaman sekitar 1000 meter, bertambahnya kedalaman menyebabkan densitas air laut hanya meningkat sedikit. Profil densitas air laut hampir vertikal di bawah kedalaman sekitar 2000 meter. Sebaliknya, pada kedalaman kurang dari 500 meter di daerah lintang-tengah dan lintang-rendah, densitas air meningkat cepat dengan bertambahnya kedalaman di bawah lapisan air permukaan yang teraduk, dan kurva densitas ini hampir horizontal. Belokan tajam pada kurva densitas air disebut piknoklin. Di laut terbuka, piknoklin biasanya berhubungan dengan termoklin, namun posisi pasti mereka dan kemiringannya bergantung pada distribusi salinitas. Piknoklin utama timbul hampir bersamaan dengan termoklin permanen. Massa air di dalam piknoklin sangat stabil, artinya dibutuhkan energi besar untuk memindahkan mereka ke atas atau ke bawah. Piknoklin utama membentuk batas bawah atau “lantai” bagi turbulensi yang disebabkan oleh proses pengadukan di permukaan laut. Kedalaman lapisan massa air permukaan yang teraduk bergantung pada kekuatan angin dan pada proses-proses yang cenderung meningkatkan stabilitas gravitasi vertikal seperti pemanasan air permukaan dan curah hujan (Open University, 2004).

Termoklin Harian dan Termoklin Permanen

Open University (2004) menyatakan bahwa termoklin harian dapat terbentuk di mana saja ketika terjadi pemanasan yang cukup selama siang hari, namun termoklin ini hanya sampai kedalaman sekitar 10 – 15 meter dan perbedaan suhu air di atas dan di bawahnya secara normal tidak melebihi 1 – 2 oC. Pada musim panas, dengan mengabaikan variasi suhu musiman dan harian, termoklin permanen menyebabkan samudra secara keseluruhan terbagi menjadi tiga lapisan utama massa air. Ketebalan lapisan atas yang hangat dan termoklin permanen adalah lebih kecil pada daerah lintang-rendah dibandingkan pada daerah lintang-tengah karena pada daerah lintang-rendah angin biasanya lebih lemah dan perbedaan suhu musiman lebih kecil.


Termoklin, Konsentrasi Oksigen Minimum dan Kematian Masal Ikan

Longhurst dan Pauly (1987) menjelaskan bahwa di bawah termoklin, masa air laut bawah-permukaan di daerah tropis semuanya terbentuk di luar daerah tersebut, terutama melalui penenggelaman di dekat konvergensi (pertemuan massa air) subtropis. Massa air primer yang terbentuk dengan cara ini seringkali meluas dari bawah termoklin sampai kedalaman 500 – 600 meter, dan kemudian dimodifikasi oleh pengadukan. Bagaimanapun, massa air bawah-permukaan secara keseluruhan lebih seragam daripada massa air permukaan. Massa air bawah-permukaan sering memiliki salinitas maksimum di bagian tengahnya dan juga – yang lebih penting untuk perikanan – lapisan oksigen minimum. Yang terakhir ini hampir selalu ada di mana-mana di samudra tropis pada kedalaman yang bersesuaian dengan termoklin samudra utama. Di basin timur Atlantik dan Pasifik, dan terutama di Samudra Hindia barat laut, karakteristik ini berkembang dengan sangat kuat. Konsentrasi oksigen yang sangat rendah bisa meluas sampai kedalaman beberapa ratus meter, dan H2S mungkin ada meskipun dalam konsentrasi rendah. Oksigen minimum biasanya terjadi di dekat kedalaman yang gerakan air horizontalnya sangat terbatas. Upwelling pesisir yang terjadi secara musiman sepanjang pantai barat India membawa massa air berkonsentrasi oksigen sangat rendah ke paparan benua, dan hal ini menyebabkan dampak biologis penting terhadap fauna ikan demersal dan krustasea bentik. Terjebaknya biota dalam air upwelling beroksigen rendah di daerah pesisir ini mengakibatkan kematian massal ikan dan krustasea. Fenomena serupa tampaknya terjadi di lepas pantai Birma, di mana massa air yang miskin oksigen naik ke paparan benua.

Baca juga :
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Sinar Ultra Violet Oleh Air Laut

Armstrong dan Boalch (1961) mengukur spektrum penyerapan sinar ultra violet antara 200 dan 400 mix dengan menggunakan spektrofotometer. Pada panjang gelombang pendek, air laut alami memiliki absorbancy (daya serap) dua kali air laut buatan. Perbedaan yang ditunjukkan sampel dari laut dangkal disebabkan oleh bahan organik. Ditemukan adanya variasi regional, di mana perairan pesisir menunjukkan penyerapan sinar ultra violet yang lebih tinggi. Juga ditemukan adanya efek musiman yang kecil di mana absorbancy meningkat pada musim panas di Selat Inggris. Di perairan Atlantik yang dalam, peningkatan penyerapan di bawah 235 m/x mungkin disebabkan oleh tingginya konsentrasi nitrat. Pada panjang gelombang yang lebih besar, absorbancy adalah lebih kecil untuk massa air permukaan.

Baca juga :
Komponen Kimia Air Laut

Pengaruh Pigmen Fitoplankton Terhadap Warna Air Laut

Yentsch (1960) menyatakan bahwa dengan menggabungkan daya serap pigmen-pigmen fitoplankton dan daya serap air murni, maka daya serap cahaya biru meningkat tajam. Ketika konsentrasi pigmen fitoplankton meningkat, berkurangnya cahaya biru menggeser panjang gelombang transmisi maksimum ke arah cahaya hijau. Pada konsentrasi pigmen fitoplankton yang normalnya ditemukan di laut terbuka, pigmen klorofil merah memberikan sedikit pengaruh terhadap warna air laut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda