Sabtu, 01 Desember 2012

Morfologi dan Perkembangan Telur, Embryo dan Larva Ikan

Arsip Cofa No. C 109

Morfologi Telur Ikan Lele Dumbo Clarias gariepinus

Riehl dan Appelbaum (1991) mengamati telur ikan lele dumbo, Clarias gariepinus, untuk pertama kalinya dengan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Dalam hal bentuk, telur ikan lele sangat berbeda dengan telur ikan teleostei lain; bentuknya mirip topi dari kulit berbulu. Telur Clarias gariepinus dilekatkan pada substrat pada kutub animalnya, yang menunjukkan sebuah benjolan yang terdiri dari banyak filamen pelekat berukuran sangat kecil. Filamen-filamen ini tampaknya merupakan bagian dari zona radiata eksterna. Micropyle, yang terletak di dalam pusat benjolan tersebut, berupa saluran lurus di dalam zona radiata.

Variasi Jumlah Micropyle Pada Telur Ikan Pada Populasi Yang Berbeda

Podushka (1992) melaporkan bahwa jumlah micropyle pada telur ikan sturgeon Acipenser persicus bervariasi dengan kisaran yang relatif lebar baik pada ovari ikan betina yang sama maupun pada ovari ikan-ikan betina yang berbeda dari populasi yang sama. Perbandingan variasi karakter tersebut pada spesies ini dengan spesies sturgeon yang lain menunjukkan bahwa dalam hal karakter tersebut Acipenser persicus berkerabat paling dekat dengan ikan sturgeon Rusia sebagai mana dalam hal karakter-karakter morfologis yang lain.

Baca juga
Pakan Alami Larva Bandeng (Chanos chanos)

Perkembangan Telur dan Larva Ikan Muraenesox cinereus

Umezawa et al. (1991) mempelajari perkembangan embryo dan larva ikan pike eel, Muraenesox cinereus, setelah pembuahan secara alami di laboratorium. Telur bersifat pelagis dan berbentuk bulat dengan diameter 1,8 sampai 2,1 mm serta memiliki sebuah korion transparan tak berwarna dan banyak butiran minyak. Penetasan terjadi 36 jam setelah pemihahan pada suhu air 25 oC. Larva yang baru menetas memiliki pajang total rata-rata 5,8 mm, dan jumlah myomer rata-rata 86. Penyerapan kuning telur sempurna pada hari ke-8 setelah menetas, pada panjang total 9 – 10 mm. Larva bertahan hidup selama 10 hari tanpa pasokan makanan dari luar. Pada saat itu panjang total rata-ratanya 11,2 mm dan memiliki myomer sebanyak 97 + 55 = 152, yang merupakan ciri diagnostik spesies ini. Mereka mempunyai mata yang besar dan rahang yang berkembang baik dengan gigi-gigi yang tajam.

Perkembangan dan Laju Penetasan Telur Ikan Perca

delos Reyes et al. (1992) melaporkan bahwa untaian telur hasil pemijahan alami ikan perch, Perca fluviatilis, telah diambil dari tumbuhan air-tenggelam di Danau Plussee, Holstein, Jerman Utara dari April sampai Mei 1989. Telur-telur ini dierami secara in situ (di lapangan) dan di laboratorium untuk menduga daya hidup, perkembangan dan abnormalitas embryo. Dari telur yang dierami in situ, sebanyak 91,6 % embryo adalah dapat-hidup, bagian yang tak hidup mencakup 1,1 % telur tak terbuahi, 5,1 % mati dan 2,2 % tidak normal. Pada telur yang dierami di laboratorium, sebanyak 84,1 % menghasilkan embryo hidup, dan bagian yang tak hidup meliputi 1,1 % telur tak dibuahi, 11,3 % mati dan 3,5 % tidak normal. Tingkat penetasan embryo Perca fluviatilis baik in situ maupun laboratorium (10 oC in situ dan 8 oC di laboratorium) dengan periode pengeraman 20 – 27 hari sejak pembuahan, adalah 50 % yang menetas.

Baca juga
Penyimpanan-Beku dan Penyimpanan-Dingin Telur dan Sperma Ikan

Telur dan Perkembangan Embryo dan Larva Ikan Blepsias

Munehara dan Shimazaki (1991) mempelajari perkembangan embryo dan morfologi larva yang baru menetas ikan liitle dragon sculpin Blepsias cirrhosus. Telur Blepsias cirrhosus hampir bulat, berdiameter 3,0 – 3,2 mm dan mempunyai kuning telur berwarna oranye-terbakar. Perkembangannya sangat lambat, terutama setelah kemunculan embryo. Embryo mulai terbentuk pada hari ke-10. Embryo awal berukuran kurang dari 1,6 kali keliling kuning telur. Panjang notochord larva yang baru menetas rata-rata 11,1 mm. Larva berkembang sedemikian sempurna hingga notochord siap membengkok dan jari-jari sirip ekor dan sirip dada sedang terbentuk.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Morfologi Telur dan Perkembangan Larva Ikan Atherion elymus

Kimura dan Tsukamoto (1990) mengamati perkembangan embryo, larva dan juvenil ikan atherinidae, Atherion elymus, berdasarkan beberapa individu ikan ini yang dipelihara di laboratorium. Telur hampir berbentuk bulat, berdiameter 0,90 – 1,05 mm, dengan sejumlah besar filamen korionik. Penetasan terjadi antara 13 dan 17 hari setelah pemijahan pada suhu air 20,5 – 21,4 oC. Larva yang baru menetas berukuran panjang 3,95 – 4,70 mm NL (notochord length) dan mempunyai 4 – 37 myomer. Pembengkokan notochord dimulai pada panjang 7,0 – 7,5 mm NL. Jumlah semua jari-jari sirip menjadi lengkap pada panjang 10,7 – 11,5 mm (panjang baku), ketika larva mencapai tahap juvenil. Sisik-sisik menjadi hampir sempurna pada panjang baku 18,5 – 20 mm. Larva spesies ini bisa dibedakan dari larva Hypoatherina tsurugae dan H. bleekeri karena memiliki sedikit melanofora tepat sebelum ujung notochord baik pada sisi dorsal (punggung) maupun ventral (perut), dan mempunyai melanofora-melanofora berbentuk titik pada pertengahan sisi badan.

Baca juga
Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan

Perkembangan Telur Sampai Larva Hasil Pijah Rangsang Ikan Buntal

Fujita dan Honma (1991) merangsang kematangan ovari ikan buntal Takifugu exascurus kemudian mengamati perkembangan embryo, larva serta juvenilnya. Ikan induk dikumpulkan di Tassha Bay, Pulau Sado, selama musim pemijahan pada tahun 1986 yang tampaknya musim ini berlangsung dari akhir Juni sampai pertengahan Juli. Tiga mg pituitari ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) kering-aseton disuntikkan ke setiap ikan buntal betina untuk merangsang kematangan ovari, yang terjadi dalam waktu sekiar 77 hari pada suhu air 19,5 – 21,0 oC. Telur yang diperoleh melalui penyuntikan hormon dibuahi secara buatan dengan sperma dari seekor ikan buntal jantan. Larva yang menetas secara berturut-turut diberi pakan berupa rotifera Brachionus plicatilis, naupli Artemia dan cincangan daging ikan, kemudian larva ini dipelihara selama sekitar satu tahun.

Telur ikan ini berbentuk bulat, berdiameter 1,24 ± 0,04 mm, demersal dan lengket. Membran telur tampak transparan, dan kuning telur berwarna oranye, yang mengandung sekelompok butiran minyak kecil. Periode pengeraman adalah sekitar 160 jam pada suhu air 18,5 – 21,0 oC. Larva yang baru menetas, yang berukuran panjang total 2,9 – 3,1 mm, memiliki 8 + 15 = 23 myomer. Kuning telur diserap sempurna 3 hari setelah menetas, pada saat ini larva mencapai panjang total 3,5 – 3,6 mm. Lipatan-lipatan sirip menghilang, sirip punggung menyusut, sirip dubur dan sirip ekor terbentuk ketika panjang total larva 4,1 – 4,4 mm, dalam 6 hari setelah menetas. Pada larva berumur 9 hari (panjang total 5,4 mm) jari-jari sirip yang menyusut terbentuk pada sirip punggung, dubur dan ekor, sementara sisik mirip-duri terbentuk pada perut. Pada ikan umur 16 hari, dengan panjang total 9,1 – 10,2 mm, jari-jari sirip menjadi sempurna pada semua sirip, dan ikan mencapai tahap juvenil.

Baca juga
Sperma Ikan : Morfologi, Daya Gerak dan Kualitas

Larva Ikan Sebagai Tahap Kritis

Telah dilaporkan adanya penurunan biomas ikan sardine Pasifik (Sardinops caerulea) dan peningkatan biomas ikan anchovy utara (Engraulis mordax) di lepas pantai sebelah barat USA yang bermula pada sekitar tahun 1945. Vrooman dan Smith (1970) menghitung bahwa antara tahun 1950 dan 1965 biomas pemijahan ikan anchovy meningkat dari sekitar 0,7 x 106 ton sampai hampir 8 x 106 ton. Rata-rata biomas total untuk periode 1962 – 1966 diduga 6,2 x 106 ton, yang dibagi menjadi tiga sub-populasi : stok bagian tengah di lepas pantai selatan California sebanyak 4,8 x 106 ton, stok utara sebanyak 0,27 x 106 ton yang tersebar di sepanjang pantai utara California dan selatan Oregon, dan stok selatan sebesar 1,1 x 106 ton di lepas pantai Baja California. Peningkatan tajam biomas anchovy pada saat biomas sardine menurun tajam memperkuat dugaan bahwa interaksi kompetitif berlangsung di antara kedua spesies, tetapi Smith (1972) menyimpulkan bahwa baik tingkah laku makan anchovy dan sardine maupun dinamika populasi organisme makanan tidak cukup untuk mendukung timbulnya kompetisi. Ia menunjukkan bahwa kurva frekuensi panjang larva memperlihatkan sedikit perubahan, dan diduga bahwa kompetisi akan berlangsung dalam tahap juvenil dan pra-rekruitmen.

Pada dekade terakhir, Lasker (1975, 1978) telah melakukan studi intensif terhadap tingkah laku makan larva anchovy. Ia memijahkan anchovy di dalam laboratorium, menetaskan telur dan mulai mempelajari perilaku makan larva ikan tersebut di laboratorium. Ia menemukan bahwa ketika larva pertama kali mencaplok makanannya (pada panjang sekitar 3,5 mm) mulutnya masih kecil dan kebanyakan makanan berupa partikel-partikel berdiameter 60 – 80 mikron. Larva-larva ikan ini relatif tidak efisien, hanya berhasil mencaplok satu dari sepuluh organisme makanan yang diserangnya, dan dengan demikian memerlukan konsentrasi makanan yang sangat tinggi di dalam lingkungannya agar mereka tetap hidup. Dengan meningkatnya konsentrasi makanan maka laju penelanan meningkat, tetapi tidak semua organisme dalam kisaran ukuran penelanan dapat dijadikan sebagai makanan. Dari berbagai spesies plankton yang diuji, hanya dinoflagelata Gymnodinium spendens yang dapat menyokong pertumbuhan ikan. Banyak spesies zooplankton yang dapat dijadikan makanannya, tetapi tampaknya tidak ada yang terdapat di alam dengan konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan.

Tahap penelitian selanjutnya adalah memindahkan larva yang sedang dalam kondisi pertama kali-makan ke laut dan menghadapkannya kepada organisme-organisme mangsa dalam sampel air laut alami. Ternyata bahwa agar dapat berhasil makan maka dalam setiap ml air laut paling sedikit harus ada 20 – 30 sel fitoplankton dengan diameter minimum 30 mikron. Larva dengan baik memakan Gymnodinium spendens, tetapi tidak mengambil Chaetoceros sp. atau pun Thalassiosira sp. Konsentrasi fitoplankton yang cocok dijumpai dalam lapisan klorofil maksimal yang, pada April 1974, terletak pada kedalaman 15 – 20 meter sepanjang pesisir California. Angin badai yang menyebabkan pengadukan massa air permukaan setebal 20 m membuyarkan lapisan berkonsentrasi fitoplankton tinggi ini, dan bisa menyebabkan kematian masal larva ikan yang sedang dalam fase pertama kali-makan.

Dengan memanfaatkan informasi ini, kondisi oseanografis di Southern California Bight (Teluk California Selatan) dipantau selama musim pemijahan ikan anchovy 1975 (Januari – Mei). Makanan yang sesuai ditemukan melimpah dalam lapisan klorofil maksimum pada Januari, tetapi upwelling yang kuat mulai berlangsung pada Februari dan setelah terganggu sebentar pada awal Maret, mereka kembali pulih pada April dan berlanjut sampai melewati akhir musim pemijahan tersebut. Pengaruh upwelling adalah menghamburkan massa air kaya-dinoflagelata dan menggantikannya dengan berbagai jenis diatom kecil yang tidak cocok sebagai makanan larva ikan ini. Akibatnya bisa diduga bahwa ikan anchovy utara kelas tahun 1975 akan menjadi sedikit.

Kesimpulan umum hasil penelitian seperti ini adalah bahwa kelangsungan hidup dan pertumbuhan anchovy yang baru menetas merupakan fase yang sangat kritis karena kondisi yang menyediakan cukup makanan yang sesuasi tergantung pada adanya dinoflagelata berkonsentrasi tinggi pada kondisi yang relatif tenang. Angin kuat dari utara, yang menyebabkan upwelling, atau angin kencang dari arah lain yang mengaduk lapisan permukaan samudra, menyebabkan pemencaran semua masa air kaya-dinoflagelata yang penting. Hal ini merupakan kasus khusus teori Hjort (1914) yang menyatakan bahwa keberhasilan kelas tahun suatu ikan bergantung terutama pada kecukupan konsentrasi makanan yang cocok yang ada selama tahap pertama kali mencari-makan yang kritis. Salah satu fenomena yang masih membingungkan adalah mengapa biomas anchovy meningkat luar biasa sejak tahun 1950.

Penjelasan yang bagus mengenai hal ini dijumpai dalam makalah yang baru-baru ini ditulis oleh Methot dan Kramer (1979). Dengan menggunakan teknik yang baru saja dikembangkan untuk mengetahui cincin pertumbuhan harian dalam “sagittal otolith” (batu-telinga segitiga), mereka menentukan laju pertumbuhan larva anchovy utara berumur kurang dari sebulan dari dua belas stasiun di lepas pantai Los Angeles. Mereka menemukan bahwa pada sembilan stasiun pertumbuhannya serupa, yang berkisar dari 0,34 sampai 0,40 mm per hari untuk ikan sepanjang 8 mm, sedangkan pada tiga stasiun sisanya pertumbuhannya lebih baik, yaitu 0,47 sampai 0,55 mm per hari. Nilai ini bersesuaian dengan laju pertumbuhan yang diperoleh dari laboratorium pada kondisi makanan melimpah. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa larva anchovy yang memperoleh cukup makanan untuk bertahan hidup tampaknya memperoleh cukup energi untuk tumbuh dengan cepat. Mereka mempersoalkan apakah kelangsungan hidup larva-larva ini ditentukan terutama oleh makanan ataukah oleh pemangsaan, tetapi sayangnya tidak ada data yang cukup untuk menjawab pertanyaan ini. Secara umum, tampak bahwa studi biologi anchovy utara ini bergeser dari dinamika populasi stok tunggal yang ketat ke pertimbangan hubungan makanan, tetapi informasi tersebut saat ini lebih terbatas daripada pengetahuan kita mengenai hubungan rantai makanan beberapa stok pelagis di Atlantik.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda