Rabu, 26 Desember 2012

Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting

Arsip Cofa No. C 118

Tahap-Tahap dan Proses Ganti Kulit Krustasea

Menurut Chan et al. (1988), dengan mengutip beberapa literatur, molting pada arthropoda mencakup tidak hanya proses ganti kulit, tetapi juga pembentukan kutikula/kulit baru, apolysis (pemisahan kutikula lama), pasca ganti kulit, dan pertumbuhan jaringan. Siklus dinamis ini bisa dibagi menjadi empat fase pada krustasea : (1) metecdysis (tahap A, B), periode segera setelah ecdysis; (2) anecdysis (tahap C), periode pertumbuhan jaringan dan penimbunan cadangan makanan; (3) proecdysis (tahap D), periode di mana terjadi perubahan-perubahan morfologis dan fisiologis secara aktif sebagai persiapan pergantian kulit dan (4) ecdysis (tahap E), pelepasan kutikula lama.

Beberapa metode telah digunakan untuk menentukan tahap molting pada krustasea. Metode-metode tersebut mencakup pengamatan histologis terhadap kulit, penentuan ukuran gastrolith (batu-perut) atau pereiopoda yang beregenerasi, dan penentuan perkembangan setae (struktur mirip rambut sikat) pada alat-gerak. Penentuan tahap molting berdasarkan kondisi setogenesis (pembentukan setae) pada alat gerak adalah cepat dan hanya menimbulkan luka kecil pada binatang, bahkan setelah sampling berulang. Setogenesis telah digunakan oleh beberapa peneliti sebagai kriteria untuk menentukan tahap molting pada sejumlah dekapoda, termasuk natantia, anomura dan macrura.

Baca juga :
Bioekologi dan Budidaya Kepiting

Ganti Kulit Pada Udang Penaeus stylirostris dan Penaeus setiferus

Robertson et al. (1987) menyatakan bahwa penentuan tahap molting mempunyai banyak penerapan dalam budidaya udang penaeidae sebagai prosedur rutin. Dengan menggunakan kriteria yang dikembangkan untuk berbagai jenis krustasea, sebuah metode cepat penentuan tahap molting telah diterapkan untuk udang dewasa Penaeus stylirostris dan Penaeus setiferus. Ciri yang paling berguna adalah derajat penarikan-kembali epidermis dari pangkal setae dan dari kutikula yang digabungkan dengan derajat perkembangan setae baru. Lama siklus molting Penaeus stylirostris adalah 11,5 ± 1,0 hari (N = 5) pada suhu 27 -29 oC. Tahap postmolt awal, postmolt akhir, intermolt, premolt awal dan premolt akhir mudah ditentukan. Untuk Penaeus stylirostris, lama postmolt adalah 27 % dari siklus; intermolt 17 % dan premolt 56 %. Panjang siklus molting Penaeus setiferus pada suhu 27 -29 oC. adalah 13,6 ± 1,0 hari (N = 21) dengan postmolt menempati 22 % dari siklus, intermolt 19 % dan premolt 59 %. Penaeus setiferus yang nukleus salah satu tangkai matanya disingkirkan mengalami siklus molting yang secara nyata lebih pendek daripada Penaeus setiferus utuh (11,7 ± 1,21 hari vs. 13,6 ± 1,02 hari, P < 0,05). Tidak ada perbedaan lama siklus molting antara jantan dan betina, baik yang nukleus tangkai matanya disingkirkan maupun yang tidak (P > 0,05).

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea

Konsentrasi Protein, Hormon Ecdysteroid dan Glukosa Dalam Darah Udang Selama Ganti Kulit

Chan et al. (1988) mempelajari siklus molting pada juvenil Penaeus vannamei berdasarkan perubahan setae pleopod. Pola molting udang ini adalah diecdysis dengan periode intermolting yang relatif pendek (40 %) dan periode proecdysis yang lama (> 55 %). Konsentrasi total protein maupun ecdysteroid meningkat di dalam hemolimfa selama proecdysis, sedangkan konsentrasi glukosa hemolimfa adalah rendah pada tahap metecdysis dan proecdysis serta maksimal selama anecdysis. Sebagaimana ditunjukkan oleh SDS-PAGE, konsentrasi relatif dua polipeptida (32 kD; 175 kD) berubah selama siklus molting ini.

Chan et al. (1988) melakukan studi pustaka mengenai perangsangan molting dengan hormon. Molting bisa dirangsang pada krustasea dengan salah satu dari sekelompok hormon steroid yang disebut ecdysteroid. Konsentrasi hormon ini dalam hemolimfa selama siklus molting telah diukur pada beberapa dekapoda dengan menggunakan radioimuniesei. Pada kebanyakan kasus, konsentrasi ecdysteroid dalam hemolimfa meningkat tajam selama proecdysis; bagaimanapun, polanya bersifat spesifik-spesies. Parameter-parameter hemolimfa lain, seperti konsentrasi glukosa dan protein, juga mengalami perubahan bersiklus yang bersesuaian dengan tahap molting.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Hubungan Molting dan Siklus Pemijahan Kepiting

Kosuge (1993) mempelajari hubungan antara siklus molting dan siklus pemijahan pada kepiting ocypodidae penghuni-batu, Macrophthalmus boteltobagoe, di hamparan terumbu karang Horikawa, Pulau Okinawa, Jepang selatan. Sampling harian untuk mengumpulkan cangkang sisa molting dan kepiting betina dilakukan guna mempelajari siklus molting dan siklus pemijahan di alam. Kepiting betina dipelihara di laboratorium untuk mempelajari kombinasi antara kejadian molting dan pemijahan. Kebanyakan kepiting betina di populasi alam meletakan telur pada sekitar bulan baru, agar larvanya menetas sehari sebelum bulan purnama, dan molting beberapa hari setelah larva menetas. Di dalam wadah terkurung, bagaimanapun, terjadi pemijahan berurutan tanpa diselingi molting. Pada kepiting jantan dewasa, terjadi dua puncak molting per bulan, berlawanan dengan kepiting betina yang hanya menunjukkan satu puncak molting per bulan.

Baca juga :
Prosedur Ablasi dan Pengaruh Terhadap Reproduksi, Fisiologi, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang

Perubahan Warna Cangkang Kepiting Akibat Molting

McGraw et al. (1992) melaporkan bahwa kepiting pantai Carcinus maenas menunjukkan satu kisaran warna karapas dari hijau, oranye sampai merah; kepiting bercangkang hijau menunjukkan beberapa perbedaan distribusi dengan kepiting bercangkang merah/oranye. Untuk menguji hipotesis bahwa perbedaan warna tersebut adalah berkaitan dengan molting (ganti kulit), sejumlah besar Carcinus telah dikumpulkan di daerah intertidal dan subtidal pada musim panas ketika molting paling banyak terjadi, dan tahap moltingnya ditentukan. Warna merah dan oranye ditemukan hanya pada kelas ukuran kepiting terbesar pada tahap intermoltng yang periodenya menjadi lebih lama, tetapi tidak hanya dijumpai pada kepiting-kepiting terbesar pada tahap anecdysis akhir. Kepiting merah dicirikan oleh lebih banyak epibion (organisme penempel) dan karapas kuat yang lebih tebal.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Hormon Penghambat Molting

Mattson dan Spaziani (1985), berdasarkan beberapa laporan penelitian, menyatakan bahwa krustasea dan serangga mengalami pertumbuhan dengan secara periodik melepaskan cangkang/kulit dan pembentukan kembali rangka luar yang diikuti dengan pertumbuhan jaringan lunak. Pada serangga, sejenis neuropeptida otak (PTTH) merangsang kelenjar-kelenjar steroidogenic prothoracic untuk memproduksi precursor (bahan pokok) hormon molting, yaitu ecdyson . Pada krustasea dekapoda, organ-organ Y adalah sumber ecdyson yang kemudian diubah menjadi hormon molting yang secara biologis lebih aktif, yaitu 20-hidroksiekdison, dalam jaringan tepi.

Studi pencangkokan dan penyingkiran organ telah mengidentifikasi adanya sistem neuroendokrin pengendali molting pada krustasea yang melibatkan hormon yang diduga merupakan molt inhibiting hormone (MIH; hormon penghambat molting), yang dihasilkan oleh sekumpulan sel neurosekresi (organ X) di dalam ganglia tangkai mata dan disimpan di dalam axonal terminal (kelenjar sinus), yang menghambat organ Y. Dengan demikian pada dekapoda, penyingkiran tangkai mata menyebabkan peningkatan konsentrasi ecdysteroid dalam serum darah dan molting prematur, sementara penyuntikan ekstrak tangkai mata, pencangkokan kelenjar sinus atau penyingkiran organ Y mengurangi konsentrasi ecdysteroid dalam serum darah dan menghambat molting. Hasil-hasil tersebut berlawanan dengan PTTH pada sistem serangga. MIH secara langsung menghambat produksi ecdysteroid organ Y, proses molting dimulai lagi bila sekresi MIH berhenti atau berkurang.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda