Sabtu, 15 Maret 2014

Keberadaan Bahan Beracun di Perairan Pesisir

Arsip Cofa No. C 173

Peranan Kegiatan Pertanian Dalam Menyumbangkan Bahan Beracun Bagi Perairan Pesisir

Lincer dan Haynes (1976) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang menyebabkan masuknya bahan-bahan beracun ke perairan pesisir adalah (1) pertanian, (2) perawatan lahan/tanah,(3) pengendalian perairan (yakni, pegendalian gulma air), (4) pengendalian nyamuk dan vektor penyakit lainnya, serta (5) pembuangan limbah industri dan limbah perkotaan. Dalam kisaran yang lebih sempit, gudang aneka barang dan instalasi pembangkit tenaga bisa juga menghasilkan limbah beracun. Kegiatan pertanian, dalam rangka memasok barang kebutuhan manusia dengan kuantitas dan kualitas yang layak, memanfaatkan berbagai jenis biosida. Pestisida, terutama insektisida, nematosida dan fungisida, dipakai pada tingkat yang seringkali melebihi tingkat yang dianjurkan. Di samping itu, pemakaian pestisida dalam bentuk gas seringkali tidak efisien, hanya 50 % saja yang mengenai sasaran. Senyawa organoklorin dan logam berat yang terkandung di dalam pestisida akan tetap ada di dalam tanah dan vegetasi selama periode yang panjang. Hujan dan irigasi menghanyutkan tanah bersama biosida yang dikandungnya ke arah hilir, di mana biosida ini lebih mudah menyerap bahan organik daripada tanah berpasir. Dengan sifat kimianya yang lebih aktif, limpasan tanah liat pertanian mampu memindahkan bahan-bahan beracun ini ke wilayah pesisir.

Baca juga :
Pencemaran Perairan Pesisir

Dalam pertamanan buatan manusia, yang didominasi oleh vegetasi eksotik (tumbuhan asli suatu daerah) dan umumnya ditanam dengan sistem monokultur, dan diserang oleh spesies hama dari luar, kontrol kimia merupakan kegiatan utama dalam mempertahankan vegetasi tersebut. Meskipun kebanyakan pestisida menyertakan label petunjuk dosis yang dianjurkan dan hama sasaran, namun sebagian besar orang memakainya berlebihan dan terus-menerus. Wilayah pesisir sangat potensial untuk dikembangkan dan seringkali manusia menanami tumbuh-tumbuhan secara besar-besaran di sini. Hamparan rumput dan semak yang semula ada tetap dipelihara dengan memangkasnya pendek-pendek sedemikian hingga potongan-potongan rumput, pupuk serta pestisida bisa memasuki perairan pesisir. Manusia mendapatkan kenyataan bahwa setelah mengubah lahan di sekitar jalur air atau estuaria mereka harus membuat “seawall’ (tembok laut) untuk melindungi lahan baru tersebut agar tidak terkikis. Filosofi pertamanan buatan-manusia ini sangat membingungkan karena vegetasi alami seperti Spartina, Juncus dan mangrove, mencengkeram tanah dengan sangat kuat sebelum akhirnya dibabat dengan dalih “perbaikan”. Bila seawall menggantikan vegetasi alami maka ia tidak hanya mengganggu kehidupan binatang liar tetapi yang paling parah adalah hilangnya filter biologis yang menahan bahan beracun agar tidak memasuki perairan pesisir (Lincer dan Haynes, 1976).

Baca juga :
Dampak Negatif Aluminium Bagi Lingkungan Hidup

Keberadaan Merkuri Pada Hewan Laut : Peranan Proses Geokimia dan Aktivitas Bakteri

Vukadin et al. (1995) melaporkan konsentrasi logam-logam berat pada beberapa organisme dari pesisir Laut Adriatik timur dan dari daerah tercemar di dekat sebuah kota besar (split area). Secara mengejutkan, konsentrasi air raksa yang tinggi ditemukan pada ikan sea bream (Pagellus erythrinus) dan ikan belanak bergaris (Mullus barbatus) dari Laut Adriatik bagian tenggara. Penyebab tingginya konsentrasi logam berat ini mungkin disebabkan oleh penyimpangan proses geokimia. Penelitian terhadap konsentrasi air raksa, organik maupun total, pada bivalva juga menunjukkan bahwa insang dan hepatopankreas kerang menimbun air raksa dengan kadar tinggi. Pada ikan ditemukan air raksa dengan konsentrasi yang secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada kerang. Tingginya konsentrasi merkuri ini mungkin disebabkan oleh proses metilasi pada organ-organ dalam binatang. Aktivitas bakteri di dalam isi usus adalah faktor paling mungkin yang bertanggung jawab atas proses metilasi ini.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Jaringan Lunak Kerang Sebagai Bioindikator Pencemaran Logam Berat di Perairan Pesisir

Menurut Karami et al. (2013) Teluk Persia merupakan lingkungan semi-tertutup yang dipengaruhi oleh pencemaran logam berat. Pemasukan logam-logam berat ke kolom air dan pengikatannya pada partikel sedimen dapat mempengaruhi organisme bentik yang selanjutnya menimbun material tersebut di dalam tubuhnya. Dengan memperhatikan hal ini, kerang bisa menjadi agen bio-monitoring. Kerang mutiara Pinctada radiata dan sampel sedimen dikumpulkan dari Pelabuhan Lengeh dan Pulau Qeshm.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya penimbunan logam dengan konsentrasi lebih tinggi di dalam jaringan lunak kerang. Juga terlihat adanya korelasi positif antara kadmium (Cd), timah hitam (Pb), seng (Zn) dan tembaga (Cu) di dalam sedimen dan jaringan lunak oyster. Penggunaan jaringan lunak oyster Pinctada radiata sebagai indikator menunjukkan nilai-nilai tertinggi penimbunan Cd (9,76 ± 0,59) dan Zn (3142,60 ± 477,10) di Lengeh Port, tetapi tidak ada perbedaan nyata untuk konsentrasi Cu dan Pb di antara kedua lokasi penelitian. Lebih tingginya konsentrasi logam-logam berat dalam jaringan lunak Pinctada radiata dibandingkan dengan konsentrasinya di dalam cangkang menunjukkan bahwa jaringan lunak merupakan indikator logam berat yang lebih baik daripada cangkang. Juga, korelasi antara konsentrasi logam-logam berat di dalam jaringan lunak dan di dalam sedimen mendukung gagasan bahwa jaringan lunak Pinctada radiata bisa menjadi agen bio-monitoring untuk pencemaran logam-logam beracun. Penggunaan bioindikator ini menunjukkan bahwa Lengeh Port lebih tercemar daripada Qeshm Island (Karami et al., 2013).

Baca juga :
Racun Pada Hewan Laut

Residu Pestisida dan Herbisida Dalam Sedimen dan Seagrass di Pesisir

Haynes et al. (2000) menyatakan bahwa pestisida dan herbisida, termasuk senyawa-senyawa organoklorin, dulu maupun sekarang dipakai secara luas oleh industri pertanian pesisir intensif di Queensland, Australia. Sifat sulit-terurai yang dimiliki senyawa ini ditambah dengan penggunaan secara ilegal yang terus-menerus meningkatkan potensi pencemaran kronis berjangka panjang yang terus-menerus bagi tumbuhan dan hewan di Great Barrier Reef. Sampel sedimen dan lamun (seagrass) dikumpulkan dari 16 lokasi intertidal dan 25 lokasi subtidal antara Selat Torres dan Townsville, serta di Teluk Hervey dan Teluk Moreton pada tahun 1997 dan 1998 untuk dianalisis kandungan residu pestisida dan herbisidanya.

Haynes et al. (2000) menyimpulkan bahwa sedikit konsentrasi atrazine (0,1 – 0,3 mikrogram/kg), diuron (0,2 – 10,1 mikrogram/kg), lindane (0,08 – 0,19 mikrogram/kg), dieldrin (0,05 – 0,37 mikrogram/kg), DDT (0,05 – 0,26 mikrogram/kg), dan DDE (0,05 – 0,26 mikrogram/kg) ditemukan di dalam sedimen dan/atau lamun. Bahan pencemar terutama ditemukan dalam sampel yang dikumpulkan selama curah hujan tinggi di pesisir tropis antara Townsville dan Port Douglas dan di Teluk Moreton. Dari semua bahan pencemar yang terdeteksi, herbisida diuron harus mendapat perhatian serius karena konsentrasinya berpotensi memberikan dampak besar bagi komunitas lamun lokal.

Baca juga :
Kondisi Logam-Logam Berat di Perairan Pesisir

Residu Pestisida Toxaphene Dalam Tubuh Ikan Laut

Musial dan Uthe (1983) menyajikan bukti kromatografi dan konfirmasi kimiawi mengenai keberadaan residu toxaphene, sejenis pestisida “polychlorinated camphene”, pada ikan herring (Clupea harengus harengus) dan cod (Gadus morhua) dari daerah-daerah yang terpisah jauh di pesisir timur Kanada. Residu toxaphene tidak terdeteksi dalam sampel scallop laut-dalam (Placopecten magellanicus). Toxaphene ditentukan dengan kromatografi gas kapiler. Konsentrasinya dalam jaringan tubuh ikan berkisar dari 0,4 sampai 1,1 mikrogram/gram berdasarkan berat basah dan dari 2,4 sampai 12 mikrogram/gram berdasarkan berat lemak. Data ini menunjukkan terjadinya pencemaran lingkungan laut berskala luas oleh pestisida chlorinated camphene.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...