Senin, 28 Oktober 2013

Kultur Daphnia : Pengaruh Faktor Lingkungan

Arsip Cofa No. C 157

Biologi Daphnia

Dinges (1982) menyatakan bahwa Daphnia adalah krustasea pemakan-penyaring dengan panjang sekitar 1 – 3 mm yang ditemukan di kolam dan danau di seluruh daerah beriklim sedang dan, sampai batas-batas tertentu, di daerah subtropis dan daerah arktik (kutub). Daphnia termasuk famili daphnidae. Tiga spesies penghuni kolam, yaitu Daphnia pulex Leydig, Daphnia magna Straus dan Daphnia similis Clauss (sub genus Ctenodaphnia) sangat sesuai untuk budidaya masal terkendali.

Struktur fisiologis Daphnia yang memungkinkan mereka dapat memperbaiki kualitas air adalah lima pasang kaki toracik yang dipenuhi tonjolan mirip rambut-rambut halus. Alat gerak ini memungkinkan Daphnia untuk menyaring material tersuspensi dari air. Gerakan kaki yang cepat menciptakan arus air yang mengalir melalui sebuah celah menuju ke mulut. Partikel-partikel seperti alga, bakteri, protozoa, detritus dan lain-lain dikumpulkan ketika partikel-partikel tersebut terbawa arus air menuju mulut. Partikel padat dipecah menjadi butiran-butiran halus oleh struktur mandibular (rahang bawah) yang berperanan dalam penelanan makanan. Makanan didorong melalui saluran pencernaan makanan dan material yang tak tercerna dibuang melalui anus. Daphnia memiliki sebuah mata majemuk yang terletak di tengah-tengah kepala. Jantung, yang terletak di daerah punggung bagian atas, mendistribusikan darah ke seluruh bagian tubuh. Daphnia berenang dengan bantuan antena yang bercabang-cabang; hewan ini merupakan perenang lamban (Dinges, 1982).

Peranan Partenogenesis Dalam Reproduksi Daphnia

Menurut Dinges (1982) suatu populasi Daphnia pada kondisi lingkungan yang sesuai hampir selalu hanya terdiri dari betina partenogenetik. Betina-betina ini dapat menghasilkan anak tanpa kehadiran hewan jantan. Pada kondisi lingkungan yang menguntungkan, anak yang dihasilkan juga berjenis kelamin betina partenogenetik. Pembentukan sebuah populasi yang dimulai oleh seekor betina partenogenetik mengikuti proses-proses berikut. Telur-telur dari ovari akan dikeluarkan; telur ini lalu memasuki tuba falopii dan terus ke ruang pengeraman. Telur akan menetas dan dalam waktu yang singkat hewan muda dikeluarkan dari tubuh induknya; rupa hewan muda ini mirip seperti induknya. Induk tadi mengelupaskan kulit tubuhnya ketika ia melahirkan sementara makin banyak telur yang disimpan dalam ruang pengeraman. Tubuh Daphnia induk membesar sebelum kulit tubuhnya yang baru mengeras. Kulit tubuhnya ini tersusun dari kitin, sejenis polisakarida komplek yang tahan terhadap penguraian oleh bakteri. Kulit lama yang telah dibuang akan tenggelam ke dasar perairan.

Dinges (1982) melaporkan bahwa pengamatan terhadap Daphnia similis yang dipelihara dalam botol kultur menunjukkan bahwa seekor induk menghasilkan anak setelah berumur enam hari. Sebanyak empat puluh ekor Daphnia mungkin dihasilkan dalam satu kali pengeraman. Satu populasi yang dihasilkan oleh satu ekor betina partenogenetik disebut “clone”. Reproduksi partenogenetik memungkinkan untuk memilih individu dengan sifat yang dikehendaki dan menghasilkan satu “clone” dengan sifat genetik semua anggotanya hampir identik satu sama lain.

Faktor Fisika-Kimia Yang Mempengaruhi Produksi Kultur Daphnia

Dinges (1982), berdasarkan studi literatur, meringkaskan kisaran faktor-faktor fisika dan kimia bagi produksi Daphnia magna dan Daphnia pulex. Peningkatan populasi Daphnia terjadi pada kondisi berikut : suhu 12 – 20 oC, pH 7 – 8,5 , konsentrasi oksigen terlarut 0,5 – 10 mg/liter, H2S 0 – 0,4 mg/liter, NH4+ 0 – 17 mg/liter, NO2- 0 – 8 mg/liter dan konsentrasi bakteri 104 – 105/ml. Kedua spesies tumbuh subur bila pH kurang dari 8. Daphnia pulex hidup paling baik pada pH di bawah 8 dan konsentrasi amonia kurang dari 1 mg/liter. Amonia (NH3) merupakan racun bagi Daphnia pada pH tinggi. Nilai pH air media kultur harus dikontrol untuk mencegah penguraian amonia. Daphnia dapat mentoleransi hidrogen sulfida (H2S) sampai konsentrasi 3 mg/liter tetapi sebaiknya konsentrasi senyawa ini kurang dari 0,4 mg/liter. Pengadukan dan pengaerasian air media kultur secara pelan-pelan harus dilakukan untuk menghilangkan sulfida (S2-). Daphnia peka terhadap logam berat dan beberapa jenis bahan organik sintetis. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa kematian populasi Daphnia ketika mendekati musim panas disebabkan oleh meningkatnya suhu air (lebih dari 27 oC). Fotoperiod (panjang siang hari) merupakan faktor lingkungan penting yang mempengaruhi Daphnia. Akibat terkena cahaya matahari dalam jangka waktu lama adalah membludaknya produksi alga fitoplankton yang menyebabkan tingginya pH dan cepatnya penguraian amonia.

Menurut Dinges (1982), seekor induk Daphnia similis yang dipelihara dalam botol kultur menghasilkan sekelompok anak setiap hari. Betina muda menghasilkan anak setelah berumur enam hari. Populasi Daphnia dibatasi oleh pemangsaan dan pasokan makanan pada kondisi alami. Kepadatan populasi bisa mencapai dua atau tiga ribu ekor per liter pada kondisi yang menguntungkan.

Baca juga
Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton

Pengaruh Kesadahan dan Jenis Makanan Terhadap Produktivitas Daphnia

Lewis dan Maki (1981) mempelajari pengaruh makanan dan kesadahan air, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terhadap produktivitas Daphnia magna dalam uji laboratorium. Jumlah individu muda pada hari pertama reproduksi, jumlah total individu muda dan jumlah generasi adalah lebih banyak sejalan dengan meningkatnya kesadahan. Pada uji maksimum kesadahan 350 mg/liter (sebagai CaC03), produksi individu muda sekitar 65 % lebih banyak dibandingkan pada kesadahan terendah 50 mg/liter (sebagai CaC03). Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kematangan seksual adalah sekitar satu hari lebih singkat dalam air kultur yang lebih sadah. Daphnid yang diberi pakan kombinasi alga hijau, pakan ikan trout dan alfalfa kering adalah tiga kali lebih produktif daripada daphnid yang hanya memakan alga atau hanya pakan trout dan alfalfa. Kombinasi pakan yang diperkaya-alga dan media kultur yang bersifat sadah menghasilkan produktivitas optimal.

Baca juga
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea

Pengaruh Jumlah Pakan Induk Daphnia Terhadap Produksi dan Ukuran Anaknya

Cox et al. (1992) melaporkan bahwa dengan memanipulasi jumlah makanan untuk induk, maka jumlah dan ukuran anak Daphnia magna bisa dimodifikasi. Jumlah makanan induk diatur dengan cara mempertahankan volume air media dan makanan (Chlorella) agar konstan, tetapi jumlah Daphnia per wadah bervariasi. Pada kepadatan rendah, anak Daphnia yang diproduksi setiap induk adalah lebih banyak namun lebih kecil dibandingkan pada kepadatan tinggi; pada yang terakhir ini anak yang diproduksi per induk lebih sedikit namun lebih besar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kontrol yang cermat terhadap jumlah makanan induk Daphnia harus dilakukan untuk memperoleh anak Daphnia yang seragam.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Respon Daphnia Terhadap Keterbatasan Makanan

Gliwicz (2010) dalam Likens (2010) melaporkan bahwa data eksperimen mengenai laju pertumbuhan spesies-spesies Daphnia yang berbeda ukuran dan dikultur dengan konsentrasi makanan berbeda-beda menunjukkan bahwa ambang batas konsentrasi makanan adalah lebih rendah untuk spesies berbadan besar daripada untuk spesies berbadan kecil. Percobaan lebih lanjut membuktikan bahwa ambang batas konsentrasi makanan adalah lebih rendah untuk individu tua daripada untuk Daphnia muda. Dari hasil percobaan ini disimpulkan bahwa (1) Daphnia tua lebih unggul dalam bersaing daripada individu muda, (2) juvenil Daphnia yang rentan terhadap kelaparan akan menghilang dari persaingan, dan (3) bila menghadapi ancaman kelaparan yang hebat, individu dewasa akan menghentikan reproduksi atau membuat investasi yang lebih besar untuk setiap anaknya dengan cara memproduksi lebih sedikit telur per periode sehingga setiap anak memperoleh alokasi sumberdaya yang lebih banyak. Hal ini akan menghasilkan populasi tunggal berisi individu berumur panjang di mana individu-individu muda akan tersingkirkan melalui persaingan intraspesifik yang hebat.

Baca juga
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pengaruh Air Bekas Budidaya Ikan Terhadap Pertumbuhan dan Fekunditas Daphnia

Tatrai dan de Bernardi (1992) meneliti pengaruh air bekas pemeliharaan anak ikan cyprinidae terhadap pertumbuhan dan fekunditas Daphnia obtusa. Mereka menyimpulkan bahwa pergeseran ketersediaan makanan yang berhubungan dengan adanya ikan akan mengubah laju pertumbuhan Daphnia obtusa. Pertumbuhan dan fekunditas daphnidae meningkat ketika dipelihara di dalam air bekas akuarium anak ikan cyprinidae, tetapi menurun dengan bertambahnya umur ikan tersebut. Dampak ikan secara tak langsung ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan alga dan konsentrasi metabolit yang membantu pertumbuhan alga.

Pengaruh Tumbuhan Air Terhadap Kelimpahan Daphnia

Irvine et al. (1990) mempelajari hubungan antara tumbuhan air tipe-tenggelam dengan komunitas mikrokrustasea dan rotifera selama periode tiga tahun di serangkaian kolam eksperimen, yang dibuat dengan memanfaatkan parit drainase. Dalam penelitian ini juga dilakukan pendugaan kelimpahan musiman dan distribusi-ruang. Kolam eksperimen ditumbuhi berbagai jenis vegetasi, yang didominasi oleh Ceratophyllum demersum atau Stratiotes aloides dan hal ini berpengaruh terhadap komunitas binatang kolam. Peningkatan biomas Ceratophyllum berhubungan dengan peningkatan kelimpahan entomostraca yang berasosiasi dengan tumbuhan air, sedangkan peningkatan biomas Stratiotes menyebabkan penurunan secara umum kelimpahan binatang yang berasosiasi dengan tumbuhan air. Peningkatan biomas kedua spesies tumbuhan air ini menyebabkan penurunan kelimpahan Daphnia, tetapi dengan derajat yang berbeda.

Baca juga
Pemangsaan Terhadap Daphnia (Cladocera)

Pengaruh Volume Media Kultur dan Kepadatan Induk Terhadap Produksi Anak Daphnia

Martínez-Jerónimo et al. (2000) menyatakan bahwa anak baru-lahir Daphnia magna banyak digunakan untuk bioesei dalam toksikologi akuatik. Walaupun spesies ini dijadikan sebagai rujukan seluruh dunia dalam studi ekotoksikologi, namun penelitian tersebut bila diulangi memberikan hasil yang berbeda-beda akibat perbedaan dalam hal kondisi pemeliharaan induk Daphnia. Telah dilakukan penelitian mengenai efek gabungan antara kepadatan betina partenogenetik dewasa dan volume kultur terhadap fekunditas total. Mikroalga hijau Scenedesmus incrassatulus digunakan sebagai pakan (kepadatan alga 1,3 x 106 sel/ml). Segera setelah reproduksi dimulai, anak yang dihasilkan dihitung setiap hari dan dipindahkan untuk menghindari efek berdesakan. Percobaan dilakukan selama 40 hari. Jumlah total maksimal anak per betina, yaitu 832 dan 755 anak, diperoleh untuk kepadatan induk berturut-turut 5 dan 10 ekor per liter (dalam percobaan ini satu ekor betina dewasa per wadah kultur yang bervolume 200 dan 100 ml). Bila volume media kultur ditambah, meskipun kepadatan induk betina berkurang, fekunditas berkurang dan juga jumlah total anak yang diproduksi per betina berkurang. Untuk memperoleh produksi anak Daphnia yang optimal, betina partenogenetik sebaiknya dikultur sendiri-sendiri dengan volume air sedikit (100 atau 200 ml).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 25 Oktober 2013

Kematian Ikan Akibat Saprolegnia

Arsip Cofa No. C 156

Morfologi Jamur Saprolegniaceae

Anggota-anggota famili ini sebagian besar hanya dapat hidup di lingkungan perairan, tetapi kebanyakan spesies hidup di tanah. Berlawanan dengan pendapat para ilmuwan masa dahulu, kebanyakan jamur ini hidup saprofit pada serasah tumbuhan dan sedikit yang hidup pada bangkai binatang. Hanya beberapa spesies Achlya dan Saprolegnia yang kadang-kadang menyebabkan kematian anak-anak ikan dan telur ikan pada hatchery. Beberapa spesies Aphanomyces dan satu atau dua genus lainnya hidup parasit pada alga, akar tumbuhan tingkat tinggi atau pada binatang air.

Sekitar separuh genus memiliki oogonium yang berisi satu telur, tetapi sebagian besar genus dari famili ini memiliki oogonium yang bertelur-banyak. Jumlah telur per oogonium bervariasi dari 2 atau 3 sampai 50. Pada proses pembuahan telur, inti sperma – satu untuk setiap telur – masuk biasanya melalui tabung konjugasi yang menembus dinding oogonium dari antheridium. Pada beberapa kasus meskipun mempunyai antheridium namun tampaknya tidak ada lubang masuk bagi inti sperma sehingga telur berkembang secara partenogenetik. Oospora mungkin bertunas menjadi tabung tunas (germ tube) yang menghasilkan miselium baru. Pada Thraustotheca primoachlya Coker & Couch oospora yang sedang bertunas mungkin membelah diri menjadi beberapa spora internal atau spora internal ini dibentuk di dalam tabung tunas yang tumbuh keluar melalui celah-celah pada dinding oogonium (Coker & Couch, 1924). Ziegler (1948) mempelajari pertunasan 26 spesies dari famili ini yang mewakili 6 genus dan menemukan 4 tipe berikut ini. (1) “Sebuah tabung tunas dibentuk, dengan sebuah sporangium di puncaknya”; (2) “tabung tunas menghasilkan sebuah miselium yang sedikit bercabang dengan sebuah sporangium pada puncak hifa utama atau pada sebuah cabang”; (3) “tabung tunas primer membentuk sebuah miselium bercabang”; (4) “tabung tunas primer membentuk sebuah hifa panjang yang tak bercabang”.

Tampaknya bentuk zoospora primitif berupa seperti buah pear dengan dua flagela anterior yang sama panjang. Zoospora primer semacam ini hanya dibentuk oleh dua spesies Pythiopsis. Kebanyakan spesies dari ordo ini bersifat dimorfik (memiliki dua macam bentuk). Spesies-spesies lainnya menunjukkan berbagai modifikasi bentuk dimorfik ini.

Zoosporangia dibentuk pada ruas terakhir hifa, tetapi kadang-kadang dibentuk berderet satu di belakang yang lain. Ketika zoospora dilepaskan maka zoosporangium baru akan muncul, kadang-kadang lima atau enam kali. Pada kasus lain zoosporangia baru dibentuk pada cabang-cabang hifa. Biasanya mereka berbentuk ramping , seperti hifa penyokong, atau ujungnya membulat atau bulat telur. Pada kondisi kultur tertentu, hifa mungkin membentuk bulatan-bulatan zoosporangium yang berderet seperti rantai, yang masing-masing memiliki sebuah lubang pengeluaran di dekat ujungnya. Pada kondisi tertentu, zoosporangia membulat menjadi spora istirahat yang berdinding tebal atau chlamydiospora.

Biasanya zoospora terlepas setelah bagian atas zoosporangium melunak. Pada Saprolegnia, Leptolegnia dan Isoachlya zoospora primer berenang menjauh segera setelah dilepaskan kemudian mengkista pada jarak tertentu dari zoosporangium. Pada Achlya, Aphanomyces dan beberapa genus lain, zoospora primer mengkista segera setelah dilepaskan kemudian membentuk sebuah bola berisi sel-sel yang menghasilkan zoospora sekunder. Pada Thraustotheca dan genus lainnya zoospora primer mengkista di dalam zoosporangium dan ketika zoopsorangium pecah spora yang telah mengkista tadi keluar dan kemudian membentuk spora sekunder. Pada Dictyuchus spora yang telah mengkista berbentuk segi-banyak dan bertunas di dalam zoosporangium menjadi tabung pendek yang menembus keluar dinding zoosporangium, jadi bisa langsung melepaskan zoospora sekunder secara individu. Pada Aplanes dan Geolegnia dan beberapa genus lainnya spora primer yang telah mengkista bertunas menjadi tabung tunas di dalam zoosporangium atau setelah zoosporangium ini pecah. Pada berbagai kondisi kultur, individu-individu dari satu spesies Saprolegnia atau Achlya mungkin bisa dirangsang untuk membentuk zoospora dengan cara seperti yang ditempuh oleh Saprolegnia, Achlya, Thraustotheca atau Aplanes, yang menunjukkan bahwa modifikasi-modifikasi cara pembentukan zoospora ini tidak harus diikuti. Hal ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa Salvin (1942) telah berhasil mengawinkan Thraustotheca clavata (de Bary) Humphrey dengan Achlya flagellata Coker; yang pertama menghasilkan anteridium dan yang terakhir memproduksi oogonium. Oospora yang dihasilkan dari perkawinan ini tidak dapat membentuk tunas melalui metode yang dicobakan.

Aphanomyces mempunyai zoosporangium yang ramping tetapi hanya memiliki saru deretan tunggal zoospora yang proses pelepasannya sama seperti pada Achlya. Oogonium hanya memiliki satu telur saja. Spesies dari genus ini bersifat parasit pada alga dan pada akar tumbuhan tingkat tinggi, di mana mereka bisa menyebabkan akar menjadi busuk, juga memparasiti binatang air, terutama krustasea. Aphanomyces acinetophagus ditemukan pada sejenis protozoa air tawar. Agak sulit dibedakan dari Aphanomyces adalah Hydatinophagus yang memparasiti rotifera. Genus lain yang berkerabat dekat dengannya adalah Sommerstorffia yang juga parasit pada rotifera dan memiliki cabang-cabang mirip paku untuk mencengkeram tubuh inangnya. Plectospira bersifat parasit pada akar tumbuhan dan mirip dengan Aphanomyces kecuali bahwa ia memproduksi sekumpulan hifa dengan bentuk lembaran-lembaran kecil yang tampaknya berfungsi sebagai tempat penyimpanan tambahan sebagian zoosporangia, seperti yang dijumpai pada beberapa spesies dari genus Pythium. Oogonium hanya memiliki sebutir telur tetapi tanpa periplasma (plasma tepi) dan dikelilingi oleh banyak antheridia, sampai lebih dari 50, tetapi hanya sedikit antheridia yang berkembang penuh. Leptolegnia mirip dengan Aphanomyces dalam hal hifa yang berbentuk ramping dan zoosporangium yang juga ramping dengan sederet zoospora serta dalam hal oogonium yang hanya membentuk satu telur saja. Ia berbeda dalam hal zoospora primer yang berenang menjauh segera setelah dilepaskan dan membentuk kista pada jarak tertentu dari zoosporangium seperti pada Saprolegnia.

Baca juga
Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya

Faktor Pendorong Infeksi Saprolegnia

Brown and Bruno (2002) dalam Woo et al. (2002) menyatakan bahwa jenis jamur yang paling penting, terutama berkaitan dengan dampaknya terhadap telur dan ikan matang gonad, adalah Saprolegnia, di antaranya adalah Saprolegnia diclina. Saprolegnia diclina dibagi menjadi 3 subspesies berdasarkan morfologi oogonianya. Saprolegnia diclina tipe 1 menginfeksi ikan salmonidae dan bersinonim dengan Saprolegnia parasitica. Tipe 2 hidup sebagai parasit pada ikan air tawar selain salmon dan trout. Tipe 3 seluruhnya bersifat saprofit.

Brown and Bruno (2002) dalam Woo et al. (2002) melaporkan bahwa infeksi jamur air pada telur, anak ikan dan ikan besar merupakan masalah yang banyak dijumpai pada ikan budidaya. Kondisi berdesakan, stres penanganan, perubahan suhu, peningkatan konsentrasi bahan organik dalam air budidaya, parasit serta proses kematangan gonad meningkatkan peluang terjadinya infeksi Saprolegnia. Kematian sampai 50 % ikan catfish budidaya terjadi selama musim dingin yang hebat di Amerika Serikat dengan kerugian ekonomi tahunan mencapai US $ 40 juta pada tahun 1994. Berdasarkan hasil tangkapan komersial ikan Atlantic Menhaden (Brevoortia tyrannus), 80 % populasi ikan ini menderita “ulcerative mycosis” (luka akibat jamur), hingga menimbulkan kerugian ekonomi senilai kira-kira US $ 27 juta per tahun. Di Jepang kematian ikan coho salmon budidaya tiap tahun bisa melebihi 50 % . Saprolegnia sp telah diisolasi dari ikan Atlantic salmon, rainbow trout, brown trout, Arctic charr (Salvelinus alpinus) dan coho salmon. Di Jepang S.parasitica dan S. diclina menyebabkan kematian ikan pada budidaya rainbow trout, coho salmon dan ikan ayu (Plecoglossus alivelis). Infeksi S. diclina telah dilaporkan terjadi pada ikan rainbow trout yang sedang memijah di Taiwan.

Infeksi umumnya hanya terjadi akibat perubahan faktor lingkungan, melemahnya kekebalan atau ikan terkena jamur. Hubungan antara kematangan gonad dan peningkatan infeksi jamur disebabkan oleh kerusakan kulit akibat aktivitas pemijahan. Kerentanan terhadap saprolegniasis bisa juga berkaitan dengan meningkatnya kadar kortisol dan hormon-hormon reproduksi tertentu. Diduga bahwa penurunan suhu air mengurangi jumlah sel lendir sehingga kista Saprolegnia lebih mudah menempel dan berkembang biak pada tubuh ikan (Brown and Bruno, 2002 dalam Woo et al. , 2002).

Baca juga
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Kondisi Yang Mendukung Terjadinya Saprolegniasis

Menurut Jadhav (2008) jamur air famili Saprolegniaceae memiliki beberapa genus yang menyebabkan banyak jenis penyakit yang menginfeksi dan membunuh ikan, baik telur, larva, anak maupun ikan dewasa. Genus-genus tersebut adalah Saprolegnia sp., Achlya sp dan Branchiomyces sp. Meskipun beberapa spesies jamur dalam famili ini merupakan patogen primer (misal Saprolegnia parasitica), namun sebagian besar (misal, Saprolegnia diclina dan Saprolegnia saprolytica) menyebabkan penyakit hanya bila sebelumnya ikan menderita sakit, luka mekanis atau stres lingkungan. Saprolegniasis merupakan penyakit jamur pada ikan dan telur ikan yang umumnya disebabkan oleh spesies Saprolegnia. Jamur ini banyak terdapat dalam air tawar atau payau dan dapat tumbuh pada kisaran suhu 32 – 95 oF tetapi tampaknya lebih menyukai suhu 59 – 86 oF.

Penyakit saprolegniasis akan menyerang luka yang ada pada tubuh ikan dan dapat menular ke jaringan yang sehat. Kualitas air yang buruk (misal, air dengan sirkulasi kurang, konsentrasi oksigen terlarut rendah atau kadar amonia tinggi) dan konsentrasi bahan organik yang tinggi, termasuk adanya telur-telur mati, sering berhubungan dengan infeksi Saprolegnia. Keberadaan bakteri Columnaris atau parasit eksternal juga bisa memicu serangan Saprolegnia. Saprolegniasis menyebabkan mortalitas ikan yang sangat tinggi. Ikan berukuran lebih dari 1 kg di kolam dengan kondisi berdesakan sangat rentan terhadap saprolegniasis musim dingin. Oleh karena itu penyakit ini memiliki arti penting ekonomi yang besar (Jadhav, 2008).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Saprolegniasis dan Kematian Ikan

Bruno et al. (2011) dalam Woo and Bruno (2011) menyatakan bahwa penyakit jamur pada ikan sulit dicegah dan ditangani, terutama dalam sistem budidaya air tawar intensif, dan menduduki peringkat kedua setelah penyakit bakterial sebagai penyebab utama kerugian ekonomi akuakultur. Infeksi Saprolegnia spp. pada ikan budidaya biasanya bersifat kronis tetapi terus-menerus; bagaimanapun terjadi infeksi Saprolegnia secara dramatis sejak pelarangan penggunaan malasit hijau. Saprolegnia parasitica telah diidentifikasi dari banyak ikan dan dianggap merupakan patogen penting. Saprolegniasis dilaporkan menyerang budidaya ikan di Indonesia dan India. Mortalitas yang tinggi, akibat infeksi Saprolegnia parasitica, terjadi pada berbagai spesies ikan karper yang dibudidayakan di kolam dan pada ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) yang dibudidayakan di kurungan. Infeksi oleh jamur ini menyebabkan kematian pada ikan karper dan karper India (Labeo rohita) selama musim dingin ketika air banyak mengandung bahan organik. Ikan betok (Anabas testudineus) dari sungai di India dilaporkan terinfeksi Saprolegnia parasitica. Spesies ikan hias air tawar tropis yang biasa hidup di perairan bersuhu 23 oC juga menunjukkan gejala-gejala klinis saprolegniasis; ikan hias tersebut mencakup Plecostomus spp. dan platyfish Meksiko (Xiphophorus maculatus).

Bruno et al. (2011) dalam Woo and Bruno (2011) mendaftar kasus-kasus kematian ikan akibat Saprolegnia. Dilaporkan bahwa Saprolegnia telah diisolasi dari ikan sidat dan lamprey sungai (Lampetra fluviatilis). Elver atau larva sidat Anguilla anguilla yang dibudidaya intensif di kolam air hangat mengalami banyak kematian akibat Saprolegnia sp. Telur ikan karper liar di Rusia banyak yang mati akibat Saprolegnia sedangkan di Amerika Serikat jamur Saprolegnia ini telah diisolasi dari ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) yang menyebabkan kematian masal selama bulan-bulan musim dingin. Saprolegniasis juga menyerang budidaya ikan sturgeon Atlantik (Acipenser oxyrhynchus) pada saat pemijahan dan budidaya juvenil ikan kakap (Lates calcarifer) di Australia. Di Nigeria banyak jenis jamur yang mencakup Achlya, Aphanomyces dan Saprolegnia telah ditemukan pada berbagai jenis ikan air tawar. Di sini juga dilaporkan bahwa mata ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dibudidayakan di hatchery terinfeksi oleh Myxosoma dan Saprolegnia sp. Anak ikan mujaer (Oreochromis mossambicus), yang dibudidayakan di Afrika Selatan, dilaporkan menjadi inang umum bagi Saprolegnia sp. Di Brazil ikan belanak perak (Mugil curema) yang diaklimatisasi-ulang dalam air tawar rentan terhadap Saprolegnia sp. Spesies ikan belanak lain, yaitu Liza abu, dan ikan karper yang dikultur di Irak terinfeksi oleh Saprolegnia ferax dan Saprolegnia terrestris.

Baca juga
Metode Pengukuran Pertumbuhan Jamur

Penyakit Jamur Pada Ikan dan Telur Ikan

Hoffman (1969) menyatakan bahwa spesies jamur dari genus Saprolegnia biasanya dikaitkan dengan penyakit jamur pada ikan dan telur ikan, meskipun Achlya, Aphanomyces, Leptomitus dan Pythium juga dilaporkan menyerang ikan dan telurnya. Penyakit jamur pada ikan ini seringkali dianggap sebagai akibat sekunder setelah ikan mengalami luka, tetapi sekali jamur mulai tumbuh pada ikan maka lukanya akan makin parah dan bisa membawa ke kematian kecuali bila diobati. Jamur sering menyerang telur ikan yang mati dan kemudian menular ke telur-telur di sekitarnya yang masih hidup lalu membunuhnya; dengan demikian jamur menyumbangkan salah satu penyakit yang paling penting pada telur ikan. Jamur ini tumbuh pada berbagai jenis bahan organik yang sedang membusuk dan tersebar luas di alam. Kehadiran jamur pada ikan dan telur ikan ditandai oleh adanya bercak putih seperti kapas yang makin membesar dan terdiri dari sekumpulan miselium benang (hifa) tak bersekat yang masing-masing berdiameter sekitar 20 mikron. Dengan pembesaran lemah, benang jamur yang sudah tua mungkin terlihat ujungnya membesar seperti bulatan lonjong yang berisi zoospora berflagel. Zoospora ini nantinya melepaskan diri dan akan menginfeksi ikan atau telur ikan lainnya.

Serangan Saprolegnia Pada Telur Ikan

Jalilpoor et al. (2006), berdasarkan studi pustaka, menyatakan bahwa infeksi jamur merupakan salah satu faktor utama penyebab mortalitas dan kerugian ekonomi pada industri budidaya ikan, terutama pembenihan/hatchery. Kontaminasi oleh Saprolegnia spp. makin banyak diketahui sebagai patogen penting pada ikan estuaria; genus jamur ini tersebar di seluruh dunia dan lebih dari 85 spesies jamur ini telah dketahui mengganggu biota perairan tawar alami maupun budidaya. Jamur ini juga menyerang telur ikan sturgeon dan intensitas serangannya sering meningkat bila sebelumnya terjadi infeksi virus. Infeksi sering terjadi segera setelah telur ikan ada di dalam air (bahkan sebelum fertilisasi pada kasus air yang terkontaminasi jamur tersebut). Begitu mapan, jamur ini dapat menyebar dengan cepat ke telur-telur yang sehat hingga menyebabkan kematian semua telur yang ada dalam satu wadah atau satu unit.

Jalilpoor et al. (2006) melakukan studi untuk mendokumentasikan kisaran serangan Saprolegnia pada kondisi hatchery praktis budidaya ikan sturgeon di Iran di mana jutaan telur dierami secara serentak. Lima perangkat inkubator skala besar dipantau; laju fertilisasi dan persentase telur yang dipengaruhi oleh jamur dianalisis pada akhir periode pengeraman. Disimpulkan bahwa ada hubungan antara kualitas telur (yang ditentukan berdasarkan tingkat fertilisasi dan mortalitas) dengan daya infeksi jamur. Mortalitas akibat jamur ini diperkirakan sebesar 7 sampai 22 % pada kondisi yang dipelajari.

Baca juga
Ekologi Jamur Air

Formalin Untuk Mengurangi Kematian Ikan Akibat Saprolegnia

Geiseker et al. (2006) melaporkan bahwa formalin telah digunakan untuk mengobati infeksi jamur pada telur ikan, tetapi kemampuannya untuk mengurangi mortalitas ikan yang terkena infeksi jamur belum dibuktikan dengan jelas. Infeksi eksperimental telah dirangsang dengan abrasi (pengikisan permukaan tubuh ikan), stres suhu dan pemaparan ikan terhadap jamur dengan tujuan mengevaluasi kemampuan formalin dalam mengurangi kematian ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) yang terinfeksi Saprolegnia parasitica (ATCC 22284). Ikan trout ini dibius dan dikikis permukaan tubuhnya dengan teknik abrasi terkendali. Stres suhu dilakukan bersamaan dengan pemaparan ikan terhadap jamur, yaitu dengan cara memindahkan ikan dari suhu aklimasi (15 ± 2 °C) ke suhu tinggi (22 ± 2 °C) yang airnya mengandung Saprolegnia parasitica selama 4 jam. Setelah dipaparkan terhadap jamur, ikan didistribusikan secara acak ke 16 tangki eksperimen (3 ikan/tangki). Empat dosis perlakuan (larutan formalin 0, 50, 100 dan 150 ppm) dievaluasi. Ikan diberi tiga perlakuan selama 1 jam: pada hari pertama, 1 jam setelah dipaparkan terhadap jamur, dan kemudian pagi hari ke-3 dan ke-5. Tingkat infeksi adalah 100 % untuk keempat perlakuan tersebut. Persen mortalitas rata-rata untuk keempat perlakuan dosis adalah 67 % (0 ppm), 35 % (50 ppm), 29 % (100 ppm) dan 40 % (150 ppm). Analisis statistik terhadap persen mortalitas pada hari ke-5 dan ke-19 menunjukkan bahwa dosis 50, 100 dan 150 ppm semuanya memberikan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan dosis 0 ppm, baik pada hari ke-5 maupun ke-19.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 21 Oktober 2013

Pengaruh Kedalaman Perairan Terhadap Ikan

Arsip Cofa No. C 155

Pengaruh Kedalaman dan Suhu Air Kolam Terhadap Pertumbuhan, Konversi Pakan, Mortalitas dan Komposisi Tubuh Ikan Nila

El-Sayed et al. (1996) mempelajari pengaruh berbagai kedalaman dan suhu air kolam terhadap pertumbuhan, pemanfaatan makanan, tingkat mortalitas dan komposisi tubuh ikan nila, Oreochromis niloticus (L.). Satu kelompok ikan, dengan ulangan 3 kali, yang terdiri dari 20 ekor (jenis kelamin campuran) per meter kubik ditebarkan ke kolam tanah seluas 200 m3 dengan empat macam kedalaman air : 50, 100, 200 dan 300 cm. Ikan diberi pakan pelet komersial (protein 23 %), dua kali sehari selama 10 bulan (Mei 1991 – Februari 1992). Suhu air berkisar dari 5 oC sampai 33 oC.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, El-Sayed et al. (1996) menyimpulkan bahwa pertumbuhan dan kelangsungan hidup secara nyata dipengaruhi oleh kedalaman air kolam dan suhu air. Perolehan berat ikan adalah paling rendah (250 gram per ikan), konversi pakan paling buruk (3,15) dan mortalitas tertinggi (41,5 %) untuk kolam dengan kedalaman 50 cm, sedangkan kolam berkedalaman 100 – 200 cm menghasilkan laju pertumbuhan terbaik pada suhu hangat (> 21 oC). Pada kedalaman 100 – 200 cm, perolehan berat ikannya meningkat secara nyata (P < 0,001) menjadi 348 – 362 gram per ikan, konversi pakan menjadi lebih baik (2,53 – 2,59 ; P < 0,01) dan mortalitas berkurang menjadi 21 – 27 % (P < 0,001). Petumbuhan ikan berkurang secara nyata (P < 0,001) di bawah suhu 21 oC. Di bawah suhu 10 oC, ikan berhenti makan dan menunjukkan stres yang parah, infeksi jamur serta mortalitas yang tinggi. Bagaimanapun, tingkat mortalitas secara nyata berkurang pada kedalaman 300 cm. Kandungan lipida dan protein tubuh ikan banyak berkurang (P < 0,001) dengan menurunnya suhu air dan kedalaman kolam, sedangkan kadar abu dalam tubuh ikan menunjukkan pola yang tidak teratur.

Baca juga
Toleransi Ikan Mujaer (Cichlidae) Terhadap Suhu

Pengaruh Kedalaman Air Kolam Terhadap Komposisi Tubuh Ikan

Ali et al. (2006) melaporkan bahwa spesimen ikan Labeo rohita , Cirrhinus mrigala , Hypophthalmicthys molitrix dan Catla catla telah disampling dari tiga kolam dengan kedalaman berbeda (152 cm, 122 cm dan 76 cm) untuk membandingkan komposisi tubuh spesies-spesies ikan tersebut dalam hubungannya dengan kedalaman kolam. Ada pengaruh nyata (P < 0,001) kedalaman kolam terhadap kandungan air, abu, bahan organik, lemak dan protein (baik berdasarkan % berat badan basah maupun kering). Terlihat bahwa kedalaman kolam memberikan pengaruh nyata (P < 0,01) terhadap faktor kondisi di kolam berkedalaman 122 cm, tetapi tidak pada kolam berkedalaman 152 dan 76 cm. Nilai rata-rata komposisi tubuh yang maksimum terlihat pada ikan Labeo rohita di ketiga kolam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budidaya ikan di kolam dengan berbagai kedalaman air menghasilkan ikan dengan kandungan protein berbeda-beda dan hal ini diharapkan dapat membantu petani ikan untuk memilih kedalaman kolam terbaik guna memproduksi ikan yang kaya protein.

Baca juga
Budidaya Ikan Intensif : Padat Penebaran, Kualitas Air dan Penghematan Biaya

Pengaruh Kedalaman Air Kolam Terhadap Stres Gelembung Renang

Kolbeinshavn dan Wallace (1985) melaporkan bahwa pada dua percobaan terpisah, juvenil ikan Arctic charr (Salvelinus alpinus) dipelihara di kolam dengan tiga macam kedalaman air (12, 24 dan 37 cm) dan tiga macam padat penebaran (10, 50 dan 100 kg/m3). Mortalitas akibat “swim bladder stress syndrome” (SBSS sindrom stres gelembung renang) terlihat setelah 2 bulan. Kolam berair dangkal menyebabkan mortalitas yang tinggi sedangkan padat penebaran tidak mendorong timbulnya sindrom stres tersebut sampai derajat yang bisa diamati. Analisis kadar katekolamin dalam plasma darah sejumlah ikan menunjukkan peningkatan kadar dopamin pada ikan yang stres.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kedalaman Kolam Yang Mendukung Budidaya Ikan

Boyd (1982) mengutip pernyataan bahwa kolam yang dalam dan terlindung kurang tahan terhadap masalah kehabisan oksigen terlarut daripada kolam dangkal dan terbuka. Di kolam dangkal dan terbuka, kekuatan angin cukup untuk mencegah pembentukan stratifikasi termal. Pada malam hari, oksigen, yang hanya bisa diserap kolam pada permukaan air, teraduk ke seluruh volume air. Tak hanya difusi yang menyebabkan konsentrasi oksigen lebih tinggi di kolam yang dangkal dan terbuka, hipolimnion yang menimbulkan masalah kekurangan oksigen juga tidak terbentuk. Air yang kekurangan oksigen dengan volume besar bisa menyebabkan masalah kehabisan oksigen terlarut bila secara mendadak terjadi overturn (pembalikan masa air) selama musim panas. Kedalaman ideal untuk kolam ikan tidak diketahui, tetapi diduga bahwa kedalaman maksimum kolam ikan yang terlindung sebaiknya tidak melebihi 1,2 meter.

Baca juga
Kemungkinan Memacu Pertumbuhan Ikan Dengan Memanipulasi Suhu Air

Pengaruh Kedalaman Kolam Terhadap Makanan dan Pertumbuhan Anak Ikan Karper

Ciborowska (1970) mempelajari makanan dan pertumbuhan ikan karper di dua kelompok kolam dengan padat penebaran sama tetapi kedalamannya berbeda, 0,5 atau 1 meter. Selama 4 minggu isi perut sebanyak 160 ikan dianalisis. Pada kedua kolam volume isi perut meningkat dan menjadi lebih bervariasi sejalan dengan bertambahnya waktu, dan jumlah Tendipedidae yang ditemukan dalam perut ikan meningkat. Di kolam-dangkal berat rata-rata isi perut untuk seluruh musim adalah 35,1 sampai 60,1 mg, sedangkan di kolam-dalam berat rata-ratanya adalah 7,4 sampai 16,4 mg. Ikan di kolam-dalam memakan mangsa yang lebih besar tetapi jumlahnya lebih sedikit. Berat Tendipedidae yang dimakan ikan di kolam-dangkal dan kolam-dalam adalah 27 – 35 dan 4 – 11 mg, berturut-turut. Ikan di kolam-dangkal lebih banyak memakan spesies penghuni dasar kolam. Setelah 4 minggu, sebanyak 136 sampai 178 kg anak ikan/hektar dipanen dari kolam-dangkal dan 96 sampai 155 kg dipanen dari kolam-dalam.

Pengaruh Kedalaman Habitat Terhadap Pertumbuhan Ikan Danau

Stoll et al. (2008 ) melaporkan bahwa dalam percobaan di tempat terkurung di zona litoral Danau Constance, Jerman, juvenil ikan cyprinidae menunjukkan penurunan pertumbuhan somatik secara nyata di zona eulitoral dangkal (kedalaman 0,5 meter) daripada di zona sublitoral (kedalaman 1,6 meter). (catatan : pertumbuhan somatik adalah pertumbuhan organ tubuh selain organ reproduksi). Pertumbuhan terutama berkurang untuk kelompok ikan berbadan besar dan lebar, yang menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh meningkatnya stres hidrodinamik (yang diakibatkan oleh gelombang perahu dan angin), di habitat dangkal bila dibandingkan dengan habitat dalam. Faktor lain seperti suhu air dan ketersediaan makanan tampaknya berpengaruh sedikit terhadap perbedaan pertumbuhan ikan. Bagaimanapun, hasil tangkapan jaring insang di lokasi percobaan dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian besar juvenil cyprinidae, termasuk spesies Abramis brama dan Leuciscus leuciscus, lebih menyukai habitat dangkal daripada habitat sublitoral yang lebih dalam. Juvenil cyprinidae di Danau Constance mungkin lebih menyukai habitat dangkal sebagai upaya menghindari predator besar yang memangsa ikan, terutama ikan perch Perca fluviatilis, meskipun hal ini menyebabkan laju pertumbuhan somatiknya berkurang. Dengan demikian juvenil cyprinidae lebih mementingkan kelangsungan hidup daripada pertumbuhan somatik.

Baca juga
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Hubungan Kedalaman Air dan Ukuran Ikan

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa kedalaman air bisa mengubah laju pertumbuhan ikan meskipun faktor ini jarang dibicarakan ketika membahas pertumbuhan. Banyak ahli biologi yang sering menemukan fakta bahwa rata-rata ukuran ikan meningkat sejalan dengan bertambahnya kedalaman habitat ikan tersebut. Contohnya adalah bahwa di Laut Utara ukuran individu ikan sebelah tergantung, antara lain, pada kedalaman habitatnya. Kecenderungan ikan-ikan besar untuk mendiami perairan yang lebih dalam disebabkan oleh fakta bahwa laju metabolisme rutin menurun dengan makin dalamnya perairan karena suhu airnya lebih rendah.

Hubungan Kedalaman Habitat Ikan Dengan Efek pH

Baines (1974) telah mempelajari pengaruh perubahan pH terhadap keseimbangan oksigen sel darah merah ikan Scorpaena guttata dan tujuh spesies Sebastes (Teleostei : Scorpaenidae) dari pesisir California. Suspensi sel darah merah diseimbangkan dengan berbagai konsentrasi oksigen di dalam sebuah alat tonometer gas mengalir (flowing gas tonometer) dan persen kejenuhan diukur secara fotometrik pada Soret band. Penelitian ini berkaitan dengan efek Root, yaitu penurunan kapasitas pengikatan oksigen dalam darah ketika tekanan parsial oksigen tinggi dan pH rendah. Hasilnya menunjukkan bahwa besarnya efek Root bervariasi secara konsisten dengan kebutuhan mekanisme pengisian gelembung renang. Ikan yang hidup menetap di dasar perarian dangkal mengalami efek pH yang lebih kecil sedangkan ikan aktif penghuni perairan dalam mengalami efek pH yang lebih besar. Scorpaena guttata, yang tidak memiliki gelembung renang, menunjukkan bahwa ia mengalami efek pH paling kecil.

Hubungan Kedalaman Habitat Dengan Gelembung Renang Ikan

Baines (1974) menyatakan bahwa daya apung kebanyakan ikan teleostei dipertahankan oleh gelembung renang yang diisi gas yang berasal dari darah. Oksigen merupakan gas utama yang dipindahkan dari darah ke dalam gelembung renang. Dengan demikian, darah dan oskigen berperanan penting dalam mempertahankan kesiembangan hidrostatik, terutama pada ikan penghuni habitat yang dalam, yang harus mempertahankan volume gelembung renang pada tekanan tinggi, dan pada ikan yang melakukan migrasi vertikal, yang harus menyesuaikan volume gelembung renang dengan tekanan yang berubah-ubah.

Kedalaman habitat suatu spesies ikan dan pola aktivitasnya berkaitan dengan perbedaan interspesifik daya ikat (afinitas) darah terhadap oksigen. Sebagai contoh, ikan laut-dalam dengan sebuah gelembung renang membutuhkan mekanisme untuk melepaskan oksigen dari darah pada tekanan parsial yang relatif tinggi untuk mengisi gelembung renangnya. Akan tetapi, spesies yang hidup bersamanya tanpa memiliki gelembung renang hanya perlu melepaskan oksigen pada tekanan parsial rendah untuk memasok respirasi jaringan (Baines, 1974).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 18 Oktober 2013

Pengaruh Pengapuran Terhadap Biota Air

Arsip Cofa No. C 154

Pengaruh Pengapuran Terhadap Zooplankton Krustasea di Danau Asam

Lindstroem (1992) melaporkan bahwa di danau-danau asam di Fulufjaell, Swedia, konsentrasi kalsium dan fosfor total sangat rendah sedangkan pH dan konsentrasi aluminium mencapai tingkat yang beracun bagi ikan. Berbeda dengan yang biasanya berlaku di daerah-daerah lain, populasi zooplankton diaptomidae tampaknya musnah di danau yang paling asam, dan sedikit musnah di danau yang paling kurang asam di daerah Fulufjaell. Di danau-danau yang dikapur, bagaimanapun, populasi Mixodiaptomus berkembang. Keberadaan spesimen tunggal tidak pernah dapat dihilangkan sama sekali untuk spesies plankton mana pun, tetapi populasi Holopedium hanya ada di danau-danau yang dikapur ketika proses pengasaman danau masih tahap awal sehingga populasi ikannya tidak pernah punah. Populasi Daphnia hanya mapan kembali di danau yang tingkat pengapurannya paling banyak (danau St. Roesjoen). Pengapuran berlangsung di beberapa danau selama bertahun-tahun, tetapi hanya di danau St. Roesjoen dan danau N. Saernamanna populasi krustasea bisa meningkat.

Baca juga
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Pengaruh Pengapuran Terhadap Plankton dan Parasit Ikan

Boyd (1982) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai pengaruh pengapuran terhadap biota kolam. Kolam ikan dengan dasar yang basah bila diberi CaO atau Ca(OH)2 akan memusnahkan parasit dan organisme tak dikehendaki lainnya. Peningkatan pH lumpur menjadi 6,5 – 7 akibat pemberian kapur akan meningkatkan aktivitas mikroba. Pemberian kapur juga mempengaruhi komunitas plankton. Dilaporkan bahwa pengaruh awal pemberian kapur terhidrat (kalsium hidroksida) pada dua danau-rawa adalah penurunan kelimpahan plankton. Hal ini diyakini disebabkan oleh hilangnya ketersediaan karbon dioksida akibat bereaksi dengan Ca(OH)2 dan disebabkan oleh tingginya pH. Setelah pH menurun dari hampir 11 menjadi sekitar 8, komunitas plankton pulih kembali.

Pengendalian Epifit Pada Budidaya Alga Dengan Pengapuran

Pacheco-Ruiz et al. (1991) melaporkan bahwa tangki tempat kultur alga merah Gelidium robustum telah ditangani untuk mengurangi pertumbuhan epifit dengan menggunakan zat kapur atau kalsium hidroksida pada berbagai konsentrasi (10, 15 dan 20 gram/liter) dengan lama perlakuan berbeda-beda (30, 60 dan 90 detik) dan tiga macam frekuensi pemberian (setiap hari, setiap tiga hari dan setiap minggu). Pengurangan epifit terbanyak (47 – 69 %), tanpa mempengaruhi pertumbuhan alga yang dikultur, telah diperoleh dengan dosis 10 dan 20 gram/liter dengan lama perlakuan 30 dan 60 detik dengan frekuensi pemberian seminggu sekali.

Baca juga
Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air

Pengapuran Untuk Mengendalikan Euglenophyta dan Meningkatkan Produksi Ikan Kolam

Ledakan populasi euglenophyta merupakan masalah umum di kebanyakan kolam budidaya di Bangladesh. Rahman et al. (2012) melakukan percobaan untuk mengendalikan ledakan populasi euglenophyta agar produksi ikan meningkat dengan memanfaatkan tumbuhan air gulma itik (Lemna minor) dan kapur. Percobaan dilakukan dengan empat perlakuan, yaitu kolam diberi gulma itik (perlakuan 1), pemberian kapur (perlakuan 2), kombinasi gulma itik dan kapur (perlakuan 3) dan tanpa gulma itik maupun kapur (perlakuan 4). Ikan rohu, catla, mrigal, silver carp dan silver barb ditebarkan ke kolam tersebut dan isi perutnya dianalisis setiap bulan. Kisaran parameter kualitas air dianalisis dalam batas produktif selama periode pecobaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan rata-rata euglenophyta adalah paling tinggi secara nyata pada perlakuan 4 (17,62 ± 1,97 x 104 sel/liter), diikuti oleh perlakuan 2 (2,96 ± 0,20 x 104 sel/liter), perlakuan 1 (1,94 ± 0,35 x 104 sel/liter) dan perlakuan 3 (1,53 ± 0,42 x 104 sel/liter). Analisis isi perut ikan menunjukkan bahwa banyak euglenophyta dikonsumsi oleh ikan silver carp dan silver barb, tetapi tidak disukai oleh ikan rohu, catla dan mrigal. Produksi kotor ikan adalah 2133,37 ; 1967,76 ; 2816,52 dan 1725,62 kg/ha/5 bulan untuk kolam perlakuan 1, 2, 3 dan 4, berturut-turut. Produksi ikan terbanyak adalah di kolam perlakuan 3 dan terendah di kolam perlakuan 4 yang menunjukkan bahwa penggunaan gulma itik dan kapur adalah layak secara ekonomi untuk mengendalikan ledakan populasi euglenophyta, mempertahankan kualitas air dan memperoleh produksi ikan yang lebih banyak (Rahman et al., 2012).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Pengapuran Terhadap Produksi Ikan di Kolam

Boyd (1982), berdasarkan studi literatur, mengutip bahwa penanganan lumpur basah dengan 1.120 – 2.240 kg/ha CaO tampaknya meningkatkan produksi ikan di kolam yang pernah mengalami masalah penyakit. Bagaimanapun, disimpulkan bahwa tidak ada indikasi pengaruh positif pengapuran terhadap produksi ikan. Bahkan dilaporkan bahwa produksi ikan sedikit lebih kecil di beberapa kolam yang diberi batu kapur pertanian dan dipupuk dibandingkan dengan produksi ikan di kolam yang dipupuk saja. Hal ini disebabkan karena kalsium karbonat menyingkirkan karbon dioksida dan merampas karbon dari alga plankton. Penelitian lain juga gagal membuktikan peningkatan produksi ikan fathead minnow (Pimephales promelas) setelah pengapuran air yang kurang sadah di kolam yang dipupuk.

Baca juga
Pupuk Organik Versus Pupuk Anorganik Untuk Kolam Ikan

Pengaruh Pengapuran Terhadap Komunitas Ikan Danau

Appelberg dan Degerman (1991) mempelajari efek jangka panjang pengapuran terhadap populasi ikan di danau asam di Swedia sejak tahun 1983 untuk menduga perkembangan dan stabilitas kumpulan ikan setelah pemberian kapur. Secara total, 77 danau disampling dua kali mengggunakan metode standar antara tahun 1983 dan 1988. Danau diberi kapur 1 – 16 tahun sebelum sampling kedua. Variabel fisika dan kimia dan data ikan diolah dan dianalisis menggunakan regresi linier dan anova. Hubungan antara karakteristik kumpulan ikan dan faktor-faktor lingkungan sangat tergantung pada komposisi spesies kumpulan ikan tersebut. Jumlah dan keragaman spesies ikan berkorelasi dengan derajat pengasaman maupun dengan keragaman habitat di danau. Meskipun ada sedikit kecenderungan ke arah penurunan keragaman spesies sejalan dengan bertambahnya waktu sejak pengapuran pertama, perkembangan stabilitas komunitas, yang ditunjukkan oleh tidak berubahnya proporsi spesies ikan, adalah tidak nyata.

Peranan Zat Kapur Bagi Tumbuhan Bakau

Macnae (1968) melaporkan bahwa keberadaan cangkang kerang atau sisa-sisa makluk hidup lain yang berkapur di dalam tanah hutan bakau adalah penting bagi kelayakan perkembangan tumbuhan bakau, terutama di daerah yang bersalinitas tinggi. Perlu dicatat bahwa di kebun jeruk di lembah Sungai Sundays (dekat Port Elizabeth, Afrika Selatan) yang, karena terpaksa, kebun ini sering diairi dengan air payau yang berasal dari batu tulis laut jaman Cretaceous, ternyata air yang kaya akan kapur ini mencegah daun pohon dari kekeringan. Keberadaan ion kalsium tampaknya mengurangi atau mencegah kerusakan yang disebabkan oleh kelebihan ion natrium, karena kalsium mengurangi konsentrasi natrium internal.

Baca juga
Sedimen Terbaik Bagi Pertumbuhan Bakau

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 16 Oktober 2013

Budidaya Ikan Intensif : Padat Penebaran, Kualitas Air dan Penghematan Biaya

Arsip Cofa No. C 153

Meminimalisir Stres dan Infeksi Bakteri Pada Budidaya Intensif Dengan Mengatur Padat Penebaran

Wedemeyer (1976) melaporkan bahwa pemindahan juvenil ikan coho salmon (Oncorhynchus kisutch) ukuran 4 – 5 inchi yang semula dipelihara dalam air yang kurang sadah (20 ppm CaCO3) dengan padat penebaran agak rendah (0,5 pon/kaki kubik; 1 pon/kaki kubik kira-kira setara dengan 1,7 kg/m3) ke kolam dengan padat penebaran 1, 2 atau 4 pon/kaki3 (Density Index atau indeks kepadatan, DI = 0,1 , 0,2 , 0,4 dan 0,8) menyebabkan stres yang nyata sebagai mana ditunjukkan oleh kurang aktifnya perilaku makan, tetapi hanya menyebabkan gangguan fisiologis minimal sebagaimana ditunjukkan oleh tidak adanya hyperglycemia (kadar glikogen darah sangat tinggi) dan hypochloremia (kadar klor dalam darah sangat rendah). Bagaimanapun, pemindahan juvenil-juvenil ikan tersebut ke kolam dengan padat penebaran 6 atau 12 pon/kaki3 (DI = 1,2 dan 2,4) menyebabkan stres fisiologis yang nyata dan membutuhkan waktu pemulihan setidaknya 1 minggu. Perkembangan juvenil coho salmon mengalami hambatan fisiologis bila padat penebarannya 1 pon/kaki3 atau lebih dan pada kepadatan-kepadatan tersebut infeksi ginjal oleh corynebakteri menjadi aktif. Rainbow trout (Salmo gairdneri) ukuran 4 – 5 inchi mengalami stres fisiologis ketika dipindahkan dan dipelihara pada padat penebaran 1 pon/kaki3 atau lebih tetapi perilaku makannya tetap normal. Hal ini menunjukkan bahwa stres penanganan dan kondisi berdesakan dapat diminimalisir di perairan yang kurang sadah bila kepadatan ikan selama pengangkutan maupun di kolam selama penanganan penyakit adalah 0,1 – 0,5 pon/galon.

Baca juga
Kemungkinan Memacu Pertumbuhan Ikan Dengan Memanipulasi Suhu Air

Pengaruh Kepadatan Populasi Terhadap Jenis Kelamin Ikan Sidat, Anguilla

Deelder (1984), berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, melaporkan bahwa berbagai kondisi kepadatan populasi sidat (Anguilla) mempengaruhi jenis kelamin ikan tersebut. Penebaran sidat dengan kepadatan tinggi menyebabkan sebagian besar ikan sidat berkelamin jantan, sebaliknya penurunan populasi sidat meningkatkan persentase sidat betina. Laporan ini sesuai dengan hasil pengamatan lain, sebagai contoh 100 % sidat betina ditemukan di daerah yang jarang sidatnya seperti bagian hulu sungai-sungai yang panjang seperti Sungai Rhine; dominasi sidat jantan dijumpai dalam populasi sidat yang padat di daerah estuaria sungai yang sama (yakni sekitar 95 % di estuaria Ijsselmeer); dan betina dengan proporsi yang meningkat ditemukan di daerah pesisir laut yang kurang dipadati sidat di dekat estuaria tersebut. Telah ditemukan populasi yang didominasi sidat betina di dalam sebuah danau yang tertutup yang tidak dapat dimasuki oleh sidat dan sengaja ditebari larva sidat dengan jumlah sedikit.

Aerasi Oksigen Murni Untuk Budidaya Ikan Intensif

Schutte (1988) menyatakan bahwa aerasi dengan oksigen murni merupakan teknik manajemen akuakultur yang sangat berharga, tetapi efektif secara ekonomis hanya bila efisiensi penyerapan oksigen oleh air budidaya adalah tinggi. Aerator dengan merk Aquatector sanggup membuat air superjenuh dengan oksigen pada kondisi di bawah tekanan. Efisiensi penyerapan oksigen yang menggunakan Aquatector ini meningkat dengan makin derasnya aliran air dan dengan meningkatnya tekanan internal; aliran air yang lebih deras adalah lebih efektif.

Baca juga
Suhu Air di Kolam Budidaya Ikan

Pengendalian dan Pemanfaatan Nitrogen Anorganik Dalam Kolam Ikan Budidaya Intensif

Avnimelech et al. (1992) menyatakan bahwa salah satu hambatan utama usaha intensifikasi sistem akuakultur adalah penimbunan nitrogen anorganik di dalam air. Masalah ini bisa diatasi dengan mengendalikan konsentrasi nitrogen anorganik dengan cara merangsang sintesis protein mikrobial. Hal ini bisa dicapai dengan menambahkan substrat berkarbon sedemikian hingga bisa memasok kebutuhan karbon guna menyingkirkan semua nitrogen yang tak dimanfaatkan. Konsentrasi nitrogen anorganik berkurang akibat produksi protein mikrobial. Protein mikrobial yang dihasilkan di dalam kolam tersebut bisa menggantikan protein yang harus ditambahkan dalam pakan ikan. Pertumbuhan ikan di kolam perlakuan adalah lebih tinggi daripada pertumbuhan ikan di kolam yang diberi pakan konvensional. Pemanfaatan protein adalah dua kali lipat akibat daur ulang nitrogen di dalam sistem kolam, sehingga mengurangi penimbunan nitrogen anorganik buangan. Biaya pakan berkurang 50 – 67 % dibandingkan biaya pakan di kolam konvensional, hal ini disebabkan penggantian protein dalam pakan dan berkurangnya pakan yang terbuang.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Budidaya Intensif Pada Kondisi Konsentrasi Amonia Tinggi dan pH Rendah

Menurut Eshchar et al (2006) ikan mengekskresi dua jenis metabolit utama yang beracun ke dalam air : NH3 dan CO2; metabolit yang pertama merupakan racun khas bagi ikan pada konsentrasi rendah (< 0,1 mg N per liter). Bagaimanapun, penimbunan karbon dioksida cair hasil metabolisme menyebabkan penurunan pH, sehingga mengurangi fraksi NH3 dari TAN (Total Amonia Nitrogen). Strategi operasi seperti ini memungkinkan untuk meningkatkan kriteria TAN (dengan kata lain, meningkatkan ambang batas TAN), yang selanjutnya bisa mengurangi kebutuhan aliran air dalam sistem arus deras.

Eshchar et al. (2006) memantau parameter-parameter pertumbuhan ikan sea bream Sparus aurata yang dipelihara dalam kondisi nilai TAN tinggi dan pH rendah. Daya racun TAN pertama kali diuji dalam akuarium bervolume 27 liter, di mana anak ikan sea bream dibesarkan dalam kondisi nilai-nilai TAN sampai 20 mg nitrogen per liter dan pH 6,8, tanpa menunjukkan dampak negatif penting apapun. Selanjutnya, dua tangki kultur ikan laut bervolume 100 m3 ditebari dengan 84 gram ikan dan dipasok dengan pakan harian yang sama selama 250 hari. Penambahan oksigen cair dan penggunaan aerator kincir air dilakukan untuk mengusir karbon dioksida. Air laut dipasok ke dalam sistem eksperimen ber-TAN tinggi sebanyak rata-rata 5,25 m3 per kg pakan dan ke dalam tangki kontrol sebanyak rata-rata 22,9 m3 per kg pakan (praktek arus-deras normal). Sistem eksperimen memiliki filter padat, tetapi tidak memiliki unit nitrifikasi. Konsentrasi TAN yang diukur dalam sistem eksperimen adalah jauh lebih tinggi daripada dalam sistem kontrol (rata-rata 5,44 ± 1,2 mg N per liter dan 1,34 ± 0,6 mg N per liter, berturut-turut) , bagaimanapun pertumbuhan dan tingkat mortalitas ikan pada kedua sistem secara statistik adalah sama. Keseimbangan massa karbon anorganik berbeda secara nyata antara kedua sistem yang menunjukkan pentingnya peranan alat pengusir karbon dioksida. Pemilihan alat pengusir karbon dioksida memungkinkan untuk mengendalikan konsentrasi karbon dioksida cair, yang selanjutnya mengendalikan nilai pH untuk suatu nilai alkalinitas tertentu. Pengendalian terhadap konsentrasi karbon dioksida seperti ini memungkinkan untuk mengoperasikan sistem budidaya pada konsentrasi TAN relatif tinggi sementara konsentrasi NH3 cair dipertahankan di bawah ambang batas.

Eshchar et al. (2006) melaporkan bahwa sebuah model kimia-akuatik telah dikembangkan untuk menduga nilai pH, dan dengan demikian nilai-nilai konsentrasi CO2 cair and NH3 cair, yang diasumsikan pada kondisi “steady state” (stabil). Model yang dihasilkan digunakan untuk menentukan laju aliran air minimal yang aman dengan memperhatikan ambang batas konsentrasi metabolit. Model yang dihasilkan ini menunjukkan bahwa pada kondisi uji, sistem arus deras dapat dioperasikan secara aman dengan rasio debit air serendah 4,4 m3 air laut per kg pakan tanpa memerlukan biofilter nitrifikasi. Keberhasilan membesarkan ikan pada kondisi konsentrasi TAN tinggi berdampak luas dan yang terpenting adalah penghematan biaya penanganan kualiatas air.

Baca juga
Interaksi Antara Aktivitas Budidaya Ikan dan Kualitas Air

Pemantauan Jarak-Jauh Secara Online Terhadap Kualitas Air Untuk Budidaya Ikan Intensif

Li dan Liu (2013) menyatakan bahwa budidaya intensif terkendali-komputer dan dengan “automatic remote monitoring” (pemantauan jarak-jauh otomatis) merupakan trend masa depan dalam akuakultur. Pengendalian kualitas air untuk mempertahankan nilai-nilai parameter lingkungan air agar tetap dalam kisaran optimal dapat membantu meningkatkan laju pertumbuhan ikan dan pemanfaatan pakan serta mengurangi kejadian penyakit ikan berskala luas. Tanpa informasi mengenai parameter fisik dan kimia kualitas air serta faktor-faktor ekologis terkait maka hampir tidak mungkin untuk melakukan pengendalian kualitas air yang layak pada waktu dan tempat yang tepat.

Pemantauan dan pendugaan kualitas air memainkan peranan penting dalam manajemen budidaya ikan intensif modern. Li dan Liu (2013) menjelaskan sistem pemantauan kualitas air secara online untuk budidaya ikan intensif di Cina, yang digabungkan dengan web server dan teknologi telekomunikasi. Berdasarkan data historis, sistem ini dirancang untuk menduga kualitas air dengan “artificial neural network” (ANN) dan untuk mengendalikan kualitas air pada saat itu juga guna mengurangi kerugian akibat kematian masal. Model untuk menduga konsentrasi oksigen terlarut setengah jam mendatang telah dibuktikan cocok dengan data eksperimen. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemantauan jarak-jauh secara online terhadap berbagai parameter kualitas air bisa dilakukan secara akurat dengan sistem ini.

Baca juga
pH Rendah, Ikan dan Akuakultur

Penghematan Biaya Pada Budidaya Ikan Lele Intensif

Ijzerman et al. (1995) melakukan analisis “biaya kualitas” (yaitu, biaya untuk mempertahankan kualitas produk ikan) pada budidaya intensif ikan lele Afrika, Clarias gariepinus, di Belanda. Budidaya ikan lele Afrika di Belanda berhasil menurunkan biaya produksi dengan cara memperbaiki teknologinya sehingga produksinya layak secara ekonomi. Diharapkan agar di masa depan tidak hanya teknologi produksi, tetapi juga kualitas dan pengendalian siklus produksi harus diperhatikan secara terus-menerus. Pengendalian kualitas merupakan cara yang baik untuk mengurangi biaya produksi. Biaya produksi utama dalam budidaya Clarias adalah pakan dan benih ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk mengurangi biaya kualitas dengan memperhatikan sortir dan pengairan-kembali. Penurunan biaya lebih lanjut bisa dicapai bila kriteria kualitas untuk ikan lele Afrika telah disepakati.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...