Selasa, 27 November 2012

Pengendalian Tumbuhan Air Secara Biologis dan Kimiawi

Arsip Cofa No. C 107

Ikan Kowan Untuk Mengendalikan Tumbuhan Air

Boyd (1982) mengulas tulisan-tulisan tentang keberhasilan ikan kowan dalam mengendalikan tumbuhan air. Ikan kowan (Ctenopharyngodon idella) banyak diinformasikan mengenai kemampuannya memakan sejumlah besar makrofita air dan, dengan demikian, kemampuannya mengendalikan gulma di kolam. Ikan kowan, atau white amur, adalah ikan asli sungai-sungai Siberia, Manchuria dan Cina yang mengalir ke Samudra Pasifik dari lintang 50 oLU sampai 23 oLU. Ikan ini telah berhasil diperkenalkan ke sejumlah negara di Asia Tenggara, Afrika, Eropa dan Amerika Utara. Tumbuhan yang dimakan oleh ikan kowan, menurut perkiraan urutan kesukaan, adalah sebagai berikut : Elodea canadensis, Ceratophyllum demersum, Chara sp., Lemna minor, Potamogeton natans, Lemna trisulea, Myriophyllum sp., Potamogeton pectinatus, Typha latifolia, Phragmites communis, Juncus effusus, Carex nigra, Hydrocharis morsus-ranae, Nasturtium officinale, Potamogeton lucens dan Carex pseudocyperus. Ikan kowan berhasil menghilangkan sebagian besar tumbuhan air dari kolam; jenis-jenis tumbuhan yang tidak dimakan secara aktif hanyalah Eichhornia, Pistia, Nymphoides dan Nymphaea.

Dilaporkan bahwa ikan kowan yang ditebarkan secara monokultur sebayak 45 ekor per hektar secara efektif membasmi Chara spp., Potamogeton diversifolius dan Myriophyllum spicatum dari kolam-kolam seluas 0,4 hektar dalam waktu kurang dari 99 hari. Ikan kowan mengurangi jumlah eceng gondok di kolam. Makanan ikan kowan terutama terdiri dari makrofita (75 – 95 %), tetapi serangga dewasa juga ditemukan di dalam usus sebagian ikan ini. Hasil serupa diperoleh bila ikan kowan ditebarkan secara polikultur bersama spesies ikan lain. Disimpulkan bahwa ikan kowan tidak menjadi ancaman sebagai saingan bagi spesies ikan lain dalam hal organisme makanan; ikan kowan merupakan ikan buruan dan ikan makanan yang istimewa; ikan kowan merupakan pengendali biologis bagi tumbuhan air di kolam.

Baca juga
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis

Keberadaan Pemangsa Mengurangi Efektivitas Ikan Kowan Dalam Membasmi Tumbuhan Air

Kirk (1992) melakukan studi selama tiga tahun untuk mempelajari keefektivan ikan kowan Ctenopharyngodon idella triploid sebagai pengganti herbisida dalam mengendalikan tumbuhan air pengganggu di kolam ikan di Carolina Selatan. Pengendalian vegetasi oleh ikan kowan yang ditebarkan bersama ikan pemangsanya (largemouth bass, Micropterus salmoides) juga diamati. Ikan kowan triploid tidak memiliki potensi untuk menggangu keseimbangan komunitas antara ikan largemouth bass dan ikan bluegill (Lepomis macrochirus) serta gagal mencapai nilai pengendalian vegetasi sebesar 70 % selama penelitian. Studi pemangsaan ikan kowan oleh tiga macam ukuran ikan largemouth bass menunjukkan, walaupun tidak konsisten, sangat banyak ikan kowan triploid yang hilang setelah 1 bulan. Rata-rata kelangsungan hidup di kolam kontrol – di mana burung air bisa menjadi penyebab lain mortalitas ikan kowan – adalah 65 %. Ikan kowan triploid saja merupakan alat manajemen yang kurang memuaskan untuk membasmi tumbuhan pengganggu di kolam ikan yang ditujukan untuk budidaya ikan largemouth bass – bluegill.

Baca juga
Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Pengendalian Tumbuhan Air Dengan Ikan, Serangga dan Pupuk

Boyd (1982) meringkaskan beberapa laporan hasil penelitian mengenai pengendalian tumbuhan air secara biologi. Dilaporkan bahwa ikan mas (Cyprinus carpio) dalam jumlah cukup (400 ekor per hektar atau lebih) mengaduk sedimen dasar kolam dan menyebabkan kekeruhan yang cukup untuk mencegah pertumbuhan gulma bawah-air. Ikan mas galur Israel dalam jumlah terbatas (55 ekor per hektar) bisa megendalikan Pithophora dan alga makrofita lainnya. Dilaporkan bahwa ikan tilapia (Tilapia nilotica, Tilapia mossambica dan Tilapia melanopleura) cukup baik mengendalikan tumbuhan air di kolam. Sejumlah spesies serangga air menyerang tumbuhan air. Karena itu, perhatian terus-menerus dicurahkan pada kemungkinan mengendalikan gulma air dengan serangga-serangga ini. Selain itu, penggunaan pupuk anorganik untuk merangsang ledakan populasi fitoplankton dan membasmi gulma bawah-air dengan penaungan merupakan metode biologis yang efektif.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengendalian Selada Air (Pistia stratiotes) Dengan Kumbang dan Herbisida

Cilliers et al. (1996) melaporkan bahwa Pistia stratiotes L. atau selada air merupakan tumbuhan asing bagi Afrika Selatan, karena negara asalnya adalah Amerika Selatan. Selada air merupakan salah satu dari tiga gulma air penting di Taman Nasonal Kruger, Afrika Selatan. Pengendalian terhadap serangan tumbuhan asing adalah penting. Bila tidak dikendalikan, tumbuhan tersebut akan menyebar luas karena pertumbuhannya yang cepat dan bisa mengganggu lalu lintas air. Perairan bisa mengalami deoksigenasi (kekurangan oksigen) ketika gulma ini tumbuh rapat, evapotranspirasi (penguapan air oleh tumbuhan) meningkat, kehidupan fauna dan flora asli bisa terancam dan seluruh keseimbangan ekologis terganggu.

Baca juga
Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air

Selada air (Pistia stratiotes L. (Araceae)) yang tumbuh di sungai besar bisa dikendalikan secara efektif dengan agen pengendali biologis, yaitu kumbang Neohydronomus affinis (Coleoptera : Curculionidae). Kontrol biologis telah berhasil dilakukan di Australia dan pertama kali dicoba pada tahun 1985-1986 di Afrika dengan hasil yang sangat memuaskan. Untuk mengendalikan tumbuhan ini secara biologi, sebanyak 500 ekor kumbang Neohydronomus affinis dewasa dilepaskan untuk pertama kalinya di sebuah sungai berarus deras yang diserang gulma tersebut pada bulan September 1987. Kemudian dilakukan empat kali pelepasan 100 sampai 1.000 kumbang dewasa dan larva, total sebanyak 5.000 ekor, selama lima tahun berikutnya. Berbagai parameter dipantau setiap enam minggu dari bulan Agustus sampai Mei setiap tahun untuk mengetahui perkembangan dan pengaruh Neohydronomus affinis terhadap selada air di sungai tersebut di atas.

Selada air yang menyerang badan air yang dangkal, terisolir dan secara bergantian mengalami musim kering dan hujan, harus dikendalikan secara kimia untuk mencegah meluasnya penyebaran gulma tersebut. Untuk pengendalian secara kimia, herbisida terbutrin diberikan pada selada air sebanyak 3 % (dicampur air) dengan menggunakan perahu atau disebarkan dari tebing sungai. Pemberian herbisida lewat udara dilakukan dengan bantuan helikopter dengan konsentrasi 30 % (dicampur air) sebanyak 6 liter per hektar. Pemberian bahan kimia ini dilakukan pada akhir musim kering ketika permukaan air sungai turun, tumbuhan lebih terkonsentrasi dan lebih mudah dijangkau.

Baca juga
Lamun : Habitat, Pertumbuhan dan Peranan Ekologis

Keefektivan Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air di Kolam

Boyd (1982) menyatakan bahwa herbisida sangat efektif dalam membunuh tumbuhan air. Bagaimanapun, begitu konsentrasi herbisida menurun sampai ke tingkat non-racun, tumbuhan air akan mulai tumbuh normal kembali. Sebagai contoh, bila kolam ikan diserang Potamogeton, penanganan kolam dengan herbisida jenis Diquat bisa memusnahkan tumbuhan air ini. Tetapi begitu konsentrasi Diquat menurun, Potamogeton atau tumbuhan bawah-air lain akan menyerang kolam kembali. Dengan kata lain, suatu habitat adalah cocok untuk pertumbuhan tipe-tipe vegetasi tertentu dan selain perubahan lingkungan tidak ada yang bisa mengubah tipe tumbuhan air dominan. Benar bahwa pemberian herbisida akan menjaga kolam bebas dari tumbuhan bawah-air, tetapi untuk ini diperlukan pemberian herbisida yang berulang. Bagaimanapun, bila pupuk diberikan ke kolam ikan di mana Potamogeton dibasmi dengan herbisida, maka akan terjadi ledakan populasi fitoplankton. Kekeruhan akibat fitoplankton akan mencegah tumbuhnya kembali tumbuhan bawah-air tanpa perlu memberikan herbisida lagi. Karena itu lingkungan harus diubah agar sesuai dengan tipe vegetasi yang lain.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 24 November 2012

Upaya Memperbaiki Mutu Surimi

Arsip Cofa No. C 106

Surimi Sebagai Cara Untuk Memanfaatkan Hasil Samping Produk Perikanan

Jeyasekaran dan Shetty (1992) menyatakan bahwa proses ekstrusi bisa diterapkan untuk mengembangkan produk makanan laut berbahan dasar surimi bernilai tinggi. Pasta surimi tersebut bisa diekstraksi menjadi berbagai bentuk yang menyerupai hewan air bercangkang seperti udang, lobster, kepiting dan simping (scallop). Dengan demikian cara ini bisa meningkatkan nilai hasil samping produk perikanan yang biasanya dianggap kurang layak bagi konsumsi manusia.

Baca juga
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Pemanasan Bertahap Untuk Memperbaiki Mutu Surimi

Couso et al. (1998) menyatakan bahwa surimi adalah pasta dari daging ikan cincang yang diberi “cryoprotectant” (pelindung-beku) agar tahan lama dalam kondisi beku. Surimi merupakan bahan mentah untuk membuat gel stabil-panas yang secara umum disebut kamaboko, yakni sejenis gel yang menjadi dasar pembuatan sejumlah produk bernilai komersial tinggi (misal tiruan daging kerang). Agar membentuk gel, surimi harus digiling bersama NaCl untuk melarutkan aktomyosin, dan kemudian pemanasan akan memperkuat ikatan antar molekul sehingga terbentuk gel yang stabil-panas. Agar memperoleh gel stabil-panas dengan kualitas optimum, untuk spesies tertentu disarankan memanasinya dalam dua tahap : pertama pada suhu sedang (40 oC) agar terbentuk struktur awal yang elastis, diikuti dengan pemanasan pada suhu lebih tinggi (90 oC) agar terbentuk struktur yang lebih kokoh dan lebih tahan.

Baca juga
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Kanji Sebagai Bahan Tambahan Gel Surimi

Couso etal. (1998) menyatakan bahwa sejumlah bahan ditambahkan ke dalam surimi untuk memperbaiki tekstur dan stabilitas pencairan-pembekuan gel atau untuk mengurangi biaya. Kanji merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam pembuatan gel surimi. Kanji bertindak sebagai pengisi di dalam matriks aktomyosin. Ketika ditambahkan, kanji memodifikasi sifat-sifat tekstural gel akibat perubahan struktur dan morfologinya di dalam matriks gel selama pemanasan. Beberapa peneliti melaporkan pembentukan matriks aktomyosin yang lebih padat. Juga, kanji melar dengan tidak sempurna di dalam matriks gel protein yang pemanasannya tidak cukup.

Alginat Untuk Memperbaiki Mutu Surimi Ikan Layur

Xue et al. (2011) menyatakan bahwa ikan layur (Trichiurus lepturus) merupakan salah satu spesies pesisir yang ditangkap di perairan hangat dan perairan beriklim-sedang di seluruh dunia. Ikan layur dapat diolah menjadi produk berbasis surimi, yang merupakan salah satu cara pengolahan utama untuk ikan ini. Surimi merupakan pekatan cair dari protein myofibrilar otot ikan. Begitu dilarutkan dalam air asin, protein-protein ini membentuk ikatan silang sehingga menjadi matriks surimi yang kontinyu setelah dipanaskan. Salah satu karakter utama produk surimi adalah elastisitas. Bagaimanapun, selama penyimpanan dan pengolahan, surimi bisa kehilangan elastisitasnya akibat denaturasi (penguraian) protein myofibrilar. Untuk memperbaiki elastisitas dan kemampuannya menampung-air, hidrokoloid pangan biasanya ditambahkan ke dalam surimi selama pengolahannya.

Menurut Xu et al. (2011), larutan alginat merupakan cairan kental, dan setiap makromolekul asam alginat beserta turunannya mengandung karboksil dan hidroksil, yang bereaksi dengan ion logam membentuk gel. Sebagai contoh, bila alginat ditambahkan ke medium yang mengandung ion kalsium, maka ion kalsium akan menggantikan sebagian ion hidrogen dan ion natrium dalam makromolekul alginat dan membentuk kalsium alginat. Dengan demikian gel ini dibentuk oleh hubungan saling mengait antara natrium alginat, asam alginat dan kalsium alginat. Surimi ikan layur memiliki kemampuan lemah untuk membentuk gel. Jadi ini merupakan titik kunci untuk memperbaiki sifat-sifat pembentukan gel guna mengembangkan produk surimi ikan layur. Penambahan alginat membantu memperbaiki sifat pembentukan gel pada surimi ikan layur dan mengembangkan produk surimi baru.

Selain sifat kimia dan fisika, karakteristik reologis surimi merupakan sifat penting dalam industri makanan. Sifat reologis ditentukan baik oleh komposisi protein surimi maupun kondisi pengolahan. Viskoelastisitas (kental-elastis), salah satu sifat reologis, selalu menjadi indikator kualitas yang penting bagi surimi. Gel alginat memberikan pengaruh besar terhadap sifat-sifat reologis campuran surimi-alginat. Gel alginat (1 – 3 %) menunjukkan efek memperbaiki, terutama bila konsnetrasi gel alginat ditingkatkan. Nilai regangan kritis sampel campuran untuk permulaan viskoelastisitas non-linier adalah sekitar 5 %.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Perlindungan-Beku Protein Surimi dengan Oligosakarida

Miura et al. (1992) menyatakan bahwa oligosakarida liniear terhidrogenasi memberikan efek perlindungan-beku terhadap protein surimi ikan Theragra chalcogramma yang disimpan dalam kondisi beku -30 oC. Ternyata bahwa efek perlindungan-beku tersebut adalah sama dengan yang ditimbulkan oleh sukrosa dan D-sorbitol tanpa memberikan pengaruh negatif apapun terhadap sifat-sifat surimi ataupun kamaboko. Efek perlindungan-beku ini terhadap protein otot ikan adalah berhubungan dengan jumlah air yang tak membeku di dalam surimi.

Hubungan Antara Mutu Surimi Beku dan Kekuatan Gel Kamaboko

Kim dan Cho (1992) mempelajari hubungan antara indeks pengkelasan mutu surimi, seperti aktivitas ATPase (Ca2+-, Mg2+-, EDTA-), kelarutan, kekentalan dan nilai-K surimi beku serta kekuatan gel kamaboko. Penelitian bertujuan mengetahui indeks yang dikehendaki guna evaluasi kelas mutu surimi beku. Kelarutan dan aktivitas Ca2+-ATPase myofibrilar surimi berhubungan erat dengan kekuatan gel kamaboko dari material yang sama, karena koefisien korelasinya adalah 0,9849 dan 0,9584, berturut-turut. Nilai-K, yakni indeks kesegaran, berhubungan dengan kekuatan gel surimi beku. Kekentalan dan aktivitas Mg2+-ATPase dan EDTA-ATPase tidak berhubungan dengan kekuatan gel. Kekuatan dan aktivitas Ca2+-ATPase ternyata bisa menjadi indeks yang baik guna mengevaluasi mutu surimi beku.

Baca juga
Upaya Meningkatkan Mutu Filet Ikan

Mutu Gel Yang Dipanaskan Dari Surimi Dengan Menggunakan Pemanasan Joule

Siba dan Numakura (1992) melaporkan bahwa daging giling asin dari surimi beku ikan walleye pollack Theragra chalcogramma dipanaskan secara cepat dengan menerapkan “joule heat” (pemanasan joule). Mutu gel yang dipanaskan ini diduga dengan mengukur kekuatan gel beserta ikatan silang rantai berat myosin, dan dibandingkan dengan gel kamaboko yang dibuat dengan pemanasan biasa dengan metode “thermo-bath” (kolam panas). Kekuatan gel pada gel yang dipanasi dengan pemanasan joule menjadi lebih besar dengan meningkatnya kecepatan pemanasan, dan ia sedikit lebih unggul dibandingkan gel kamaboko. Ikatan silang rantai berat myosin tidak terbentuk selama pemanasan daging gling asin dengan kedua metode pemanasan. Konsentrasi rantai berat, aktin dan komponen-komponen protein myofibrilar lain benar-benar tidak berbeda antara gel yang dipanasi dengan pemanasan joule dan gel yang dipanasi dengan thermo-bath.

Baca juga
Komposisi Kimia, Perbaikan Rasa dan Pelembekan Daging Ikan

Ekstrak Ginjal Ikan Untuk Meningkatkan Kekuatan Gel Surimi

Siang dan Niwa (1992) mempelajari pengaruh penambahan ekstrak ginjal ikan terhadap kekuatan gel surimi ikan sardin. Kedua peneliti membandingkan kekuatan gel surimi yang dibuat dari filet ikan saja (tanpa penambahan ekstrak ginjal) dan surimi yang dibuat dari daging ikan ditambah ekstrak jaringan ginjal. Berlawanan dengan yang diduga, pasta surimi sardin tanpa ekstrak jaringan ginjal memiliki kekuatan gel yang lebih lemah daripada surimi yang mengandung ekstrak ginjal. Ternyata bahwa ada satu fraksi dalam ekstrak ginjal ikan sardin dan ikan karang yang, bila ditambahkan ke surimi, meningkatkan kekuatan gel sekalipun dikenai suhu 80 oC selama 10 menit.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 22 November 2012

Anggur Untuk Mengawetkan Produk Perikanan

Arsip Cofa No. C 105

Aktivitas Antimikroba Ekstrak Biji Buah Anggur

Choi et al. (1990) mempelajari aktivitas antimikroba “grapefruit seed extract” (GFSE, ekstrak biji buah anggur). Aktivitas antimikroba GFSE cukup kuat melawan bakteri-bakteri seperti Vibrio vulnificus, Vibrio fluvialis, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Serratia sp. Pertumbuhan galur-galur bakteri di atas dihambat oleh GFSE berkonsentrasi 50 ppm. Pertumbuhan Vibrio vulnificus sama sekali dihambat oleh penambahan 50 ppm GFSE ke medium zat hara dengan 3 % NaCl. Jumlah sel Vibrio vulnificus 5,2 x 105 pada awal percobaan di dalam 5 % susu skim yang mengandung GFSE berkonsentrasi 0, 10, 30, 50 dan 100 ppm berkurang menjadi 35, 48, 5,6 dan 9,6 x 103 setelah 120 jam, berturut-turut. Pertumbuhan Aspergillus parasiticus, Aspergillus versicolor, Penicillium funiculosum, Pyrenochaeta terrestris dan Trichoderma viride dihambat oleh GFSE pada konsentrasi 100, 50, 100, 10 dan 30 ppm, berturut-turut. Daya awet bahan makanan (dalam hal ini, mulkimchi) yang mengandung GFSE 50 dan 100 ppm adalah 20 hari lebih lama daripada kontrol selama penyimpanan pada suhu 5 oC dan 20 oC.

Baca juga
Aspek Bakteriologi Pembusukan Ikan

Efek Antimikroba dan Antioksidan Biji Anggur Dalam Produk Perikanan

Cho et al. (1990) meneliti aktivitas antimikroba dan antioksidan “grapefruit seed extract” (GFSE) untuk penanganan dan pengolahan produk perikanan. Keefektivan GFSE diuji terhadap ikan sardin, tengiri dan udang yang dibagi menjadi enam kelompok untuk setiap produk perikanan : kontrol (tanpa perlakuan) dan 5 sampel yang diberi GFSE. Sampel diinokulasi dengan dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 30 oC dalam medium dextrosetryptone kemudian disiapkan untuk analisis mikrobiologis dan kimiawi serta uji organoleptik. Hasil analisis bakteriologis dengan GFSE (250 ppm) menunjukkan penurunan jumlah bakteri total dari 1,8 x 106 menjadi 2,0 x 104, dari 1,9 x 106 menjadi 1,8 x 104 dan 1,6 x 106 menjadi 2,7 x 103 untuk sardin, tengiri dan udang, berturut-turut. Efek antioksidan GFSE berkonsentrasi 500 ppm dalam produk perikanan adalah nyata. Hasil uji terhadap parameter-parameter organoleptik untuk sampel yang diberi berbagai konsentrasi GFSE menunjukkan pengaruh nyata GFSE terhadap penampilan, bau dan tekstur produk perikanan di mana GFSE berkonsentrasi 500 ppm memberikan nilai terbaik bila dibandingkan dengan setiap kontrol.

Baca juga
Pemanfaatan Antioksidan Dalam Pengawetan Ikan

Serat Anggur Menunda Oksidasi Lipida Dalam Daging Ikan Cincang

Sánchez-Alonso et al. (2007) mempelajari pengaruh penambahan “grape anti-oxidant dietary fibre” (GADF, serat pangan antioksidan anggur) terhadap stabilitas lipida pada daging ikan cincang selama penyimpanan beku (6 bulan). Konsentrasi GADF 0 %, 2 % dan 4 % ditambahkan pada sampel daging ikan cincang. Analisis dilakukan segera setelah sampel disiapkan serta selama dan setelah penyimpanan pada suhu -20 °C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan serat anggur merah sangat menunda oksidasi lipida dalam cincangan daging ikan horse mackerel selama 3 bulan pertama penyimpanan beku.

Pemanfaatan Ampas Anggur Untuk Mengawetkan Ikan

Sánchez-Alonso et al. (2008) melaporkan bahwa “white grape antioxidant dietary fibre” (WGDF, serat pangan antioksidan anggur putih) telah diperoleh dari ampas anggur putih (Vitis vinifera, var. Airén) sisa pembuatan anggur. Kapasitas antioksidan WGDF ditentukan di dalam cincangan daging ikan selama penyimpanan beku. Konsentrasi WGDF 0 %, 2 % dan 4 % ditambahkan ke sampel daging ikan cincang. Analisis dilakukan segera setelah sampel disiapkan dan selama 6 bulan penyimpanan pada suhu -20 °C. Penambahan “white grape dietary fibre” (serat pangan anggur putih) menunda oksidasi lipida dalam cincangan daging ikan horse mackerel selama penyimpanan beku. Pengemasan hampa udara sampel dengan 2 % WGDF meningkatkan secara nyata sifat-sifat antioksidan WGDF.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Minyak Esensial Dari Biji Anggur Untuk Memperbaiki Mutu Ikan Beku

Erkan dan Bilen (2010) menguji efek minyak esensial dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan terhadap oksidasi lipida dan beberapa parameter kualitas ikan chub mackerel (Scomber japonicus) beku selama penyimpanan beku pada suhu -20 °C selama periode 11 bulan. Minyak esensial yang diuji berasal dari tumbuh-tumbuhan sebagai berikut: daun bay, thyme, rosemary, jeruk, biji black (sejenis kacang), sage, biji anggur dan biji rami. Rasa, bau, tekstur dan total penerimaan produk untuk sampel kontrol adalah tidak diterima setelah 6 bulan. Berdasarkan terutama pada data inderawi, daya awet ikan chub mackerel beku adalah 6 bulan untuk sampel yang ditangani dengan minyak thyme, rosemary, biji black, sage dan jeruk, serta 7 bulan untuk sampel yang ditangani dengan minyak daun bay, biji anggur dan biji rami. Selama 11 bulan proses penyimpanan ikan chub mackerel, nilai pH, “total volatile basic nitrogen (TVB-N)”, trimetilamin nitrogen (TMA-N), baik pada kontrol maupun sampel yang ditangani dengan minyak tumbuhan tersebut, tidak mencapai tingkat pembusukan. Nilai-nilai “thiobarbitüric acid (TBA)” dan “free fatty acid (FFA, asam lemak bebas) untuk semua perlakuan selalu di bawah nilai-nilai TBA dan FFA sampel kontrol selama periode penyimpanan 11 bulan. Lebih khusus, perlakuan dengan minyak thyme adalah efektif dalam menunda oksidasi lipida.

Baca juga
Upaya Memperbaiki Mutu Surimi

Menunda Oksidasi Lipida Selama Penyimpanan Ikan Beku Dengan Antioksidan Asal Anggur

Pazos et al. (2005) menyatakan bahwa ikan berlemak mengandung lipida tak jenuh yang menyebabkan kemunduran mutu ikan tersebut berkaitan dengan fenomena tengik. Selama penyimpanan dan pengolahan ikan berlemak, flavor tak enak dengan mudah dihasilkan oleh oksidasi asam lemak poli-tak-jenuh (PUFA). Di dalam tubuhnya, ikan berlemak mengandung sistem antioksidan yang menstabilkan tingginya kandungan lipida tak jenuh. Sistem antioksidan endogen ini mencakup senyawa-senyawa, yang dapat “memakan” radikal bebas, dan enzim-enzim, yang dapat menyingkirkan spesies oksigen reaktif seperti radikal superoksida, hidrogen peroksida dan lipida peroksida. Antioksidan utama yang bersifat lipofilik (suka-lemak) dalam tubuh ikan adalah α-tokoferol, ubiquinon dan karotenoid. Glutation dan askorbat merupakan senyawa hidrofil (suka-air) yang berpotensi sebagai antioksidan. Pada kondisi pasca kematian, antioksidan-antioksidan endogen ini dikonsumsi secara berurutan dan konsentrasinya berkurang sejalan dengan proses oksidasi. Beberapa polifenol alami efektif dalam mencegah tengik pada daging ikan. Di antara antioksidan ini, “oligomeric catechin” anggur (prosianidin) sangat efektif dalam menunda oksidasi lipida pada daging ikan cincang selama penyimpanan beku.

Baca juga
Pendugaan Kesegaran Ikan

Peranan Ekstrak Anggur Dalam Mempertahankan Konsentrasi Antioksidan Endogen Yang Ada Dalam Daging Ikan Cincang dan Filet Ikan

Pazos et al. (2005) melaporkan bahwa ekstrak fenol yang diperoleh dari hasil samping anggur (Vitis vinifera) dan fraksi prosianidin murni dari ekstrak fenol tersebut telah diteliti dalam hal kemampuannya mempertahankan konsentrasi antioksidan endogen dalam tubuh ikan berlemak selama penyimpanan beku. Antioksidan endogen yang diamati adalah α-tokoferol, ubiquinon-10 dan total glutation. Ekstrak fenol dan fraksi murni ditambahkan ke daging ikan dengan konsentrasi 0,01 % (berat/berat). Polifenol anggur dibandingkan dengan propil galat, sejenis antioksidan sintetis. Senyawa-senyawa eksogen ditambahkan ke daging cincang ikan αtenggiri (Scomber scombrus) dan filet ikan horse mackerel (Trachurus trachurus) sebelum dibekukan pada suhu -10 oC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa polifenol anggur dan propil galat menghambat penurunan konsentrasi α-tokoferol, ubiquinon-10 dan total glutation yang ada di dalam jaringan tubuh ikan. Polifenol anggur dan propil galat menunjukkan efisiensi yang sama dalam hal kemampuannya mempertahankan konsentrasi ubiquinon, baik pada ikan cincang maupun filet, dan dalam hal kemampuannya mempertahankan konsentrasi total glutation pada daging ikan cincang. Total glutation dalam filet ikan dipertahankan dengan lebih baik oleh propil galat daripada oleh polifenol anggur. Antioksidan endogen yang lebih efisien dipertahankan konsentrasinya oleh polifenol anggur dan propil galat adalah α-tokoferol. Penurunan konsentrasi α-tokoferol berkorelasi sangat kuat dengan evolusi oksidasi lipida. Proses oksidasi lipida terhambat, sementara konsentrasi α-tokoferol tidak berkurang sampai tingkat kritis.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 20 November 2012

Pemanfaatan Antioksidan Dalam Pengawetan Ikan

Arsip Cofa No. C 104

Pemanfaatan Jahe-Jahean Sebagai Antioksidan

Jitoe et al. (1992) menyatakan bahwa antioksidan, yang merupakan penghambat peroksida lipida, penting tidak hanya untuk mengawetkan makanan tetapi juga untuk mempertahankan sel-sel hidup dari kerusakan oksidatif. Meskipun industri makanan telah menggunakan antioksidan sintetis yang efektif, namun akhir-akhir ini konsumen lebih menyukai antioksidan alami daripada antioksidan sintetis dengan alasan senyawa alami lebih aman. Banyak peneliti telah menemukan berbagai tipe antioksidan di dalam berbagai jenis tumbuhan. Banyak peneliti tertarik pada jahe-jahean sebagai sumber baru antioksidan alami karena kebanyakan rizoma jahe telah lama dipakai sebagai bumbu di daerah-daerah tropis dan bumbu ini merupakan bahan aditif makanan alami yang telah mantap sebagai bagian makanan khas masyarakat. Rizoma dari salah satu spesies jahe terkenal, Zingiber officinale, telah lama diketahui memiliki potensi antioksidan, dan senyawa antioksidannya telah berhasil diisolasi. Di negara-negara tropis, banyak jenis jahe dibudidayakan dan dimanfaatkan tidak hanya sebagai obat tradisional tetapi juga sebagai bumbu.

Jitoe et al. (1992) melaporkan bahwa aktivitas antioksidan meningkat dalam urutan Phaeomeria heyneana < Phaeomeria speciosa < Curcuma aeruginosa < Amomum kepulaga < Curcuma mangga < Zingiber cassumunar < Curcuma xanthorrhiza < Alpinia galanga < Curcuma domestica. Lebih khusus, aktivitas ekstrak Curcuma domestica, Alpinia galanga dan Curcuma xanthorrhiza lebih kuat daripada α-tokoferol. Ekstrak Curcuma aeruginosa, C.mangga, A. kepulaga dan Zingiber cassumunar menunjukkan aktivitas antioksidan tingkat sedang, yang sedikit lebih rendah daripada α-tokoferol. Perlu diperhatikan bahwa sebagian rizoma jahe-jahean tersebut mengandung sejumlah besar minyak esensial yang meningkatkan nilai peroksida.

Baca juga
Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan

Glutation Peroksidase, Antioksidan Dalam Otot dan Kulit Ikan

Nakano et al. (1992) mendeteksi aktivitas glutation peroksidase (GSH-Px) di dalam jaringan otot dan kulit dari beberapa spesies ikan. Glutation peroksidase otot menunjukkan pH optimum 8,0 untuk salmon dan 8,5 untuk ikan karper. Stabilitas enzim otot salmon meningkat dengan adanya glutation tereduksi (GSH), tetapi berkurang cukup banyak dengan adanya tert-butilhidroperoksida. Bila filet ikan salmon disimpan pada suhu -50 oC, aktivitas glutation peroksidase meningkat perlahan selama penyimpanan. Glutation peroksidase otot ikan menunjukkan potensi untuk mencegah pembusukan oskidatif dalam otot selama penyimpanan dan pengolahan.

Baca juga
Pendugaan Kesegaran Ikan

Antioksidan Alami Mengurangi Kerusakan Lensa Mata Ikan Akibat Radiasi

Zigman et al. (1992) meneliti kemampuan beberapa antioksidan alami dalam melindungi F-aktin sel epitel lensa mata ikan dari kerusakan akibat sinar ultra violet. Antioksidan alami berkonsentrasi rendah ditambahkan ke media inkubasi (larutan Ringer elasmobranchii) di mana lensa mata ikan cucut anjing (Mustelus canis) disimpan dalam kondisi ada dan tidak ada radiasi dekat-UVA selama 14 jam. Pada radiasi 1,5 mW/cm2, lensa menerima energi sebesar 63 J/cm2 energi UV-A.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Keunggulan Cengkeh Sebagai Antioksidan Untuk Ikan Beku

Joseph et al. (1992) mempelajari karakteristik ikan cincangan yang disimpan beku dengan berbagai konsentrasi cengkeh, kayu manis dan lada. Cengkeh diketahui memiliki pengaruh antioksidan yang kuat. Sejalan dengan peningkatan konsentrasi rempah-rempah terjadi peningkatan stabilitas penyimpanan beku. Konsentrasi cengkeh dan lada yang lebih tinggi (0,2 %) tidak terasa dalam uji rasa. Tidak ada nilai-nilai TBA yang mantap dan sesuai yang diperoleh untuk sampel-sampel yang diberi kayu manis dan lada sedangkan cengkeh memberikan hasil yang baik.

Baca juga
Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya

Asam Kafein Sebagai Antioksidan Untuk Produk Daging Ikan Cincang

Sanchez-Alonso et al. (2011) mempelajari keefektivan antioksidan “caffeic acid” (asam kafein) yang ditambahkan pada cincangan daging ikan dengan atau tanpa serat gandum pangan. Serat gandum pangan menunjukkan efek prooksidan yang nyata pada cincangan daging ikan selama penyimpanan-dingin yang secara nyata dihambat dengan adanya 100 mg/kg caffeic acid. Pada sampel yang mengandung caffeic acid dan serat gandum pangan, oksidasi lipida sama sekali terhambat setelah 10 hari. Hasil yang diperoleh dari analisis profil tekstur menunjukkan bahwa penambahan serat gandum pangan dengan atau tanpa caffeic acid menurunkan parameter-parameter analisis profil tekstur. Caffeic acid tidak mengubah kapasitas pengikatan-air. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa caffeic acid bisa digunakan sebagai antioksidan alami dalam produk olahan daging ikan cincang yang diberi serat gandum pangan.

Ekstrak Alga Merah Menghambat Oksidasi Asam Linoleat dan Minyak Ikan

Athukorala et al. (2003) mengevaluasi aktivitas antioksidan ekstrak sejenis alga merah laut (Grateloupia filicina) dalam asam linoleat dan minyak ikan. Stabilitas oksidatif minyak ini dievaluasi dengan percobaan “peroxide value” (PV), “2-thiobarbituric acid reactive substances” (TBARS), “conjugated diene” (CD) dan percobaan perolehan berat. Ekstrak alga ditambahkan ke dalam asam linoleat dan minyak ikan pada konsentrasi 0,01 %, 0,03 % dan 0,05 % kemudian hasilnya dibandingkan dengan data yang diperoleh dari antioksidan komersial seperti “butylated hydroxytoluene” (BHT), “butylated hydroxyanisol” (BHA) dan α-tokoferol pada konsentrasi 0,01 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak alga tersebut mampu menghambat oskidasi asam linoleat dan minyak ikan pada konsentrasi 0,05 %.

Baca juga
Anggur Untuk Mengawetkan Produk Perikanan

Efek Antioksidan Yang Bersifat Saling Menguatkan Antara Tokoferol dan Askorbat

Barstad et al. (2006) dalam Luten et al. (2006) mengevaluasi efek antioksidan α-tokoferol dan askorbat dalam sistem model yang berdasarkan liposoma yang dibuat dari fosfolipid sangat tak-jenuh asal-laut. Tingkat peroksidasi asam-asam lemak membran dipantau dalam “microplate spectrophotometer”. Liposoma adalah partikel bulat yang terbentuk dari sistem air-lipida lamelar. Liposoma tersusun dari dua lapisan membran lipida dengan air di tengahnya. Tokoferol merupakan penghambat yang efektif untuk oksidasi lipida. Senyawa ini dikenal sebagai antioksidan lipofilik (suka-lemak) yang paling penting dalam sel hidup. Askorbat merupakan antioksidan larut-air baik secara in vivo maupun in vitro. Askorbat dapat bertindak baik sebagai “pemakan” oksigen, sebagai chelator logam, maupun sebagai agen pereduksi. Bila ada logam (misal Fe3+), askorbat juga dapat bertindak sebagai prooksidan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoferol merupakan antioksidan yang efektif ketika bergabung dengan membran liposoma. Askorbat menunjukkan efek antioksidan bila didistribusikan dalam fase cair. Awal proses peroksidasi asam lemak tertunda lebih lama bila tokoferol dan askorbat digunakan bersama-sama daripada bila digunakan sendiri-sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ada sinergi (efek saling menguatkan) antara α-tokoferol dan askorbat.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 18 November 2012

Pemanfaatan Spirulina

Arsip Cofa No. C 103

Perkembangan Budidaya dan Pemanfaatan Spirulina di Cina

Wu et al. (1998) melaporkan bahwa pada awal tahun 1980-an, tingginya kandungan protein dalam Spirulina (Cyanophyta; alga hijau-biru) menarik perhatian beberapa ahli tanaman Cina. Spesies Spirulina diperkenalkan dari laboratorium asing atau diisolasi di Cina, termasuk Spirulina platensis, Spirulina maxima, Spirulina sabsala, Spirulina major, dll. Dua spesies yang dibudidaya saat ini, Spirulina platensis dan S. maxima, berasal dari Danau Chad Afrika dan Danau Texcoco Meksiko. Spirulina platensis lebih banyak dibudidayakan karena pertumbuhannya lebih stabil dan produksinya lebih mudah dikendalikan.

Penemuan, budidaya dan industrialisasi Spirulina merupakan sebagian dari prestasi paling penting dalam bidang studi budidaya alga di dunia sejak tahun 1960-an dari sudut pandang tingginya kandungan nutrisi, substansi bioaktif spesial, dan keberhasilan budidaya dalam sistem fotobioreaktor terbuka. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Spirulina dengan cepat menjadi makin populer di pasar yang mungkin terbesar di dunia, Cina. Produk Spirulina, terutama dalam bentuk tablet atau kapsul, membentuk pasar yang sangat bersaing, karena makin banyak konsumen yang merasakan manfaatnya dalam hal nutrisi dan pengobatan. Kebanyakan konsumen menganggap Spirulina sebagai obat kesehatan, tidak semata-mata sebagai makanan yang kaya nutrisi. Ratusan ton tepung Spirulina kering diekspor setiap tahun oleh beberapa perusahaan yang didirikan dalam lima tahun terakhir.

Baca juga
Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

Spirulina Sebagai Makanan Manusia

Belay et al. (1993) menyatakan bahwa Spirulina ditemukan di banyak danau yang bersifat basa dengan pH sangat tinggi, yang kadang-kadang mencapai 11. Nilai pH seperti ini menghambat pertumbuhan sebagian besar alga lain. Spirulina telah lama digunakan sebagai makanan. Ada banyak laporan bahwa Spirulina dimanfaatkan secara tradisional sebagai makanan oleh orang-orang Aztek di Meksiko selama lebih dari 1.000 tahun. Alga ini juga dimakan oleh penduduk lokal di daerah Danau Chad. Perhatian terhadap Spirulina pada awalnya difokuskan terutama pada potensinya sebagai sumber protein dan vitamin. Spirulina mengandung protein sebanyak 60 – 70 % berdasar berat dan kaya akan vitamin, terutama vitamin B-12 dan pro vitamin A (beta karoten), mineral, terutama besi, dan merupakan salah satu dari sedikit sumber asam gamma-linolenat bagi manusia. Saat ini ada beberapa perusahaan yang memproduksi Spirulina dan menjual produknya sebagai suplemen makanan kesehatan di seluruh dunia. Produksi Spirulina komersial total tahunan saat ini untuk konsumsi manusia adalah sekitar 800.000 kg.

Baca juga
Pakan Alami Penaeus

Percobaan Pemanfaatan Spirulina Sebagai Pakan Misis Udang Penaeus

Cao dan Xiang (1992) menggunakan kultur Spirulina platensis sebagai satu-satunya pakan dalam pemeliharaan misis udang Penaeus orientalis yang dipelihara dalam kantong pemijahan. Alga Chaetoceros muelleri dipakai sebagai pakan kontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa larva yang bertahan hidup pada setiap kelompok semuanya berkembang dari misis menjadi post larva pada hari keempat percobaan. Tingkat kelangsungan hidup, bagaimanapun, bervariasi pada kondisi pakan yang berbeda. Tingkat kelangsungan hidup larva yang diberi pakan Spirulina platensis hanya 8,7 %, yang makan Chaetoceros muelleri 28,7 % dan yang diberi pakan kedua jenis alga ini adalah 17,3 %. Kesimpulannya adalah bahwa Spirulina platensis bukanlah pakan yang ideal bila digunakan sendirian untuk misis Penaeus orientalis meskipun ia banyak mengandung protein.

Pemanfaatan Spirulina di Bidang Kesehatan

Belay et al. (1993) menyatakan bahwa Spirulina merupakan alga mikroskopik berfilamen yang kaya akan protein, vitamin, asam-asam amino esensial, mineral dan asam-asam lemak esensial seperti asam gamma-linolenat. Alga ini diproduksi secara komersial dan dijual sebagai suplemen makanan di toko makanan kesehatan di seluruh dunia. Sampai saat ini, perhatian terhadap Spirulina terutama ditujukan pada nilai gizinya. Bagaimanapun, baru-baru ini banyak orang meneliti kemungkinan adanya efek pengobatan pada Spirulina. Banyak studi pra klinis dan beberapa studi klinis menunjukkan adanya efek-efek pengobatan yang berkisar dari penurunan kadar kolesterol, penghambatan kanker sampai peningkatan sistem kekebalan, peningkatan populasi bakteri lactobacilli usus, penurunan daya racun logam berat terhadap ginjal serta perlindungan terhadap radiasi.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Produksi Asam Linolenat dari Spirulina platensis

Cohen et al. (1993) menyatakan bahwa asam lemak poli tak jenuh, yaitu asam gamma-linolenat (18 : 3, omega 6), berpotensi sebagai bahan obat. Alga hijau biru Spirulina platensis bisa menjadi sumber yang bagus untuk memperoleh asam lemak ini karena konsentrasi asam gamma-linolenat bisa ditingkatkan dan dipekatkan dengan biaya murah. Peningkatan konsentrasi sel Spirulina platensis akan meningkatkan konsentrasi asam lemak sehingga konsentrasi asam gamma-linolenat juga ikut meningkat. Efek ini telah dimanfaatkan untuk meningkatkan lebih lanjut konsentrasi asam gamma-linolenat dari galur alga yang banyak memproduksi asam lemak ini. Pemisahan galaktolipida dan pemurniannya melalui pembentukan kompleks urea bisa menghasilkan pekatan asam gamma-linolenat dengan kemurnian lebih dari 90 %.

Baca juga
Perubahan Kadar Asam Amino Akiubat Perubahan Salinitas Lingkungan

Pengaruh Spirulina Terhadap Diabetes, Kegemukan dan Tekanan Darah Tinggi

Belay et al. (1993), berdasarkan beberapa penelitian, melaporkan bahwa fraksi Spirulina yang larut dalam air adalah efektif untuk menurunkan kadar glukosa dalam serum darah pada orang yang sedang berpuasa, sedangkan fraksi yang tak larut dalam air menekan kadar glukosa pada orang yang sedang mengkonsumsi glukosa. Dalam sebuah penelitian, dilaporkan bahwa pemberian 2,8 gram Spirulina sebagai suplemen makanan sebanyak 3 kali sehari selama 4 minggu menyebabkan berat badan pasien penderita obesitas (kegemukan) menurun secara nyata. Juga dilaporkan bahwa Spirulina menurunkan tekanan darah yang tinggi (hipertensi) pada tikus.

Baca juga
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pemanfaatan Spirulina Sebagai Pelindung Radiasi

Belay et al. (1993) mengulas laporan penelitian mengenai pemanfaatan Spirulina sebagai pelindung terhadap radiasi. “Crude ethanol precipitate” (CEP; endapan etanol kasar) dari Spirulina platensis menunjukkan efek perlindungan terhadap radiasi, dan hal ini telah diteliti dengan menggunakan uji mikronukleus (mikro inti) dalam “polychromatic erythrocytes” (PCE, sel darah merah banyak-warna) pada sumsum tulang tikus. Pada sistem ini, ekstrak yang menyebabkan penurunan secara nyata frekuensi mikronukleus disinari dengan radiasi gamma. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa senyawa pelindung mungkin bertindak sebagai faktor penstabil DNA, dan mungkin menggerakan mekanisme penyingkiran radikal. Kemampuan CEP dalam mengurangi kejadian terbentuknya sel-sel sumsum tulang dengan inti sel berukuran mikro menunjukkan bahwa ia merupakan agen anti-mutagenik dan agen yang mendorong pemulihan-diri. Ada laporan tak diterbitkan dari dokter dan ilmuwan mengenai efek Spirulina sebagai pelindung radiasi berdasarkan percobaan pada anak-anak korban radiasi Chernobyl. Dalam penelitian yang melibatkan 49 anak-anak, umur 3 – 7 tahun, di Beryozovka, pemberian Spirulina selama 45 hari menyebabkan peningkatan agen penghambat sel-T dan hormon-hormon yang menguntungkan. Selain itu, radioaktivitas urin anak-anak tersebut menurun 83 %.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 14 November 2012

Bioekologi dan Budidaya Kepiting

Arsip Cofa No. C 102

Habitat dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Macnae (1968) menyatakan bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan satu-satunya kepiting portunidae yang secara khas ditemukan di hutan bakau. Ia hidup di dalam liang dan jarang terihat jauh darinya. Irisan melintang liang ini hampir selalu berbentuk elips; liang biasanya panjang, sampai 5 meter, dan turun melandai sampai ke “water table” (lapisan batuan di dalam tanah yang kedap-air). Kepiting ini paling banyak ditemukan di tebing teluk sampai garis air rendah di teluk itu, tetapi mereka juga bisa ditemukan di lantai hutan Bruguiera dan Rhizophora atau di antara akar-akar Avicennia dan Sonneratia pada zona hutan bakau yang mengarah ke laut; kadang-kadang liangnya bisa ditemukan di zona hutan bakau yang mengarah ke darat. Liang seperti ini mudah dikenali dari bentuk pintu masuk dan jumlah lumpur lunak yang dilemparkan di pintu masuk itu. Sepanjang tebing sungai dikabarkan kepiting ini naik ke arah hulu sampai jauh di atas pengaruh air asin. Scylla serrata terdapat di seluruh Indo-Pasifik barat yang meluas ke arah selatan sampai ke dekat Teluk Mossel di Afrika Selatan dan ke Port Jackson di Australia. Ia diaporkan ditemukan di Jepang, Cina dan di beberapa gugusan kepulauan Pasifik.

Baca juga
Klasifikasi, Morfologi, Distribusi dan Kelimpahan Krustasea

Migrasi, Reproduksi dan Distribusi Kepiting Bakau

Macnae (1968), berdasarkan laporan beberapa penelitian, mengulas migrasi dan distribusi kepiting bakau. Kepiting muda memasuki estuaria di sekitar Teluk Manila antara Juni dan Agustus dalam jumlah besar dan diduga bahwa kematangan seksual mungkin tercapai dalam satu tahun. Kepiting betina kadang bermigrasi untuk memijahkan larvanya atau kadang melepaskan larva ke air laut yang sedang surut. Distribusinya yang luas menunjukkan bahwa periode larva pelagisnya lama. Ada laporan penemuan beberapa individu kepiting yang hampir tak tercerna dalam lambung seekor ikan cucut macan (Galeocerdo cuvieri Agassiz) di Kanal Mozambik sekitar 20 km dari tepi paparan benua dan 50 km dari pantai Madagaskar. Dari fakta ini disimpukan bahwa kepiting tersebut juga hidup di tepi paparan benua karena kesegaran individu yang ditemukan dalam lambung ikan cucut itu menghilangkan kemungkinan bahwa mereka dimakan cucut di dekat pantai.

Macnae (1968) menambahkan bahwa di pantai di Inhaca, Scylla memiliki kisaran habitat yang luas. Nelayan lokal melaporkan bahwa kepiting-kepiting terbesar, hampir selalu betina, dikumpulkan dari liang yang terbuka saat pasang ekuinoktial sepanjang kanal di antara tebing-tebing pasir. Diduga bahwa kepiting bermigrasi ke bawah sejalan dengan pertumbuhannya; kepiting-kepiting kecil tertangkap jauh di atas teluk di dalam hutan bakau sedangkan kepiting-kepiting besar tertangkap di bagian teluk yang dekat laut dan di tepi hutan bakau. Individu yang diambil di dalam hutan bakau selalu berwarna gelap, biasanya hijau tua bertotol-totol, sedang individu yang ditangkap di kanal di Inhaca biasanya berwarna kecoklatan, bukannya kehijauan. Tampaknya bahwa, seperti kebanyakan kepiting portunidae lain, kepiting ini dapat mengubah warna sesuai dengan lingkungannya.

Baca juga
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea

Ganti Kulit dan Reproduksi Kepiting Bakau

Macnae (1968) mengutip laporan penelitian mengenai proses ganti kulit (molting) dan pertumbuhan kepiting bakau di Filipina. Kepiting berukuran 6 x 9 mm yang tumbuh menjadi ukuran 90 x 130 mm mengalami 12 kali ganti kulit dengan selang waktu yang meningkat dari 9 hari untuk dua stadium pertama yang diamati sampai 23 hari untuk stadium terakhir yang diamati. Periode total pemeliharaan dan penelitian tersebut adalah 5 bulan. Hal ini menyiratkan bahwa pada kondisi Filipina pertumbuhan kepiting bakau adalah cepat. Perkawinan berlangsung tepat setelah ganti kulit sementara kedua individu masih berkulit lunak. Telur dibawa ke mana-mana selama 17 hari dan menetas sebagai zoea.

Baca juga
Sedimen Terbaik Bagi Pertumbuhan Bakau

Ukuran Kepiting Bakau

Macnae (1968) melaporkan bahwa kepiting bakau (Scylla serrata) terkecil yang pernah ditemukan di estuaria Afrika Selatan memiliki panjang melintang karapas 20 mm. Yang terbesar mencapai lebih dari 200 mm, rata-rata untuk betina adalah sekitar 160 mm, untuk jantan sedikit lebih kecil. Di Srilangka ukuran rata-rata kepiting yang terlihat di pasar adalah sekitar 50 sampai 60 mm – hal ini mungkin disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan. Di Australia dilaporkan bahwa kepiting betina mencapai ukuran 165 mm dan kepiting jantan 195 mm. Kepiting-kepiting yang diperoleh dari Vietnam berkisar dari sekitar 60 sampai 95 mm.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengelolaan Perikanan dan Kegagalan Budidaya Kepiting Bakau

Macintosh et al. (1993) melaporkan bahwa kepiting bakau Scylla serrata (Forskaal), merupakan salah satu sumberdaya ekonomi penting dalam ekosistem hutan bakau Ranong di pesisir Laut Andaman di Thailand selatan. Bagaimanapun, ada masalah overfishing (penangkapan berlebihan) yang serius yang menyebabkan nelayan makin banyak menjual kepiting di bawah-ukuran untuk memenuhi kebutuhan pasar dan mempertahankan pendapatan nelayan. Populasi kepiting dan aktivitas penangkapan telah dipelajari untuk merencanakan pengelolaan perikanan kepiting bakau yang lebih baik, terutama perlindungan terhadap induk kepiting betina dan kemungkinan membudidayakan kepiting muda.

Kepiting yang bertelur selalu berukuran lebih dari 10 cm (lebar karapas), dengan kebanyakan kepiting betina matang gonad dalam kisaran ukuran 10,0 – 11,5 cm. Nilai-nilai indeks gonosomatik mencapai maksimum pada bulan September, dengan periode “membawa-telur” dan periode pemijahan dari Juli sampai Desember. Perlindungan kepiting betina dari tekanan penangkapan selama musim ini, ditambah batas ukuran kepiting yang boleh ditangkap kurang dari 10 cm, atau memelihara kepiting-kepiting tersebut untuk digemukkan di kolam, akan menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik. Budidaya kepiting di Ranong dibatasi oleh faktor-faktor iklim, keberadaan tanah sulfat-asam dan ketiadaan pengetahuan teknis pada nelayan lokal. Percobaan pendahuluan untuk membudidayakan kepiting asal Ranong di daerah Surat Thani yang kondisinya lebih baik memberikan hasil yang terbatas. Meskipun demikian, perbedaan harga yang menyolok antara kepiting liar dan kepiting hasil penggemukan di kolam mendorong usaha budidaya kepiting bakau di Ranong.

Baca juga
Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting

Uji Coba Kultur Masal Larva Kepiting

Charmantier-Daures dan Charmantier (1991) melaporkan bahwa planktonkreisel lintas-air, yang dirancang untuk budidaya lobster, yang terdiri dari tangki-tangki bundar bervolume 40 liter dengan dasar cekung, telah dimodifikasi untuk membudidayakan kepiting Cancer irroratus. Modifikasi utamanya adalah sebagai berikut : penggunaan sebuah saringan dengan ukuran lubang 280 mikron dan dipasang mengelilingi sistem arus-keluar; penyaringan air laut dengan saringan 50 mikron selama perkembangan larva kepiting dari tahap zoea 1 sampai zoea 5; tidak ada penyaringan setelah itu; kecepatan arus 2,5 – 3 liter/menit selama perkembangan dari zoea 1 sampai tahap awal megalopa, kemudian 1 – 1,5 liter/menit setelah itu. Pada kondisi ini, tingkat kelangsungan hidup sampai tahap megalopa adalah 69 %, sehingga menghasilkan lebih dari 10.000 megalopa.

Percobaan perbandingan pada kondisi statis, dengan penambahan antibiotik, menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih rendah, jumlah total megalopa lebih sedikit serta ukuran zoea dan megalopa lebih kecil. Planktonkreisel yang telah dimodifikasi sangat sesuai untuk memproduksi megalopa, tetapi gagal mengatasi tingginya tingkat mortalitas yang terjadi selama peralihan metamorfosis dari megalopa ke tahap kepiting pertama. Tingkat kelangsungan hidup maksimal sampai tahap kepiting adalah 12,7 %. Penelitian lebih lanjut seharusnya dilakukan guna memperbaiki kondisi pakan dan rancangan tangki yang lebih sesuai dengan perilaku hidup di dasar yang ditunjukkan megalopa tahap akhir.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 12 November 2012

Pengolahan dan Penyimpanan Kepiting

Arsip Cofa No. C 101

Pencucian Dalam Air Klor dan Pemasakan Pendahuluan Meningkatkan Mutu Daging Kepiting

Tinker dan Learson (1972) melaporkan bahwa proses normal pemasakan-pendahuluan dalam industri pengolahan kepiting bisa mengurangi populasi bakteri dalam produk tersebut. Proses pemasakan-pendahuluan ini melibatkan pencucian di dalam air yang mengandung klor 200 ppm, diikuti dengan pengukusan selama 8 menit pada suhu 212 oF. Data mikrobiologi yang membandingkan proses ini dengan proses industri yang biasa dilakukan (pengukusan 10 menit pada suhu 250 oF) menunjukkan bahwa kedua jenis proses tersebut memberikan hasil yang sama dalam hal pengurangan bakteri. Proses pencucian itu sendiri bisa mengurangi bakteri sebanyak rata-rata 99 %. Kepiting yang ditangani dengan cara seperti ini, yang diikuti dengan pengukusan 8 menit pada suhu 212 oF menghasilkan daging yang lebih banyak dengan mutu organoleptik lebih baik dan tingkat mikrobiologisnya bisa diterima oleh standar kesehatan masyarakat.

Baca juga
Pemanfaatan Kitin dan Kitosan

Perubahan Biokimia Pasca Kematian Dalam Daging Kepiting Selama Penyimpanan

Matsumoto dan Yamanaka (1992) meneliti perubahan kadar glikogen, metabolit glikolitik, senyawa terkait-ATP, asam amino bebas, poliamin dan “volatile basic nitrogen” (VBN; nitrogen basa mudah-menguap) dalam daging kaki kepiting tanner crab Chionoecetes opilio selama penyimpanan pada suhu 5, 0 dan -1 oC. Selama penyimpanan, glikogen teruai dan laktat tertimbun dengan cepat. Kadar hipoksantin meningkat cepat pada tahap awal penguraian. Ornitin meningkat perlahan selama penyimpanan dan makin nyata sejalan dengan berlangsungnya penguraian. VBN juga meningkat perlahan selama penyimpanan.

Baca juga
Bioekologi dan Budidaya Kepiting

Karakteristik Penyimpanan Beku Daging Kepiting Mentah dan Matang

George et al. (1990) mempelajari perubahan mutu biokimia dan organoleptik selama pembekuan-lamban dan penyimpanan pada suhu – 18 oC pada ruas dan cangkang capit serta daging kepiting bakau (Scylla serrata), baik yang masih mentah maupun yang diberi perlakuan pemasakan pendahuluan. Kehilangan berat terjadi pada kepiting utuh, ruas dan capit kepiting. Studi penyimpanan beku menunjukkan bahwa dalam waktu 40 minggu ruas kepiting tetap dalam kondisi baik, sedangkan daging rebus menjadi jelek akibat mengalami “browning” (pencoklatan) ringan dan kehilangan cita rasa. Pada capit mentah meskipun warna pigmen berubah dari abu-abu ke hitam, namun cita rasa khasnya tetap lebih baik daripada cita rasa capit rebus.

Baca juga
Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan/Pengesan

Pengaruh Penyimpanan Beku Terhadap Sifat Kimia dan Bakteriologi Daging Kepiting

Menurut Aman et al. (1983) penyimpanan-beku kepiting mentah dan kepiting matang dalam waktu yang lebih lama menyebabkan perubah-perubahan yang tak dikehendaki, terutama komponen-komponen utamanya seperti protein dan lipida. Penyimpanan kepiting beku yang lebih lama menyebabkan kelarutan protein asli berkurang, dan pada saat yang sama, terjadi peningkatan jumlah protein yang terurai (tak larut). Hidrolisis dan oksidasi lipida selama penyimpanan beku juga menurunkan kelarutan protein, terutama protein myofibrilar (protein serabut otot). Juga, kapasitas pengikatan-air berkurang pada penyimpanan beku yang lebih lama. Hal-hal tersebut menyebabkan daging kepiting menjadi liat/keras ketika dimasak.

Aman et al (1983) mempelajari pengaruh penyimpanan beku pada suhu -10 oC terhadap karakteristik kimiawi daging kepiting merah Mesir (Carcinus maenas). Penelitian ini melibatkan penentuan nilai-nilai pH, kadar air, total nitrogen, nitrogen protein, total volatile basic nitrogen (TVBN), ekstrak dietil eter, nilai asam, asam tiobarbiturat (TBA) dan total jumlah bakteri (TC; Total Count). Diperoleh hasil bahwa kepiting matang dan kepiting mentah kupas dapat disimpan pada suhu -10 oC selama 5 dan 3 bulan, berturut-turut, tanpa terjadi pembusukan. Kepiting mentah tak dikupas dapat disimpan pada suhu -10 oC selama 4 bulan tanpa mengalami pembusukan. Perendaman kepiting mentah tak dikupas dalam 20 ppm klorotetrasiklin (CTC) selama 20 menit meningkatkan periode penyimpanan menjadi 5 bulan. Jumlah total bakteri pada daging kepiting dipengaruhi oleh berbagai perlakuan selama penyimpanan beku pada suhu -10 oC. Dapat dilihat bahwa jumlah bakteri total (TC) pada kepiting mentah adalah 0,015 x 106/gram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TC pada kepiting mentah yang diberi CTC adalah sangat sedikit, terutama pada penyimpanan beku yang lebih lama dalam suhu -10 oC bila dibandingkan dengan sampel yang tidak diberi perlakuan. Daging kepiting matang selalu menunjukkan nilai TC yang lebih rendah daripada daging kepiting yang tak dimasak (mentah). Secara umum, TC daging kepiting meningkat perlahan-lahan sejalan dengan makin lamanya penyimpanan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penyakit Kolera Akibat Mengkonsumsi Kepiting Olahan

Finelli et al. (1992) melaporkan bahwa dari 31 Maret sampai 3 April 1991, sebanyak 8 penduduk New Jersey mengalami mencret parah setelah memakan daging kepiting yang dibawa sebagai oleh-oleh dari Ekuador. Kultur Stool menghasilkan Vibrio cholerae 01, seratype Inaba, biotype El Tor dari 4 orang, dan konsentrasi antibodi vibriosidal adalah sedikitnya 1 : 640 pada 7 orang, yang menunjukkan baru diinfeksi oleh Vibrio cholerae 01. Mengkonsumsi kepiting secara statistik berhubungan dengan penyakit; bagaimanapun, tak ada sisa daging kepiting yang tersedia untuk diuji. Semua dari 8 pasien sembuh total dan tak ada kasus penularan sekunder yang dilaporkan. Ini merupakan kasus kolera pertama di daratan Amerika Serikat yang berhubungan dengan makanan yang dibawa dari daerah yang diserang penyakit epidemi. Pelarangan membawa oleh-oleh makanan laut yang beresiko bisa mencegah terulangnya kasus lebih lanjut.

Baca juga
Warna Pada Produk Perikanan

Perkembangan Industri Pengalengan Kepiting di Dunia

Menurut Martin (1992) dalam Granata et al. (1992), kepiting pertama kali dikalengkan di Amerika Serikat oleh James McMenamin di Norfolk, Virginia, pada tahun 1878. Kesulitan terbesar dalam pengalengan kepiting adalah “discoloration” (perubahan menjadi warna lain yang kurang menarik). Pada tahun 1936, sebuah metode untuk mengatasi masalah pemudaran warna ini telah dikembangkan, dan pada tahun 1938, Harris Company berhasil mengemas kepiting biru yang berasal dari pesisir Atlantik secara komersial. Meskipun proses pengalengan kepiting telah dikembangkan pada tahun 1892, industri Jepang skala komersial belum mantap hingga tahun 1908. Kepiting kaleng Jepang mulai memasuki pasar Amerika Serikat dalam jumlah cukup banyak selama Perang Dunia I. Pada tahun 1931, impor produk ini menyebabkan produksi domestik daging kepiting segar dan kalengan meningkat hampir dua kali lipat. Industri pengalengan kepiting domestik telah berkembang di Alaska, Oregon dan Washington; kesulitan dalam hal pengolahan dan masalah-masalah teknis lainnya telah berhasil diatasi dan pasar untuk produk tersebut telah dikembangkan di negara-negara pesisir Pasifik.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 09 November 2012

Oreochromis : Reproduksi, Osmoregulasi, Pertumbuhan dan Dinamika Populasi

Arsip Cofa No. C 100

Peranan Tulang Rahang Atas Dalam Reproduksi Oreochromis

Behrends et al. (1993) melaporkan bahwa ikan tilapia biru, Oreochromis aureus (Steindachner) umur dua tahun telah dipelihara dalam lima buah hapa pemijahan (ukuran 1,2 m x 1,2 m x 2,7 m) dengan padat penebaran enam ikan jantan dan enam ikan betina per hapa. Pada saat ditebarkan, berat badan rata-rata ikan jantan dan betina adalah 415 dan 225 gram, berturut-turut. Selama percobaan 50 hari (Juli – Agustus), dari 30 ekor ikan betina diperoleh 62.900 benih (telur dan anak ikan yang masih berkantung) yang dihasilkan oleh 78 pemijahan. Pada perlakuan pembanding (kontrol), penyingkiran tulang maksila (rahang atas) pada ikan jantan sebelum ditebarkan tidak mempengaruhi produktivitas pembenihan. Bagaimanapun, penyingkiran tulang rahang atas pada ikan betina secara nyata mengurangi frekuensi pengulangan pemijahan dan jumlah telur dalam sekali pemijahan (P < 0,05). Penyingkiran tulang rahang atas juga mempengaruhi perolehan berat badan ikan induk. Diduga bahwa hal-hal tersebut disebabkan oleh penyingkiran tulang rahang atas dan yang kemudian merusak hierarki dominansi.

Baca juga
Pengaruh Pengapuran Terhadap Biota Air

Air Budidaya Yang Kekurangan Kalsium Menyebabkan Pengeroposan Tulang Oreochromis niloticus

Takagi dan Yamada (1992) mempelajari pengaruh penyingkiran kalsium dari air budidaya atau baik dari makanan maupun dari air budidaya terhadap metabolisme tulang aselular pada ikan nila Oreochromis niloticus dengan metode histomorfometri tulang faringeal. Air budidaya yang kekurangan kalsium mengaktifkan sel-sel penyerap tulang dan menekan osteoblast, tanpa terpengaruh oleh penambahan kalsium dalam pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel-sel tulang aselular berubah untuk memindahkan kalsium dari tulang ke dalam cairan ekstraselular. Hal ini terjadi ketika ikan menghadapi kondisi stres akibat rendahnya kalsium, misalnya bila air di sekeliling ikan tersebut kekurangan kalsium. Penambahan kalsium dalam pakan tampaknya tidak cukup untuk metabolisme tulang secara normal pada tilapia.

Baca juga
Toleransi Ikan Mujaer (Cichlidae) Terhadap Suhu

Keterlibatan Autoantigen Sperma Dalam Fertilisasi Sel Telur Ikan Nila

Mochida et al. (1992) melaporkan bahwa dalam testis ikan nila Oreochromis niloticus, beberapa jenis protein spesifik muncul pada membran plasma sperma selama spermiogenesis (pembentukan sperma). Protein-protein ini dikenal sebagai autoantigen yang terisolir dari sistem kekebalan ikan oleh penghalang darah-testis, dan mungkin memiliki fungsi-fungsi spesifik selama dan setelah spermiogenesis. Untuk meneliti apakah autoantigen permukaan sperma terlibat dalam fertilisasi, kesuburan sperma yang diselubungi dengan autoantibodi anti-sperma telah diuji pada ikan nila. Lebih lanjut, pemurnian-sebagian terhadap autoantigen sperma telah dilakukan dalam penelitian ini. Autoantibodi anti-sperma telah diisolasi dari serum darah ikan nila jantan yang diimunisasi dengan sperma allogenik yang diemulsikan dengan larutan Freund lengkap. Telur yang baru saja dipijahkan diinseminasi dengan sperma yang telah bereaksi dengan autoantibodi di dalam plasma seminal buatan. Kesuburan sperma yang diselubungi autoantibodi ini jauh lebih rendah daripada kesuburan sperma yang diselubungi antibodi nonspesifik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sedikitnya ada satu jenis autoantigen yang berperanan penting dalam fertilisasi pada ikan nila. Lebih lanjut, protein-protein membran pada sperma telah dilarutkan dengan deterjen non ionik, yakni octylthioglucoside. Ekstrak ini dimasukkan ke dalam kolom afinitas dengan menggunakan anti-sperma autoantibodi-Sepharose 4 B, dan autoantigennya disingkirkan dengan larutan urea 8 M. Fraksi hasil penyingkiran ini dianalisis dengan elektroforesis gel SDS-poliakrilamida. Di bawah kondisi tereduksi, fraksi ini menunjukkan jalur-jalur polipeptida mayor yang berpusat pada 80 kDa serta beberapa jalur minor. Melalui analisis “immunoblotting” (pembentukan bintik zat kekebalan) dengan autoantibodi, empat jalur utama yang memuat jalur-jalur 80 kDa didentifikasi sebagai autoantigen.


Osmoregulasi Pada Larva Oreochromis mossambicus Yang Baru Menetas

Ayson et al. (1992) melaporkan bahwa larva ikan mujair Oreochromis mossambicus yang baru menetas tetap hidup meski dipindahkan langsung dari air tawar ke air laut (salinitas 33 ppt); larva umur 2 hari atau lebih bisa mentolerir perpindahan langsung dari air tawar ke air laut bersalinitas 25 ppt. Karena organ-organ osmoregulasi utama ikan dewasa masih belum berkembang pada larva tahap awal, sel klorida dalam membran kantung kuning telur diamati dengan menggunakan “daspei”, zat wana spesifik untuk sel yang kaya akan mitokondria. Perubahan ukuran dan jumlah sel klorida sampai kuning telur habis diserap diamati setelah larva yang baru menetas dipindahkan dari air tawar ke air laut. Sel prolaktin dan sel hormon pertumbuhan dalam pituitari larva juga diamati dengan imunositokemistri. Setelah dipindahkan ke air laut, ukuran sel klorida meningkat secara nyata 2 sampai 4 kali lipat dibandingkan pada larva air tawar. Ukuran rata-rata sel prolaktin dan luas pituitari yang mengandung sel tersebut secara nyata lebih besar pada larva air tawar dibandingkan pada larva air laut. Ukuran sel hormon pertumbuhan tidak dipengaruhi oleh perpindahan larva ke air laut. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan keterlibatan sel klorida dalam membran kuning telur dan sel prolaktin pituitari dalam osmoregulasi larva Oreochromis mossambicus yang masih berkantung kuning telur.

Baca juga
Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan Ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Merangsang Pertumbuhan Ikan Mujaer Kecil Dengan Menyingkirkan Ikan-Ikan Besar

Sampath dan Ramasunder (1992) mempelajari pengaruh hierarki ukuran terhadap konsumsi makanan dan pertumbuhan ikan mujaer (Oreochromis mossambicus). Ikan ini, yang dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan berat badan (kecil 4,68 gram, menengah 9,281 gram, dan besar 16,399 gram) dipelihara secara terpisah dan secara bersama-sama. Bila dipelihara secara terpisah dalam akuarium individual, kelas ikan kecil menunjukkan nilai maksimum laju makan dan pertumbuhan, diikuti oleh kelas menengah dan besar. Bagaimanapun, bila dipelihara bersama-sama, kelas kecil menunjukkan nilai minimum; nilai tersebut berkurang 52 % dibandingkan dua kelas lainnya. Laju pertumbuhan kelas menengah dan kelas besar tidak terpengaruh dalam pemeliharaan secara bersama-sama tersebut. Ikan kelas kecil bila dipelihara kembali secara terpisah setelah dipelihara bersama-sama dapat mengimbangi kehilangan pertumbuhannya yang terjadi selama pemeliharaan secara bersama-sama, dan mereka bisa mencapai laju pertumbuhan aslinya. Penyingkiran ikan-ikan besar secara berkala dari populasi terbukti dapat mendorong produksi dalam budidaya Oreochromis mossambicus.

Baca juga
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Dinamika Populasi Ikan Mujair dan Nila di Dua Bendungan

Amarasinghe dan de Silva (1992) mempelajari dinamika populasi dua spesies ikan cichlidae, ikan mujair Oreochromis mossambicus dan ikan nila Oreochromis niloticus di dua bendungan (Minneriya dan Kaudulla) di Sri Lanka dengan metode berdasar panjang. Panjang total asimptotik dan konstanta pertumbuhan Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus telah digunakan untuk menduga laju mortalitas dan laju eksploitasi. Penampilan pertumbuhan Oreochromis mossambicus di kedua bendungan lebih baik daripada Oreochromis mossambicus di berbagai daerah geografi lain. Virtual Population Analysis berstruktur-panjang menunjukkan bahwa laju mortalitas penangkapan mendekati konstan selama stok direkruitmen, yang menunjukkan bahwa pengaruh selektivitas jaring insang terhadap sampel tangkapan adalah kecil. Analisis hasil-per-rekruit relatif yang digabungkan dengan peluang tertangkap menunjukkan bahwa hasil tangkap Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus di bendungan Minneriya bisa ditingkatkan dengan meningkatkan ukuran saat pertama tertangkap. Di Kaudulla, peningkatan laju eksploitasi Oreochromis mossambicus berpengaruh negatif terhadap stok Oreochromis niloticus. Juga, peningkatan ukuran saat pertama tertangkap pada Oreochromis niloticus untuk mengoptimalkan hasil akan menyebabkan stok Oreochromis mossambicus kurang terkeploitasi.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 07 November 2012

Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan

Arsip Cofa No. C 099

Penggunaan Produk Kedelai Untuk Pakan Ikan

Lovell (1991) dalam Akiyama and Tan (1991) memberikan ulasan mengenai kebutuhan gizi binatang air, yang menjadi sumber makanan manusia, juga membahas efisiensi produk kedelai dalam memenuhi kebutuhan gizi tersebut. Tepung kedelai memiliki profil asam amino yang paling sesuai bagi ikan di antara banyak jenis pakan nabati komersial; ia lezat bagi kebanyakan spesies dan tersedia di pasaran dunia dengan harga yang biasanya jauh lebih murah daripada tepung ikan. Dengan penambahan energi, mineral dan mungkin metionin serta lisin secukupnya, tepung kedelai komersial bisa menggantikan sebagian besar tepung ikan dalam pakan beberapa spesies ikan.

Baca juga
Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan

Tepung Kedelai Sebagai Pengganti Tepung Ikan

Akiyama (1991) dalam Akiyama dan Tan (1991) menyatakan bahwa tepung kedelai tampaknya sangat mudah dicerna oleh udang laut terutama protein dan asam-asam aminonya. Ada sedikit perbedaan daya cerna tepung kedelai oleh tiga spesies udang laut : Penaeus vannamei, Penaeus monodon dan Penaeus japonicus. Fraksi karbohidrat dari tepung kedelai tampaknya menurunkan daya cerna bahan kering total. Beberapa penelitian telah berhasil mengganti tepung ikan dan tepung udang dengan tepung kedelai. Bila mengganti tepung binatang laut ini dengan tepung kedelai, orang harus mempertimbangkan tidak hanya protein tetapi juga energi, asam-asam lemak, mineral dan zat-zat gizi lain yang ada dalam tepung binatang laut tetapi tidak terkandung dalam tepung kedelai. Pengolahan tepung kedelai lebih lanjut mungkin bisa meningkatkan nilai gizinya bagi udang laut. Ada sedikit keraguan bahwa tepung kedelai bisa menggantikan sejumlah besar tepung binatang laut dalam mempertahankan produksi udang, meskipun semua zat gizi yang dibutuhkan tersedia.

Baca juga
Pemanfaatan Tepung Ikan Sebagai Pakan Ternak dan Makanan Manusia

Nilai Gizi Protein Kedelai Bagi Juvenil Udang Galah

Koshio et al. (1992) melakukan percobaan pemberian pakan untuk mengevaluasi nilai gizi protein kedelai bagi juvenil udang air tawar Macrobrachium rosenbergii (berat awal rata-rata 0,1 gram) dibandingkan dengan pekatan protein kepiting. Kadar protein pakan yang diuji berkisar dari 30 sampai 55 % dengan selang sekitar 7 % dan kadar energi pakan dipertahankan konstan (4,3 kcal/gram) dengan menyesuaikan kadar karbohidrat (α-kanji dan dekstrin). Walaupun perolehan berat untuk kelompok pakan pekatan protein kepiting tampaknya lebih tinggi daripada kelompok pakan protein kedelai pada setiap kadar protein, tidak ada perbedaan yang nyata secara statistik antara kedua kelompok pakan tersebut, kecuali untuk udang yang diberi pakan yang mengandung kadar protein tertinggi kedua (sekitar 47 %). Pada kelompok pakan protein kedelai, efisiensi konversi pakan dan rasio efisiensi protein cenderung lebih baik daripada kelompok pakan pekatan protein kepiting dalam setiap kadar protein kecuali untuk udang yang diberi pakan berkadar protein tertinggi kedua (sekitar 47 %).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Daya Cerna Kasein, Gelatin, Tepung Ikan, Bakteri dan Kedelai Bagi Ikan Sidat

Schmitz et al. (1984) menentukan daya cerna protein kasar dan bahan organik yang terkandung dalam kasein, gelatin, tepung ikan, protein bakteri, pekatan protein kedelai dan tepung kedelai bagi ikan sidat Anguilla anguilla. Pada ikan sidat seberat antara 170 dan 230 gram, daya cerna protein kasar dan bahan organik telah ditentukan untuk pakan yang dimasukkan ke dalam lambungnya dengan dibungkus kapsul gelatin. Nilai-nilai daya cernanya diperoleh setelah mengumpulkan tinja ikan tersebut yang dimulai pada hari ketiga sesudah ikan memakan satu jenis pakan tertentu. Daya cerna protein kasar dan bahan organik, berturut-turut, adalah sebagai berikut : kasein 0,99 dan 0,98; gelatin 0,94 dan 0,94, tepung ikan 0,94 dan 0,87, protein bakteri 0,89 dan 0,88, pekatan protein kedelai 0,96 dan 0,76, tepung kedelai 0,94 dan 0,68. Tampaknya bahwa daya cerna bahan organik non protein membatasi penggunaan produk-produk kedelai.

Baca juga
Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

Gelatinized Ratio Kanji Yang Baik Untuk Pertumbuhan Ikan

Takeuchi et al. (1992) melakukan percobaan untuk meneliti ketersediaan kanji bergelatin (α-) dan kanji mentah (β-) sebagai sumber energi dalam pakan juvenil ikan stripped jack Pseudocaranx dentex dan ikan ekor kuning Seriola quinqueradiata. Kedua jenis ikan ini diberi makanan tiga macam pakan yang mengandung 10 % kanji - α atau kanji – β, dan campuran kedua kanji masing-masing 5 %. Gelatinized ratio (GR) ketiga jenis pakan ini adalah 100 %, 16,6 % dan 50 %, berturut-turut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa GR pakan untuk kedua jenis ikan ini sebaiknya di atas 50 % guna memperoleh pertumbuhan ikan yang lebih baik.

Baca juga
Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Pengaruh Tepung Kanji Kentang Terhadap Enzim Pencernaan dan Pertumbuhan Ikan Mas

Kawai dan Ikeda (1972), dengan tujuan meneliti respon enzim-enzim pencernaan terhadap perubahan pakan, memberi makan ikan mas muda (Cyprinus carpio) dengan pakan yang mengandung berbagai konsentrasi protein dan karbohidrat selama 75 hari. Tepung ikan digunakan sebagai sumber protein dan kanji kentang sebagai sumber karbohidrat. Aktivitas maltase, amilase dan protease usus menunjukkan adaptasi terhadap perubahan pakan dalam waktu seminggu, dan ketiga

enzim ini menunjukkan aktivitas yang secara umum tinggi pada kelompok ikan yang diberi pakan mengandung 40 – 60 % kanji selama periode percobaan. Laju pertumbuhan yang rendah ditemukan hanya pada kelompok ikan yang menerima pakan berkanji tinggi (90 % kanji) dan perbedaan yang jelas tidak terlihat di antara ketiga kelompok lainnya (20, 40 dan 60 % kanji dalam pakan). Bila empat jenis karbohidrat (maltosa, sukrosa, laktosa dan kanji) digunakan sebagai sumber karbohidrat, aktivitas maltase dan amilase dalam usus setelah 10 hari pemberian pakan adalah tinggi pada ikan mas yang makanannya mengandung kanji atau laktosa. Aktivitas protease usus pada ikan mas muda dengan jelas menunjukkan adaptasi terhadap konsentrasi tepung ikan di dalam pakan apabila konsentrasi kanji di dalam pakan dibuat konstan. Laju pertumbuhan meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi tepung ikan di dalam pakan.

Baca juga
Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

Kelayakan Protein Dalam Ragi Sebagai Pakan Ikan

Rumsey et al. (1992) memberi makanan kepada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dengan pakan yang mengandung ekstrak asam nukleat ragi berkonsentrasi 0,6 %, 1,6 %, 2,5 % dan 4,1 % yang bersesuaian dengan konsentrasi ragi Saccharomyces cerevisiae 7,5 %, 20 %, 30 % dan 50 % sementara kelompok ikan lain diberi pakan yang mengandung pelengkap berupa purin bebas (adenin, guanin, xantin dan hipoxantin) dan bersifat isonitrogen (kandungan nitrogen sama) dalam dua penelitian yang berlangsung selama 12 minggu. Ikan yang diberi pakan ekstrak ragi dengan kadar makin tinggi menunjukkan penambahan peningkatan pertumbuhan dan “retention” (penyimpanan) nitrogen. Tidak terlihat adanya efek negatif terhadap pengambilan makanan. Bila ikan diberi pakan dengan pelengkap purin bebas, adenin terlihat menjadi penghambat potensial bagi pengambilan makanan dan pertumbuhan. Bila dilengkapi dengan jenis-jenis purin yang lain maka tidak ada efek negatif terhadap pengambilan makanan dan pertumbuhan, dan penyimpanan nitrogen di dalam daging ikan secara nyata tertekan, yang menunjukkan tidak adanya efek penghematan nitrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arti penting gizi adenin bebas dalam pakan versus adenin yang terikat asam nukleat dalam ragi atau asam nukleat ragi merupakan pertimbangan penting dalam mengevaluasi kelayakan protein sel tunggal (ragi) dalam penyusunan formula pakan ikan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 04 November 2012

Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan

Arsip Cofa No. C 098

Pengaruh Pakan Yang Mengandung Tepung Ikan dan Tepung Cumi-Cumi Terhadap Mutu Telur dan Larva Ikan Yang Dihasilkan

Watanabe et al. (1984b) melakukan percobaan pemberian pakan berjangka relatif lama untuk membandingkan mutu gizi sumber protein antara tepung ikan white fish dan tepung cumi-cumi dan meneliti kadar protein optimum dalam pakan induk ikan red sea bream (Pagrus major) untuk reproduksinya. Persentase telur yang mengapung, total penetasan dan larva normal yang diperoleh tidak berbeda menyolok di antara telur yang diproduksi induk yang menerima berturut-turut berbagai pakan dengan berbagai kadar protein kecuali yang diperoleh dari induk ikan yang diberi pakan mengandung tepung cumi-cumi sebagai sumber protein.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada induk yang diberi pakan kontrol yang mengandung tepung white fish (protein kasar 45 %) jumlah rata-rata telur yang diproduksi selama periode percobaan adalah 2.051.000 butir per ikan, dan 61,8 % dari telur-telur ini ditemukan terapung (telur normal terapung di permukaan air, sedangkan telur tak normal tenggelam di dasar tangki). Sementara untuk telur yang diproduksi oleh induk yang menerima pakan tepung cumi-cumi, proporsi telur terapung paling tinggi (83,5 %) di antara kelompok-kelompok percobaan. Selain itu, persentase larva normal yang bisa menjadi ikan benih meningkat tajam dari 24,2 % menjadi 79,5 % dengan mengganti tepung ikan white fish dengan tepung cumi-cumi sebagai sumber protein. Jadi makin kuat bukti bahwa tepung cumi-cumi lebih unggul daripada tepung ikan white fish sebagai sumber protein dalam pakan bagi induk ikan red sea bream. Kadar protein optimum tidak bisa ditentukan dengan jelas dalam percobaan ini, tetapi diperkirakan sekitar 45 % berdasarkan hasil-hasil penelitian ini dan penelitian terdahulu.

Baca juga
Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan

Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Hal Pengaruhnya Terhadap Mutu Telur Ikan Yang Dihasilkan

Wanabe et al. (1984a) melakukan percobaan pemberian pakan untuk memastikan hubungan antara mutu pakan dan pemijahan atau mutu telur yang dihasilkan induk ikan red sea bream yang diberi berbagai pakan dengan berbagai mutu yang berbeda. Pada induk yang diberi pakan tepung daging ikan white fish, jumlah rata-rata telur yang diproduksi selama periode percobaan sekitar 2 bulan adalah 1.005.000 butir per ikan, dan 80,9 % dari telur-telur ini mengapung (normal). Pada kelompok yang diberi pakan berprotein rendah tanpa tambahan fosfor, nilai ini lebih rendah dibandingkan kontrol. Jumlah telur yang diproduksi ikan betina yang diberi pakan kekurangan EFA (essential fatty acid; asam lemak esensial) bisa disamakan dengan pada kontrol, tetapi proporsi telur yang mengapung adalah paling rendah, lebih dari 75 % telur yang dihasilkan tenggelam. Kedua nilai ini tertinggi pada kelompok yang menerima pakan mengandung tepung cumi-cumi sebagai sumber protein, yang menghasilkan produktivitas tinggi larva hidup sebagai ikan benih. Induk betina yang menerima, berturut-turut, pakan berprotein rendah, pakan kekurangan fosfor dan pakan kekurangan EFA memproduksi telur dengan daya tetas secara nyata rendah dan selain itu larva yang menetas menunjukkan tubuh yang cacat dan jumlah atau posisi butiran minyak dalam kuning telur tidak normal. Jadi penelitian ini menunjukkan bahwa reproduksi ikan red sea bream sangat dipengaruhi oleh mutu gizi pakan induk dan bahwa tepung cumi-cumi lebih unggul dibandingkan tepung ikan white fish sebagai sumber protein dalam pakan induk red sea bream.

Baca juga
Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Tepung Cumi-Cumi Untuk Memperbaiki Reproduksi dan Mutu Telur Ikan

Watanabe et al. (1991) menyatakan bahwa dalam serangkaian penelitian mengenai nutrisi ikan induk red sea bream Pagrus major, disimpulkan bahwa pemijahan dan mutu telur sangat ditingkatkan oleh pemberian pakan yang mengandung tepung cumi-cumi sebagai sumber protein atau mengandung udang krill mentah-beku tak lama sebelum pemijahan atau selama pemijahan. Penambahan beta-karoten dan canthaxanthin atau ekstrak minyak krill yang mengandung astaksantin ke dalam pakan ikan juga memperbaiki mutu telur. Peranan udang krill mentah-beku yang meningkatkan reproduksi ikan red sea bream mungkin disebabkan adanya pigmen karotenoid di dalam krill. Produktivitas larva hidup dari total telur yang dihasilkan oleh seekor ikan betina adalah berkisar antara 24 sampai 39 % pada induk yang diberi pakan kontrol yang mengandung tepung ikan white fish dalam rangkaian percobaan yang berlangsung selama 8 tahun ini. Daya hidup larva ikan meningkat menjadi 70 – 90 % bila tepung ikan white fish diganti dengan tepung cumi-cumi, dan menjadi 68 – 80 % dengan memberi pakan berupa udang krill mentah-beku.

Salah satu perbedaan kimiawi utama antara tepung ikan white fish dan tepung cumi-cumi adalah tingginya kadar kalsium dan fosfor pada tepung ikan white fish, yang berasal terutama dari trikalsium fosfat (hidroksiapatit) di dalam tulang. Diduga bahwa trikalsium fosfat dalam jumlah banyak memberikan dampak negatif terhadap reproduksi ikan red sea bream. Penambahan sejumlah besar alfa-tokoferol ke dalam pakan induk ikan juga terbukti efektif dalam memperbaiki pemijahan dan mutu telur.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga
Pakan Buatan Untuk Bandeng (Chanos chanos)

Pengaruh Tepung Ikan, Tepung Cumi-Cumi dan Tepung Udang Krill Dalam Pakan Ikan Terhadap Mutu Telur Yang Dihasilkan

Watanabe et al. (1991) memberi makanan kepada induk ikan red seabream dengan berbagai jenis pakan yang berbeda-beda mutu gizinya selama 26 hari atau kurang sebelum pemijahan untuk menentukan komponen-komponen efektif dalam tepung cumi-cumi dan udang krill mentah yang mempengaruhi mutu telur ikan yang dihasilkan. Persentase telur terapung (normal) adalah paling rendah pada kelompok kontrol yang menerima pakan tepung ikan white fish, dan ditingkatkan oleh penambahan 200 mg DL-alfa-tokoferil asetat. Persentase ini juga meningkat secara efektif bila tepung ikan white fish sebagai sumber protein diganti dengan tepung cumi-cumi utuh atau yang lemaknya telah dikurangi. Pemberian pakan kepada induk ikan dengan udang krill mentah-beku setelah sebelumnya diberi pakan kontrol menyebabkan peningkatan persentase telur terapung dan larva normal. Hasil yang sama baiknya juga diperoleh bila minyak hati cumi-cumi dalam pakan kontrol diganti dengan 2,5 % lipida polar krill atau 2,5 % lipida non polar krill.

Bagaimanapun, tepung udang krill yang telah dikurangi lemaknya ataupun fraksi tepung cumi-cumi yang larut-lemak tidak memberikan efek positif bagi mutu telur. Dengan demikian keunggulan tepung cumi-cumi dibandingkan dengan tepung ikan white fish sebagai sumber protein bagi induk ikan seabream telah dapat dibuktikan lagi. Komponen-komponen efektif dalam udang krill mentah, yang membantu reproduksi ikan seabream, diduga adalah fraksi lipida polar dan non polar. Selain itu, vitamin E juga terbukti memberikan efisiensi yang sama dalam memperbaiki mutu telur ikan.

Baca juga
Pemanfaatan Tepung Ikan Sebagai Pakan Ternak dan Makanan Manusia

Tepung Cumi-Cumi Merangsang Pertumbuhan Juvenil Udang Windu

Cruz-Suarez dan Ricque. (1992) memelihara tiga kelompok udang windu Penaeus monodon di Tahiti pada tangki dalam-ruangan dan pada bagian kolam yang dibatasi jaring tanpa-dasar. Udang diberi pakan kontrol atau pakan modifikasi yang bersifat isoenergi (kandungan energi sama) dan isonitrogen (kandungan nitrogen sama) yang diberi tambahan 10 % tepung cumi-cumi sebagai pengganti pekatan protein ikan. Di kolam ini, kelompok udang lainnya tidak diberi pakan. Mortalitas tidak berbeda nyata antar kelompok kecuali untuk udang yang tidak diberi pakan. Pertumbuhan secara nyata dipengaruhi baik oleh penambahan tepung cumi-cumi maupun oleh kondisi pemeliharaan. Udang yang dipelihara dalam kolam tumbuh secara nyata lebih cepat dan memiliki rasio konversi yang lebih baik daripada udang yang dipelihara dalam tangki. Peningkatan pertumbuhan yang disebabkan oleh tepung cumi-cumi adalah 44,5 % dan 34,6 % dalam kolam dan tangki, berturut-turut. Udang yang tidak diberi pakan di kolam tidak tumbuh tetapi tidak kehilangan bobot badannya, mungkin karena mereka memakan pakan alami. Hasil-hasil ini menunjukkan adanya efek perangsangan pertumbuhan pada tepung cumi-cumi dan membuktikan bahwa efek tersebut ada bahkan pada kondisi di mana pakan alami tersedia

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...