Senin, 27 Februari 2012

Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Arsip Cofa No. B 007


Kemampuan Ikan Untuk Beradaptasi Terhadap Perubahan Salinitas

Perairan tawar merupakan medium yang sangat encer dengan konsentrasi garam (0,001 – 0,005 gram mol per liter (M)) jauh di bawah konsentrasi garam darah ikan-ikan air tawar (0,2 – 0,3 M). Air dengan demikian cenderung memasuki tubuh ikan secara osmotik dan garam hilang melalui difusi ke luar tubuh. Meski permukaan tubuhnya ditutupi sisik dan lendir hingga hampir secara total tidak dapat ditembus air, namun pemasukan air dan kehilangan garam dapat terjadi melalui membran insang yang tipis. Kondisi yang sebaliknya terjadi pada ikan laut. Karena memiliki konsentrasi garam darah yang jauh lebih rendah (0,3 – 0,4 M) daripada air laut di sekelilingnya (sekitar 1 M), mereka cenderung kehilangan air dan kemasukan garam (Hickman and Hickman, 1974).

Hickman and Hickman (1974) menyatakan bahwa kebanyakan ikan bertulang sejati terbatas pada habitat air tawar atau air laut. Bagaimanapun, ada kira-kira 10% dari semua teleostei yang dapat berpindah-pindah dengan mudah di antara kedua habitat tersebut. Contohnya adalah ikan euryhalin (bahasa Latin : eury, lebar + hals, garam), yang pastilah memiliki mekanisme pengaturan osmosis yang sangat adaptif, seperti salmon, steelhead trout, banyak jenis ikan sebelah dan sculpin, killifish, stickleback dan sidat. Ikan yang hanya dapat mentolerir kisaran kadar garam yang sangat sempit disebut stenohalin (Latin : steno, sempit + hals, garam). Kelompok terakhir ini mencakup sebagian besar ikan air tawar dan ikan laut .

Menurut Black (1957) kemampuan ikan air tawar stenohalin untuk bertahan hidup dalam larutan garam tergantung pada histologi insang, luas permukaan insang, laju konsumsi oksigen, toleransi jaringan terhadap garam, dan pengendalian permeabilitas. Pengendalian permeabilitas bisa disebabkan oleh reaksi neurosekresi (hormon) terhadap lingkungan baru, dan bisa juga disebabkan oleh efek langsung terhadap sel-sel permukaan.

Beberapa spesies ikan air tawar peka terhadap perubahan salinitas yang mendadak. Ikan yang baru menetas bisa terbunuh oleh ketidak-seimbangan osmotik bila ia tiba-tiba dipindahkan dari salinitas 1.000 mg/liter ke 50 mg/liter. Ikan dewasa biasanya lebih toleran terhadap perubahan salinitas (Boyd, 1982).

Baca juga
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Adaptasi Terhadap Perubahan Salinitas Pada Ikan Teleostei

Black (1957) menyatakan bahwa ikan eurihalin dapat mentolerir kisaran salinitas di perairan . Meskipun beberapa spesies seperti ini tampaknya tidak mempunyai alasan dalam pergerakannya, spesies lain melakukan migrasi pemijahan singkat, biasanya ke perairan tawar atau payau. Berdasarkan hasil pengamatannya, Gunter pada tahun 1942 menyimpulkan bahwa untuk setiap ikan air tawar yang ditangkap di laut di Amerika Utara, ada sembilan spesies ikan laut yang ditangkap di perairan tawar. Tampaknya lebih mudah bagi ikan untuk menyesuaikan dirinya dengan kelebihan air daripada menyesuaikan diri dengan kelebihan garam.

Dua genus ikan yang paling sering diteliti dalam rangka mempelajari anatomi dan fisiologi ikan eurihain adalah Gasterosteus dan Fundulus. Hal yang menarik dari kedua genus ini (dan juga pada ikan Pleuronectes) adalah bahwa setiap spesies berbeda dalam hal kemampuannya beradaptasi. Fundulus diaphanus dan Gasterosteus (atau Pygosteus) pungitius kurang mampu mentolerir air laut dibandingkan Fundulus heteroclitus dan Gasterosteus aculeatus.

Pada semua kasus di mana pengukuran dilakukan terhadap ikan yang berhasil dipindahkan ke lingkungan yang lebih pekat, akan terjadi secara sementara kehilangan berat (air) dan peningkatan konsentrasi garam. Tetapi penyesuaian fisiologis yang diperlukan berlangsung dalam waktu 48 jam dan berat serta konsentrasi kembali normal. Bila, sebaliknya ikan bermigrasi dari laut ke perairan tawar maka mereka akan memperoleh air dan kehilangan garam serta harus menyesuaikan diri dengan peningkatan aliran urin dan penahanan garam di dalam tubuh.

Struktur yang memungkinkan penyesuaian terhadap perubahan salinitas bisa didaftar sebagai berikut :

(1) Permeabilitas permukaan tubuh. Pada migrasi yang berhasil ke atau dari lingkungan yang lebih pekat, rendahnya permeabilitas permukaan tubuh terhadap air (dan garam) merupakan modal yang besar. Sebaliknya, permukaan yang permeabel seperti insang bisa menjadi modal bila membantu penyesuaian terhadap medium baru. Sebagai contoh, individu kecil dari suatu spesies (dengan kepala lebih panjang daripada panjang total) bertahan hidup lebih baik selama pengenceran daripada individu berukuran besar, karena permukaan insang yang lebih luas membantu ikan selama terjadinya stres pernafasan sementara yang disebabkan oleh pengenceran.

(2) Aktivitas ginjal. Ikan yang memasuki perairan tawar harus meningkatkan filtrat glomerular dan aliran urin untuk membuang air yang masuk melintasi permukaan tubuh. Penyerapan-kembali garam oleh tubula ginjal penting di perairan tawar. Ketika memasuki laut, ekskresi urin secara otomatis berkurang karena cairan tubuh menjadi lebih pekat akibat kehilangan air secara osmotik. Ada tidaknya “distal convoluted tubule (tubula menggulung distal)” pada ikan eurihalin dianggap sebagai petunjuk asal medium spesies baru, tetapi tampaknya tidak menjadi faktor pembatas dalam penyesuaian. Bahkan glomerulus tampaknya tidak penting bagi ikan di perairan tawar, karena ikan piperfish dan toadfish aglomerular (tanpa glomerulus) ditemukan di estuaria dan sungai.

(3) Insang. Penelitian yang menarik dan berguna telah dilakukan terhadap sitologi insang di laboratorium. Pada Fundulus tipe sel yang sama bisa bertanggung jawab atas ekskresi dan penyerapan klorida dalam perairan laut dan tawar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel klorida ikan Fundulus heteroclitus beradaptasi lebih cepat terhadap air tawar (4 jam) daripada terhadap air laut (7 – 9 jam). Sel klorida digambarkan sebagai “sel asidofilik berbentuk tiang yang ditemukan dalam filamen insang dan terpusat pada sisi filamen yang dipasok oleh darah aferen”. Ketika mengekskresi klorida, sebuah gelembung eksretori muncul pada ujung bebas sel ini. Telah ditunjukkan bahwa aktivitas sel ini ditentukan oleh konsentrasi lingkungan internal. Bukti untuk fungsi sel di perairan tawar didasarkan pada peningkatan aktivitas fosfatase sel ini. Hasil serupa akan diperoleh ketika mengamati sel-sel insang ikan sidat (Anguiila rostrata). Bagaimanapun, celah seluler pengekskresi klorida pada sel insang sidat tidak hilang ketika ikan ini dipindah ke air laut. Perubahan sitologis dari laut ke perairan tawar terjadi dalam waktu 15 jam pada sidat.

Pusat pengendalian perubahan aktivitas struktur ini dan pengendalian tingkah laku, seperti aktivitas minum air laut, tetapi tidak minum air tawar, belum dapat ditentukan. Pengendalian oleh saraf diduga terlibat, dan aktivitas hormonal telah diteliti. Tiroid aktif (seperti selama migrasi dan pemijahan) mengganggu pengaturan osmotik pada ikan stickleback dan sidat. Sidat dewasa yang telah dibuang hipofisanya dapat mentolerir air laut dan air tawar dengan sama baiknya. Fundulus heteroclitus, sebaliknya, tidak dapat bertahan hidup di dalam air tawar atau air laut encer setelah hipofisektomi (pembuangan hipofisa). Pengamatan terhadap ikan ini menunjukkan terjadinya pembentukan batu ginjal. Telah ditunjukkan bahwa hipofisektomi pada ikan Fundulus heteroclitus menyebabkan atrofi (kondisi jaringan yang tak tumbuh normal) pada sel lendir insang tetapi tidak mempengaruhi sel-sel klorida.

Di alam, perubahan salinitas biasanya perlahan dan ikan bisa mengatur kecepatan perpindahan. Pada kebanyakan prosedur percobaan, bagaimanapun, ikan terkena stres akibat tajamnya perubahan salinitas, penanganan, dll.

Pengaruh Pemindahan Dari Perairan Tawar Ke Laut Terhadap Laju Makan, Pertumbuhan dan Osmoregulasi Ikan

Sebuah studi telah dilakukan oleh Arnesen et al. (1993) dengan tujuan menentukan perubahan musiman toleransi terhadap air laut dan pertumbuhan ikan anadromus Arctic charr (Salvelinus alpinus L.) yang dipelihara pada suhu yang sama (8°C) selama musim dingin dan musim panas. Ikan charr (panjang 20–27 cm), yang sebelumnya dipelihara di air tawar dengan fotoperiod alami, dipindahkan secara langsung (“pindah langsung”, PL) dari air tawar ke air laut (35 ppt), dari air tawar ke air payau (20 ppt), atau diadaptasikan secara bertahap (“adaptasi bertahap”, AB) ke air laut selama periode 10 hari. Ikan kontrol dipelihara dalam air tawar. Laju makan dan kemampuan osmoregulasi dipantau pada ketiga kesempatan ini selama 59 hari. Dua percobaan telah dilakukan, satu selama musim dingin (Desember – Januari) dan yang lain selama musim panas (Juni – Juli).

Pada kedua percobaan ini Arnesen et al. (1993) mengamati bahwa kematian ikan adalah rendah. Osmolalitas plasma yang dilaporkan pada ikan yang dipindahkan ke air laut ada dalam kisaran normal, tetapi osmolalitas pada hari ke-10, secara nyata lebih rendah pada musim panas (313 mOsm/kg (PL), 328 mOsm/kg (AB)) dibandingkan pada musim dingin (323 mOsm/kg (PL), 352 mOsm/kg (AB)). Pada musim dingin, laju makan dan pertumbuhan adalah tinggi pada ikan yang dipelihara di air tawar dan air payau, tetapi ikan charr yang dipindahkan langsung ke air laut laju makannya rendah dan bobot badannya menyusut. Ikan yang diadaptasikan secara bertahap terhadap air laut menempati posisi pertengahan. Selama musim panas, perbedaan laju makan yang terlihat adalah kecil dan semua ikan memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.

Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan Arctic charr menunjukkan perubahan musiman dalam hal laju makan dan pertumbuhan yang sejajar dengan perubahan musiman kapasitas hipoosmoregulasi. Kemampuan untuk bertahan hidup dan melakukan hipoosmoregulasi dalam lingkungan air laut-penuh, bagaimanapun, tampaknya tidak bisa menjadi indikator yang baik bagi keberhasilan adaptasi terhadap air laut dalam hubungannya dengan kemampuan mencapai laju makan dan pertumbuhan yang tinggi. Selama musim dingin, pemindahan ke air laut secara bertahap tampaknya bisa memperbaiki laju makan dan pertumbuhan bila dibandingkan dengan pemindahan secara langsung (Arnesen et al., 1993).

Baca juga
Pengaruh Salinitas Terhadap Udang Windu (Penaeus monodon)

Kemampuan Ikan-Ikan Laut Untuk Memasuki Perairan Tawar

Beberapa peneliti (lihat Black, 1957) mengamati ikan-ikan yang dipindahkan ke medium yang berbeda salinitasnya. Pemindahan eksperimental ikan elasmobranchii laut ke perairan tawar jarang berhasil, meskipun mereka kadang-kadang ditemukan secara alami di sungai-sungai berair tawar. Beberapa spesies bertahan hidup selama jangka waku yang tak dapat ditentukan di dalam air laut encer, dan menunjukkan peningkatan tajam aliran urin. Ikan Pleuronectes (=Platichthys) flesus dapat beradaptasi terhadap air laut encer lebih baik dibandingkan Pleuronectes platessa. Dalam hal ini P. flesus berhenti minum, meningkatkan ekskresi urin dan menahan garam di dalam tubuh. P. flesus dapat menyerap ion-ion dari air tawar dan hanya kehilangan sejumlah kecil garam melalui kulitnya.

Dua spesies ikan aglomerular (tidak memiliki glomerulus) diketahui sering memasuki perairan pasang atau perairan tawar. Hasil-hasil pengamatan sebagaimana yang disebutkan oleh Black (1957) menunjukkan bahwa toadfish (Opsanus tau) memasuki Teluk Chesapeake sedangkan sejenis ikan pipa air tawar, Microphis boaja, memijah di sungai-sungai tropis. Kedua ikan ini tampaknya dapat melakukan penyesuaian osmotik tanpa memerlukan glomerulus.

Black (1957) melaporkan penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa keberadaan garam-garam kalsium dalam air tawar akan meningkatkan secara tajam kelangsungan hidup binatang laut dan eurihalin di dalam medium ini. Hal ini disebabkan kalsium menurunkan permeabilitas sel, baik terhadap garam maupun air. Konsentrasi garam yang lebih tinggi daripada air laut bersifat letal bagi ikan teleostei laut bila kapasitas insang untuk mensekresi garam terlampaui dan garam tertimbun di dalam jaringan ini.

Baca juga
Komponen Kimia Air Laut

Aklimasi Eksperimental Terhadap Air Tawar Pada Ikan Belanak

Chervinski (1975) mempelajari daya adaptasi ikan belanak abu-abu Liza aurata terhadap berbagai konsentrasi garam. Ikan muda belanak abu-abu (panjang total 20 – 40 mm) dikenai perubahan salinitas, secara mendadak dan bertahap, dari air laut ke air tawar. Pada ikan ini, kematian tidak terjadi akibat penurunan salinitas, bahkan pada saat perubahan mendadak dari 100% air laut (salinitas 39 ppt) ke 10% air laut (salinitas 3,9 ppt). Namun, semua ikan mati akibat penurunan salinitas yang mendadak dari 100% air laut ke 100% air tawar (salinitas 0,4 ppt). Dengan penurunan salinitas perlahan-lahan hingga mencapai 10% air tawar (salinitas 0,4 ppt) semua ikan bertahan hidup. Pengamatan menunjukkan bahwa Ikan Liza aurata muda (70 - 80 mm) mengalami pertumbuhan di kolam air tawar.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Stres dan Mortalitas Ikan Laut Akibat Pemindahan Dari Air Laut Ke Air Tawar

Tiga puluh lima ikan American shad (Alosa sapidissima) telah dipindahkan dengan cepat (2,5 jam) dari air asin ke air tawar. Perubahan konsentrasi komponen darah yang aktif secara osmotik dan mortalitas ikan telah diamati selama dan setelah pemindahan ini. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan 20 ikan shad yang dipelihara dalam air asin pada kondisi yang sama dan dengan 44 ikan shad yang baru ditangkap dari laut dan dari perairan tawar (40 km dari pertemuan air laut – air tawar). Konsentrasi natrium dan klorida dalam darah kelompok ikan yang dipindah menurun tajam selama dan setelah pemindahan. Konsentrasi kalsium, glukosa dan asam laktat meningkat, sedangkan konsentrasi kalium dan magnesium tetap stabil. Ikan shad yang dipindah banyak yang mati mulai jam ke-5 setelah salinitas mulai berkurang. Tidak ada yang mati pada kelompok ikan yang dipelihara di air asin. Disimpulkan bahwa perilaku renang berbelok-belok yang ditunjukkan ikan shad dewasa di daerah pertemuan air asin – air tawar selama migrasi musim semi di Sungai Connecticut merupakan respon perilaku untuk memperlambat peralihan dari lingkungan air asin ke air tawar, sehingga bisa meminimkan stres fisiologis dan/atau untuk memungkinkan pemulihan sepenuhnya dari stres ini sebelum melanjutkan migrasi ke hulu sungai (Leggett and O'Boyule, 1976).

Pengaruh Perubahan Salinitas Terhadap Osmoregulasi dan Morfologi Sel Klorida Pada Juvenil Ikan Kakap

Pengaruh pemindahan-cepat juvenil ikan Australian snapper, Pagrus auratus, dari lingkungan air laut (30‰) ke lingkungan hiperosmotik pekat (45‰) dan hiperosmotik encer (15‰) terhadap osmolalitas serum, konsentrasi Na+, K+, Cl- dalam serum, hematokrit darah dan morfologi sel klorida insang telah diamati oleh Fielder et al. (2007) selama 168 jam setelah pemindahan tersebut. Osmolallitas serum, konsentrasi Na+, K+, Cl- meningkat setelah 24 jam di dalam lingkungan bersalinitas 45‰. Sebaliknya, setelah 24 jam di dalam media bersalinitas 15‰, konsentrasi K+ tidak berubah tetapi osmolalitas serum, konsentrasi Na+ dan Cl- berkurang. Perubahan kimia serum bersifat sementara dan kembali ke nilai-nilai awal setelah 168 jam di dalam lingkungan bersalinitas 45‰ dan 15‰. Pemindahan dari lingkungan bersalinitas 30‰ ke 45‰ dan 15‰ tidak mempengaruhi hematokrit darah (hematocrit = perbandingan volume sel darah merah dengan volume total darah).

Sel klorida insang ditemukan baik pada epitelia filamen maupun epitelia lamelar pada semua perlakuan salinitas. Identifikasi sel klorida dilakukan dengan teknik pewarnaan imunositokimia dengan menggunakan antiserum khusus untuk Na+, K+-ATPase. Pada media bersalinitas 45‰, jumlah sel klorida filamen dan lamelar tidak berubah, tetapi sel klorida filamen lebih melimpah daripada sel klorida lamelar. Sebaliknya, sel klorida filamen meningkat ukurannya setelah 72 jam dan pada jam ke-168 setelah pemindahan dari 30‰ ukurannya menjadi 1,4 kali lebih besar daripada ukuran awal. Pada media bersalinitas 15‰, jumlah sel klorida filamen serta ukuran sel klorida filamen maupun sel klorida lamelar berkurang setelah 72 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan snapper dapat berosmoregulasi pada kisaran salinitas yang lebar dan membuktikan bahwa baik sel klorida filamen maupun sel klorida lamelar bertangung jawab atas ekskresi garam yang berlebihan pada lingkungan hiperosmotik. Kemampuan ikan snapper untuk beradaptasi dengan cepat dan mempertahankan homeostasis (keseimbangan) dalam kisaran salinitas yang lebar mendukung fakta bahwa ikan snapper merupakan spesies yang cocok untuk budidaya kolam berbasis-darat, di mana salinitas dapat berfluktuasi dengan cepat (Fielder et al., 2007).

Baca juga
Perubahan Kadar Asam Amino Akibat Perubahan Salinitas Lingkungan

Adaptasi Terhadap Salinitas Selama Migrasi Pada Ikan Salmon

Smith (1982) menyatakan bahwa perbedaan utama antara “smolting migration” (migrasi atau ruaya ke arah hilir sungai yang bersamaan dengan perkembangan larva salmon menjadi smolt) dan migrasi pemijahan adalah bahwa migrasi pemijahan mungkin merupakan akhir bagi individu banyak spesies. Sedangkan migrasi ke hilir menjamin kelangsungan hidup kebanyakan individu. Respon terhadap stres karena migrasi ke hilir tidak seberapa besar dibandingkan dengan arti penting kelangsungan hidup ikan, sebaliknya bila ruaya ini tidak dilakukan maka tidak akan ada ruaya pemijahan. Karena ikan raibow trout memerlukan tiga atau empat hari untuk beradaptasi di dalam salinitas yang perlahan-pelahan meningkat sebelum mereka dapat bertahan hidup di dalam air laut murni, maka diduga bahwa ikan salmonidae peruaya memerlukan periode peralihan. Hal ini tidak terjadi di alam, kecuali bila estuarianya memanjang sehingga perubahan salinitas berlangsung secara perlahan-lahan. Ini bukanlah persyaratan fisiologis. Perubahan salinitas secara mendadak tidak menyebabkan kematian ikan yang siap menghadapi perubahan seperti ini.

Lebih lanjut, Smith (1982) menambahkan bahwa perilaku menyukai air laut (yang disebabkan oleh hormon tiroksin) menjaga ikan agar tetap menjalankan pola osmoregulai air laut dan mencegah ikan untuk kembali ke perairan tawar apabila ada perairan tawar di estuaria. Arti penting kesukaan terhadap air laut ini terlihat di dalam laboratorium : toleransi terhadap air tawar yang ditunjukkan oleh smolt ikan chinook salmon di dalam air laut baru menghilang hampir sebulan sesudah mereka memasuki laut. Mereka masih bertahan hidup bila dikembalikan ke air tawar murni 8 sampai 10 hari sesudah hidup di dalam air laut. Mereka memiliki kemampuan penuh untuk bertahan hidup di dalam air tawar, bila mereka menghendakinya. Pada kasus lain dalam pengamatan laboratorium, smolt ikan coho salmon menghabiskan waktu hampir sebulan di dalam air laut dan kemudian bertahan hidup dengan baik ketika dikembalikan ke air tawar. Sebaliknya, seekor ikan coho dewasa yang sudah ada di dalam air tawar selama tidak lebih dari tiga hari dan kemudian dikembalikan ke air laut ternyata mati dalam waktu semalam, mungkin akibat dehidrasi. Jadi smolt ikan salmon tampaknya jauh lebih tahan dan lebih kurang menderita stres selama migrasinya dibandingkan ikan dewasa. (Catatan : smolt adalah ikan trout atau salmon muda yang bermigrasi ke laut untuk pertama kalinya).

Pengaturan Daya Apung Pada Ikan Stickleback Sebagai Respon Terhadap Perubahan Salinitas Air

Gee dan Holst (1992) melaporkan bahwa ikan stickleback Culaea inconstans dan Pungitius pungitius mempertahankan keseimbangan daya apung dalam percobaan laboratorium dengan mengubah volume gelembung renang bila dimasukkan ke dalam air bersalinitas 0 sampai 22,5 ppt. Dengan membiarkan ikan Culaea inconstans di dalam larutan Percoll yang densitas airnya bisa dinaikkan tetapi tekanan osmotiknya sama seperti air tawar, kedua peneliti tersebut membuktikan bahwa spesies ini menyesuaikan daya apungnya sebagai respon terhadap perubahan densitas air. Bila Culaea inconstans dipindahkan secara mendadak dari air tawar ke air payau (salinitas 10 ppt) maka kesimbangan daya apungnya tidak tercapai hingga 96 jam kemudian. Selama periode penyesuaian gelembung renang ini, gaya hidrodinamik dimanfaatkan untuk memberikan daya angkat yang dibutuhkan. Kedua spesies ikan ini menghadapi perubahan salinitas di alam, dan kemampuan untuk berespon terhadap perubahan seperti ini sangat penting bagi keberhasilan adaptasi.

Kerusakan Patologis Jaringan Otot Ikan Akibat Gangguan Keseimbangan Garam-Air

Kuz’mina et al. (1992) melaporkan kerusakan patologis jaringan otot pada ikan sturgeon Rusia (Acipenser gueldenstaedti), sterlet (Acipenser ruthenus) dan stellata sturgeon (Acipenser stellatus) disertai oleh gangguan pertukaran air dan elektrolit di dalam jaringan otot itu : penurunan kandungan air total, peningkatan proporsi cairan ekstraselular dan perubahan kandungan elektrolit. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan sifat-sifat materi interseluler. Serum darah menunjukkan peningkatan yang jelas dalam hal konsetrasi kalsium yang diyakini merupakan reaksi kompensasi ikan ini untuk menormalkan fungsi jaringan otot dan jaringan lainnya.

Aklimasi Ikan Laut Terhadap Salinitas Rendah

Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa di antara ikan-ikan laut bertulang keras, seperti halnya ikan air tawar bertulang keras, ada beberapa spesies yang lebih bersifat – dan yang lainnya kurang bersifat – stenohalin. Penyesuaian terhadap konsentrasi garam yang lebih tinggi dan lebih rendah bisa dilakukan. Ikan belodok (Periophthalmus) sering ditemukan di dalam genangan air pasang surut terisolasi bersalinitas 4,5 persen; dan banyak spesies ikan laut bisa perlahan-lahan menyesuaikan diri untuk hidup di perairan payau bahkan di perairan yang hampir tawar. Pemindahan langsung dari salinitas 3,5 persen ke 0 persen sering berbahaya bahkan bagi spesies yang toleran misalnya ikan bandeng (Chanos chanos). Satu faktor penting pada ikan laut dalam penyesuaian terhadap salinitas yang diturunkan adalah keberadaan ion-ion kalsium berkonsentrasi tinggi. Karena kalsium mengurangi permeabilitas sel terhadap garam dan air, maka ikan Halichoeres bivittatus, seperti halnya ikan wrasse penghuni terumbu karang (famili labridae), bisa tetap sehat dan makan di dalam campuran larutan kurang dari 1/10 air asin dan 9/10 air tawar yang disaring melalui pasir karang berkapur.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 20 Februari 2012

Pemberitahuan

Sebelum memenuhi permintaan Saudara, kami mohon donasi seikhlasnya. Sekecil apapun donasinya akan kami hargai dan akan digunakan untuk mengembangkan blog ini. Kami menunggu konfirmasi dari Saudara ke alamat email arsipcofa@gmail.com

Donasi bisa ditransfer ke nomor rekening : 0470781041 ; BCA Tegal, atas nama Yuli Astuti

Terima kasih.

Dampak Negatif Amonia Tak-Terionisasi Bagi Ikan

Arsip Cofa No. B 006

Meskipun mekanisme daya racun amonia belum dapat dijelaskan seluruhnya, sejumlah efek fisiologis dan histologis akibat tingginya konsentrasi amonia telah dapat diidentifikasi. Efek-efek ini mencakup: penurunan kemampuan organisme air untuk mengekskresi amonia, peningkatan kadar amonia dalam jaringan dan cairan tubuh, peningkatan pH darah, gangguan sistem enzim dan stabilitas membran, kerusakan insang, kerusakan jaringan berbagai organ dalam. Mortalitas jarang terjadi, tetapi pada banyak kasus, daya racun amonia tercermin dalam makin rentannya ikan terhadap penyakit dan penurunan pertumbuhan (Boyd, 1999).

Daya racun amonia bagi organisme air telah lama dilaporkan dan pada prinsipnya ditimbulkan oleh bentuk amonia tak terionisasi dan bisa menyebabkan penurunan laju pertumbuhan, kesulitan bernafas dan kematian. Kematian massal ikan mujair terjadi bila konsentrasi amonia tak-terionisasi melebihi 2 mg/liter. Pemaparan berkepanjangan (beberapa minggu) terhadap amonia tak-terionisasi berkonsentrasi lebih dari 1 mg/liter menyebabkan kematian terutama anak ikan bila konsentrasi oksigen terlarut rendah. Pembusukan insang mungkin berkaitan dengan tingginya amonia dan rendahnya oksigen terlarut (Abdelaziz and Zaki, 2010).

Baca juga Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri


Boyd (1982) mendaftar pengaruh amonia terhadap ikan : penurunan eksresi amonia, peningkatan pH darah, gangguan terhadap reaksi yang dikatalisis enzim, gangguan kestabilan membran, peningkatan permeabilitas tubuh terhadap air dan penurunan konsentrasi ion internal. Amonia juga meningkatkan konsumsi oksigen jaringan, merusak insang dan menurunkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. Perubahan histologis terjadi di dalam ginjal, limfa, jaringan tiroid dan darah pada ikan yang terkena amonia dengan konsentrasi subletal.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Menurut Smith (1982) amonia mempengaruhi ikan salmonidae pada kosentrasi mulai sekitar 2 ppm dan membunuh beberapa ikan ketika mencapai 15 ppm. Pengaruh yang paling nyata pada ikan trout adalah peningkatan permeabilitas total, karena laju urin meningkat tajam dan jaringan seperti kulit dan insang menjadi bengkak penuh air.

Lloyd and Orr (1969) menyatakan bahwa laju ekskresi urin pada ikan rainbow trout meningkat dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak-terionisasi di lingkungan sekitar. Diduga bahwa diuresis (peningkatan produksi urin) ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas ikan terhadap air. Pengukuran kuantitatf terhadap laju ekskresi urin menunjukkan bahwa konsentrasi amonia tak-terionisasi di bawah 12 % dari nilai ambang batas letal mungkin tidak menimbulkan efek beracun. Diduga bahwa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keseimbangan air pada ikan mungkin juga mempengaruhi kerentanannya terhadap daya racun amonia. Pemaparan ikan rainbow trout terhadap amonia berkonsentrasi sub letal menyebabkan laju urin meningkat cukup banyak, dan diduga bahwa hal in disebabkan oleh peningkatan permeabilitas ikan terhadap air.

Baca juga Daya Racun Amonia Bagi Udang Windu Penaeus monodon Juvenil dan Dewasa


Ketika ikan rainbow trout dikenai amonia-lingkungan yang konsentrasinya makin tinggi, mereka mengekskresi makin sedikit amonia nitrogen dan sisa-sisa nitrogen total. Amonia-nitrogen, urea-nitrogen dan protein-nitrogen menyusun rata-rata 94% dari total nitrogen yang diekskresi ikan trout. Laju ekskresi urea dan protein oleh ikan trout tetap konstan untuk semua kisaran konsentrasi amonia yang diuji. Ikan trout yang diaklimasikan terhadap 5 mikrogram amonia per liter tidak menunjukkan peningkatan ekskresi urea bila dibandingkan dengan ikan yang diaklimasikan terhadap 0,5 mikrogram amonia per liter. Ikan mas koki yang dikenai amonia-lingkungan pada konsentrasi yang makin tinggi menunjukkan peningkatan laju ekskresi urea (Olson and Fromm, 1971).

Pengaruh volume air dan amonia-lingkungan telah diamati oleh Guerin-Ancey (1976) pada ikan muda yang diaklimasikan terhadap suhu 16, 18 dan 20 oC. Ikan bass (Dicentrarchus labrax) mengeksresi lebih sedikit amonia nitrogen ketika konsentrasi amonia-lingkungan meningkat dan ketika volume air berkurang. Ikan yang dikenai amonia-lingkungan dengan konsentrasi makin tinggi menunjukkan peningkatan laju ekskresi urea. Keracunan amonia terjadi pada konsentrasi 10 mg per liter.

Penimbunan amonia hasil ekskresi pada konsentrasi melebihi 10 mg/liter pada suhu 10 - 30 oC dan pH 7,8 - 8,6 menyebabkan perubahan metabolisme gas pada anak ikan karper, yakni, penurunan penyerapan oksigen dan peningkatan laju pembuangan karbon dioksida, yang bersesuaian dengan peningkatan nilai koefisien respirasi menjadi satu atau lebih. Pada kondisi ini, laju pembuangan amonia jatuh menjadi setengah atau sepertiga dari nilai kontrol, dan koefisien amonia berubah (Kovalenko and Kotsar, 1992).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 16 Februari 2012

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

Arsip Cofa No. B 005

MacIntyre et al. (2008) membuat daftar faktor-faktor yang mempengaruhi daya racun amonia bagi ikan sebagai berikut :

1. Oksigen terlarut (DO). Banyak peneliti mengamati bahwa daya racun amonia meningkat dengan menurunnya konsentrasi DO dan bahwa toleransi terhadap amonia menurun dengan menurunnya DO. Nilai LC50-96 jam untuk daya racun amonia pada rainbow trout turun sekitar 30 % pada kisaran konsentrasi DO 8,5 dan 5 mg/liter. Konsentrasi DO minimum disarankan 5 mg/liter.

2. pH. pH air mempengaruhi daya racun amonia dengan mengubah rasio distribusi bentuk amonia total. Peningkatan pH menyebabkan peningkatan fraksi amonia tak terionisasi. Bagaimanapun, terlepas dari efek pH terhadap keseimbangan spesies amonia, nilai LC50-96 jam akan menurun dengan menurunnya pH pada kisaran 9 sampai 6,5. Karena pH rendah dianggap tidak beracun, maka adalah mungkin bahwa efek racun disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi ion amonium (NH4+).

Baca juga Dampak Negatif Amonia Tak Terionisasi Bagi Ikan


3. Suhu. Pengaruh suhu terhadap daya racun amonia adalah tidak jelas, terlepas dari pengaruh suhu terhadap distribusi bentuk-bentuk amonia. Bagaimanapun, beberapa studi menunjukkan hasil yang sebaliknya atau bahkan suhu tidak memberikan pengaruh.

4. Aklimasi. Ada beberapa bukti bahwa pemaparan-pendahuluan rainbow trout terhadap amonia pada kadar subletal akan meningkatkan toleransi ikan tersebut terhadap amonia.

5. Fluktuasi konsentrasi amonia. Telah lama diketahui bahwa dalam sistem budidaya, konsentrasi amonia lingkungan berfluktuasi tiap jam akibat variasi tingkat eksresi amonia. Telah dilaporkan bahwa ikan uji lebih sanggup mentolerir amonia berkonsentrasi konstan daripada amonia yang konsentrasinya berfluktuasi.

Baca juga Variasi Daya Racun Amonia


6. Gerak badan (exercise). Banyak peneliti melaporkan bahwa aktivitas renang meningkatkan daya racun amonia pada rainbow trout dan bahwa peningkatan konsentrasi amonia lingkungan akan menurunkan kemampuan renang. Nilai LC50-96 adalah 32 mg/liter total amonia nitrogen (sekitar 0,08 mg/liter NH3-N) untuk ikan yang melakukan gerak badan, dan 207 mg/liter total amonia nitrogen (0,52 mg/liter NH3-N) untuk ikan yang beristirahat. Gambaran ini lebih rendah daripada nilai-nilai LC50-96 jam lainnya.


7. Makan/puasa. Dalam kondisi budidaya ikan, sumber primer amonia adalah metabolisme ikan. Jadi, aktivitas makan pastilah berdampak pada kadar amonia. Juga ada bukti bahwa aktivitas makan mempengaruhi daya racun amonia – ikan yang makan adalah kurang peka terhadap amonia lingkungan daripada ikan yang tidak makan. Hal ini diduga disebabkan oleh sistem penetralan racun yang lebih efisien pada ikan yang makan. Dilaporkan bahwa ikan yang makan dapat mentolerir kadar amonia dalam plasma darah pada konsentrasi yang di lingkungan bersifat letal, yang diduga disebabkan aktivitas sistem penetralan racun amonia.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


8. Stres. Ada beberapa bukti bahwa stres meningkatkan daya racun amonia pada ikan, tetapi hal ini tidak dapat disimpulkan. Diduga bahwa ikan yang berulang-ulang mengalami stres akan memperbaiki sistem penetralan racun amonia.

9. Kekuatan ionik air. Kekuatan ionik air (diukur berdasarkan padatan terlarut) mempengaruhi keseimbangan dua bentuk amonia, walaupun pada kisaran yang lebih kecil daripada pH dan suhu. Dalam perairan tawar, daya racun amonia meningkat akibat makin besarnya perbedaan antara kekuatan ionik air dengan kekuatan ionik darah ikan, yang secara kasar nilainya sepertiga kekuatan air laut.

Baca juga Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia


10. Tahap hidup dan ukuran. Toleransi terhadap daya racun amonia meningkat, ketika ikan berkembang dari tahap larva, sampai menjadi toleransi maksimum, ketika ikan mencapai tahap juvenil/muda (sekitar 1-4 gram), yang selanjutnya toleransi terhadap amonia berkurang. Toleransi rainbow trout adalah 50 kali lebih besar pada ikan yang tidak menyerap kuning telur seluruhnya dibandingkan pada ikan trout dewasa.

Boyd (1982) menambahkan bahwa gas karbon dioksida yang terlarut dalam air juga mempengaruhi daya racun amonia. Daya racun amonia berkurang dengan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida.

Baca juga Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Daya Racun Amonia

Daya racun amonia juga dipengaruhi oleh kesadahan air. Ankley et al. (1995) meneliti pengaruh pH dan kesadahan terhadap daya racun amonia bagi amfipoda. Pendedahan Hyalella azteca terhadap amonia dilakukan selama 96 jam dengan kesadahan air 42, 100, dan 270 mg/liter CaCO3 serta pH sekitar 6.5, 7.5, dan 8.5. Dalam air berkesadahan rendah, daya racun total amonia adalah konstan sepanjang uji pH. Ketika kesadahan air naik, daya racun amonia (pada basis total) terhadap amfipoda menurun dan menjadi lebih tergantung pada pH. Data penelitian menunjukkan bahwa pada air berkesadahan lebih rendah amfipoda sangat peka terhadap bentuk amonia terionisasi (NH4+). Hal ini bertentangan dengan kebanyakan spesies lain yang telah diuji, yang secara khas lebih peka terhadap amonia tak terionisasi (NH3) daripada terhadap NH4+. Data ini menyediakan landasan penting untuk menafsirkan kemungkinan peranan amonia dalam mempengaruhi daya racun sedimen bagi H. azteca dan juga menunjukkan bahwa pada beberapa situasi NH4+ mungkin lebih penting dalam penentuan daya racun amonia.

Menurut Ip et al. (2001) salinitas mempengaruhi daya racun amonia. Kriteria nasional yang diusulkan EPA untuk perairan asin adalah kriteria konsentrasi kontinyu (nilai kronis) sebesar 0.99 mg N/liter total amonia dan kriteria konsentrasi maksimum (setengah rata-rata nilai akut) sebesar 6.58 mg N/liter total amonia, agak sedikit lebih rendah daripada nilai untuk perairan tawar dengan pH pH 8.0 sebesar 1.27 dan 8.4 mg N/liter total amonia, berturut-turut. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa spesies laut lebih peka terhadap amonia daripada spesies air tawar.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 15 Februari 2012

Aklimasi Meningkatkan Toleransi Ikan Terhadap Daya Racun Amonia

Arsip Cofa No. B 004


Daya racun amonia pada konsentrasi tertentu tergantung pada beberapa faktor. Ikan cenderung meningkatkan toleransinya terhadap amonia ketika diaklimasikan secara perlahan-lahan terhadap peningkatan konsentrasi amonia selama beberapa minggu atau bulan (Boyd, 1999).

Beberapa faktor mengubah daya racun amonia dalam air. Faktor tersebut diantaranya adalah aklimasi (EPA,1986).

Thurston (1980) mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi daya racun amonia bagi ikan. Menurutnya ada bukti bahwa ikan yang pernah mengalami aklimasi terhadap konsentrasi amonia subletal akan lebih dapat bertahan terhadap konsentrasi letal akut, setidaknya selama beberapa periode jam dan mungkin beberapa hari.

Baca juga Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri


Aklimasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya racun amonia. Ada beberapa bukti bahwa pemaparan-pendahuluan ikan rainbow trout terhadap amonia pada kadar subletal akan meningkatkan toleransi ikan tersebut terhadap amonia. Bagaimanapun, tidak ditemukan bukti adanya aklimasi bila konsentrasi amonia yang digunakan selama aklimasi sangat rendah sehingga tidak cukup untuk memicu respon aklimasi. Diduga bahwa aklimasi dapat terjadi akibat pengaturan enzim yang terlibat dalam penetralan daya racun amonia.(MacIntyre, 2008).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Menurut Noga (2010) daya racun amonia bervariasi sesuai dengan kondisi lingkungan (misal, pH, suhu, salinitas, kesadahan air) dan agen penyebab stres lainnya. Pemaparan terhadap amonia pada level subletal juga meningkatkan toleransi terhadap daya racun amonia.

Peranan aklimasi dalam toleransi ikan Tilapia aurea terhadap amonia tak terionisasi secara kronis dan akut telah diteliti oleh Redner dan Stickney (1979). Untuk ikan yang tidak terpapar amonia sebelum uji akut, nilai konsentrasi letal median 48-jam (LC50) adalah 2,40 mg/liter amonia tak terionisasi. Setelah ikan terpapar amonia tak terionisasi pada konsentrasi sub letal (0,43–0,53 mg/liter) selama 35 hari, konsentrasi setinggi 3,4 mg/liter tidak menyebabkan kematian dalam waktu 48 jam. Perubahan histopatologis terjadi pada insang ikan yang terpapar amonia baik dosis akut maupun non letal. Penyumbatan kapiler, pendarahan dan “telangiectasis” merupakan gejala-gejala umum kerusakan insang.

Baca juga Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia


Bioesei daya racun akut di mana ikan dipaparkan terhadap amonia yang konsentrasinya berfluktuasi dengan siklus jangka-pendek telah dilakukan terhadap ikan rainbow trout (Salmo gairdneri) dan pada ikan cutthroat trout (S. clarki). Juga dilakukan uji lain di mana ikan dipaparkan terhadap amonia pada konsentrasi konstan. Lama pengujian berkisar dari 96 jam sampai 4 minggu. Nilai-nilai konsentrasi letal median (LC50) baik untuk konsentrasi amonia rata-rata maupun konsentrasi fluktuasi maksimum telah dibandingkan dengan nilai-nilai LC50 untuk uji konsentrasi konstan (konvensional). Berdasarkan perbandingan hasil pemaparan ikan terhadap dosis total, penelitian menunjukkan bahwa ikan lebih toleran terhadap amonia berkonsentrasi konstan daripada terhadap amonia yang konsentrasinya berfluktuasi. Ikan yang terkena amonia dengan konsentrasi berfluktuasi pada level di bawah nilai toksik akut akan menjadi lebih sanggup bertahan terhadap fluktuasi konsentrasi amonia yang lebih tinggi daripada ikan yang sebelumnya tidak diaklimasikan (Thurston et al., 1981)

Kelangsungan hidup smolt (ikan umur 2-3 tahun) Atlantic salmon yang terpapar amonia pada konsentrasi konstan telah diamati pada kondisi laboratorium. Pada konsentrasi oksigen terlarut mendekati nilai kejenuhan-udara, LC50 24 jam amonia tak terionisasi adalah 0,15 mg NH3 per liter dalam air tawar (kesadahan 264 mg per liter sebagai CaCO3) dan 0,3 mg NH3 per liter dalam air laut 30%; pada konsentrasi oksigen terlarut 3,5 mg per liter dalam air tawar dan 3,1 mg per liter dalam air laut 30%, LC50 24-jam adalah 0,09 mg NH3 per liter dan 0,12 mg NH3 per liter berturut-turut. Untuk ikan yang diaklimasikan selama 1 hari terhadap konsentrasi amonia yang hampir sama dengan nilai median 24-jam pada ikan yang tak diaklimasi, nilai median ini meningkat antara 38 dan 79 %, tergantung pada kondisi pengujian (Alabaster et al., 1979).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 14 Februari 2012

Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Daya Racun Amonia


Beberapa faktor mengubah daya racun amonia dalam air. Sebagian faktor ini mengubah konsentrasi amonia tak terionisasi dengan menggeser reaksi keseimbangan amonia – amonium, sedang faktor-faktor lainnya mempengaruhi daya racun amonia itu sendiri. Faktor-faktor tersebut, selain suhu dan aklimasi, adalah konsentrasi oksigen terlarut, pH, konsentrasi karbon dioksida, salinitas dan keberadaan racun lainnya.

Daya racun amonia pada konsentrasi tertentu tergantung pada beberapa faktor selain pH dan suhu. Daya racun meningkat dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut, tetapi efek ini sering ditiadakan karena konsentrasi karbon dioksida yang tinggi menurunkan daya racun amonia.

Faktor yang mempengaruhi daya racun amonia antara lain adalah konsentrasi oksigen terlarut (DO). Banyak peneliti mengamati bahwa daya racun amonia meningkat dengan menurunnya konsentrasi DO. Sebuah penelitian terhadap daya racun akut pada suatu kisaran konsentrasi DO menyimpulkan bahwa toleransi terhadap amonia menurun dengan menurunnya DO. Nilai LC50-96 jam untuk daya racun amonia pada ikan rainbow trout turun sekitar 30 % pada kisaran konsentrasi DO 8,5 dan 5 mg/liter. Saran untuk konsentrasi DO minimum adalah 5 mg/L.

Baca juga Dampak Negatif Amonia Tak Terionisasi Bagi Ikan

Daya racun amonia tak terionisasi tergantung pada DO. Bila DO rendah maka amonia tak terionisasi bersifat racun pada konsentrasi yang lebih rendah. Daya racun amonia tak terionisasi berkurang dengan meningkatnya karbon dioksida yang menurunkan pH sehingga menggeser keseimbangan NH3/NH4+.

Amonia lebih beracun bila konsentrasi oksigen telarut rendah. Kondisi kekurangan oksigen timbul bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak terionisasi yang beracun.

Pengaruh penurunan konsentrasi oksigen terhadap daya racun larutan amonia adalah lebih besar daripada yang ditemukan untuk empat jenis racun lain (seng, timah, garam tembaga dan campuran fenol monohidrat). Sebuah hipotesis disusun untuk menjelaskan pengaruh rendahnya konsentrasi oksigen terhadap toksisitas racun-racun ini bagi ikan. Diasumsikan bahwa efek suatu racun timbul karena racun tersebut terkonsentrasi di permukaan insang, dan diduga bahwa pengkonsentrasian ini tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasi racun di dalam larutan tetapi juga oleh kecepatan aliran respirasi.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Nilai-nilai daya racun akut amonia untuk berbagai spesies ikan yang berkisar antara 0,25 dan 4 mg/liter amonia tak-terionisasi telah dilaporkan bahkan untuk konsentrasi serendah 0,01 mg/liter. Beberapa faktor yang meningkatkan atau menurunkan daya racun amonia diduga berhubungan dengan standar kualitas air untuk amonia. Untuk ikan rainbow trout pada kondisi bioesei, konsentrasi amonia letal median berkurang 30% ketika konsentrasi oksigen terlarut turun dari 8 menjadi 5 mg/liter.

Baca juga Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

Pengaruh konsentrasi oksigen terhadap daya racun amonia telah diteliti oleh Allan dkk. Mereka memperkirakan daya racun akut amonia sebagai nilai LC50 96-jam. Untuk juvenil udang Metapenaeus macleayi dan udang windu Penaeus monodon, nilainya adalah 1,39 dan 1,69 mg amonia tak terionisasi per liter (26,3 dan 37,4 mg total amonia-nitrogen per liter), berturut-turut. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut secara nyata (P < 0,05) meningkatkan daya racun akut amonia terhadap Penaeus monodon. Sembilan puluh persen udang yang dipelihara selama 96 jam pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 2,3 mg/liter dan konsentrasi amonia tak terionisasi 1,60 mg/liter (33,5 mg total amonia-nitrogen per liter) mati, namun hanya 33,3 % yang mati pada nilai konsentrasi oksigen terlarut 5,7 mg/liter dan konsentrasi amonia 1,63 mg/liter (33,9 mg total amonia-nitrogen per liter). Nilai konsentrasi amonia “maksimum yang dapat diterima” (maximum acceptable) didefinisikan sebagai konsentrasi amonia di mana pertumbuhan berkurang 5 % selama 3 minggu. Untuk M. macleayi dan P. monodon nilai tersebut adalah 0,35 dan 0,21 mg amonia tak terionisasi per liter (7,7 dan 4,1 mg amonia total per liter), berturut-turut.

Kelangsungan hidup juvenil ikan Atlantic salmon yang terpapar amonia pada konsentrasi konstan telah diamati pada kondisi laboratorium. Pada konsentrasi oksigen terlarut mendekati nilai kejenuhan-udara, LC50 24 jam amonia tak terionisasi adalah 0,15 mg NH3 per liter dalam air tawar (kesadahan 264 mg per liter sebagai CaCO3) dan 0,3 mg NH3 per liter dalam air laut 30%; pada konsentrasi oksigen terlarut 3,5 mg per liter dalam air tawar dan 3,1 mg per liter dalam air laut 30%, LC50 24-jam adalah 0,09 mg NH3 per liter dan 0,12 mg NH3 per liter berturut-turut.

Baca juga Aklimasi Meningkatkan Toleransi Ikan Terhadap Daya Racun Amonia

Penelitian telah dilakukan terhadap kelangsungan hidup ikan rainbow trout dalam berbagai konsentrasi amonia tak terionisasi (kisaran 0,86-1,96 ppm nitrogen) dan konsentrasi oksigen (kisaran 1,5 sampai 8,5 ppm). Pada setiap konsentrasi oksigen terlarut periode kelangsungan hidup ikan menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi amonia tak terionisasi dari 0,86 sampai 1,96 ppm. Pengaruh oksigen terhadap peningkatan lama kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar pada konsentrasi amonia tak terionisasi yang lebih rendah.

Dalam mempelajari efek kronis amonia terhadap rainbow trout selama lima tahun dan tiga generasi ikan, ditemukan bukti adanya kerusakan insang dan ginjal pada konsentrasi amonia konstan sampai 0,07 mg/liter NH3 (0,06 mg/liter NH3-N), walaupun tidak ada bukti bahwa pertumbuhan atau fekunditas terpengaruh. Bagaimanapun, tidak ditemukan bukti adanya kerusakan ginjal pada ikan rainbow trout yang terpapar amonia berkonsentrasi sampai 0,4 mg/liter NH3 selama 90 hari. Hal ini membawa pada kesimpulan bahwa kerusakan insang mungkin tidak disebabkan oleh daya racun amonia, dan diduga bahwa metabolit-metabolit lain bersama interaksinya dengan kimia air mungkin terlibat. Bisa dilihat bahwa pada kasus-kasus tersebut konsentrasi oksigen terlarut adalah jauh di bawah jenuh dan mungkin merupakan faktor penyebab kerusakan insang.

Nilai rata-rata LC50 96-jam amonia untuk juvenil Penaeus semisulcatus (bobot 0,35–2,4 g) adalah 23,7 mg/liter total amonia nitrogen (kisaran 19,3–28,7, selang kepercayaan 95%). Tidak ada pengaruh nyata ukuran terhadap kepekaan juvenil udang terhadap amonia. Peningkatan daya racun amonia terhadap juvenil P. semisulcatus diamati pada konsentrasi oksigen terlarut (DO) di bawah kejenuhan 55% (3,7 ppm). Pada kejenuhan DO 27%, daya racun amonia (LC50 96 jam) menjadi berlipat dua. Selain itu, periode waktu pemaparan terhadap amonia yang dibutuhkan untuk memberikan efek letal adalah menurun dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Dapatkah Kalsium Menurunkan Daya Racun Amonia ?

Arsip Cofa No. B 002


Memelihara ikan pada kepadatan tinggi dengan pertukaran air terbatas dapat menimbulkan situasi di mana konsentrasi amonia naik secara akut. Penimbunan amonia dianggap merupakan faktor utama pembatas-kepadatan ikan selama transpor dan pemeliharaan ikan golden shiner, Notemigonus crysoleucas. Telah dilakukan penelitian daya racun UIA (un-ionized ammonia, amonia tak terionisasi) 48- dan 72-jam pada ikan golden shiner sebagai respon terhadap sumber amonia, pH, konsentrasi kalsium, dan salinitas. Peningkatan konsentrasi kalsium lingkungan (75 mg/liter) menurunkan daya racun UIA bagi ikan shiners sebesar 21.7% pada pH 8. Untuk membatasi kematian ikan golden shiner akibat keracunan UIA, kalsium klorida sebaiknya ditambahkan ke sumber air yang mengandung kesadahan kurang dari 100 mg/liter, dan tangki pemeliharaan ikan sebaiknya digelontor bila konsentrasi UIA mendekati 0.13 (pH 7), 0.11 (pH 8), atau 0.10 (pH 9) mg/liter pada 48 jam atau 0.12 (pH 7), 0.08 (pH 8), atau 0.07 (pH 9) mg/liter setelah 72 jam.

Baca juga Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

Weirich et al. (1993) mempelajari pengaruh kalsium terhadap daya racun amonia bagi ikan sunshine bass (Morone sp.). Konsentrasi letal amonia nitrogen tak terionisasi terhadap 50 % ikan dalam waktu 96 jam (LC50 96 jam) berkisar dari 0,32 sampai 0,60 mg/liter dan meningkat secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi kalsium pada kisaran uji (5-80 mg/liter). Penelitian ini menunjukkan bahwa ikan sunshine bass relatif peka terhadap amonia. Peneliti menyimpulkan bahwa dalam habitat air tawar peningkatan konsentrasi kalsium bisa memperbaiki toleransi ikan terhadap amonia.

Baca juga Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Salah satu faktor yang mempengaruhi daya racun amonia menurut MacIntyre et al. (2008) adalah kekuatan ionik air. Kekuatan ionik air (diukur berdasarkan padatan terlarut) mempengaruhi keseimbangan dua bentuk amonia, walaupun pada kisaran yang lebih kecil daripada pH dan suhu. Dalam perairan tawar, daya racun amonia meningkat akibat makin besarnya perbedaan antara kekuatan ionik air dengan kekuatan ionik darah ikan, yang secara kasar nilainya sepertiga kekuatan air laut. Amonia memiliki efek diuretik (merangsang peningkatan produksi urin) pada ikan rainbow trout, dan dengan demikian ikan harus mengganti ion-ion yang hilang bersama urin. Beberapa peneliti menduga bahwa amonia ditranspor secara aktif keluar dari tubuh ikan melalui pompa NH4+/Na+, sehingga konsentrasi Na+ yang lebih tinggi di dalam air akan meningkatkan transpor ini, mengurangi konsentrasi amonia di dalam tubuh ikan dan mengurangi daya racunnya. Bagaimanapun, beberapa peneliti mengabaikan keberadaan pompa NH4+/Na+ ini, dan menduga bahwa semua ekskresi amonia pada ikan rainbow trout air tawar adalah melalui difusi pasif. Kalsium dan kation-kation bervalensi-dua lainnya (misal, Mg2+) telah diketahui menurunkan permeabilitas membran insang dan dapat meningkatkan pemasukan natrium ke dalam tubuh ikan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi daya racun amonia. Telah ditunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ion kalsium dapat mengurangi daya racun amonia pada rainbow trout.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kesimpulan serupa dalam hal pengaruh kalsium terhadap daya racun amonia juga diberikan oleh Wicks et al. (2002). Ketika mempelajari pengaruh amonia terhadap aktivitas renang ikan salmon dan trout, ditemukan fakta bahwa pada pH konstan, peningkatan konsentrasi kalsium menurunkan daya racun amonia.

Baca juga Upaya Mengurangi Konsentrasi Amonia dan Daya Racunnya Dengan Mengunakan Zeolit

Baimanapun, beberapa penelitian menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Borgmann dan Borgmann (1997) mempelajari pengaruh natrium, kalium dan pH terhadap daya racun amonia bagi amfipoda Hyalella azteca. Bahan yang diuji adalah amonium klorida, dan asam hidroklorik digunakan untuk mengasamkan larutan. Mereka melaporkan bahwa natrium dan kalium mempengaruhi daya acun amonia bagi Hyalella azteca, dan bahwa efek pH terhadap daya racun amonia bagi Hyalella azteca tergantung pada kesadahan dan pada konsentrasi natrium dan kalium. Berdasarkan larutan uji, peneliti menyimpulkan bahwa kalsium, magnesium dan anion tidak mempengaruhi daya racun amonia.

Baca juga Variasi Daya Racun Amonia

Pengaruh natrium dan kalsium terhadap daya racun amonia akut 96-jam telah diamati pada ikan trout danau (Salvelinus namaycush) dan ikan salmon Atlantik (Salmo salar). Kalsium tidak melindungi larva maupun anak ikan salmon Atlantik dari keracunan amonia. Natrium melindungi smolt (salmon umur 2-3 tahun) dari keracunan amonia tetapi tidak mempengaruhi toleransi fry (anak ikan) salmon Atlantik terhadap daya racun amonia. Kedua kation ini meningkatkan toleransi anak ikan trout danau berukuran 8 gram terhadap keracunan amonia, tetapi tidak mempengaruhi secara nyata daya racun amonia terhadap anak ikan trout danau berukuran 0,9 gram. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek pelemahan yang ditimbulkan kation dalam larutan terhadap daya racun amonia mungkin berhubungan dengan spesies, ukuran dan tahap hidup ikan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 11 Februari 2012

Daftar Pustaka/Download

Untuk mengetahui Daftar Pustaka dan/atau mendownload artikel, silahkan kirim email ke arsipcofa@gmail.com. 
Cantumkan judul (atau cukup nomor kode) artikel. 
Kami tidak akan menyalahgunakan alamat email Saudara.


DAFTAR LITERATUR

loading...