Selasa, 26 Mei 2015

Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Arsip Cofa No. C 194

Pengaruh Karang Hidup Terhadap Komunitas Ikan Karang

Bell dan Galzin (1984) mengulas sejumlah literatur mengenai pengaruh karang hidup terhadap komunitas ikan penghuninya. Hubungan antara kekomplekan topografi terumbu karang dan keragaman komunitas ikannya menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan karang dapat dipengaruhi oleh kekomplekan fisik substrat. Jelas bahwa meningkatnya luas permukaan meningkatkan keragaman tempat berlindung dan/atau tempat mencari makan, sehingga meningkatkan keragaman spesies. Bagaimanapun, beberapa penelitian mengenai hubungan antara parameter-parameter komunitas ikan dan keragaman biologis substrat serta keragaman spesies karang memberikan hasil bahwa hubungan tersebut tidak berkorelasi nyata. Dalam penelitian lain ditemukan adanya perbedaan spesies ikan yang berasosiasi dengan karang hidup dan spesies ikan yang berasosiasi dengan kapur koralin yang dihuni beberapa koloni karang kecil, tetapi disimpulkan bahwa perbedaan kedua komunitas ini tidak nyata. Laporan lain mengenai pengaruh persentase penutupan karang hidup terhadap stuktur komunitas ikan disimpulkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara penutupan karang hidup dan jumlah spesies penghuni tetap dan spesies ikan tersembunyi (cryptic) yang berasosiasi dengan kuadrat 9 m2. Bagaimanapun, data mereka berasal dari daerah dengan nilai “vertical rugosity” (kekerutan vertikal; suatu ukuran kekomplekan topografi) berkisar dari 1,1 sampai 4,6 pada berbagai kedalaman (10 – 40 m).

Bell dan Galzin (1984) melaporkan bahwa rangka karang yang mati dengan cepat kehilangan strukturnya akibat pengikisan, sedangkan struktur karang hidup tetap kompleks. Dari data yang dikumpulkan selama survei ikan di Mataira Atoll, peneliti menguraikan situasi alami berskala relatif besar di mana pengaruh perbedaan penutupan karang hidup (berkisar dari 0 sampai 10 %) terhadap struktur komunitas ikan dipelajari dengan meniadakan pengaruh heterogenitas ruang. Peneliti menemukan perbedaan nyata dalam hal keragaman spesies ikan dan kepadatan individunya akibat perubahan luas penutupan karang hidup pada terumbu yang secara topografi sama dan peneliti menduga bahwa kehadiran (dan jumlah) karang hidup mungkin lebih penting dalam mempengaruhi struktur komunitas ikan daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Pengaruh Intensitas Penangkapan Terhadap Komunitas Ikan Karang

Pet-Soede et al. (2001) mempelajari komposisi spesies dan ukuran struktur komunitas ikan dengan melakukan sensus visual bawah-air di terumbu karang Indonesia yang mengalami berbagai derajat intensitas penangkapan ikan. Perbandingan dibuat di antara terumbu-terumbu di Kepulauan Spermonde di lepas pantai barat-daya Sulawesi, antara terumbu di dalam dan di luar taman laut Komodo di lepas pantai Flores Barat, dan antara daerah-daerah terumbu Spermonde dan Komodo. Di Spermonde, komposisi spesies dan ukuran hasil tangkap ikan komersial di lokasi dengan intensitas perikanan tinggi dan rendah dicatat untuk menentukan bagaimana hasil tangkapan tersebut mencerminkan pergeseran struktur komunitas ikan. Intensitas penangkapan total di Spermonde adalah 557 hari kapal/km2 terumbu/tahun, delapan kali lebih tinggi daripada di Komodo (65 hari kapal/km2 terumbu/tahun), tetapi laju penangkapannya adalah delapan kali lebih rendah di Spermonde (5,6 kg per trip) daripada di terumbu di Komodo (48 kg per trip). Total hasil tangkapan adalah sama di Spermonde (3,2 ton/km2 terumbu) dan di Komodo (3,1 ton/km2 terumbu). Rata-rata panjang ikan hasil tangkapan sangat berkaitan dengan intensitas perikanan. Pola-pola ruang (spatial pattern) pada komunitas ikan di Spermonde sebagaimana yang diamati dengan sensus visual bawah-air adalah tidak berkaitan secara nyata dengan pola intensitas perikanan. Di Komodo, total biomas ikan dan biomas pemangsa-ikan sebagaimana yang diamati dengan sensus visual bawah-air adalah secara nyata lebih tinggi di dalam taman daripada di luar taman tersebut. Komunitas ikan di terumbu sangat berbeda antara di Spermonde dan di Komodo dalam hal rata-rata panjang individual dan total biomas tetapi kepadatannya sama.

Pet-Soede et al. (2001) menyimpulkan bahwa hasil pengamatan ini menunjukkan pengaruh tekanan penangkapan terhadap struktur komunitas ikan dapat dideteksi dengan sensus visual bawah-air hanya ketika membandingkan daerah-daerah yang intensitas penangkapannya sangat berbeda (Spermonde dan Komodo) atau ketika membandingkan lokasi-lokasi dengan intensitas penangkapan rendah dan sedang (di dalam dan di luar taman laut). Komposisi spesies dan ukuran hasil tangkapan komersial masih menunjukkan perbedaan pengaruh intensitas penangkapan terhadap struktur komunitas ikan dan dengan demikian menunjukkan juga hasil tangkapan total di daerah terumbu Spermonde dengan intensitas penangkapan rata-rata.

Baca juga :
Terumbu Karang : Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino

Pengaruh Taman Laut dan Pembatasan Perikanan Terhadap Pemulihan Ikan Karang

McClanahan dan Kaunda-Arara (2002) menduga jumlah ikan dan berat basahnya di laguna-laguna tujuh terumbu karang di Kenya selama 6 tahun. Dua lokasi dilindungi dari penangkapan selama 20 tahun, sedangkan lima lokasi lainnya mengalami intensitas perikanan yang tinggi dalam tahun-tahun terakhir ini. Satu lokasi dengan intensitas perikanan tinggi telah diubah menjadi sebuah taman laut (Mombasa Marine National Park, sekitar 10 km2, penangkapan ikan dilarang), dan jumlah nelayan yang diijinkan perlahan-lahan berkurang antara Agustus 1991 dan Agustus 1992. Daerah di sekitar taman ini diubah menjadi "marine reserve" (hanya perangkap ikan, pancing dan gill net yang diijinkan) yang menyediakan fishing ground di luar taman nasional bagi nelayan. Data dari lokasi pendaratan ikan di dekat taman nasional baru ini dikumpulkan selama 3 tahun dan dianalisis untuk menentukan pengaruh taman nasional terhadap hasil tangkapan ikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penangkapan ikan di "marine reserve" mengurangi berat basah ikan kira-kira senilai faktor 10 serta mengurangi jumlah dan keragaman sesies ikan senilai faktor dua. Baik studi lapang maupun data pendaratan ikan menunjukkan bahwa pemanenan terjadi pada keseimbangan bionomik. Sebagai contoh, sekitar 65 % daerah penangkapan dilindungi dengan dibentuknya taman laut, dan 65 % nelayan keluar dari lokasi pendaratan ikan yang dipelajari, menyisakan sejumlah nelayan dengan kepadatan hampir sama di daerah lainnya (sekitar 12 nelayan/km2). Selain itu, nelayan yang menggunakan jaring tarik (pull seine) dilarang beroperasi di daerah "marine reserve", dan jumlah nelayan ini digantikan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap lain (terutama keranjang perangkap). Meskipun hasil tangkapan total per unit upaya meningkat sekitar 110 % setelah adanya taman laut, total ikan yang didaratkan berkurang 35 % dan tangkapan per unit upaya menurun ke arah akhir periode penelitian padahal kelimpahan ikan meningkat di dalam taman tersebut (McClanahan dan Kaunda-Arara, 2002).

McClanahan dan Kaunda-Arara (2002) menambahkan bahwa meskipun pembentukan taman-taman kecil di tempat-tempat lain menyebabkan peningkatan total tangkapan, taman laut besar yang diteliti ini tidak berdampak demikian; salah satu alasannya mungkin adalah lebih kecilnya rasio keliling (atau tepi) terhadap luas taman untuk taman laut besar. Ada kemungkinan tepi taman bisa menjadi daerah penangkapan yang baik, sehingga upaya penangkapan menjadi paling tinggi di sepanjang tepian taman laut. Oleh karena itu penghalang mungkin harus dibuat untuk membatasi pemencaran ikan ke luar taman. Dengan demikian, daerah dengan hasil tangkap meningkat adalah kecil (< 1 sampai 2 km dari tepi) dan tidak dapat mengimbangi penyempitan daerah penangkapan. Kebanyakan spesies ikan di dalam taman menunjukkan pemulihan setelah nelayan dilarang beroperasi di daerah tersebut. Total berat basah ikan 3 tahun setelah aktivitas nelayan dilarang berkurang 25 % dibandingkan ketika belum ada taman laut. Lemahnya pemulihan ikan pisau-pisau dan ikan kakaktua herbivora mungkin menjadi penyebab utama hal ini. Kompetisi memperebutkan sumber daya dengan bulu babi tampaknya memperlambat pemulihan kedua kelompok ini. Sebuah lokasi studi yang berjarak 2,5 km dari tepi selatan taman, di dalam daerah "marine reserve" yang dilindungi, tidak menunjukkan perubahan kelimpahan ikan selama periode penelitian, meskipun ada peraturan yang menyebabkan perubahan alat tangkap.

Baca juga :
Terumbu Karang Buatan : Pengaruh Terhadap Komunitas Ikan

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dampak Intensitas Perikanan dan Seleksi Hasil Tangkap Terhadap Terumbu Karang

McClanahan (1995) telah mengembangkan sebuah model simulasi terumbu karang berdasarkan energi agregat; model ini digunakan untuk menjalankan eksperimen penangkapan di mana intensitas perikanan dan seleksi hasil tangkapan bervariasi. Model ini tersusun dari dua kelompok produsen primer (karang dan alga), herbivora (ikan herbivora dan bulu babi) serta karnivora (pemangsa ikan dan predator invertebrata). Produksi perimer kotor dan neto dihitung dari parameter-parameter produksi dan respirasi karang dan alga, sedangkan keseimbangan kalsium karbonat dihitung dari pengendapan oleh karang dan alga serta erosi oleh bulu babi dan ikan herbivora. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penangkapan ikan mempengaruhi ekologi terumbu karang dan keuntungan hasil perikanan harus memperhatikan dampak terhadap struktur dan proses-proses terumbu. Model ini meramalkan bahwa penyingkiran semua kelompok ikan akan menyebabkan bulu babi mendominasi terumbu karang begitu predatornya disingkirkan. Hal ini menyebabkan penurunan secara cepat dan dramatis dalam hal hasil perikanan serta mengurangi produktivitas dan biomas alga dan karang.

Pengendapan neto kalsium karbonat sangat dipengaruhi oleh aktivitas bulu babi atau nelayan terhadap karang hidup. Penangkapan predator ikan saja menyebabkan hasil perikanan rendah tetapi laju akresi (pertambahan) terumbu adalah tinggi sebagai akibat tak langsung dari hilangnya alga yang bersaing dengan karang. Strategi manajemen perikanan dengan hanya menangkap ikan herbivora dan pedator ikan menyebabkan hasil perikanan mencapai nilai tertinggi dan paling stabil. Bagaimanapun, di bawah strategi managemen seperti ini, tingginya aktivitas perikanan menyebabkan peningkatan jumlah alga yang, melalui persaingan, bisa menyingkirkan karang dan menyebabkan penurunan pengendapan kalsium karbonat secara sementara. Tetapi, pada biomas alga tertinggi, pengendapan kalsium karbonat adalah tinggi dan menjadi satu-satunya penyumbang pengendapan alga. Namun demikian, bentuk endapan kalsium karbonat ini mungkin tidak menyediakan struktur terumbu yang dibutuhkan bagi perlindungan habitat ikan dan garis pantai. Jadi hal ini membuktikan keuntungan dalam jangka panjang untuk mempertahankan aktivitas perikanan di bawah level ini (McClanahan, 1995).

Baca juga :
Struktur Komunitas Ikan Karang

Perikanan Laut Tropis dan Masa Depan Terumbu Karang

McManus (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan ketimpangan ekonomi menyebabkan meningkatnya permintaan akan produk perikanan laut tropis. Perikanan terumbu karang menyumbangkan sumber makanan penting dan mata pencaharian yang penting pula dalam skala global. Bagaimanapun, perikanan yang merusak menjadi penyebab utama kerusakan terumbu karang dan hal ini sering dikaitkan dengan teori Malthus dalam hal overfishing, yakni suatu kondisi yang berhubungan dengan kemiskinan dan padatnya penduduk di pesisir. Studi berdasarkan model bioekonomi Gordon-Schaefer menunjukkan bahwa untuk banyak daerah terumbu karang, agar pemanfaatan sumber daya alam optimal maka membutuhkan pengurangan upaya penangkapan sebesar kira-kira 60 %. Penangkapan ikan dan udang dengan trawl menjadi penyebab kerusakan komunitas karang secara luas di paparan benua tropis. Prinsip-prinsip pencegahan dan manajemen perikanan dimaksudkan untuk mengurangi masalah seperti ini.

Baca juga :
Ekologi Ikan Karang

Konservasi Terumbu Karang dan Ikan Karang Secara Tradisional

McClanahan et al. (1997) melaporkan bahwa banyak tradisi penduduk pesisir yang bisa dipandang sebagai bentuk tradisional konservasi laut karena, seperti manajemen perikanan modern, mereka membatasi alat tangkap, waktu dan tempat penangkapan, tetapi pengaruhnya dalam praktek belum banyak dipelajari. Sebuah studi telah dilakukan mengenai kebudayaan dan sumber daya perikanan di sebuah daerah di Kenya selatan, yang dirancang sebagai taman laut nasional, untuk menentukan efek manajemen tradisional terhadap hasil perikanan dan kondisi ekologis terumbu karang. Daerah ini memiliki salah satu tradisi tertua yang masih berlaku mengenai tempat-tempat keramat dan ritual pengorbanan di sepanjang pesisir Kenya. Tujuan tradisi ini, bagaimanapun, adalah untuk menghormati arwah leluhur bukannya untuk mengatur stok ikan yang secara tradisional tampaknya berfluktuasi tanpa terpengaruh oleh upaya penangkapan. Banyak tradisi ini sekarang ditinggalkan akibat Islamisasi kebudayaan, dan kekuasaan bergeser ke arah organisasi nasional sehingga melemahkan efektivitas pemimpin tradisional. Pada waktu yang sama, nelayan mengadopsi alat tangkap baru atau asing serta tradisi asing. Dua lokasi pendaratan yang berdekatan (Mvuleni dan Mwanyaza), bagaimanapun, berhasil menghentikan operasi nelayan jaring tarik (pull seine) di daerah mereka selama lebih dari 20 tahun dengan argumen yang berdasarkan tradisi. Lokasi-lokasi pendaratan lainnya mengadopsi pull seine. Kedua lokasi pendaratan yang melarang pull seine memiliki hasil tangkap ikan per kapita lebih besar daripada lokasi pendaratan yang tidak melarang alat tangkap itu. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan yang tampak dalam hal kondisi ekologis terumbu karang di dua daerah manajemen tersebut; kedua daerah termasuk di antara terumbu karang yang paling rusak di Afrika Timur. Keragaman biologis dan luas penutupan karang berkurang banyak di semua daerah ini bila dibandingkan dengan taman laut.

Menurut McClanahan et al. (1997) saat ini manajemen tradisional tidak efektif dalam melindungi keragaman spesies atau fungsi ekologi, yang mungkin tidak pernah diperhatikan penduduk. Konflik antara organisasi nasional dan nelayan lokal muncul karena nelayan berpendapat bahwa yang diusulkan oleh organisasi nasional akan menyebabkan mereka tidak dapat mengakses dan mengendalikan sumberdaya tersebut. Dengan demikian dibutuhkan pemecahan konflik terkait penggunaan dan pengaturan alat tangkap, dan juga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya program manajemen. Banyak bentuk manajemen tradisional yang sesuai dengan kebijakan organisasi nasional, tetapi kesalah pahaman dan konflik sering terjadi berkaitan dengan pemaksaan pelaksanaannya. Untuk menyelesaikan konflik maka dibutuhkan diskusi antara pemimpin tradisional dan pemimpin nelayan nasional untuk mengembangkan kebijakan manajemen yang diterima kedua belah pihak.

Interaksi Multispesies Dalam Stok Ikan

Teluk St. Lawence bagian selatan merupakan daerah pemijahan utama bagi ikan hering (Clupea harengus harengus) dan tenggiri (Scomber scombrus), dan interaksi antara kedua spesies ini telah dipelajari. Pada akhir tahun 1950-an stok ikan hering ada pada tingkat rendah, tampaknya sebagai akibat penyakit jamur. Mereka meningkat sampai mencapai biomas dugaan 1,9 x 106 ton pada tahun 1964, dan ini mendorong meningkatnya tekanan penangkapan yang hebat sehingga kembali menurunkan stok menjadi 0,36 x 106 ton. Tengiri juga berkurang jumlahnya oleh serangan jamur, tetapi stoknya tetap rendah sampai tahun 1967, setelah itu mereka mulai bertambah dengan cepat. Jelas bahwa saling-hubungan antara kedua biomas ikan ini memberikan dasar dugaan adanya interaksi kompetitif antara kedua spesies ikan pelagis tersebut yang memijah di daerah yang sama. Winters (1976) meneliti perubahan panjang dan berat rata-rata kelompok-kelompok pemijahan (umur 3 – 7 tahun) dan menunjukkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara biomas total hering dan tengiri di bagian selatan teluk tersebut (koefisien korelasi r = 0,94 untuk panjang dan 0,98 untuk berat). Saat meningkatnya biomas ikan tengiri diperkirakan ditentukan oleh suhu. Tenggiri adalah ikan pemijah pelagis yang membutuhkan suhu permukaan 11 – 18 oC dan periode setelah tahun 1965 merupakan musim-musim panas yang hangat yang sesuai bagi pemijahan dan kelangsungan hidup ikan tengiri. Plot logaritme rekruitmen terhadap logaritme suhu menunjukkan korelasi positif kuat dengan r = 0,82. Disimpulkan bahwa carrying capacity (daya dukung lingkungan) Teluk St. Lawrence bagian selatan untuk ikan pelagis adalah terbatas. Dan bahwa pertumbuhan ikan hering berespon dengan cara yang tergantung kepadatan terhadap biomas total hering dan tengiri sedangkan biomas tengiri ditentukan terutama oleh suhu pada tahun pertama kehidupannya.

Lett dan Kohler (1976) memperhatikan secara cermat interaksi kompetitif antara spesies-spesies ini, terutama interaksi larva, dan mengamatinya dengan bantuan model simulasi. Mereka menemukan bahwa pertumbuhan ikan hering umur 2–10 tahun dapat dijelaskan secara cukup memuaskan dengan persamaan regresi :

Loge Ga = -4,701 loge Ya – 0,161 loge MY + (0,827 loge Ya) x (loge Tm) + 6,028

Di mana Ga adalah laju pertumbuhan sesaat (instantaneous growth rate) untuk kelas tahun Ya, MY adalah ukuran kelas-umur untuk tengiri kelompok-umur 0 x 106, dan Tm adalah suhu rata-rata bulanan maksimum pada suatu tahun. Dengan demikian, hanya kompetisi interspesifik nyata memperebutkan makanan pada kelompok-umur 0 saja yang didukung oleh data lapangan.

Dengan menggunakan laju pertumbuhan sesaat yang dihitung seperti di atas dan jumlah-jumlah untuk setiap kelas tahun, produksi P populasi ikan dewasa untuk setiap tahun bisa dihitung, dan diketahui bahwa kelimpahan larva dapat disesuaikan dengan persamaan regresi antara produksi ikan dewasa dan suhu sedemikian hingga bila suhu dipertahankan konstan pada 10 oC maka akan diperoleh korelasi yang sangat erat antara produksi ikan dewasa dan kelimpahan larva.

Ukuran kelas tahun untuk ikan hering YR bisa dihubungkan dengan kelimpahan larva LR dan total biomas pelagis BTP oleh persamaan :

Loge YR = 2,679 Loge LR – 5,000 x 10-5 (Loge LR)2 x BTP – 0,165 (Loge LR)2

Yang berarti bahwa pemangsaan oleh ikan tengiri dan kanibalisme oleh hering yang lebih tua merupakan factor utama yang mempengaruhi ukuran kelas tahun juvenil hering.

Hubungan antara larva hering dan kompetitornya (ikan tengiri kelompok umur 0) dan predatornya (ikan hering dan tengiri) serta suhu air dapat digunakan dalam model simulasi stokastik untuk menduga biomas hering pada bagian selatan Teluk St. Lawrence. Telah ditunjukkan bahwa tanpa kehadiran tengiri, populasi hering dapat diharapan berfluktuasi di sekitar nilai 2,0 x 106 ton, tetapi dengan adanya 1 x 106 ton tengiri maka akan ada dua perbedaan : populasi hering menjadi lebih stabil, dan biomasnya akan menjadi kira-kira 0,8 x 106 ton. Plot biomas hering terhadap biomas tengiri menunjukkan bahwa nilai riil dan nilai hasil simulasi mengikuti kecenderungan yang sama, mekipun ada gangguan akibat upaya penangkapan yang berubah-ubah.

Telah ditunjukkan bahwa ikan tengiri kelas umur 0 berkompetisi dengan hering. Bila tengiri dieksploitasi dengan cara yang optimal maka ukuran tengiri kelas tahun 0 meningkat, dan kompetisinya dapat menyebabkan kegagalan peremajaan dalam stok hering. Lett dan Kohler (1976) menyimpulkan bahwa bila modelnya benar, tengiri sebaiknya dieksploitasi-kurang (under-exploitation) atau dieksploitasi-lebih, dengan tujuan melindungi hering. Hal ini mungkin kedengarannya aneh, hingga orang menyadari bahwa stok ikan-ikan tersebut berkembang bersama-sama sebagai spesies yang tak dieksploitasi, sampai baru-baru ini. Pandangan seperti ini hanya dapat diperoleh dari pertimbangan yang sangat mendetail mengenai interaksi antar spesies, dan sama sekali tidak dari studi intensif spesies yang diisolasi.

Akhir-akhir ini, Lett (1980) mengamati dengan cermat interaksi antara ikan tengiri dan cod di Teluk St. Lawrence. Larva cod melimpah ketika tengiri sedang memulihkan diri dari pemijahan dan makan dengan rakus, sehingga hal ini menjadi alasan yang baik bagi anggapan bahwa kepadatan populasi tengiri merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan cod. Rincian model ini, yang disusun dengan cara yang serupa dengan yang diuraikan di atas untuk hering dan tengiri, terlalu kompleks untuk dijelaskan di sini. Bagaimanapun, salah satu penemuan utama adalah bahwa ketika biomas tengiri bervariasi antara 0,5 dan 1,5 x 106 ton timbul pengaruh besar terhadap perkiraan hubungan antara biomas dan tangkapan ikan cod. Faktor-faktor ini diyakini paling tidak ikut bertanggung jawab sebagian atas hubungan terbalik antara biomas ikan cod dan tengiri di teluk tersebut antara tahun 1950 dan 1980.

Pengaruh Perikanan Terhadap Reproduksi Ikan Karang, Chrysoblephus

Dampak eksploitasi terhadap berbagai karakteristik hidup spesies ikan sparidae penghuni karang telah dipelajari oleh Buxton (1993) dengan membandingkan populasi yang terlindungi di sebuah wilayah reservasi laut yang luas dengan populasi ikan di daerah sekitarnya. Seperti ikan sparidae lainnya, Chrysoblephus laticeps dan Chrysoblephus cristiceps tumbuh lambat dan berumur panjang hingga mencapai umur 17 dan 21 tahun, berturut-turut. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal laju pertumbuhan C. laticeps, tetapi pertumbuhan C. cristiceps secara nyata lebih lambat pada populasi yang dieksploitasi. Data pengamatan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin di luar wilayah reservasi laut adalah miring ke arah betina, yang merupakan akibat eksploitasi selektif-ukuran. Panjang pada saat perubahan jenis kelamin juga secara nyata lebih kecil untuk C. cristiceps di daerah yang dieksploitasi, tetapi tidak untuk C. laticeps. Perbedaan antara kedua spesies ini berhubungan dengan ukuran pada saat rekruitmen ke dalam stok perikanan dan perbedaan derajat perlindungan untuk ikan jantan dan betina besar. Dengan mempertimbangkan bahwa reproduksi bisa terganggu akibat perubahan struktur populasi, maka taktik perlindungan melalui reservasi laut disarankan sebagai upaya mencegah kegagalan rekruitmen.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 13 Mei 2015

Struktur Komunitas Ikan Karang

Arsip Cofa No. C 193

Kemiripan dan Keragaman Di Antara Komunitas Ikan Karang

Gladfelter et al (1980) melaporkan bahwa kumpulan ikan penghuni terumbu bercak alami berukuran besar di samudra Pasifik dan Atlantik barat tropis telah disensus secara visual selama musim panas 1976 dan 1978. Tiga puluh satu terumbu karang ada di Laut Karibia timur-laut (25 di St. Croix dan 6 di Anegada) dan 15 terumbu terletak di ujung selatan Atol Enewetak, Kepulauan Marshall. Derajat kemiripan (degree of similarity) di antara fauna-fauna dalam setiap grup terumbu (dihitung dengan indeks kemiripan yang berdasarkan logaritma kelimpahan individu) berkorelasi dengan parameter-parameter lingkungan terumbu di kedua daerah (kekomplekan topografi permukaan, ketinggian terumbu, luas terumbu, dan posisi terhadap terumbu utama, arus serta hamparan lamun). Rata-rata derajat kemiripan di antara semua fauna ikan dalam setiap daerah adalah sama di dua lokasi utama (0,61 di Enewetak dan 0,62 di St. Croix) seperti halnya kemiripan di antara fauna-fauna di kebanyakan terumbu yang seragam di setiap daerah (0,68 di Enewetak dan 0,73 di St. Croix).

Hasil penelitian menunjukkan tingkat kemiripan yang bernilai sama, berbeda dengan studi terdahulu di terumbu buatan dan terumbu alami yang sangat kecil, yang menunjukkan rendahnya akurasi di antara terumbu Pasifik. Perbedaan antara hasil-hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya di Pasifik disebabkan sebagian oleh perbedaan ukuran terumbu yang dipelajari; terumbu dalam penelitian ini beberapa kali lebih luas dibandingkan dalam penelitian terdahulu. Keragaman ikan karang adalah lebih besar di Enewetak (rata-rata jumlah spesies per terumbu = 93; H' = 5,38) daripada di St. Croix (rata-rata jumlah spesies per terumbu = 64; H' = 4,58) tetapi "equitability value" (nilai kesetaraan) adalah sama di kedua daerah itu (0,82 dan 0,81, berturut-turut). Pada kedua lokasi keragaman spesies ikan berkorelasi positif dengan kekomplekan permukaan terumbu, luas permukaan terumbu yang menonjol dan ketinggian terumbu, tetapi korelasi ini lebih tinggi di St. Croix untuk semua parameter. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih besarnya kemiripan struktural terumbu karang Enewetak. Di Enewetak juga ada korelasi antara H' dan jarak ke terumbu penghalang (barrier reef) utama. Perbedaan utama dalam hal komposisi makanan fauna ikan-ikan ini menunjukkan bahwa perbedaan antara kedua lokasi tersebut bertanggung jawab atas proporsi pemakan plankton siang hari dan pemakan invertebrata malam hari. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan lingkungan utama antara kedua lokasi; pengaruh kondisi yang bersifat samudra di Enewetak, yang menyebabkan zooplankton melimpah, dan keberadaan hamparan tumbuhan laut yang rapat (sehingga kaya akan invertebrata penempel) yang mengelilingi terumbu di St. Croix (Gladfelter et al., 1980).

Baca juga :
Terumbu Karang Buatan : Pengaruh Terhadap Komunitas Ikan

Pengaruh Berbagai Faktor Terhadap Kelimpahan dan Keragaman Spesies Ikan Karang

Pereira et al. (2014) melakukan studi di terumbu Tamandare, utara Brazil dengan bertujuan menganalisis arti penting berbagai faktor (aktivitas turisme, perikanan, kelimpahan karang dan kelimpahan alga) terhadap kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Dua daerah terumbu yang berbeda (A ver o mar dan Caieiras) dengan berbagai derajat pengaruh dipelajari. Total 8.239 ekor ikan karang telah didaftar, yang mencakup 59 spesies. Lokasi 1 (A ver o mar) memiliki kelimpahan dan keragaman spesies ikan yang lebih tinggi, yang didominasi oleh ikan herbivora penjelajah (29,9 %) dan ikan pemakan invertebrata yang aktif bergerak (28,7 %). Sebaliknya, di lokasi 2 (Caieiras) ikan herbivora teritorial (40,9 %) dominan, diikuti oleh ikan pemakan invertebrata yang aktif bergerak (24,6 %). Berkaitan dengan komunitas bentik, di lokasi 1 makroalga dilaporkan menjadi komponen utama (49,3 %); bagaimanapun, lokasi 2 didominasi oleh alga berkapur (36,0 %). Variabel terpenting yang bertanggung jawab atas lebih dari 90 % variasi kelimpahan dan keragaman spesies adalah kelimpahan makroalga, diikuti oleh aktivitas perikanan. Pergeseran fase pada terumbu karang menyebabkan penggantian karang oleh makroalga dan sangat mempengaruhi komunitas ikan karang.

Baca juga :
Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Komunitas Ikan Karang

Jones (1988) membahas faktor-faktor utama yang menyebabkan pola-pola ruang (spatial pattern) dan pola waktu (temporal pattern) dalam hal kelimpahan dan struktur populasi ikan karang di New Zealand timur-laut. Juga dilakukan penelitian mengenai dampak potensial aktivitas makan ikan terhadap populasi dan struktur habitat mangsanya. Ciri-ciri biologis utama yang dimiliki habitat, seperti distribusi makroalga dan echinoid, tampaknya mempengaruhi populasi ikan pada berbagai skala ruang. Pola-pola ruang ini tampaknya tetap sepanjang waktu meskipun ada variasi temporal dalam hal kepadatan populasi, yang tidak terpengaruh oleh struktur habitat. Studi demografik belum dapat menjawab pertanyaan apakah proses pra- ataukah pasca-menetap yang paling mempengaruhi struktur populasi ikan karang. Kategori makan, dan rincian makanan, seleksi mangsa, dan pemanfaatan mikrohabitat dibahas sebagai langkah penting untuk memahami dampak ikan sebagai pemangsa. Studi eksperimental tidak dapat menunjukkan apakah karnivora ataukah herbivora yang memegang peranan utama dalam menentukan struktur biologi suatu habitat, atau dalam memodifikasi komunitas mangsa. Pengamatan menunjukkan bahwa habitat memberikan dampak yang jauh lebih besar terhadap populasi ikan daripada dampak populasi ikan terhadap habitat. Perlu ditekankan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola-pola distribusi dan kelimpahan sangat mungkin bersifat spesifik spesies, tidak seperti dampak umum ikan pada komunitas terumbu karang dangkal.

Baca juga :
Pembentukan, Pertumbuhan, Migrasi dan Keragaman Terumbu Karang

Pengaruh Kelimpahan Ikan Mangsa Terhadap Ekologi Ikan Pemangsa di Terumbu Karang

Beukers-Stewart dan Jones (2004) melaporkan bahwa, dengan mempertimbangkan arti penting pemangsaan dalam mempengaruhi struktur komunitas ikan karang, beberapa studi telah dilakukan untuk mempelajari bagaimana ikan pemangsa-ikan (piscivora fish) berespon terhadap fluktuasi kelimpahan mangsanya. Studi ini difokuskan pada dua spesies rock-cod, Cephalopholis cyanostigma (Valenciennes, 1828) dan Cephalopholis boenak (Bloch, 1790) (Serranidae), dan memantau makanannya di dua habitat yang berbeda, yaitu "patch reef" (terumbu bercak/sempit) dan "contiguous reef" (terumbu berdampingan/luas), di Pulau Lizard, Great Barrier Reef utara, Australia, selama periode 2 tahun. Kelimpahan ikan rock-cod serta kelimpahan dan komposisi famili mangsanya dipantau pada saat yang sama. Informasi makanan dkumpulkan terutama dari sampel muntahan, yang mewakili hampir 60 % mangsa yang dikonsumsi dan komposisinya tidak menyimpang.

Percobaan laboratorium menunjukkan bahwa ikan dicerna hampir 4 kali lebih cepat daripada krustasea, yang berarti bahwa arti penting krustasea sebagai makanan ikan tersebut diduga secara berlebihan. Bila hal ini dipertimbangkan maka ikan menyusun lebih dari 90 % makanan kedua spesies itu. Ikan mangsa dari famili Apogonidae, diikuti oleh Pomacentridae dan Clupeidae, mendominasi makanan kedua spesies ikan rock-cod. Efek interaksi fluktuasi kelimpahan mangsa dan pola-pola seleksi mangsa menyebabkan komposisi makanan bervariasi baik secara temporer (waktu) maupun spasial (ruang). Gerombolan mangsa tengah-air yang termasuk famili Clupeidae dan - sampai kisaran yang lebih kecil - Caesionidae dipilih, sedangkan famili-famili lainnya disingkirkan. Jika tipe mangsa ini tidak ada, maka ikan famili apogonidae dipilih, sedangkan pomacentridae yang lebih berasosiasi dengan terumbu disingkirkan. Percobaan laboratorium mendukung hipotesis bahwa pola-pola seperti ini disebabkan terutama oleh perilaku mangsa. Laju makan kedua spesies ikan rock-cod jauh lebih besar pada musim panas dibandingkan pada musim dingin, dan pada musim panas mereka berkonsentrasi pada ikan-ikan kecil yang melakukan rekruitmen. Bagaimanapun, ada sedikit vasiasi laju makan antar habitat, namun tampaknya disebabkan oleh perbedaan kelimpahan mangsa. Sebagai ringkasan, penelitian terhadap bagaimana ekologi makan pada ikan pemangsa yang berespon terhadap variasi kelimpahan mangsa menyediakan mekanisme potensial mengenai bagaimana pemangsaan mempengaruhi struktur komunitas ikan terumbu karang (Beukers-Stewart dan Jones, 2004).

Baca juga :
Ekologi Ikan Karang

Pola dan Sebab-Akibat Variasi Regional Ekologi dan Sejarah Hidup Ikan Karang

Menurut Ruttenberg et al. (2005) banyak spesies bervariasi dalam hal ekologinya sepanjang kisaran geografisnya sebagai respon terhadap perbedaan kondisi lingkungan. Variasi seperti ini, yang dapat mempengaruhi sifat sejarah hidup dan selanjutnya mempengaruhi demografi populasi, biasanya terjadi pada skala ruang yang luas. Bagaimanapun, deskripsi dan pemahaman faktor-faktor penyebab variasi ini sulit dilakukan dengan tepat karena terjadi pada skala ruang yang demikian luas. Dalam penelitian ini, telah didokumentasi variasi ruang dalam hal ekologi spesies ikan karang yang umum, Stegastes beebei, di Kepulauan Galápagos dan menguji sejumlah mekanisme penyebab potensial. Pola yang mirip dengan ini terlihat dalam variasi lintang : individu yang lebih besar terdapat dalam kepadatan yang lebih tinggi dan hidup lebih lama di daerah-daerah terdingin di kepulauan ini daripada di daerah terhangat. Bagaimanapun, dalam sistem ini, demografi bervariasi antar populasi regional yang dipisahkan oleh jarak kurang dari 150 km. Alga makanan yang lebih disukai adalah yang paling tersedia di daerah dingin. Per gram upaya reproduktif tampaknya sangat berkaitan dengan suhu, walaupun ada perbedaan dalam hal waktu dan derajat reproduksi di berbagai daerah. Sebuah model output reproduktif menunjukkan bahwa ikan di daerah terhangat mengalokasikan lebih banyak energi untuk reproduksi, yang menyebabkan perubahan sejarah hidup regional. Data kami menunjukkan bahwa perbedaan demografi regional pada Stegastes beebei mungkin disebabkan oleh kombinasi variasi ketersediaan makanan dan perubahan sejarah hidup yang diperantarai oleh lingkungan


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...