Selasa, 29 Mei 2012

Virus di Dalam Laut, Kerang dan Ikan

Arsip Cofa No. C 050

Variasi Musiman Kelimpahan Virus di Teluk

Wommack et al. (1992) melaporkan bahwa virus dalam jumlah banyak telah ditemukan pada sampel air yang dikumpulkan dari Teluk Chesapeake. Virus dihitung dengan uji ultrasentrifugasi sampel air pada grid (kaca bergaris) yang kemudian dilihat dengan mikroskop elektron tansmisi. Jumlah virus pada September 1990, April 1991, Juni 1991, Agustus 1991 dan Oktober 1991 berkisar antara 2,6 x 106 dan 1,4 x 108 virus/ml dengan rata-rata 2,5 x 107 virus/ml. Jumlah virus biasanya adalah minimal tiga kali jumlah bakteri yang dihitung langsung pada sampel yang sama. Jumlah virus pada Agustus dan Oktober secara nyata lebih banyak dibandingkan pada waktu-waktu sampling yang lain, sedangkan jumlah bakteri secara nyata lebih rendah pada saat itu, sehingga menghasilkan rasio virus terhadap bakteri 12,6 dan 25,6, berturut-turut. Dari analisis morfologi partikel virus, disimpulkan bahwa sebagian besar virus adalah bakteriofage (pemakan bakteri). Banyaknya virus yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa virus mungkin merupakan faktor penting yang mempengaruhi populasi bakteri di Teluk Chesapeake, dengan dampak terhadap pemindahan gen dalam populasi bakteri perairan alami dan pelepasan mikroorganisme hasil rekayasa genetik ke lingkungan estuaria dan pesisir.

Baca juga :
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Kelimpahan Virus di Perairan Terumbu Karang

Paul et al. (1993) mempelajari distribusi virus dan kelimpahan mikroba di lingkungan terumbu karang Key Largo, Florida. Kelimpahan virus dalam kolom air, yang dihitung secara langsung dengan bantuan mikroskop elektron transmisi, adalah tinggi di Blackwater Sound (Teluk Florida) sebanyak 1,2 x 107 virus per ml, berkurang ke arah patahan benua (1,7 x 106 virus per ml) dan berkorelasi terbalik dengan salinitas (r = - 0,97). Perhitungan langsung jumlah virus dalam sampel sedimen berkisar dari 1,35 x 108 sampai 5,3 x 108 virus/ml dan rata-rata hampir 2 ordo besaran lebih banyak daripada jumlahnya dalam kolom air. Perhitungan langsung jumlah virus (baik dalam sedimen maupun kolom air) melebihi jumlah bakteri laut inang (Vibrio natriegens dan lain-lain) sebanyak 7 – 8 ordo besaran. Kelimpahan virus dalam kolom air tidak berkorelasi dengan hasil perhitungan langsung jumlah bakteri atau klorofil-a, dan parameter-parameter virus sedimen tidak berkorelasi dengan data salinitas, virus dan mikroba kolom air. Coliphage (pemakan bakteri coli), yang merupakan indikator pencemaran tinja, terdeteksi dalam dua sampel kolom air dan kebanyakan sampel sedimen, namun konsentrasinya relatif rendah (kurang dari 2 – 15 per liter untuk sampel kolom air, dan kurang dari 2 sampai 108 per ml sedimen). Penemuan ini menunjukkan bahwa virus melimpah di lingkungan Key Largo, terutama di sisi Teluk Florida, dan bahwa proses-proses yang mengendalikan distribusi virus dalam kolom air (yaitu, salinitas dan masukan air tawar) adalah tidak berhubungan dengan proses-proses yang mengendalikan distribusinya di dalam lingkungan sedimen.

Baca juga :
Virus di Perairan

Kelimpahan DNA Seukuran-Virus di Laut

Maruyama et al. (1993) memperkirakan bahwa konsentrasi DNA total dalam filtrat filter Nuclepore berukuran-pori-0,2-mikron (fraksi kurang dari 0,2 mikron) di perairan Teluk Tokyo adalah 9 sampai 19 nanogram/ml berdasarkan metode kuantifikasi imunokimia. Hampir 90 % DNA dalam fraksi yang berukuran kurang dari 0,2 mikron adalah lebih besar dari 3,0 x 105 Da dan 0,03 mikron, dan kebanyakan tidak rentan terhadap pencernaan DNase, jadi terdiri dari DNA tak-tercerna-DNase (DNA berselubung). DNA dengan jumlah nyata diperoleh dari fraksi berukuran kurang dari 0,2 mikron dalam air laut dengan tiga metode yang berbeda : presipitasi (pengendapan) polietilen glikol presipitasi etanol langsung, dan konsentrasi ultrafilter. Analisis gel elektroforesis terhadap isolat DNA menunjukkan bahwa mereka terdiri dari terutama DNA berselubung dengan ukuran molekul yang sama (20 sampai 30 kb atau 1,3 x 107 sampai 2,0 x 107 DA). Kelimpahan DNA berselubung yang seukuran-virus ultramikron di dalam air laut alami menunjukkan bahwa partikel-partikel kaya-DNA ini adalah berhubungan dengan kumpulan virus DNA laut dan bahwa mereka bisa menjadi cadangan fosfor yang penting bagi lingkungan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penghambatan Fotosintesis Fitoplankton Laut Oleh Virus

Suttle (1992) mengamati penghambatan fotosintesis fitoplankton di laut oleh partikel mirip virus. Teknik ultrafiltrasi digunakan untuk memekatkan fraksi berukuran 2 – 200 nanometer dari sampel air laut hingga kepekatan 100 sampai 1000 kali lipat. Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa konsentrat ini sangat kaya akan partikel mirip-virus. Bila sedikit konsentrat ini diteteskan ke dalam sampel air laut alami maka produktivitas primer (penyerapan 14C-bikarbonat) sedikit terpengaruh bahkan bisa dihambat sampai 78 % dalam beberapa menit. Pada beberapa kasus, peningkatan 20 % konsentrasi fraksi ini ke dalam air laut bisa menurunkan laju fiksasi karbon sampai hampir 50 %. Fitoplankton yang paling terpengaruh oleh partikel mirip-virus ini adalah fitoplankton yang berukuran lebih dari 3 mikron.

Baca juga :
Virus Pada Udang Penaeidae

Virus Laut Raksasa ?

Bratbak et al. (1992) melaporkan bahwa partikel mirip virus (virus-like particle, VLP) berukuran besar yang tak wajar dan berekor telah ditemukan dalam sampel air dari perairan pesisir Norwegia dan Denmark. Ukuran kepala VLP adalah 340 sampai 400 nanometer dan ekornya 2,2 sampai 2,8 mikron. VLP ini terdapat pada konsentrasi maksimum sekitar 104/ml. Inang yang mungkin untuk virus ini tidak diketahui.

Baca juga :
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Pendeteksian Virus Enterik Dalam Oyster

Atmar et al. (1993) melaporkan bahwa prosedur untuk mendeteksi asam nukleat virus enterik dalam oyster dengan reaksi rantai polimerase telah dikembangkan. Poliovirus tipe 1 dengan jumlah diketahui dibiakkan di dalam tubuh kerang oyster. Virus diekstrak dan dipekatkan dengan menggunakan flokulasi organik dan presipitasi polietilen glikol. Penghambat reaksi rantai polimerase-transkripsi balik ada dalam ekstrak oyster, yang mencegah perbanyakan asam nukleat virus sasaran. Teknik presipitasi acetyltrimethylammonium bromide cukup untuk menyingkirkan penghambat sehingga memungkinkan pendeteksian sampai serendah 10 PFU poliovirus. Virus Norwalk juga bisa dideteksi setelah dibiakkan di dalam oyster. Metodologi ini bisa berguna untuk mendeteksi virus tersebut dan virus patogen lain asal kerang.

Birnavirus Pada Bandeng

Chen (1990) mempelajari karakteristik dan daya patogen virus bandeng (milkfish virus atau MV) yang diisolasi dari ikan bandeng budidaya (Chanos chanos). Bila MV diinokulasi ke dalam sistem kultur sel CCT (color carp testis) dan diamati menggunakan mikroskop elektron maka terlihat adanya virion berdiameter 55 – 65 nanometer. Telah ditunjukkan bahwa MV ini stabil dalam larutan netral dan asam serta dalam pelarut organik. Studi penghambat metabolik menunjukkan bahwa virus tersebut memiliki RNA sebagai material genetiknya. Hasil penelitian yang diperoleh dari uji elektroforesis asam nukleat, netralisasi dan immunoblotting menunjukkan bahwa MV merupakan galur Ab dari virus Infectious Pancreatic Necrosis.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Bakteri Penyebab Penyakit Pada Ikan

Arsip Cofa No. C 049

Metode Diagnosis Penyakit Ikan Epizootik

Adanya suatu kondisi penyakit ikan terwujud melalui suatu ketidaknormalan. Diagnosis pada dasarnya merupakan suatu pengenalan ketidaknormalan ini dan menentukan penyebabnya dengan mengikuti serangkaian prosedur yang dikembangkan melalui pengalaman selama bertahun-tahun oleh para peneliti penyakit ikan. M. Kr. Das dalam buku “Standardization of Methods for Diagnosis and Prevention of Epizootic Fish Diseases” menjelaskan metode diagnosis penyakit ikan sebagai berikut :

Monitoring Kesehatan Ikan

Aspek ini penting karena melalui monitoring berkala terhadap kondisi kesehatan pada suatu daerah tertentu maka penyimpangan-penyimpangan dari kondisi kesehatan normal pada ikan dapat ditentukan. Penting bagi para pekerja kesehatan ikan untuk memperoleh informasi dasar melalui monitoring secara teratur sehingga masalah-masalah kesehatan ikan dapat dideteksi.

Informasi umum mengenai ikan yang perlu dicatat :
1. Gerak (reflek meloloskan diri)
2. Tingkah laku makan (rakus, lamban, bersembunyi)
3. Penampilan eksternal (berlendir atau kasar)
4. Mortalitas (data terakhir)
5. Kondisi umum (umur, berat, faktor kondisi)
6. Pengujian ikan (parasit, histologi mikroorganisme, darah)

Informasi umum mengenai lingkungan ikan yang perlu dicatat :
1. Deskripsi lokasi
2. Tipe badan perairan
3. Pasokan air (air hujan, irigasi, air selokan, sumur-dalam)
4. Tumbuhan air dan tumbuhan darat di sekitar daerah perairan tersebut
5. Tipe dasar kolam
6. Binatang yang hidup berasosiasi di daerah perairan tersebut (plankton, bentos, amfibi, burung)
7. Perubahan lingkungan yang terakhir
8. Pengujian kualitas air (suhu, warna. kejernihan, pH, alkalinitas, keasaman, kesadahan, amonia, klorida, oksigen terlarut, hidrogen sulfida, karbon dioksida bebas).

Metode Sampling

Ikan : Sampling untuk tujuan monitoring rutin bervariasi dalam situasi di mana ikan ditemukan mati. Biasanya metode sampling ini memperhatikan :
1. Ukuran sampel : ukuran sampel disesuaikan dengan ukuran populasi yang disampling, dan sesuai dengan derajat yang dikehendaki peluang ditemukannya patogen secara merata.
2. Ikan yang hampir mati merupakan contoh terbaik untuk pengujian di daerah perairan dalam hal masalah kesehatan ikan.

Prosedur Sampling Lapangan

Bell (1978) memperkenalkan tiga kemungkinan penyebab kematian pada populasi ikan liar.
a. Stres lingkungan atau keracunan – Ini ditandai oleh kematian serentak yang bersifat non selektif pada ikan-ikan dari berbagai kelompok umur dan bahkan sering pula ikan-ikan dari berbagai spesies.
b. Infeksi mikroba (virus, bakteri, protozoa, jamur). Ini dicirikan oleh kerusakan jaringan internal dan/atau eksternal makroskopik di bawah kulit dan serta ketidaknormalan lain seperti haemorrhagi, pembengkakan, koreng (ulcer), pemudaran warna, pemucatan insang yang menunjukkan kerusakan daun insang, sirip robek-robek, insang dan kulit ditutupi banyak lendir tebal. Biasanya hanya satu spesies ikan yang diserang. Kematian relatif cepat.
c. Metazoa – Ekto atau endoparasit ataupun keduanya mudah dilihat dengan mata telanjang. Kematian seringkali lambat.

Prosedur sampling lapangan untuk pengujian rutin dan selama berjangkitnya penyakit (untuk mengidentifikasi penyebabnya) bisa berubah-ubah. Pada kondisi lapangan di mana fasilitas untuk melakukan pengujian yang memerlukan laboratorium tersedia maka seorang petugas diagnostik bisa menjalankan metode-metode diagnosis tetapi bila fasilitas seperti ini tidak tersedia dan ikan hidup tidak dapat diangkut maka sampel jaringan ikan (seperti insang, ginjal, limfa atau organ yang terlihat terserang) bisa dikumpulkan dengan metode standar yang diketahui untuk penelitian virus ataupun bakteri atau untuk penerapan metode histologis.

Sampel darah : Pengumpulan sampel memerlukan kecermatan dan keseragaman metode pengumpulan untuk menjamin kesamaannya. Sampel dikumpulkan di lapangan dengan stres minimum misalnya dengan bantuan obat bius. Untuk darah yang disampling di lapangan paling baik diperoleh dengan melukai batang ekor.

Sampel bakteriologis
: Tenik bakteriologis standar digunakan untuk mendeteksi adanya bakteri patogen. Sebagian besar sampel bakteriologi diuji dengan teknik inokulum lempengan (plate inoculum technique). Cawan petri yang berisi agar-agar zat hara padat dipakai sebagai substrat untuk pertumbuhan bakteri.

Sampel parasit : Sampel parasit dikumpulkan dan disimpan untuk pengujian laboratorium dengan menggunakan prosedur standar.

Protozoa
: Disiapkan sebagai timbunan atau pulasan sementara yang diwarnai dengan larutan lugol ataupun diwarnai dengan metode haematoxylin besi Heidenhain atau Giemsa. Ciliata urceolariidae disiapkan sebagai pulasan kering-udara dan diwarnai dengan teknik peresapan perak Kleins.

Parasit helminthes
: yakni, monogenea dan acanthocephala dikumpulkan dalam garam fisiologis dan diawetkan di dalam AFA.

Parasit krustasea
: Dikumpulkan dan diawetkan di dalam formalin 10 % dan diamati di bawah sediaan asam laktat.

Air
: Sampel air paling baik dianalisa di lapangan dengan menggunakan alat-alat kimiawi (misal, Hach). Untuk pengujian laboratorium digunakan metode kimia standar lainnya.


Baca juga :
Aeromonas : Keberadaan, Ciri-Ciri, Kelangsungan Hidup, Penyakit dan Imunisasi

Daya Patogen Beberapa Bakteri

Austin dan Austin (1999), berdasarkan laporan beberapa penelitian, mendaftar jenis-jenis bakteri patogen pada ikan di antaranya sebagai berikut :


- Eubacterium tarantellae : infeksi bakteri ini bisa melalui luka atau kerusakan jaringan ikan yang ditimbulkan oleh parasit, patogen lemah atau stres. Begitu memasuki jaringan tubuh, kerusakan lebih lanjut bisa terjadi akibat racun ekso- dan endotoksin. Bakteri anaerob ini menghasilkan hemolisin dan lesitinase, yang berbahaya bagi ikan.

- Carnobacterium piscicola : percobaan skala kecil telah dilakukan dengan ikan rainbow trout yang dipelihara dalam air tawar pada suhu 18 °C dan hasilnya menunjukkan bahwa kematian bisa terjadi dalam 14 hari setelah penyuntikan bakteri ini secara intraperitoneal (lewat-perut) sebanyak 105 sel/ikan. Ikan mati dan ikan sekarat memiliki ginjal yang membengkak dan menimbun cairan nanah di dalam rongga perut. Bagaimanapun, efek merugikan tidak terlihat setelah penyuntikan ekstrak bebas-bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa eksotoksin (racun luar) tidak berperanan penting dalam patogenisitas.

- Lactococcus garvieae : infeksi terjadi dengan penyuntikan 104 sampai 105 sel bakteri ini; juga terjadi setelah ikan dipaparkan selama 10 menit terhadap 106 bakteri ini. Penyakit kemudian menjadi makin parah hingga terjadi kematian. Beberapa ikan peka terhadap bakteri ini, misalnya trout yang bisa mengalami kematian masal, sedangkan ikan mujaer (Sarotherodon mossambicus), mujaer bergaris (Tilapia sparramanii), ikan mas (Cyprinus carpio) dan largemouth bass (Micropterus salmoides) tidak.

- Streptococcus milleri (G3K) : bakteri ini yang disuntikkan sebanyak 5 x 106 sel/ikan menyebabkan 20% mortalitas pada salmon Atlantik. Yang menarik, semua ikan menjadi berwarna gelap, namun tidak ada tanda-tanda ketidak normalan internal atau eksternal. Pada rainbow trout, ada bukti bahwa ginjalnya dipenuhi cairan.

- Vagococcus salmoninarum : infeksi bakteri ini dicapai dengan dosis yang agak tinggi, yaitu 1,8 x 106 sel/ikan pada rainbow trout.

Baca juga :
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan


- Bacillus sp : infeksi pada lele (Clarias gariepinus) telah dilakukan melalui mulut dan penyuntikan secara subcutaneous (bawah-kulit) dengan dosis yang agak rendah 0,5 ml, yang mengandung 1,8 x 103 sel/ml. Mortalitas sebesar 60 % dan 30 % terjadi selama periode 3 minggu untuk infeksi bakteri lewat mulut dan bawah-kulit, berturut-turut.
- Bacillus mycoides : penyuntikan bakteri ini sebanyak 1,6 x 104 sel secara intramuscullar (lewat-otot) menyebabkan kerusakan jaringan pada ikan channel catfish; kerusakan tersebut mirip dengan gejala penyakit yang asli. Penyuntikan bakteri secara intraperitoneal dan subcutaneous tidak mengakibatkan kerusakan jaringan pada ikan yang terinfeksi.

- Corynebacterium aquaticum : isolat bakteri dari ikan, RB 968 BA,membunuh rainbow trout dan ikan stripped bass dengan LD-50 (lethal dose; dosis mematikan) hasil perhitungan 5,8 x 104 dan 1,0 x 105, berturut-turut. Ikan yang diinfeksi secara eksperimental mengembangkan hemoragi (pendarahan) di dalam rongga tengkorak, tetapi tidak menunjukkan sedikit pun gejala-gejala penyakit eksternal.

- Coryneform : sebagai hasil percobaan patogenisitas dengan ikan rainbow trout (berat rata-rata 8 gram) yang dipelihara dalam air tawar pada suhu 18 °C, telah diketahui bahwa 1,25 x 106 sel, yang diberikan melalui penyuntikan intraperitoneal, dapat membunuh ikan dalam beberapa hari.

- Micrococcus luteus : penyuntikan 105 sel, secara intramuscullar dan intraperitoneal, menyebabkan mortalitas 54 % pada anak rainbow trout dalam 14 hari.

- Mycobacterium spp. : hanya Mycobacterium chelonei subspesies piscarium yang telah dipelajari secara mendetail. Pada suhu air 12 °C, infeksi eksperimental telah dilakukan pada rainbow trout melalui penyuntikan secara intraperitoneal sebanyak kira-kira 107 sel. Mortalitas akumulatif berkisar dari 20 % sampai 52 %. Pada juvenil chinook salmon, 98 % mortalitas dilaporkan dalam 10 hari pada suhu air 18 °C.

- Nocardia spp. : infeksi eksperimental telah dilakukan pada ikan gabus Formosa (Chanos maculata) (catatan : yang benar di sini Chanos atau Channos ?) dan largemouth bass (Micropterus salmoides). Kerusakan jaringan yang diikuti kematian terjadi dalam 14 hari setelah penyuntikan 8 mg suspensi Nocardia asteroides secara intraperitoneal.

- Planococcus sp. : ikan, yang disuntik secara intraperitoneal dengan 105 sel tampak berenang tidak menentu dalam 48 jam. Pada saat itu, insangnya menjadi pucat, anus menjulur dan perut membengkak. Usus bengkak dan berdarah. Ginjal sedikit berair. Sekitar 30 – 40 % ikan yang terinfeksi mati.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Bakteri Pada Ikan Turbot Budidaya

Novoa et al. (1990) dalam Banning (1992) melaporkan bahwa perkembangan budidaya ikan turbot (Scophthalmus maximus L.) meningkat pesat di Galicia (Spanyol Barat-laut). Perkembangan ini diikuti oleh munculnya masalah patologis pada spesies ikan tesebut. Laporan pendahuluan hasil survei mikrobiologis pada budidaya ikan turbot menunjukkan bahwa bakteri yang sering diisolasi adalah dari genus Vibrio (Vibrio splendidus, Vibrio pelagius), dan yang kurang sering adalah dari genus Pseudomonas, Streptococcus serta Staphylococcus. Birnavirus (virus mirip-IPN) diisolasi hanya dari dua sampel. Flagelata Costia sp., ciliata Trichodina sp. dan Cryptocaryon sp., mikrosporidia Tetramicra brevifilum dan cacing cestoda Bothriocephalus scorpii semua jarang dijumpai.

Baca juga :
Bakteri Vibrio dan Vibriosis

Penyakit Ginjal Akibat Hafnia

Teshima et al. (1992) menemukan penyakit ginjal yang diakibatkan oleh infeksi alami bakteri Hafnia alvei pada juvenil umur setahun ikan cherry salmon Oncorhynchus masou yang dipelihara di kolam ikan lokal di Jepang. Dari luar, ikan yang sakit menunjukkan permukaan tubuh yang gelap dan perut membengkak, dan mereka berenang perlahan-lahan. Dari dalam tubuh, kerusakan jaringan dengan berbagai ukuran, yang tampak seperti benjolan putih keabuan, timbul pada sisi ventral ginjal; secara histopatologis gejala-gejala ini mirip dengan gejala “bacterial kidney disease” (penyakit ginjal bakterial) yang diakibatkat oleh bakteri Renibacterium salmoninarum. Patologi ginjal secara eksperimental bisa ditimbulkan kembali dengan isolat murni Hafnia alvei yang diambil dari luka-luka pada ginjal ikan yang terinfeksi alami. Periode inkubasi penyakit ini pada ikan cherry salmon muda adalah sekitar 3 bulan setelah penyuntikan intraperitoneal tunggal. Penyakit ini, bagaimanapun, bisa muncul lebih cepat sejalan dengan peningkatan frekuensi penyuntikan isolat bakteri.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Bakteri di Perairan

Mycobacterium Pada Ikan

Lansdell et al. (1993) mengamati spesies-spesies bakteri Mycobacterium pada ikan. Beberapa spesies ikan laut yang ditangkap dari alam liar dan ikan hias air tawar digunakan dalam studi ini. Organ-organ yang diinfeksi (hati, limfa, dan ginjal) disampling untuk menemukan mycobakteria. Sampel jaringan yang telah didekontaminasi diletakan pada media selektif untuk mencari mycobakteria. Setelah isolasi awal, teknik fluoresensi dan penodaan asam-cepat digunakan untuk mengidentifikasi bakteri sampai ke genus. Profil karakteristik pertumbuhan biokimia dipakai untuk menidentifikasi lebih lanjut isolat tersebut sampai ke spesies. Lima spesies Mycobacterium telah diidentifikasi : Mycobacterium simiae, Mycobacterium scrofulaceum, Mycobacterium marinum, Mycobacterium chelonae dan Mycobacterium fortuitum. Di antara mereka Mycobacterium simiae dan Mycobacterium scrofulaceum belum pernah dilaporkan ditemukan pada ikan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Hormon Avertebrata, Vertebrata, Pituitari dan Metamorfosis

Arsip Cofa No. C 048

Konsep Umum dan Hormon Pada Avertebrata

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa hormon adalah pembawa pesan kimia yang disintesis oleh sel endokrin khusus dan sel-sel lain kemudian diangkut oleh darah menuju sel sasaran di mana mereka mempengaruhi fungsi sel dengan mengubah proses-proses biokimia tertentu. Spesifikasi respon dijamin oleh adanya reseptor protein pada atau di dalam sel sasaran yang hanya mengikat hormon-hormon tertentu. Pengaruh hormon sangat diperkuat di dalam sel sasaran melalui salah satu dari dua mekanisme dasar. Banyak jenis hormon, termasuk epinefrin, glukagon, vasopresin dan beberapa hormon dari pituitari anterior, menyebabkan produksi “pembawa pesan kedua”, seperti AMP siklik, yang menyampaikan-kembali pesan hormon dari reseptor permukaan ke mesin biokimia sel. Hormon-hormon steroid dan hormon-hormon tiroid bekerja melalui reseptor inti. Kompleks hormon-reseptor mengubah sintesis protein dengan merangsang atau menghambat transkripsi gen.

Baca juga :
Sejarah Endokrinologi

Menurut Hickman et al. (2001) kebanyakan hormon invertebrata merupakan produk dari sel neurosekretori. Sistem endokrin avertebrata yang dipahami paling baik adalah hormon pengendali molting (ganti kulit) dan metamorfosis pada serangga. Serangga juvenil tumbuh dengan melewati serangkaian proses ganti kulit di bawah kendali dua jenis hormon, pertama hormon ekdison yang mengatur ganti kulit sampai menjadi individu dewasa dan kedua hormon juvenil yang mempertahankan sifat-sifat juvenil. Ekdison dikendalikan oleh sejenis hormon neurosekretori (PTTH) dari otak.

Baca juga :
Kemungkinan Penggunaan Hormon Untuk Merangsang Pertumbuhan Bandeng (Chanos chanos)

Hormon Pada Vertebrata

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa sistem endokrin vertebrata diatur oleh hipotalamus. Pelepasan semua hormon pituitari anterior diatur terutama oleh produk-produk neurosekresi hipotalamus yang disebut “releasing hormone/hormon pelepas” (atau hormon penghambat pelepasan). Hipotalamus juga menghasilkan dua jenis hormon neurosekresi, yang disimpan di dalam dan dilepaskan dari lobus pituitari posterior. Pada mamalia, kedua hormon ini adalah oksitosin, yang merangsang produksi susu dan kontraksi uterus selama proses kelahiran; dan vasopresin (hormon antidiuretik) yang bertindak terhadap ginjal untuk menghambat produksi urin, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, dan meningkatkan rasa haus. Pada amfibi, reptil dan burung, vasotosin menggantikan vasopresin sebagai hormon pengatur keseimbangan air. Lobus pituitari anterior menghasilkan tujuh jenis hormon yang telah dikenal dengan baik. Empat di antaranya adalah hormon “tropic” yang mengatur kelenjar endokrin : hormon tirotropik (TSH), yang mengendalikan sekresi hormon-hormon tiroid; hormon adrenokortikotropik (ACTH), yang merangsang pelepasan hormon-hormon steroid oleh korteks anak-ginjal; dan “follicle-stimulating hormone’ (FSH; hormon perangsang folikel) dan “luteinizing hormone’ (LH), yang beraksi terhadap ovari dan testes. Tiga jenis hormon yang bertindak langsung adalah (1) prolaktin, yang memainkan beberapa peranan beragam, termasuk merangsang produksi susu; (2) hormon pertumbuhan, yang mengendalikan pertumbuhan dan metabolisme tubuh; dan (3) hormon perangsang melanosit (MSH), yang mengatur penyebaran sel-sel melanosit pada vertebrata ektoterm.

Baca juga :
Hormon Pertumbuhan Ikan

Hickman et al. (2001) menambahkan bahwa pada banyak vertebrata, kelenjar pineal menghasilkan hormon melatonin yang dilepaskan sebagai respon terhadap kondisi gelap. Pada burung dan mamalia yang merupakan pemijah musiman, melatonin menyediakan informasi tentang panjang hari, dan dengan demikian secara tidak langsung mengatur aktivitas reproduksi musiman. Di dalam otak ada beberapa neuropeptida yang bertindak sebagai hormon, yaitu prostaglandin dan sitokin. Beberapa hormon memainkan peranan penting dalam mengatur aktivitas metabolik seluler. Dua hormon tiroid, yaitu triodotironin dan tiroksin, mengatur pertumbuhan, perkembangan sistem saraf dan metabolisme seluler. Metabolisme kalsium dikendalikan terutama oleh tiga jenis hormon : hormon paratiroid dari kelenjar paratiroid, hormon 1,25-dihidroksivitamin D yang merupakan turunan vitamin D, dan kalsitonin dari kelenjar tiroid. Hormon paratiroid dan 1,25-dihidroksivitamin D meningkatkan konsentrasi kalsium dalam plasma darah sedang kalsitonin menurunkannya.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Hormon-hormon steroid utama dari kortek adrenal adalah glukokortikoid, yang merangsang pembentukan glukosa dari sumber non glukosa (glukoneogenesis), dan mineralokortikoid, yang mengatur keseimbangan elektrolit darah. Medula adrenal merupakan sumber hormon epinefrin dan norepinefrin, yang mempunyai banyak pengaruh, di antaranya membantu sistem saraf simpatetik dalam respon darurat. Mereka juga meningkatkan subtrat energi di dalam darah untuk digunakan pada situasi darurat. Pankreas endokrin menghasilkan dua jenis hormon yang bekerja berlawanan (antagonistik) dalam mengatur metabolisme glukosa, yaitu insulin dan glukagon. Insulin dibutuhkan dalam proses pemanfaatan glukosa darah pada tingkat seluler serta penyerapan asam-asam amino di dalam otot; aksi glukagon berlawanan dengan insulin. Hormon yang ditemukan baru-baru ini adalah leptin, yang disekresi oleh jaringan lemak (adipose) dan memberi umpan balik bagi hipotalamus untuk mengatur keseimbangan energi dan pengambilan makanan (Hickman et al., 2001).

Baca juga :
Mekanisme Kerja dan Pengaturan Sekresi Hormon

Hormon Yang Dihasilkan Pituitari Teleostei

Matty (1985) meringkaskan jenis dan fungsi hormon-hormon yang diproduksi oleh adenohipofisis pada ikan teleostei. Hormon pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan ikan secara linier dengan berbagai cara. Hormon ini merangsang nafsu makan, memperbaiki konversi pakan, meningkatkan sintesis protein, mengurangi kehilangan nitrogen, merangsang oksidasi dan memobilisasi lemak serta secara langsung atau pun tidak langsung mendorong sintesis dan pelepasan insulin. Hormon prolaktin memodifikasi pergerakan air dan natrium melewati insang, ginjal dan kandung kemih serta mempengaruhi kulit dan saluran pencernaan; prolaktin juga terlibat dalam metabolisme lipida dan penyimpanan lemak serta menurunkan kadar tiroksin dalam serum darah. Hormon tirotropin merupakan sejenis glikoprotein dan berfungsi mengatur fungsi kelenjar tiroid. Hormon adrenokortikotropin (ACTH) menyebabkan peningkatan kadar kortisol pada ikan trout dan respon ini sama seperti pada ACTH babi. “Melanophore Stimulating Hormone” (MSH) mengatur perubahan warna tubuh ikan teleostei. Hormon gonadotropin (GTH) ada yang kaya-karbohidrat dan ada yang miskin-karbohidrat; gonadotropion-kaya karbohidrat terlibat dalam proses-proses seperti steroidogenesis, spermiasi (pembentukan sperma), pematangan oosit (sel telur) dan ovulasi, sedangkan gonadotropin miskin-karbohidrat berkaitan dengan vitelogenesis (produksi kuning telur) meskipun gonadotropin kaya-karbohidat pada beberapa spesies ikan juga terlbat dalam vitelogenesis. Selain hormon-hormon tersebut kelenjar pituitari teleostei juga menghasilkan “Hypothalamic Release Hormone” (hormon pelepas hipotalamik), “Thyrotropin-Releasing Hormone” (TRH; hormon pelepas tirotropin) dan “Gonadotropin Releasing Hormone” (GRH; hormon pelepas gonadotropin).

Baca juga :
Reproduksi dan Endokrinologi

Hormon Yang Terlibat Dalam Metamorfosis Ikan Sebelah

Jesus et al. (1992) melaporkan bahwa pada mamalia, tiroksin (T-4) dianggap sebagai prohormon yang diubah menjadi triodotironin (T-3) agar dapat memberikan pengaruh biologisnya. Tiroksin juga mengalami monodeiodinasi untuk menghasilkan kebalikan T-3 (rT-3) yang tak aktif. Selama metamorfosis ikan sebelah, kadar tiroksin dalam jaringan menunjukkan peningkatan dramatis sedangkan kadar T-3 hanya meningkat sedikit. Bagaimanapun, T-3 beberapa kali lebih potensial daripada T-4 dalam merangsang metamorfosis. Uji terhadap aktivitas 5- dan 5’- monodeiodinase telah dikembangkan. Laju 5- dan 5’- monodeiodinasi adalah rendah selama pro metamorfosis, tetap tinggi selama klimak metamorfosis, dan menurun saat pasca klimaks dan pada ikan juvenil. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa pengubahan T-4 dan T-3 meningkat selama metamorfosis. rT-3 semula dilaporkan tidak ada pada plasma darah ikan teleostei; bagaimanapun, tidak hanya rT-3 yang ada dalam homogenat badan utuh ikan sebelah pada semua tahap metamorfosis, tetapi juga konsentrasinya berubah hampir sejalan dengan perubahan konsentrasi T-4 dan T-3.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 23 Mei 2012

Upaya Mengurangi Konsentrasi Amonia dan Daya Racunnya Dengan Menggunakan Zeolit

Arsip Cofa No. B 001

Karakteristik Fisika dan Kimia Zeolit

Payra dan Dutta (2003) dalam Auerbach et al. (2003) menyatakan bahwa zeolit merupakan kristal aluminosilikat berpori-mikro, dan memiliki susunan tetrahedra TO4 (T = Silikon, Aluminium) dengan atom-atom oksigen menjadi penghubung tetrahedra-tetrahedra di sekelilingnya. Untuk struktur bersilika komplit, kombinasi unit-unit TO4 (T = silikon) dalam pola ini akan membentuk silika (SiO2), yang merupakan padatan tak bermuatan. Ke dalam rangka silika ini kemudian bergabung aluminium dan kation-kation (terutama kation anorganik dan organik) sehingga struktur tersebut secara keseluruhan bermuatan netral. Kation-kation tersebut merupakan ion yang dapat-dipertukarkan sehingga zeolit memiliki sifat pertukaran-ion yang kuat. Karaktetristik zeolit berasal dari kondisinya yang banyak mengandung mikro pori-pori dan merupakan akibat dari topologi rangkanya.

Jumlah atom aluminium di dalam rangka zeolit dapat bervariasi sangat lebar, dengan perbandingan Si/Al = 1 sampai tak hingga. Sejalan dengan meningkatnya rasio Si/Al di dalam rangka tersebut, maka stabilitas hidrotermal dan sifat hidrofobisitas (takut-air) akan meningkat. Stabilitas termal zeolit bervariasi dalam kisaran suhu yang lebar. Suhu dekomposisi untuk zeolit rendah-silika adalah sekitar 700 °C, sedangkan zeolit bersilika lengkap, seperti misalnya silikalit, bersifat stabil sampai suhu 1300 °C. Zeolit bersilika-rendah adalah tidak stabil dalam kondisi asam, sedangkan zeolit bersilika-tinggi stabil dalam cairan asam mineral mendidih, namun tidak stabil dalam larutan basa. Zeolit bersilika-rendah cenderung memiliki struktur dengan 4, 6 dan 8 MR, sedangkan zeolit yang mengandung lebih banyak silika mempunyai 5 MR. Zeolit bersilika-rendah bersifat hidrofilik (suka-air), sedangkan zeolit bersilika-tinggi bersifat hidrofobik (takut-air), dan zeolit dengan sifat transisi timbul pada rasio Si/Al sekitar 10 (Payra dan Dutta, 2003, dalam Auerbach et al., 2003).

Payra dan Dutta (2003) dalam Auerbach et al. (2003) menambahkan bahwa konsentrasi, lokasi dan selektivitas pertukaran kation bervariasi sangat besar sesuai dengan rasio Si/Al dan memainkan peranan penting dalam penyerapan (adsorption), katalisis dan pertukaran ion. Meskipun konsentrasi lokasi asam berkurang dengan meningkatnya rasio Si/Al, namun koefisien-koefisien kekuatan asam dan aktivitas proton meningkat sejalan dengan menurunnya konsentrasi aluminium. Zeolit juga memiliki karakteristik akibat adanya sifat unik di mana permukaan internal sangat mudah diakses dan mungkin menyusun lebih dari 98 % luas permukaan total. Luas permukaannya secara khas bisa mencapai 300 – 700 m2/gram.

Secara khas, pada zeolit sintetis, air yang ada selama sintesis akan menempati ruang-ruang kosong di dalam zeolit tersebut. Kation organik non-rangka dan fase terserap dapat dihilangkan dengan cara oksidasi/perlakuan panas, sehingga terbentuk ruang intra-kristalin. Fakta bahwa zeolit mempertahankan integritas strukturalnya meskipun kehilangan air menyebabkan zeolit berbeda dari material berpori penyerap-air, seperti CaSO4. Sifat kristalin rangka zeolit menjamin mulut pori-pori berukuran seragam di seluruh kristal tersebut dan dapat dengan mudah memilah-milah berbagai molekul dengan perbedaan ukuran molekul kurang dari 1 Angstrom; hal ini menyebabkan zeolit dikenal dengan nama saringan molekuler. Lubang mulut pori-pori zeolit juga bisa dikendalikan melalui pertukaran ion. Untuk natrium-A (LTA), mulut pori-pori berukuran sekitar 4 Angstrom memungkinkan CO2 tersingkir dari CH4. Untuk kalium-A dengan mulut lubang pori berukuran sekitar 3 Angstrom, H2O bisa disingkirkan dari alkohol dan alkana. Untuk kalsium-A dengan ukuran mulut pori-pori sekitar 4,7 Angstrom, n-alkana dapat menembus zeolit tetapi alkana yang bercabang tidak dapat menembusnya (Payra dan Dutta, 2003, dalam Auerbach et al., 2003).

Baca juga
Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Karakteristik Zeolit Alami dan Kemampuannya Dalam Menyingkirkan Amonia

Banyaknya penggunaan zeolit alami dalam pengelolaan lingkungan mendorong dilakukannya banyak penelitian baru terutama karena sifat-sfiatnya dan keberadaannya yang tersebar luas di seluruh dunia. Englert dan Rubio (2005) melakukan studi untuk mempelajari karakteristik sejenis zeolit alami asal Chili dan pemanfaatannya sebagai agen penyerap amonia dari larutan. Sampel batuan “tuff” yang kaya akan zeolit, yang terutama tersusun dari klinoptilolit dan modernit, mengandung partikel dengan diameter rata-rata 13 mikron, dengan kemampuan penyerapan luas permukaan spesifik 55 m2/gram (penyerapan metilen biru) dan 177 m2/gram (penyeraan nitrogen) (catatan : tuff adalah batuan ringan berpori yang terbentuk akibat konsolidasi abu vulkanik). Partikel-partikel zeolit ini memiliki muatan negatif pada kisaran pH yang lebar (dengan atau tanpa amonia) dan kapasitas pertukaran kation 1,02 meq NH4+ per gram. Penyingkiran amonia tampaknya berlangsung melalui proses pertukaran ion dengan kinetika yang cepat (laju konstan pada 0,3 per menit) pada nilai pH netral, dengan kapasitas penyingkiran sampai 0,68 NH4+ per gram. Model isoterm Langmuir menyediakan data keseimbangan yang sangat sesuai (R2 = 0,97). Hasil penelitian ini menunjukkan tingginya potensi zeolit alami asal Chili sebagai agen penyerap atau material pertukaran ion untuk pengolahan air limbah dan daur ulang pemakaian air.

Penggunaan Zeolit Untuk Menyingkirkan Amonia dan Menghilangkan Daya Racunnya

Menurut Burgess et al. (2004) amonia ditemukan dalam perairan laut termasuk dalam air sela-sela sedimen. Pada konsentrasi yang cukup tinggi, amonia dapat bersifat racun bagi spesies organisme air. Metode “toxicity identification evaluation” (TIE, evaluasi identifikasi daya racun) menyediakan alat bagi peneliti untuk mengidentifikasi racun dalam air. Ada beberapa metode untuk mengidentifikasi daya racun amonia seperti “volatilization” (pembentukan senyawa mudah-menguap) dan perubahan pH, penambahan Ulva lactuca, penguraian oleh mikroba, dan penambahan zeolit. Penambahan zeolit telah berhasil digunakan dalam sistem perairan tawar untuk mengurangi konsentrasi amonia dan daya racunnya selama beberapa dekade. Bagaimanapun, zeolit dalam sistem perairan laut kurang banyak dipakai karena ion-ion dalam air laut mengganggu kemampuan zeolit menjerap amonia. Tujuan studi ini adalah mengembangkan metode zeolit untuk menghilangkan amonia dari air laut. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti melakukan serangkaian studi kromatografi kolom terhadap zeolit guna menentukan kapasitas dan laju penyerapan serta untuk mengevaluasi pengaruh salinitas dan pH terhadap penyingkiran amonia. Peneliti juga mempelajari interaksi antara zeolit dengan beberapa logam beracun. Metode ini juga dievaluasi dengan mengukur daya racun amonia bagi dua spesies organisme laut : mysid Americamysis bahia dan amfipoda Ampelisca abdita.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Burgess et al. (2004) menyimpulkan bahwa kromatografi kolom terbukti efektif untuk menyingkirkan amonia dalam kisaran konsentrasi yang lebar di bawah beberapa kondisi percobaan. Sayangnya, "slurry method" (metode di mana partikel-partikel zeolit dimasukkan ke dalam air hingga membentuk suspensi) ini tidak konsisten dan memberikan hasil yang bervariasi dalam menghilangkan amonia dan tidak dapat disarankan. Logam-logam tembaga, timah hitam dan seng bisa disingkirkan oleh zeolit baik dengan metode slurry maupun kolom. Kolom zeolit berhasil menghilangkan daya racun amonia baik untuk mysid maupun amfipoda, sedangkan metode slurry kurang efektif. Studi ini menunjukkan bahwa kromatografi kolom zeolit merupakan cara yang berguna dalam melakukan TIE pada air laut untuk mengurangi konsentrasi amonia dan menentukan karakteristik daya racunnya.

Baca juga
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

Pengaruh Zeolit Terhadap Daya Racun Amonia Dalam Sedimen Perairan Tawar

Teknik untuk mengurangi daya racun amonia dalam sedimen perairan tawar telah diteliti oleh Besser et al. (1998) sebagai bagian dari proyek pengembangan prosedur TIE untuk semua sedimen. Meskipun amonia merupakan komponen alami dalam sedimen perairan tawar, polusi dapat menaikkkan konsentrasi amonia sampai ke tingkat yang beracun bagi invertebrata bentik, dan amonia juga dapat meningkatkan daya racun sedimen yang mengandung bahan pencemar yang lebih kekal. Peneliti menggunakan mineral zeolit alami, yaitu klinoptilolit, untuk mengurangi konsentrasi amonia dalam air pori-pori sedimen. Zeolit banyak digunakan untuk menghilangkan amonia dalam pengolahan air dan dalam prosedur TIE.

Besser et al. (1998) menyimpulkan bahwa penambahan butiran zeolit ke sedimen beramonia menurunkan konsentrasi amonia dalam air pori-pori dan mengurangi daya acun amonia bagi invertebrata. Pemberian 20% zeolit (v/v; volume per volume) mengurangi konsentrasi amonia dalam air pori-pori sebesar minimal 70% pada sedimen beramonia yang menjadi ciri khas sedimen perairan tawar yang tercemar. Pemberian zeolit menurunkan daya racun sedimen beramonia bagi tiga taksa invertebrata bentik (Hyalella azteca, Lumbriculus variegatus, dan Chironomus tentans), meskipun kepekaan mereka terhadap daya racun amonia sangat berbeda. Sebaliknya, pemberian zeolit tidak mengurangi daya racun akut sedimen yang banyak mengandung kadmium atau tembaga, atau menurunkan konsentrasi logam-logam ini dalam air pori-pori. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian zeolit, dalam uji daya racun dengan taksa yang peka seperti H. azteca, bisa menjadi teknik yang efektif untuk menurunkan secara selektif daya racun amonia dalam sedimen perairan tawar.

Baca juga
Variasi Daya Racun Amonia

Menyingkirkan Amonia Dari Air Limbah Dengan Zeolit Alami

Booker et al. (1996) melaporkan bahwa proses penyerapan-cepat, yang memanfaatkan selektivitas zeolit Australia alami terhadap ion amonium, telah dikembangkan untuk menyingkirkan amonia dari air limbah. Tujuan studi ini adalah untuk memahami manfaat sumberdaya Australia alami tersebut sebagai alternatif yang efisien bagi metode penanganan limbah yang sudah ada. Pemahaman mengenai keseimbangan dan perilaku kinetika zeolit ini menimbulkan harapan akan kemampuan material ini sebagai media penyerapan.

Hasil-hasil studi yang menggembirakan mendorong dilakukannya pilot proyek uji coba, yang menunjukkan bahwa zeolit merupakan material yang sangat bagus sebagai media penyerapan untuk operasi kolom kontinyu. Proses penyerapan oleh zeolit terbukti efektif, pada skala pilot proyek, untuk menurunkan konsentrasi ion amonium dalam air limbah. Konsentrasi ion amonium yang semula berkisar dari 25 sampai 50 mg NH4-N/liter turun menjadi di bawah 1 mg NH4-N/liter. Pada kondisi operasi yang optimal, kapasitas penyerapan zeolit untuk kisaran konsentrasi amonium ini adalah sekitar 4,5 mg NH4-N/gram. Laju penanganan air limbah dengan kolom zeolit pilot proyek ini membuatnya sangat sesuai untuk melengkapi proses pengolahan limbah sekunder bervolume besar guna menghilangkan komponen amonia terlarut (Booker et al., 1996).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penyingkiran Amonia Dari Perairan Tercemar Dengan Zeolit Klinoptilolit

Rahmani et al. (2004) menyatakan bahwa amonia nitrogen dibuang bersama air limbah perkotaan, industri dan pertanian, yang kemudian bercampur dengan sumberdaya perairan. Beberapa dampak negatif amonia mencakup peningkatan laju eutrofikasi danau, penurunan konsentrasi oksigen terlarut di perairan yang menerima amonia tersebut serta terjadinya keracunan ikan. Batas maksimum konsentrasi amonia yang ditetapkan oleh Asosiasi Eropa untuk Air Minum adalah sekitar 0,5 mg/liter. Dengan demikian air mentah dengan konsentrasi amonia yang tinggi harus diolah sebelum diterima konsumen, dan air limbah harus ditangani sebelum dibuang ke perairan. Metode yang paling banyak digunakan untuk menyingkirkan amonia dari air limbah adalah “air stripping”, pertukaran ion, “breakpoint chlorination” dan nitrfikasi-denitrifikasi biologis. Metode pertukaran ion telah didemontsrasikan memberikan hasil yang sama dengan metode-metode lain baik dalam hal kinerja maupun biaya.

Klinoptilolit merupakan salah satu jenis zeolit alami yang biasa dipakai untuk menyingkirkan kation dan ion amonia dari larutan. Selain memiliki afinitas (daya ikat) terhadap ion amonia yang lebih besar dibandingkan media pertukaran lainnya, zeolit juga relatif murah bila dibandingkan dengan berbagai jenis material penyerap sintetis. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mempelajari penyingkiran amonia dari perairan tercemar dengan menggunakan zeolit alami. Pemakaian zeolit untuk mengolah air limbah yang mengandung 10 sampai 19 mg/liter ion NH4+ memberikan hasil yang efisien, sebanyak 93 sampai 98 % amonia bisa dihilangkan. Kapasitas pertukaran ion amonia tergantung pada keberadaan kation-kation lain dalam fase larutan dan pada konsentrasi amonia awal (Rahmani et al., 2004).

Rahmani et al. (2004) melaporkan bahwa berbagai senyawa amonia nitrogen dalam air limbah memberikan efek berbahaya bagi sumberdaya perairan. Pertukaran ion dengan zeolit merupakan salah satu metode untuk menyingkirkan amonia dari air limbah. Para peneliti melakukan studi dengan tujuan mempelajari efisiensi zeolit dalam menyingkirkan amonia dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut. Klinoptilolit diperoleh dari pertambangan Semnan di bagian utara Iran. Sampel zeolit digiling dan disaring dengan saringan standar Ameria Serikat nomor 20, 30 dan 40 kemudian dikondisikan dengan larutan amonia sulfat dan natrium klorida. Karakteristik sampel untuk penyingkiran amonia dan urutan selektivitas penyerapan berbagai kation ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kapasitas pertukaran ion untuk zeolit dalam sistem “batch” dan sistem kontinyu adalah 6,65 – 16 dan 16,31 sampai 19,5 mg NH4+/gram berat zeolit, berturut-turut. Pada studi ini urutan selektivitas zeolit terhadap kation adalah K+, NH4+, Na+, Ca2+ dan Mg2+ berturut-turut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa regenerasi tingkat tinggi (95 – 98 %) bisa dicapai dengan larutan NaCl. Berdasarkan hasil studi ini, klinoptilolit bisa efektif digunakan dalam pengolahan air limbah, baik dari aspek teknis maupun ekonomis.

Zeolit Klinoptilolit Untuk Menyingkirkan Amonia Dari Air Limbah

Cooney et al. (1999) mempelajari kemungkinan menyingkirkan amonia dari air limbah dengan menggunakan zeolit Australia alami atau klinoptilolit. Kapasitas pertukatan-amonium dan laju penyerapan adalah penting dalam menduga kelayakan zeolit untuk mengolah air limbah secara kontinyu. Studi laboratorium telah dilakukan dengan menggunakan larutan murni untuk mempelajari beberapa karakteristik kinetika dan keseimbangan pertukaran amonium pada zeolit ini. Percobaan keseimbangan biner menyediakan informasi mengenai karakteristik penyerapan zeolit dalam hal kapasitas amonia pada berbagai konsentrasi larutan. Selain itu, percobaan keseimbangan multi komponen juga telah dilakukan untuk menentukan efek persaingan berbagai kation terhadap kapasitas pertukaran amonium pada zeolit.

Percobaan-percobaan tersebut menunjukkan bahwa efisiensi penyingkiran amonium paling tinggi dicapai apabila titik-titik lokasi pertukaran zeolit diubah ke bentuk natrium. Studi laboratorium menunjukkan bahwa selektivitas zeolit terhadap ion amonium adalah lebih tinggi dibandingkan pada kation-kation lain yang biasanya ada di dalam air limbah (kalsium, magnesium dan kalium); dan seain itu studi laboratorium ini juga menyediakan informasi dasar mengenai rancangan serta operasi proses penanganan air limbah secara kontinyu (Cooney et al., 1999).

Baca juga
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Perbandingan Efektivitas Metode Zeolit, Ulva lactuca dan Aerasi Dalam Menyingkirkan dan Mengurangi Daya Racun Amonia

Burgess et al. (2003) melakukan studi untuk membandingkan tiga metode mengurangi daya racun amonia, yaitu metode Ulva lactuca, zeolit dan metode aerasi. Metode “Toxicity Identification Evaluation” (TIE, evaluasi identifikasi daya racun) bisa digunakan untuk menentukan racun(-racun) spesifik, termasuk amonia, yang menyebabkan kasus keracunan di dalam sedimen laut. Ada dua teknik manipulasi TIE primer yang tersedia untuk menentukan karakteristik dan mengidentifikasi amonia di dalam sedimen laut, yaitu penambahan Ulva lactuca dan zeolit. Pada studi ini, para peneliti membandingkan efisiensi semua metode tersebut dalam (1) menyingkirkan NHx dan NH3 dari lapisan air di atas sedimen dan dari air di sela-sela sedimen, serta (2) mengurangi daya racun amonia terhadap amfipoda Ampelisca abdita dan mysid Americamysis bahia dengan menggunakan sedimen yang tercemar secara alami maupun yang tercema secara buatan. Juga dilakukan evaluasi pendahuluan pemanfaatan aerasi untuk menyingkirkan NHx dan NH3 selama pelaksanaan TIE sedimen laut.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, Burgess et al. (2003) menyimpulkan bahwa secara umum, metode penambahan Ulva lactuca dan zeolit memberikan hasil yang sama-sama memuaskan dalam menyingkirkan NHx dan NH3 baik dari sedimen yang tercemar secara buatan maupun dari sedimen yang tak dimanipulasi, baik dari lapisan air di atas sedimen maupun dari air di sela-sela sedimen. Daya racun amonia terhadap amfipoda berkurang dengan nilai yang hampir sama untuk kedua metode. Bagaimanapun, daya racun terhadap mysid paling efektif diturunkan oleh metode penambahan Ulva lactuca. Hal ini menunjukkan bahwa metode penurunan daya racun amonia berfungsi paling baik bila menggunakan spesies epibentik yang terpapar amonia di dalam kolom air. Aerasi menyingkirkan NHx dan NH3 dari air laut bila pH disesuaikan menjadi 10; bagaimanapun, sangat sedikit amonia yang dihilangkan pada nilai-nilai pH di sekitarnya (sekitar 8,0). Perbandingan ini menunjukkan bahwa metode penambahan Ulva lactuca dan zeolit merupakan alat TIE yang efektif untuk mengurangi konsentrasi dan daya racun amonia pada uji daya racun sedimen keseluruhan.

Zeolit-Perak Untuk Menyingkirkan Amonia dan Bakteri

Krishnani et al. (2012) melaporkan bahwa aktivitas antimikroba zeolit perak terhadap bakteri Escherichia coli, Vibrio harveyi, Vibrio cholerae dan Vibrio parahaemolyticus telah dipelajari di dalam medium cair. Konsentrasi minimum yang dapat menimbulkan efek penghambatan zeolit pertukaan-ion perak terhadap Escherichia coli dan Vibrio harveyi adalah 40 µgram/ml, dan 50 – 60 µgram/ml untuk Vibrio cholerae dan Vibrio parahaemolyticus. Diameter zona-zona penghambatan untuk Escherichia coli, Vibrio harveyi, Vibrio cholerae dan Vibrio parahaemolyticus, berturut-turut, meningkat dari 0,5 menjadi 2,3 cm, dari 0,6 menjadi 2,4 cm, dari 0,3 menjadi 1,65 cm dan dari 0,3 menjadi 1,7 cm sejalan dengan meningkatnya konsentrasi zeolit pertukaan-ion perak dari 10 menjadi 400 mikrogram. Zeolit-perak menyingkirkan 20 – 37 % amonia dari larutan cair. Studi ini memperkuat dugaan bahwa zeolit pertukatan-ion perak dapat menimbulkan dampak terhadap penyebab penyakit dan penting dalam manajemen lingkungan pada budidaya udang.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, Krishnani et al. (2012) membuat kesimpulan sebagai berikut : (1) Zeolit pertukatan-ion perak telah berhasil disintesis dan ternyata memiliki aktivitas bakterisida (pembunuh bakteri). (2) Konsentrasi penghambatan minimum untuk Ag-zeolit berkisar antara 40 – 60 µgram/ml, tergantung jenis bakterinya. (3) Ag-zeolit dapat menyingkirkan amonia sebesar 20 – 37 %. (4) Ag-zeolit dapat dimanfaatkan sebagai material dengan harga murah dalam praktek akuakultur. (5) Ag-zeolit merupakan material yang berpotensi untuk mengatasi penyakit dan membantu mengelola aspek lingkungan dalam akuakultur.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Anabaena : Aspek Biologi, Ekologi dan Kimia

Arsip Cofa No. C 047

Simbiosis Anabaena dan Azolla

Hill (1975), berdasarkan laporan beberapa penelitian, menyatakan bahwa simbiosis Azolla dan Anabaena azollae tampaknya terbentuk bedasarkan fiksasi (pengikatan) nitrogen oleh Anabaena; produk fiksasi ini tampaknya berpindah ke daun Azolla karena organisme-ganda bisa tumbuh secara terpisah dengan mengambil nitrogen. Fiksasi nitrogen dilakukan oleh alga hijau-biru (Anabaena). Banyak peneliti telah dapat menumbuhkan Anabaena secara tersendiri. Perkembangan Anabaena di dalam rongga-rongga daun Azolla (kemungkinan Azolla filiculoides) telah dipelajari. Setelah alga hijau biru ini menempel di rongga daun, frekuensi heterokista meningkat sampai mencapai maksimum (20 – 30 %) sekitar 12 daun, kemudian tetap konstan. Ukuran sel vegetatif alga meningkat dengan bertambahnya lebar sel yang tampaknya meningkat sejalan dengan umur daun.

Baca juga :
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Pengaruh Konsentrasi Karbon Dioksida Terhadap Fotosintesis Anabaena

Kaplan et al. (1980) melaporkan bahwa “affinity” (pengikatan) karbon dioksida melalui fotosintesis yang tampak pada Anabaena variabilis sangat dipengaruhi oleh konsentrasi karbon dioksida di dalam medium selama pertumbuhan. Laju setengah-maksimal evolusi oksigen fotosintetik dicapai pada konsentrasi karbon anorganik 10 mikroM dan 100 mikroM dalam sel yang ditumbuhkan pada kondisi CO2-rendah (udara) dan CO2-tinggi (5 % volume/volume karbon dioksida dalam udara), berturut-turut, sedangkan laju fotosintesis maksimum adalah sama untuk kedua kondisi. Baik Anabaena yang ditumbuhkan pada kondisi CO2-tinggi maupun –rendah menimbun karbon anorganik di dalam selnya; namun, laju penimbunan dan konsentrasi karbon anorganik internal “steady-state” adalah jauh lebih tinggi pada sel Anabaena yang ditumbuhkan dalam CO2-rendah daripada dalam CO2-tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sel Anabaena secara aktif menimbun karbon anorganik. Pengukuran kinetika transpor karbon anorganik membuktikan bahwa afinitas mekanisme transpor untuk karbon anorganik adalah sama pada sel yang ditumbuhkan dalam CO2-tinggi maupun –rendah. Bagaimanapun, laju maksimumnya adalah 10 kali lipat pada kasus terakhir. Diduga bahwa laju maksimum yang lebih tinggi untuk transpor menyebabkan lebih tingginya kemampuan menimbun karbon anorganik dan lebih tingginya afinitas fotosintetik yang tampak untuk karbon anorganik eksternal pada Anabaena yang ditumbuhkan dalam CO2-rendah. Aktivitas karbonik anhidrase tidak terdeteksi pada Anabaena, namun afinitas fotosintetik untuk karbon anorganik pada medium (tetapi tidak pada laju maksimum) dan laju penimbunan karbon anorganik dihambat oleh penghambat karbonik-anhidrase etoksizolamid.

Baca juga :
Daya Apung Fitoplankton dan Arti Pentingnya

Respon Dua Galur Anabaena Terhadap Stres Salinitas dan Osmotik

Fernandes et al. (1993) melaporkan bahwa dua galur Anabaena pemfiksasi-nitrogen memiliki perbedaan toleransi terhadap stres salinitas dan osmotik. Anabaena torulosa, yang merupakan galur air payau toleran-garam, bersifat relatif osmosensitif (peka terhadap stres osmotik). Sebaliknya, Anabaena sp. galur L-31, yang merupakan penghuni air tawar peka-garam, menunjukkan osmotoleran yang nyata. Stres salinitas dan osmotik mempengaruhi aktivitas nitrogenase secara berbeda. Fiksasi nitrogen pada kedua galur sangat dihambat oleh komponen ionik, tetapi tidak oleh komponen osmotik, dari salinitas. Perbedaan kepekaan terhadap stres salinitas-osmotik seperti ini tidak berkaitan, berdasarkan hasil pengamatan, dengan sifat toleransi kedua galur terhadap stres garam-osmotik. Penambahan amonium dari luar memberi perlindungan yang nyata terhadap stres salinitas tetapi tidak efektif terhadap stres osmotik. Stres salinitas dan osmotik juga mempengaruhi perwujudan gen terangsang-stres secara berbeda. Sintesis beberapa jenis protein dihambat oleh stres salinitas tetapi tidak oleh stres osmotik pada nilai yang setara atau yang lebih tinggi. Stres salinitas dan osmotik merangsang banyak jenis protein umum.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Anabaena Menyebabkan Bau Tak Enak Pada Ikan

Boyd (1982) melaporkan bahwa ikan channel catfish dari 40 kolam di Universitas Auburn, Amerika Serikat, telah diambil pada waktu-waktu yang berbeda sepanjang tahun dan diuji dengan penginderaan (organoleptik). Ikan dari tiga kolam memiliki bau tak enak yang jelas di musim semi. Ketiga kolam ini semuanya mengalami ledakan hebat populasi alga hijau-biru Anabaena circinalis. Penelitian lain dilakukan dengan memelihara ikan yang semula tidak berbau tak enak di kurungan dalam salah satu kolam yang mengalami ledakan populasi Anabaena circinalis. Setelah 7 hari, ikan dalam kurungan ini mengembangkan bau tak enak. Pada akhir musim gugur, ikan berbau tak enak ditemukan di sebuah kolam yang mengalami ledakan hebat populasi Anabaena circinalis dan di dua kolam di mana alga hijau Volvox aureus tumbuh subur. Tidak ada kasus lain ikan berbau tak enak yang dijumpai di 40 kolam ini.

Baca juga :
Faktor Penyebab dan Dampak Ledakan Populasi Alga

Racun Kuat dari Anabaena

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa ledakan populasi Anabaena flos-aquae telah lama diketahui menyebabkan kematian yang cepat pada sapi, kambing dan burung air, dan bila racun dari alga hijau biru ini diberikan lewat mulut akan dapat membunuh tikus, ayam, kelinci dan babi guinea dalam beberapa menit sampai dua puluh menit. “Very-fast-death-factor” (VFDF; faktor kematian sangat cepat) telah diekstrak dari racun Anabaena flos-aquae. VFDF ini dapat membunuh tikus dalam satu sampai dua menit. Telah ditemukan adanya galur beracun dan galur tak beracun dalam kultur alga ini. Racun tersebut larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam kloroform, aseton dan ether. Penyuntikan racun ke tubuh tikus menyebabkan kelumpuhan, menggigil dan kejang. Kematian terjadi dalam satu sampai dua menit. Pemberian alga kering dari kultur skala besar kepada anak sapi, tikus, bebek dan ikan mas koki lewat mulut menyebabkan binatang uji mati dalam dua puluh menit akibat kelumpuhan pernafasan. Racun ini bila diberikan lewat mulut akan diserap dengan sangat cepat dan bertindak sebagai agen penghalang depolarisasi saraf otot.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 22 Mei 2012

Distribusi, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Fitoplankton Laut

Arsip Cofa No. C 046

Pengaruh Angin Terhadap Konsentrasi Fitoplankton

Yentsch dan Phinney (1991) dalam Desai (1992) mempelajari pengaruh kecepatan dan arah angin terhadap distribusi klorofil fitoplankton di Laut Arab bagian barat. Peningkatan secara dramatis konsentrasi klorofil fitoplankton di Laut Arab berhubungan dengan kecepatan dan arah angin muson. Pada awal bertiupnya angin muson barat-daya, pengamatan satelit menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi klorofil di lepas pantai Somalia dan pesisir Arab. Ketika kecepatan angin muson meningkat, konsentrasi maksimum ditemukan selama bulan Agustus dan September. Konsentrasi klorofil fitoplankton paling rendah selama bulan-bulan musim semi (Maret – Mei). Tampaknya ada kesenjangan waktu lebih dari satu bulan antara perubahan arah angin barat-daya dan kemunculan konsentrasi klorofil yang tinggi akibat upwelling yang ditimbulkan angin. Kecepataan angin barat-daya meningkat pada bulan Mei, tetapi klorofil tidak muncul hingga bulan Juni. Konsentrasi klorofil tetap relatif tinggi dari bulan November sampai Februari ketika angin berbalik arah.

Baca juga :
Daya Apung Fitoplankton dan Arti Pentingnya

Fluktuasi Kelimpahan Fitoplankton Mikro di Hutan Bakau

Kannan dan Vasantha (1992) mempelajari komposisi spesies dan kepadatan populasi mikrofitoplankton di hutan bakau Pitchavaram, pesisir tenggara India. Keragaman spesies fitoplankton di hutan bakau Pitchavaram adalah tinggi. Ada 82 spesies yang terdiri dari 67 spesies diatom, 12 spesies dinoflagelata dan 3 spesies alga hijau biru. Diatom menyusun 72 % dan disusul oleh dinoflagelata sebanyak 15 % biomas di mana ada bentuk autochthonous (berasal dari dalam sistem dan bersifat sementara atau permanen) dan allochthonous (berasal dari luar sistem). Kepadatan populasi fitoplankton menunjukkan fluktuasi musiman yang lebar dengan minimum selama bertiupnya angin muson dan maksimum selama musim panas, yang menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh berbagai faktor lingkungan.

Baca juga :
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Variasi Musiman Kelimpahan dan Komposisi Spesies Fitoplankton

Park dan Lee (1990) telah mengumpulkan sampel fitoplankton di 28 stasiun oseanografi di perairan selatan Korea pada bulan Februari, April dan Agustus 1988 untuk mengetahui distribusi dan komposisi spesies fitoplankton serta hubungannya dengan gerakan masa air. Selama periode penelitian, standing crop fitoplankton di perairan selatan mencapai maksimum pada bulan April dan minimum pada bulan Februari. Standing crop tertinggi ditemukan di dekat zona front yang terbentuk antara Pulau Cheju dan Pulau Tsushima. Jadi, kelimpahan fitoplankton tergantung pada lokasi zona front ini. Sebaliknya, standing crop relatif rendah ada di laut terbuka jauh dari zona front tersebut pada bulan Februari dan Agustus. Tujuh puluh dua spesies fitoplankton telah diidentifikasi dari sampel. Di antara mereka, 61 spesies tergolong diatom dan 12 spesies dinoflagelata. Jumlah terbanyak spesis fitoplankton terjadi pada Agustus sedang jumlah terbanyak sel ada pada bulan April. Spesies dominan adalah Eucampia zodiacus pada Februari, Skeletonema costatum dan Chaetoceros curvisetus pada bulan April dan Chaetoceros affinis pada bulan Agustus.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Perbedaan Komposisi Fitoplankton Antar Lapisan Masa Air

Videau dan Leveau (1990) mempelajari biomas dan produktivitas fitoplankton di dalam masa air lidah sungai Rhone pada musim semi. Sungai Rhone yang membuang airnya ke Laut Mediterania memiliki masa air yang berlapis-lapis dengan jelas. Air lapisan atas dicirikan oleh salinitas yang rendah, setengah biomas klorofil disumbangkan oleh nanoplankton. Nano- dan pikoplankton mengikat karbon anorganik dengan kisaran yang sama (40 %). Pada lapisan bawah yang khas air laut, 60 % biomas fitoplankton dan produktivitasnya dihasilkan oleh pikoplankton. Lapisan air peralihan dicirikan oleh melimpahnya mikroplankton yang menyusun lebih dari 50 % biomas klorofil total yang pengikatan karbonnya lebih tinggi pada pycnocline (garis yang menunjukkan perbedaan densitas kolom air secara vertikal) dan , terutama, dekat front lidah sungai.

Baca juga :
Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton

Hubungan Antara Stratifikasi Termal dan Keragaman Fitoplankton

Claustre et al. (1992) mempelajari komposisi biokimia (karbon, nitrogen, asam-asam amino bebas, klorofil, karotenoid) pada pelet tinja kopepoda dan membandingkannya dengan partikel-partikel materi yang dikumpulkan di tiga lokasi, masing-masing dengan karakteristik hidrografi berbeda di Laut Irish, selama bulan Mei/Juni 1988. Lokasi-lokasi tersebut adalah perairan pesisir dengan stratifikasi termal yang lemah, perairan tengah dengan stratifikasi termal yang kuat dan perairan tengah dengan kondisi isotermal (sama-suhu) yang teraduk. Makanan tidak menjadi pembatas bagi kopepoda di lokasi-lokasi itu, sebagaimana ditunjukkan oleh konsentrasi maksimum klorofil-a yang berkisar 4 sampai 7,5 mikrogram/liter. Ada perbedaan menyolok dalam hal komposisi dan kualitas partikel materi di ketiga lokasi. Lokasi I didominasi oleh diatom, lokasi II dicirikan oleh keragaman populasi fitoplankton, sedang lokasi III didominasi oleh detritus dan sisa-sisa diatom. Perbedaan ini tercermin dalam komposisi biokimia pelet tinja kopepoda. Secara nyata tidak ada pengayaan bakteri pada pelet tinja.

Baca juga :
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Pengaruh Stratifikasi Masa Air Terhadap Distribusi dan Produktivitas Fitoplankton

Martin-Jezequel dan Videau (1992) mempelajari distribusi vertikal dan produktivitas fitoplankton dan bakteri laut di lereng benua Laut Celtic pada musim semi (bulan Mei) 1987. Tiga lokasi dipilih sepanjang sebuah skala horizontal sempit antara masa air yang terstratifikasi di atas paparan benua dan masa air yang teraduk di atas patahan-benua. Di lapisan sub-permukaan, produktivitas primer maupun biomas klorofil meningkat sebanding dengan stratifikasi. Sebaliknya, jumlah sel bakteri makin meningkat dari kolom air yang terstratifikasi ke kolom air yang teraduk. Produksi neto bakteri di air yang teraduk adalah dua kalinya dibandingkan di air yang terstratifikasi. Analisis korespondensi menunjukkan perbedaan komposisi dan produksi fitoplankton dan bakteri di tiga lokasi. Analisis ini menunjukkan bahwa air yang teraduk dicirikan oleh biomas bakteri, produksi karbon bakterial dan biomas ciliata; air peralihan dicirikan oleh biomas diatom dan dinoflagelata; dan air yang terstratifikasi dicirikan oleh biomas Cryptophyceae, flagelata dan fitoplankton total.

Baca juga :
Faktor Penyebab dan Dampak Ledakan Populasi Alga

Kumpulan Fitoplankton di Zona Tanpa-Cahaya

Karabashev dan Khanayev (1991) melaporkan bahwa pada bulan Mei 1989 di palung Slupsk (Laut Baltik), teknik fluorimeter telah digunakan untuk mengetahui profil vertikal fluoresensi klorofil, kekeruhan dan suhu. Fitoplankton hidup ditemukan berkumpul di atas palung tersebut pada kedalaman lebih dari 70 meter. Kumpulan fitoplankton ini ditemukan selama beberapa hari dan meluas sampai beberapa kilometer. Ketika pengamatan lanjutan dilakukan pada bulan Februari 1990 dengan metode yang sama, kumpulan fitoplankton telah hilang. Kekeruhan dan profil suhu menunjukkan bahwa berkumpulnya fitoplankton ini dipengaruhi oleh dinamika air di zona afotik (tanpa cahaya).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Distribusi Vegetasi, Penyebaran Benih dan Kerusakan Daun Pohon Bakau

Arsip Cofa No. C 045

Struktur dan Distribusi Spesies Tumbuhan Bakau

Azariah et al. (1992) mempelajari struktur dan distribusi spesies di hutan bakau Coringa, Delta Godavari, Andhra Pradesh, India. Komunitas hutan bakau ini terdiri dari 13 spesies tumbuhan bakau dan tumbuhan lain. Tiga tumbuhan bakau dominan berikut, Avicennia marina, Excoecaria agallocha dan Sonneratia apetala ditemukan di tebing kanal utama Sungai Godavari yang melintasi hutan. Daerah di belakang jalur yang ditumbuhi Acanthus ilicifolius dan Myriostachya wightiana biasanya dikoloni oleh Excoecaria agallocha dan Avicennia marina. Zona ini disebut zona Avicennia dan Excoecaria. Di dekat zona ini, spesies seperti Aegiceras corniculatum dan A. officinalis merupakan spesies yang umum. Di hamparan tanah liat tumbuh Suaeda maritima. Di daerah yang tinggi, sehingga terhindar dari air pasang selama periode pasang purnama, spesies seperti Myriostachya wightiana dan Acanthus tumbuh di kedua tebing kanal. Analisis keragaman spesies menunjukkan dengan pasti kecenderungan distribusi tumbuhan bakau dari mulut estuaria ke perairan darat. Kadar gas pencemar seperti sulfur dioksida (SO2), oksida-oksida nitrogen (NOx), amonia (NH3) dan partikel tersuspensi ada di dalam batas-batas legal.

Baca juga :
Dampak Tambak Terhadap Kerusakan Hutan Bakau

Hubungan Sifat Tanah Hutan Mangrove dan Vegetasinya

Macnae (1968) menyatakan bahwa banyak literatur yang membahas hubungan antara sifat tanah hutan bakau dan vegetasi yang tumbuh di dalamnya. Pada transek dari daerah mangrove yang menghadap laut sampai ke hutan gambut yang telah berkembang penuh, ada peralihan dari tanah mineral yang hampir murni di daerah avicennia yang mengarah ke laut, sampai tanah busuk (dengan kandungan bahan humus sampai 65 %) yang mendukung asosiasi yang terdiri dari Nypa fructicans, Avicennia officinalis, Acanthus ilicifolius, Sonneratia caseolaris, Acrostichum sp. dan dengan Bruguiera sexangula sebagai pohon dominan, dan akhirnya sampai ke tanah gambut dengan kandungan bahan organik sekitar 95 %. Yang terakhir ini hanya terdapat di daerah tepat di atas garis air tinggi. Bruguiera gymnorhyza bisa dominan di hutan bakau bila tanahnya berat dan basah; dan di tanah seperti ini mungkin terdapat pohon-pohon tua Rhizophora apiculata, Xylocarpus moluccensis Roem. serta Intsia bijuga (Colebr.) O. Kunz. yang tumbuh baik; tumbuhan perambat dan juga berbagai epifit umum terdapat. Avicennia officinalis L. adalah umum, kadang-kadang melimpah pada kondisi ini di Asia Tenggara dari Delta Indus sampai New Guinea (Papua). Di Afrika Timur, Avicennia marina meluas sampai ke daerah seperti ini.

Macnae (1968) menambahkan bahwa pada garis yang dicapai oleh pasang purnama normal, Xylocarpus granatum dan Lumnitzera littorea Voight membentuk pohon besar; Bruguiera parviflora W & A serta Bruguiera cylindrica mungkin membentuk tegakan padat sedangkan Bruguiera sexangula Poir. mungkin hidup bersama dengan Bruguiera cylindrica; Avicennia lanata Ridl. juga menjadi ciri khas daerah ini di pantai timur Semenanjung Malaka dan di pulau Singapura. Di sini hampir selalu ada paku-pakuan yang tumbuh di bagian bawah, Acrostichum speciosum Wild. yang pendek tumbuh di bawah naungan tumbuhan lain, sedangkan Acrostichum aureum yang lebih tinggi tumbuh di luar naungan di mana ia bisa tegak setinggi 3 meter. Bila tanahnya tidak kokoh, Rhizophora apiculata akan tumbuh dominan.


Macnae (1968), berdasarkan studi literatur, menambahkan bahwa di hutan bakau yang tanahnya kokoh dengan tebing-tebing kapur dan permukaannya sangat tidak rata, kadang-kadang tumbuh subur pohon Bruguiera gymnorhiza, Lumnitzera littorea, Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Ficus microcarpa L.f., Terminalia catappa L. dan Barringtonia racemosa. Di bawahnya tumbuh semak Scyphiphora hydrophyllacea Gaerth. dan Acrostichum sp. Variasi dari asosiasi ini berkembang di tanah yang kokoh dengan permukaan tidak rata. Lapisan pohon ini terdiri dari Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis, Ficus retusa, Intsia bijuga dengan Nypa di jurang berlumpur. Di bawahnya tumbuh semak Derris heterophylla (Willd.) Back. dan Acrostichum sp. Variasi lain ditemukan di tanah yang agak kokoh dengan lapisan pohon yang meliputi Bruguiera sexangula, Dolichandrone spathacea (L.f) K. Schum., Barringtonia racemosa, Terminalia catappa, Ficus microcarpa, Lagerstroemia speciosa Pers., Corypha utan Lam. dan sepanjang teluk tumbuh Xylocarpus granatum serta Oncosperma filamentosum Bl. Tumbuh rapat di bawahnya adalah Acanthus ilicifolius L., Derris heterophylla, Acrostichum sp. dan Crinum sp. Semua asosiasi tumbuhan bakau ini tampaknya ditentukan oleh sifat tanah dan, selain itu, menunjukkan peningkatan ketergantungan terhadap air tawar.

Baca juga :
Sedimen Terbaik Bagi Pertumbuhan Bakau

Penyebaran Benih Pohon Bakau Dari Udara

Lahiri (1991) melaporkan upaya menyebarkan benih pohon bakau (Avicennia dan Sonneratia) dari udara selama bulan Agustus - September 1989. Di hamparan lumpur di Sundarbans (Benggala Barat) telah diperoleh tingkat keberhasilan 50 %. Pada tahun berikutnya upaya serupa dengan benih yang lebih baik memberikan hasil yang lebih memuaskan. Metode ini membuka peluang untuk melakukan penghutanan skala besar di daerah-daerah gundul dalam waktu yang singkat.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kerusakan Daun Pohon Bakau Akibat Herbivora

Kathiresan (1992) mengamati aktivitas herbivora pemakan daun tumbuhan bakau di hutan mangrove Pichavaram, India Tenggara. Aktivitas tersebut terlihat pada 10 spesies pohon bakau. Herbivora merusak sekitar 1 sampai 12 % luas daun. Api-api (Avicennia sp.) mengalami kerusakan parah; Ceriops decandra, Excoecaria agallocha dan Rhizophora lamarckii menerima pengaruh paling kecil oleh aktivitas makan-daun ini. Kerusakan daun menunjukkan korelasi negatif dengan kadar tanin dalam daun.

Zonasi Hutan Bakau

Macnae (1968) menjelaskan zonasi hutan bakau di daerah Indo Pasifik barat. Tiga skema telah diusulkan untuk menggambarkan zonasi mangrove, dua di antaranya mendasarkan zonasi pada sifat-sifat fisik lingkungan sedangkan skema ketiga, yang lebih praktis, memberi nama zona berdasarkan genus dominan yang tumbuh pada masing-masing zona.

1. Watson (1928) yang memelopori studi mangrove Malaysia mengemukakan lima kelas berdasarkan frekuensi perendaman air pasang :
a. Spesies yang tumbuh di daerah yang terendam oleh segala jenis pasang : secara normal tidak ada spesies yang dapat tumbuh pada kondisi semacam ini, kecuali Rhizophora mucronata.
b. Spesies yang hidup di daerah yang terendam oleh pasang medium : spesies-spesies dari genus Avicennia, Avicennia alba, Avicennia marina ( = Avicennia intermedia) dan Sonneratia griffithii, serta penghuni tepian sungai, Rhizophora mucronata.
c. Spesies yang tumbuh di daerah yang digenangi oleh air pasang normal : kebanyakan mangrove tumbuh subur pada kondisi seperti ini tetapi Rhizophora cenderung mendominasi.
d. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya digenangi oleh air pasang purnama : daerah-daerah semacam ini agak terlalu kering bagi Rhizophora tapi cocok untuk Bruguiera gymnorhiza dan B. cylindrica.
e. Spesies yang tumbuh di tanah yang hanya terendam oleh air pasang equinoktial atau air pasang yang tak normal lainnya : Bruguiera gymnorhiza dominan tetapi Rhizophora apiculata dan Xylocarpus granatus masih bisa hidup.

2. De Haan (1931) memasukkan salinitas air tanah sebagai faktor pengendali distribusi dan ketergenangan oleh air pasang sebagai faktor tambahan.
A. Zona berair payau sampai asin dengan salinitas pada saat pasang sebesar 10 – 30 ‰.
1. Daerah yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari sebulan.
2. Daerah yang tergenang pasang 10 – 19 kali per bulan.
3. Daerah yang terendam pasang 9 kali atau kurang dalam sebulan.
4. Daerah yang terendam air pasang hanya beberapa hari dalam satu tahun.
B. Zona berair tawar sampai payau dengan salinitas antara 0 – 10 ‰.
1. Daerah yang masih dipengaruhi oleh pasang surut.
2. Daerah yang secara musiman terendam air pasang.

Jelas bahwa zona A-1 dan A-4 sama dengan kelas (a) dan (e) pada zonasi menurut Watson; zona A-2 bertumpang tindih dengan kelas Watson (b) dan (c) sedangkan zona A-3 bertumpang tindih dengan (c) dan (d). Zona B-1 mencakup baik asosiasi barringtonia asiatica maupun asosiasi nypa, dan zona B-2 meliputi daerah gambut dan hutan rawa lainnya serta daerah yang didominasi oleh Hibiscus tiliaceus.

Baca juga :
Subsistem Perairan Pesisir : Estuaria

3. Walter dan Steiner (1936) yang mempelajari mangal (hutan yang tumbuh di bawah garis air pasang) di Tanga, Afrika Timur, memberi nama zona berdasarkan tumbuhan dominan. Pemikiran mereka diikuti oleh Macnae dan Kalk (1962) serta dikembangkan dan diperluas oleh Macnae (1966) agar dapat diterapkan untuk berbagai daerah mangrove. Mereka membedakan beberapa zona sebagai berikut.
1. Daerah yang mengarah ke daratan.
2. Zona semak-semak ceriop.
3. Zona hutan bruguiera.
4. Zona hutan rhizophora.
5. Zona avicennia yang mengarah ke laut.
6. Zona sonneratia.

Tiga zona pertama bisa mengalami modifikasi, dan zona terakhir tidak terdapat pada semua pantai karena ia terbatas di daerah pantai yang hangat.
A. Daerah yang mengarah ke daratan (landward fringe)
Zona ini paling bervariasi dari semua zona mangal. Komponen utama tanah yang ditempatinya bisa berupa pasir atau lumpur; mereka bisa hidup di daerah yang sangat kering maupun daerah yang sering terendam air; tanahnya bisa subur bila berasal dari batu vulkanik muda; atau miskin (gersang) bila berasal dari batu granit atau kuarsa tua; tanahnya juga mungkin berkapur, yang berasal dari batuan kapur, atau bergambut yang kaya materi organik. Salinitas air tanah bisa tinggi bisa rendah. Semuanya menghasilkan sifat-sifat yang bervariasi. Pada daerah ini dapat ditemukan asosiasi barringtonia dan asosiasi nypa.

a. Asosiasi barringtonia
Asosiasi ini didominasi oleh spesies Barringtonia yang tumbuh dalam dua tipe lingkungan yang berbeda.
i. Asosiasi Barringtonia asiatica. Asosiasi dengan Barringtonia asiatica ( = Barringtonia speciosa) sebagai spesies dominan atau spesies yang sangat menyolok terletak di belakang asosiasi pes-caprae pada pantai berpasir. Asosiasi ini seringkali terdiri dari beberapa jenis pohon yang bisa hidup di ekoton mangal, misalnya Terminalia catappa, Thespesia populnea dan Pandanus tectorius.
ii. Asosiasi Barringtonia racemos. Asosiasi ini tampaknya mencapai perkembangan maksimum di sepanjang pantai bagian timur Afrika, antara Kenya dan Natal, serta sebagian daerah selatan Jawa. Di Afrika bagian Timur ia cenderung menempati tanah yang sangat kering sekali di belakang dan di bagian atas mangal. Jadi asosiasi ini setara dengan asosiasi nypa yang banyak tumbuh di Asia Tenggara.

b. Asosiasi nypa
Asosiasi ini merupakan salah satu asosiasi yang paling penting, dan dilihat dari udara ia tampak paling menyolok di antara seluruh mangal yang ada di daerah Indo-Malaysia dan Asia Tenggara. Ia menempati daerah yang luas, seringkali sangat luas, di bagian tanah yang digenangi oleh air pasang purnama. Ciri yang menarik dari daerah yang ditempati oleh asosiasi ini adalah banyaknya gundukan tanah tinggi (sampai setinggi 3 meter) bekas tanah galian liang kepiting Thalassina anomala dan hal ini berpengaruh positif terhadap asosiasi nypa tersebut.

Dalam asosiasi ini pohon Heritiera littoralis, pohon Xylocarpus granatus, Xylocarpus moluccensis, Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorhiza atau Lumnitzera littorea tumbuh subur di tempat yang lebih tinggi sedangkan pohon Rhizophora apiculata hanya sebagian hidup di tempat yang lebih rendah. Juga sering dijumpai Excoecaria agallocha, Bruguiera cylindrica dan Sonneratia caseolaris. Hibiscus tiliaceus dan spesies dari genus Pandanus juga tumbuh di daerah di mana air hampir tawar.

B. Zona semak ceriops
Ceriops tagal terdapat mulai dari perbatasan Mozambik-Natal meluas sampai sepanjang pantai timur Afrika dan Madagaskar melalui India dan Srilangka terus ke Taiwan (Formosa) di sebalah utara dan Queensland dan Kaledonia Baru di sebelah selatan. Ia merupakan mangrove yang jarang mencapai dimensi pohon, mereka lebih sering berupa perdu dengan tinggi antara 1 – 6 meter.

Di daerah-daerah Malaysia dan Indonesia yang kadang-kadang basah, zona ceriops tidak tampak menyolok. Di sini Ceriops tumbuh di dalam hutan bruguiera atau, seperti di Sabah dan semenanjung Thailand, tumbuh bersama dengan Rhizophora spp. Di mana mereka membentuk hutan perawan yang sangat lebat. Di bawah kondisi semacam ini Ceriops tagal mencapai dimensi pohon hingga setinggi 10 meter dengan diameter pangkal batang 20 cm. Tumbuhan lain yang paling banyak ditemukan di zona semak ceriops yang ada di Australia adalah Bruguiera exaristata. Juga dijumpai pohon Avicennia marina, Bruguiera gymnorhiza, Xylocarpus granatum dan Xylocarpus moluccensis: Scyphiphora hydrophyllacea tumbuh di zona ini sepanjang terusan Hinchinbrook. Di Afrika bagian timur hanya Avicennia marina dan Bruguiera gymnorhiza yang hidup berasosiasi dengan zona ini.

Baca juga :
Konservasi Untuk Wilayah Pesisir Yang Kritis

C. Zona hutan bruguiera
Watson memperkenalkan tiga tipe hutan bruguiera, yang didominasi berturut-turut oleh Bruguiera cylindrica, Bruguiera parviflora dan Bruguiera gymnorhyza. Hutan Bruguiera cylindrica sering tumbuh di tanah lempung biru yang keras dengan lapisan humus tipis dan berpermukaan kering serta tanpa ada teluk.

Bruguiera parviflora merupakan spesies oportunis (bisa hidup di mana saja) tetapi kurang dikenal oleh para perimba karena kayunya kurang bagus dibandingkan kayu spesies lain. Di Australia dan Myanmar spesies ini juga bersifat oportunis dan tumbuh subur dengan batang tinggi di daerah yang mulanya telah digunduli. Di Malaysia ia juga sering tumbuh di daerah yang pepohonannya telah ditebang habis, dan ia mungkin menjadi pohon pengasuh kumpulan benih Rhizophora spp. atau Bruguiera spp. dan pohon lain yang lebih berharga.

Watson menganggap hutan Bruguiera gymnorhiza sebagai “tahap akhir perkembangan hutan litoral dan awal transisi ke arah pembentukan hutan darat”. Hal ini didasarkan pada kenyataan adanya sedikit regenerasi yang terjadi di bawah pohon-pohon ini dan adanya suksesi deposit humus serta kenyataan bahwa aktivitas Thalassina anomala perlahan-lahan mengangkat permukaan tanah hingga mencapai tinggi di atas jangkauan pasang-surut. Pada tahap ini Xylocarpus moluccensis, Intsia bijuga, Ficus microcarpa, Pandanus spp. dan Daemonorops leptopus dan lain-lain tumbuh di hutan ini. Dengan demikian menurut Watson hutan Bruguiera gymnorhiza merupakan transisi ke bentuk hutan subur yang mengarah ke daratan.

Di Cilacap, yang terletak di bagian selatan Jawa, de Haan (1931) juga mengemukakan tiga macam hutan Bruguiera, yaitu asosiasi Bruguiera gymnorhiza yang berkembang di zona A-2 – A-3, asosiasi Bruguiera cylindrica dan asosiasi Xylocarpus – Heritiera yang keduanya tumbuh di zona A-3 – A-4.

D. Zona hutan rhizophora
Biasanya orang membayangkan rawa mangrove sebagai hutan spesies Rhizophora dengan akar-akar tunjang melengkung yang membuatnya sulit dilalui. Ada tiga spesies Rhizophora yang ada di dalam mangal Indo-Pasifik Barat di mana mereka tumbuh bercampur aduk. Rhizophora mucronata adalah spesies yang paling banyak ditemui dan tersebar paling luas dari Malaysia sampai New Guinea, terus ke Kepulauan Ryu-Kyu dan Afrika. Rhizophora stylosa terdapat mulai dari Malaysia sampai Queensland; Rhizophora apiculata menyebar dari Malaysia ke seluruh Asia Tenggara terus ke India dan Sri Langka serta ke sebelah utara Queensland. Rhizophora apiculata lebih toleran terhadap air tawar daripada spesies Rhizophora lainnya.

E. Zona Avicennia yang mengarah ke laut
Hampir di sepanjang pantai di mana tumbuh mangrove sebagian besar zona pohon-pohon yang mengarah ke laut tersusun dari satu atau lebih spesies Avicennia.

Watson (1928) menunjukkan bahwa di Malaysia Avicennia alba dan Avicennia marina ( = Avicennia intermedia) menempati sektor yang berbeda dalam zona ini. Setelah mengamati beberapa mangal di Malaysia dan Asia Tenggara, Macnae menerima dan menyetujui pendapat Watson ini, tapi ada kesulitan ! Biasanya dua spesies ini mudah dibedakan – Avicennia alba berdaun runcing dan sisi daun sebaliknya berwarna agak putih sehingga mudah dibedakan dari Avicennia marina yang ujung daunnya tumpul dan sisi bawah daun berwarna kekuningan. Bagaimanapun, mereka tumbuh bercampur aduk. Menurut Ridley (1930) Avicennia intermedia merupakan hibrid antara Avicennia alba dan Avicennia officinalis; tetapi hal ini tidak benar. Moldenke (1958) berpendapat bahwa hibridisasi bisa terjadi karena spesies-spesies dari genus ini tumbuh bersama-sama.

Avicennia marina memiliki penyebaran sangat luas, ia merupakan satu-satunya wakil dari genus ini yang tersebar di sebagian besar daerah Indo-Pasifik-Barat.

F. Zona Sonneratia
Di Asia Tenggara Sonneratia griffithii dan/atau Sonneratia alba, sedangkan di Australia hanya Sonneratia alba, sementara di India dari Bombay sampai Myanmar Sonneratia apetala bisa tumbuh pada daerah yang mengarah ke laut, yakni di depan zona Avicennia.

Menurut De Haan, di Cilacap ada asosiasi avicennia-sonneratia yang berkembang pada zona A-1, yang tumbuh di atas tanah muda yang tidak kompak.

Sonneratia tampaknya lebih menyukai kondisi yang lebih hangat daripada kebanyakan tumbuhan lainnya – ia tidak dijumpai di daerah sebelah selatan Inhambane pada pantai Mozambik, juga tidak terdapat di sebelah selatan Innisfail di Queensland.

Asosiasi Tumbuhan Pantai Laut

Macnae (1968), dengan mengutip Schimper (1891), memperkenalkan empat macam asosiasi tumbuhan pantai laut :

a. Mangal – hutan yang tumbuh di bawah garis air pasang, dan mencakup beberapa spesies pohon serta herba tak berkayu.

b. Asosiasi Nypa – terdapat di daerah yang mengarah ke darat dan bagian hulu dari mangal, didominasi oleh tumbuhan palma berrizoma, Nypa fruticans, juga ditemukan beberapa jenis pohon terisolasi terutama Heritiera littoralis dan Excoecaria agallocha, beberapa jenis perdu, liana (tumbuhan menjalar) serta resam terutama Acrostichum aureum.

c. Asosiasi Barringtonia - didominasi oleh Barringtonia asiatica bila asosiasi ini terdapat di belakang asosiasi pes-caprae, atau didominasi oleh Barringtonia racemosa dan/atau Heritiera sp. bila asosiasi ini terdapat di belakang mangal. Semua jenis pohon ini lebih menyukai tanah yang relatif sangat kering.

d. Asosiasi Pes-caprae – didominasi oleh Ipomoea pes-caprae, biasanya ditemukan juga Canavallia sp., Sophora sp. (terutama Sophora tomentosa), Scaevola sp. (dua yang terakhir merupakan semak). Di sini tumbuh pula sederetan pohon Casuarina equisetifolia serta Cocos nucifera.

Dari asosiasi-asosiasi ini, asosiasi pes-caprae dan barringtonia asiatica selalu terdapat di daerah supralitoral dan umumnya menjadi ciri pantai berpasir. Mangal ditemukan di daerah litoral dan tidak pernah meluas sampai di atas garis pasang tinggi. Asosiasi nypa dan barringtonia asiatica bertumpang-tindih dan terdapat di antara garis pasang tinggi dan pasang normal, dan mungkin meluas sampai di atas garis pasang tinggi. Kedua asosiasi ini merupakan petunjuk adanya pengaruh air tawar yang kuat, tetapi asosiasi nypa cenderung menempati tanah yang sering terendam air. Asoasiasi barringtonia racemosa terdapat di tanah yang relatif sangat kering yang menunjukkan ketergenangan musiman (Macnae, 1968).

Macnae (1968) menjelaskan lebih lanjut bahwa tiga asosiasi yang pertama di atas hanya terdapat di pantai-pantai yang terlindung; asosiasi keempat menjadi ciri khas pantai yang terbuka terhadap gempuran ombak. Anggota-anggota asosiasi pes-caprae seringkali berguna sebagai penahan bukit pasir. Selain asosiasi-asosiasi tersebut masih ada asosiasi ke-5 dan ke-6, yaitu :

e. Asosiasi Cymodocea - didominasi oleh satu atau lebih spesies Cymodocea yang bercampur dengan spesies Diplanthera, Enhalus, Halodule, Halophila, Syringodium, Thalassia dan Zostera. Asosiasi ini menempati daerah dari garis muka laut rata-rata ke bawah, pada pantai terlindung atau pada kolam berbatu pada pantai terbuka.

f. Asosiasi Saltwort – didominasi oleh semak atau perdu dari spesies Artrocnenum yang bersifat perenial (tumbuh terus-menerus) dan spesies Salicornia yang bersifat tahunan.

Biologi dan Genetika Tumbuhan Pantai, Leymus

Ahokas (1992) melaporkan bahwa Leymus arenarius (L.) Hoechst, yang umumnya dianggap sebagai spesies pantai laut, telah dipelajari di 10 lokasi tepi jalan Finlandia Selatan. Pemencaran benih bisa terjadi dengan bantuan kendaraan lalu lintas, dan dalam jarak pendek dengan bantuan mesin pemindah vegetasi pinggir jalan. Nilai pH tanah melebihi 9 dan hal ini disebabkan oleh pemberian garam pencair-es sebanyak 8.000 sampai 18.000 kg/km pada tahun-tahun terakhir ini. Pola protein endosperma berbeda dalam 9 dari 10 populasi terpisah yang telah diuji. Variasi dalam-tumbuhan adalah lebih rendah (38%), yang menunjukkan rendahnya heterozigositas dan tingginya penyerbukan-sendiri.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...