Sabtu, 31 Maret 2012

Kebutuhan, Pengaruh dan Gejala Defisiensi Vitamin E Pada Ikan

Arsip Cofa No. C 014

Karakteristik Vitamin E

Hamre (2011) menyatakan bahwa vitamin E merupakan istilah umum untuk sekelompok molekul larut-lemak, yaitu tokoferol dan tokotrienol, yang berfungsi melindungi organisme dari oksidasi dan fungsi-fungsi biologis spesifik lainnya. Pada ikan, seperti pada vertebrata lain, alfa-tokoferol lebih banyak disimpan oleh tubuh daripada tokoferol lain, mungkin karena adanya tocopherol transfer protein (TTP, protein pemindah tokoferol) di dalam hati yang mengikat tokoferol dan mengembalikannya ke dalam sirkulasi darah. Tokoferol yang terikat lemah kemudian diekskresi ke dalam empedu. Alfa-tokoferol berinteraksi dengan nutrien-nutrien lain, dan kebutuhannya dengan demikian bervariasi tergantung pada komposisi pakan. Asam-asam lemak poli-tak-jenuh berkonsentrasi tinggi serta vitamin C, selenium dan astaksantin berkonsentrasi rendah meningkatkan kebutuhan ikan terhadap vitamin E. Hal ini disebabkan sifat dinamis oskidasi lipida maupun pertahanan antioksidan, di mana vitamin E teroksidasi didaur ulang oleh antioksidan lain. Interaksi ini juga menentukan gejala-gejala apa yang muncul sebagai tanda kekurangan vitamin E, serta mempengaruhi respon kekebalan dan kualitas daging ikan.

Baca juga Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

Kebutuhan Vitamin E Pada Ikan

Cowey et al. (1983) melakukan penelitian terhadap sekelompok ikan rainbow trout (rata-rata berat awal 14 gram) yang diberi pakan mengandung 10 % asam lemak yang berasal dari minyak ikan white fish dengan tambahan vitamin E (2-10 mg/100 g) selama 16 minggu. Berat ikan meningkat delapan kali pada akhir percobaan tetapi tidak ada perbedaan perolehan berat antar perlakuan, konversi pakan adalah sama untuk semua perlakuan, dan hanya sedikit mortalitas. Pada ikan trout yang diberi vitamn E berdosis paling kecil, konsentrasi vitamin E dalam jaringan yang paling sedikit ditemukan pada otot rangka, konsentrasinya di sebagian besar jaringan lunak lain adalah sekitar tiga kali konsentrasi dalam otot tetapi konsentrasi yang lebih tinggi ditemukan dalam otak. Peningkatan kerapuhan sel darah merah ditemukan pada ikan yang diberi sedikit vitamin E, dan peroksidasi lipida yang dipicu asam askorbat-Fe3+ di dalam mikrosom hati adalah menurun dengan meningkatnya vitamin E yang diberikan. Tidak ada atau sedikit malonaldehid yang dibentuk di dalam mikrosoma pada ikan yang diberi vitamin E sebanyak 5 mg per 100 g atau lebih. Nilai ini dianggap cukup atau aman. Mikrosom yang berasal dari otot ikan trout yang diberi sedikit vitamin E (2 mg/100 g pakan) lebih peka terhadap oksidasi secara in vitro daripada mikrosom yang berasal dari insang, jantung atau hati. Kerentanan mikrosom terhadap peroksidasi ditentukan oleh perbandingan antara vitamn E : asam lemak tak-jenuh yang dapat diperoksidasi di dalam membran mikrosom.

Baca juga Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan

Pengaruh Konsentrasi Vitamin E Dalam Pakan Terhadap Konsentrasi Vitamin E Dalam Hati Ikan

Lim et al. (2010) telah melakukan penelitian untuk menentukan pengaruh peningkatan konsentrasi minyak ikan dalam pakan terhadap kebutuhan vitamin E serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan, status vitamin E dalam hati, dan komposisi perkiraan (proximate composition) asam lemak dalam jaringan tubuh ikan channel catfish. Pakan dasar murni (42 % protein dan 3.800 kcal DE/kg) diberi tambahan 6, 10 dan 14 % minyak ikan menhaden dan masing-masingnya diberi 50, 100 dan 200 mg vitamin E/kg (percobaan faktorial 3 x 3). Setiap pakan diberikan kepada juvenil ikan channel catfish dalam tiga akuarium acak sampai tampak kenyang sebanyak dua kali sehari selama 12 minggu. Perolehan berat, penelanan pakan dan rasio efisiensi pakan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi minyak ikan, vitamin E atau interaksinya. Tingkat kelangsungan hidup pada akhir mingu ke 12 secara nyata lebih rendah untuk ikan yang diberi pakan mengandung 14 % minyak ikan, tanpa memperhatikan konsentrasi vitamin E. Konsentrasi air seluruh tubuh secara nyata berkurang dan konsentrasi lipida meningkat ketika konsentrasi lipida dalam pakan dinaikkan menjadi 10 atau 14 %. Konsentrasi vitamin E pakan tidak mempengaruhi komposisi perkiraan tubuh. Konsentrasi lipida dalam hati tidak dipengaruhi oleh konsentrasi minyak ikan dan vitamin E ataupun interaksinya. Indeks hepatosomatik menurun secara nyata dengan meningkatnya konsentrasi lipida tetapi tidak dipengaruhi oleh konsentrasi vitamin E dalam pakan. Vitamin E dalam hati meningkat dengan meningkatnya konsentrasi vitamin E dalam pakan tetapi menurun dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan. Komposisi asam lemak seluruh tubuh dan hati menunjukkan bahwa lipida pakan tidak dipengaruhi oleh konsentrasi vitamin E dalam pakan. Kejenuhan seluruh tubuh meningkat, sedangkan MUFA (mono unsaturetd fatty acid; asama lemak mono-tak-jenuh) menurun dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan dalam pakan. Kejenuhan hati tidak dipengaruhi oleh konsentrasi minyak ikan, tetapi MUFA dan asam lemak n-6 menurun dan meningkat, berturut-turut, dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan. Total asam lemak n-3 dan HUFA n-3 dalam kedua jaringan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi minyak ikan dalam pakan, tetapi hati menyimpan lebih banyak asam-asam lemak ini.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Vitamin E Dalam Pakan Terhadap Konsentrasi Lipida dan Vitamin E Dalam Tubuh Ikan

Peng et al. (2008) melakukan percobaan pemberian pakan untuk mengevaluasi pengaruh konsentrasi vitamin E terhadap konsentrasi lipida dan aktivitas enzim antioksidan dalam hati ikan juvenil black seabream Acanthopagrus schlegeli yang diberi pakan mengandung minyak teroksidasi. Lima jenis pakan diformulasikan dengan memanfaatkan tepung ikan, tepung cumi dan tepung kedelai sebagai sumber protein, serta minyak ikan (yang dioksidasi hingga memiliki nilai peroksida POV 45 meq/kg minyak) sebagai sumber lipida. Penambahan a-tokoferil asetat (kemurnian 50 %) adalah sebanyak 0 mg/kg, 100 mg/kg, 300 mg/kg, 700 mg/kg dan 1 500 mg/kg pakan kering, berturut-turut. Ikan juvenile black seabream dengan berat awal 18,7 gram diberi pakan uji hingga tampak kenyang sebanyak dua kali sehari selama 9 minggu. Ada perbedaan nyata (P< 0,05) antar perlakuan dalam hal konsentrasi lemak tubuh, tetapi tidak ada perbedaan konsentrasi lemak dalam hati dan otot (P< 0,05). Konsentrasi vitamin E pakan berpengaruh secara nyata terhadap konsentrasi vitamin E hati. Konsentrasi vitamin E hati meningkat ketika konsentrasi vitamin E pakan meningkat. Peningkatan vitamin E pakan menurunkan secara nyata konsentrasi MDA hati (P< 0,05). Bagaimanapun, tidak ada perbedaan nyata antar-perlakuan penambahan vitamin E 100 mg/kg,300 mg/kg,700 mg/kg, juga tidak ada pada perlakuan penambahan vitamin E 700 mg/kg dan 1 500 mg/kg. Aktivitas Katalase, superoksida dismutase dan glutation-S-transferase dalam hati ikan berkurang secara nyata akibat penambahan vitamin E pakan (P< 0,05). Sebaliknya, glutation peroksidase dan glutation reduktase kurang terpengaruh oleh penambahan vitamin E pakan (P< 0,05). Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan vitamin E pakan dapat menghentikan, sampai beberapa kisaran, sebagian proses peroksidasi lipida dalam pakan ikan yang mengandung minyak teroksidasi, sehingga mengurangi dampak negatif akibat stres tingginya pro-oksidatif pada ikan.

Baca juga Gejala-Gejala Defisiensi Nutrisi Pada Ikan

Gejala Defisiensi Vitamin E Pada Ikan

Poston et al. (1976) melaporkan bahwa kekurangan (defisiensi) vitamin E dan selenium, secara bersamaan atau terpisah, pada ikan salmon Atlantik selama 4 minggu pertama pemberian pakan menyebabkan tingkat mortalitas menjadi dua kali lipat dibandingkan ikan yang diberi tambahan vitamin E (0,5 IU/gram pakan kering) maupun selenium (0,1 mikrogram/gram). Penambahan pakan selanjutnya dengan vitamin E maupun selenium menurunkan mortalitas secara nyata selama 2 minggu berikutnya. Ikan salmon besar (bobot awal rata-rata 0,9 gram), yang kekurangan vitamin E dengan atau tanpa selenium, menunjukkan tanda-tanda defisiensi sebagai berikut : anemia parah, insang pucat, anisocytosis, poikilocytosis, peningkatan konsentrasi protein dalam plasma darah, exudative diathesis (penimbunan nanah di bawah kulit atau di sekitar jantung), pigmen kulit memudar, peroksidasi yang dipicu asam askorbat secara in vitro dalam mikrosom hati, warna hati menjadi kuning-oranye, isi usus berwarna kuning coklat, pembengkakan gelembung renang, rendahnya konsentrasi vitamin E dalam daging dan jaringan hati, penyusutan otot, peningkatan konsentrasi lemak dan air dalam daging, dan respon terhadap penanganan ditandai dengan pingsan sementara dan aktivitas renang tersendat-sendat. Defisiensi selenium menghambat aktivitas glutation peroksidase dalam plasma darah. Penambahan selenium dengan vitamin E secara nyata meningkatkan aktivitas tokoferol dalam hati, tetapi tidak dalam jaringan daging. Penambahan vitamin E maupun selenium adalah penting untuk mencegah “muscular dystrophy” (penyusutan otot).

Baca juga Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Kerusakan Jaringan Tubuh Ikan Akibat Kekurangan Vitamin E

Wilson et al. (1984) melakukan dua percobaan untuk mengevaluasi-kembali kebutuhan vitamin E pada anak ikan channel catfish. Makanan murni yang mengandung 1 % minyak hati ikan cod, 4 % lemak babi dan selenium secukupnya dan dilengkapi dengan DL-alfa-tokoferil asetat digunakan dalam kedua percobaan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai kebutuhan vitamin E yang dilaporkan sebelumnya, yang berdasarkan pada pertumbuhan dan perubahan patologis, adalah kurang dari nilai yang sebenarnya. Kebutuhan minimum vitamin E pakan dalam bentuk DL-alfa-tokoferil asetat adalah 50 mg/kg pakan berdasarkan data peroksidasi lipida yang dipicu-asam askorbat dalam mikrosom hati selama 16-minggu. Tidak ada perbedaan laju pertumbuhan atau efisiensi pakan pada kedua percobaan. Tidak ada perubahan patologis ataupun hematologis pada ikan yang diberi pakan berbagai dosis vitamin E selama 20 minggu,kecuali hemolisis sel darah merah, yang meningkat. Kerusakan jaringan hanya terjadi pada ikan yang menerima dosis 0 mg/kg pakan. Gangguan fisiologi yang disebut “multifocal splenic hemosiderosis” diamati pada ikan-ikan ini. “Multifocal splenic hemosiderosis” yang ringan terjadi pada jaringan pankreas di sekitar pembuluh hati. Jaringan pankreas tampaknya menyusut pada ikan yang diberi vitamin E dosis tinggi. Tidak ada kerusakan yang nyata pada jaringan-jarinan lain yang damati.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 30 Maret 2012

Stres Mempengaruhi Hormon, Kekebalan Penyakit dan Perilaku Ikan

Arsip Cofa No. C 013

Pengaruh Stres Terhadap Hormon

Mazeaud et al. (1977) melaporkan bahwa penanganan ikan mendorong timbulnya gangguan berbagai parameter biologis yang telah banyak diteliti atau diulas dengan tujuan menganalisis dan menentukan stres yang ditimbulkannya. Penanganan ikan seperti penangkapan, transportasi, pemindahan dari air tawar ke air air laut dan vaksinasi menimbulkan beberapa jenis stres yang mendorong ikan meronta-ronta, mengalami hipoksia, kejutan suhu dan kejutan osmotik. Banyak jenis stres membawa akibat yang mematikan. Kematian yang lambat dan kondisi yang menyedihkan mungkin tidak tampak untuk sementara waktu setelah ikan mengalami stres. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa stres pada ikan diikuti oleh cepatnya perubahan konsentrasi hormon katekolamin dan kortikosteroid dalam plasma darah. Adrenalin dan noradrenalin ada di dalam plasma darah dengan konsentrasi tinggi pada ikan yang sedang beristirahat dan meningkat dengan cepat setelah beberapa menit mengalami hipoksia atau meronta-ronta pada ikan siklostoma, selachii dan teleostei; adrenalin (atau noradrenalin, tergantung spesies ikan) menjadi dominan.

Baca juga
Mekanisme Kerja dan Pengaturan Sekresi Hormon

Mazeaud et al. (1977) menyatakan bahwa perubahan konsentrasi endokrin (hormon), yang merupakan akibat awal dari stres, dianggap sebagai efek utama. Data yang diperoleh dari ikan coho salmon (Oncorhynchus kisutch), dan sockeye salmon (Oncorhynchus tshawytscha) menunjukkan bahwa semua jenis stres menyebabkan peningkatan konsentrasi katekolamin, terutama adrenalin, yang beredar bersama darah. Tidak ada perbedaan kuantitatif dalam hal intensitas respon antar spesies ikan tetapi ada variasi antar individu yang besar. Pada ikan coho salmon jantan dewasa, perilaku meronta-ronta dan hipoksia (kekurangan oksigen) juga menyebabkan peningkatan konsentrasi kortikosteroid dalam plasma darah. Efek sekunder timbul sebagai akibat perubahan endokrin tersebut. Gangguan metabolik ini mencakup peningkatan kadar glukosa darah secara nyata dan penurunan (atau peningkatan, tergantung spesies ikan) kadar asam amino bebas dalam plasma darah. Gangguan metabolik yang disebabkan stres jangka pendek bisa berlangsung dalam periode yang relatif lama. Penelitian terbaru mengenai proses osmoregulasi menunjukkan bahwa aksi katekolamin terhadap permeabilitas insang bisa menjelaskan terjadinya aktivitas minum air yang dipicu stres pada ikan air tawar dan terjadinya bdehidrasi pada ikan air laut.

Baca juga
Hormon Pertumbuhan Ikan

Hormon-Hormon Yang Terpengaruh Stres

Matty (1985) melaporkan bahwa hormon yang konsentrasinya mungkin berubah akibat rangsangan stres pada ikan adalah hormon-hormon tiroid, prolaktin, angiotensis dan peptida-peptida neurohipofisa, yakni vasotosin dan isotosin. Mengherankan bahwa rangsangan stres tidak menyebabkan perubahan kadar hormon pertumbuhan. Bila ikan rainbow trout budidaya diangkut maka perlu dicatat bahwa kadar tiroksin dan triyodotironin dalam darah turun sampai 75 persen. Pemulihan ke kadar normal dilakukan dengan menyuntikkan hormon TSH. Mungkin stres merangsang faktor hipotalamus penghambat-TSH, tetapi hal ini hanya merupakan dugaan. Sebagai tambahan, hormon prolaktin tak diragukan memainkan peranan dalam respon stres akibat perubahan salinitas. Karena ia merupakan hormon penting bagi keseimbangan mineral-air yang mempertahankan permeabiltas membran terhadap ion dan air, maka perubahan salinitas akan mempengaruhi kadar prolaktin dalam plasma darah. Peranan hormon ini mungkin sepenting kortikosteroid dan katekolamin dalam kondisi ketika rangsangan stres menyebabkan ketidakseimbangan osmoregulasi.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Hubungan Stres dan Daya Tahan Terhadap Penyakit

Ellis (1981) dalam Pickering (1981) menyatakan bahwa stres berhubungan dengan daya tahan terhadap penyakit. Stres menyebabkan banyak perubahan sistem fisiologis ikan, termasuk sistem pertahanan tubuh yang mencakup respon-respon seperti perbaikan jaringan, fagositosis, peradangan serta respon spesifik dan non spesifik yang diperantarai oleh sistem limfa. Stres mempengaruhi banyak mekanisme pertahanan, menghambat beberapa proses dan merangsang proses-proses lainnya. Hal ini bisa menguntungkan atau merugikan bagi ikan, tergantung pada interaksi komplek antara faktor-faktor stres dan kondisi fisiologis ikan tersebut yang selanjutnya menentukan keberhasilan ikan beradaptasi terhadap situasi ini.

Pencegahan Stres Untuk Memperbaiki Sistem Pengemasan dan Pengangkutan Ikan Hias

Lim et al. (2003) menyatakan bahwa sistem pengemasan ikan hias saat ini dicirikan oleh kepadatan ikan yang sangat tinggi dan limbah metabolik yang banyak di dalam air transpor setelah pengapalan. Studi terbaru dengan menggunakan ikan guppy sebagai model menunjukkan bahwa mortalitas pasca-pengapalan bisa dikurangi dengan cara meningkatkan daya tahan ikan terhadap stres. Oleh karena itu perhatian perlu ditekankan pada persiapan ikan sebelum diangkut dan pemulihan ikan setelah pengapalan. Dalam hal ini petani ikan bisa memberikan sumbangan penting dengan memberikan pakan yang bisa meningkatkan kesehatan sebelum ikan dikumpulkan untuk diangkut. Eksportir bisa melakukan uji stres salinitas untuk mengidentifikasi ikan-ikan yang siap diangkut, memberi obat pembasmi parasit dan mengoptimalkan teknik-teknik seperti mem-puasa-kan (melaparkan) ikan atau menambahkan garam ke dalam air transpor untuk meningkatkan daya tahan ikan terhadap stres. Importir bisa melakukan prosedur aklimasi yang layak dan membiarkan ikan memulihkan diri di dalam air bersalinitas rendah guna mengurangi kematian pasca pengapalan. Karena kebanyakan mortalitas pasca pengapalan diperantarai oleh stres dan terjadi selama periode pemulihan satu minggu, maka perlu dipertimbangkan upaya merevisi basis sistem garansi bagi pelanggan, yaitu kematian saat kedatangan diubah menjadi kematian kumulatif pada 7 hari pasca pengapalan (atau kematian setelah 7 hari), dengan tujuan mengurangi kehilangan ikan setelah pengapalan.

Baca juga
Kekebalan Ikan terhadap Infeksi Patogen dan Parasit

Pengaruh Stres Terhadap Perilaku Ikan

Furevik et al. (1993) menyatakan bahwa perilaku meloncat-loncat dan berputar-putar pada ikan salmon Atlantik di dalam jaring apung bisa memberikan petunjuk penting tentang kondisi ikan. Aktivitas di permukaan air ini telah dipelajari pada ikan dalam jaring apung dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan dan prosedur operasional. Perilaku meloncat pada salmon dalam jaring apung berbeda dengan perilaku serupa ketika migrasi ke hulu sungai. Ikan biasanya mendarat di permukaan air dengan sisi tubuhnya, dan dalam sekitar 6 % loncatan dilaporkan bahwa ikan menabrak pagar jaring apung. Aktivitas meloncat ini jarang dilakukan pada musim dingin. Aktivitas meloncat meningkat dengan meningkatnya serangan kutu parasit dan berkurang setelah kutu tersebut hilang. Bagaimanapun, selama perlakuan kimiawi untuk menanganai serangan kutu parasit, aktivias meloncat adalah tinggi. Ketika berputar-putar, ikan perlahan-lahan mengenai permukaan air. Aktivitas berputar-putar berrvariasi antar hari, tetapi relatif konstan sepanjang tahun. Aktivitas berputar-putar meningkat setelah timbul berbagai gangguan, dan mungkin berkaitan dengan kehilangan gas gelembung renang selama situasi stres. Tingginya aktivitas berputar-putar dengan demikian menjadi petunjuk adanya stres akut, sedangkan tingginya aktivitas meloncat-loncat menunjukan tingginya serangan kutu parasit atau adanya stres akut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 29 Maret 2012

Bioekologi dan Perikanan Tengiri

Arsip Cofa No. C 012

Beberapa Daerah Distribusi Scomber di Atlantik dan Afrika Tropis

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di paparan benua Atlantik tropis bagian timur, pada kedalaman 200 – 300 meter terdapat ikan Scomber yang ditemukan bersama ikan Chlorophthalmus, Peristedion, Bembrops dan Antigonia. Scomber japonicus, bersama dengan Trachurus trachurus dan Boops boops, juga dijumpai di perairan di bawah termoklin di Teluk Guinea; mereka merupakan spesies pelagis arus perbatasan timur yang khas. Di lepas pantai Somalia dan Oman, Scomber hidup bersama dengan Sardinella longiceps, Etrumeus teres, Trachurus dan Decapterus.

Free Download E-book Perikanan

Perubahan Komposisi Makanan Tengiri Akibat Perubahan Musim

Stovbun (1992) dalam Gritsenko (1992) melaporkan bahwa ikan tengiri Pasifik, Scomber japonicus, termasuk ikan pemakan plankton dan ikan lain. Ikan ini mencari makan terutama di sebelah utara garis 40 oLU dari bulan Juli sampai Oktober-November di massa air subarktik, di daerah dengan konsentrasi plankton tinggi. Pada pedriode ini makanan utama mereka adalah krustasea. Ketika ikan menimbun lemak dan ketika konsentrasi zooplankton berkurang pada musim dingin, intensitas makan berkurang. Selama perode tersebut ikan tengiri menjadi bersifat eurifagus (makan banyak jenis mangsa) yang memakan berbagai organisme termasuk ikan dan plankton berkalori rendah.

Baca juga Bioekologi dan Dinamika Populasi Ikan Layang (Decapterus)

Adakah Hubungan Antara Suhu Permukaan Laut Dengan Kelimpahan Tengiri ?

Narain et al. (1991) dalam Sudarsan and Somvanshi (1991) mempelajari hubungan antara data tangkapan ikan (dikumpulkan oleh Survei Perikanan India) dan suhu permukaan laut yang berasal dari data digital NOAA-AVHRR serta peta MCSST 100 km. Hasil tangkapan ikan terbanyak ternyata berkaitan dengan suatu gradien suhu yang jelas yang tampak pada gambar SST (sea surface temperature; suhu permukaan laut) yakni di lepas pantai Bombai, dan hasil tangkapan yang lebih sedikit berkaitan dengan suhu hampir-seragam yang terlihat di lepas pantai Goa dan hasil tangkapan paling sedikit adalah berhubungan dengan suhu hangat-seragam di lepas pantai Cochin. Ada korelasi (r2 = 0,49) antara hasil tangkapan ikan tuna dengan suhu permukaan laut, tetapi hampir tidak ada korelasi seperti ini dalam kasus ikan tengiri.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Sifat Fototaksis Ikan Tengiri

Nomura and Yamazuki (1977) menyatakan bahwa ikan tengiri menunjukkan sifat fototaksis (tertarik cahaya) yang lemah bila dibandingkan sardin. Mereka lebih tertarik pada umpan. Oleh karena itu, nelayan "pole and line" menggunakan lampu bersama-sama dengan umpan untuk menangkap ikan ini. Tengiri menjadi aktif pada kondisi terang dengan membentuk gerombolan tetapi pada kondisi gelap mereka malas bergerak dan tidak menggerombol. Pengamatan tingkah laku tengiri dalam hubungannya dengan cahaya menunjukkan bahwa gerombolan ini memberikan reaksi lemah terhadap lampu fluoresensi maupun lampu pijar. Melalui alat “fish finder” (pencari ikan) diketahui bahwa ikan tengiri tersebar di permukaan laut sampai kedalaman 20 meter di bawah lampu pijar, dan tersebar pada kedalaman 3 sampai 30 meter di bawah lampu fluoresensi. Mereka lebih tertarik pada lampu fluoresensi berwarna biru-putih daripada warna hijau.

Baca juga Ikan Kembung (Rastrelliger) : Distribusi, Migrasi, Pemijahan, Makanan dan Pertumbuhan

Faktor-Faktor Oseanografi Yang Mempengaruhi Hasil Tangkap Tengiri

Ramana et al. (1991) mempelajari distribusi vertikal dan bulanan suhu, salinitas, konsentrasi oksigen terlarut dan beberapa parameter air laut lain di delapan stasiun di di lepas pantai Manjeswar, Laut Arab . Secara umum, perairan lepas pantai Manjeswar pada kedalaman sampai 50 meter adalah kurang-lebih isotermal (sama-suhu) selama bulan Januari, Februari dan Desember. Pada bulan Mei, September dan Oktober, perbedaan suhu vertikal pada kolom air sedalam 50 meter adalah agak tinggi. Penelitian ini menunjukkan adanya puncak termoklin pada kedalaman antara 10 dan 15 meter selama bulan September. Peningkatan salinitas yang sejalan dengan bertambahnya kedalaman adalah jelas selama periode Maret sampai November, yang mungkin disebabkan oleh adanya stratifikasi salinitas pada bulan-bulan ini. Kondisi yang hampir isohalin (sama-salinitas) timbul bersama dengan munculnya lapisan massa air panas yang teraduk selama Januari, Februari dan Desember, yang mungkin disebabkan oleh kuatnya angin hingga mengakibatkan pengadukan massa air. Dari semua parameter oseanografi, suhu dan salinitas air tampaknya memberikan efek langsung terhadap perikanan sardin dan tengiri pelagis d daerah ini. Penyimpangan suhu dan salinitas air dari nilai-nilai optimum tampaknya menyebabkan rendahnya hasil tangkap ikan sardin dan tengiri. Curah hujan, pH, konsentrasi oksigen terlarut dan kejernihan air memberikan efek tak langsung terhadap perikanan sardine dan tengiri pelagis.

Baca juga Tuna dan Ikan Mirip-Tuna

Perikanan dan Musim Pemijahan Tengiri di India

Yohannan dan Balasubramanian (1991) melaporkan bahwa setelah perikanan tengiri di Calicut, India, memberikan hasil tangkapan yang relatif tinggi pada tahun 1980 – 1981, produksinya mencapai nilai terendah pada tahun 1983 – 1984. Hasil tangkap meningkat pada masa-masa berikutnya. Rekruitmen sumber daya perikanan ini hampir sempurna pada bulan September. Sumber rekruitmen utama di Calicut berasal dari pemijahan di bulan Juni dan Agustus. Curah hujan tahunan yang tinggi menguntungkan bagi perikanan ini, tetapi curah hujan dan hasil tangkap pada bulan September menunjukkan hubungan terbalik. Hasil tangkap pada tahun 1970 – 1971 jauh di atas tingkat keseimbangan. Besarnya stok pemijahan pada periode April – Juni menunjukkan hubungan langsung dengan total tangkapan pada musim tersebut. Secara umum perikanan tengiri di Calicut menunjukkan penurunan. Ada petunjuk bahwa tekanan penangkapan saat ini terhadap populasi tengiri melebihi optimum.

Gopakumar et al. (1991) melaporkan bahwa hasil tangkapan tahunan ikan tengiri yang didaratkan selama tahun 1977-1986 di Vizhinjam, India, rata-ata adalah 191,5 ton. Musim penangkapan tengiri berkisar dari bulan Oktober sampai Mei dengan puncaknya pada bulan April – Mei. Drift net (jaring hanyut) menghasilkan 63 % dari total tangkapan ikan ini. Sebanyak 20 % lainnya ditangkap dengan “hook and line” (pancing). Mekanisasi kapal tradisional meningkatkan hasil tangkapan. Ukuran ikan yang ditangkap berkisar antara 50 dan 290 mm. Puncak pemijahan adalah sekali selama bulan April – Mei dan sekali lagi selama September sampai Oktober.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Terumbu Karang : Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino

Arsip Cofa No. C 011

Kerusakan Terumbu Karang Oleh Kegiatan Manusia

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan bahwa terumbu karang saat ini terancam kerusakan di seluruh daerah distribusinya, terutama di tempat-tempat yang penduduk pesisirnya banyak, seperti di Afrika Timur, atau di daerah di mana pariwisata (dan penjualan karang hias) merupakan kegiatan ekonomi penting dan tidak diatur. Di Filipina, sebagai contoh, yang dekat dengan pusat keragaman karang, lebih dari 60 % luas terumbu karang asli telah dirusak dalam waktu 20 tahun oleh penangkapan ikan yang menggunakan dinamit, racun ikan dan muroami.

Guzman et al. (1991) menyajikan data mengenai umur, kelimpahan dan distribusi terumbu karang di Wildlife Refuge, Pulau Iguana, Panama. Total luas penutupan oleh karang hidup sebesar 30,6 % telah ditemukan dan terdiri dari 11 spesies. Pocilloporidae merupakan karang utama pembangun terumbu, yang mewakili 95 % dari luas penutupan oleh karang hidup. Daerah-daerah terumbu karang yang luas di sini telah rusak dengan laju yang lebih cepat selama tiga tahun terakhir akibat aktivitas manusia.

Baca juga Pembentukan, Pertumbuhan, Migrasi dan Keragaman Terumbu Karang

Pengikisan Karang oleh Aktivitas Makan Ikan

Longhurst dan Pauly (1987), berdasarkan laporan beberapa peneliti, menyimpulkan bahwa grazing (aktivitas memakan tumbuhan) oleh ikan herbivora di terumbu karang memasok serpihan batu kapur hingga menjadi endapan pasir putih di sekeliling terumbu karang tersebut. Di terumbu karang Pasifik dan Karibia, diduga bahwa produksi pasir halus oleh erosi karang akibat grazing ikan herbivora bisa mencapai 200 – 600 ton/km2/tahun.

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan bahwa ada sedikit spesies ikan yang secara khusus menyerang karang secara langsung, bahkan beberapa jenis ikan pipa (misal Oxymonacanthus), ikan bleni (misal Exallius) serta ikan kupu-kupu (misal Chaetodon) mengkhususkan diri memakan polip karang individual dan menggigit ujung-ujung cabang karang. Secara umum pemangsaan terhadap karang terbatas pada sedikit spesies ikan, dan potongan karang biasanya hanya merupakan bagian kecil dari material yang dimakan oleh ikan-ikan ini. Bagaimanapun, karena gigitan bisa menimbulkan kerusakan yang memungkinkan alga untuk masuk ke dalam rangka karang dan mencegah pertumbuhan-kembali jaringan karang hidup, kerusakan yang lebih parah bisa terjadi daripada sekedar penyingkiran jaringan tubuh karang sederhana. Beberapa ikan buntal kotak, seperti Ostracion, juga memakan polip karang. Ikan Monacanthidae menggunakan moncongnya yang kecil untuk memotong polip karang individual, sedangkan ikan Balistidae dengan gigi geligi yang lebih kuat dan moncong yang lebih pendek mampu menggigit potongan besar karang.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kerusakan Terumbu Karang Oleh Bulu Babi

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan bahwa bulu babi Diadema antillarum, yang tersebar dari Florida sampai Suriname, bisa mencapai kepadatan lebih dari 50 individu per meter persegi dan mengikis kalsium dari terumbu karang pada saat memakan alga, bahkan memakan karang hidup. Bulu babi ini merupakan herbivora yang sangat kompetitif dan bisa menyebabkan daerah terumbuh karang yang luas menjadi gundul, dengan cara yang sama seperti bagiamana hamparan kelp diubah menjadi “padang bulu babi” oleh bulu babi Atlantik Utara Strongylocentrotus.

Baca juga Struktur Komunitas Ikan Karang

Kerusakan Karang Oleh Alga dan Peranan Bulu Babi

Coyer et al. (1993) meneliti interaksi antara bulu babi, alga dan karang scleractinia selama 10 tahun di lepas pantai Pulau Anacapa, California. Kelimpahan karang mangkok soliter (hidup sendirian) Balanophyllia elegans Verril dan persen penutupan oleh alga berkorelasi terbalik. Karang dapat terbunuh bila tertutup oleh holdfast (semacam akar pada makro alga), alga berfilamen atau alga koralin keras yang tumbuh dengan cepat. Penutupan karang akibat cepatnya pertumbuhan alga berfilamen dan alga koralin semakin parah bila selalu ada spesies alga yang lebih besar yang menyebabkan karang menarik polipnya kembali. Pengamatan jangka pendek maupun jangka panjang dan percobaan manipulasi menunjukkan bahwa secara nyata makin banyak karang yang menarik polipnya kembali , dan mortalitas karang meningkat di zona yang ditumbuhi alga alami maupun alga buatan daripada di zona tanpa alga. Selain itu, kisaran penarikan polip bervariasi tergantung spesies alga dan derajat gerakan air. Efek negatif alga terhadap karang diperantarai oleh aktivitas makan bulu babi. Bulu babi dengan kepadatan tinggi bisa menyingkirkan alga, sehingga mengurangi mortalitas karang akibat cepatnya pertumbuhan alga dan memungkinkan karang untuk meningkatkan kelimpahannya.

Baca juga Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Kerusakan Terumbu Karang Oleh El Nino

Guzman et al. (1987) menyimpulkan bahwa terumbu karang di Isla del Cano, Costa Rica, tampaknya dipengaruhi oleh penghangatan akibat El Nino Southern Oscillation (ENSO) 1982/1983. Pada bulan Januari 1984 survei terhadap daerah sekitar pulau ini menunjukkan nilai rata-rata luas penutupan oleh karang hidup dan karang mati adalah 5,4 % dan 30,26 %, berturut-turut. Berdasarkan data transek tahun 1980 (sebelum El Nino) dan 1984 (setelah El Nino) luas penutupan oleh karang hidup berkurang 50 %. Kelimpahan sebagian besar karang dan keragaman spesies karang pada tahun 1984 lebih rendah dibandingkan pada tahun 1980, dan dua spesies karang (Gardinerosis planulata dan Porites panamensis) hampir hilang sama sekali. Hamparan terumbu luas di pantai utara dan timur Pulau Cano sekarang mempunyai sedikit karang hidup dan didominasi oleh alga koralin hidup yang keras.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 27 Maret 2012

Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Arsip Cofa No. C 010

Struktur Komunitas dan Distribusi Plankton di Teluk

Han et al. (1991) meneliti struktur komunitas dan distribusi plankton skala mikro dalam hubungannya dengan hidrografi di Teluk Masan, Korea, pada bulan Oktober 1989. Perairan yang lebih hangat dan kurang asin dan berstratifikasi terletak di bagian dalam Selat Pudo, dengan konsentrasi klorofil-a dan zat hara lebih tinggi. Baik biomas fitoplankton maupun zat hara berubah dramatis di sekitar Teluk ini. Spesies fitoplankton samudra/lepas pantai mencakup Chaetoceros decipiens, Rhizosolenia stolterforthii, Rhizosolenia styliformis dan Ceratium trichoceros sedangkan zooplanktonnya, yakni Sagitta enflata, Oncaea venusta dan Oikopleura longicauda, terdapat terutama di perairan yang sangat teraduk di bagian luar selat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan air yang terputus-putus berperanan penting sebagai suatu batas bagi populasi plankton. Massa fitoplankton dengan kepadatan lebih dari 80 mikrogram/liter ditemukan hanya di bagian dalam teluk. Habisnya silikat akibat cepatnya asimilasi fitoplankton di bagian dalam teluk tampaknya bertanggung jawab atas berkurangnya ledakan populasi plankton.

Baca juga Distribusi, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Fitoplankton Laut

Komposisi Komunitas Plankton di Laguna

Boltovskoy et al. (1990) mengamati variasi ruang dan waktu dalam hal transparansi (kejernihan air), suhu, pH, konduktivitas (daya hantar air) dan plankton di Lobos Pond, yang merupakan laguna subtropis oligohalin (salinitas sedang), serta anak-anak sungai utamanya selama satu siklus tahunan. Total 181 spesies plankton telah ditemukan, banyak di antaranya merupakan organisme halofil (suka garam). Berdasarkan jumlah, fitoplankton didominasi oleh alga hijau-biru, sedangkan alga hijau dan diatom merupakan dua kelompok yang paling tinggi keragamannya. Kopepoda dan rotifera menjadi zooplankton yang paling melimpah, sedangkan kelompok zooplankton yang paling tinggi keragamannya adalah ciliata.

Baca juga Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton

Hubungan Produksi Bakterioplankton dan Komposisi Fitoplankton

Nakano (1992) mempelajari produksi bakterioplankton dan komposisi fitoplankton di zona pelagis Danau Biwa bagian utara dari tanggal 19 Februari sampai 7 Juni 1990. Selama periode penelitian, dua spesies fitoplankton mendominasi : Asterionella formosa (Bacillariophyceae) dari 19 Februari sampai 18 April (periode awal) dan Uroglena americana (Chrysophyceae) dari 9 Mei sampai 7 Juni (periode akhir). Produksi bakterioplankton diduga berdasarkan metode frekuensi pembelahan sel selama periode awal, yang berkisar dari 7,4 sampai 33 mikrogram karbon/liter/hari. Selama periode akhir, produksi bakterioplankton adalah rendah, berkisar dari 4,1 sampai 18 mikrogram karbon/liter/hari. Perubahan produksi bakterioplankton tampaknya berhubungan dengan perubahan komposisi fitoplankton.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton Serta Pemangsaannya Oleh Mikrozooplankton

Verity dan Vernet (1992) melaporkan kelimpahan dan distribusi vertikal plankton fototrofik dan heterotrofik, laju pertumbuhan dan pemangsaannya oleh mikrozooplankton serta produk penguraian klorofil-a akibat pemangsaan tersebut di dua fyord di Norwegia. Kedua fyord mengandung komunitas mikroplankton yang melimpah. Konsentrasi maksimum khasnya adalah 2 – 4 ribu sel/ml untuk nanoplankton fotosintetik, 1 – 3 ribu sel/ml untuk nanoplankton heterotrofik, 40 – 80 ribu sel/ml untuk alga hijau-biru dan 4 – 9 siliata/ml. Kelimpahan maksimum terdapat pada zona eufotik. Fitoplankton dominan adalah taksa yang mengandung klorofil-c, terutama prymnesiophyta dan chrysophyta. Pemangsaan oleh mikrozooplankton yang berukuran kurang dari 200 mikron umumnya menghilangkan 50 – 100 % dan 20 – 100 % produksi harian sel-sel plankton yang berukuran kurang dari 10 mikron dan kurang dari 2 mikron, berturut-turut, termasuk taksa autotrofik dan heterotrofik.

Baca juga Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Variasi Kelimpahan Mikroplankton Yang Tercermin Dalam Variasi Konsentrasi ATP-nya

Benzhitskiy dan Gordiyenko (1990) telah meneliti variasi antar waktu dalam hal konsentrasi ATP rata-rata di berbagai wilayah samudra. Variasi antar waktu yang jelas dalam hal ATP mikroplankton tampaknya disebabkan perubahan kelimpahan akibat mekanisme akumulasi pasif dan aktif. Variasi antar waktu ini harus diperhatikan dalam mengevaluasi variasi horizontal kelimpahan mikroplankton hidup.

Baca juga Daya Apung Fitoplankton dan Arti Pentingnya

Perubahan Populasi Plankton Danau Akibat Eutrofikasi

Polli dan Simona (1992) meringkas semua informasi yag tersedia tentang perkembangan jangka panjang dan perkembangan terbaru populasi plankton di Danau Lugano, Italia, dengan memperhatikan evolusi kesuburannya. Pengaruh pertama eutrofikasi danau mulai muncul pada tahun 1980-an dan menyebabkan perubahan penting dalam komunitas fitoplankton yakni kemunculan dan cepatnya peningkatan populasi alga berfilamen Oscillatoria rubescens dan Stephanodiscus hantzschii, serta hilangnya zooplankton Diaptomidae. Sejak tahun 1980 konsentrasi fosfor mulai berkurang di lapisan epilimnion danau dan komunitas plankton menunjukkan komposisi baru dengan hadirnya spesies-spesies dominan lain : Oscillatoria redekel, Lyngbya limnetica, Stephanodiscus sp. (bentuk kecil). Sejak tahun 1989 standing crop (panenan tetap) alga berkurang nilainya sampai di bawah 2 gram/m2 (berat kering); selanjutnya Cyanophyceae berkurang banyak dan muncul spesies dominan baru (Tabellaria fenestrata, divisi Ulotrichales). Pada saat yang sama terjadi peningkatan populasi zooplankton herbivora (Daphnia hyalina) dan kemunculan kembali Diaptomidae. Hanya di basin (cekungan danau) utara ada kecenderungan penurunan produksi primer, yang berubah dari 480 menjadi sekitar 300 g C/m2/tahun selama 10 tahun terakhir.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 26 Maret 2012

Gejala-Gejala Defisiensi Nutrisi Pada Ikan

Arsip Cofa No. C 009

Gejala-Gejala Kekurangan Asam Pantotenat

Ishii dan Yamamoto (1972) mengulas beberapa penelitian mengenai defisiensi asam pantotenat pada ikan. Asam ini, yang merupakan kelompok vitamin B komplek, sangat diperlukan oleh beberapa ikan. Telah ditunjukkan bahwa defisiensi asam pantotenat dalam pakan menyebabkan penyakit insang dan penghambatan pertumbuhan pada ikan trout. Pertumbuhan yang sangat lambat, kehilangan nafsu makan dan pendarahan permukaan tubuh dialami oleh ikan karper sebagai gejala-gejala defisiensi vitamin ini. Pada anak ikan rainbow trout yang kekurangan asam pantotenat, telah dilaporkan bahwa ikan tersebut menunjukkan gejala-gejala seperti pertumbuhan lambat, mortalitas tinggi dan gerak renang tidak normal. Pada sebagian binatang berdarah panas, telah dibuktikan bahwa hewan yang mengalami defisiensi asam pantotenat menunjukkan beberapa perubahan sel-sel hati.

Baca juga Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

Kelainan Sel Hati Ikan Akibat Kekurangan Asam Pantotenat

Ishii dan Yamamoto (1972) menggunakan mikroskop cahaya dan mirkoskop elektron untuk mengamati sel parenkim hati pada ikan mas koki yang diberi pakan sintetis Halver tanpa kalsium pantotenat. Periode penelitian berlangsung 52 hari dari 20 Oktober sampai 11 Desember 1969. Ikan yang mengalami kekurangan asam pantotenat menunjukkan pertumbuhan yang lambat, nafsu makan hilang, pendarahan lokal dan exophthalmus ringan (catatan : exophthalmus adalah bola mata menonjol keluar). Secara ultra struktur, sel-sel parenkim hati pada ikan yang kekurangan vitamin ini menunjukkan beberapa perubahan sitoplasma. Perubahan yang paling menyolok ditemukan pada mitokondria; kebanyakan mitokondria menjadi lebih besar ukurannya dibandingkan pada ikan kontrol dan beberapa mitokondria tersebut saling melekat satu sama lain. Retikulum endoplasma kurang berkembang dibandingkan pada sel-sel hati ikan kontrol. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal jumlah butiran lemak dalam sel-sel hati ikan kontrol dan ikan uji.

Baca juga Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan

Fungsi Asam Askorbat Pada Ikan

Masumoto et al. dalam Akiyama dan Tan (1991) melaporkan bahwa sebagai agen pereduksi kuat, asam askorbat terlibat dalam banyak fungsi biologis pada ikan yang mencakup pertumbuhan, reproduksi, respon stres, ketahanan terhadap penyakit serta antioksidasi dan metabolisme lipida. Fungsi-fungsi ini bekerja pada tingkat kebutuhan dasar (50 – 100 ppm). Sulit untuk menentukan peranan positif dari penambahan asam askorbat berkadar tinggi ke dalam pakan akuakultur : mekanisme bagaimana asam askorbat berkadar tinggi mempercepat fungsi-fungsi biologis ikan belum dapat dipahami dengan jelas. Lama periode waktu yang diperlukan bagi pemberian asam askorbat berdosis tinggi guna memperbaki status asam askorbat dalam tubuh ikan adalah tidak pasti. Asam askorbat sebaiknya dianggap sebagai perlakuan pencegahan bagi kesalahan fungsi biologis, bukan sebagai metode penyembuhan bagi penyakit atau stres. Dengan demikian diperlukan periode pemberian yang lama. Pabrik pakan dan ahli akuakultur sebaiknya memperhatikan dengan cermat apakah asam askorbat berdosis tinggi adalah masuk akal dan ekonomis.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Dampak Defisiensi Lipida Pada Larva Ikan

Davis dan Olla (1992) melaporkan bahwa sementara pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan di laut bergantung pada jenis, ukuran dan kelimpahan mangsa, kualitas nutrisi mangsa juga memegang peranan penting. Kedua peneliti ini mempelajari hubungan antara kandungan lipida pada mangsa dengan pertumbuhan, ukuran gelembung renang, laju tenggelam, perilaku dan kelangsungan hidup larva ikan walleye pollock Theragra chalcogramma di bawah kondisi terkendali di laboratorium. Larva ikan yang diberi pakan berupa naupli udang renik Artemia spp yang kekurangan lipida menunjukkan pertumbuhan yang lambat, ukuran gelembung renang kecil dan kelangsungan hidup rendah. Larva ikan ini juga harus berenang hampir terus-menerus untuk mempertahankan posisi vertikal dalam kolom air agar tidak tenggelam. Sebaliknya, larva ikan yang diberi pakan berupa kopepoda liar atau Artemia spp. yang diperkaya dengan lipida menunjukkan perilaku pergiliran antara renang dan istirahat.

Baca juga Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

Gejala Defisiensi Beberapa Nutrisi Penting

Lovell (1998) menyusun daftar gejala-gejala kekurangan beberapa zat gizi pada ikan mas sebagai berikut :
- Magnesium : kejang, katarak, dan penurunan konsentrasi magnesium tulang.
- Fosfor : mineralisasi tulang kurang, cacat pada tulang tubuh dan tengkorak, dan peningkatan lemak pada organ dalam rongga perut.
- Besi : Anemia hypochromic microcytic
- Selenium : Anemia dan katarak
- Seng : katarak, pengikisan sirip dan kulit
- Vitamin A : pigmen kulit memudar, exophthalmus, tutup insang menggulung, pendarahan pada kulit dan sirip
- Vitamin E : exophthalmus, lordosis (tulang belakang melengkung), penyusutan otot, penyusutan ginjal dan pankreas.
- Thiamin : hipersensitif, pigmen kulit memudar, pendarahan di bawah kulit.
- Riboflavin : takut-cahaya, hipersensitif, pendarahan kulit dan sirip, kerusakan jaringan ginjal bagian depan
- Piridoksin : gangguan saraf, anemia, rendahnya enzim hepatopankreatik transferase
- Asam pantotenat : hyperplasia pertambahan jumlah sel-sel yang berlebihan) pada insang, exophthalmus, dan pendarahan kulit
- Niasin : pendarahan kulit, lesu
- Biotin : pertumbuhan lambat, lesu dan peningkatan jumlah sel lendir kulit.
- Kolin : hati berlemak dan muncul gelembung-gelembung dalam sel hati
- Inositol : kehilangan lapisan lendir kulit
- Asam askorbat : pertumbuhan lambat.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Aspek Ekologi dan Pemanfaatan Kandungan Kimia Dalam Rumput Laut

Arsip Cofa No. C 008

Kandungan Protein Dalam Rumput Laut

Walford dan Wilber (1955) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai kandungan protein dalam rumput laut. Penggunaan rumput laut sebagai sumber unsur kimia yang dibutuhkan manusia bukanlah hal baru. Praktek ini telah lama dilakukan sejak awal abad delapan belas. Dilaporkan bahwa asam-asam amino utama yang ditemukan dalam rumput laut Laminaria saccharina, Laminaria cloustoni, Ascophyllum nodosum dan Pelvetia canaliculata adalah sebagai berikut : asam aspartat, asam glutamat, glisin, alanin, valin, leusin, isoleusin. Pada spesies-spesies rumput laut tersebut juga ditemukan dalam jumlah sedang asam amino serin, treonin, prolin, fenilalanin dan lisin serta dalam jumlah sangat sedikit sekali asam amino arginin. Berdasarkan berat kering, spesies-spesies tersebut mengandung rata-rata 6,3 % peptida dan protein. “Daun” alga Laminaria mengandung sebanyak 14 % (berdasar berat kering) protein kasar di perairan Skotlandia pada waktu-waktu tertentu dalam setahun. Fucus vesiculosus ditemukan mengandung asam-asam amino berikut : glisin, alfa-alanin, tirosin, serin, treonin, sistin, metionin, arginin, lisin, prolin, histidin, asam aspartat, asam glutamat, valin, leusin, isoleusin dan fenilalanin. Pada spesies ini hidroksiprolin ditemukan bersama dengan ninhidrin, tetapi triptofan tidak pernah dijumpai. Kandungan protein pada Fucus vesiculosus bervariasi sesuai dengan musim dalam setahun dari 4 % sampai 14 %.

Baca juga Komunitas, Ekologi dan Pemanfaatan Rumput Laut

Variasi Geografis Kandungan Protein Dalam Rumput Laut

Walford dan Wilber (1955), berdasarkan laporan beberapa peneliti, menyimpulkan bahwa lokasi pengumpulan alga (rumput laut) tampaknya mempengaruhi kadar proteinnya. Alga dari laut terbuka mengandung nitrogen organik dalam jumlah lebih besar daripada yang dikumpulkan di perairan yang terlindung atau tempat di antara keduanya. Tepung rumput laut dari Denmark mempunyai kadar protein kasar sekitar 13 %, dibandingkan dengan yang dari perairan Skotlandia (11 %) atau Norwegia (7 %). Di Jepang, Laminaria dari daerah Horotzumi mengandung sekitar 6,4 % protein (berat kering), sedangkan Laminaria dari daerah Mitsuishi 8 %. Variasi serupa dalam hal kandungan alga di sepanjang pesisir California juga telah diketahui.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Variasi Musiman Biomas, Kadar Algin dan Manitol Pada Rumput Laut

Kalimuthu et al. (1991) melakukan penelitian dari bulan September 1985 sampai Agustus 1986 mengenai “standing crop” (panenan tetap), kadar algin dan manitol dari tiga spesies alga coklat Colpomenia sinuosa, Hydroclathrus clathratus dan Rosenvingea intricata yang tumbuh di Pulau Shingle dan Kilakkarai dekat Mandapam, India. Rumput laut spesies-spesies ini ditemukan antara bulan September dan Maret dengan biomas tumbuhan maksimum pada bulan Desember sampai Februari. Standing crop bervariasi dari 0,814 sampai 4,250 kg berat/m2 untuk Colpomenia sinuosa, 1,823 sampai 4,971 kg berat/m2 untuk Hydroclathrus clathratus dan 3,309 sampai 12,024 kg berat/m2 untuk Rosenvingea intricata dan kadar algin berkisar dari 4,7 sampai 14,1 %, 7,5 sampai 14,7 % dan 10,4 sampai 20,5 % berturut-turut dengan nilai-nilai maksimum selama Desember sampai Februari. Kadar manitol bervariasi dari 0,5 sampai 2,2 % dalam rumput-rumput laut ini. Tidak ada variasi musiman yang menyolok dalam hal hasil algin dan manitol pada ketiga jenis alga tersebut. Periode dari Desember sampai Februari adalah cocok untuk memanen tumbuhan penghasil algin ini guna memproduksi natrium alginat.

Baca juga Agar-Agar Rumput Laut

Pemanfaatan Rumput Laut Untuk Pupuk dan Pestisida

Crouch dan Van Staden (1993) melaporkan bahwa pekatan rumput laut, yang dibuat dari alga Ecklonia maxima, bila diberikan sebagai obat tanah ke benih tomat, secara nyata meningkatkan pertumbuhan tanaman tersebut dan menurunkan serangan Meloidogyne incognita. Pekatan rumput laut yang diberikan ke daun tomat berpengaruh kecil terhadap pertumbuhan tanaman dan meningkatkan jumlah bisul nematoda. Pekatan rumput laut mengurangi efek menghambat terhadap serangan hama nematoda penyebab bisul-akar pada akar-terpotong tomat yang mudah terserang. Pemberian pekatan rumut laut dengan konsentrasi sama ke tanaman yang kebal-nematoda meningkatkan jumlah masa telur hama ini.

Baca juga Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Tepung Rumput Laut Sebagai Agen Pengikat Pakan dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ikan

Hashim dan Mat Saat (1992) mengevaluasi empat spesies rumput laut lokal (Ulva spp., Sargassum spp., Polycavernosa spp. dan Gracilaria spp.) dan karaginan sebagai agen pengikat pada pakan pelet untuk anak ikan gabus (Channa striatus) selama periode 8 minggu. Lima pakan isonitrogen (berkadar nitrogen sama) telah disiapkan yang mengandung 5 % agen pengikat ditambah 5 % tepung gandum. Pakan kontrol mengandung 10 % tepung gandum. Pakan berbasis karaginan memiliki stabilitas air terbaik sedangkan pakan kontrol yang hanya mengandung tepung gandum memiliki kestabilan terburuk setelah 60 menit. Laju pertumbuhan dan nilai efisiensi pakan terbaik telah diamati untuk ikan yang diberi pakan karaginan-tepung gandum. Di antara jenis-jenis rumput laut yang diuji, tepung Ulva spp. memiliki kestabilan terbaik serta memberikan laju pertumbuhan relatif dan nilai efisiensi pakan tertinggi. Kelangsungan hidup anak ikan tertinggi ditemukan untuk kelompok yang diberi pakan berbasis karaginan sedangkan kelangsungan hidup terendah adalah pada kelompok yang diberi pakan tepung Sargassum spp.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Bioekologi, Keragaman Spesies dan Distribusi Moluska

Arsip Cofa No. C 007

Bioekologi Moluska

Menurut Hegner (1946) sebagian besar moluska mensekresi cangkang dari bahan kapur untuk melindungi tubuhnya yang lunak dari binatang-binatang lain dan dari kerusakan fisik karena lingkungan seperti pukulan ombak atau kekeringan. Tubuh moluska diselimuti oleh suatu selubung membran yang disebut mantel. Mantel inilah yang mensekresi cangkang. Moluska tersebar luas hampir di setiap tempat, di darat dan di laut. Siput (gastropoda) hidup di atas tanah dan bernafas dengan semacam insang. Sungai dan kolam merupakan habitat yang disukai banyak jenis siput, baik yang bernafas dengan insang maupun paru-paru. Moluska biasanya memakan vegetasi atau tumbuhan dan binatang mikroskopis, tetapi ada beberapa jenis yang memangsa binatang besar. Moluska meliputi sekitar 80.000 spesies yang telah dikenal.

Baca juga
Reproduksi Cumi-Cumi

Peranan Moluska Dalam Siklus Zat Kapur

Menurut Welch (1952) di antara binatang penghuni perairan darat, moluska memberikan sumbangan paling penting sebagai pembentuk kapur. Kalsium karbonat yang digunakan dalam pembentukan cangkang moluska pada akhirnya, setelah binatangnya mati, jatuh ke dasar perairan; dan di perairan dangkal yang dihuni populasi besar kerang dan siput, cangkang ini berperanan penting dalam membentuk endapan dasar perairan.

Baca juga
Bioekologi, Mortalitas dan Tingkah Laku Cumi-Cumi

Penyebaran Gastropoda dan Bivalva

Menurut Hickman et al. (2001) moluska ditemukan dalam kisaran habitat yang luas, dari daerah tropis sampai laut kutub, di tempat dengan ketinggian melebihi 7.000 meter, di kolam, danau dan sungai, di hamparan lumpur, di pantai dan di samudra terbuka. Kebanyakan di antara mereka hidup di laut dengan pola hidup yang beragam, termasuk pemakan dasar perairan (bottom feeder), peliang, pengebor dan pelagis. Di laut gastropoda umum dijumpai baik di zona litoral maupun di dasar laut yang dalam, bahkan ada yang hidup pelagis di permukaan laut. Beberapa gastropoda beradaptasi terhadap perairan payau dan yang lainnya terhadap perairan tawar. Di darat mereka dibatasi oleh beberapa faktor seperti kandungan mineral dalam tanah serta suhu ekstrim, kekeringan dan keasaman tanah. Kebanyakan bivalva hidup di laut, tetapi banyak pula yang menghuni perairan payau, sungai, kolam dan danau. Sebagian besar bivalva hidup menetap dan merupakan pemakan-penyaring (filter feeder) yang menangkap makanan yang dibawa arus air yang ditimbulkan oleh insang.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Moluska Purba Penghuni Karang dan Laguna

Pada periode interglasial akhir (sekitar 125.000 tahun yang lalu) terjadi pengangkatan terumbu karang Falmouth Formation di Jamaika yang mengandung berbagai jenis fauna moluska bentik. Koleksi moluska dalam jumlah banyak telah dikumpulkan dari dua lokasi terumbu yang kondisi lingkungannya bertolak belakang. Lumpur berkapur asal laguna telah sangat mengeras, yang menyebabkan bias ke arah individu-individu besar, sedangkan sedimen berpasir yang lembek berasal dari rangka karang dan memungkinkan menyampling banyak mikromoluska. Identifikasi terhadap lebih dari spesimen bivalva, gastropoda dan scapopoda menunjukkan bahwa fauna moluska dari setiap lingkungan didominasi oleh spesies yang berbeda. Berdasarkan jumlah, fauna rangka karang didominasi oleh mikrogastropoda Caecum pulchellum dan gastropoda epifauna lain, sedangkan Bulla striata dan cerithidae mendominasi sedimen laguna. Hanya Cerithium algicola yang menyusun lebih dari 2 % fauna di kedua lokasi (Donovan dan Littlewood, 1993).

Moluska Purba Penghuni Karang dan Laguna

Pada periode interglasial akhir (sekitar 125.000 tahun yang lalu) terjadi pengangkatan terumbu karang Falmouth Formation di Jamaika yang mengandung berbagai jenis fauna moluska bentik. Koleksi moluska dalam jumlah banyak telah dikumpulkan dari dua lokasi terumbu yang kondisi lingkungannya bertolak belakang. Lumpur berkapur asal laguna telah sangat mengeras, yang menyebabkan bias ke arah individu-individu besar, sedangkan sedimen berpasir yang lembek berasal dari rangka karang dan memungkinkan menyampling banyak mikromoluska. Identifikasi terhadap lebih dari spesimen bivalva, gastropoda dan scapopoda menunjukkan bahwa fauna moluska dari setiap lingkungan didominasi oleh spesies yang berbeda. Berdasarkan jumlah, fauna rangka karang didominasi oleh mikrogastropoda Caecum pulchellum dan gastropoda epifauna lain, sedangkan Bulla striata dan cerithidae mendominasi sedimen laguna. Hanya Cerithium algicola yang menyusun lebih dari 2 % fauna di kedua lokasi (Donovan dan Littlewood, 1993).

Keragaman Spesies Moluska di Zona Intertidal Berbatu

Roman Contreras et al. (1991) memberikan informasi mengenai moluska pantai yang dikumpulkan pada bulan Februari, Juni dan Agustus1984 di daerah pantai berbatu di Teluk Chamela, Meksiko. Lima puluh lima spesies moluska telah dikumpulkan dengan tangan, alat keruk (dredge) dan metode transek. Dua puluh sembilan spesies dikumpulkan dengan meode terakhir ini, 26 di antaranya adalah gastropoda dan hanya tiga spesies bivalva. Spesies moluska yang paling melimpah adalah Littorina aspera Philippi, Siphonaria palmata Carpenter, Nerita (R.) scabricosta Lamarck, Septifer zeteki Hertlein & Strong, Littorina modesta Philippi dan Nerita tuniculata Menke. Littorina aspera menghuni daerah di antara zona supralitoral dan garis surut maskimum, sedangkan Littorina modesta terbatas pada zona mesolitoral. Keragaman moluska paling tinggi adalah di daerah pantai berbatu dengan substrat yang beraneka ragam, dan keragaman rendah ditemukan di daerah berbatu-batu licin yang terlindung-sebagian. Karakeristik pantai berbatu adalah penting dalam pola-pola distribusi spesies. Coralliophila (C.) macleani Shasky, Nassarius limacinus (Dall), Ruthia mazatlanica Shasky dan Stylocheilus longicauda (Quoy & Galmard) adalah spesies-spesies moluska yang baru pertama ditemukan di Teluk Chamela.

Baca juga
Pengaruh Suhu Terhadap Moluska

Keragaman Spesies Gastropoda dan Bivalva di Garis Pantai dan Terumbu Karang

Gonzales et al. (1991) menganalisis 298 spesies moluska (99 bivalva dan 199 gastropoda) dari 33 lokasi sepanjang garis pantai dan terumbu karang Semenanjung Yucatan, Meksiko, dengan tujuan mengetahui kisaran geografis dan keragaman spesies. Daerah terumbu karang menunjukkan kekayaan spesies yang paling banyak. Famili dengan jumlah spesies terbanyak adalah Tellinidae, Arcidae, Mytilidae dan Lucinidae untuk lamellibranch (bivalva), sedangkan famili Fissurellidae dan Muricidae memiliki jumlah spesies terbanyak di antara gastropoda.

Baca juga
Pengaruh Lingkungan Terhadap Reproduksi Invertebrata

Habitat dan Distribusi Cephalopoda

Menurut Hickman et al. (2001) kelas cephalopoda mencakup cumi-cumi, gurita, nautilus dan sotong. Kisaran ukuran cephalopoda adalah mulai 2 atau 3 cm ke atas. Cumi-cumi yang umum dijual, Loligo, panjangnya sekitar 30 cm. Cumi-cumi raksasa Architeuthis adalah invertebrata terbesar yang kita kenal. Semua cephalopoda hidup di laut dan merupakan pemangsa aktif. Mereka tampaknya peka terhadap salinitas. Beberapa dijumpai di Laut Baltik, yang airnya kurang asin. Cephalopoda ditemukan di berbagai kedalaman laut. Gurita sering terlihat di zona intertidal, di antara celah-celah batu, tetapi kadang-kadang juga ditemukan di bagian laut yang dalam. Cumi-cumi yang lebih aktif jarang dijumpai di perairan yang sangat dangkal, dan kadangkala tertangkap pada kedalaman 5.000 meter. Nautilus biasanya ditemukan di dekat dasar laut pada kedalaman 50 sampai 560 meter, dekat pulau-pulau di Pasifik barat daya.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Menarik atau Mengusir Ikan Dengan Suara dan Dampak Negatifnya

Arsip Cofa No. C 006

Keragaman Hasil Penelitian Pengaruh Suara Terhadap Ikan

Popper dan Hastings (2009) melaporkan bahwa perhatian dunia internasional makin meningkat terhadap pengaruh suara yang dibangkitkan-manusia terhadap ikan dan organisme air lainnya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa suara yang dibangkitkan-manusia, sekalipun dari sumber berintensitas sangat tinggi, mungkin tidak berpengaruh pada beberapa kasus atau mungkin memberikan pengaruh yang berkisar dari perubahan kecil tingkah laku dan bersifat sementara sampai kematian mendadak. Dalam hal ini, bagaimanapun, hampir tidak mungkin untuk membuat kesimpulan umum berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan satu sumber suara, satu spesies ikan, atau bahkan ikan dari satu kelompok ukuran untuk diterapkan pada sumber suara lain, spesies lain atau kelompok ukuran lain.

Free Download E-book Perikanan

Keunggulan dan Kelemahan Metode Akustik/Penginderaan Jauh Dalam Menduga Stok Ikan

Stepnowski et al. (1993) menyatakan bahwa selama dua dekade terakhir ini metode akustik pendugaan stok ikan memperoleh lebih banyak perhatian dibandingkan metode hasil tangkapan trawl konvensional seperti Catch Curve Method (CCM) atau metode biostatistik lain, seperti Virtual Population Analysis (VPA) dan Length based Fish Stock Assesment (LFSA). Lebih jauh, metode akustik tidak menghadapi masalah dengan diperkenalkannya metode penginderaan jauh satelit, seperti Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) pada seri NOAA atau Coastal Zone Colour Scanner (CZCS) pada NIMBUS, untuk menduga kisaran sumber daya perikanan, untuk mengidentifikasi front-front samudra dan untuk mempelajari pola-pola permukaan – yang menentukan nasib telur dan larva ikan.

Menurut Stepnowski et al. (1993) metode biostatistik, meskipun memiliki banyak keunggulan, menghadapi sedikitnya tiga macam keterbatasan yang penting, yakni : lamanya waktu yang diperlukan untuk memperoleh data dan memproduksi hasil, tingginya biaya dan terbatasnya kemampuan automatisasi. Sementara metode penginderaan jauh (remote sensing), sekalipun memiliki keunggulan seperti cakupan daerah yang luas dan cepat, monitoring jangka panjang dan tidak mengganggu medium, namun teknik ini terbatas hanya pada fenomena-fenomena permukaan, tidak akurat, kesimpulan yang didapat terbatas dan memerlukan kalibrasi.

Penggunaan Suara Untuk Mengendalikan Tingkah Laku Ikan

Popper dan Carlson (1998) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai penggunaan beberapa macam sinyal indra untuk mengendalikan dan memodifikasi tingkah laku ikan, terutama suara. Suara dalam kisaran infrasonik sampai ultrasonik berpotensi bisa berguna untuk mengendalikan tingkah laku ikan. Bagaimanapun, kebanyakan penelitian seperti ini memberikan hasil-hasil yang bertolak belakang kecuali bila ultrasonik digunakan untuk mengendalikan spesis ikan clupeidae. Diduga bahwa suara bila digabungkan dengan cahaya bisa digunakan untuk mengendalikan tingkah laku ikan.

Baca juga Alat Tangkap dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan

Upaya Menarik Ikan Dengan Suara Berfrekuensi Rendah

Richard (1968) melakukan serangkaian penelitian untuk menentukan efektivitas sinyal suara berfrekuensi rendah dalam menarik ikan. Sinyal suara dibuat untuk merangsang pembentukan gangguan hidrodinamis yang biasanya berkaitan dengan pemangsaan aktif. Televisi bawah-air digunakan untuk mengamati kedatangan ikan selama periode kontrol maupun periode uji. Ikan pemangsa demersal berhasil ditarik meskipun mereka terbiasa berespon cepat terhadap rangsangan suara. Ikan karang herbivora, walaupun umum di sekitar lokasi uji, tidak tertarik. Disimpulkan bahwa teknik akustik untuk menarik ikan mempunyai potensi untuk diterapkan dalam perikanan komersial.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dapatkah Mengusir Ikan Dengan Suara Berfrekuensi Tinggi ?

Dunning et al. (1992) mengamati respon ikan Alosa pseudoharengus terhadap suara berfrekuensi tinggi untuk mengembangkan sistem akustik guna mencegah ikan mendekati saluran pemasukan air di stasiun pembangkit listrik. Empat kelompok ikan dikenai berbagai frekuensi suara yang berkisar dari 110 sampai 150 kHz dengan tekanan suara 125 sampai 180 desiBell. Setiap kelompok ikan yang masing-masingnya terdiri-dari 20 atau 25 ikan diuji di dalam kurungan yang digantung di dalam air. Selama siang hari ikan menggerombol dan sangat menghindari nada yang putus-putus pada frekeunsi 110 dan 125 kHz dengan kebisingan 175 dB atau lebih, nada yang kontinyu pada 125 kHz dan 172 dB, dan suara “broadband” (jalur lebar) yang putus-putus antara 117 dan 133 kHz atau di atas 157 dB. Walaupun ikan dibiasakan dengan nada-nada ini, mereka makin menghindari suara broadband putus-putus pada 163 dB. Respon yang makin mantap dalam menghindari suara broadband mungkin disebabkan kisaran frekuensi sinyal ini. Pada malam hari, ikan Alosa tidak menggerombol, tidak berenang aktif dan tidak bereaksi dengan kuat terhadap suara broaband. Melemahnya respon penghindaran pada malam hari mungkin disebabkan tidak terbentuknya gerombolan ikan dan berkurangnya aktivitas renang.

Baca juga Dampak Positif Ukuran Mata Jaring (Mesh Size) Yang Besar

Kerusakan Pada Tubuh Ikan Akibat Suara

Hastings (1991) melaporkan bahwa suara yang mengganggu organisme air sering timbul di perairan; akibatnya, kebanyakan energi suara dari sumber bawah-air akan memasuki dan berinteraksi dengan tubuh organisme air tersebut. Suara yang sangat kuat bisa membuat tuli atau bahkan membunuh ikan. Hasil-hasil beberapa penelitian menunjukkan adanya kerusakan yang nyata seperti tuli dan organ dalam pecah yang disebabkan oleh suara bawah-air. Data yang tersedia menunjukkan, bagaimanapun, bahwa ikan menderita kerusakan organ-dalam dan gangguan fisiologi serta kerusakan fisik bila terkena tekanan suara yang cukup kuat selama periode yang relatif singkat. Hasil-hasil percobaan membuktikan adanya keterkaitan antara tekanan suara bawah-air yang berfrekuensi 100 sampai 500 Hz dengan berbagai bentuk kerusakan pada tiga spesies ikan air tawar. Disimpulkan bahwa ikan bisa menderita kerusakan morfologis internal (misal kerusakan pada bagian sel-sel rambut yang ada di telinga-dalam) meskipun tidak mengalami kerusakan fisik pada tubuh bagian luar atau gangguan tingkah laku. Jadi, tingkat tekanan suara yang berbahaya bagi organisme air mungkin sebenarnya jauh lebih rendah daripada yang biasanya dilaporkan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 22 Maret 2012

Pengaruh Aerasi Terhadap Organisme Air, Konsentrasi Oksigen, Karbon Dioksida, Amonia, Nitrat, Nitrit dan Nitrogen

Arsip Cofa No. C 005

Untung-Rugi Perlakuan Aerasi Terus-Menerus

Ludwig (2003) merancang penelitian untuk menentukan pengaruh aerasi terus-menerus, aerasi malam hari dan perlakuan tanpa aerasi terhadap kualitas air, produktivias primer serta “standing crop” (panenan tetap) fitoplankton dan zooplankton di kolam pemeliharaan tanpa ikan yang banyak diberi pupuk. Tingkat pemberian pupuk yang tinggi menyebabkan peningkatan produksi zooplankton tetapi sering mengakibatkan buruknya kondisi kualitas air sehingga membutuhkan aerasi. Empat kolam seluas 0,04 hektar diaerasi terus-menerus; empat kolam diaerasi hanya pada malam hari dengan sebuah aerator kincir air 372 W (0,5 hp); dan empat kolam lain tidak diaerasi. Selama 21 hari setelah kolam-kolam itu diisi air pada 21 Juli 1999, kolam menerima 1.224 kg/ha sekam padi dan 581 kg/ha pupuk cair 9-27-0 (N-P-K). Parameter-parameter kualitas air, produksi primer, klorofil-a dan zooplankton disampling setiap hari. Aerasi terus-menerus menyebabkan beberapa kondisi lebih mendukung bagi kelangsungan hidup anak ikan, seperti kepadatan zooplankton yang lebih tinggi, suhu yang lebih moderat (hangat), dan konsentrasi oksigen terlarut yang lebih aman daripada perlakuan aerasi malam hari atau tanpa aerasi. Bagaimanapun, perkembangan standing crop fitoplankton yang lebih tinggi dan konsentrasi total amonia yang lebih tinggi di kolam yang diaerasi terus-menerus, hingga timbul pusaran arus air, menyebabkan konsentrasi amonia tak-terionisasi tidak sesuai bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak ikan. Konsentrasi zooplankton yang tinggi yang berkembang di kolam yang diaerasi bisa dimanfaatkan untuk kultur zooplankton di kolam lain atau untuk menyediakan pakan hidup bagi ikan pemakan zooplankton.

Baca juga Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut

Pengaruh Aerasi Terhadap Kondisi Fisika-Kimia-Biologi Perairan

Lossow et al. (1991) selama tahun 1981 – 1984 meneliti pengaruh aerasi buatan dan penghilangan stratifikasi panas terhadap kondisi fisika-kimia dan biologi di sebuah danau kecil, Danau Mutek. Terjadi perubahan lingkungan yang nyata, terutama peningkatan suhu di lapisan air dekat-dasar, perbaikan oksigenasi serta penurunan konsentrasi fosfor dan nitrogen. Konsentrasi bahan organik di lapisan atas sedimen danau berkurang. Kondisi kesehatan perairan menjadi lebih baik. Komposisi spesies dan biomas fitoplankton tidak menunjukkan perubahan besar. Biomas zooplankton meningkat lebih dari dua kali. Pada komunitas zoobentos kepadatan Chironomidae, dan terutama cacing oligokhaeta, meningkat tajam. Perubahan lingkungan serta perubahan kesuburan danau ini bisa dimanfaatkan untuk intensifikasi produksi ikan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Aerasi Untuk Menyingkirkan Karbon Dioksida (CO2)

Eshchar et al. (2003) meneliti laju penyingkiran karbon dioksida oleh peralatan aerasi di dalam tangki ikan laut. Mereka melaporkan bahwa, dibandingkan aerator bawah-air, kincir air lebih efisien dalam menyingkirkan karbon doksida dengan laju pemindahan sampai 1.200 gram CO2 per jam dan efiesiensi 1,2 kg CO2 per kWh. Pada budidaya intensif ikan sea bream, beban pakan maksimum yang dapat didukung oleh sebuah kincir air adalah 43,6 kg pakan per hari dengan kebutuhan energi sekitar 1,0 kWh per kg ikan yang diproduksi.

Baca juga Pengaruh Aerasi Terhadap Kualitas Air dan Produksi Ikan di Kolam

Pengaruh Aerasi Terhadap BOD, COD dan Pemulihan Perairan Tercemar

Maes (1983a) melaporkan bahwa sebuah sistem kolam-selokan, yang tercemar limbah rumah tangga, telah diaerasi dengan teknik EVENS (semula disebut teknik “Phallus”). Selama tiga tahun perkembangan konsentrasi oksigen, “biochemical oxygen demand” (BOD), “chemical oxygen demand” (COD) dan “oxygen producing capacity” (OPP; kapasitas produksi oksigen) telah dipelajari. Di kolam yang diaerasi terjadi penurunan tajam BOD dan COD (pengaruh langsung). Dengan penyingkiran beban organik secara cepat ini proses pemurnian-diri (selfpurification) menjadi pulih perlahan-lahan. Faktor penting dalam proses pemurnian-diri ini adalah peningkatan kapasitas produksi oksigen di perairan bagian hilir (pengaruh tak langsung).

Baca juga Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Amonia, Nitrit, Nitrat dan Nitrogen-Organik


Maes (1983b) melaporkan bahwa sebuah sistem kolam-selokan, yang tercemar limbah organik, telah diaerasi dengan teknik EVENS yang berdasarkan pada prinsip “pompa vakum semburan air”. Selama tiga tahun perkembangan konsentrasi amonia, nitrit, nitrat dan nitrogen-organik telah dipelajari. Pada kolam yang diaerasi penurunan konsentrasi amonia dan nitrogen-organik terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi nitrit dan nitrat. Di kolam bagian hilir terjadi penurunan lebih lanjut konsentrasi amonia dan nitrogen-organik, tetapi proses nitrifikasi masih terbatas. Dari kolam aerasi sampai stasiun sampling bagian hilir terjadi penurunan secara perlahan-lahan konsentrasi nitrogen total (NH4-N + NO2-N + NO3-N + N-organik).

Baca juga Dinamika Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan

Aerasi Dasar-Kolam Untuk Menghilangkan Amonia Nitrogen dan Nitrit

Zhongwen et al. (2010) meneliti kolam budidaya udang Litopenaeus vannamei dan kepiting Portunus trituberculatus selama bulan Agustus sampai Oktober 2008 untuk mempelajari efek positif aerasi dasar kolam terhadap kualitas air. Hasilnya menunjukkan bahwa aerasi dasar kolam selama 2 – 3 jam dapat menurunkan atau menghilangkan stratifikasi oksigen terlarut (DO) dan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut secara nyata (P< 0,05). Waktu terbaik untuk operasi mesin pengaya-oksigen ini adalah pukul 8.00 sampai 11.00 pagi. Konsentrasi amonia nitrogen dan nitrit di kolam-kolam percobaan adalah 72.5 % - 74. 1% dan 2.6 - 2.7 % dibandingkan kontrol, berturut-turut. Jadi, aerasi dasar kolam bisa membantu mengoksidasi kolam, menurunkan konsentrasi bahan-bahan berbahaya dan memperbaiki kualitas air kolam.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Acetes : Distribusi, Pertumbuhan, Pemijahan dan Pemanfaatan

Arsip Cofa No. C 004

Peranan Acetes Dalam Komunitas Zooplankton dan Akuakultur

Xiao dan Greenwood dalam Ansell et al. (1993), dengan mengulas banyak penelitian, melaporkan bahwa udang rebon genus Acetes menghuni perairan pesisir dan estuaria di daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim sedang. Udang rebon membentuk komponen penting dalam komunitas zooplankton pesisir dan memainkan peranan penting dalam dinamika ekosistem pesisir, terutama di laguna, hamparan “sea weed” (lamun) dan rawa hutan bakau, dengan menjadi mata rantai yang menghubungkan materi tumbuhan, fitoplankton, zooplankton dan binatang tingkat tinggi. Acetes memiliki panjang total berkisar 10 – 40 mm dan distribusinya luas, tahan hidup pada kondisi laboratorium, mudah diperoleh di perairan dangkal di daerah tropis, sub tropis dan daerah beriklim sedang dan, beberapa spesies, memiliki nilai ekonomis penting. Gerombolan atau kumpulan Acetes yang luar biasa besar, terutama di pesisir Asia, menjadikannya basis bagi perikanan komersial penting untuk konsumsi manusia dan hewan peliharaan. Arti penting komersial juga berasal dari penggunaan dan potensi Acetes sebagai organisme pakan untuk industri akuakultur.

Baca juga Virus Pada Udang Penaeidae

Laju Pertumbuhan dan Komposisi Panjang Acetes

Zhand dan Han (1992) melakukan penelitian untuk mempelajari laju pertumbuhan dan komposisi panjang badan Acetes chinensis pada musim yang berbeda di Teluk Bohai dan Teluk Laizhou. Hasilnya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan adalah cepat selama periode sebelum-dewasa dan dalam suhu air di atas 13 °C. Generasi pertama dan kedua Acetes chinensis musim panas muncul selama sepuluh hari kedua bulan Mei sampai Juli dan selama sepuluh hari terakhir bulan Juli sampai sepuluh hari pertama bulan Oktober, berturut-turut. Generasi pertama Acetes chinensis musim panas bisa tumbuh sampai sepanjang 10 – 35 mm, dan generasi kedua Acetes chinensis musim panas juga bisa tumbuh sepanjang 10 – 35 mm. Komposisi panjang badan Acetes chinensis tampaknya berubah dalam dua periode : ukuran tubuh Acetes chinensis paling panjang pada dua puluh hari terakhir bulan Juni, paling pendek pada sepuluh hari pertama bulan Juli, dan paling panjang pada sepuluh hari kedua bulan Agustus, paling pendek pada sepuluh hari pertama bulan September. Komposisi panjang badan Acetes chinensis tidak berubah dari Oktober sampai Mei tahun berikutnya.

Baca juga Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Distribusi dan Perilaku Acetes Dalam Kaitannya Dengan Pasang Surut dan Siklus Harian

Xiao dan Greenwood (1992) mengumpukan sampel udang Acetes sibogae pada selang waktu 2 jam selama 48 jam di tiga lokasi sekitar garis tengah estuaria pasang-surut untuk meneliti distribusi udang ini di dalam badan air selama siklus pasang surut dan siklus harian, serta untuk menduga peranan tingkah laku dalam mempertahankan distribusi populasi di perairan estuaria/pesisir dalam kaitannya dengan beberapa faktor lingkungan. Suhu air, salinitas, tinggi pasang surut dan intensitas cahaya diukur pada saat yang sama. Distribusi udang di estuaria adalah seragam dan tetap selama periode siang atau malam, saat banjir atau saat surut. Perubahan kelimpahan Acetes sibogae adalah berhubungan dengan cahaya dan siklus pasang-surut di setiap lokasi dengan hasil tangkapan lebih banyak pada saat periode gelap dan selama banjir pasang. Acetes sibogae juga menunjukkan gerakan vertikal malam hari maupun gerakan vertikal mengikuti pasang-surut di dalam badan air, dengan jumlah udang lebih banyak ditemukan di dekat permukaan air daripada dekat dasar perairan selama banjir pasang dan pada malam hari. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal distribusi kelompok ukuran antar sampel dari semua lokasi. Acetes sibogae membentuk kumpulan besar di dalam badan air. Diduga bahwa perilaku berkumpul ini serta gerakan vertikal malam hari dan gerakan vertikal mengikuti pasang-surut dilakukan untuk mempertahankan populasi di perairan estuaria/pesisir.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Lokasi dan Musim Pemijahan Acetes

Grabe dan Lees (1992) telah mengidentifikasi enam spesies udang penaeidae dalam penelitian makrozooplankton di Teluk Kuwait selama 12 bulan. Secara numeris spesies yang dominan mencakup dua udang sergestidae, Lucifer hanseni dan Acetes japonicus. Lucifer hanseni tampaknya memijah di teluk ini selama bulan-bulan musim panas, sedangkan Acetes japonicus memusatkan pemijahannya di perairan pesisir selama akhir musim semi sampai musim gugur. Udang penaeidae yang paling melimpah adalah Parapenaeopsis stylifera dan Metapenaeus spp., walaupun Teluk Kuwait mungkin bukan merupakan daerah pemijahan utama untuk spesies-spesies ini. Bagaimanapun, Khor al Sabiya, sebuah kanal mirip sungai di timur laut Teluk Kuwait, bisa berfungsi sebagai daerah pembesaran anak udang untuk sedikitnya dua penaeidae (Metapenaeus spp. dan Penaeus semisulcatus) maupun untuk Acetes japonicus. Baik larva Parapenaeopsis stylifera maupun Metapenaeus spp. paling melimpah selama akhir musim semi. Larva Penaeus semisulcatus menunjukkan jumlah maksimum pada akhir musim gugur dan musim semi-panas tetapi tidak pernah melimpah secara lokal.

Baca juga Udang Metapenaeus : Bioekologi, Reproduksi dan Budidaya

Pemanfaatan Rebon (Acetes) Untuk Pakan Larva Udang

Kungvankij et al. (1986) dalam Maclean (1986) melaporkan bahwa meskipun banyak jenis pakan udang buatan telah diformulasikan, namun pakan tersebut terlalu mahal atau ketersediaannya terbatas secara komersial. Sebaliknya, organisme pakan alami sulit untuk dipelihara dan pasokannya sering tidak menentu. Telah dilakukan upaya-upaya penelitian untuk mengembangkan pakan buatan yang cocok bagi larva udang dengan bahan-bahan yang tersedia secara lokal. Udang rebon (Acetes) segar dan kering harganya murah dan tersedia dalam jumlah besar di perairan tropis. Percobaan pemeliharaan larva dengan menggunakan pakan berupa udang rebon giling telah dilakukan pada berbagai kondisi iklim dan sistem hatchery. Pada musim kering, larva di tangki luar-ruangan yang diberi pakan rebon kering menunjukkan tingkat kelangsungan hidup tertinggi (68 %) dibandingkan larva yang diberi pakan Chaetoceros (48%) atau rebon segar (39%). Larva di tangki luar-ruangan berganti kulit ke tahap post larva dalam waktu delapan sampai sembilan hari. Sebaliknya, larva di tangki dalam-ruangan hatchery yang dipelihara dengan pakan chaetoceros memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi (52 %) daripada yang diberi pakan dengan rebon (35 %) dan rebon segar (24 %); bagaimanapun, periode ganti kulit dari telur ke post larva membutuhkan waktu 11 - 12 hari. Selama bulan-bulan musim hujan, kelangsungan hidup larva yang dipelihara dengan pakan Skeletonema, rebon kering dan rebon segar di tangki luar-ruangan adalah 72%, 52% dan 38% sedangkan di tangki dalam-ruangan 62%, 40% dan 23%, berturut-turut. Bagaimanapun, periode ganti kulit dari telur ke post larva adalah 9 – 10 hari dan 12 – 13 hari di tangki luar-ruangan dan dalam-ruangan, berturut-turut.

REFERENSI :

ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 20 Maret 2012

Kemungkinan Penggunaan Hormon Untuk Merangsang Pertumbuhan Bandeng (Chanos chanos)

Arsip Cofa No. B 014


Menurut Matty (1985) hormon pertumbuhan bisa digunakan sebagai agen pemacu pertumbuhan dalam kultur ikan. Masalahnya, ada dua faktor utama yang menyulitkan penggunaannya. Pertama, kesulitan memperolehnya dalam jumlah cukup dan kedua, sebagai polipeptida bisa diduga bahwa hormon ini akan hancur oleh enzim pencernaan bila diberikan lewat mulut. Jadi penggunaannya dalam akuakultur terbatas. Bagaimanapun, kemungkinannya terletak pada sintesis molekul ini dengan bioteknologi di masa depan. Juga adalah mungkin untuk memberikan hormon ini lewat mulut karena ada petunjuk bahwa pertumbuhan bisa dipacu setelah memberi makanan lewat mulut. Mungkin bahwa molekul ini sebelum diserap hanya terurai sebagian, seperti halnya kasus pada hormon pertumbuhan binatang bovine; pecahan-pecahan molekul ini ketika dicerna masih mempertahankan sebagian aktivitas perangsangan pertumbuhan. Walaupun pemberian hormon pertumbuhan lewat mulut bersama makanan bisa diterapkan di masa depan, saat ini cara yang sangat tepat untuk merangsang pertumbuhan adalah dengan penyuntikan atau pencangkokan hormon. Penggunaan hormon pertumbuhan bovine dengan cara ini bisa digunakan untuk mempercepat pertumbuhan ikan stok yang dipilih sebagai calon induk.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Somatotropin atau STH (juga disebut hormon pertumbuhan) bekerja, seperti prolaktin, dengan suatu pola yang meluas tanpa melibatkan kelenjar hormon perantara. Secara umum, ia merangsang nafsu makan dan pertumbuhan serta mencegah hipertrofi (pertumbuhan jaringan dengan sangat cepat) hati. Hormon pertumbuhan binatang bovine yang disuntikkan “intramuscular” (lewat otot) sekali seminggu meningkatkan pertumbuhan ikan coho salmon sebesar 50 – 100 % dibandingkan ikan kontrol hanya dalam waktu 56 hari, tergantung pada komposisi ransum. Bagaimanapun, teknik peningkatan pertumbuhan pada ikan salmon budidaya dengan cara ini secara ekonomi tidak layak. Hormon tersebut mahal sekalipun bila peningkatan pertumbuhan yang diperoleh cukup besar (Smith, 1982).

Baca juga Hormon Pertumbuhan Ikan

Cruz (1988) melakukan penelitian untuk mengevaluasi kemungkinan penggunaan hormon-hormon 17 alfa-metiltestosteron (MT), estradiol-17 beta (E2), dan/atau 3,5,3’-triyodo-L-tironin (T3) sebagai perangsang pertumbuhan ikan kiper (Scatophagus argus) dan bandeng (Chanos chanos). Anak ikan kiper diberi pakan yang mengandung 0, 0,1, 1,0, 5,0 dan 10,0 ppm T3. Tidak ada pengaruh terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan dan kelangsungan hidup setelah 200 hari. Peningkatan dosis menyebabkan penurunan faktor kondisi dan rasio badan-ekor. Ketidaknormalan lain terlihat pada perlakuan pemberian T3 sebanyak 5,0 dan 10,0 ppm. Pada ikan kiper dewasa, MT atau E2 pada kadar 10,0 dan 20,0 ppm, atau pada 10,0 ppm digabungkan dengan 5,0 ppm T3, gagal memperbaiki pertumbuhan setelah 70 hari di karamba. Semua perlakuan hormon menekan pertumbuhan dan konsumsi pakan. Ikan kontrol memilki indek hepatosomatik paling tinggi tetapi tidak nyata bila dibandingkan dengan perlakuan 10,0 dan 20,0 ppm E2. Pada ikan bandeng, metil testosteron telah diuji untuk juvenil dengan konsentrasi 0, 1,0, 5,0, 10,0, 20,0 dan 40,0 ppm. Setelah 112 hari, MT berkonsentrasi 1,0 ppm tampaknya memperbaiki pertumbuhan sebesar 27,1 %. Dosis yang lebih tinggi cenderung menekan konsumsi pakan dan pertumbuhan. Pertumbuhan secara nyata terhambat pada perlakuan 40,0 ppm MT. Tidak ada pengaruh hormon terhadap efisiensi pakan dan kelangsungan hidup. Peningkatan dosis MT menyebabkan peningkatan faktor kondisi. Tampaknya tidak ada potensi menguntungkan penggunaan MT, E2 dan/atau T3 pada ikan kiper. Penelitian ini menujukkan bahwa potensi menguntungkan hormon-hormon tersebut bersifat spesifik-spesies . Pemakaian MT untuk meningkatkan pertumbuhan juvenil bandeng tampaknya bisa diterapkan secara komersial.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...