Minggu, 30 Desember 2012

Nafsu Makan Pada Ikan : Pengaruh Faktor Fisiologi dan Lingkungan

Arsip Cofa No. C 119

Perbedaan Dinamika Nafsu Makan Antar Spesies Ikan

Ali et al. (2001) menganalisis dinamika nafsu makan (berat makanan yang dikonsumsi per hari) pada ikan yang diberi pakan sampai kenyang setelah 1 atau 2 minggu periode kekurangan makanan. Ikan-ikan tersebut mencakup tiga spesies yang meliputi dua omnivora (ikan minnow, Phoxinus phoxinus, dan ikan mas koki gibel, Carassius auratus gibelio) dan satu karnivora (ikan stickleback, Gasterosteus aculeatus). Semua spesies menunjukkan perubahan nafsu makan dan pertumbuhan selama periode pemberian pakan-kembali untuk mengimbangi kondisi selama kekurangan makanan, tetapi pada ikan stickleback ada keterlambatan satu minggu sebelum muncul respon pengimbangan tersebut. Dinamika nafsu makan yang bersifat temporal (tidak permanen) ini berbeda di antara ketiga spesies tetapi tidak berbeda dalam satu spesies. Nafsu makan ikan minnow, mulai saat pertama pemberian pakan-kembali, menurun ke arah normal. Pada mas koki gibel, nafsu makan meningkat sampai maksimum dan kemudian berkurang sampai mencapai normal. Pada ikan stickleback, nafsu makan mula-mula di bawah normal kemudian meningkat sampai maksimum dan akhirnya menurun hingga mencapai normal. Perbedaan antar spesies tersebut mungkin disebabkan oleh prosedur eksperimen yang dijalankan, tetapi dapat juga mencerminkan perbedaan yang mendasari pengendalian nafsu makan pada ketiga spesies ikan itu.

Baca juga :
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan dan Konsumsi Makanan

Hormon Pertumbuhan dan Testosteron Merangsang Nafsu Makan Ikan

Matty (1985) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan merangsang nafsu makan pada ikan. Peningkatan nafsu makan pada ikan killifish dan salmon yang terjadi setelah pemberian hormon pertumbuhan mungkin disebabkan karena hormon ini beraksi langsung pada pusat hipotalamus yang mempengaruhi konsumsi makanan. Kemungkinan lainnya adalah bahwa hormon pertumbuhan memberikan dampak tak langsung terhadap pusat hipotalamus dengan cara melakukan beberapa perubahan metabolik dalam tubuh ikan. Selain hormon pertumbuhan, pemberian testosteron juga menyebabkan peningkatan nafsu makan pada ikan.

Baca juga :
Stres Mempengaruhi Hormon, Kekebalan Penyakit dan Perilaku Ikan

Keterlibatan Hormon Kortikotropin dan Urotensin Dalam Penurunan Nafsu Makan Pada Ikan Yang Mengalami Stres

Bernier (2006) menyatakan bahwa ciri khas respon perilaku terhadap agen penyebab stres yang bersifat akut atau kronis adalah penurunan nafsu makan. Pada ikan, seperti vertebrata lainnya, sistem corticotropin-releasing factor (CRF; faktor pelepas kortikotropin) memainkan peranan penting dalam mengkoordinasi respon-respon neuroendokrin (hormon), saraf autonom (saraf tak sadar) dan respon perilaku terhadap stres. Telah ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan peranan sistem CRF sebagai mediator efek penekan nafsu makan yang ditimbulkan oleh stres pada ikan. Penyuntikan CRF atau peptida-peptida terkait, urotensin I, atau perlakuan pemberian obat atau agen penyebab stres, dapat menyebabkan penurunan konsumsi makanan yang tergantung-dosis, dan efek ini sebagian dapat dihilangkan dengan pemberian antagonis CRF. Selain itu, efek penekan nafsu makan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan, penyakit, faktor fisik dan sosial adalah berkaitan dengan meningkatnya CRF otak-depan dan menguatnya sifat gen urotensin I serta berkaitan dengan pengaktivan sumbu stres hypothalamic–pituitary–interrenal (HPI).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Penambahan Enzim Fitase ke Dalam Tepung Kedelai Pakan Terhadap Nafsu Makan Anak Ikan

Hauler et al. (1999) menyatakan bahwa kelangsungan hidup jangka panjang industri salmon Atlantik di Australia tergantung pada upaya penggantian tepung ikan. Tepung kedelai merupakan alternatif yang layak, namun penggunaannya dibatasi oleh adanya sejumlah faktor anti nutrisi, termasuk phytate. Perlakuan enzimatik terhadap fitat bisa dilakukan pada pakan ikan yang mengandung tepung biji-bijian karena bisa meningkatkan daya cerna fosfor dan, dengan demikian, mengurangi eutrofikasi. Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mempelajari pengaruh penambahan enzim fitase terhadap komsumsi pakan dan pertumbuhan anak ikan (parr) salmon Atlantik yang diberi pakan mengandung tepung kedelai. Anak ikan ini (berat rata-rata 6,0 gram) dalam enam tangki diberi pakan sampai kenyang dua kali sehari (jam 10.00 dan 16.00) selama 42 hari. Sebanyak 50 % tepung ikan dalam pakan ini diganti dengan tepung kedelai tanpa sekam. Fitase (EC 3.1.3.8; Sigma) ditambahkan ke dalam pakan sebanyak 2000 U/kg; tepung ikan dengan berat setara ditambahkan ke dalam pakan kontrol.

Penambahan fitase meningkatkan secara nyata (P < 0,01) laju pertumbuhan spesifik, tetapi tidak berdampak terhadap efisiensi konversi pakan (P > 0,05). Konsumsi pakan pada pagi hari tidak menunjukkan perbedaan antar perlakuan pakan (P > 0,05) sedangkan di sore hari anak ikan yang diberi pakan ber-fitase mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada kontrol (P < 0,001). Dalam percobaan ini, fitase meningkatkan konsumsi dan, dengan demikian, pertumbuhan anak ikan salmon Atlantik. Konsumsi pakan yang lebih tinggi disebabkan oleh meningkatnya nafsu makan pada pemberian pakan sore hari.

Mekanisme respon ini mungkin rumit akibat banyaknya cara molekul fitat beraksi sebagai faktor anti nutrisi. Bagaimanapun, meningkatnya konsumsi pakan menyiratkan bahwa laju pengosongan lambung lebih cepat dan nafsu makan muncul kembali. Dengan demikian penambahan fitase meningkatkan kemungkinan penggunaan tepung kedelai yang lebih banyak dalam pakan ikan salmon Atlantik.

Baca juga :
Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan

Perubahan Nafsu Makan Sebagai Respon Ikan Terhadap Faktor Fisiologis dan Lingkungan

Volkoff et al. (2008) menyatakan bahwa pada vertebrata termasuk ikan, pengaturan pengambilan makanan melibatkan hormon-hormon yang saling-mengait secara rumit yang dihasilkan baik oleh otak maupun oleh jaringan tepi. Pada kondisi optimum, pengambilan nutrisi adalah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal, pertumbuhan, perkembangan, reproduksi dan penimbunan cadangan energi. Karena ikan merupakan kelompok yang sangat beragam; berbagai spesies ikan hidup di dalam lingkungan yang sangat berbeda-beda dan menghadapi berbagai faktor yang sangat bervariasi, yang mencakup tidak hanya faktor internal seperti kondisi nutrisi/metabolik dan reproduksi, tetapi juga faktor lingkungan seperti suhu dan fotoperiod (panjang siang-malam). Respon fisiologis ikan terhadap faktor-faktor tersebut sering mencakup perubahan nafsu makan yang mungkin terjadi melalui pengaturan perwujudan gen dan aksi hormon-hormon pengatur aktivitas makan.

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata

Pengaruh pH, Kalsium dan Aluminium Terhadap Aktivitas Makan Pada Larva Ikan

Di perairan alami banyak ditemukan kondisi di mana pH-nya rendah, konsentrasi kalsium rendah sedang konsentrasi aluminium tinggi. Cleveland et al. (1991) mempelajari pengaruh kondisi tersebut terhadap aktivitas makan (=nafsu makan) pada larva ikan. Larva ikan brook trout yang masih berkantung kuning telur dipelihara di laboratorium dalam media air dengan pH rendah (6,5 – 4,0), konsentrasi kalsium rendah (0,5 – 1,3 mg/liter) dan konsentrasi aluminium tinggi (300 mikrogram/liter). Hasilnya menunjukkan bahwa perkembangan larva ikan tertunda dan terjadi penurunan secara nyata dalam hal aktivitas renang dan aktivitas makan. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan di lapangan bahwa fluktuasi pH dan penurunan konsentrasi kalsium yang terjadi bersamaan dengan peningkatan konsentrasi aluminium di perairan menyebabkan mortalitas dan dampak-dampak negatif lain pada populasi ikan alami.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 26 Desember 2012

Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting

Arsip Cofa No. C 118

Tahap-Tahap dan Proses Ganti Kulit Krustasea

Menurut Chan et al. (1988), dengan mengutip beberapa literatur, molting pada arthropoda mencakup tidak hanya proses ganti kulit, tetapi juga pembentukan kutikula/kulit baru, apolysis (pemisahan kutikula lama), pasca ganti kulit, dan pertumbuhan jaringan. Siklus dinamis ini bisa dibagi menjadi empat fase pada krustasea : (1) metecdysis (tahap A, B), periode segera setelah ecdysis; (2) anecdysis (tahap C), periode pertumbuhan jaringan dan penimbunan cadangan makanan; (3) proecdysis (tahap D), periode di mana terjadi perubahan-perubahan morfologis dan fisiologis secara aktif sebagai persiapan pergantian kulit dan (4) ecdysis (tahap E), pelepasan kutikula lama.

Beberapa metode telah digunakan untuk menentukan tahap molting pada krustasea. Metode-metode tersebut mencakup pengamatan histologis terhadap kulit, penentuan ukuran gastrolith (batu-perut) atau pereiopoda yang beregenerasi, dan penentuan perkembangan setae (struktur mirip rambut sikat) pada alat-gerak. Penentuan tahap molting berdasarkan kondisi setogenesis (pembentukan setae) pada alat gerak adalah cepat dan hanya menimbulkan luka kecil pada binatang, bahkan setelah sampling berulang. Setogenesis telah digunakan oleh beberapa peneliti sebagai kriteria untuk menentukan tahap molting pada sejumlah dekapoda, termasuk natantia, anomura dan macrura.

Baca juga :
Bioekologi dan Budidaya Kepiting

Ganti Kulit Pada Udang Penaeus stylirostris dan Penaeus setiferus

Robertson et al. (1987) menyatakan bahwa penentuan tahap molting mempunyai banyak penerapan dalam budidaya udang penaeidae sebagai prosedur rutin. Dengan menggunakan kriteria yang dikembangkan untuk berbagai jenis krustasea, sebuah metode cepat penentuan tahap molting telah diterapkan untuk udang dewasa Penaeus stylirostris dan Penaeus setiferus. Ciri yang paling berguna adalah derajat penarikan-kembali epidermis dari pangkal setae dan dari kutikula yang digabungkan dengan derajat perkembangan setae baru. Lama siklus molting Penaeus stylirostris adalah 11,5 ± 1,0 hari (N = 5) pada suhu 27 -29 oC. Tahap postmolt awal, postmolt akhir, intermolt, premolt awal dan premolt akhir mudah ditentukan. Untuk Penaeus stylirostris, lama postmolt adalah 27 % dari siklus; intermolt 17 % dan premolt 56 %. Panjang siklus molting Penaeus setiferus pada suhu 27 -29 oC. adalah 13,6 ± 1,0 hari (N = 21) dengan postmolt menempati 22 % dari siklus, intermolt 19 % dan premolt 59 %. Penaeus setiferus yang nukleus salah satu tangkai matanya disingkirkan mengalami siklus molting yang secara nyata lebih pendek daripada Penaeus setiferus utuh (11,7 ± 1,21 hari vs. 13,6 ± 1,02 hari, P < 0,05). Tidak ada perbedaan lama siklus molting antara jantan dan betina, baik yang nukleus tangkai matanya disingkirkan maupun yang tidak (P > 0,05).

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Krustasea

Konsentrasi Protein, Hormon Ecdysteroid dan Glukosa Dalam Darah Udang Selama Ganti Kulit

Chan et al. (1988) mempelajari siklus molting pada juvenil Penaeus vannamei berdasarkan perubahan setae pleopod. Pola molting udang ini adalah diecdysis dengan periode intermolting yang relatif pendek (40 %) dan periode proecdysis yang lama (> 55 %). Konsentrasi total protein maupun ecdysteroid meningkat di dalam hemolimfa selama proecdysis, sedangkan konsentrasi glukosa hemolimfa adalah rendah pada tahap metecdysis dan proecdysis serta maksimal selama anecdysis. Sebagaimana ditunjukkan oleh SDS-PAGE, konsentrasi relatif dua polipeptida (32 kD; 175 kD) berubah selama siklus molting ini.

Chan et al. (1988) melakukan studi pustaka mengenai perangsangan molting dengan hormon. Molting bisa dirangsang pada krustasea dengan salah satu dari sekelompok hormon steroid yang disebut ecdysteroid. Konsentrasi hormon ini dalam hemolimfa selama siklus molting telah diukur pada beberapa dekapoda dengan menggunakan radioimuniesei. Pada kebanyakan kasus, konsentrasi ecdysteroid dalam hemolimfa meningkat tajam selama proecdysis; bagaimanapun, polanya bersifat spesifik-spesies. Parameter-parameter hemolimfa lain, seperti konsentrasi glukosa dan protein, juga mengalami perubahan bersiklus yang bersesuaian dengan tahap molting.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Hubungan Molting dan Siklus Pemijahan Kepiting

Kosuge (1993) mempelajari hubungan antara siklus molting dan siklus pemijahan pada kepiting ocypodidae penghuni-batu, Macrophthalmus boteltobagoe, di hamparan terumbu karang Horikawa, Pulau Okinawa, Jepang selatan. Sampling harian untuk mengumpulkan cangkang sisa molting dan kepiting betina dilakukan guna mempelajari siklus molting dan siklus pemijahan di alam. Kepiting betina dipelihara di laboratorium untuk mempelajari kombinasi antara kejadian molting dan pemijahan. Kebanyakan kepiting betina di populasi alam meletakan telur pada sekitar bulan baru, agar larvanya menetas sehari sebelum bulan purnama, dan molting beberapa hari setelah larva menetas. Di dalam wadah terkurung, bagaimanapun, terjadi pemijahan berurutan tanpa diselingi molting. Pada kepiting jantan dewasa, terjadi dua puncak molting per bulan, berlawanan dengan kepiting betina yang hanya menunjukkan satu puncak molting per bulan.

Baca juga :
Prosedur Ablasi dan Pengaruh Terhadap Reproduksi, Fisiologi, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang

Perubahan Warna Cangkang Kepiting Akibat Molting

McGraw et al. (1992) melaporkan bahwa kepiting pantai Carcinus maenas menunjukkan satu kisaran warna karapas dari hijau, oranye sampai merah; kepiting bercangkang hijau menunjukkan beberapa perbedaan distribusi dengan kepiting bercangkang merah/oranye. Untuk menguji hipotesis bahwa perbedaan warna tersebut adalah berkaitan dengan molting (ganti kulit), sejumlah besar Carcinus telah dikumpulkan di daerah intertidal dan subtidal pada musim panas ketika molting paling banyak terjadi, dan tahap moltingnya ditentukan. Warna merah dan oranye ditemukan hanya pada kelas ukuran kepiting terbesar pada tahap intermoltng yang periodenya menjadi lebih lama, tetapi tidak hanya dijumpai pada kepiting-kepiting terbesar pada tahap anecdysis akhir. Kepiting merah dicirikan oleh lebih banyak epibion (organisme penempel) dan karapas kuat yang lebih tebal.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Hormon Penghambat Molting

Mattson dan Spaziani (1985), berdasarkan beberapa laporan penelitian, menyatakan bahwa krustasea dan serangga mengalami pertumbuhan dengan secara periodik melepaskan cangkang/kulit dan pembentukan kembali rangka luar yang diikuti dengan pertumbuhan jaringan lunak. Pada serangga, sejenis neuropeptida otak (PTTH) merangsang kelenjar-kelenjar steroidogenic prothoracic untuk memproduksi precursor (bahan pokok) hormon molting, yaitu ecdyson . Pada krustasea dekapoda, organ-organ Y adalah sumber ecdyson yang kemudian diubah menjadi hormon molting yang secara biologis lebih aktif, yaitu 20-hidroksiekdison, dalam jaringan tepi.

Studi pencangkokan dan penyingkiran organ telah mengidentifikasi adanya sistem neuroendokrin pengendali molting pada krustasea yang melibatkan hormon yang diduga merupakan molt inhibiting hormone (MIH; hormon penghambat molting), yang dihasilkan oleh sekumpulan sel neurosekresi (organ X) di dalam ganglia tangkai mata dan disimpan di dalam axonal terminal (kelenjar sinus), yang menghambat organ Y. Dengan demikian pada dekapoda, penyingkiran tangkai mata menyebabkan peningkatan konsentrasi ecdysteroid dalam serum darah dan molting prematur, sementara penyuntikan ekstrak tangkai mata, pencangkokan kelenjar sinus atau penyingkiran organ Y mengurangi konsentrasi ecdysteroid dalam serum darah dan menghambat molting. Hasil-hasil tersebut berlawanan dengan PTTH pada sistem serangga. MIH secara langsung menghambat produksi ecdysteroid organ Y, proses molting dimulai lagi bila sekresi MIH berhenti atau berkurang.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 22 Desember 2012

Pemanfaatan Limbah Udang dan Ikan

Arsip Cofa No. C 117

Pemanfaatan Limbah Kepala Udang Untuk Pakan Udang dan Melunakkan Daging

Menurut Pan (1989) dalam Voight dan Botta (1990) kepala udang menyumbangkan sekitar 40 – 50 % dari berat total udang dan merupakan limbah yang harus diatasi oleh industri pembekuan udang. Limbah udang telah dimanfaatkan untuk membuat tepung udang atau ekstrak udang yang dapat-larut yang dipakai dalam campuran pakan udang sehingga pakan tersebut mengandung 5 % protein. Hasilnya menunjukkan bahwa berat udang yang diberi pakan seperti ini adalah 1,2 – 1,4 kali berat udang yang diberi pakan sebelumnya. Selain itu, kalsium, kitin dan astaksantin yang terkandung dalam tepung udang juga bisa memperbaiki kekerasan cangkang dan warna udang budidaya.

Pan (1989) dalam Voight dan Botta (1990) menambahkan bahwa enzim proteolitik dalam limbah udang adalah karboksi peptidase A dan B, tripsin, kimotripsin, katepsin dan kolagenase. Enzim-enzim proteolitik ini yang diekstrak dari kepala udang grass shrimp (udang windu) mampu melunakkan daging sama seperti pada papain atau bromelin. Bagaimanapun, pemanfaatan enzim proteolitik dari limbah udang untuk melunakkan daging adalah tidak ekonomis.

Baca juga :
Pembuatan, Pengolahan, Komposisi Kimia dan Aroma Kecap Ikan

Pemanfaatan Limbah Kepala Udang Sebagai Flavouran

Pan (1989) dalam Voight dan Botta (1990) menyatakan bahwa cangkang dan kepala udang umumnya tidak dimanfaatkan oleh industri pembekuan udang. Komposisi perkiraan menunjukkan bahwa kandungan lemak dan abu lebih tinggi dalam kepala daripada dalam daging udang. Kandungan gula tereduksi juga lebih tinggi dalam kepala daripada dalam daging udang. Perbedaan kandungan lemak dan gula tereduksi mungkin mempengaruhi flavour yang dihasilkan dari kepala dan dari daging udang. Flavour dan senyawa mudah-menguap dalam kepala udang dapat diekstrak melalui proses enzimatik, pemekatan dan pengeringan dengan udara panas. Sebanyak 97 % padatan non cangkang dapat dilarutkan dan diperoleh kembali. Asam amino bebas ada sebanyak 9 – 12 % dengan taurin, arginin, glisin dan prolin paling banyak. Kadar asam nukleat adalah 0,6 % dengan IMP sebagai komponen utama. Komponen yang mudah-menguap yang diekstrak dari kepala udang tidak sama dengan komponen serupa yang diekstrak dari udang utuh.

Senyawa pirazin dan senyawa yang mengandung sulfur berpengaruh besar terhadap flavour udang yang telah dimasak. Kandungan alkil pirazin dan senyawa-senyawa lain yang mengandung nitrogen adalah lebih tinggi dalam ekstrak flavour yang telah dimasak daripada dalam ekstrak yang diberi perlakuan suhu-rendah tekanan-rendah. Lipoksigenase endogen tampaknya memegang peranan dalam pembentukan flavour udang. Analisis biaya menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah udang sebagai bahan flavouran adalah layak secara ekonomis.

Baca juga :
Bau Pada Ikan : Penyebab dan Cara Menghilangkan

Teknologi Hidrolisis Enzimatis Untuk Memanfaatkan Limbah Ikan Menjadi Bahan Flavour Makanan Laut

In (1989) dalam Voight dan Botta (1990) melaporkan bahwa teknologi telah dikembangkan untuk menghasilkan flavour makanan laut melalui hidrolisis enzimatis. Teknologi ini dapat diterapkan untuk berbagai jenis binatang laut segar maupun beku. Teknologi ini mampu mengoptimalkan hasil dan mutu organoleptik ekstrak flavor yang dihasilkan dari bahan mentah yang kurang dimanfaatkan, misalnya tulang ikan segar, kepala udang beku dan cangkang berbagai jenis kepiting yang merupakan limbah industri perikanan. Proses ini bisa dioptimalkan untuk setiap bahan tersebut. Hasil dan laju hidrolisis tergantung terutama pada kondisi bahan mentah yang sudah dimasak, beku atau segar.

Tujuan utama hidrolisis enzimatis adalah mencairkan protein agar cangkang atau tulang mudah dipisahkan sebelum pemekatan ekstrak sampai 50 – 60 % berat kering. Proses ini dapa mengekstrak sebagian besar materi flavour dan mempertahankan kesegarannya tanpa menimbulkan cita rasa yang tidak enak, seperti rasa pahit, rasa cangkang dan lain-lain. Produk yang dihasilkan berupa ekstrak alami dan dapat dipakai untuk banyak keperluan, seperti campuran kecap, sup, campuran keju, bumbu makanan laut. Ekstrak tersebut dapat juga dipakai sebagai komponen utama dalam resep-resep flavour makanan laut yang lebih komplek (In, 1989, dalam Voight dan Botta, 1990).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pemanfaatan Protein Dari Limbah Ikan Mujaer Dengan Enzim Alkalase

Yu dan Tan (1992) membahas penggunaan enzim alkalase untuk memperoleh protein dari hasil samping dan kelebihan ikan. Enzim alkalase digunakan untuk menghidrolisis protein dari sisa-sisa ikan mujaer Oreochromis mossambicus. Hasilnya menunjukkan bahwa konsentrasi asam amino dalam hidrolisat adalah sama seperti pada ikan segar, dengan asam-asam amino esensial menyusun sekitar 50 % dari total asam amino yang ada.

Baca juga :
Proses Silase dan Dampak Negatif Minyak Ikan

Limbah Pengalengan Ikan Untuk Membuat Konsentrat Protein Ikan

Raghunath (1993) melaporkan bahwa limbah pengalengan tuna, yang terdiri dari daging merah tuna rebus, dihidrolisis dengan menggunakan cairan buah nanas sebagai sumber bromelin kasar. Kondisi optimum hidrolisis seperti yang dipantau dengan solubilisasi (kelarutan) padatan dan nitrogen adalah 0,008 unit enzim/mg protein substrat, pH 5 – 6 dan suhu 60 – 70 oC. Konsentrasi substrat tampaknya tidak berpengaruh terhadap kelarutan padatan. Keseimbangan material di bawah kondisi optimum hidrolisis menunjukkan bahwa padatan terlarut dan nitrogen terlarut meningkat sebesar 62,6 dan 92 %, berturut-turut, dibandingkan nilai-nilai awal dan bisa diperoleh kembali dengan kehilangan minimal.

Baca juga :
Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan

Pemanfaatan Limbah Organ Dalam Ikan Cucut Untuk Pakan Ikan

Asgard dan Austreng (1985) menyatakan bahwa dalam produksi filet ikan cucut anjing Squalus acanthias, sekitar 50 % berat kotor ikan ini bisa diubah menjadi filet untuk konsumsi manusia dan 50 % sisanya - yang terutama berupa organ dalam - dibuang. Hanya sebagian kecil dari bagian yang dibuang ini digunakan dalam produksi tepung dan minyak ikan; bagian terbesarnya dibuang begitu saja. Karena budidaya ikan merupakan industri yang terus berkembang, sedangkan sisa-sisa tubuh ikan cucut banyak mengandung nutrisi, maka adalah menarik untuk mengevaluasi kemungkinan pemanfaatan organ-organ dalam ikan cucut sebagai bahan baku pakan ikan. Nilai gizi limbah ikan cucut sebagai pakan ikan tergantung terutama pada kandungan protein dan lemaknya. Dalam limbah segar, kandungan proteinnya kurang-lebih konstan, sedangkan kandungan lemaknya ditentukan oleh ukuran hati ikan cucut.

Asgard dan Austreng (1985) melaporkan bahwa dalam uji pemanfaatan organ dalam ikan cucut anjing Squalus acanthias sebagai pakan basah untuk ikan salmon dan rainbow trout, organ dalam tersebut dibagi menjadi dua kelompok : satu kelompok dibekukan dan kelompok lain diberi asam format 2,5 % (berat/berat). Pakan kontrol dibuat terutama dari ikan argentine (Argentina silus, Ascanius) yang merupakan hasil tangkap industri perikanan. Pada pakan eksperimental, baik yang dibuat dari limbah cucut beku maupun yang diberi asam format (silase), 47 % dari berat pakan basah, atau 30 % dari total nitrogen, dipasok oleh limbah ikan cucut.

Hasil penelitian menunjukkan tidak terlihat adanya efek negatif dalam hal konsistensi pakan atau pun dalam hal peningkatan berat dan kesehatan ikan yang memakannya, juga tidak ada dampak negatif terhadap komposisi kimia dan sifat-sifat organoleptik semua kelompok pakan. “Apparent digestibility” (daya cerna yang tampak) untuk protein ikan cucut adalah setinggi nilai untuk protein dari ikan argentine dan tepung binder (perekat pakan), dan nilai ini paling tinggi untuk limbah ikan cucut yang diberi asam format. Dari total nitrogen yang terkandung dalam limbah ikan cucut, 20 – 30 % adalah urea nitrogen dan harus dikurangi bila membandingkan nilai protein limbah ikan cucut dengan limbah ikan lain.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 20 Desember 2012

Ikan Kering : Pengolahan dan Penanganan

Arsip Cofa No. C 116

Alat Pengering Ikan Bertenaga Matahari Tipe Rumah Kaca

Demir dan Evcin (1993) memanfaatkan rumah kaca yang dibantu dengan reflektor parabola untuk mengeringkan ikan Merlangius merlangius asin, dan hasilnya kemudian dibandingkan dengan pengeringan yang dilakukan di luar rumah kaca. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk memperoleh ikan kering dengan kadar air 25 % diperlukan waktu 26 jam di dalam rumah kaca dan 38 jam di luar rumah kaca. Konstanta pengeringan adalah minimum untuk ikan yang dikeringkan di dalam rumah kaca pada sabuk berjalan yang dibantu reflektor matahari.

Baca juga :
Pemanfaatan Antioksidan Dalam Pengawetan Ikan

Pencoklatan (Browning) dan Senyawa-Senyawa Yang Terbentuk Selama Pengeringan Ikan

Sen (2005) mengulas beberapa laporan mengenai masalah timbulnya warna gelap (browning) dan pembentukan senyawa-senyawa selama proses pengeringan ikan. Ikan lemuru (Sardinella longiceps) dikeringkan dengan tiga metode : pengeringan oven pada suhu 80 – 85 oC, pengeringan dengan panas matahari (penjemuran) dan pengeringan beku. Selama proses pengeringan, muncul sejumlah besar senyawa-senyawa karbonil (aldehid jenuh, keton, 2-enal dan dikarbonil) dan 17 senyawa karbonil individual bisa diidentifikasi. Dalam produk ikan kering-oven, pencoklatan adalah maksimum sedangkan karbonil minimum. Pengeringan-beku menghasilkan pencoklatan yang minimum dan total karbonil yang dapat diekstrak memberikan nilai-nilai tertinggi. Ketiadaan fraksi-fraksi 2-enal dalam sampel kering-oven mendukung fakta bahwa reaksi pencoklatan dan interaksi di antara senyawa-senyawa flavour terjadi ketika daging ikan dipanasi dalam kondisi ada oksigen.

Telah dilakukan penelitian lain untuk menguji potensial pencoklatan berbagai jenis senyawa karbonil dan hasilnya menunjukkan bahwa reaksi pencoklatan paling cepat dengan adanya fraksi 2-enal. Pada sampel kering-oven dan kering matahari, konsentrasi senyawa 2-heptanon dan 3-heptanon mengalami peningkatan tajam. Peningkatan konsentrasi 4-heptanon juga terjadi dalam sampel kering-oven. Senyawa-senyawa tersebut dilaporkan memberi flavour panggang pada produk ikan kering-oven dan kering-matahari. Tanpa ada penelitian lebih lanjut, mungkin bisa disimpulkan bahwa senyawa-senyawa karbonil yang terbentuk selama pengeringan bersama-sama dengan asam-asam amino bebas atau gugus-gugus amino berperanan penting dalam reaksi pencoklatan dan pembentukan flavour khas produk ikan kering.

Baca juga :
Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya

Pengasinan dan Pengeringan Ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta)

Poernomo et al. (1992) melakukan penelitian terhadap pengasinan dan pengeringan ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) dan penyimpanannya pada suhu lingkungan (29,5 – 32 oC). Pengasinan dilakukan dalam larutan garam 15 %, 21 % dan 27 % (berat/berat) pada suhu lingkungan, sedang udara dengan kelembaban relatif (RH) 62,5 %, suhu 40 oC dan kecepatan 1 m/detik digunakan untuk mengeringkan ikan asin ini. Konsentrasi garam mempengaruhi peresapan garam dan kehilangan air selama pengasinan di mana konsentrasi garam yang lebih rendah menghasilkan ikan yang kurang asin dan lebih banyak kadar airnya. Laju pengeringan ikan asin juga dipengaruhi oleh konsentrasi garam; laju pengeringan yang lebih tinggi dihasilkan oleh konsentrasi garam yang lebih rendah. Ikan kering yang diasinkan dalam larutan garam 15 % menjadi tak diterima setelah disimpan selama 6 minggu pada suhu lingkungan. Penggaraman dengan konsentrasi 21 % selama 16 jam diikuti pengeringan cukup untuk menghasilkan ikan asin kering dengan daya awet memuaskan.


Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :

Baca juga :
Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi

Insektisida Untuk Mengendalian Serangan Serangga Pada Produk Ikan Kering

Taylor dan Evans (1982) menyatakan bahwa ikan kering memerlukan perlindungan terhadap serangan serangga hama seperti Dermestes maculatus selama penanganan dan penyimpanan di daerah beriklim hangat. Serangga hama dapat menyebabkan kerusakan yang cukup besar pada ikan kering selama pengolahan dan penanganan. Dilaporkan bahwa sebanyak 3 juta ton per tahun produk ikan kering rusak akibat aksi serangga hama ini. Selama pengeringan di tempat terbuka, ikan mudah diserang dan dirusak oleh serangga blow fly. Ketika kelembaban berkurang ikan kering menjadi lebih kebal terhadap hama tersebut, tetapi ketika permukaan produk mengering maka kumbang hama, termasuk spesies dermestidae dan Necrobia refipes, menjadi penting. Salah satu serangga hama paling penting bagi ikan kering adalah Dermestes maculatus yang larvanya rakus memakan ikan sehingga menyebabkan banyak kerusakan. Dermestes maculatus dapat bertahan hidup pada kelembaban yang relatif rendah (30 %). Selama pengasapan ikan, suhu mungkin cukup untuk membunuh serangga atau asap bisa mengusir mereka, tetapi proses ini tidak bisa mencegah serangan bila produk ikan asap ini kemudian terbuka terhadap serangan serangga.

Taylor dan Evans (1982) menambahkan bahwa insektisida yang diberikan secara langsung pada produk ikan kering harus efektif terhadap spesies serangga sasaran tanpa meninggalkan residu yang berbahaya bagi konsumen. Ada sejumlah laporan tentang keberhasilan pengendalian Dermestes maculatus pada ikan kering dengan pemberian insektisida. Piretrin sinergis di dalam larutan celup telah disarankan oleh banyak ahli. Piretrin yang disinergiskan dengan piperonil butoksida merupakan satu-satunya bahan kimia yang ada yang memiliki batas kadar residu maksimum yang disarankan untuk ikan kering oleh FAO/WHO Joint Committe on Pesticide Residues. Insektisida lain yang telah diuji keefektivannya dalam mengendalikan serangga hama pada ikan kering mencakup malation, tetapi ternyata bahwa larutan malation pada konsentrasi yang cukup untuk memberikan kontrol yang efektif akan meninggalkan residu dengan kadar yang tidak bisa diterima. Teknik lain yang efektif dalam mengendalikan Dermestes maculatus adalah dengan mencelupkan ikan kering ke dalam larutan tetrachlorvinphos.

Piretrin sinergis disarankan untuk mengendalikan serangga ini, tetapi bahan kimia tersebut memiliki kelemahan yaitu terurai oleh sinar matahari. Senyawa-senyawa alternatif seperti pirimifos metil, klorpirifos metil dan metakrifos ternyata efektif melindungi ikan yang dicelupkan sebentar di dalam larutan berkonsentrasi 0,00625 % sebelum disimpan selama 28 hari. Pirimifos metil pada konsentrasi 0,0125 % memberikan perlindungan terbaik selama periode penyimpanan yang lebih panjang. Permetrin gagal mengendalikan Dermestes maculatus tetapi menunjukkan sifat tidak disukai serangga ini. Kadar residu insektisida di dalam produk ikan yang ditangani ternyata berkurang secara nyata selama penyimpanan pada suhu 27 oC (Taylor dan Evans, 1982).

Baca juga :
Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia

Minyak Sayur Untuk Mengusir Serangga Dari Ikan Kering

Mathen et al. (1992) mempelajari kemampuan dua belas jenis minyak sayur dalam mengusir serangga dari ikan kering olahan. Kedua belas jenis minyak sayur tersebut adalah minyak gingelly, minyak bunga matahari, minyak safflower, minyak palem, minyak dedak beras, minyak biji kastor, minyak mustard, minyak kacang tanah, minyak neem, minyak hydnocarpus dan cairan kulit cashew nut. Minyak gingelly, minyak mustard, minyak bunga matahari dan minyak hydnocarpus mengandung zat pengusir serangga sedang minyak palem menarik serangga. Minyak gingelly, minyak mustard dan minyak bunga matahari menunda serangan lalat blowfly, sedang minyak hydnocarpus menunda serangan lalat blowfly maupun kumbang. Terlihat bahwa lalat blowfly dominan selama musim hujan sedang kumbang dominan di luar musim hujan. Pengawetan ikan kering dengan pemberian campuran kalsium propionat, butylated hydroxy anisole dan klorin efektif dalam menunda serangan serangga disamping mencegah timbulnya warna merah.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 19 Desember 2012

Kanibalisme Pada Ikan

Arsip Cofa No. C 115

Kanibalisme Pada Ikan Teleostei

Smith dan Reay (1991) menyatakan bahwa kanibalisme dilaporkan dijumpai pada 36 dari 410 famili ikan teleostei, tetapi diduga bahwa penyebarannya lebih luas lagi. Menemukan contoh kanibalisme adalah tidak sulit, dan mungkin lebih menarik untuk mencari taksa ikan yang tidak menunjukkan perilaku kanibalisme. Famili ikan yang memberikan paling banyak contoh kasus kanibalisme adalah Engraulididae, Esocidae, Poeciliidae, Gasterosteidae, Percidae dan Cichlidae. Kanibalisme digolongkan menjadi tujuh tipe, bergantung pada tahap sejarah hidup, perbedaan umur antara ikan kanibal dan mangsanya, dan apakah mereka berkerabat atau tidak. Dalam populasi terkurung, kanibalisme cenderung meningkat dengan meningkatnya kepadatan ikan dan berkurangnya ketersediaan makanan, namun peranan kanibalisme dalam pengaturan populasi di alam liar belum dapat ditunjukkan. Kanibalisme memberikan beberapa dampak ekonomis yang penting dalam akuakultur, tetapi dampak tersebut bisa dikurangi dengan relatif mudah, yaitu dengan sering melakukan pengelompokkan-pengelompokkan guna mengurangi perbedaan ukuran ikan. Keuntungan utama dari tingkah laku kanibalisme adalah berkaitan dengan kebutuhan gizi; diduga bahwa tingkah laku ini berevolusi sebagai sebuah strategi yang efektif dalam menghadapi persaingan.

Baca juga :
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Faktor Penyebab Kanibalisme

Hecht dan Pienaar (1993) membahas kanibalisme dengan menitik beratkan pada peranan fenomena ini dalam budidaya larva ikan. Kanibalisme merupakan kejadian yang lebih sering dijumpai daripada yang diduga semula dan peranannya dalam budidaya larva ikan adalah penting. Ada dua faktor yang menyebabkan kanibalisme terhadap ikan-ikan saudaranya, yaitu genetik dan tingkah laku; yang terakhir ini dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor lingkungan. Kanibalisme dianggap sebagai strategi makan alternatif, lebih mungkin dilakukan oleh larva dan juvenil tahap awal ikan karnivora, ketika sumber daya menjadi terbatas. Perilaku berkelahi yang menyebabkan mortalitas mempunyai penyebab yang sama dengan kanibalisme.

Baca juga :
Nafsu Makan Pada Ikan : Pengaruh Faktor Fisiologi dan Lingkungan

Pengaruh Kelaparan dan Perbedaan Ukuran Tubuh Terhadap Kanibalisme

Folkvord (1991) meneliti pengaruh jenis makanan, puasa/kelaparan dan ukuran ikan terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan kanibalisme pada juvenil ikan cod (Gadus morhua) yang dipelihara di kolam. Kelompok campuran ikan cod dengan berat 0,2 gram dan 8 gram memiliki kelangsungan hidup 93,5 – 97 % dalam waktu 4 minggu dengan diberi pakan zooplankton hidup. Rata-rata laju pertumbuhan harian adalah 4,5 % dan 1,6 %, berturut-turut, dan perbedaan ini diduga kemungkinan sebagai alasan mengapa inidividu-individu dalam kelompok 0,2 gram lebih banyak yang hilang akibat kanibalisme. Kanibalisme lebih tinggi di antara ikan cod berbobot badan 0,2 gram yang dipuasakan daripada ikan cod 0,2 gram yang diberi makan. Kanibalisme di antara ikan cod berbobot 0,2 gram berhenti setelah penambahan zooplankton hidup. Besarnya perbedaan ukuran dalam satu cohort (sekelompok individu dengan karakteristik sama) berpengaruh besar terhadap tingkat kanibalisme. Dua individu besar dari kelompok 0,2 gram memangsa lebih dari 50 saudaranya pada kondisi kekurangan makanan yang parah selama periode 4 minggu. Sebaliknya, sekitar 96 % ikan dari kelomok 8 gram tetap hidup selama kelaparan 4 minggu. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemanenan juvenil secara lebih dini dari kolam pemeliharaan disarankan untuk memperbaiki kelangsungan hidupnya dan untuk mengurangi jumlah ikan yang hilang akibat kanibalisme.

Baca juga :
Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

Kanibalisme Menyumbangkan Mortalitas Tertinggi Pada Ikan Gadus

Korzhev dan Tretyak (1991) dalam Bogstad dan Tjelmeland (1991) mempelajari kanibalisme ikan cod (Gadus morhua) berumur 1 – 9 tahun terhadap ikan cod muda berumur 0 ± 3 tahun berasarkan pengamatan aktivitas makan pada kondisi alami pada tahun 1984 – 1989. Ikan cod pertama kali menunjukkan kanibalisme pada umur 1 tahun tetapi umur tertua yang masih mengalami kanibalisme adalah 3 tahun. Dengan demikian mortalitas alami yang disebabkan oleh faktor selain kanibalisme bisa dihitung untuk ikan cod berumur 4 – 15 tahun, dan hasil perhitungan ini kemudian diekstrapolasi ke bawah untuk ikan cod berumur 0+ tahun. Mortalitas alami akibat kanibalisme dihitung untuk ikan berumur 0 ± 3 tahun dengan menggunakan VPA (virtual population analysis) spesies tunggal yang bertanggung jawab atas kanibalisme. Jumlah ikan cod muda yang dikonsumsi oleh ikan cod dewasa adalah setara dengan rata-rata kelimpahan kelas tahun pada umur 3 dan melebihi jumlah ikan cod yang ditangkap selama setahun sebesar 1,4 – 3,3 kali lipat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengoptimalkan perikanan cod dengan menekan tingkat kanibalisme yang tinggi.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kanibalisme Terhadap Telur Ikan

Kamler (1992), berdasarkan beberapa laporan penelitian lain, menyatakan bahwa keberadaan telur ikan dalam lambung ikan Coregonidae dan dalam ikan Fundulus heteroclitus telah dilaporkan. Juga dilaporkan adanya kanibalisme terhadap telur pada ikan Gasterosteus aculeatus. Kasus serupa juga ditemukan pada ikan Coregonus albula. Ada dua sub populasi Coregonus di beberapa danau yang dalam di Skandinavia, yang satu memijah pada musim gugur sedang yang lain memijah pada musim dingin atau musim semi. Kelompok ikan yang terakhir ini melewatkan musim panas di bagian danau yang dalam yang airnya tetap dingin; pada akhir musim gugur, selama periode intensif perkembangan sel-sel telur dalam gonadnya, ikan-ikan ini menuju ke bagian danau yang lebih dangkal yang merupakan daerah pemijahan Coregonus pemijah musim gugur. Ikan pemijah musim dingin memangsa telur-telur dari ikan pemijah musim gugur. Makanan yang sangat berharga dan dalam jumlah besar ini, yang didapatkan tanpa banyak mengeluarkan energi dan pada saat yang tepat, memungkinkan telur-telur yang dipijahkan pada musim dingin di Danau Kajoonjarvi menjadi 3 – 7 kali lebih besar (berat kering) dibandingkan telur-telur ikan pemijah musim gugur. Coregonus pemijah musim dingin menetas lebih lambat dan lebih besar dibandingkan Coregonus pemijah musim gugur. Laju pertumbuhan larva ikan yang pertama juga lebih cepat daripada yang kedua.

Baca juga :
Budidaya Ikan Intensif : Padat Penebaran, Kualitas Air dan Penghematan Biaya

Kanibalisme Pada Budidaya Anak Ikan Polyodon

Rideg dan Rideg (1992) melakukan percobaan pemeliharaan ikan paddlefish (Polyodon spathula) mulai dari telur yang diimpor pada musim semi 1992. Percobaan pemeliharaan ini menggunakan sebuah sistem daur ulang berkapasitas 25 m3 dengan suhu air 19 oC. Pada awalnya ikan hanya diberi pakan organisme hidup seperti nauplius Artemia dan Daphnia, kemudian pakan kering diberikan secara ad libitum. Alat pemberi pakan otomatis digunakan untuk memberi sejumlah kecil pakan sepanjang hari karena aktivitas makan ikan ini di dasar tangki tidak terlihat. Pada akhir percobaan pemeliharaan – pada hari ke 50 – diperoleh anak ikan berukuran 6 – 12 cm yang kemudian dipasarkan. Tingkat kelangsunga hidup adalah 21,1 % pada kelompok I dan 67,4 % pda kelompok II. Periode mortalitas utama terjadi antara hari ke-10 dan 22 dan sekitar hari ke-40 dari masa pemeliharaan. Hanya tangki bundar berkedalaman 40 cm terbukti sesuai untuk pemeliharaan. Kanibalisme terlihat jelas dari awal sampai akhir percobaan sehingga ikan harus secara teratur dikelompok-kelompokkan menurut ukurannya.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 14 Desember 2012

Kekebalan Ikan terhadap Infeksi Patogen dan Parasit

Arsip Cofa No. C 114

Prinsip-Prinsip Pencegahan Penyakit Ikan

Ciri-ciri penting strategi pencegahan penyakit ikan epizootik adalah praktek pemeliharaan yang baik dan pemonitoran yang tepat. Untuk mencapai tujuan ini, tindakan-tindakan berikut, berdasarkan buku karangan M. Kr. Das “Standardization of Methods for Diagnosis and Prevention of Epizootic Fish Diseases”, perlu dilakukan dengan efektif.

Disenfeksi Daerah Perairan

Pada awalnya kolam sebaiknya dikeringkan atau didisinfeksi. Pada kolam yang tidak dapat dikeringkan di mana pengeringan biasanya sulit dilakukan karena kelangkaan air untuk mengisinya kembali dan diperlukan saluran untuk mengalirkan air, disinfeksi kolam merupakan langkah yang paling sesuai. Pemakaian minyak biji tumbuhan mahua (Bassia latifolia) sebanyak 25 ppm atau serbuk pemutih (kapur berklorin) sebanyak 50 ppm dengan cepat membunuh semua spesies ikan liar, moluska, kecebong, kodok, kepiting, dll. dan juga akan mensucihamakan tanah dan air kolam.

Disinfeksi Peralatan

Semua peralatan seperti jaring, alat tangkap, peralatan plastik dan hapa ternyata ditempeli organisme patogen dan cukup berperan dalam penyebaran penyakit. Untuk mencegah penyebaran patogen dari satu daerah perairan ke daerah perairan lain maka peralatan tersebut sebaiknya dicuci dan dijemur dengan sempurna atau dicelupkan dalam larutan pekat disinfektan sebelum digunakan.

Disinfeksi Ikan

Umumnya disinfeksi ikan dilakukan dengan “memandikan” ikan secara rutin 4 kali setahun. Bahan kimia yang dipakai adalah Nace 3 – 4 % dan KMnO4. Bahan-bahan kimia ini biasanya dipakai untuk membasmi ektoparasit.

Kepadatan penebaran yang tinggi sering menjadi penyebab utama stres pada ikan budidaya. Kepadatan yang terlalu tinggi akan menurunkan mutu air, yang kemudian menyebabkan ikan mengalami stres. Bila ada ikan yang mati maka harus segera disingkirkan.

Penurunan keparahan gejala EUS pada tahun-tahun selanjutnya di berbagai negara memperkuat dugaan bahwa daya tahan terhadap penyakit perlahan-lahan terbentuk pada generasi-generasi yang berturutan. Penebaran stok ikan kebal-penyakit akan mencegah terjadinya penyakit tersebut, tetapi disarankan hanya dilakukan di daerah di mana penyakit telah berjangkit karena mereka bisa saja tidak tampak tetapi kemudian dapat menginfeksi dengan hebat ikan-ikan di daerah yang masih “bersih”. Penebaran spesies kebal-penyakit seperti Tilapia dilakukan besar-besaran selama musim EUS.

Pemberian Pakan Yang Cukup

Perawatan harus dilakukan untuk mempertahankan jumlah optimum pakan agar dapat melestarikan populasi ikan (yang biasanya padat) di dalam suatu perairan dengan sistem budidaya intensif dan semi intensif. Bila pakan alami tidak cukup maka harus diberi pakan tambahan dengan mutu yang baik. Kekurangan mutu dan jumlah pakan sering menyebabkan penyakit defisiensi gizi dan meningkatkan kerentanan terhadap banyak penyakit infeksi.

Pemisahan Ikan Muda dan Induk

Ikan-ikan dewasa dan induk sering berperan sebagai pembawa bibit patogen (carrier) tanpa menunjukkan gejala-gejala klinis. Mereka kadang-kadang tetap bertahan hidup ketika terjadi penyakit epizootik karena telah membangun kekebalan tetapi bisa mengandung beberapa patogen. Untuk mencegah resiko ini perlakuan yang terbaik adalah memisahkan ikan muda dari ikan induk dan ikan lain. Hatchery seharusnya tetap mencatat perpindahan anak ikan (yang mencakup spesies, jumlah, ukuran dan alamat tujuan), sehingga bila terjadi penyakit maka lokasi wabah bisa ditelusuri.

Pengendalian Ikan Liar

Ikan liar sering membawa patogen yang dapat menyebabkan kerusakan serius bagi populasi ikan budidaya yang sangat padat. Banjir berkala (selama musim hujan) bisa menciptakan hubungan dengan ikan liar. Pertanian yang menerima pasokan arnya dari saluran irigasi atau dari sawah padi beresiko tinggi terkena infeksi sebagai mana dibuktikan selama berjangkitnya EUS. Bila wabah epizootik terjadi maka air kolam sebaiknya jangan diganti dan pematang kolam ditinggikan untuk mencegah masuknya air banjir.

Pengendalian Vektor dan Hama

Ikan budidaya merupakan bagian kompleks fauna di mana ada tiga tipe fauna lain yang berbahaya bagi ikan yang ikut menyusun kompleks tersebut (a) binatang yang berfungsi sebagai inang-antara parasit yang melengkapi siklus hidupya dalam tubuh ikan, misal binatang ini adalah siput. Siput sebaikhya dibunuh untuk diamati secara rutin. (b) Lintah yang berfungsi sebagai penular protozoa darah Cryptobia. Argulus juga merupakan parasit potensial yang dapat berperan sebagai vektor. (c) Beberapa binatang dan tumbuhan air (terutama plankton) yang selalu ada dalam habitat terkendali bisa mengalami ledakan populasi yang membahayakan ikan. Dalam kolam pemeliharaan (nursery pond) dan pembesaran (rearing pond) perlu diberi malation sebanyak 0,25 ppm 4 – 5 hari sebelum penabaran. Malation membasmi kopepoda besar yang muncul dalam jumlah banyak sebelum penebaran.

Pengaturan Karantina

Dalam rangka pencegahan penyakit ikan, perlu ditekankan bahwa pemasukan (introduksi) dan perpindahan ikan sebaiknya dikenai perlakuan karantina. Penyebaran ikan terinfeksi berperanan penting dalam menurunkan produktivitas ikan di Asia Tenggara. Hanya sedikit perhatian diarahkan pada kemungkinan bahwa ikan dan invertebrata impor juga dapat membawa penyakit dan parasit luar yang berbahaya. Lilley et al. (1992) berpendapat bahwa cepatnya penyebaran sindrom borok (ulcerative syndrome) melintasi daerah aliran sungai, laut dan batas-batas negara, memperkuat dugaan bahwa kemungkinan besar manusia bertanggung jawab atas penyebaran EUS, baik di dalam negeri maupun melintasi batas-batas antar negara. Karena itu perlu dimantapkan sistem karantina ikan yang didukung undang-undang.

Baca juga :
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Perlindungan Terhadap Infeksi Patogen

Menurut Smith (1982) mula-mula diduga bahwa ikan teleostei tidak memiliki respon kekebalan, tetapi respon kekebalan terhadap antigen kemudian terlihat pada ikan salmonidae, meskipun agak lebih lambat dibandingkan pada mamalia dan terutama dalam bagian pertengahan dan bagian tertinggi dari kisaran suhu lingkungannya. Ikan hagfish menunjukkan respon kekebalan setelah sangat lama terpapar antigen, ikan lamprey menunjukkan respon yang sedikit lebih kuat, sedangkan hiu membentuk antibodi hampir sesempurna ikan teleostei. Jadi tampaknya ada kemajuan perkembangan respon kekebalan selama evolusi vertebrata, dengan ikan teleostei (terutama salmonidae yang telah dipelajari) agaknya ada di pertengahan antara hagfish dan mamalia.

Smith (1982) menambahkan bahwa ikan tidak sama sekali tak terlindung dari serangan pertama suatu organisme penyakit. Pertama, sisik dan lendir bertindak sebagai perintang mekanis dan kimiawi untuk mencegah masuknya organisme penyakit. Lendir tampaknya merupakan bakterisida dan fungisida yang baik pada banyak spesies ikan. Beberapa spesies ikan ekonomis penting bisa disimpan dengan lebih awet bila lapisan lendir dibiarkan utuh ketika ikan di-es. Antibodi yang dihasilkan selama respon kekebalan kadangkala bisa juga ada di dalam lendir. Beberapa spesies ikan tampaknya memiliki kekebalan alami terhadap penyakit yang mudah menginfeksi spesies ikan yang berkerabat dekat dengannya. Sebagian besar vertebrata mempunyai zat aglutinin alami yang meng-aglutinasi (merekatkan hingga menggumpal) berbagai jenis antigen.

Ikan salmonidae juga mempunyai interferon – zat antivirus umum – di dalam darahnya. Patogen mengalami kesulitan untuk masuk ke tubuh ikan melalui saluran usus akibat rendahnya pH lambung dan aktivitas proteolitik enzim baik dalam lambung maupun usus. Bagaimanapun, salah satu respon terhadap stres adalah penghentian gerak usus (atau peristalsis) yang memungkinkan terjadinya fermentasi anaerobik terhadap isi usus, dan pada saat yang sama, enzim-enzim usus bisa menyerang dinding usus. Hal ini memungkinkan perbanyakan secara cepat beragam jenis patogen dan memudahkan masuknya patogen ke dalam aliran darah. Penghentian gerak usus (“gut stasis”) pada mamalia tampaknya merupakan jalur umum masuknya patogen dan diduga demikian pula pada salmon dewasa. Secara umum, kebanyakan ikan tampaknya mempunyai berbagai jenis organisme patogen potensial di dalam tubuh dan di sekelilingnya yang menunggu robohnya salah satu penghalang untuk menginfeksi ikan.

Baca juga :
Parasit Ikan

Mekanisme Perlindungan Tubuh Terhadap Patogen Yang Akan dan Telah Menginfeksi

Chevassus dan Dorson (1990) menyatakan bahwa kekebalan seekor atau sekelompok ikan terhadap suatu patogen merupakan fenomena yang amat komplek yang mungkin melibatkan banyak faktor yang berbeda-beda antara seekor atau sekelompok ikan dengan ikan lainnya. Patogen mungkin tidak dapat masuk ke tubuh suatu organisme karena adanya lendir penghalang atau lendir yang berefek menghancurkan yang disekresi oleh lambung atau usus. Patogen bisa juga menembus tubuh tapi segera menjadi tidak aktif (akibat pengaruh serum anti-bakteri, sel-sel pembunuh, protein fase akut, makrofage) atau menjadi tidak aktif akibat mekanisme-mekanisme yang ditimbulkannya (misal produksi antibodi atau interferon).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Aktivitas Fagositik Pada Sel Endokardial Berbagai Spesies Ikan

Nakamura et al. (1992) menyatakan bahwa sel endokardial beberapa spesies ikan telah dilaporkan menunjukkan aktivitas fagositik (menelan bakteri dan partikel kecil); bagaimanapun, semua laporan mengenai fenomena ini didasarkan pada penelitian in vivo (di dalam tubuh organisme hidup). Untuk itu dilakukan pengamatan secara in vitro (di luar tubuh organisme hidup) terhadap aktivitas fagositik sel endokardial beberapa spesies ikan. Jantung ikan dibedah dan diinkubasi secara organotipikal di dalam medium kultur jaringan DM-170 yang mengandung 1 % tinta Perikan (partikel karbon) selama 2 jam pada suhu sekitar 23 oC. Sel-sel tersebut diamati secara histologis. Binatang yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : ikan medaka (Oryzias latipes), ikan seribu (Poecilia reticulatus), neon tetra (Paracheirodon innesi), lemon tetra (Hyphessobrycon pulchripinnis), mas koki (Carassius auratus) dan ikan rose bitterling (Rhodeus ocellatus). Sel-sel endokardial ikan cyprinodontiformes (medaka dan ikan seribu) menunjukkan aktivitas fagositik yang kuat. Sel endokardial cypriniformes (mas koki dan bitterling) menunjukkan aktivitas sedang, dan sel endokardial characiformes (neon tetra dan lemon tetra) menunjukkan aktivitas fagositik yang lemah atau hampir tidak ada terhadap partikel-partikel karbon. Aktivitas fagositik sel endokardial mungkin berhubungan dengan status filogenetik dalam sistem kekebalan ikan.

Baca juga :
Stres Mempengaruhi Hormon, Kekebalan Penyakit dan Perilaku Ikan

Meningkatkan Kekebalan Ikan Lele Setelah Terinfeksi Edwardsiella

Vinitnantharat dan Plumb (1993) melaporkan bahwa ikan channel catfish Ictalurus punctatus yang bertahan hidup setelah terinfeksi secara alami oleh Edwardsiella ictaluri menunjukkan hubungan yang kuat antara kadar antibodi peng-aglutinasi Edwardsiella ictaluri dan derajat perlindungan terhadap bahaya. Penyuntikan secara intraperitoneal 2,0 x 107 sel bakteri/ikan membunuh 100 % ikan yang memiliki kadar antibodi 0 dan 128 (rendah); 77,8 % ikan yang kadar antibodinya 256 sampai 512 (sedang); dan 57,7 % ikan yang memiliki kadar antibodi lebih dari 1024 (tinggi). Percobaan kedua, dengan menggunakan 5,1 x 105 sel/ikan, menghasilkan mortalitas 72,2 % pada ikan tanpa antibodi terdeteksi; 51,3 % pada ikan berkadar antibodi rendah; 25,0 % pada ikan berkadar antibodi sedang dan 6,5 % pada ikan berkadar antibodi tinggi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan channel catfish memiliki antibodi pelindung setelah terinfeksi Edwardsiella ictaluri, tetapi kadar antibodi lebih dari 256 diperlukan untuk menjamin perlindungan yang cukup terhadap infeksi. Bila ikan dikenai sejumlah besar patogen maka kekebalannya bisa dikalahkan. Pemberian makanan yang diresapi ekstrak sel Edwardsiella ictaluri setiap 5 atau 10 hari kepada ikan yang telah divaksinasi dengan suntikan akan membantu mempertahankan kadar antibodinya, sedangkan kadar antibodi ikan yang tidak diberi vaksin lewat mulut akan terus berkurang.

Baca juga :
Bakteri Penyebab Penyakit Pada Ikan

Bisakah Kortisol Meningkatkan Kekebalan Ikan Terhadap Infeksi Parasit ?

Johnson dan Albright (1992) meneliti pengaruh cangkok hidrokortisol terhadap kerentanan ikan coho salmon Oncorhynchus kisutch terhadap infeksi kopepoda laut ektoparasit penting, yakni Lepeophtheirus salmonis, pada kondisi laboratorium. Ikan coho salmon yang dicangkok kortisol adalah lebih rentan terhadap infeksi daripada ikan coho salmon kontrol. Kopepoda hilang dari insang ikan kontrol pada 10 hari setelah infeksi, dan hanya tinggal sedikit yang tersisa pada tubuh dan siripnya pada 20 hari pasca infeksi. Kopepoda tetap ada pada insang, sirip dan tubuh ikan yang dicangkok kortisol selama 20 hari penelitian. Irisan histologis jaringan insang dan sirip ikan kontrol menunjukkan hiperplasia epitelial yang berkembang baik dan menunjukkan respon peradangan terhadap adanya Lepeophtheirus salmonis. Respon peradangan dan perkembangan hiperplasia epitelial adalah lemah pada ikan yang dicangkok kortisol. Data ini mendukung hipotesis bahwa mekanisme pertahanan inang non spesisifik adalah penting bagi kekebalan ikan coho salmon terhadap infeksi Lepeophtheirus salmonis.

Variasi Kekebalan Penyakit Pada Spesies Ikan Yang Berkerabat Dekat

Chevassus dan Dorson (1990) menyatakan bahwa patogen (virus, bakteri, parasit) tertentu memiliki inang yang tertentu pula yang seringkali sangat terbatas. Telah dilaporkan bahwa mortalitas akibat penyakit furunculosis sebesar 25 %, 6 % dan 0 %, berturut-turut, untuk brown trout (Salmo trutta), brook trout (Salvelinus fontinalis) dan rainbow trout (Salmo gairdneri) yang dipelihara bersama-sama dalam sebuah kolam. Kerentanan spesies ikan salmonidae terhadap infeksi Ceratomyxa shasta sangat bervariasi : mortalitas hampir 100 % pada Salmo gairdneri, Salmo clarkii dan Salvelinus fontinalis, tetapi lebih kecil pada Onchorhynchus nerka dan hampir nol pada Salmo salar. Penyakit virus pada ikan salmonidae telah sering diamati dan famili ikan ini menunjukkan perbedaan kerentanan yang besar bahkan antar serotipe terhadap virus yang sama.

Untuk menganalisa variasi interspesifik tersebut, penggunaan hibridisasi (yang sering diterapkan untuk tanaman) pada ikan adalah terbatas karena rendahnya kemampuan hidup ikan hasil persilangan. Namun, telah dilaporkan bahwa hasil persilangan antara ikan rainbow trout betina dengan coho salmon jantan (Onchorhynchus kisutch) memiliki sifat mirip induknya yang kebal terhadap VHS (Viral Haemorrhagic Septicaemia). Bagaimanapun, akibat rendahnya daya hidup hibrid ini maka ikan hasil persilangan tersebut tidak bermanfaat. Sebaliknya, pewarisan sifat kebal tidak sistematik. Dalam kasus ini, hibrid rentan terhadap IPN (Infectious Pancreatic Necrosis) padahal ikan coho salmon kebal terhadapnya (Chevassus dan Dorson, 1990).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 12 Desember 2012

Ekologi Ikan Karang

Arsip Cofa No. C 113

Peranan Persaingan Dalam Distribusi Ikan Karang

Sale (1991) dalam Sale (1991) melaporkan bahwa sebuah eksperimen terhadap masalah apakah penguasaan wilayah oleh sekelompok ikan meningkatkan kesesuian hidup kelompok ikan tersebut ternyata memberi hasil negatif. Mengurangi ruang yang tersedia bagi sekelompok ikan Stegastes planifrons sampai sekitar 50 % ternyata tidak berpengaruh selama setahun terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan maupun kondisi reproduksi ikan tersebut.

Sale (1991) dalam Sale (1991) mengutip laporan mengenai interaksi dua ikan pomacentridae penghuni karang yang terjadi dalam kelompok-kelompok kecil yang menempati ujung cabang karang di Great Barrier Reef. Dascyllus aruanus dan Dascyllus reticulatus secara bersama-sama mempertahankan karang sarangnya dari ikan lain yang berusaha mendekat. Telah dilakukan penelitian yang difokuskan pada kemungkinan pengaruh pertahanan aktif ini terhadap peremajaan ikan juvenil yang baru tiba. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ikan juvenil ini lebih menyukai karang yang dihuni oleh ikan dari spesies yang sama, dan menghindari karang yang dihuni oleh ikan dari genus yang sama. Penelitian juga menunjukkan bahwa ikan dari genus yang sama lebih kuat terpisah di dalam distribusinya di antara karang-karang sekitarnya. Disimpulkan pula bahwa spesies-spesies ikan tertentu lebih suka untuk melakukan peremajaan di ujung karang yang kosong daripada di bagian karang yang dihuni oleh ikan lain. Bagaimanapun, karena proses yang bekerja tampaknya lebih berupa pemilihan habitat oleh juvenil yang sedang menetap daripada pengusiran oleh ikan dewasa (mereka melakukan peremajaan pada malam hari ketika ikan dewasa sedang tidur), pemisahan kedua spesies ini secara teknis bukan merupakan akibat langsung persaingan.

Baca juga
Pembentukan, Pertumbuhan, Migrasi dan Keragaman Terumbu Karang

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Struktur Komunitas Ikan Karang

Hixon (1991) dalam Sale (1991) menyatakan bahwa secara keseluruhan bukti-bukti tidak cukup untuk menyimpulkan secara jelas bahwa piscivora (pemangsa ikan) sangat mempengaruhi kelimpahan relatif, kelimpahan mutlak dan struktur komunitas ikan karang dalam banyak sistem. Bukti-bukti tak langsung menunjukkan bahwa pemangsaan ikan merupakan agen penseleksi kuat yang menentukan morfologi dan perilaku ikan karang secara beragam dan meyakinkan. Semua spesies melewati masa dewasa dengan mengalami mortalitas yang tinggi tak lama setelah menetap, tampaknya disebabkan oleh tingginya tingkat pemangsaan terhadap individu yang baru melakukan peremajaan. Dengan memperhatikan pengaruh piscivora terhadap keragaman ikan mangsa lokal, disimpulkan bahwa ada hubungan terbalik yang nyata antara kelimpahan piscivora dan keragaman spesies mangsa.

Pengaruh Luas Penutupan Karang Hidup Terhadap Keragaman Ikan Karang

Bell dan Galzin (1984) mempelajari pengaruh persentase penutupan (oleh) karang hidup terhadap jumlah spesies dan individu ikan dengan mensensus ikan dari serangkaian karang, yang kekomplekan strukturnya dapat disamakan tetapi proporsi karang hidupnya berbeda, di laguna Mataiva Atoll, Kepulauan Tuamotu. Analisa regresi menunjukkan adanya hubungan positif yang nyata (P < 0,001) antara penutupan karang hidup dan jumlah total spesies, jumlah spesies dan jumlah individu. Perubahan luas penutupan karang hidup yang diduga sekecil 0 % sampai < 2 %, dan < 2 % sampai < 5 %, menyebabkan peningkatan secara nyata jumlah total spesies dan jumlah individu. Perubahan luas penutupan 0 % menjadi 2 sampai < 5 % menyebabkan peningkatan secara nyata jumlah spesies ikan karang. Keragaman spesies ikan Chaetodontidae, Pomacentridae, Labridae, Scaridae, Acanthuridae dan Gobiidae naik dengan meningkatnya luas penutupan karang hidup, sementara keragaman spesies ikan Apogonidae relatif konstan. Banyak di antara 115 spesies ikan tercatat melakukan diskriminasi terhadap lokasi-lokasi dengan luas penutupan karang hidup berbeda; 68 % hanya ditemukan pada lokasi dengan beberapa karang hidup, sementara 29 % umum ditemukan pada lokasi dengan atau tanpa karang hidup, dan 3 % hanya ada pada lokasi di mana semua karang telah mati. Komposisi spesies pada lokasi dari zona penutupan karang hidup yang sama lebih serupa satu sama lain dibandingkan pada lokasi dari zona-zona yang berbeda.

Baca juga
Terumbu Karang Buatan : Pengaruh Terhadap Komunitas Ikan

Keragaman Makanan Ikan Karang

Bell dan Galzin (1984) mengulas beberapa literatur mengenai pengaruh karang hidup terhadap komunitas ikan karang. Hubungan antara kekomplekan topografi terumbu karang dan keragaman komunitas ikannya menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan karang dapat dipengaruhi oleh kekomplekan fisik substrat. Meningkatnya luas permukaan meningkatkan keragaman tempat berlindung dan/atau tempat mencari makan, sehingga meningkatkan keragaman spesies. Ikan Pomacentridae merupakan pemakan plankton sedangkan Lutjanus fulvus memakan bentos pada substrat lunak. Ikan gobi, Amblygobius phalaena dan Amblygobius nocturnus, hidup dan diduga mencari makan pada substrat lunak di sekitar tepian terumbu. Di antara anggota kelompok ini yang memakan organisme yang berasosiasi dengan terumbu, apogonidae Cheilodipterus quinquelineatus merupakan predator generalis yang memangsa krustasea besar dan ikan kecil, sedang Chaetodon auriga dan Chaetodon ephippium memakan makanan yang paling beragam di antara famili chaetodontidae. Apogonidae, yang menunjukkan diskriminasi lemah dalam hal keragaman spesies antar zona karang, mencakup spesies generalis yang sangat bersifat makrofagik (pemakan makro) yang bermigrasi dari terumbu pada malam hari untuk mencari makan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Perbandingan Komunitas Ikan Karang di Terumbu Alami dan Terumbu Ban

Chou et al. (1992) dalam Silvestre et al (1992) mengamati komunitas ikan karang di terumbu alami dan terumbu yang terbuat dari ban di perairan pesisir Brunei Darussalam. Terumbu ban terdiri dari 100 sampai 300 unit ban yang diikat longgar bersama-sama oleh seutas tali (sehingga membentuk profil rendah) dan kedua ujung tali diberati blok-blok beton. Terumbu ban ini kira-kira seluas 35.000 m2 yang menutupi basin berpasir dan dikelilngi oleh beberapa terumbu bercak alami kecil. Terumbu ban tampaknya menjadi semacam perluasan terumbu alami di sekitarnya, dikoloni oleh spesies terumbu alami dalam jumlah agak banyak. Rendahnya profil modul ban membuat lingkungannya mirip seperti terumbu alami, dengan sumber makanan dan tempat perlindungannya. Bagaimanapun, komunitas ikan, meskipun sama, tidak persis sama dengan terumbu alami seperti terlihat dari rendahnya kelimpahan dan keragaman ikan karang kecil penghuni-tetap seperti damselfish, ikan wrasse, dan ikan indikator butterfly fish.

Baca juga
Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Terumbu ban tampaknya menyediakan habitat bagi lebih banyak spesies ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap, ikan pisang-pisang dan sweetlip berukuran lebih besar, dibandingkan pada terumbu alami. Celah-celah besar yang disediakan oleh ban tampaknya menarik spesies-spesies besar, terutama kerapu dan kakap. Pergerakan alga dan organisme laut lain pada ban, besarnya jumlah ikan-ikan kecil (terutama Apogon spp., demselfish, wrasse kecil dan juvenil ikan lain) serta invertebrata lain yang hidup bebas menyediakan sumber makanan penting bagi ikan herbivora (ikan kakak tua dan beronang) maupun karnivora (kakap, carangidae dan kerapu). Bisa dilihat bahwa ada perbedaan kecil dalam hal komposisi spesies ikan karang di kedua habitat tersebut. Ikan sweetlip (Plectorhynchus) lebih melimpah di terumbu ban, sedangkan spesies kakap dan beronang yang banyak terdapat pada terumbu alami tampaknya digantikan oleh spesies lain di terumbu ban. Ikan pisang-pisang, bagaimanapun, tetap menjadi ikan ekonomis yang paling melimpah.

Pergantian Ikan Siang dan Ikan Malam Pada Komunitas Ikan Karang Di Daerah Tropis dan Daerah Beriklim-Sedang

Ebeling dan Hixon (1991) dalam Sale (1991) menyatakan bahwa pada terumbu tropis maupun terumbu di daerah beriklim-sedang, ikan karang menunjukkan siklus harian dalam hal aktivitas. Periode senja yang tenang menandai peralihan antara penghunian kolom air oleh spesies ikan khusus karnivora kecil dan herbivora yang aktif siang hari yang digantikan oleh spesies umum karnivora berukuran sedang yang aktif malam hari. Ikan pemakan-ikan (piscivora) berukuran besar paling aktif pada dan sekitar periode tenang ini ketika ikan-ikan kecil sangat mudah ditangkap. Struktur pola tingkah laku harian ini tampaknya paling baik pada komunitas ikan terumbu karang daerah tropis, dan struktur tingkah laku ini melemah pada komunitas ikan karang daerah beriklim sedang-hangat dan sedang-dingin, yang kurang beragam dan mencakup lebih sedikit spesies ikan karang dibandingkan daerah tropis.

Baca juga
Struktur Komunitas Ikan Karang

Kondisi Ikan Karang Setelah Kerusakan Terumbu Karang

Sale (1991) dalam Sale (1991) mengumpulkan informasi mengenai kondisi ikan karang setelah terumbu habitatnya mengalami gangguan. Angin badai dapat menyebabkan perubahan mendadak dan dramatis dalam hal karakteristik suatu terumbu, meskipun perubahan ini dapat juga sangat terbatas dalam kisaran setempat. Angin badai yang hebat dapat melenyapkan, bahkan membunuh, ikan karang dan gangguan ini sudah pasti menyebabkan perubahan lokal yang nyata dalam hal ciri-ciri habitat. Di daerah sub tropis seperti Florida, suhu yang lebih dingin daripada suhu musim dingin normal dapat menyebabkan kematian hebat ikan karang sehingga ada habitat yang kosong. Ikan karang tampaknya lambat memanfaatkan peningkatan ketersediaan habitat atau makanan setelah badai atau gangguan lain. Kematian karang yang luas, dengan sebab apapun, biasanya diikuti oleh perkembangan hamparan alga yang menumbuhi reruntuhan karang. Namun, perkembangan hamparan alga ini tidak mempengaruhi kepadatan spesies ikan herbivora di terumbu tersebut. Ledakan populasi bulu babi herbivora, Diadema antillarum, bisa menyebabkan kerusakan karang yang luas. Kematian akibat penyakit pada bulu babi tersebut di seluruh Karibia selama awal tahun 1980-an menyebabkan hamparan alga mengalami peningkatan kelimpahan yang cukup besar. Namun, peningkatan kelimpahan hamparan alga tersebut hanya memberikan sedikit peningkatan kelimpahan ikan herbivora lokal.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 09 Desember 2012

Pupuk Organik Versus Pupuk Anorganik Untuk Kolam Ikan

Arsip Cofa No. C 112

Macam-Macam dan Sifat-Sifat Pupuk Organik Untuk Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa banyak ragam bahan digunakan sebagai pupuk organik dalam kolam ikan, di antaranya adalah sebagai berikut : rumput, dedaunan dan buluh tumbuhan; kotoran cair dari fasilitas penampung limbah ternak; air selokan; limbah industri dari pabrik penyulingan, kulit dan susu, pemurnian gula, dan pabrik pengalengan ikan; kotoran ternak; tahi; ampas biji kapas, kacang tanah dan bunga matahari; limbah kedelai; tepung biji kapas; dan jerami kering. Banyak limbah produk lain mungkin juga sesuai untuk pupuk organik, di antaranya adalah limbah cair. Walaupun limbah cair seperti air selokan telah lama digunakan untuk produksi ikan, namun baru akhir-akhir ini menarik perhatian untuk dipelajari. Limbah cair menyediakan lingkungan yang kaya akan zat hara bagi produksi ikan, dan aktivitas makan yang dilakukan ikan mengurangi beban bahan organik dalam limbah itu. Demikianlah, produksi ikan dalam limbah cair dipandang oleh sebagian orang sebagai metode yang masuk akal untuk memurnikan air.

Menurut Boyd (1982), sifat bahan organik dan perlakuan sebelumnya menentukan kadar air dan kandungan zat hara primer pupuk itu. Konsentrasi zat-zat hara primer sangat bervariasi antar rabuk, akan tetapi rabuk mempunyai persentase zat-zat hara primer yang lebih rendah daripada pupuk kimia. Satu kilogram diamonium fosfat (18-46-0) mengandung nitrogen sebanyak kandungan pada 36 kg tahi sapi perah dan mengandung P2O5 sebanyak kandungan pada 230 kg tahi ini. Karena keragamannya, daftar rasio zat hara dalam rabuk memiliki arti yang kecil. Analisis kimia merupakan satu-satunya cara yang meyakinkan untuk menentukan kandungan zat-zat hara primer suatu pupuk organik.

Baca juga
Komposisi Kimia Air di Perairan Darat

Pengaruh Pupuk Anorganik Pada Kolam Ikan Yang Diberi Pupuk Organik

Fox et al. (1992) mempelajari pengaruh penambahan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan ikan juvenil walleye (Stizostedion vitreum) serta produksi dan ketersediaan pakan alami di kolam pemeliharaan yang diberi pupuk organik. Tiga kolam kontrol dipupuk dengan ampas tepung kedelai. Kolam-kolam lain diberi pupuk yang sama dengan dosis sama, tetapi ditambah dengan pupuk organik 8-32-16, dilarutkan dalam wadah terapung, dan diberikan sebanyak 2,8 gram P2O5 ekuivalen/m3 per minggu. Ikan walleye umur 2 hari ditebarkan di kolam. Walleye di kolam yang dipupuk anorganik tumbuh lebih cepat, dan beratnya hampir dua kali berat ikan di kolam kontrol pada saat panen. Kelangsungan hidup tidak berbeda nyata antar perlakuan. Walapun kepadatan Daphnia tidak berbeda nyata antar perlakuan, namun populasi Daphnia bertahan lebih lama di kolam yang diberi pupuk anorganik meski laju pemangsaan oleh ikan lebih tinggi. Perbaikan pertumbuhan ikan walleye di kolam yang diberi tambahan pupuk anorganik tampaknya disebablan oleh lebih tingginya produksi Daphnia, plankton mangsa utama yang dimakan ikan ini.

Baca juga
Peran Kalium Bagi Kolam, Udang dan Ikan

Untung-Rugi Penggunaan Pupuk Organik Untuk Kolam Ikan

Boyd (1982), berdasarkan laporan-laporan penelitian lain, mengulas praktek penggunaan pupuk organik untuk kolam ikan. Gabungan pemberian pakan berupa pelet dan pemupukan organik menghasilkan produksi ikan yang tinggi. Sebagai contoh, produksi ikan karper meningkat di kolam yang diberi pelet pakan ketika kotoran ayam atau rabuk ternak cair diberikan sebanyak 5 kg/ha berat kering selama 5 hari per minggu. Tahi sapi segar (rabuk padat) berdampak negatif terhadap produksi ikan karper, dan pemupukan kimia tidak seefektif kotoran ayam atau rabuk ternak cair dalam meningkatkan produksi ikan. Dalam sebuah penelitian, rabuk ternak cair diganti dengan pelet pakan ikan pada sistem polikultur. Rata-rata produksi ikan di kolam yang hanya diberi rabuk ternak cair adalah 32 kg/ha sedang produksi ikan di kolam yang diberi pakan pelet komersial adalah 50 kg/ha.

Menurut Boyd (1982) hasil-hasil percobaan menunjukkan bahwa pupuk organik berguna dalam meningkatkan produksi ikan. Pupuk organik dalam jumlah besar yang diperlukan tidak selalu tersedia, sulit ditangani, dan bisa menyebabkan kehabisan oksigen terlarut atau masalah ekologis lainnya. Namun demikian, di banyak daerah pupuk kimia tidak tersedia atau terlalu mahal untuk digunakan di kolam ikan. Di daerah-daerah ini, penggunaan rabuk bisa ditingkatkan karena pemberian bahan organik merupakan satu-satunya cara yang ada untuk meningkakan produksi ikan. Bahkan di negara-negara yang teknologinya maju adalah bijaksana untuk menggunakan limbah organik yang ada dalam meningkatkan produksi ikan. Praktek ini mengubah limbah menjadi barang yang berguna dan menghemat pupuk kimia dan pakan. Disimpulkan bahwa pakan kaya-protein menghasilkan produksi ikan maksimum per satuan yang lebih tinggi daripada yang dihasilkan oleh rabuk namun tingginya harga pakan kaya-protein menghalangi penggunaannya di sebagian besar negara tropis.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Perbandingan Pupuk Organik dan Anorganik Dalam Meningkakan Produksi Ikan Budidaya

Beberapa orang menunjukan bahwa pupuk organik bisa menghasilkan produksi ikan tepat sebanyak yang bisa dihasilkan oleh pupuk kimia. Boyd (1982) meringkas laporan-laporan mengenai hal ini. Dilaporkan bahwa pemberian 15.000 kg/ha rabuk sapi menghasilkan rata-rata produksi ikan 300 kg/ha sementara kolam kontrol menghasilkan 97 kg/ha ikan. Pada percobaan yang sama, berbagai perlakuan dengan pupuk kimia menghasilkan rata-rata produksi ikan 243 – 373 kg/ha. Telah dilakukan dua penelitian yang menyimpulkan bahwa pupuk organik menghasilkan cukup banyak peningkatan produksi ikan bluegill di kolam. Pemupukan organik bisa disamakan dengan pemupukan kimia dalam meningkatkan produksi ikan sunfish. Penelitian lain melaporkan bahwa telah diperoleh rata-rata produksi Tilapia sebanyak 1.646 kg/ha di kolam yang diberi rabuk ternak dua kali sehari dengan jumlah total rabuk segar yang diberikan adalah 28.381 kg/ha (5.392 kg/ha berat kering). Bagaimanapun, pemberian hanya 3.521 kg/ha pakan ikan komersial (36 % protein kasar) ke kolam lain menghasilkan produksi Tilapia sebanyak 2.663 kg/ha. Jelas bahwa rabuk merupakan pakan ikan yang mutunya agak rendah.

Baca juga
Dinamika Zat Hara di Estuaria

Produktivitas Kolam Ikan Yang Dipupuk Kandang dan Pupuk Anorganik

Quiros Castelan et al. (1992) menyatakan bahwa pendugaan produktivitas primer dan komposisi komunitas fitoplankton di kolam ikan yang dipupuk secara intensif adalah sangat penting karena menentukan beberapa karakteristik lingkungan khusus yang merupakan informasi yang sangat berguna dalam memilih spesies ikan yang akan dibudidaya. Tiga kolam ikan polikultur tradisional telah diberi pupuk organik dan pupuk mineral sehingga menghasilkan kelimpahan fitoplankton 300.000 – 570.000 organisme/ml yang didominasi oleh chlorophyta. Nilai tertinggi untuk produktivitas kotor adalah 5,62 dan 6,84 mg karbon/liter/3 jam di kolam yang diberi kotoran ternak dan pupuk mineral, berturut-turut; kolam-kolam ini dianggap eutrofik (subur).

Baca juga
Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Keunggulan Pupuk Anorganik Dibandingkan Pupuk Organik Bagi Plankton Kolam, Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan

Qin dan Culver (1992) membandingkan dua metode pemupukan, yaitu pemberian pupuk anorganik versus gabungan pupuk anorganik dan organik, di empat kolam dengan dua ulangan untuk setiap perlakuan padat penebaran larva ikan walleye (Stizostedion vitreus) 244.000/ha. Kelangsungan hidup dan panjang total ikan rata-rata, berturut-turut, adalah 77,9 % dan 38,9 mm di kolam yang diberi pupuk anorganik, serta 2,5 % (?) dan 49,2 mm di kolam yang diberi gabungan pupuk anorganik dan organik. Tidak ada perbedaan nyata untuk kelimpahan total zooplankton (P > 0,15) dan fitoplankton (P > 0,34) antara kedua perlakuan, tetapi rata-rata konsentrasi oksigen terlarut di dasar kolam secara nyata lebih rendah di kolam yang diberi gabungan pupuk anorganik dan organik (6,8 mg O2/liter) dibandingkan di kolam yang diberi pupuk anorganik (10,4 mg O2/liter ; P < 0,021). Tingginya mortalitas ikan di kolam yang diberi gabungan pupuk anorganik dan organik mungkin disebabkan oleh rendahnya konsentrasi oksigen terlarut, atau akibat keracunan amonia. Diduga bahwa di kolam pembenihan yang diisi dengan air danau, penggunaan pupuk anorganik saja (N : P = 20,1) akan memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan pupuk gabungan anorganik dan organik.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 06 Desember 2012

Gonad Ikan dan Avertebrata

Arsip Cofa No. C 111

Anatomi Gonad Ikan

Menurut Hickman dan Hickman (1974), ikan teleostei menunjukkan banyak tipe pola reproduksi seksual. Meskipun kondisi hermafrodit kadang terjadi secara abnormal pada banyak spesies, hanya satu atau dua famili (sebagai contoh, Serranidae) yang benar-benar hemafrodit. Pada ikan hermafrodit, gonad masing-masing terbagi menjadi zona testikular (penghasil testis) dan zona ovarian. Ikan Poecilia formosa yang ditemukan di Texas merupakan contoh yang baik mengenai tipe partenogenesis yang aneh yang disebut pseudogamy, atau ginogenesis. Proses ini melibatkan pemasukan dan pengaktivan sebutir telur oleh sebuah spermatozoa yang nukleusnya tidak melakukan peleburan genetik dengan nukleus sel telur. Sperma dihasilkan oleh ikan jantan dari spesies yang berkaitan, tetapi keturunannya semua mirip induk betina karena mereka secara genetik sama.

Baca juga
Morfologi dan Perkembangan Telur, Embryo dan Larva Ikan

Hickman dan Hickman (1974) menambahkan bahwa testis biasanya berupa organ keputihan memanjang yang terbagi menjadi lobula-lobula yang mengandung kista-kista berisi sel kelamin yang matang. Di dalam setiap kista, sel-sel yang matang selalu dalam tahap perkembangan yang sama. Lobula-lobula tadi bermuara ke dalam saluran spermatik (dengan lapisan sekretori), yang memanjang menuju sinus urogenital. Ikan jantan seringkali menjadi matang kelamin sebelum ikan betina, dan testisnya mungkin aktif sepanjang tahun; pada ikan lainnya aktivitas reproduktif testis bersifat musiman yang teratur. Ovari bisa memanjang sepanjang rongga perut dan tersusun dari banyak folikel ovari yang disokong oleh jaringan penghubung. Ovari, dengan selubung membran, kadang menyatu dengan oviduct, atau ovari tanpa pembungkus dan mengeluarkan telur-telurnya ke dalam rongga peritoneal (rongga perut), kemudian telur-telur ini masuk ke dalam oviduct (mullerian duct). Oviduct yang berpasangan kadang-kadang bermuara pada lubang urogenital di belakang anus, atau bermuara pada lubang kelamin (genital pore). Beberapa ikan seperti trout dan salmon tidak memiliki oviduct; jenis ikan lainnya seperti sidat air tawar tidak mempunyai saluran sperma maupun oviduct. Biasanya telur dihasilkan secara musiman pada waktu-waktu yang tertentu dan ovari menjadi tidak aktif di luar waktu-waktu ini. Beberapa ikan (sebagai contoh, ikan hake) dikenal mempunyai ovari yang aktif sepanjang waktu. Beberapa ikan seperti ikan cod memproduksi sangat banyak telur (9 juta butir telur pernah ditemukan dalam ovari seekor ikan betina).

Baca juga
Penyimpanan-Beku dan Penyimpanan-Dingin Telur dan Sperma Ikan

Variasi Berat Gonad dan Ciri Seksual Sekunder Ikan Zacco

Katano (1990) melaporkan bahwa hubungan antara panjang badan, berat gonad dan berat badan serta ciri-ciri seksual sekunder pada ikan dark chub, Zacco temmincki, telah dianalisa dengan merujuk variasinya. Baik faktor kondisi maupun gonadosomatik indek (GSI) meningkat tajam dalam musim pra-kawin. Ukuran tubuh berkorelasi positif dengan nilai GSI untuk ikan betina, kecuali pada periode pasca pemijahan, tetapi berkorelasi negatif atau tidak berkorelasi untuk ikan jantan. Variasi individual faktor kondisi dan nilai GSI juga meningkat pada musim pra-kawin dan musim kawin. Warna-pemijahan dan organ-organ mutiara pada kepala berkembang pada kedua jenis kelamin sepanjang tahun, dan paling menyolok pada ikan jantan dalam musim kawin. Organ-organ mutiara pada sirip dubur hanya berkembang pada ikan jantan dalam musim kawin. Perkembangan ciri-ciri seksual sekunder ini tidak harus menunjukkan kematangan seksual maupun tingginya potensi produksi tetapi sangat berhubungan dengan besarnya ukuran tubuh. Warna-pemijahan diyakini berfungsi sebagai sinyal yang menunjukkan perkembangan organ-organ mutiara dan ukuran tubuh. Organ-organ mutiara pada kepala merupakan senjata untuk mengusir ikan-ikan spesies yang sama, sedang organ-organ mutiara pada sirip dubur menjadi alat untuk mengubur telur pada perilaku pemijahan.

Baca juga
Sperma Ikan : Morfologi, Daya Gerak dan Kualitas

Pengaruh Suhu dan Fotoperiode Terhadap Perkembangan Gonad Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa meskipun organisasi internalnya rumit, banyak ikan daerah beriklim sedang memulai perkembangan gonad semata-mata sebagai respon terhadap perubahan suhu dan fotoperiode musiman. Pada ikan pumpkinseed sunfish (Lepomis gibbosus), sebagai contoh, perkembangan gonadnya secara khas dimulai pada akhir Mei ketika suhu air kolam melebihi 12,5 oC dan panjang siang mendekati 15 jam. Percobaan laboratorium menunjukkan, bagaimanapun, bahwa panjang siang minimum yang sebenarnya adalah antara 12,0 dan 13,5 jam dan bahwa suhu minimum sekitar 14 oC diperlukan pada saat yang sama. Ikan betina mungkin mempunyai persyaratan suhu yang sedikit lebih tinggi daripada ikan jantan. Baik suhu hangat maupun fotoperiode (dalam hal ini panjang siang hari) yang lama itu saja tidak memiliki banyak pengaruh. Setelah memijah dalam bulan Agustus, tidak ada pembaharuan aktivitas gonad, meskipun panjang siang dan suhu melebihi nilai minimum yang diperlukan untuk perkembangan gonad; hal ini menunjukkan bahwa juga ada periode yang pasif setelah pemijahan. Suhu hangat (17,5 oC) dan fotoperiode yang singkat (10,5 jam) menyebabkan penyusutan gonad. Ikan lain yang memiliki pola reproduksi serupa mencakup ikan minnow (Phoxinus laevis), medaka (Oryzias latipes), stickleback (Gasterosteus aculeatus) dan sunfish (Lepomis cyanellus). Di daerah tropis, di mana musim dominan hanyalah kemarau dan hujan, pemijahan sering terjadi pada permulaan musim hujan. Pola reproduksi seperti ini yang ditandai oleh perubahan lingkungan mengkoordinasi perkembangan seksual kedua jenis kelamin dan menjamin kondisi lingkungan yang sesuai bagi perkembangan tahap awal anak ikan yang akan dihasilkan. Kondisi ini diperantarai oleh kelenjar-kelenjar endokrin yang mempengaruhi perilaku dan fisiologi ikan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kematangan Gonad Bandeng Budidaya secara Alami

Marte et al. (1988), berdasarkan laporan beberapa penelitan lain, menyimpulkan bahwa ikan bandeng (Chanos chanos) secara spontan matang gonad pada berbagai kondisi pemeliharaan, tetapi faktor-faktor yang memicu kematangan gonad pertama kali belum dipahami dengan baik. Di Taiwan dan Hawaii, ikan bandeng yang dipelihara di dalam tangki secara spontan matang gonad untuk pertama kali pada umur 6 tahun atau lebih, tetapi persentase ikan yang mencapai kematangan sempurna adalah rendah dan tidak ada yang memijah tanpa rangsangan hormon. Pematangan dan pemijahan ikan bandeng yang dipelihara dalam kolam di Taiwan telah dilaporkan oleh Lin tahun 1982 dan 1984. Bagaimanapun, ikan pertama kali matang gonad pada umur 9 sampai 10 tahun. Demikian pula, bandeng umur 11 – 12 tahun yang dipelihara dalam tangki di Gondol, Indonesia, matang gonad dan memijah secara spontan. Kematangan gonad secara spontan dan pemijahan alami terjadi pada hampir semua bandeng umur 5 tahun yang dipelihara dalam kurungan.

Pembalikan Jenis Kelamin Pada Ikan

Chan dan Yeung (1983) dalam Hoar et al. (1983) sependapat dengan pernyataan bahwa dualitas genetik dan fisiologi sel reproduktif membentuk basis fundamental seksualitas pada organisme hidup. Pada vertebrata, dimorfisme seksual lebih lanjut ditunjukkan oleh jenis kelamin gonad, jenis kelamin tubuh dan jenis kelamin perilaku. Evolusi sistem seksual kompleks tak diragukan merupakan hasil seleksi alam,dan kemunculan sifat-sifat seksual tertentu seringkali dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan berfungsi meningkatkan keberhasilan reproduksi spesies tersebut. Di alam, pengendali jenis kelamin terutama adalah genetik, dan pengungkapan gen(-gen) seks mewujudkan diri dalam organ-organ seks primer. Gonad yang berdiferensiasi, terutama testes, selanjutnya mensekresi steroid dan substansi non steroid, seperti hormon anti-Mullerian, yang mengendalikan diferensiasi jenis kelamin tubuh dan jenis kelamin perilaku. Meskipun penentu utama jenis kelamin ada dalam gen individu, perubahan dari jenis kelamin genotip menjadi jenis kelamin fenotip hanya dilakukan oleh proses biokimia, yang mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Jadi, pengendalian jenis kelamin ikan, seperti pada kebanyakan organisme lain, dikendalikan oleh faktor genetik (intrinsik) maupun lingkungan (ekstrinsik). Perlu ditekankan di sini bahwa pembalikan seks alami jangan dikacaukan dengan pembalikan seks eksperimental. Yang pertama menyatakan pembalikan seks yang terjadi sebagai proses spontan di bawah kondisi alami pada spesies hermaprodit, sementara pembalikan seks alami pada teleostei menyebabkan berbagai pola hermaproditisme yang berfungsi seberhasil gonochorisme. Yang terakhir biasanya melibatkan manipulasi buatan terhadap diferensiasi seks embryo pada spesies gonochoris normal, sehingga jenis kelamin fenotip berbeda dengan jenis kelamin genotip.

Pembalikan seks, perubahan individu dari satu jenis kelamin menjadi jenis kelamin yang lain, telah didefinisikan oleh Atz pada tahun 1964 sebagai perubahan “dari kepemilikan jaringan ovari yang dapat dikenali menjadi kepemilikan jaringan testes yang dapat dikenali atau sebaliknya”. Arti yang luas dari istilah ini, sekalipun telah ditambah keterangan penjelas-diri seperti pembalikan seks “fungsional”, tidak dapat membedakan antara pembalikan seks gonochoris (buatan) di mana jenis kelamin fenotip fungsional berbeda dengan jenis kelamin genotip dan pembalikan seks hermaprodit-berurutan/”consecutive hermaphrodite” (alami) di mana kedua jenis kelamin berfungsi dalam urutan sementara selama masa hidupnya. Reinboth pada tahun 1970 mengusulkan untuk meninggalkan istilah “pembalikan seks” dalam pembahasan mengenai “ambosexual (intersexual)” pada ikan dengan alasan bahwa istilah ini “bisa memiliki arti kembali ke kondisi seks primer’; ia mengajukan istilah yang lebih netral “sex inversion” (penukaran seks) yang didefinisikan oleh Atz sebagai “kondisi yang dicapai suatu individu dari suatu jenis kelamin serupa dengan jenis kelamin lawannya, tetapi tidak memiliki jaringan gonad yang dapat-dikenali dari jenis kelamin tersebut”. Jadi, istilah yang sama digunakan oleh kedua peneliti untuk pengertian yang sangat berbeda. Istilah yang lebih baru adalah “sex succession” untuk menyatakan sifat sementara pembalikan seks (sex reversal) yang terjadi pada hermaprodit-berurutan. Istilah suksesi seks lebih tepat daripada pembalikan seks bagi spesies hermaprodit di mana zona-zona dan jaringan heteroseksual ada bersama-sama sebelum perubahan seks; perubahan seks dalam kasus ini pada kenyataannya merupakan kejadian ontogenetik di mana jaringan jantan dan betina yang telah ada mengalami serangkaian pola suksesi kematangan seks (Chan dan Yeung, 1983, dalam Hoar et al., 1983).

Baca juga
Penyimpanan Sperma Ikan Jangka-Panjang Dengan Cara Pembekuan Dalam Nitrogen Cair

Efektivitas Hormon Steroid Sintetis Dalam Merangsang Pembalikan Jenis Kelamin Ikan

Hunter dan Donaldson (1983) dalam Hoar et al. (1983) menyatakan bahwa meskipun telah banyak jenis steroid alami dan buatan yang berhasil merangsang pembalikan jenis kelamin (sex reversal), namun aktivitas biologis individualnya berbeda. Secara umum, androgen sintetis lebih berpotensi daripada androgen alami. Androgen sintetis yang paling potensial adalah 19-nor-ethynyltestosterone, yang menghasilkan 50 % pembalikan jenis kelamin pada dosis 1,0 mg/kg pakan. Yang kurang potensial adalah fluoxyinesterone 1,2 mg/kg, ethynyltestosterone 3,4 mg/kg, methylandrostenediol 7,8 mg/kg, methyltestosterone 15 mg/kg, dan testosterone propionate 560 mg/kg. Androgen alami termasuk androstenedione 500 mg/kg dan androsterone 580 mg/kg. Telah dibuktikan bahwa 11-ketotestosterone merupakan androgen alami yang paling potensial pada dosis 110 mg/kg. Demikian pula, estrogen-estrogen sintetis hexesterol, euvastin dan ethylestradiol memberikan 50 % pembalikan jenis kelamin pada dosis 0,5 , 0,8 dan 1,7 (mg/kg), berturut-turut. Untuk mencapai 50 % pembalikan jenis kelamin, maka estradiol, estrone dan estriol alami membutuhkan dosis 5,8 ,20 dan 130 mg/kg pakan. Hasil-hasil seperti ini bisa diharapkan karena baik estrone maupun estriol merupakan produk metabolik estradiol. Demikian pula, 11-ketotestosteron telah ditunjukkan jauh lebih potensial daripada testosterone dalam merangsang pembalikan jenis kelamin pada ikan Poecilia reticulata. Lebih tingginya potensi steroid sintetis (dibandingkan steroid alami) yang diberikan lewat mulut disebabkan sebagian oleh ketahanannya terhadap penguraian di dalam saluran pencernaan.

Perkembangan Gonad Ikan Sidat, Anguilla

Deelder (1984), dengan mengutip hasil penelitian lain, melaporkan bahwa gonad seekor ikan sidat (Anguilla) mula-mula tidak dapat dibedakan karena beberapa bagian gonad tersebut cenderung menunjukkan sifat jantan, sebagian lagi betina dan bagian lainnya peralihan jantan-betina. Diferensiasi gonad terjadi dengan berkembangnya unsur-unsur gametogenesis jantan dan menyusutnya unsur-unsur gametogenesis betina atau sebaliknya. Diferensiasi gonad kadang-kadang bisa dikenali pada sidat sepanjang 20 cm atau bahkan lebih kecil lagi. Kebanyakan sidat, bagaimanapun, tetap dalam kondisi seksual yang belum dapat ditentukan hingga mencapai panjang 30 cm atau lebih. Selama perkembangannya, suatu stok ikan sidat menunjukkan perubahan bertahap dari betina ke jantan yang dihubungkan oleh individu-individu berjenis kelamin peralihan. Ada tahap yang cukup lama di mana jenis kelamin sidat tidak dapat ditentukan, dengan sel-sel betina terdapat bersama-sama dengan unsur-unsur jantan; pada yang terakhir ini sifat-sifat seksual tidak muncul karena kematangan gonad tertunda.

Siklus Gonad Oyster Crassostrea

Robinson (1992) mempelajari siklus reproduksi oyster kumamoto (Crassostrea gigas kumamoto) yang dikumpulkan dari daerah oyster komersial di Teluk Yaquina, Oregon, setiap bulan selama periode 3 tahun. Gonad mengandung beberapa gamet matang sepanjang tahun. Frekuensi maksimum oyster matang gonad terjadi pada bulan Agustus – September dan menurun dengan cepat pada Oktober – November sampai minimum pada bulan Maret. Gametogenesis dimulai pada bulan Mei dan sel telur matang pertama kali muncul pada Juni – Juli. Pengkondisian untuk percobaan pemijahan telah dilakukan pada suhu 20 oC dan 24 oC empat kali setahun. Pada suhu 24 oC, produksi gamet terjadi 2 sampai 4 minggu lebih dulu dibandingkan pada suhu 20 oC. Dengan memulai pengkondisian pada bulan Mei atau Juni, periode pengkondisian di laboratorium bisa dikurangi 2 sampai 6 minggu. Kelangsungan hidup larva dan jumlah benih yang terkumpul juga meningkat dengan berkurangnya periode pengkondisian laboratorium. Pada percobaan yang dilakukan dengan 5 macam suhu dan 5 macam salinitas, kondisi optimum untuk pemeliharaan larva berkisar dari 24 sampai 28 oC dan dari 20 sampai 25 ppt.

Penyusutan Gonad Kepiting Akibat Parasit

Vinuesa (1989) melaporkan bahwa dari analisis terhadap 5.000 spesimen king crab Lithodes santolla dan Paralomis granulosa ditemukan bahwa kedua spesies diparasiti oleh rhizocephala Briarosaccus callosus. Gejala utama infeksi ini adalah penyusutan gonad, namun molting (ganti kulit) tidak terpengaruh. Kejadian parasit ini pada kedua spesies adalah sangat jarang, tidak lebih dari 2,2 %. Telah diketahui bahwa kedua spesies juga diparasiti oleh sejenis isopoda bopyridae yang belum dapat diidentifikasi, tetapi kejadiannya sangat jarang dan tidak terlihat ada kelainan internal pada hewan inangnya.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...