Selasa, 30 Oktober 2012

Jaring Apung : Aspek Bioekologi, Ekonomi dan Akuakultur

Arsip Cofa No. C 096

Konsentrasi Fosfor, Karbon dan Nitrogen Dalam Sedimen Danau Di Bawah Jaring Apung

Trojanowski (1991) menganalisis sedimen dasar di danau Letowo dan Szczytno Male, Polandia. Di kedua danau ini terdapat jaring apung untuk membudidayakan ikan trout. Penelitian dilakukan dengan mengukur perubahan konsentrasi karbon organik, total nitrogen dan berbagai bentuk fosfor pada tahun 1981 dan 1984. Studi terhadap inti sedimen dasar danau menunjukkan bahwa persentase protein P, lipida P dan nukleat P dalam bahan kering sedimen adalah berkurang hingga mencapai nilai 0 % pada kedalaman sedimen 10 cm; persentase fosfat fosfor turun sampai mencapai nilai konstan 49 dan 42 mg % di danau Letowo dan Szczytno Male, berturut-turut. Pada musim panas, sedimen tersebut menunjukkan nilai tertinggi (selama tahun tersebut) untuk konsentrasi berbagai bentuk fosfor organik, dan nilai terendah untuk konsentrasi karbon organik, total nitrogen dan fosfor anorganik. Dalam periode ini, konsentrasi karbon organik dan total nitrogen mencapai nilai tertinggi hanya pada sedimen yang ada di bawah jaring apung. Selama tahun-tahun periode penelitian, konsentrasi berbagai jenis zat hara menunjukkan kecenderungan naik.

Baca juga
Perikanan dan Permasalahannya di Indonesia

Budidaya Jaring Apung di Danau dan Pengaruhnya Bagi Perekonomian Nelayan Lokal

Menurut Swar dan Pradhan (1992) budidaya jaring apung di Nepal dimulai di Danau Phewa pada tahun 1972. Saat ini, tiga danau di Lembah Pokhara, Nepal, digunakan untuk budidaya jaring apung, yakni Danau Phewa, Begnas dan Rupa. Spesies utama yang dibudidayakan adalah ikan pemakan plankton Aristichthys nobilis dan Hypophthalmicthys molitrix, yang dipelihara dalam jaring apung yang biasanya terbuat dari nilon atau polietilen, tanpa pemberian makanan tambahan. Padat penebaran bervariasi sesuai dengan tingkat kesuburan danau; di Danau Phewa 6 ikan per m3 sedang di Danau Begnas serta Rupa 10 ikan per m3. Tingkat produksi tahunan per m3 adalah 3,4 kg di danau Phewa, 4,7 kg di Danau Begnas dan 5,0 kg di Danau Rupa. Mortalitas selama periode produksi adalah sekitar 5 %. Sebuah unit dengan 5 jaring apung terbukti menjadi pekerjaan tambahan yang cukup berarti bagi satu keluarga nelayan dan bisa memberi tambahan pendapatan tahunannya sebesar 9.000 – 14.000 Rupee Nepal. Budidaya jaring apung menghadapi beberapa hambatan, terutama kekurangan benih ikan. Sebuah fasilitas pembenihan dan dukungan teknis diperlukan untuk mengembangkan dan mengintensifkan budidaya jaring apung ini di Lembah Pokhara.

Baca juga
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Kemungkinan Membudidayakan Ikan Nila Dalam Jaring Apung

Beltran Galeano (1988) menjelaskan budidaya ikan nila (Sarotherodon niloticus) dalam jaring apung pada tahap percobaan. Hasilnya menunjukkan bahwa semua fase pertumbuhan ikan nila ini bisa berkembang dalam jaring apung; unit produksi minimal ada 8 jaring apung : 4 unit untuk reproduksi-produksi anak ikan, 2 unit untuk pemijahan dan 2 unit untuk penggemukan. Disimpulkan bahwa bahan plastik tidak dapat menahan kekuatan angin.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Ikan Kerapu Dalam Jaring Apung

Chua dan Teng (1980) mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ikan kerapu estuaria, Epinephelus salmoides, dalam jaring apung. Produksi ekonomi ikan kerapu estuari bisa dicapai dengan menyediakan lokasi budidaya yang tepat di mana kualitas airnya bagus, mengelola budidaya secara benar dan merawat jaring apung secara teratur, mencegah penyakit dan memberikan pengobatan yang efisien, memilih padat penebaran yang optimum, memberi pakan yang seimbang dengan frekuensi pemberian pakan yang optimum, memanipulasi perilaku ikan dengan menyediakan tempat-tempat persembunyian buatan, serta memanipulasi karakteristik fisiologis misalnya dengan menggunakan agen perangsang pertumbuhan. Masalah utama dalam budidaya jaring apung adalah banyaknya material yang menempel pada jaring apung sehingga membutuhkan tenaga kerja dan biaya yang besar untuk merawat jaring apung. Masalah lainnya adalah adanya pemangsa, kanibalisme dan pencurian.

Baca juga
Budidaya Ikan Intensif : Padat Penebaran, Kualitas Air dan Penghematan Biaya

Pemijahan Ikan Kerapu di Tangki Beton dan di Jaring Apung

Toledo et al. (1993) mengumpulkan ikan kerapu liar Epinephelus suillus (Valenciennes) pada tahun 1989 sampai awal 1990. Untuk memantau pemijahan alami di tempat terkurung, 6 ikan betina dewasa (3,5 – 5,0 kg) dan 4 ikan jantan dewasa (7 – 12 kg) dipindahkan ke tangki beton berukuran 4,6 x 4,6 x 2 meter, sementara satu ikan betina dewasa (5,3 kg) dipasangkan dengan dua ikan jantan yang siap memijah (berat 6,0 - 6,5 kg) di dalam jaring apung berukuran 4 x 4 x 3 meter. Pemijahan spontan terjadi secara berturut-turut 5 – 17 kali sebulan dari Juli 1990 sampai Juni 1991 (kecuali Mei) di dalam tangki dan 5 – 10 kali sebulan dari Juli sampai Oktober 1990 di dalam jaring apung. Jumlah telur yang dikumpulkan, rata-rata tingkat fertilisasi dan rata-rata tingkat penetasan di dalam tangki dan jaring apung setiap bulan berkisar dari 0,5 – 15,8 juta dan 2,3 – 3,9 juta, 67 – 88 % dan 72 – 89 %, dan 2 – 81 % serta 29 – 68 %, berturut-turut. Permulaan siklus pemijahan bulanan di tangki maupun jaring apung adalah selama periode 3 hari sebelum atau setelah fase bulan seperempat terakhir (atau fase bulan tiga per empat).

Baca juga
Keunggulan dan Kelemahan Sistem Budidaya Polikultur

Polikultur Rumput Laut dan Ikan Karnivora Dalam Jaring Apung

Hurtado-Ponce (1992) melaporkan bahwa budidaya ikan laut dan kerang dalam jaring apung sekarang menjadi cara yang berhasil untuk meningkatkan produksi. Perpaduan budidaya rumput laut bersama ikan dalam jaring apung bisa menghasilkan produksi yang lebih besar. Hal ini terbukti dengan berhasilnya budidaya jaring apung untuk ikan ekor kuning dan ikan red sea bream bersama dengan Laminaria di Jepang, budidaya ikan kerapu besama Gracilaria di Thailand, serta budidaya ikan kakap bersama Gracilariopsis di Filipina. Budidaya terpadu rumput laut dengan ikan karnivora atau kerang dalam jaring apung menyebabkan pemanfaatan sumber daya laut yang lebih baik, mengurangi dampak intensifikasi akuakultur, meminimalkan grazing (aktivitas memakan tumbuhan), dan memaksimalkan produksi.

Hurtado-Ponce (1992) mencoba membudidayakan rumput laut Kappaphycus alvarezii var. tambalang pada rakit bambu berukuran 3 x 3 meter yang ada di dalam jaring apung induk ikan kakap Lates calcarier berukuran 4 x 4 meter di SEAFDEC substasiun Igang, Guimaras, Filipina, dari Desember 1989 sampai Mei 1990. Pertumbuhan dan produksi rumput laut tersebut dipengaruhi oleh bulan musim. Laju pertumbuhan dan produksi tertinggi tercatat pada bulan Januari dan Mei, berturut-turut, sedangkan laju pertumbuhan dan produksi terendah terjadi pada bulan Maret. Total produksi rumput laut sekitar 123 ton (basah) atau 37 ton (kering) per hektar bisa diperoleh dari sistem kultur ini selama periode pemeliharaan 5 bulan. Budidaya Kappaphycus alvarezii var. tambalang di jaring apung adalah mungkin, yang menunjukkan bahwa rumput laut ini bisa ditumbuhkan bersama dengan ikan karnivora, sebuah praktek yang masih jarang dilakukan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 28 Oktober 2012

Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Arsip Cofa No. C 095

Keuntungan Alginat Sebagai Binder dan Sumbernya

Menurut Igbinosun dan Roberts (1988) salah satu keuntungan binder (perekat pelet pakan ikan) adalah memperlambat proses penguraian pelet pakan di dalam air. Hal ini berarti mencegah kehilangan nutrien dan mencegah pembusukan pakan yang bisa menyebabkan kondisi yang buruk, misalnya penurunan konsentrasi oksigen di dalam air kolam. Binder yang digunakan dalam produksi komersial sebagian besar pakan ikan dapat dibagi menjadi dua kelompok : (1) binder bernutrisi seperti molase (tetes gula) bit, kanji dan gluten gandum, dll. (2) binder tak bernutrisi seperti bentonit, gypsum, natrium alginat, karboksil metil selulosa (carboxyl methyl cellulose; CMC). Alginat merupakan polisakarida bergelatin yang ada dalam dinding sel kebanyakan alga tingkat rendah (phaeophyceae). Asam alginat diekstrak secara komersial dari rumput laut terutama kelp raksasa (Macrocystis pyrifera), Laminaria digitata dan Ascophyllum nodosum.

Baca juga
Pakan Buatan Untuk Bandeng (Chanos chanos)

Natrium Alginat Sebagai Binder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ikan

Igbinosun dan Roberts (1988) melaporkan bahwa pelet pakan A, B, C dan D yang mengandung, berturut-turut, 4 %, 3 %, 2 % dan 1 % natrium alginat telah diuji dalam hal stabilitas air yang mencakup lama terapung, laju tenggelam dan “crumbling rate” (laju di mana pakan yang menggumpal menjadi tidak menggumpal, yang dihitung setelah pelet mencapai dasar tangki). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun semua pelet memiliki lama terapung nol, namun pelet kelompok D membutuhkan waktu yang lebih lama untuk tenggelam. Pelet A dan B tenggelam pada laju yang sama. “Crumbling rate” setelah pelet mencapai dasar tangki cenderung berkurang sejalan dengan berkurangnya kadar binder. Ketika pakan kemudian diberikan kepada empat kelompok anak Tilapia selama tujuh minggu, hasilnya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan, efisiensi konversi pakan dan rasio efisiensi protein mengikuti kecenderungan C > D > B > A. Dengan demikian disimpulkan bahwa kadar binder alginat 2 % adalah sangat optimum untuk pakan ikan terutama pakan mujaer.

Baca juga
Tepung Kedelai, Kanji dan Ragi Untuk Pakan Ikan

Pengaruh Binder Dari Alginat dan Guar Gum Terhadap Pertumbuhan Ikan dan Daya Cerna Pakan

Storebakken (1985) menyatakan bahwa binder atau perekat berguna dalam mengurangi limbah dari pakan ikan yang lembab dan basah. Alginat dan “guar gum” umum digunakan dalam pakan ikan salmonidae di Norwegia, dan banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa kedua jenis binder ini menguntungkan untuk dimanfaatkan dalam pakan ikan. Alginat adalah garam dari asam alginat, yang merupakan polimer asam a-1,-4-L-guluronic acid dan ß-1,4-D-mannuronic acid. Asam alginat diekstrak dari rumput laut. Garam asam alginat dari ion-ion monovalen seperti Na+, K+ dan NH4+ bersifat larut dalam air, sedangkan garam dari ion-ion trivalen tidak larut dalam air (kecuali garam dari Mg2+). Baik gugus -OH maupun –COOH pada molekul ini bersiat aktif dalam pengikatan, sehingga memiliki sifat mengental dan membentuk gel. Guar gum merupakan getah dari biji sejenis kacang India (Cyamoposis tetragonolobus), bersifat larut dalam air dan merupakan polimer ß-1,4-D-mannose dan ß-1,4-D-galactose dengan beberapa rantai samping a-1,6. Gugus –OH bertanggung jawab atas kekentalan, yang membuat guar gum berguna sebagai pengental. Binder-binder ini diketahui menurunkan daya cerna pada ikan rainbow trout.

Storebakken (1985) melaporkan bahwa alginat dan “guar gum” telah dicampurkan dengan berbagai konsentrasi ke dalam pakan kering, pakan lembab dan pakan basah ikan rainbow trout (Salmo gairdneri Richardson). Kedua jenis perekat ini menurunkan daya cerna protein dan lemak. Mereka juga mengurangi volume pengambilan makanan dan meningkatkan kadar air tinja ikan. Guar gum memperlambat jalannya makanan melewati saluran pencernaan ikan. Guar gum berkonsentrasi tinggi menurunkan pertumbuhan dan kadar bahan kering serta lemak dalam ikan. Kadar protein, rasio kalsium/fosfor dalam tulang, faktor kondisi, berat organ dalam rongga perut dan berat hati, serta mortalitas tidak dipengaruhi oleh binder-binder ini.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Karakteristik Binder Dalam Pelet Pakan Udang

Dominy dan Lim (1991) dalam Akiyama dan Tan (1991) mempelajari binder dalam pelet pakan udang. Binder yang diuji menunjukkan dua karakteristik yang berbeda, yaitu bentuk struktural dan sifat lengket. Binder yang ideal seharusnya memiliki kedua sifat tersebut. Kedua sifat ini terlihat pada pelet-pelet udang komersial Asia yang diuji. Ada banyak prosedur untuk menentukan stabilitas air pada pelet, dan penafsiran yang benar terhadap hasil penelitian ini sering penting dalam menentukan perkembangan di masa depan bagi penggunaan binder secara tepat. Yang juga penting adalah kondisi pengolahan yang layak bagi formula pakan dan binder agar diperoleh pelet yang stabil dalam air. Bahan-bahan baku yang dipergunakan, terutama tepung kedelai, dan kadarnya dalam formula pakan, merupakan dua pertimbangan yang sangat penting dalam membuat pakan udang yang stabil dalam air. Hal-hal yang juga harus diperhatikan adalah kandungan zat gizi dalam binder, jumlah yang ditambahkan ke formula pakan, dan harganya. Hal yang harus mendapat perhatian lebih lanjut dalam memproduksi pakan udang adalah tipe alat pengolahan dan parameter-parameter yang dapat dicapai dengan peralatan yang ada.

Baca juga
Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

Rumput Laut Sebagai Binder dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anak Ikan Gabus

Hashim dan Mat Saat (1992) mengevaluasi empat jenis rumput laut lokal (Ulva spp., Sargassum spp., Polycavernosa spp. dan Gracilaria spp.) serta karaginan sebagai binder/perekat dalam pakan pelet untuk anak ikan gabus (Channa striatus) selama periode 8 minggu. Lima pakan isonitrogen (berkadar nitogen sama) telah disiapkan dan mengandung setiap jenis binder sebanyak 5 % ditambah tepung gandum 5 %. Pakan kontrol mengandung 10 % tepung gandum. Pakan berbasis karaginan memiliki stabilitas dalam air terbaik sedangkan pakan kontrol yang hanya mengandung tepung gandum memiliki kestabilan terburuk setelah 60 menit. Laju pertumbuhan dan nilai efisiensi pakan terbaik ditemukan pada ikan yang diberi pakan karaginan-tepung gandum. Di antara jenis-jenis rumput laut yang diuji, tepung Ulva spp. memiliki kestabilan air terbaik dan memberikan laju pertumbuhan relatif dan nilai efisiensi pakan tertinggi. Kelangsungan hidup anak ikan tertinggi ditemukan untuk kelompok yang diberi pakan berbasis karaginan sedangkan kelangsungan hidup terendah adalah pada kelompok yang diberi pakan tepung Sargassum spp.

Baca juga
Pakan Buatan Pengganti Cacing Tubifex

Pengaruh Jenis Binder Terhadap Pertumbuhan Juvenil Udang Palaemonidae

Palma et al. (2008) melakukan penelitian untuk membandingkan pengaruh penggunaan dua jenis binder yang tidak memiliki nilai nutrisi, yaitu lignosol dan agar-agar, serta metode perekatan, yaitu “microbinding” (perekatan mikro) dan “microcoating” (penyelubungan mikro), terhadap pertumbuhan juvenil udang Palaemonetes varians dan udang kolam batu Palaemon elegans. Udang diberi satu jenis pakan dasar yang hanya berbeda dalam hal tipe perekat dan metode perekatan (pakan A, lignosol dengan metode microbinding; pakan B, agar-agar dengan metode mirobinding, dan pakan C, lignosol dengan metode microcoating) selama periode 45 hari. Pada akhir percobaan ditemukan perbedaan nyata dalam hal berat basah akhir antara udang yang diberi pakan A dan pakan C serta antara udang yang diberi pakan B dan C (P < 0,001), tetapi tidak ada perbedaan nyata antara pakan A dan pakan B (P > 0,05). Hasil tersebut berlaku untuk kedua spesies udang. Perbedaan nyata ditemukan antara kemiringan garis regresi ketiga pakan yang diuji untuk Palaemonetes varians (F3.411 = 3,41; P < 0,04), dan untuk Palaemon elegans (F3.411 = 10,51; P < 0,0003). Palaemon elegans tumbuh lebih cepat daripada Palaemonetes varians dan pada akhir percobaan perbedaan nyata ditemukan antara kedua spesies dalam hal berat basah akhir (F3.842 = 48,17, P < 0,0001). Parameter-parameter pertumbuhan, perolehan berat, koefisien pertumbuhan satuan-suhu (“thermal-unit growth coefficient”, TGC), dan tingkat konversi pakan selalu lebih tinggi untuk Palaemon elegans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lignosol ataupun agar-agar bisa ditambahkan ke dalam pakan dengan metode microbinding.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 26 Oktober 2012

Keunggulan dan Kelemahan Sistem Budidaya Polikultur

Arsip Cofa No. C 094

Pengaruh Polikultur Terhadap Produksi Ikan Laut, Konsentrasi Oksigen dan Karbon Dioksida Terlarut

Hirata et al. (2007) melakukan pengamatan dengan tujuan untuk mengetahui efek polikultur ikan dan rumput laut terhadap konsentrasi oksigen dan karbon dioksida di dalam air dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, efisiensi makan dan faktor kondisi ikan pada sistem polikultur karamba (karamba A, yang berisi ikan “red sea bream” (Pagrus major) dan alga hijau (Ulva lectuca)) versus sistem monokultur (karamba B, yang berisi ikan red sea bream saja). Percobaan dilakukan dari Agustus 1992 sampai februari 1993. Kedua karamba masing-masing berukuran 7 m x 7 m x 7 m. Ikan red sea bream yang digunakan dalam percobaan ini berumur tiga tahun dengan berat badan rata-rata 654 gram pada awal percobaan, serta merupakan hasil seleksi selama lebih dari 25 tahun. Setiap karamba ditebari 1.750 ekor ikan. Alga yang digunakan adalah varietas Ulva pertusa hasil seleksi setiap dua minggu selama dua tahun. Ulva pertusa dikultur dalam kantong jaring terapung di permukaan karamba A dan dipanen setiap dua minggu. Tanaman yang tumbuh paling baik dalam grup yang dipanen digunakan untuk ditumbuhkan-kembali dalam karamba A. Sisa-sisa alga tersebut kemudian dikeringkan, dihancurkan dan diformulasi menjadi pelet pakan standar red sea bream, dan diberikan kepada ikan dalam karamba A. Ikan dalam karamba kontrol diberi pakan standar red sea bream. Tekanan parsial oksigen terlarut (pO2) dan karbon dioksida (pCO2) di dalam air karamba dan pertumbuhan ikan (berat basah, panjang baku) diukur.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rata-rata pO2 dan pCO2 secara nyata lebih rendah (5,2 %) dalam karamba polikultur daripada dalam karamba kontrol. Hampir semua ikan dalam kedua karamba tetap bertahan hidup selama percobaan. Rata-rata pertumbuhan, rata-rata efisiensi makan dan rata-rata faktor kondisi ikan dalam karamba polikultur adalah, berturut-turut, 3,2 % lebih tinggi, 6,0 % lebih tinggi dan 2,2 % lebih tinggi daripada dalam karamba kontrol. Selain itu, ikan polikultur berwarna lebih merah (dan dengan demikian lebih laku dijual) daripada ikan dalam karamba kontrol. Proyek sederhana ini menunjukkan keuntungan potensial jenis polikultur ini di perairan laut Jepang dan, dari sudut pandang yang lebih luas, keunggulan polikultur alga-ikan secara umum.

Baca juga
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Polikultur Udang Galah Dengan Ikan Danau

Sarig (1992) melakukan percobaan budidaya udang galah Macrobrachium rosenbergii dalam sistem polikultur dengan ikan mas (Cyprinus carpio) dan/atau ikan tilapia (Sarotherodon aureus x Sarotherodon niloticus). Diperoleh hasil yang memuaskan; total pendapatan meningkat antara 17 dan 47 % dan polikultur ini tidak memberikan efek negatif terhadap ikan.

Baca juga
Jaring Apung : Aspek Bioekologi, Ekonomi dan Akuakultur

Keunggulan Polikultur Ikan - Ayam

Pretto Malca (1988) melaporkan beberapa proyek agropiscicultur yang dikembangkan di Panama. Spesies ikan yang dibudidayakan adalah mujaer, ikan mas dan silver carp. Budidaya ikan digabungkan dengan pemeliharaan babi, bebek, ayam dan sapi perah. Ternyata bahwa budidaya yang paling menguntungkan adalah polikultur ikan - ayam.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Polikultur Menghasilkan Produksi Ikan Yang Lebih Tinggi Daripada Monokultur

Boyd (1982) menyatakan bahwa kombinasi beberapa spesies (polikultur) memberikan produksi ikan yang lebih tinggi daripada yang bisa diperoleh dengan satu spesies (monokultur) karena organisme makanan yang tidak dimakan oleh satu spesies bisa dimakan oleh spesies lain. Bila kombinasi spesies yang dipilih tepat, maka akan ada sedikit persaingan antara ikan-ikan polikultur. Sebagai contoh, di kolam channel catfish yang diberi pakan, spesies yang mengkonsumsi organisme makanan alami tetapi tidak memakan pelet akan meningkatkan produksi ikan total. Telah ditunjukkan dengan jelas bahwa polikultur channel catfish, tilapia (Tilapia aurea), ikan kowan (Ctenopharyngodon idellus) dan ikan mola (Hypophthalmichthys molitrix) akan meningkatkan produksi ikan melebihi yang bisa dicapai oleh kultur channel catfish saja. Lebih lanjut, tidak ada kombinasi spesies yang sangat mempengaruhi produksi channel catfish, yang merupakan spesies kultur utama. Sebuah laporan menyebutkan produksi total 6.282 kg/hektar ikan mas, ikan mola, ikan kowan dan tilapia dalam 126 hari di kolam yang diberi pakan pelet kaya protein.

Baca juga
Budidaya Ikan Intensif : Padat Penebaran, Kualitas Air dan Penghematan Biaya

Perbandingan Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan dan Produksi Udang Crayfish Antara Sistem Monokultur dan Polikultur

Mazlum dan Eversole (2008) membandingkan produksi sistem monokultur dan polikultur udang crayfish rawa merah (Procambarus clarkii) dan crayfish sungai putih (Procambarus acutus acutus). Percobaan terdiri dari tiga perlakuan masing-masing dengan enam ulangan. Padat penebarannya adalah 43 crayfish per m2 dalam tangki 0,18 m2. Setiap tangki berisi enam ekor crayfish, ada yag terdiri dari enam ekor dari spesies yang sama atau tiga ekor dari setiap spesies. Rata-rata ukuran panjang total crayfish yang ditebarkan untuk monokultur dan polikultur adalah 32.6 ± 0.05 dan 33.0 ± 0.07 mm, berturut-turut. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan diduga setiap 30 hari sekali selama periode percobaan 90 hari. Kelangsungan hidup kedua spesies adalah sama dalam sistem monokultur (62,5 %). Kelangsungan hidup Procambarus clarkii dalam sistem polikultur (25,0 %) secara nyata lebih rendah daripada dalam sistem monokultur (62,5 %), sedangkan kelangsungan hidup Procambarus acutus acutus dalam sistem polikultur adalah 41,7 % dan dalam sistem monokultur 62,5 %. Kelangsungan hidup lebih rendah tetapi pertumbuhannya lebih tinggi dalam sistem polikultur daripada dalam sistem monokultur untuk kedua spesies. Pertumbuhan Procambarus acutus acutus dalam sistem polikultur secara nyata lebih tinggi daripada dalam sistem monokultur. Tidak ada perbedaan pertumbuhan Procambarus clarkii antara polikultur dan monokultur; secara keseluruhan pertumbuhan Procambarus acutus acutus dan Procambarus clarkii adalah sama selama 90 hari. Hasil produksi crayfish tidak berbeda nyata antara sistem monokultur dan polikultur (P < 0.05). Hasil produksi totalnya adalajh 1,15 kg/hektar dalam sistem monokultur dan 1,18 kg/hektar dalam polikultur.

Baca juga
Mana Yang Lebih Cepat Tumbuh : Individu Jantan atau Betina ?

Kerugian Polikultur Kerang Laut

Cho et al. (1990) melaporkan bahwa polikultur oyster (Crassostrea gigas) di bagian atas tali-tergantung dan “sea squirt” (Halocynthia roretzi) di bagian bawahnya telah berkembang baik di pesisir selatan Laut Korea. Ada perbedaan dalam hal pertumbuhan, mortalitas, hasil dan faktor-faktor lingkungan antara polikultur dan monokultur oyster atau sea squirt. Pertumbuhan oyster dan sea squirt adalah lebih baik dalam monokultur; lebar cangkang dan berat daging oyster menunjukkan peningkatan 2,9 % dan 5,8 %, berturut-turut, sedangkan tinggi badan dan berat daging sea squirt menunjukkan peningkatan 30,1 % dan 24,4 %, berturut-turut, bila dibandingkan dengan polikultur. Berdasarkan peningkatan laju pertumbuhan dan koefisien regresi, bisa ditegaskan bahwa pertumbuhan adalah lebih baik dalam kultur tunggal walaupun keuntungannya kecil. Kematian oyster maupun sea squirt terutama terjadi pada bulan Agustus sampai Oktober dan mortalitas ini tinggi pada polukultur : 63,1 % lebih tinggi untuk oyster dan 28,4 % lebih tinggi untuk sea squirt dibandingkan pada mono kultur. Rendahnya pertumbuhan dan tingginya mortalitas pada polikultur diduga disebabkan oleh tingginya kepadatan organisme yang dikultur. Walaupun keuntungan besar merupakan aspek yang nyata dalam polikultur, turunnya harga sea squirt akibat produksi yang berlebihan, pengunduran jadwal produksi yang telah direncanakan, dan umur daerah kultur yang lebih cepat habis akibat tingginya kepadatan organisme kultur merupakan aspek-aspek negatif polikultur.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 24 Oktober 2012

Dampak Tambak Terhadap Kerusakan Hutan Bakau

Arsip Cofa No. C 093

Pembukaan Tambak Dengan Membabat Hutan Bakau

Menurut Macnae (1968), di banyak tempat di Asia Tenggara, terutama Jawa, Sumatera selatan, Filipina dan Taiwan budidaya udang dan ikan dalam tambak air payau yang dibuat setelah membabat hutan bakau telah sangat lama dilakukan, bahkan di Jawa sudah berabad-abad. Dalam pembuatan tambak ini, hutan bakau ditebang sama sekali kecuali bagian yang mengarah ke laut. Hal ini diperlukan terutama sebagai pelindung terhadap aksi merusak yang ditimbulkan laut dan juga karena di sebagian besar daerah yang dimanfaatkan untuk tambak pengendapan masih berjalan dengan cepat dan keberadaan tumbuhan bakau di bagian yang mengarah ke laut ini memungkinkan penyediaan benih bakau secara terus-menerus untuk mengkolonisasi tebing lumpur yang baru muncul. Lokasi tambak bervariasi dari beberapa ratus meter sampai beberapa kilometer dari laut. Tambak paling jauh dari laut cendeung kurang asin daripada yang terletak di belakang hutan bakau. Tebing antara, yang lebih dikenal sebagai pematang, sering ditanami tumbuhan bakau atau tumbuhan lain yang berguna, biasanya spesies tumbuhan yang bisa mentolerir garam. Hal ini membantu menstabilkan tebing.

Baca juga
Kebijakan Lingkungan Nasional dan Peran Masyarakat

Kerusakan Lingkungan Akibat Tambak

Lee (1993) menyatakan bahwa walaupun tambak budidaya telah lama dikenal di Asia Tenggara, namun mereka masih ditangani secara tradisional dengan sedikit pemupukan, intensifikasi dan miskin teknologi. Kesadaran saat ini mengenai arti penting konservasi ekosistem hutan bakau mengharuskan adanya strategi pengelolaan yang menggabungkan eksploitasi tradisional dengan konservasi hewan liar. Studi kasus di sebuah tambak di Hong Kong membeberkan konflik-konflik apa yang mungkin muncul bila tambak dikelola secara bersamaan untuk tujuan budidaya akuakultur dan sekaligus konservasi hewan liar. Laju sedimentasi meningkat akibat dikendalikannya pertukaran air di tambak, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan ketinggian substrat dan perubahan tipe serta luas penutupan (oleh) tumbuhan. Tambak pasang surut juga mendukung fauna yang berbeda, dan umumnya kurang beragam, dibandingkan fauna di daerah non tambak, mungkin karena kondisi fisik berfluktuasi lebih besar di daerah tambak. Pengelolaan ketinggian air untuk budidaya udang dan ikan juga menimbulkan konflik dengan burung air di tambak tersebut.

Baca juga
Konservasi Untuk Wilayah Pesisir Yang Kritis

Mana Yang Lebih Baik : Mempertahankan Hutan Bakau Atau Mengubahnya Menjadi Tambak Udang ?

Primavera (1995) menyatakan bahwa sekitar 50 % kerusakan hutan bakau di Filipina disebabkan oleh pembukaan tambak air payau. Penyempitan luas hutan bakau dari 450.000 hektar pada tahun 1920 menjadi 132.500 hektar pada tahun 1990 disertai oleh perluasan tambak budidaya sebesar 223.000 hektar pada tahun 1990. Perkembangan tambak ikan di negara ini disebabkan oleh dukungan besar-besaran dari pemerintah pada tahun 1950-an dan 1960-an yang diikuti oleh demam udang pada tahun 1980-an. Produksi tambak air payau meningkat dari 15.900 metrik ton senilai 7,6 juta peso pada tahun 1938 menjadi 267.000 metrik ton senilai 6,5 milyar peso pada tahun 1990. Sebaliknya, diperkirakan lebih dari $ 11.000 per hektar per tahun bisa dihasilkan oleh hutan bakau yang tak dikelola dan yang dikelola sehingga hutan bakau lebih ekonomis daripada sistem budidaya tambak yang paling menguntungkan sekalipun. Lenyapnya sistem hutan bakau beserta fungsi-fungsinya merupakan akibat paling penting dari budidaya tambak air payau di Filipina. Selain itu, budidaya udang intensif disertai dengan dampak ekologis dan sosial ekonomi lain seperti polusi perairan pesisir dan penurunan hasil panen makanan domestik. Disarankan untuk membuat undang-undang baru, melaksanakan peraturan yang sudah ada, konservasi hutan bakau yang masih ada, rehabilitasi besar-besaran terhadap area hutan bakau yang terancam rusak serta mempromosikan penangkapan ikan dan budidaya perikanan yang berwawasan lingkungan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Untung-Rugi Konversi Hutan Bakau Menjadi Tambak

Weinstock (1994) melaporkan bahwa konversi hutan bakau untuk tambak ikan dan udang telah berlangsung di Sulawesi Selatan, Indonesia, selama lebih dari setengah abad. Di beberapa wilayah tampaknya semua hutan bakau telah habis ditebang dan dampaknya terhadap lingkungan telah muncul, termasuk banjir dan erosi pantai. Satu kelompok masyarakat mengalami dampak lingkungan negatif walaupun pada saat yang sama pendapatan mereka meningkat melalui pengembangan sistem agroforestri hutan bakau. Penanaman secara monokultur Rhizophora mucronata (Lam.) di sepanjang pesisir telah mengurangi erosi dan banjir, melindungi tambak ikan dan udang yang ada di darat. Pemanenan pohon bakau secara terkendali memberikan pendapatan yang cukup besar melalui penjualan kayu bakar.

Baca juga
Terumbu Karang : Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino

Weinstock (1994) menambahkan bahwa penebangan hutan bakau untuk area tambak yang dimulai tahun 1930-an membuat beberapa desa di Kabupaten Sinjai, di pesisir tenggara Sulawesi Selatan, mengalami siklus perkembangan tambak secara penuh. Hal ini mencakup penggundulan hutan bakau sampai hampir total guna perluasan tambak sampai ke tepi laut; tambak-tambak tersebut kemudian hancur akibat terjangan gelombang dan angin secara langsung; siklus diakhiri dengan munculnya kembali hutan bakau di sepanjang pantai melalui aksi rehabilitasi oleh masyarakat. Hutan bakau yang baru ini bagi masyarakat Kabupaten Sinjai bukan hanya untuk perlindungan lingkungan tetapi juga sebagai hutan produksi, yang mampu menghasilkan kayu bakar senilai dua milyar rupiah (US $ 1.000) per hektar dari pohon berumur 7 tahun. Berdasarkan rotasi tujuh tahun, bisa diperoleh penghasilan bersih sekitar $ 140 per tahun per hektar, belum termasuk nilai ekonomi yang diberikan hutan bakau melalui perlindungan tambak dari erosi. Penduduk yang menanami lahan pasang surut dengan pohon bakau dan mengambil kayunya untuk dijual tidak dikenai pajak tanah. Sebaliknya, pengembangan tambak membutuhkan banyak tenaga kerja dan modal selama bertahun-tahun, selain itu pemilik tambak harus membayar pajak tanah tahunan.

Baca juga
Distribusi Vegetasi, Penyebaran Benih dan Kerusakan Daun Pohon Bakau

Pengembangan Tambak Udang Tanpa Merusak Hutan Bakau

Rasowo (1990) dalam Jaccarini and Martens (1992) melaporkan bahwa budidaya kolam untuk udang air payau baru-baru ini banyak menarik minat di Kenya. Daerah hutan bakau merupakan zona sasaran untuk pembangunan tambak-tambak ini. Dengan meningkatnya kesadaran akan peranan ekologis unik yang dimainkan hutan bakau, maka ada kebutuhan yang mendesak untuk menghentikan pengubahan rawa hutan bakau menjadi tambak budidaya. Untuk mengembangkan tambak budidaya tanpa merusak hutan bakau, disarankan untuk melakukan pergeseran dari sistem kolam pasang surut ke kolam pompa guna mengubah budidaya dari lahan hutan bakau ke lahan yang lebih tinggi. Budidaya laut yang “bersahabat” dengan hutan bakau di antaranya adalah “pen culture” (budidaya menggunakan pagar), kurungan dan rakit.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 20 Oktober 2012

Pemanfaatan dan Pengolahan Ikan Cucut

Arsip Cofa No. C 092

Pemanfaatan Cucut Sebagai Makanan, Sumber Vitamin A dan Bahan Kulit

Sharp (1984) menyatakan bahwa meskipun ikan cucut hanya menyumbangkan satu persen dari total tangkapan ikan dunia setiap tahun, ikan ini biasa dimanfaatkan sebagai makanan, dagingnya tidak berlemak dan rasanya lezat. Hati ikan ini mengandung minyak yang kaya akan vitamin A, sehingga cucut merupakan sumber penting vitamin ini sebelum ada metode yang efektif untuk memproduksi vitamin A secara komersial di laboratorium. Di Cina dan Timur Jauh, sirip ikan hiu merupakan makanan yang sangat lezat dan menjadi komponen vital dalam sup sirip ikan hiu, masakan Timur yang terkenal dan digemari. Kulit ikan hiu, atau “shagree”, dapat digosok hingga halus dan diwarnai untuk kemudian dijadikan sepatu atau pakaian yang menarik.

Baca juga
Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut

Sup Sirip Hiu dan Dampaknya Bagi Populasi Ikan Tersebut

Randall (1995) menyatakan bahwa beberapa spesies ikan hiu merupakan bahan makanan yang penting secara komersial, terutama pada tahun-tahun terakhir ini ketika stok banyak jenis ikan ekonomis penting mulai mengalami overfishing (penangkapan yang berlebihan). Sirip beberapa jenis ikan hiu merupakan komponen penting dalam pembuatan sup di negara-negara Timur. Hal ini berdampak buruk karena menyebabkan adanya perikanan yang dikhususkan menangkap jenis-jenis hiu tersebut. Karena hiu yang ditangkap adalah yang muda sedangkan pertumbuhan sebagian besar ikan ini lambat, maka populasinya dengan cepat mengalami overfishing.

Baca juga
Komposisi Kimia Minyak Ikan

Pemanfaatan Gelatin dari Kulit dan Tulang Ikan Cucut

Kittiphattanabawon et al. (2012) menyatakan bahwa ikan cucut, terutama Chiloscyllium punctatum dan Carcharhinus limbatus, dimanfaatkan untuk produksi filet dan sirip ikan di Thailaind. Selama pengolahan ikan cucut, dihasilkan limbah padat, terutama kulit dan tulang rawan. Umumnya hasil samping ini sebagian besar digunakan untuk membuat tepung ikan atau pupuk, yang nilai ekonomisnya rendah. Biasanya, gelatin diproduksi secara komersial dari kulit dan tulang babi dan “bovine” (sejenis sapi/kerbau). Namun, gelatin dari bovine membawa resiko tinggi terjadinya “bovine spongiform encephalopathy” (BSE), sedangkan kulit dan tulang babi tidak dapat digunakan dalam makanan bagi Muslim dan Yahudi. Dengan demikian, gelatin ikan, terutama gelatin dari kulit ikan cucut Chiloscyllium punctatum dan/atau Carcharhinus limbatus, bisa menjadi sumber alternatif untuk produksi gelatin. Gelatin adalah senyawa biopolimer yang diperoleh dengan cara denaturasi (penguraian)-sebagian kolagen. Gelatin banyak digunakan dalam industri makanan maupun non makanan (fotografi, kosmetik dan obat-obatan). Dalam industri makanan, gelatin dapat bertindak sebagai stabilizer.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Sifat-Sifat Gelatin Ikan Cucut

Kittiphattanabawon et al. (2012) mempelajari sifat-sifat fisika kimia, sifat fungsional dan aktivitas antioksidatif yang ditunjukkan oleh gelatin dari kulit ikan cucut Chiloscyllium punctatum dan Carcharhinus limbatus, di bawah pengaruh suhu ekstraksi. Kadar gugus alfa-asam amino dan hidrofobisitas permukaan gelatin kedua spesies ikan cucut meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu ekstraksi (P < 0.05). Kedua gelatin memiliki kelarutan yang tinggi (lebih dari 80 %) dalam kisaran pH yang lebar (1 – 10). Kedua gelatin yang diekstrak pada suhu 60 °C menunjukkan nilai tertinggi untuk “emulsion activity index” (EAI), “emulsion stability index (ESI) dan “foam expansion” (FE; pemuaian busa). “Foam stability” (FS; stabilitas busa) terendah terjadi bila gelatin diekstrak pada suhu 75 °C (P < 0.05). Gelatin Chiloscyllium punctatum memiliki nilai EAI, ESI dan FE yang lebih rendah daripada gelatin Carcharhinus limbatus. Bagaimanapun, FS yang lebih tinggi ditemukan pada gelatin Chiloscyllium punctatum (P < 0.05). Akivitas antioksidan kedua gelatin meningkat bersamaan dengan meningkatnya kadar gugus alfa-asam amino dan sejalan dengan meningkatnya suhu ekstraksi (P < 0.05). Gelatin Chiloscyllium punctatum umumnya menunjukkan aktivitas antioksidatif yang lebih tinggi daripada gelatin Carcharhinus limbatus (P < 0.05). Gelatin yang diekstrak pada suhu 60 °C menunjukkan sifat-sifat interfasial (antar bidang-batas) yang tertinggi, sedangkan gelatin yang diekstrak pada suhu yang lebih tinggi (75 oC) memiliki aktivitas antioksidatif yang lebih tinggi. Suhu ekstraksi dengan demikian bisa diatur untuk penerapan maksimum.

Baca juga
Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia

Teknologi Pengolahan dan Penyimpanan Filet Ikan Cucut Untuk Meningkatkan Mutu dan Daya Awet Produk

Ramachandran dan Solanki (1991) melaporkan bahwa filet ikan tanpa duri telah dibuat dari ikan cucut dengan memodifikasi metode pengolahan. Mutu produk dan karakteristik penyimpanannya pada berbagai kelembaban (Relative Humidity; RH) dan pengemasan vakum, iradiasi, dan lain-lain telah dipelajari. Penyerapan garam maksimum oleh daging selama penggaraman terjadi selama delapan jam pertama yang kemudian berkurang secara perlahan-lahan sejalan dengan waktu. Demikian pula, dehidrasi juga menunjukkan kecenderungan yang sama selama penggaraman. Periode penggaraman yang optimum selama 16 sampai 18 jam dalam air garam yang jenuh (pekat) dianggap merupakan cara terbaik untuk memperoleh produk dengan kadar garam 16 sampai 18 % dan kadar air 52 sampai 56 %. Metode pengolahan yang lebih disempurnakan bisa mengurangi lama waktu penanganan dan memperbaiki mutu produk. Produk yang dikemas dalam polythene dan kemudian diiradiasi menunjukkan daya awet yang lebih lama. Penyimpanan pada kelembaban (RH) yang lebih tinggi mempercepat pemudaran warna permukaan produk dan pembusukan. Produk yang disimpan pada RH 65 % bisa mempertahankan komposisi produk dan mutu selama hampir satu bulan.

Baca juga
Upaya Meningkatkan Mutu Filet Ikan

Pengaruh Squalen dan Minyak Hati Ikan Cucut Terhadap Kadar Kolesterol Darah

Zhang et al. (2002) melaporkan bahwa squalen dan minyak hati ikan cucut dijual sebagai suplemen kesehatan yang terkenal. Telah dilakukan studi untuk menguji aktivitas hiperkolesterolemik (konsentrasi kolesterol yang berlebihan di dalam darah) yang ditimbulkan oleh squalen murni dan minyak hati ikan cucut murni pada binatang hamster. Squalen ditambahkan dalam makanan dengan kadar 0,05, 0,1 dan 0,5 % sedangkan minyak hati ikan cucut ditambahkan ke dalam makanan sebanyak 0,05 % berdasarkan berat. Bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, total kolesterol dalam serum darah untuk kelompok hamster yang menerima squalen 0,05 % meningkat sebanyak 32 %, untuk kelompok squalen 0,10 % meningkat sebanyak 23 %, untuk kelompok squalen 0,5 % meningkat sebanyak 35 % dan untuk kelompok minyak hati ikan cucut 0,05 % meningkat sebanyak 19 %. Kecenderungan yang sama tampak untuk trigliserida dalam serum darah. Pemberian squalen atau minyak hati ikan cucut juga meningkatkan konsentrasi kolesterol pada organ hati sebesar 97 – 133 % untuk empat kelompok uji dibandingkan dengan hamster kontrol. Selain itu, penambahan squalen dan minyak hati ikan cucut ke dalam makanan menyebabkan penimbunan squalen dengan jumlah yang nyata di dalam hati dan jaringan lemak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa squalen dan minyak hati ikan cucut bersifat hiperkolesterolemik setidaknya pada hamster. Perhatian harus diberikan bila squalen dan minyak hati ikan cucut dikonsumsi secara rutin sebagai suplemen kesehatan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Racun Pada Hewan Laut

Arsip Cofa No. C 091

Perbedaan Istilah Toxin, Venom dan Poison

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa “toxin” (racun) adalah satu kelompok senyawa yang berpengaruh merugikan secara fisiologis terhadap mahluk hidup, sekalipun diberikan dalam jumlah kecil. Selain istilah ini, istilah “poison” dan “venom” sering digunakan, tetapi ketiga istilah ini memiliki definisi yang berbeda-beda. Toksin biasa digunakan dalam pengertian yang paling luas. Pernah disarankan dalam Simposium Internasional Mengenai Toksinologi agar istilah “toksin” sebaiknya dibatasi untuk substansi berprotein dan substansi antigenik. Dalam hal ini suatu senyawa bisa disebut toksin bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : terdapat pada tumbuhan, binatang, bakteri dan lain-lain; merupakan benda asing bagi korban, misal manusia dan lebih banyak bersifat racun dan berpengaruh buruk terhadap kesehatan atau kehidupan korban. Suatu substansi, bagaimanapun, tidak bisa disebut toksin bila digunakan sebagai obat dan dilihat dari aspek pengobatan. “Venom” biasanya merupakan substansi berprotein yang disekresi dari kelenjar racun atau dari sel pensekresi yang sangat khusus dan disalurkan oleh organ racun ke binatang lain. Sebaliknya, “poison” merupakan senyawa penyebab keracunan pada manusia akibat memakan organisme laut, yang memiliki substansi beracun di dalam seluruh tubuh atau dalam organ-organ tertentu. Untuk mudahnya, bagaimanapun, ketiga istilah tersebut digunakan dengan arti yang sama.

Baca juga
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Iktiotoksin (Racun Dalam Tubuh Ikan)

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa ichthyotoxin (racun pada ikan; Hashimoto (1979) mengartikan “ichthyotoxin” sebagai racun yang mematikan bagi ikan, sedangkan istilah “fish toxin” diartikan sebagai racun yang diproduksi ikan) dijumpai di seluruh daerah tropis, mungkin (dan sejalan dengan intensifikasi rantai makanan) terdapat terutama pada predator puncak : barakuda dan jack (carangidae) merupakan dua jenis ikan yang paling umum beracun. Sesuai dengan asal racun dari luar, banyak spesies ikan yang beracun dengan gejala-gejala yang khas : keracunan histidin-histamin dari ikan scombroidea, keracunan yang bersifat halusinogenik dari ikan belanak, racun saraf yang fatal dari ikan belut moray, dan keracunan yang mirip racun Gonyaulax dari ikan clupeidae kecil pemakan-penyaring. Bagaimanapun, iktiotoksin yang paling berbahaya dan paling luas penyebarannya adalah racun yang secara umum diberi nama ciguatera; diberi nama demikian berdasarkan nama invertebrata laut beracun yang dijumpai oleh orang-orang Spanyol yang pertama kali mendiami Kepulauan Karibia. Istilah ini sekarang digunakan untuk sekelompok neurotoksin (racun saraf) yang ditemukan pada banyak jenis spesies ikan tropis yang kadang-kadang mengandung racun. Telah dibuat daftar sekitar 450 spesies ikan tropis , kebanyakan dari habitat terumbu karang, yang memiliki racun jenis ini. Di antara mereka yang menonjol adalah spesies ikan herbivora (grazer) yang memakan karang dan material alga.

Baca juga
Pencemaran Perairan Pesisir

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa iktiotoksin saat ini cukup banyak dijumpai pada ikan karang laut tropis, seperti snapper (lutjanidae), grouper (serranidae), jack (carangidae) dan ikan besar lain yang biasa dipasarkan. Di beberapa gugusan pulau seperti Johnston dan Phoenix, persentase spesies ikan yang beracun adalah sangat tinggi. Di tempat di mana terjadi komersialisasi ikan-ikan besar, misalnya untuk ekspor dari Pulau Midway dan Christmas ke Hawaii, maka ditemukannya ciguatera dalam satu “batch” (kumpulan) ikan tidak hanya menjadi tragedi yang membahayakan kesehatan masyarakat, tetapi juga secara efektif bisa mematikan suatu industri perikanan, seperti yang terjadi pada akhir tahun 1940-an.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Distribusi Tetrodotoksin dalam Jaringan Tubuh Ikan Buntal, Fugu

Kim et al. (1991) mengumpulkan dua puluh empat spesimen ikan buntal Fugu xanthopterus, dari sebuah pasar ikan di Pusan dan menelitinya dalam hal distribusi daya racun tetrodotoksin dengan metode bioesei tikus. Frekuensi spesimen beracun adalah 88, 75, 54, 13, 71, 80 dan 71 % untuk hati, usus, kulit, daging, testis, ovari dan empedu, berturut-turut. Daya racun paling tinggi adalah 417, 387, 112, 17, 39, 403 dan 178 MU/g, berturut-turut; dan daya racun rata-ratanya adalah 110 ± 25,0 (rata-rata ± standard error), 73 ± 20,3, 17,8 ± 5,1, 2,7 ± 1,1, 15,6 ± 5,4, 115 ± 33,0 dan 34 ± 9,3 MU/g, berturut-turut. Ada korelasi yang nyata antara daya racun hati dan usus, antara hati dan kulit dan antara hati dan ovari.

Fungsi Racun Bagi Binatang Yang Memproduksinya

Hashimoto (1979) menyatakan bahwa penelitian etologis pada beberapa binatang laut beracun menunjukkan bahwa racun memegang peranan penting dalam menangkap mangsa. Racun seperti ini dicontohkan oleh racun nematokista pada ubur-ubur, “cephalotoksin” dalam kelenjar ludah gurita (octopodae) dan racun penyengat pada siput Conus; sebagian di antaranya dapat juga digunakan sebagai substansi pertahanan diri terhadap pemangsaan. Sebaliknya, racun yang terdapat dalam duri racun ikan tertentu dan racun kulit, tampaknya digunakan hanya untuk mempertahankan diri. Sering diamati bahwa ikan karnivora besar memuntahkan ikan yang mengandung racun kulit segera setelah mencaploknya. Moluska opisthobranchia, yang tidak bercangkang, mengembangkan kemampuan mensekresi racun yang sangat ampuh untuk mengusir pemangsa. Diduga bahwa racun yang diproduksi oleh karang atau sepon memiliki fungsi pelindung tidak hanya terhadap pemangsa, tetapi juga terhadap beberapa bentuk binatang sesil (penempel) yang bila tidak diusir akan menempel dan menutupi karang dan sepon. Bila binatang sesil tersebut menutupinya maka karang dan sepon itu bisa mati karena zooxanthellae yang bersimbiosis dengan binatang induk ini akan tertutup dan tidak mampu lagi berfotosintesis. Pada situasi seperti ini berbagai antibiotik atau terpenoid befungsi sebagai substansi pertahanan.

Hashimoto (1979) menambahkan bahwa beberapa racun laut diyakini memiliki arti penting fisiologis bagi organisme inangnya. Hal ini berlaku untuk beberapa binatang, misal ikan yang bermigrasi vertikal menempuh jarak jauh mengandung sejumlah besar ester lilin sebagai lipida utamanya, jadi bukannya gliserida, dan ikan (berumur) tua yang menimbun banyak vitamin A dalam hatinya. Sebagian ikan memiliki substansi beracun di dalam telurnya; tetradotoksin pada ikan tetraodontidae, ester lilin dalam telur ikan belanak, dan dinogunelin dalam ikan yang mengandung iktiotoksin. Racun terakhir ini merupakan sejenis fosfolipida istimewa yang memiliki adenosin sebagai bagian molekulnya yang mengandung nitrogen. Racun-racun ini memiliki fungsi fisiologis bagi perkembangan embryo.

Baca juga
Keberadaan Bahan Beracun di Perairan Pesisir

Racun Dalam Lendir Kulit Ikan Sidat

Shiomi et al. (1992) melaporkan bahwa racun berprotein dalam lendir kulit ikan sidat Jepang, Anguilla japonica, telah dimurnikan sampai kondisi murni secara elektroforetik dengan kromatografi kolom DEAE-selulosa dan HPLC pada TSKgel DEAE-SPW dan TSKgel G3000SW. Gliserol telah dibuktikan sangat efektif untuk menstabilkan racun ini. Dapat dilihat bahwa racun yang telah dimurnikan ini sangat mematikan bagi tikus; nilai dugaan LD 50 intravena untuk racun ini adalah serendah 3,1 mikrogram/kg. Berat molekul racun utuh adalah 40.000 sebagaimana ditentukan dengan HPLC pada TSKgel C3000SW. Hasil elektroforesis SDS menunjukkan bahwa racun ini terdiri dari dua subunit dengan berat molekul 230.000 dan 110.000. Glisin dan alanin melimpah dalam racun ini sedangkan asam-asam amino yang mengandung sulfur (metionin dan setengah-sistin) dan dua asam amino aromatik (tirosin dan triptofan) sangat sedikit.

Baca juga
Residu Pestisida Dalam Daging Ikan Konsumsi

Pengaruh Kondisi Habitat Terhadap Racun Yang Disekresi Siput Niotha

Hwang et al. (1992) mengumpulkan hampir 300 spesimen moluska gastropoda Niotha clathrata dari Taiwan Selatan. Semua spesimen diuji daya racunnya untuk menentukan tetradotoksin. Nilai frekuensi spesimen Niotha beracun adalah 30,0 %, 68,0 % dan 80,4 % untuk daerah Anping, Chiating dan Tungkang, berturut-turut. Potensi letal tertinggi untuk spesimen gastropoda ini adalah 1900 mouse unit (MU). Siput yang dikumpulkan dari Tungkang menunjukkan nilai tertinggi untuk spesimen beracun dan daya racunnya, diikuti dengan spesimen dari Chiating dan Anping. Spesimen yang dkumpulkan pada musim gugur dan semi menunjukkan daya racun yang lebih tinggi dibandingkan spesimen yang dikumpulkan pada musim-musim lain. Selain itu, juga telah dikumpulkan 17 spesimen Niotha clathrata lain untuk uji sekresi racun dengan menggunakan perlakuan kejutan listrik. Hasilnya menunjukkan bahwa gastropoda tersebut tidak mensekresi racun lebih lanjut bila diberi perlakuan kejutan listrik sebanyak dua kali dengan selang waktu sekitar 1 jam. Daya racun toksin yang disekresi adalah 206 MU. Penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa frekuensi kejadian spesimen beracun dan daya racunnya dipengaruhi oleh kondisi habitat gastropoda tersebut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 13 Oktober 2012

Virus Pada Udang Penaeidae

Arsip Cofa No. C 090

Lima Jenis Virus Utama Pada Udang Windu

Flegel (1997) melaporkan bahwa ada lima jenis virus yang berbeda yang baru-baru ini dipelajari pengaruhnya terhadap budidaya komersial udang windu (Penaeus monodon) di Thailand. Beberapa di antara virus ini menyebabkan penyakit pada spesies udang penaeidae lain dan bahkan pada spesies krustasea lain. Sebagian virus tersebut tidak hanya ada dalam udang budidaya di negara-negara Asia lain, tetapi juga ditemukan pada udang di Australia dan negara-negara di belahan bumi bagian barat. Dalam urutan dari yang memberikan dampak ekonomi terbesar sampai terkecil bagi industri udang Thailand, kelima jenis virus tersebut adalah : white-spot baculovirus, yellow-head virus, hepatopancreatic parvo-like virus, “infectious hypodermal and hematopoeitic necrosis” (IHHN) virus dan monodon baculovirus.

Baca juga
Virus di Dalam Laut, Kerang dan Ikan

Virus Pada Udang Penaeidae

Spann dan Lester (1997) menyatakan bahwa budidaya udang penaeidae di seluruh dunia sangat tergantung pada stok yang ditangkap dari alam liar sehingga sangat berpotensi memasukkan patogen-patogen baru, terutama virus, ke dalam sistem budidaya. Dari 13 virus yang menyerang udang penaeidae budidaya, tujuh di antaranya telah dipelajari dalam 5 tahun terakhir; wabah penyakit virus yang paling merugikan untuk buddiaya udang penaeidae juga telah dilaporkan dalam 5 tahun terakhir. Selama pengamatan terhadap udang liar lokal dan udang budidaya, empat virus baru ditemukan. “Bennettae baculovirus” ditemukan dalam kelenjar pencernaan udang Metapenaeus bennettae liar. Virus ini sangat mirip dengan “monodon baculovirus” (MBV), tetapi memiliki virion yang lebih ramping, tidak bereaksi-silang dengan pemeriksaan DNA untuk MBV dan tidak menginfeksi Penaeus monodon. Dua virus yang secara morfologis tidak dapat dibedakan, satu bersifat patogen (yaitu virus yang berasosiasi dengan insang atau “gill-associated virus”, GAV) dan satu lagi tidak berbahaya (yaitu “lymphoid organ virus”, LOV), ditemukan dalam Penaeus monodon budidaya. LOV dan GAV sangat mirip dengan “yellow head virus” (YHV, virus kepala kuning) dari Thailand. Virus yang mirip dengan virus parvo ditemukan baru-baru ini dalam post larva Penaeus japonicus mati. Sejalan dengan meningkatnya intensitas budidaya udang di dunia, peneliti bisa berharap menemukan virus-virus penaeidae lainnya.

Baca juga
Virus di Perairan

Virus Pada Udang Budidaya Berasal Dari Udang Liar

Menurut Owens (1997) pada awal sejarah budidaya udang di Australia, jelas sekali bahwa keberadaan semua virus dalam akuakultur didahului oleh masuknya udang liar. Selama proses intensifikasi pertambakan, juga sangat jelas bahwa pemeliharaan udang pemijah dari alam liar berpotensi menimbulkan masalah. Tidak ada bukti bahwa virus-virus jenis baru diperkenalkan ke Australia, tetapi yang ada adalah virus-virus tersebut selalu telah ada di dalam udang liar di mana virus-virus tersebut menunggu kesempatan untuk berkembang biak bersamaan dengan meningkatnya kepadatan populasi udang dalam akuakultur. Informasi mengenai virus udang memperkuat dugaan bahwa fauna penyebab penyakit organisme laut di Australia merupakan bagian dari fauna Asia yang lebih besar. Bagaimanapun, ada beberapa bukti bahwa beberapa galur Australia adalah berbeda.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Infeksi Virus IHHN Pada Udang Penaeidae

Owens et al. (1992) melaporkan bahwa mortalitas kronis derajat-rendah telah menjadi wabah pada sekelompok udang Penaeus esculentus yang dihibridisasi dengan udang windu Penaeus monodon di Australia. Pengamatan histopatologis menunjukkan adanya perubahan jaringan yang luas pada insang, hipodermis (lapisan kulit bawah), kelenjar antena, jantung, tali saraf ventral, organ limfa, jaringan hematopoietik (jaringan pembentuk darah), otot dan jaringan penyokong yang mencakup jaringan penyokong intertubula di dalam hepatopankreas. Sel yang terinfeksi menunjukkan inklusi tipe A Cowdry internuklear dengan kromatin bertepi. Inklusi ini tidak bereaksi positif terhadap pewarnaan DHA Feulgen. Mikroskop elektron menunjukkan partikel-partikel berdiameter sekitar 20 nm di dalam sitoplasma dekat nukleus tetapi tidak ada virion. Semua ciri di atas sesuai dengan “infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus” (IHHNV). Virus lain yang menginfeksi udang-udang ini mencakup “lymphoidal parvovirus” (LPV), Plebejus baculovirus (PBV), baculovirus hemositik dan virus berbentuk ikosahedral besar. Ini merupakan laporan pertama tentang IHHNV di negara yang tidak mengimpor udang hidup dan diduga bahwa IHHNV muncul secara alami di daerah Australia Indo-Pasifik Barat.

Baca juga
Virus dan Bakteri Planktonik Dalam Perairan

Pengaruh Padat Penebaran dan Pertukaran Air Terhadap Infeksi Virus IHHN

Browdy et al. (1993) menyatakan bahwa telah lama diduga ada korelasi antara “runt deformity syndrome” (RDS; sindrom kelainan bentuk kerdil), kelainan morfologi, produksi yang rendah dan infeksi virus pada berbagai spesies udang penaeidae. Untuk itu dilakukan penelitian, dalam rancangan percobaan faktorial, dengan padat penebaran yang makin meningkat (60 dan 100/m2) dan pertukaran air yang makin sedikit (100 %, 50 % dan 10 % per hari) sebagai faktor. Dua belas tangki bervolume 29,2 m2 ditebari dengan post larva Penaeus vannamei, yang diduga terinfeksi virus IHHN, dari hatchery Central America, kemudian dipanen setelah 164 hari. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah menyebabkan kelangsungan hidup rendah (43,5 % dan 53,6 %) dalam tangki yang ditebari 100 ekor per m2 dan pertukaran air 10 % per hari. Padat penebaran dan pertukaran air berpengaruh sedikit terhadap kualitas air, kelangsungan hidup atau pertumbuhan udang pada kelompok-kelompok percobaan lainnya. “Runt deformity syndrome” berkorelasi dengan meningkatnya kejadian virus IHHN yang berkaitan dengan inklusi tipe A Cowdry dalam 4 sistem organ. Ada kecenderungan menurunnya kejadian inklusi ketika pertukaran air ditingkatkan dari 50 % menjadi 100 % per hari. Distribusi ukuran udang saat panen menunjukkan bahwa kelainan bentuk badan lebih jarang terjadi pada tangki yang kelangsungan hidup udangnya rendah, yang berarti bahwa mortalitas meningkat pada udang yang dengan parah terinfeksi RDS.

Baca juga
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Pertumbuhan dan Kekebalan Udang Yang Pernah Terinfeksi Virus IHHN

Martinez-Cordova (1992) melaporkan bahwa stok udang biru (Penaeus stylirostris) yang terinfeksi virus IHHN (infectious hypodermal and hematopoietic necrosis) telah dipelihara tanpa sengaja di dalam kolam tanah di Sonora, Meksiko, selama musim semi – musim panas. Meskipun kelangsungan hidup udang biru yang terinfeksi tersebut adalah rendah, namun pertumbuhan udang yang bertahan hidup adalah sangat baik dan tampaknya sehat. Udang biru yang tetap hidup setelah terinfeksi adalah kebal terhadap virus IHHN.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 10 Oktober 2012

Pengaruh Salinitas Terhadap Udang Windu (Penaeus monodon)

Arsip Cofa No. C 089

Pengaruh Interaksi Salinitas dan pH Terhadap Kelangsungan Hidup, Pertumbuhan dan Osmoregulasi Udang Windu

Allan dan Maguire (1992) melaporkan bahwa tingkat-tingkat kritis pH rendah untuk udang windu muda Penaeus monodon (bobot rata-rata 4,2 – 5,5 gram) telah ditentukan dengan menggunakan bioesei statik dengan media berupa air laut yang diasamkan dengan asam hidroklorat (HCl). Nilai pH letal (LC50 96 jam) adalah 3,7 (batas-batas selang kepercayaan 95 % : 3,4 dan 4,1) pada salinitas 32 ppt. Nilai pH minimum yang dapat diterima, yang didefinisikan sebagai nilai pH yang menurunkan pertumbuhan sebanyak 5 % selama 23 hari, diduga adalah 5,9 pada salinitas 30 ppt. Dibandingkan dengan pH 7,8, udang yang dalam jangka panjang (23 hari) dikenai pH rendah (4,9) pada salinitas 30 ppt mengalami penurunan secara nyata kadar bahan kering (P < 0,001) dan peningkatan frekuensi ganti kulit/molting (P < 0,05). Untuk udang yang dipelihara dalam berbagai kombinasi pH (5,5 atau 7,8) dan salinitas (15 atau 30 ppt), pertumbuhan dihambat oleh pH rendah (P < 0,001) tetapi tidak dipengaruhi oleh salinitas (P > 0,05), sedangkan interaksi pH x salinitas adalah nyata (P < 0,05).

Dalam sebuah percobaan faktorial terpisah dengan udang yang dipelihara pada berbagai kombinasi pH (5,6 atau 7,8) dan salinitas (15 atau 30 ppt) osmoregulasi hemolimfa menjadi lebih buruk pada salinitas tinggi (P < 0,001) dan pH rendah (P < 0,01), dibandingkan dengan pada salinitas rendah dan pH tinggi, namun tidak ada interaksi yang nyata (P > 0,05). Pendugaan nilai-nilai pH rendah letal dan minimum yang dapat diterima akan membantu petani udang dalam mengelola kolam asam.

Baca juga
Sifat-Sifat Fisika Salinitas

Pengaruh Salinitas Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Udang Penaeus

Gaudy dan Sloane (1981) meneliti pengaruh salinitas terhadap konsumsi oksigen pada udang budidaya Penaeus monodon Fabricius dan P. stylirostris Stimpson tahap post larva (32 dan 35 hari setelah metamorfosis, berturut-turut). Pada kedua spesies, tidak ada perbedaan antara individu yang tidak diaklimasikan dan yang diaklimasikan-sepenuhnya. Laju metabolik tidak dipengaruhi oleh variasi salinitas, tetapi Penaeus stylirostris menunjukkan kecenderungan (tidak nyata pada P < 0,05) untuk meningkatkan respirasi pada salinitas rendah.

Baca juga
Perubahan Kadar Asam Amino Akiubat Perubahan Salinitas Lingkungan

Pengaruh Salinitas Terhadap Konsentrasi Kalsium Darah dan Ganti Kulit Pada Udang Windu

Parado-Estepa et al. (1989) melaporkan bahwa udang windu Penaeus monodon telah diperoleh dari kolam di Iloilo, Filipina, pada tahun 1984 dan 1985 kemudian dipelihara dalam salinitas 8 sampai 44 permil. Total konsentrasi kalsium hemolimfa sangat dipengaruhi oleh tahap ganti kulit (molting) dan kurang terpengaruh oleh salinitas. Peningkatan secara tajam konsentrasi kalsium hemolimfa terjadi pada 3 sampai 6 jam setelah ganti kulit, diikuti oleh penurunan yang sama tajamnya pada 6 jam setelah ganti kulit sampai fase intermolting. Respon dua-fase ini terbatas pada udang yang dipelihara dalam salinitas 8, 20 dan 32 permil; dalam salinitas 44 permil, konsentrasi kalsium hemolimfa tetap sama di sepanjang periode sampling. Puncak konsentrasi kalsium total adalah lebih tinggi pada salinitas rendah (8 dan 20 permil) dibandingkan pada salinitas tinggi. Salinitas tidak berpengaruh terhadap lama siklus ganti kulit juga tidak terhadap waktu terjadinya ganti kulit. Hampir setengah kejadian ganti kulit berlangsung antara pukul 18.01 dan 0.00, dan sepertiga kejadian ganti kulit berlangsung antara pukul 0.01 dan 06.00.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga
Aspek Fisiologis Pemindahan Ikan Ke Medium Yang Berbeda Salinitasnya

Osmoregulasi Pada Udang Windu Selama Ganti Kulit Dalam Berbagai Salinitas

Ferraris et al. (1987) mempelajari pengaruh ganti kulit (molting) terhadap osmotik dan konsentrasi klorida dalam darah udang windu Penaeus monodon Fabricius (20 ± 3 g) pada berbagai salinitas. Udang diperoleh dari kolam di Iloilo, Filipina, pada tahun 1984. Mereka ditebarkan dalam salinitas 8, 20, 32 dan 44 permil, selanjutnya hemolimfa udang disampling selama ganti kulit (waktu 0) dan kemudian 0.125, 0.25, 0.5, 1, 2, 4, 6, 10 dan 14 hari setelah ganti kulit. Pada udang selama dan segera setelah ganti kulit, osmolalitasnya cenderung sesuai dengan osmolalitas lingkungan. Pada tahap-tahap pasca ganti kulit berikutnya, ada perbedaan yang makin besar antara salinitas hemolimfa dengan salinitas eksternal. Titik isoosmotik adalah lebih tinggi (940 ± 30 mOsm/ kg) selama molting daripada selama tahap intermolting (663 ± 8 mOsm/kg), yang menunjukkan perbedaan kebutuhan osmotik pada tahap awal ganti kulit. Hiperregulasi konsentrasi klorida dalam hemolimfa di bawah 20 permil, maupun titik isoionik (301 ± 6 mM), tidak tergantung pada tahap ganti kulit.

Pada salinitas 20 permil atau lebih, individu yang baru ganti kulit (0 sampai 0,25 hari pasca ganti kulit) cenderung menyesuaikan diri dengan konsentrasi klorida eksternal sedangkan individu intermolt (0,5 hari pasca ganti kulit) tidak. Sumbangan klorida hemolimfa bagi osmolalitas hemolimfa adalah lebih besar selama intermolt daripada selama ganti kulit, yang menunjukkan pentingnya peranan ion-ion bermuataan negatif lainnya selama ganti kulit. Bila ganti kulit terjadi dalam salinitas 20 permil (salinitas uji hampir sama dengan salinitas isoionik), hanya ada sedikit atau tidak ada perubahan osmolalitas hemolimfa atau pun konsentrasi klorida dari 0 sampai 14 hari pasca ganti kulit. Pada salinitas 8, 32 dan 44 permil, perubahan osmotik hemolimfa dan konsentrasi klorida dari fase molting ke intermolting adalah bersifat hiperbola. Regresi kuadrat-terkecil non linier menunjukkan bahwa udang umumnya mencapai fase intermolt dalam waktu 1 hari setelah ganti kulit. Udang pada fase intermolt melakukan pengaturan osmolalitas hemolimfa (620 sampai 820 mOsm/ kg) dan konsentrasi klorida (300 sampai 450 mM) pada kisaran yang jauh lebih sempit dibandingkan selama ganti kulit (520 sampai 1170 mOsm/ kg dan 250 sampai 520 mM, berturut-turut). Osmolalitas hemolimfa merupakan indikator respon fisiologis yang lebih sensitif daripada konsentrasi klorida hemolimfa.

Distribusi dan budidaya Penaeus monodon mungkin dibatasi dalam salinitas rendah oleh kemampuannya untuk mempertahankan osmolalitas hemolimfa pada nilai 500 mOsm/kg selama ganti kulit dan 600 mOsm/kg selama fase intermolt, dan dibatasi dalam salinitas tinggi oleh kemampuannya untuk menurunkan osmolalitas hemolimfa dari nilai pada saat ganti kulit menjadi nilai pada fase intermolt. Osmotik dan konsentrasi klorida dalam darah Penaeus monodon sangat bervariasi sejalan dengan tahap moting dan salinitas medium. Ketergantungan pada faktor-faktor eksternal, bagaimanapun, perlahan-lahan berkurang sejalan dengan perjalanan tahap-tahap molting, yang menunjukkan terjadinya penurunan permeabilitas kulit dan makin berkembangnya mekanisme penyerapan/sekresi ion sejalan dengan mengerasnya kulit luar (cangkang).

Baca juga
Daya Racun Amonia Bagi Udang Windu Penaeus monodon Juvenil dan Dewasa

Pengaruh Salinitas Terhadap Komposisi Asam Amino Udang Windu

Fang et al. (1992) melaporkan bahwa udang windu Penaeus monodon dibudidayakan oleh petani ikan dalam kolam air payau agar tumbuh lebih baik meskipun binatang ini merupakan spesies laut. Penelitian mengenai variasi asam amino bebas (Free Amino Acid; FAA) dalam hemolimfa dan otot udang ini yang dipelihara dalam berbagai salinitas menunjukkan bahwa komposisi asam amino bebas dalam hemolimfa udang yang diaklimasikan terhadap salinitas 30 ppt adalah sama dengan komposisinya di dalam otot udang tersebut, yang membuktikan bahwa binatang ini secara fisiologis memang merupakan spesies yang beradaptasi terhadap laut. Komposisi asam amino bebas dalam otot udang yang diaklimasikan terhadap salinitas-salinitas yang berbeda adalah sama satu dengan yang lain. Sangat tingginya konsentrasi asam amino bebas yang tergolong asam-asam amino esensial dalam hemolimfa udang yang diaklimasikan terhadap salinitas 15 ppt menunjukkan bahwa asam-asam amino bebas tersebut lebih tersedia untuk diserap jaringan tubuh pada salinitas ini.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 07 Oktober 2012

Efek Negatif pH Rendah Bagi Kerang dan Ikan

Arsip Cofa No. C 088

Pengaruh pH Rendah Terhadap Kelangsungan Hidup Kerang Anodonta

Maekelae dan Oikari (1992) melaporkan bahwa kerang air tawar Anodonta anatina selama 8 atau 10 hari dimasukkan ke dalam air (3 mg kalsium per liter) yang diasamkan dengan asam sulfat untuk menghasilkan nilai pH yang berkisar dari 4,8 sampai 2,3 dan 7,3. Nilai pH 2,3 dan 2,6 menghasilkan laju mortalitas 63 % dalam waktu 8 hari tetapi pH yang lebih tinggi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup. Tidak ada perbedaan statistik dalam hal indeks cangkang atau “shell index” (berat cangkang/panjang x lebar cangkang) antara kelompok-kelompok perlakuan yang berbeda. Bagaimanapun, pelarutan lapisan periostrakum cangkang terjadi pada semua pH di bawah 3,9. Kondisi asam, secara umum, menyebabkan penurunan konsentrasi natrium dan klorida di dalam hemolimfa, serta menurunkan kadar natrium dalam jaringan lunak. Juga terlihat adanya peningkatan konsentrasi kalsium dan natrium dalam hemolimfa.

Baca juga
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Pengaruh pH Rendah Terhadap Perilaku Reproduksi Ikan

Ikuta et al. (2003) melaporkan bahwa di Eropa Utara dan Amerika, pengasaman danau dan sungai yang ditimbulkan oleh hujan asam menghancurkan populasi ikan. Saat ini, aktivitas industri yang berkembang cepat di Asia Timur menyebabkan peningkatan secara terus-menerus jumlah emisi polutan asam, dan hujan dengan tingkat keasaman mencapai pH 4 terjadi di seluruh Jepang. Akibatnya, dampak hujan asam terhadap populasi ikan telah terlihat di Jepang. Untuk mempelajari pengaruh pH rendah terhadap perilaku reproduksi ikan salmonidae yang diketahui merupakan spesies peka-asam, maka dilakukan pengamatan terhadap perubahan frekuensi pergerakan ikan ke hulu sungai dan perilaku menggali sarang pada ikan betina yang sedang memijah sebagai respon terhadap perubahan pH pada ikan dewasa hime salmon (sockeye salmon yang terisolasi daratan) Oncorhynchus nerka, brown trout Salmo trutta dan Japanese char Salvelinus leucomaenis. Perilaku menggali dan pergerakan ke arah hulu terhambat secara nyata di dalam perairan yang bersifat asam lemah dengan pH 5,8 – 6,4. Sockeye salmon yang terisolasi daratan adalah paling peka terhadap perubahan pH di antara ketiga spesies ikan di atas.

Baca juga
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Pengaruh Tahap Perkembangan Embryo dan Spesies Ikan Terhadap Toleransi Asam

Ikuta et al. (1992) melakukan uji toleransi asam dengan tujuan mempelajari pengaruh pengasaman terhadap ikan-ikan salmonidae. Kepekaan terhadap pH rendah yang dibuat dengan asam sulfat dibandingkan di antara tahap-tahap perkembangan pada ikan hime salmon (jenis sockeye salmon yang terisolasi di darat), dan 6 spesies salmonidae. Kepekaan (24 jam LC50-pH) pada tahap-tahap perkembangan untuk hime salmon adalah dengan urutan sebagai berikut : ikan muda (4,23) > alevin (larva salmon yang belum bermigrasi) (4,07) > anak ikan (4,06) > embryo-bermata (3,82). Kepekaan alevin diurut untuk spesies salmonidae adalah sebagai berikut : hime salmon (4,07) > honmasu salmon (3,98) > rainbow trout (3,83) > char (3,63). Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa kepekaan terhadap pH rendah meningkat sejalan dengan perkembangan embryo, dan spesies salmonidae anadromous seperti Oncorhynchus lebih peka terhadap pH rendah.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh pH Rendah Terhadap Embryo dan Larva Ikan Air Tawar

Sayer et al. (1993) mempelajari pengaruh pH rendah terhadap tahap awal kehidupan ikan. Setelah fertilisasi, membran korionik memberikan perlindungan terhadap pengaruh pH rendah dan khususnya terhadap daya racun logam-logam yang menyertai kondisi asam, terutama aluminium. Sebenarnya, aluminium terlarut dapat mengurangi daya racun asam pada tahap perkembangan ikan ini, mungkin dengan cara membantu menurunkan permeabilitas membran dan penyerapan ion H+. Bahaya utama tampaknya adalah terhambatnya perkembangan embryo ikan (mungkin berkaitan dengan penurunan pH cairan perivitelin), yang sering menyebabkan hilangnya kemampuan untuk memecahkan membran korionik pada saat menetas. Setelah menetas , kepekaan meningkat. Aluminium terlarut, dan “trace metal” (logam yang jumlahnya sedikit) lainnya yang berkaitan dengan pengasaman, menjadi lebih penting.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aluminium berkonsentrasi rendah memberikan perlindungan secara kontinyu terhadap pH rendah. Penyebab kematian hanya dapat diduga : sebagian besar perhatian dipusatkan pada penyerapan dan keseimbangan mineral, dan ada bukti terjadinya gangguan pernafasan walaupun tidak sejelas kasus pada ikan post larva. Bagaimanapun, perbandingan dengan ikan post larva tidak selalu membantu; sedikitnya ada satu perbedaan penting. Tidak seperti ikan post larva, larva tidak menghadapi kombinasi kondisi yang paling berbahaya, yaitu adanya aluminium pada pH sekitar 5,5 (ketika efek pernafasan mungkin paling penting); kondisi yang paling berbahaya bagi larva tampaknya adalah adanya trace metal (termasuk aluminium) ketika pH sangat rendah (< 5.0).

Baca juga
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi

Sayer et al. (1993) selanjutnya menyatakan bahwa terjadi peningkatan kepekaan yang dialami kuning telur. Periode ini bersamaan dengan perpindahan dari lokasi pengeraman telur di dalam substrat menuju ke perairan terbuka, di mana sifat-sifat kimia air di sekitar telur mengalami fluktuasi yang lebih besar. Bagaimanapun, selama hujan musim gugur dan melelehnya salju pada musim semi, pH dan konsentrasi ion kalsium pelindung biasanya mencapai nilai terendah sementara logam-logam seperti aluminium mencapai nilai tertinggi. Di perairan di mana pengasaman paling mungkin terjadi, tahap awal kehidupan banyak spesies ikan air tawar akan mendekati ambang batas kelangsungan hidup di mana penurunan kualitas air sedikit saja bisa menyebabkan kematian seluruh ikan kelas umur tersebut (tahap awal kehidupan), yang selanjutnya mempengaruhi rekruitmen dan bahkan status populasi.

Baca juga
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi

Pengaruh pH Rendah Terhadap Fisiologi Ikan Air Tawar

Fromm (1980) mengulas beberapa respon fisiologis dan toksikologis terhadap stres asam pada ikan air tawar. Data mengenai efek pH rendah terhadap pertumbuhan ikan air tawar tampaknya rancu. Kegagalan reproduksi akibat stres asam tampaknya berkaitan dengan gangguan metabolisme kalsium dan penimbunan protein dalam sel telur yang sedang berkembang juga terganggu. Tampaknya bahwa nilai pH di mana penurunan pH tidak berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi adalah sekitar 6,5. Kebanyakan ikan tampaknya tidak terpengaruh oleh pH pada kisaran kira-kira 10,5 sampai 5,5. Pada kasus stres asam yang parah, terjadi gangguan pada membran insang dan/atau penggumpalan lendir insang dan kematian akibat hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal) mungkin disebabkan oleh makin jauhnya jarak difusi air-darah. Beberapa laporan membenarkan bahwa stres asam menyebabkan gangguan homeostasis (keseimbangan) elektrolit pada ikan. Sebagian besar ikan salmonidae yang dipelihara dalam hatchery dapat mentolerir pH 5,0 tetapi di bawah nilai ini homeostasis elektrolit dan mekanisme pengaturan osmotik menjadi terganggu.

Bila ikan dikenai stres asam yang lemah maka pH darah turun yang mungkin diakibatkan oleh masuknya aliran ion H+ ke dalam darah melintasi membran insang. Hal ini dapat mengubah potensial transepithelial dan memungkinkan difusi ion Na+ melalui gradien elektrokimia. Penurunan pH air di sekelilingnya bersama dengan konsentrasi kalsium dalam insang bisa meningkatkan permeablitas insang terhadap ion H+ maupun Na+ ; sementara acidemia (darah bersifat asam) bisa terjadi akibat berkurangnya ekskresi CO2 dan ion H+ hasil metabolisme. Bila kapasitas mekanisme buffer tidak bisa menampung penurunan pH darah maka kapasitas hemoglobin untuk mengangkut oksigen akan berkurang.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 03 Oktober 2012

Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya

Arsip Cofa No. C 087

Penyakit Jamur Pada Ikan

Dari sekian banyak laporan mengenai jamur phycomycetes sebagai parasit ikan, identifikasi yang tepat spesies jamur tersebut masih diragukan. Telah hampir menjadi kebiasaan di antara ahli biologi perikanan untuk menyatakan semua jamur ikan dengan nama Saprolegnia parasitica.

Total lebih dari 250 jamur yang diisolasi dari ikan dan telur ikan yang sakit dikumpulkan hingga saat ini dari 20 negara bagian. Kultur murni jamur ini telah diperoleh dan dipelajari dengan mendalam di laboratorium. Ada dua belas spesies yang dilaporkan di sini. Beberapa spesies di antaranya dilaporkan segera setelah mereka muncul secara alami sebagai penyebab penyakit ikan.

Studi inokulasi menunjukkan bahwa Saprolegnia parasitica, Saprolegnia ferax, Saprolegnia delica, Saprolegnia monoica, Achlya bisexualis dan semua isolat Saprolegnia sp. akan memarasiti ikan platyfish yang terluka pada kondisi laboratorium yang terkendali.

Mikopatalogi ikan merupakan bidang ilmu yang relatif baru, dan banyak fase jamur parasit ini yang belum banyak dipelajari. Kebanyakan organisme hidup pada kondisi lingkungan tertentu menjadi sasaran serangan jamur, tak terkecuali ikan. Bila ikan air tawar ditangani secara kasar atau terkena luka ringan sekalipun, jamur akan menginfeksinya sehingga tingkat kematian ikan sangat tinggi. Infeksi jamur juga menyebabkan kematian masal populasi ikan padahal kondisi lingkungan menguntungkan bagi kehidupan ikan. Selain itu, baik pada kondisi alami maupun hatchery, hampir semua telur ikan rentan terhadap serangan jamur.

Ada anggapan yang tidak benar di kalangan para ahli biologi perikanan bahwa hampir semua infeksi jamur pada ikan disebabkan oleh anggota genus Saprolegnia. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa banyak jenis jamur yang terlibat dalam kompleks ikan-jamur. Beberapa di antara jamur ini semula tidak dilaporkan sebagai parasit ikan, dan identitasnya yang pasti sangat dibutuhkan. Perbedaan hasil yang diperoleh dalam mengendalikan jamur ini dengan suatu teknik mungkin menggambarkan kerumitan hubungan jamur-ikan tersebut.

Kebutuhan untuk mempelajari sifat-sifat jamur ini mudah dipahami bila orang menyadari pesatnya perkembangan dan pengelolaan budidaya kolam, baik di tingkat pusat, negara bagian maupun hatchery swasta serta industri perikanan tropis. Tampaknya bahwa jamur ini paling ditakuti industri hatchery dan budidaya kolam di mana infeksi sporadis menyebabkan wabah penyakit tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Sering diamati terjadinya wabah penyakit ikan pada kolam budidaya dan di daerah wisata pemancingan ikan – wabah di mana tingkat kematian inang hampir mencapai 100 %. Sejumlah besar laporan yang diterima oleh penulis menunjukkan bahwa petani-petani ikan mengalami kerugian besar akibat infeksi jamur. Pengamatan dan laporan di atas menunjukkan bahwa jamur ini memiliki nilai ekonomi penting.

Baca juga
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Isolasi dan Identifikasi Jamur Patogen Pada Ikan

Sejak pergantian abad ini, banyak literatur mengenai ikan dan binatang air lain yang diparasiti jamur phycomyecetes yang secara umum dikenal sebagai “cendawan ikan” (fish mold). Identifikasi spesies sebagian besar jamur yang diuraikan dalam literatur tersebut diragukan karena kebanyakan deskripsi dan ilustrasi spesies jamur yang diuraikannya tidak lengkap. Bahkan literatur yang mendeskripsikan spesies jamur tidak dapat digunakan karena deskripsinya kurang tepat dan penanganan spesimen kurang cermat. Seringkali deskripsi spesies dilakukan berdasarkan morfologi ciri vegetatif dan struktur aseksual. Hal ini menyebabkan spesies jamur air yang telah diidentifikasi dalam literatur di atas tidak dapat dipercaya. Dalam kasus lain, spesies jamur yang akan diidentifikasi diperoleh dari kultur campuran tanpa memperdulikan kemungkinan tercemar spesies jamur lain. Lagi pula, dalam melaporkan jamur penyebab penyakit pada ikan, sebagian besar peneliti hampir tidak berusaha memisahkan antara spesies jamur saprofitik yang muncul setelah ikan mati dan spesies jamur parasitik yang menyebabkan kematian ikan, mereka juga tidak melakukan pembuktian-ulang daya patogen isolat jamur yang didapat dari peralatan percobaan. Jadi, kebanyakan literatur terdahulu tidak dapat dipakai sebagai bahan rujukan untuk menyiapkan makalah seperti ini.

Dalam mempelajari taksonomi jamur ini, sebelumnya kita harus mengumpulkan dari inang yang sakit isolat parasit sebanyak mungkin, mengembangbiakkan jamur ini dalam kultur murni, membuktikan bahwa isolat jmur-jamur tersebut sanggup memparasiti ikan, kemudian mempelajari morfologi agen penyebab penyakit serta membandingkannya dengan spesies yang diuraikan dalam literatur terdahulu. Harus diperhatikan di sini bahwa, meskipun genus jamur air dibedakan terutama oleh tipe reproduksi aseksual, pengamatan yang cermat terhadap reproduksi seksualnya mutlak diperlukan untuk mengidentifikasi spesies dalam setiap genus. Taksonomi jamur ini diperumit oleh kenyataan bahwa kisaran variasi struktur yang penting untuk mengidentifikasi spesies tidak diketahui bahkan pada beberapa spesies yang sudah dikenal sekalipun. Struktur semacam ini malah mungkin tidak ada pada material yang diparasiti. Dahulu, identifikasi tampaknya dilakukan tanpa memperhatikan pedoman klasik yang seharusnya dipakai dalam identifikasi. Yang juga penting adalah fakta bahwa ada peneliti yang cenderung mengidentifikasi suatu spesies sebagai spesies baru bila siklus hidupnya tidak dapat diamati dengan sempurna. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa isolat spesies tersebut biasanya merupakan varietas murni dari suatu spesies yang telah dikenal.

Kesulitan Dalam Mengidentifikasi Jamur Patogen Pada Hewan Air

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa masalah utama yang sering muncul dalam mengidentifikasi jamur penyebab penyakit adalah apakah jamur tersebut benar-benar bersifat patogen atau hanya saprofitik yang memanfaatkan bangkai binatang. Bahkan bila ada bukti kuat bahwa suatu penyakit benar-benar disebabkan oleh jamur, pada beberapa kasus jamur tersebut baru sedikit dipahami sehingga identitasnya kurang dapat dipastikan. Penjelasan mengenai genus dan spesies jamur yang diperoleh dari binatang air menunjukkan bahwa secara umum parasit itu sendiri menyerang semua jenis organisme, baik vertebrata maupun avertebrata, baik laut maupun air tawar. Jamur penyebab penyakit pada binatang air tercakup dalam beraneka ragam taksa. Yang paling sering di antara semua tipe inang dan lingkungan adalah apa yang disebut “jamur air” (water mold) - Omycetes – tetapi dewasa ini manusia makin menyadari arti penting anggota-anggota jamur tingkat tinggi sebagai parasit binatang air. Beberapa jamur ini, di antaranya dua jenis jamur patogen yang paling penting yakni Branchiomyces dan Ichthyoponus, masih belum dapat dipastikan taksonominya. Jenis lain, Perkinsus (dulu Dermocystidium) yang tekah dipelajari secara mendalam oleh peneliti-peneliti terdahulu, sekarang dimasukkan ke dalam Apicomplexa (protozoa) dan tidak lagi disertakan ketika membahas penyakit jamur.

Baca juga
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Pedoman Umum Media Isolasi Jamur Patogen

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa media isolasi jamur patogen yang sesuai sangat bervariasi, tetapi sebagai pedoman umum sebaiknya media ini mengandung nutrien yang relatif sedikit. Media untuk jamur laut patogen seharusnya disiapkan dengan air laut. Media yang miskin nutrien seperti ini cenderung menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur saprofit. Kontaminasi bakteri dapat dicegah dengan antibiotik, demikian pula kontaminasi jamur mudah diatasi. Selain itu, sebaiknya lempengan agar-agar media isolasi diusahakan mengandung selapis tipis air tawar (atau air laut) pada permukaannya. Secara umum banyak literatur menunjukkan bahwa, kecuali dalam kasus tertentu, tidak ada keuntungan khusus yang dimiliki oleh berbagai jenis media isolasi yang digunakan. Dalam kasus jamur Aphanomyces astaci, pertumbuhannya dalam media agar-agar segera terhenti.

Daya Patogen Jamur Penyebab Penyakit Ikan

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa penelitian daya patogen berbagai jenis jamur penyebab penyakit binatang air secara umum menunjukkan bahwa sebagian besar jamur tersebut merupakan parasit yang sangat fakultatif (sanggup menyerang berbagai jenis inang). Hanya Aphanomyces astaci, Ichthyoponus dan Trichomaris invadens yang tampaknya bersifat obligatif (hanya menyerang jenis inang tertentu) dan tidak dapat hidup sebagai non parasit, dan ketiga jenis jamur ini menyebabkan penyakit yang sangat berbahaya bagi binatang yang rentan, di mana jamur-jamur ini sangat cepat menginfeksi populasi alami inang. Lagenidium callinectes telah berhasil diisolasi dari permukaan alga laut dan belum dapat dipastikan apakah jamur ini hidup di situ sebagai saprofit ataukah merupakan agen penyebab kematian masal pada berbagai jenis krustasea baik dalam populasi alami maupun populasi budidaya.

Kejadian Wabah Aphanomycosis Pada Udang Crayfish

Amlacher (1970) dalam Conroy dan Herman (1970) melaporkan bahwa aphanomycosis, yang umum dikenal sebagai penyakit pes kepiting atau crayfish, secara praktis menghancurkan semua populasi crayfish (sejenis udang sungai bercapit besar) di sungai dan danau yang ada di Jerman selama abad ke-19. Setelah tahun 1870 penyakit ini meluas dari Perancis ke Jerman (1878 – 1872); pada periode 1891 – 1896 penyakit tersebut menghancurkan populasi crayfish di Rusia, dan menjalar melalui pegunungan Ural ke sebelah timur Siberia. Pada tahun 1894 penyakit ini masuk ke Lithuania, sementara Skandinavia yang sejak lama bebas dari penyakit ini akhirnya diserbu oleh aphanomycosis pada tahun 1929. Selain menyerang kepiting dan crayfish, dilaporkan bahwa aphanomycosis juga menyerang ikan.

Gejala dan Gambaran Klinis Aphanomycosis

Menurut Amlacher (1970) dalam Conroy dan Herman (1970) gejala penyakit aphanomycosis tidak selalu dapat segera dilihat, tetapi sejalan dengan makin parahnya penyakit maka crayfish menunjukkan gejala-gejala tertentu yang membuktikan adanya serangan aphanomycosis. Crayfish cenderung mengambil posisi terlentang dengan kaki sekali-sekali digerakkan hingga akhirnya mati. Mereka terlentang dengan punggung di bawah mungkin disebabkan jamur menyerang dan menghancurkan membran persendian; karena itu binatang yang sakit bila berjalan terlihat kaku dan kaki-kakinya bisa lepas, demikian pula dengan capitnya. Bila diangkat kakinya akan menggantung ke bawah seolah-olah lumpuh. Selanjutnya mungkin terlihat gejala kelelahan. Bila membran berkitin pada permukaan perut bagian bawah atau membran persendian kaki dibedah dengan bantuan sepasang pinset berujung kecil, seringkali terlihat ada bagian-bagian yang terisolasi yang dirusak oleh jamur, dan bagian-bagian ini lunak serta mudah ditekan, kadang-kadang dengan warna kekuningan. Daerah dubur juga biasa diserang jamur ini.

Patogenesis dan Penularan Penyakit Pest Pada Crayfish Akibat Jamur

Daerah kutikula yang tak mengalami pengapuran, seperti membran antar-segmen dan sekitar lubang pada tubuh, hampir selalu diserang Aphanomyces astaci. Jarang ditemukan pada seekor crayfish lebih dari satu bagian badan yang parah diinfeksi. Kutikula yang sudah rusak lebih mudah diserang, bahkan jamur bisa pula meluas sampai ke epikutikula. Miselia tumbuh di dalam kutikula, dan kadang-kadang ditemukan pada permukaan luar. Biasanya, hifa hanya menyerang kutikula di sekitar tempat infeksi, dan tempat-tempat yang terinfeksi ini biasanya sulit dideteksi dengan mata telanjang. Pembentukan warna hitam (melanization) di bagian tubun yang terserang biasanya kurang jelas pada Astacus astacus, tetapi mungkin menyolok pada spesies crayfish yang kebal. Kutikula bisa rusak parah akibat jamur, tetapi jaringan bagian dalam tubuh jarang mengalami kerusakan parah oleh jamur ini. Kadang-kadang jamur tumbuh sepanjang tali saraf ventral dan/atau berkaitan dengan otak dan mata, tetapi organ-organ lain jarang disentuhnya kecuali bila pertumbuhan jamur sangat hebat yang biasa terjadi pada kasus penyakit yang sudah sangat parah.

Hifa pembentuk-zoosporsangia tumbuh keluar dari kutikula sesaat sebelum atau segera setelah inang mati, dan pada saat ini mata serta bagian-bagian kaki crayfish ditutupi oleh jalinan miselia putih halus.

Zoospora yang dilepaskan dari zoosporangia tetap bergerak aktif selama beberapa menit sampai 3 hari, bergantung pada suhu, dan zoospora yang membentuk kista dapat bertahan hidup paling tidak selama 2 minggu dalam air suling. Pertumbuhan zoospora menjadi tunas tampaknya terjadi sebagai respon ketika menyentuh substrat yang cocok, misalnya kutikula crayfish. Tida ada organ khusus untuk melekatkan diri pada substrat. “Infection peg’ (paku penginfeksi), atau tabung tunas, pada zoospora yang sedang bertunas menembus epikutikula melalui aksi penguraian-lemak (lipolytic). Kemampuan menguraikan-lemak tampaknya hanya dmililiki paku penginfeksi, sedang hifa mempunyai kemampuan menguraikan-kitin.

Kematian akibat infeksi biasanya terjadi dalam 1 - 2 minggu, dengan makin tinggi suhu makin cepat kematian. Begitu kutikula terinfeksi, gejala-gejala penyakit muncul. Crayfish yang sakit tidak dapat mempertahankan keseimbangan, jatuh terlentang, dan bila diangkat dari air capitnya akan menggantung atau terkulai seolah-olah sudah mati. Di sungai, crayfish yang menderita penyakit ini suka mencari tebing sungai, dan mereka seringkali kehilangan beberapa kakinya. Kelumpuhan seluruh abdomen umum terjadi 1 atau 2 hari sebelum kematian. Perilaku binatang yang sakit menunjukkan bahwa sejenis neurotoksin mungkin terlibat dalam patogenesis, seperti diduga pertama kali oleh Seligo (1895). Hal lain yang mendukung hipotesis ini adalah fakta bahwa pertumbuhan miselia di dalam tubuh inang sangat terbatas kecuali tepat sebelum kematian, dan bila spora pembunuh masuk ke dalam rongga pembuluh darah (haemocoel) akan mematikan crayfish. Pada dasarnya racun mungkin dihasilkan sebagai reaksi inang terhadap serangan jamur.

Infeksi bakteri sekunder, bergantung pada jenis bakteri, sering terjadi pada binatang yang menderita penyakit pest ini, tetapi limfa darah dari crayfish yang sekarat akibat Krebpest tidak mengandung bakteri.

Epizootiologi dan Kisaran Jenis Inang Penyakit Krebpest

Semua crayfish di dalam perairan atau daerah aliran sungai terbunuh setelah jamur Aphanomyces masuk ke lingkungannya. Penyebaran penyakit krebpest yang cepat pada populasi crayfish di Eropa mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia. Ketenaran crayfish sebagai bahan makanan di kota-kota besar Eropa serta pesatnya pembangunan sistem jalan kereta api pada akhir tahun 1800-an, mendorong manusia dengan cepat membawa dan menyebarkan udang sungai ini ke semua tempat yang didatanginya. Kelembaban wadah yang dipakai untuk menangkap dan membawa crayfsih menguntungkan bagi spora Aphanomyces, sehingga jamur ini mempunyai banyak kesempatan memasuki daerah-daerah baru. Penyakit ini aktif hampir sepanjang tahun . Selama epizootik muncul di dekat Berlin, crayfish yang terinfeksi ditemukan sepanjang tahun kecuali Januari sampai Maret (Schapperclaus, 1935).

Keempat spesies crayfish Eropa, yang tergolong genus Astacus dan Austropotamobius, semuanya mudah diserang penyakit ini. Spesies Jepang, Cambaroides japonicus, dan sembilan spesies Ausralia serta New Guinea dari genus Euastacus, Cherax, Geocherax dan Astacopis juga mudah menderita penyakit ini. Sebaliknya, 13 spesies crayfish Amerika, mencakup spesies Cambarus, Procambarus, Orconectes, Faxonella dan Pacifastacus, kebal. Kutikula rusak yang mengandung jamur mirip Aphanomyces ditemukan pada beberapa spesimen crayfish California Pacifastacus leniusculus yang diambil langsung dari alam. Lima puluh ekor Pacifastacus leniusculus yang diimpor ke Swedia dan dipelihara bersma-sama dalam laboratorium juga menderita kerusakan kutikula akibat Aphanomyces astaci. Infeksi pada binatang-binatang ini tidak mematikan. meskipun jamur tetap ada di dalam kutikula selama sedikitnya setahun. Sejenis penyakit yang mirip dengan krebpest tidak pernah dilaporkan menyerang crayfish yang ada di Amerika Utara, Jepang atau Australia. Diduga bahwa Aphanomyces astaci mungkin berkembang menjadi parasit pada crayfish Amerika Utara, dengan demikian bisa menjadi parasit bagi spesies-spesies crayfish di daerah ini. Crayfish dari bagian lain dunia, di mana Aphanomyces astaci secara alami tidak dijumpai, tidak mengembangkan sistem kekebalan secara genetika terhadap jamur ini. Penyakit pest ini mungkin masuk ke Eropa melalui crayfish terinfeksi yang diimpor dari Amerika. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada populasi Astacus astacus yang mengembangkan kekebalan terhadap penyakit ini di Eropa.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kerentanan krustasea lain terhadap jamur Aphanomyces astaci. Benisch (1940) berhasil menularkan Aphanomyces astaci ke Eriocheir sinensis, sejenis kepiting air tawar. Unestam (1969, 1972) menemukan bahwa banyak jenis krustasea planktonik (spesies dari Eudiaptomus, Mesocyclops, Bosmina, Daphnia, Leptodora, Chydorus, Bytotrephes dan Mysis) tampaknya sangat kebal terhadap Aphanomyces astaci.

Tampaknya parasit ini tidak mengalami tahap kebal terhadap kondisi lingkungan atau tahap spora istirahat (Unestam, 1969). Perairan habitat crayfish yang telah mati semua akibat krebpest masih dapat dihuni setahun lagi atau lebih oleh crayfish yang bebas-Aphanomyces, tanpa kemunculan kembali penyakit tersebut pada polukasi crayfish baru ini.

Unestam (1973) menyatakan bahwa masuknya spesies baru tumbuhan dan binatang non endemik berarti memasukkan pula parasit tumbuhan dan binatang tersebut, yang bisa menghancurkan populasi spesies asli yang tidak mempunyai kekebalan genetik terhadap parasit yang baru masuk ini. Krebpest tampaknya merupakan salah satu contoh kasus seperti ini.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Jamur Perairan Tawar

Wong et al. (1998) menyatakan bahwa ada lebih dari 600 spesies jamur air tawar dengan jumlah dari daerah beriklim sedang lebih banyak dibandingkan dari daerah tropis. Tiga kelompok utama dapat dibedakan yang mencakup jamur Ingoldia (ascomycete air), jamur hyphomycete non Ingoldia (chytrid) dan oomycete. Jamur penghuni habitat perairan-mengalir sangat berbeda dengan jamur yang hidup di perairan menggenang. Walaupun belum ada penelitian menyeluruh mengenai biogeografi semua kelompok jamur air tawar, namun diduga bahwa distribusi mereka sama seperti distribusi jamur Ingoldia yang bisa bersifat kosmopolit (tersebar di seluruh dunia), terbatas di daerah beriklim sedang atau daerah tropis, atau, dalam sedikit kasus, distribusinya terbatas di daerah yang sempit. Jamur air tawar diduga berevolusi dari nenek moyangnya yang hidup di darat. Banyak spesies jamur menunjukkan adaptasi yang jelas untuk hidup di perairan tawar karena anakannya memiliki kemampuan khusus untuk tersebar di lingkungan perairan. Jamur air tawar terlibat dalam pelapukan kayu dan material daun, juga menyebabkan penyakit pada hewan dan tumbuhan.

Peranan Jamur Dalam Ekosistem Laut

Hyde et al. (1998) menyatakan bahwa jamur laut merupakan kelompok yang lebih bersifat ekologis daripada taksonomik dan mencakup sekitar 1500 spesies, termasuk jamur yang membentuk lichen (lumut kerak). Mereka terdapat di sebagian besar habitat laut dan umumnya terdistribusi di seluruh daerah tropis dan daerah beriklim sedang. Jamur laut merupakan pengurai utama substrat kayu dan material tumbuhan dalam ekosistem laut. Arti penting jamur laut terletak pada kemampuannya yang hebat dalam menguraikan lignoselulosa. Mereka juga penting dalam penguraian binatang mati dan sisa-sisa binatang. Jamur laut merupakan patogen penting pada tumbuhan dan hewan serta membentuk hubungan simbiosis dengan organisme-organisme lain.

Distribusi Jamur di Laut

Moss (1986), berdasarkan beberapa laporan, menjelaskan distribusi jamur laut. Jamur yang merupakan endemik bagi lingkungan laut ditemukan sebagian besar di zona eufotik, terutama daerah litoral. Beberapa spesies selulolitik (pengurai selulosa) dijumpai sampai kedalaman sekitar 1 km; tetapi secara umum, jamur laut tampaknya jarang ada di bagian-bagian samudra yang dalam. Ada beberapa faktor utama yang mengendalikan distribusi jamur laut, yaitu ketersediaan substrat atau inang, suhu, tekanan hidrostatik dan oksigen. Keberadaan ragi yang melimpah di laut telah banyak didokumentasikan. Tampaknya sebagian besar ragi masuk ke laut bersama limpasan air dari darat.

Baca juga
Pembentukan Enzim Selulase pada Jamur Trichoderma : Pengaruh Logam dan Sumber Karbon

Kemungkinan Penggunaan Air Laut Buatan Sebagai Pengganti Air Laut Alami Dalam Penelitian Jamur Laut

Rohrmann et al. (1992) melaporkan bahwa penelitian jamur laut sering menghadapi kesulitan berupa tidak memadainya metode dan hasil, misalnya penggunaan air laut alami versus air laut buatan. Akibatnya, beberapa jamur laut yang posisi sistematikanya berbeda harus diuji pertumbuhan, aktivitas enzim dan produksi badan buahnya pada media solid dengan air laut alami dan buatan. Pertumbuhan yang dinyatakan sebagai diameter koloni dan produksi enzim oleh ragi basidiomycete Halocyphina villosa dan jamur ascomycete Lulworthia sp. dibandingkan pada kedua media. Pada semua kasus hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan atau hanya ada perbedaan kuantitatif minor. Penelitian terhadap spesies-spesies lain (dua ascomycete, satu ragi basidiomycete, dua deuteromycete) dan enzim-enzim lain juga menunjukkan tidak ada perbedaan antara kedua media dengan kekecualian tiga kasus. Produksi badan buah pada Halocyphina villosa terjadi pada kedua tipe air laut. Penambahan asam borat dengan konsentrasi alami ke medium air laut buatan tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan sembilan jenis jamur laut. Medium air laut buatan memberikan hasil yang bisa disamakan dengan air laut alami dalam penelitian jamur laut, memberikan hasil yang lebih bisa dibandingkan dan percobaannya bisa diulangi dengan hasil yang kira-kira sama, serta seringkali air laut buatan lebih murah dan lebih mudah diperoleh.


Infeksi Jamur Pada Ikan Danau

Khulbe (1992) dalam Suzuki et al. (1992) melaporkan bahwa lima danau penting di Kumaun Himalaya, India, telah dipelajari dalam hal keberadaan jamur air dan kejadian parasit jamur pada telur, anak ikan dan ikan dewasa. Sebanyak total 22 jamur air telah ditemukan tersebar di berbagai danau. Empat belas spesies di antaranya menyebabkan infeksi pada ikan. Jamur air fakultatif menyebabkan berbagai keabnormalan pada ikan termasuk kematian masal pada kondisi alami. Saprolegnia parasitica menunjukkan infeksi maksimum pada ikan. Ikan dewasa Puntius conchonius, Puntius ticto, Tor putitora dan Tor tor mengalami infeksi jamur secara maksimum.

Baca juga
Ekologi Jamur Air

Wabah Penyakit Jamur Akibat Saprolegnia Pada Ikan Sungai

Puckridge (1991) menyajikan hasil-hasil penelitian mengenai epidemi infeksi jamur yang menyerang ikan bony bream (Nematolosa erebi) pada akhir musim dingin di Sungai Murray, Australia Selatan. Diyakini bahwa penyebab dasar epidemi ini adalah penurunan kekebalan terhadap penyakit yang disebabkan dinginnya musim dingin. Infeksi mula pertama tampak sebagai kabut tipis yang merupakan filamen-filamen jamur pada kulit; sejalan dengan makin parahnya infeksi maka lapisan jamur makin tebal dan koreng pada kulit makin serius, sisik terangkat dan lepas serta infeksi makin menjalar. Spesies utama yang terlibat dalam wabah ini adalah jamur Saprolegnia parasitica; tak ada spesies ikan selain bony bream yang ditemukan menunjukkan gejala-gejala infeksi ini selama penelitian, yang berlangsung 4 tahun. Disarankan agar kejadian penyakit ini dipantau karena merupakan indikator penting terjadinya stres pada populasi ikan bony bream; juga, infeksi ini bisa menunjukkan kecenderungan kesehatan sungai dan dengan demikian berdampak besar bagi spesies-spesies ikan lain.

Transpor Ikan Dalam Kondisi Berdesakan Menyebabkan Infeksi Jamur Saprolegnia

Celano et al. (1992) melaporkan bahwa ikan salmon (Salmo trutta fario) dari hatchery di Italia Selatan mengalami kerusakan jaringan kulit serta kesulitan berenang dan bernafas. Analisa histopatologis serta mikrobiologis menunjukkan bahwa gangguan-gangguan tersebut disebabkan oleh jamur Saprolegnia. Infeksi jamur ini diyakini dimungkinkan oleh berbagai operasi budidaya seperti transpor ikan dengan kondisi berdesakan dan trauma selama kondisi berdesakan tersebut.

Kematian Masal Ikan Budidaya Akibat Serangan Jamur Saprolegnia

Hatai dan Hoshiai (1992) melaporkan bahwa wabah penyakit saprolegniasis terjadi pada ikan coho salmon (Oncorhynchus kisutch) berbobot 20 – 60 gram yang dibudidayakan di air tawar di Miyagi Prefecture, Jepang. Miselia mirip-kapas terbentuk di permukaan tubuh ikan yang terinfeksi, terutama di sekitar kepala, sirip adipose dan sirip ekor; dan hifa tak-bersekat muncul dalam jaringan tubuh yang rusak. Hifa ini juga menembus ke dalam otot dan pembuluh darah. Isolat jamur yang diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi aseksual ternyata adalah Saprolegnia parasitica (sinonim Saprolegnia diclina Tipe 1), yang dikenal sebagai agen patogen pada ikan salmonidae.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...