Kamis, 09 Mei 2013

Komposisi Kimia Minyak Ikan

Arsip Cofa No. C 152

Komposisi Umum Minyak Ikan

Brody (1965) menyatakan bahwa minyak ikan pada dasarnya merupakan ester dari asam lemak dan gliserol. Komposisi umum minyak ikan adalah sebagai berikut : (a) minyak ikan mengandung sekitar 25 % asam lemak jenuh, dan kira-kira 75 % asam lemak poli-tak-jenuh, (b) berbagai jenis asam lemak tak jenuh yang terkandung dalam minyak ikan memiliki panjang rantai yang sangat bervariasi dan sebagian besar asam lemak tak jenuh ini adalah asam-asam C-16, C-18 dan C-20 serta C-22, (c) minyak ikan memiliki komposisi tak-tersabunkan (unsaponifiable) yang cukup bervariasi, (d) minyak hati ikan mengandung kolesterol dengan konsentrasi yang relatif tinggi, sedang minyak badan ikan hanya mengandung sedikit kolesterol, (e) secara umum struktur gliserida minyak ikan jauh lebih komplek dibandingkan struktur gliserida lemak tumbuhan dan lemak binatang darat karena minyak ikan mengandung asam-asam lemak yang sangat tak jenuh dan berantai panjang.

Baca juga :
Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut

Kolesterol Sebagai Komponen Minyak Ikan

Menurut Brody (1965) kolesterol dan ester-esternya merupakan satu-satunya jenis senyawa sterol yang terdapat dalam minyak ikan. Beberapa contoh konsentrasi kolesterol dalam produk perikanan adalah sebagai berikut : minyak hati ikan sebelah, 7,0 %, minyak hati ikan cod Atlantik, 0,3 %, minyak telur ikan salmon, 3,0 %, minyak ikan pilchard (sejenis lemuru) komersial, 0,7 % dan minyak dari limbah udang, 19,0 %. Sebagai tambahan, tepung ikan yang dihasilkan di Nova Scotia mengandung kolesterol 6 – 10 pon per ton (sekitar 0,3 – 0,5 %).

Baca juga :
Bau Pada Ikan : Penyebab dan Cara Menghilangkan

Asam Lemak Dalam Minyak Ikan

Kebanyakan asam lemak dalam minyak ikan merupakan senyawa berantai-lurus normal dengan jumlah atom karbon genap. Asam isovalerat merupakan kekecualian dalam hal ini karena memiliki jumlah atom karbon ganjil dan juga rantainya bercabang. Struktur beberapa asam lemak yang sangat tak jenuh menyebabkannya menjadi tak stabil sehingga sulit untuk diisolasi dan dimurnikan. Di antara asam lemak jenuh yang paling dikenal yang ada dalam minyak ikan, asam palmitat (C16H32O2), asam stearat (C18H36O2) dan asam miristat (C14H28O2) banyak terdapat di dalam minyak ikan. Asam lignoserat (C24H48O2) hanya ditemukan dalam jumlah sangat sedikit sekali pada minyak beberapa jenis ikan lemuru dan hering (Brody, 1965).

Brody (1965) menambahkan bahwa di antara asam lemak tak jenuh yang paling dikenal yang ditemukan dalam semua minyak ikan, asam oleat (C18H34O2) terdapat sebagai komponen utama. Asam ini mempunyai satu ikatan rangkap. Asam clupanodonat, yang memiliki lima ikatan rangkap, juga ditemukan praktis dalam semua ikan sebagai komponen penting. Diyakini bahwa bau khas minyak ikan sebagian disebabkan oleh adanya asam-asam lemak yang sangat tak jenuh ini. Kenyataannya memang bila minyak ikan dihidrogenasi (sehingga asam lemak tak jenuh menjadi jenuh) maka minyak ikan kehilangan bau khas tersebut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Komposisi Asam Lemak Dalam Minyak Ikan Cucut

Saify et al. (2000) mempelajari komposisi asam lemak dalam minyak ikan dari dua spesies ikan laut yang ditemukan di perairan pesisir Karachi (Pakistan), yaitu ikan cucut martil (Eusphyra blochii) dan ikan cucut Carcharhinus bleekeri. Isolasi, identifikasi dan karakterisasi asam-asam lemak ini dilakukan dengan teknik “gas liquid chromatography” (GLC) dan gabungan TLC-GLC. Berbagai jenis pelarut digunakan untuk mengekstrak lipida dari jaringan ikan; di antara pelarut tersebut yang paling baik adalah larutan kloroform : mentanol (2 : 1; volume/volume). Ditemukan variasi yang besar antara minyak hati ikan kedua spesies tersebut. Kandungan lipida dalam hati ikan Eusphyra blochii adalah 66,19 % dan dalam hati Carcharhinus bleekeri sebesar 39,94 %.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk ikan Eusphyra blochii kandungan asam lemak jenuh dalam hati ikan ini berkisar dari 56 % sampai 70,12 %. Asam palmitat adalah dominan dengan kisaran konsentrasinya 36,63 sampai 46,97 % sedangkan konsentrasi asam stearat berkisar dari 9,34 sampai 17,49 %. Di antara asam-asam lemak tak jenuh, monoenoic merupakan asam lemak utama. Kadar asam oleat adalah 11,10 sampai 26,45 %. Dienoic dan trienoic merupakan komponen minor. Polyunstaurated fatty acid (PUFA) berkisar dari 4,25 sampai 15,21 % di mana EPA sebanyak 0,41 sampai 1,65 % dan DHA 0,24 sampai 3,07 %. EPA dan DHA dilaporkan ditemukan juga pada ikan silver carp dan bighead carp dengan rasio yang sama (Saify et al., 2000).

Saify et al. (2000) melaporkan hasil pengamatannya mengenai komposisi asam lemak dalam minyak ikan cucut Carcharhinus bleekeri sebagai berikut. Di antara kelompok lipida, konsentrasi asam lemak jenuh berkisar dari 34,77 sampai 68,24 %. Asam palmitat dan asam stearat merupakan asam-asam lemak jenuh utama dengan kadar berkisar dari 33,50 sampai 56,46 % dan 7,99 sampai 11,55 %, berturut-turut. Di antara asam-asam lemak tak jenuh, asam lemak monoenoic berkisar dari 4,35 sampai 41,21 % dengan asam oleat sebagai komponen utama yang kadarnya 0,30 sampai 27,05 %. Dienoic dan trienoic merupakan komponen minor. Asam lemak poli-tak-jenuh berkisar dari 1,08 sampai 7,38 %. Persentase komposisi EPA dan DHA berkisar dari 0,16 sampai 0,85 % dan 0,06 sampai 2,39 %, berturut-turut. Diasilgliserol tidak mengandung EPA sedangkan asam lemak bebas tidak mengandung EPA maupun DHA.

Baca juga :
Warna Pada Produk Perikanan

Komposisi Kimia Minyak Ikan Hasil Samping Pabrik Pengolahan Ikan

Dobrzañski et al (2002) melakukan studi untuk mengevaluasi sifat-sifat kimia minyak ikan yang berasal dari industri pengolahan ikan. Teknologi pengolahan minyak ikan yang dipakai industri ini dikembangkan oleh Sea Fisheries Institute di Gdynia dan Big-Fish Ltd. di Gniewino. Kandungan asam minyak ikan hasil industri ini adalah sebagai berikut : asam-asam lemak tak jenuh 82,72 %; asam-asam lemak poli-tak-jenuh 35,59 %; omega-3 sebesar 17,04 %; klor 0,23 %, kalsium 0,047 %. Unsur-unsur berikut juga ditemukan (dalam mg/kg) : magnesium 24,6; natrium 37,57; fosfor 51,8; seng 220; besi 15,33; aluminium 14,43; selenium 7,62. Produk minyak ikan ini juga mengandung 20 unsur lain dalam jumlah sangat kecil. Vitamin terdapat dalam kadar sebagai berikut (dalam IU/gram) : vitamin A 458, vitamin D3 240, vitamin E 1,21. Konsentrasi pestisida klorin organik, polychlorinated biphenyl (PCB) dan logam beracun (As, Cd, F, Hg, Pb) ada dalam kisaran yang diijinkan. Minyak ikan ini memenuhi kriteria umum untuk bahan makanan hewan. Bagaimanapun, penting untuk menentukan rasio gizi optimal.

Baca juga :
Proses Silase dan Dampak Negatif Minyak Ikan

EPA, DHA dan Yod Dalam Minyak Ikan Komersial

Badolato et al. (1991) melaporkan bahwa minyak ikan merupakan sumber alami paling penting untuk asam lemak poli-tak-jenuh, seperti omega-3-eicosapentaenoic (EPA) dan docosahexaenoic (DHA), yang berguna dalam mencegah dan mengobati penyakit jantung tertentu. Peningkatan penawaran kapsul suplemen minyak ikan mendorong kita untuk membuktikan mutunya. Untuk itu, 19 sampel suplemen minyak sardin, yang diimpor dari Inggris dan dikapsulkan di Brazil, serta 8 sampel minyak ikan sardin Brazilia (Sardinella brasiliensis), yang diekstrak di laboratorium, dianalisis kadar asam EPA dan DHA-nya, dari segi jumlah total asam lemak, dengan kromatografi gas pada kolom kapiler silika CARBOWAX 20 M yang disatukan. Pada semua sampel juga ditentukan nilai yodin (Wijs) dan indeks refraksinya pada suhu 40 oC. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya satu sampel suplemen minyak ikan sardin yang sangat tidak sesuai dengan pola formula yang dicantumkan pabrik dan nilai yodinnya juga sangat rendah.

Senyawa Hijau di Dalam Minyak Ikan Sardin

Minyak ikan sardin yang mengandung asam lemak omega-3 poli tak jenuh (poly unsaturated) merupakan minyak ikan domestik yang paling banyak diproduksi di Jepang. Selama penyimpanan, flavor tak enak berkembang dan terbentuk aroma hijau pada tahap awal yang menimbulkan bau amis khas ikan. Wada dan Lindsay (1992) telah meneliti aroma hijau di dalam minyak ikan sardin teroksidasi. Kedua peneliti menemukan senyawa aroma baru dengan nilai IE = 7,30 (kolom kapiler SE-54) dan mengidentifikasikannya sebagai senyawa 1,5-oktadien-3-hidroperoksida. Konsentrasi senyawa hijau ini adalah hampir 20 ppb (bagian per milyar) di dalam minyak ikan sardin. Aroma hijau dari minyak sardin merupakan kombinasi semua senyawa berikut : nonadienal, trans-2-heksanal dan 1,cis-5-oktadien-3-one serta 1,5-oktadien-3-hidroperoksida.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 07 Mei 2013

Suhu dan Kandungan Panas Perairan : Aspek Fisik

Arsip Cofa No. C 151

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Suhu Air Permukaan Laut

Suhu permukaan laut tergantung pada jumlah radiasi matahari yang diterima permukaan tersebut dan menentukan jumlah panas yang diradiasikan kembali ke atmosfer : makin tinggi suhu suatu permukaan, makin banyak panas yang diradiasikan kembali. Panas juga dipindahkan melintasi permukaan laut oleh konduksi dan konveksi, dan oleh efek penguapan. Bila suhu permukaan laut lebih tinggi daripada suhu udara yang ada tepat di atasnya, maka panas akan dipindahkan dari laut ke udara. Secara umum permukaan laut lebih hangat daripada udara yang ada di atasnya, sehingga terjadi kehilangan panas neto dari laut melalui proses konduksi. Kehilangan panas ini relatif tidak penting dibandingkan total panas yang keluar-masuk samudra, dan pengaruhnya bisa diabaikan bila tidak ada proses konveksi oleh angin, yang bertiup membawa udara hangat dari lokasi tepat di atas permukaan laut. Penguapan (perpindahan air ke atmosfer sebagai uap) merupakan mekanisme utama di mana laut kehilangan panas - sekitar satu ordo besaran lebih besar daripada panas yang hilang melalui konduksi ditambah konveksi. Jumlah panas yang hilang melalui penguapan adalah sama dengan kalor laten penguapan dikali laju penguapan (Open University, 2004).

Baca juga :
Toleransi Ikan Mujaer (Cichlidae) Terhadap Suhu

Hubungan Suhu Udara dan Suhu Air Laut

Michie et al. (1991) mengumpulkan data suhu air dan salinitas permukaan laut untuk 10 stasiun di Darwin Harbour Northern Territory, Australia, selama 4 tahun dan satu stasiun di Teluk Shoal selama 7 tahun. Salinitas meningkat ke arah hilir dan selama musim kering hingga bulan Oktober. Suhu air mengikuti pola suhu udara maksimum dan tidak pernah melebihi 10 oC lebih rendah dibandingkan suhu udara. Suhu air laut tertinggi dilaporkan untuk bulan Oktober – November dan terendah pada bulan Juni dan Juli.

Baca juga :
Kemungkinan Memacu Pertumbuhan Ikan Dengan Memanipulasi Suhu Air

Pengaruh Angin Terhadap Suhu Permukaan Laut

Wick et al. (1996) menganalisis hasil pengamatan dan dugaan respon perubahan suhu kulit permukaan laut yang luas terhadap perubahan kecepatan angin dan heat flux (keluar-masuknya panas) neto. Pengamatan terhadap perubahan suhu di Samudra Pasifik tropis dan Atlantik utara menunjukkan bahwa kecepatan angin mempengaruhi perubahan suhu melalui keluar-masuknya panas neto dan pengadukan turbulensi. Meningkatnya kecepatan angin secara khas meningkatkan keluar-masuknya panas neto, yang meningkatkan besarnya perubahan suhu. Pada saat yang sama, meningkatnya kecepatan angin menyebabkan peningkatan pengadukan, yang menurunkan besarnya perubahan suhu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Hubungan Curah Hujan dan Suhu Permukaan Laut

Markham dan McLain (1977) melaporkan bahwa curah hujan di Ceara, Brazil, berhubungan dengan suhu permukaan laut di Samudra Atlantik selatan. Pengetahuan mengenai suhu permukaan laut memungkinkan untuk meramal curah hujan sebelum musim hujan dimulai. Mekanisme ini mungkin melibatkan fakta bahwa suhu laut mempengaruhi ketinggian pembalikan angin dan, dengan demikian, ketinggian lapisan udara lembab. Data ini juga menunjukkan keterkaitan antara suhu laut di bawah normal di Atlantik selatan dengan El Nino di Pasifik.

Baca juga :
Pengaruh Hujan Terhadap Perairan

Pengaruh Turbulensi Terhadap Pertukaran Panas Antara Laut dan Udara

Veron et al. (2011) menyatakan bahwa pertukaran panas antara udara dan laut terutama dikendalikan oleh lapisan difusi molekular di dekat permukaan laut. Dengan perbedaan antara kinematic viscosity dan thermal diffusivity sebesar satu ordo besaran, sublapisan panas terletak di dalam analog momentumnya : sublapisan kental. Dengan demikian, laju pertukaran panas permukaan sangat dipengaruhi oleh kinematika dan dinamika permukaan; secara khusus, fenomena berskala kecil, seperti turbulensi dekat-permukaan, sangat berpotensi mempengaruhi keluar-masuknya panas melewati permukaan. Teori surface renewal (pembaharuan permukaan) telah dikembangkan untuk mengukur parameter-parameter perpindahan turbulen melewati sublapisan molekular. Teori ini berasumsi bahwa arus turbulen secara terus-menerus menggantikan massa air permukaan dengan sejumlah besar cairan, yang tidak dalam kondisi seimbang dengan atmosfer dan dengan demikian dapat memindahkan panas. Disimpulkan bahwa ada hubungan yang jelas antara pengukuran turbulensi permukaan secara langsung dan skala waktu pembaharuan permukaan rata-rata. Hubungan ini tidak ditentukan oleh mekanisme pembangkitan turbulensi. Diduga bahwa pengukuran turbulensi permukaan secara langsung bisa menghasilkan nilai dugaan yang lebih baik untuk keluar-masuknya panas antara udara dan laut.

Baca juga :
Suhu Air di Kolam Budidaya Ikan

Karakteristik Suhu Air di Laut Tropis

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) siklus harian radiasi matahari menghangatkan dan mendinginkan lapisan atmosfer bagian bawah tepat di atas permukaan laut sebesar 4 – 5 oC di daerah tropis, tetapi bahkan pada saat kondisi laut tenang siklus harian suhu air tepat di bawah permukaan laut adalah jauh lebih kecil. Di daerah-daerah lintang tinggi terjadi perubahan suhu harian yang nyata : di Laut Baltik bagian atas, suhu seluruh kolom air setebal 10 meter mungkin berubah antara siang dan malam sebesar hampir 2,0 oC. Perubahan suhu harian sebesar ini bisa timbul di daerah tropis hanya bila terjadi upwelling massa air dingin di dekat pantai dangkal berpasir.

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa di laut tropis timbul perbedaan suhu yang tajam. Hanya 15 – 20 meter di bawah permukaan laut tropis di Teluk Guinea, atau di lepas pantai barat Amerika Tengah, air mulai menjadi lebih dingin dan pada kedalaman 40 meter terdapat air dingin yang suhunya sekitar 16 oC. Dengan demikian massa air permukaan laut tropis yang hangat merupakan lapisan yang sangat tipis di atas massa air samudra yang dingin. Kedua zona suhu ini dipisahkan di seluruh daerah tropis dan subtropis oleh sebuah diskontinyuitas panas yang tajam yang mirip dengan termoklin musim panas di daerah lintang tinggi. Turbulensi akibat-angin menyebabkan panas dari lapisan permukaan teraduk ke bawah hingga mencapai titik kritis di mana density gradient (perbedaan densitas air) cukup kuat untuk mencegah massa air permukaan tersebut turun ke bawah.

Telah dikenal tiga jenis air permukaan di daerah tropis : air permukaan tropis (suhu 25 – 28 oC, salinitas 33 – 34 ‰), air permukaan katulistiwa (20 – 28 oC, 34 – 35 ‰) dan air permukaan subtropis (19 – 28 oC, 35 – 36,5 ‰). Klasifikasi ini berarti bahwa air di atas termoklin tropis adalah hangat dan asin kecuali bila upwelling di sepanjang katulistiwa membawa massa air yang lebih dingin, atau bila air permukaan dari gyre subtropis samudra tengah utama mengalir ke daerah tropis sehingga menjadi lebih hangat dan diencerkan oleh hujan tropis, bahkan bisa mencapai kondisi sedemikian hingga massa air yang dibawa gyre tersebut tidak bisa dibedakan dari massa air permukaan tropis sekitarnya (Longhurst dan Pauly, 1987).

Kapasitas Panas Air dan Pengaruh Bahan-Bahan Terlarut

Cole (1994) menyatakan bahwa kapasitas panas air murni adalah sangat tinggi, sekitar 1,0 atau 4,187 joule/gram.oC pada suhu 14,5 oC. Air laut yang nengandung 35 gram garam per kg air, mempunyai kapasitas panas spesifik lebih rendah, yaitu 0,93 atau 3,902 joule/gram.oC. Air tawar dari danau dan sungai, dengan demikian, mempunyai kapasitas panas yang sedikit lebih kecil dari 1,0 karena mengandung bahan-bahan terlarut. Hal ini berarti bahwa diperlukan kalori yang lebih sedikit untuk memanaskan air danau daripada air suling dengan volume yang sama. Perbedaan kapasitas panas antara air danau dan sungai dengan air suling dapat diabaikan dalam banyak kasus, tetapi untuk perairan di padang pasir perbedaan ini menjadi besar akibat tingginya konsentrasi mineral di basin perairan yang tertutup. Kapasitas panas air tawar dari danau di padang pasir bisa turun menjadi 0,924 karena mengandung 70 gram garam per liter air.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 03 Mei 2013

Kemungkinan Memacu Pertumbuhan Ikan Dengan Memanipulasi Suhu Air

Arsip Cofa No. C 150

Suhu Optimal Untuk Pertumbuhan Ikan

Swann (2000) menyatakan bahwa setelah oksigen, suhu air merupakan faktor tunggal yang paling mempengaruhi ikan. Ikan adalah binatang berdarah dingin dan suhu tubuhnya kira-kira sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Suhu air mempengaruhi aktivitas, perilaku, makan, pertumbuhan dan reproduksi semua jenis ikan. Laju metabolik ikan meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu 10 oC. Berdasarkan suhu pertumbuhan optimalnya, ikan umumnya dikategorikan menjadi spesies perairan hangat, perairan sedang dan perairan dingin. Lele dan mujaer merupakan contoh spesies perairan hangat; kisaran suhu untuk pertumbuhannya adalah antara 75 – 90 oF. Suhu 85 oF untuk lele dan 87 oF untuk mujaer dianggap optmium. Ikan walleye dan yellow perch adalah contoh spesies perairan bersuhu sedang; kisaran suhu untuk pertumbuhan optimumnya adalah antara 60 dan 85 oF. Suhu pada batas atas kisaran ini dianggap paling baik untuk pertumbuhan maksimum bagi kebanyakan spesies ikan perairan sedang. Spesies perairan dingin mencakup semua spesies salmon dan trout. Spesies perairan dingin yang paling umum dibudidayakan di Midwest (negara-negara bagian Amerika Serikat sebelah utara) adalah rainbow trout, yang kisaran suhu optimal untuk pertumbuhannya 48 – 65 oF.

Baca juga :
Mana Yang Lebih Cepat Tumbuh : Individu Jantan atau Betina ?

Meningkatkan Suhu Air Kolam Dengan Rumah Kaca Untuk Memacu Pertumbuhan Ikan

Talbot dan Battaglene (1991) dalam Hancock (1992) melaporkan hasil percobaan pemanasan pasif menggunakan kolam yang ditutupi kaca dan kolam yang tak ditutupi guna mengamati pengaruh peningkatan suhu air kolam terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan bass Australia (Macquaria novemaculeata). Pada kolam yang ditutupi kaca, dengan kisaran suhu air 18 – 23 oC, larva ikan membutuhkan waktu 48 – 59 hari untuk mencapai metamorfosis dihitung dari saat menetas dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 51 – 23 %. Dalam kolam yang tidak ditutupi, dengan kisaran suhu air 9 – 24 oC, metamorfosis terjadi pada umur 88 – 118 hari dengan kelangsungan hidup rata-rata 14,7 – 11,3 %. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keuntungan ekonomis yang besar bisa diperoleh dengan memelihara larva ikan bass Australia secara ekstensif di dalam kolam rumah kaca, bukan dengan teknik hatchery intensif konvensional.

Baca juga :
Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

Pertumbuhan Ikan Mujaer Pada Berbagai Suhu

Shelton dan Popma (2006) dalam Lim dan Webster (2006), berdasarkan beberapa penelitian, menyatakan bahwa suhu air untuk pertumbuhan ikan mujaer yang optimal adalah antara 29 oC dan 31 oC. Secara umum ikan mujaer tidak tumbuh dengan baik di bawah suhu 16 oC. Bila ikan diberi pakan sampai kenyang, pertumbuhan pada suhu yang disukai adalah secara khas tiga kali lebih besar dibandingkan pertumbuhan pada suhu 22 oC. Konsumsi makanan maksimum pada suhu 22 oC adalah hanya 50 sampai 60 % dibandingkan pada suhu 26 oC. Mujaer dilaporkan bisa mentolerir suhu sampai 40 oC, tetapi stres dan kematian menjadi masalah bila suhu melebihi 37 atau 38 oC. Sebaliknya, penanganan pada suhu rendah dapat juga menimbulkan trauma akibat-stres dan kematian bila suhu di bawah 17 atau 18 oC.

Perubahan Laju Pertumbuhan Ikan Berhubungan Dengan Perubahan Suhu Air

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa pada ikan dan invertebrata, perubahan laju pertumbuhan musiman adalah berhubungan dengan kisaran perubahan suhu air antara musim panas dan musim dingin. Hubungan ini tampaknya dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya ketersediaan makanan, di mana faktor itu sendiri dikendalikan oleh suhu. Bagaimanapun, fakta bahwa perubahan laju pertumbuhan musiman bervariasi tergantung suhu di seluruh laut tropis maupun laut daerah beriklim sedang, untuk invertebrata maupun ikan, yang strategi sejarah hidupnya beraneka ragam, sangat mungkin menunjukkan bahwa suhu adalah penyebabnya. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa ikan tampaknya dapat melanjutkan pertumbuhannya di dalam kisaran perubahan suhu 10 oC, yang mirip dengan kisaran di mana sistem enzim biasanya akan berfungsi, meskipun pada laju yang tergantung-suhu.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Suhu Air Laut Terhadap Pertumbuhan Ikan Bass

Pawson (1992) melaporkan bahwa ikan sea bass (Dicentrarchus labrax L.) di sekitar Inggris hidup di hampir batas utara distribusi spesies ini, dan perubahan iklim mempengaruhi fluktuasi kelimpahan kelas-umur. Ada sebuah daerah pemijahan utama dan daerah pembesaran anak di sepanjang pantai Inggris pada English Channel tengah, di mana suhu musiman air pantai mengalami siklus hangat, dingin dan hangat lagi selama tahun 1980-an. Pola ini tercermin pada indeks-indeks kelimpahan juvenil ikan bass, dan laju pertumbuhannya juga berkaitan secara positif dengan suhu. Tampaknya iklim berpengaruh kuat terhadap rekruitmen juvenil bass pada perikanan English Channel, dan bahwa kelangsungan hidup serta pertumbuhannya lebih tergantung pada suhu dibandingkan pada kepadatan populasi.

Baca juga :
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Pertumbuhan Asellus Dipengaruhi Oleh Suhu dan Bobot Badan

Mladenova (1992) mempelajari pertumbuhan Asellus aquaticus pada suhu 1, 4, 10, 15, 20, 25 dan 30 oC di laboratorium. Pada semua suhu, laju pertumbuhan spesifik berkurang dengan meningkatnya bobot badan. Dalam kisaran toleransi suhu, pertumbuhan juvenil Asellus aquaticus sangat dipengaruhi oleh suhu. Dengan meningkatnya bobot badan, kisaran toleransi suhu menjadi lebih sempit. Parameter-parameter persamaan pertumbuhan sigmoid menunjukkan ketergantungan suhu yang teratur.

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan, Aktivitas Makan dan Kelangsungan Hidup Anak Ikan Bandeng

Villaluz dan Unggui (1984) meneliti pengaruh tiga perlakuan suhu terhadap aktivitas, makan, pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup ikan bandeng (Chanos chanos) muda. Suhu rendah (< 22,6 oC) dan kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut kurang dari 1 ppm) menyebabkan penurunan aktivitas, daya respon dan pengambilan makanan pada bandeng; sedangkan suhu tinggi (sampai 33 oC) memberikan pengaruh sebaliknya. Pertumbuhan dan perkembangan adalah paling cepat pada bandeng yang dipelihara dalam suhu tinggi (sekitar 29,5 oC). Ikan yang ditempatkan dalam suhu rendah (sekitar 20,7 oC) menunjukkan laju pertumbuhan paling kecil dan terhambat perkembangannya menjadi juvenil selama periode 30 bulan. Kelangsungan hidup tertinggi (sekitar 99,7 %) diperoleh pada bandeng yang dipelihara dalam suhu tinggi, tetapi tidak berbeda nyata (P > 0,05) dengan bandeng yang dipelihara dalam suhu normal (sekitar 97,7 %).

Baca juga :
Hormon Pertumbuhan Ikan

Pertumbuhan Ikan Demersal Tidak Dipengaruhi Suhu Air Dasar Laut

Ross dan Nelson (1992) mempelajari pengaruh suhu air di dasar laut terhadap laju pertumbuhan ikan sebelah ekor kuning Pleuronectes ferrugineus dan ikan haddock Melanogrammus aeglefinus di daerah Georges Bank di Samudra Atlantik barat-laut. Mereka menyimpulkan bahwa suhu berkorelasi tidak nyata dengan pertumbuhan kedua spesies ikan ataupun dengan pertumbuhan ikan kelompok umur 2 dan 3 tahun. Selain itu, bila korelasi tersebut bersifat nyata, suhu tidak selalu berhubungan dengan keragaman pertumbuhan individu dalam satu kelompok umur, bahkan selama periode ketika kelimpahan ikan tersebut rendah. Fluktuasi suhu tahunan selama periode penelitian tampaknya hanya memberikan pengaruh sedang terhadap laju pertumbuhan ikan sebelah maupun ikan haddock di Georges Bank.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...