Selasa, 29 Januari 2013

Alergi Terhadap Ikan dan Makanan Laut

Arsip Cofa No. C 130

Konsep Umum Alergi

Lehrer et al. (1992) menyatakan bahwa alergi merupakan respon tak normal sistem kekebalan terhadap substansi asing, yang biasanya tidak berbahaya, seperti serbuk sari, kutu debu rumah, jamur atau makanan. Istilah alergi sinonim dengan “immediate hypersensitivity” (kepekaan-berlebihan yang bersifat segera). Alergi merupakan masalah umum, yang mempengaruhi sedikitnya 15 – 20 % orang Amerika dan mungkin sejumlah cukup besar penduduk negara industri lainnya. Secara umum, sistem kekebalan mempunyai fungsi perlindungan yang menentukan apakah protein jaringan dan molekul besar lain merupakan benda asing melalui produksi sel-sel immunocompetent (sel penanggung jawab kekebalan) dan antibodi. Antibodi merupakan molekul protein, yang sintesisnya terangsang bila terkena antigen.

Pada manusia, antibodi dikelompokkan menjadi empat kelas utama imunoglobulin (IgG, IgA, IgM dan IgE). IgE menarik perhatian karena kaitannya dengan alergi atau reaksi hipersensitif yang segera. Alergen merupakan antigen yang merangsang respon IgE di dalam plasma sel jaringan limfoid yang terletak di dalam saluran pernafasan dan gastrointestinal. Pathogenesis (kemuncukan penyakit) akibat reaksi alergi melibatkan interaksi alergen spesifik dan antibodi IgE yang terikat pada reseptor berbagai sel, seperti sel-sel tiang atau basophil. Penjembatanan antara antibogi IgE terikat-sel dengan alergen menyebabkan pelepasan mediator (perantara), seperti histamin, leukotriene atau sitokin, yang diwujudkan dalam bentuk reaksi alergi (Lehrer et al., 1992).

Baca juga :
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

Protein Penyebab Alergi Terhadap Ikan

Taylor et al. (2004) menyatakan bahwa alergi terhadap ikan merupakan reaksi alergi makanan yang umumnya diperantarai oleh IgE, terutama di daerah geografis di mana ikan menjadi bahan makanan penting. Alergi ikan diduga mempengaruhi 0,4 % dari total populasi manusia di Amerika Serikat. Semua spesies ikan diyakini bisa menyebabkan alergi, tetapi reaksi alergi terhadap ikan yang dilaporkan dalam literatur kedokteran paling banyak disebabkan oleh ikan cod dan salmon. Senyawa utama dalam tubuh ikan yang menyebabkan alergi adalah sejenis protein otot yang terdapat secara alami yang dikenal sebagai parvalbumin. Protein lain dalam tubuh ikan yang terbukti menyebabkan reaksi alergi adalah mencakup kolagen.

Baca juga :
Bakteri Pada Makanan Laut

Penyebab Alergi Terhadap Ikan dan Kerang

Wild dan Lehrer (2005) menyatakan bahwa ikan dan kerang adalah penting dalam makanan dan ekonomi Amerika. Hampir $ 27 milyar dibelanjakan setiap tahun di Amerika Serikat untuk belanja produk makanan laut. Ikan dan kerang juga merupakan penyebab penting hipersensitivitas makanan. Pada kenyataannya, kerang menjadi nomor satu penyebab alergi makanan pada orang Amerika dewasa. Penyebab utama alergi yang terkandung dalam tubuh berbagai spesies ikan dan amfibi adalah parvalbumin. Penyebab utama alergi pada kerang telah diidentifikasi sebagai tropomyosin. Banyak agen baru penyebab alergi reaksi-silang telah diidentifkasi di dalam famili ikan dan di antara kerang, laba-laba dan serangga.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Resiko Alergi pada Pekerja Pabrik Tepung Ikan

Droszcz et al. (1981) memeriksa 51 pekerja pabrik tepung ikan di empat kota pelabuhan di Polandia . Mereka telah bekerja di pabrik tepung ikan selama 1 – 33 tahun dengan rata-rata 10,7 tahun. Semuanya kecuali tujuh orang adalah perokok. Penelitian mencakup kuisioner gejala-gejala pernafasan, sinar-X terhadap dada, pengujian fisik, pendugaan fungsi pernafasan, uji kulit intradermal (kulit bagian dalam) terhadap 10 genus ikan, total serum IgE dan uji presipitin serum terhadap antigen ikan. (Catatan : presipitin adalah antibodi yang menghasilkan gumpalan ketika bereaksi dengan antigen).

Dalam penelitian tersebut, Droszcz et al. (1981) menemukan bahwa penyakit bronchitis kronis ditemukan pada 29 pasien yang diperiksa. Sebanyak 12 orang (23 %) pasien, berdasarkan riwayat kasus mereka atau berdasarkan uji kulit, diduga kuat menderita alergi terhadap ikan; tetapi setelah dibuktikan berdasarkan peningkatan konsentrasi IgE dalam serum darah ternyata hanya dua dari jumlah ini yang menunjukkan alergi. Tidak ditemukan adanya presipitin serum terhadap antigen ikan. Pada enam pasien ditemukan adanya gangguan pernafasan tetapi hal ini disebabkan oleh kebiasaan merokok. Berdasarkan penelitian ini, hanya dua pekerja yang menderita alergi terhadap ikan secara klinis dan imunologis. Dari sudut pandang praktis, jenis pekerjaan di pabrik tepung ikan ini adalah kurang berbahaya daripada yang diharapkan secara teoretis.

Baca juga :
Keracunan Makanan Akibat Mengkonsumsi Ikan Tengiri dan Tuna

Alergi Pada Konsumen dan Pekerja Pengolahan Produk Perikanan Laut

Lehrer et al. (1992) menyatakan bahwa makanan laut merupakan penyebab umum alergi makanan. Reaksi alergi dijumpai pada konsumen setelah menelan daging makanan laut dan pada pengolah makanan setelah menghirup uap dari makanan laut selama dimasak. Telah dilaporkan bahwa beberapa jenis makanan laut mungkin mengandung bahan beracun, yang menyebabkan reaksi serius pada konsumen ketika memakannya. Di samping racun, komponen normal makanan laut, yang biasanya berupa molekul protein tak berbahaya, dapat menyebabkan reaksi alergi hebat yang mengancam jiwa bagi orang yang peka.

Meskipun alergi makanan laut umum dijumpai dalam praktek pengobatan, jumlah kasus yang tepat belum dapat ditentukan. Diduga bahwa sekitar 100.000 sampai 250.000 orang Amerika sedang menghadapi resiko reaksi alergi terhadap produk makanan laut. Seperti pada kebanyakan studi alergi makanan, hanya sepertiga dari individu-individu yang peka-udang menunjukkan hasil uji penolakan udang yang positif. Kombinasi pengujian kulit udang positif dan Radioallergosorbent/RAST udang (> 11 % terikat) memberikan nilai dugaan terbaik (87 %) untuk respon penolakan positif. Walaupun terapi anti alergi telah dikembangkan, penghindaran secara terus-menerus merupakan cara terbaik untuk mengatasi alergi karena makanan, menghirup uap dan pekerjaan.

Lehrer et al. (1992) menambahkan bahwa alergi makanan laut terkait-pekerjaan belum banyak dipelajari, namun berdasarkan penelitian diduga bahwa 57.000 pekerja makanan laut Amerika sedang menghadapi resiko reaksi alergi terkait-pekerjaan. Dari segi alerginisitas berbagai makanan laut, tidak mengherankan bahwa sejumlah reaksi alergi terkait-pekerjaan telah ditemukan pada pekerja makanan laut, termasuk nelayan, pekerja udang, pekerja pengolah makanan laut, pemborong, koki restauran, pekerja budidaya perikanan, penggiling cangkang, pekerja pabrik tepung ikan, pengupas cangkang oyster dan yang mengolah dagingnya.

Baca juga :
Pendugaan Kesegaran Ikan

Alergi Terhadap Ikan pada Anak-Anak

de Martino et al. (1993) menyatakan bahwa alergi ikan adalah masalah klinis terkait dengan konsumsi dan/atau pengolahan ikan. Diperkirakan bahwa 4 – 5 individu tiap 1.000 anak mengalami alergi terhadap ikan cod. Sebagai satu kelompok, anak dengan alergi cod tampaknya menunjukkan kondisi atopic yang lebih hebat dan secara klinis lebih parah. (Atopic adalah bentuk alergi dengan reaksi yang hiper-sensitif seperti eksim atau asma meskipun tidak bersentuhan dengan agen penyebab alergi). Tingkat IgE z-score (rata-rata ± simpangan baku) adalah secara nyata (P < 0,001) lebih tinggi pada 68 anak yang positif-cod (14,27 ± 3,87) dibandingkan pada 533 anak yang positif terhadap alergen lain (8,12 ± 4,06).

Meskipun usia median kelompok ini lebih kecil (59 bulan), anak positif-cod memiliki frekuensi asma yang lebih tinggi (60,2 %) daripada anak dengan alergi jenis lain, dan umur pertama kali terkena asma adalah secara nyata lebih muda (P < 0,001) pada kelompok pertama (32 bulan) dibandingkan pada kelompok terakhir (41 bulan). Selain itu, urticaria (bercak merah pada kulit yang sangat gatal akibat reaksi alergi) dan angioedema (kondisi cairan ang berlebihan dalam pembuluh darah) lebih sering terjadi pada anak dengan alergi-cod (33,8 %) dibandingkan pada pasien dengan alergi pernafasan (6,3 %; P < 0,01), alergi pernafasan dan makanan selain ikan cod (14,8 %; P < 0,01), alergi makanan selain ikan cod (12,2 %; P < 0,01). Rasio pria : wanita pada anak alergi-cod (3,53) secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan alergi pernafasan (1,78; P = 0,037) atau makanan (0,68; P < 0,0001) (de Martino et al., 1993).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 27 Januari 2013

Pendugaan Kesegaran Ikan

Arsip Cofa No. C 129

Metode Pendugaan Kesegaran Ikan

Alasalvar et al. (2011) dalam Alasalvar et al. (2011) menyatakan bahwa kesegaran ikan merupakan faktor utama penentu kualitas produk makanan laut. Untuk semua jenis produk makanan laut, kesegaran adalah penting bagi kualitas produk akhir. Seringkali dikatakan bahwa tidak ada satu metode pun yang cukup memuaskan untuk menduga kesegaran dan kualitas produk makanan laut. Oleh karena itu, sejumlah metode subyektif (inderawi), obyektif (non inderawi) dan statistik telah disarankan untuk mengevaluasi kesegaran dan kualitas ikan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Di antara semua metode instrumental yang telah dikembangkan dalam dekade terakhir ini, metode inderawi (sensory method) tetap menjadi cara yang paling memuaskan dalam menduga kesegaran ikan dan produk perikanan. Uji inderawi makanan laut obyektif, yang didasarkan pada sifat-sifat tertentu dari ikan mentah (kulit, mata, insang, teksur, dll.), adalah metode yang paling umum digunakan untuk menduga kualitas ikan mentah utuh.

Bagaimanapun, skema ini tidak bersifat universal dalam penerapannya, dan modifikasi diperlukan untuk memperbaiki keakuratan metode tersebut bagi setiap spesies binatang laut. Sebagai contoh, “Quality Index Method” (QIM; Metode Indeks Kualitas) telah disiapkan untuk menduga kesegaran ikan salmon Atlantik dan dikembangkan untuk berbagai spesies ikan Eropa yang umum. Bagaimanapun, penelitian lebih lanjut diperlukan guna mengevaluasi penerapan QIM untuk ikan yang ditangani, disimpan dan diolah di bawah kondisi yang berbeda. Inisiatif lebih lanjut adalah mengembangkan software untuk QIM dengan menggunakan terminal yang mudah-dibawa yang memungkinkan data bisa diinput secara elektronik selama pendugaan inderawi (Alasalvar et al., 2011, dalam Alasalvar et al., 2011).

Baca juga :
Bakteri Pada Makanan Laut

Beberapa Metode Pendugaan Kualitas Kesegaran Ikan Yang Disimpan Dalam Es

Lougovois et al. (2003) memantau perubahan kualitas ikan gilthead sea bream (Sparus aurata) yang disimpan secara utuh dalam es; pemantauan dilakukan dengan mengevaluasi secara inderawi terhadap nilai k1, GR Torrymeter dan jumlah bakteri. Metode ini telah diuji kesesuaiannya dalam menentukan kualitas kesegaran dan sisa daya awet ikan di dalam es. Bergantung pada parameter yang diukur, umur post-mortem ikan es dapat diperkirakan dengan ketepatan ± 1,5 – 3,6 hari. Walaupun pendugaan flavour ikan masak merupakan dasar penentuan kondisi ikan, metode indeks kualitas bisa lebih efektif untuk evaluasi kesegaran rutin. Nilai k1 menyediakan cara yang berguna untuk memantau perubahan penyimpanan tahap awal, yang terutama disebabkan oleh reaksi autolisis. Jumlah bakteri penghasil sulfida bisa digunakan untuk menentukan waktu penolakan, sedangkan jumlah bakteri total pada suhu 20 oC merupakan ukuran yang buruk dalam menentukan kualitas kesegaran ikan. GR Torrymeter menyediakan alat praktis dan unik untuk menduga kualitas kesegaran dan sisa daya awet ikan gilthead sea bream yang disimpan dalam es.

Baca juga :
Mempertahankan Mutu Ikan Dengan Pendinginan/Pengesan

Kelebihan dan Kelemahan GR Torrymeter Dalam Menduga Kesegaran Ikan

Sen (2005) membuat beberapa kesimpulan mengenai GR Torrymeter sebagai metode pendugaan kesegaran (kualitas) ikan :

a. Alat ini dengan cepat dan dapat-dipercaya menunjukkan kualitas kesegaran ikan basah tak-berlemak.

b. Untuk ikan dari daerah beriklim sedang ataupun daerah tropis dan ikan dengan kadar lemak tinggi, hasilnya bervariasi dan kurang dapat-dipercaya karena lemak dalam tubuh ikan berpengaruh terhadap sifat-sifat dielektrik.

c. Penggunaan GR Torrymeter untuk spesies ikan tropis menunjukkan bahwa alat ini bisa berhasil digunakan pada banyak spesies ikan dalam menduga kualitas kesegarannya.

d. Fillet berkulit memberikan pembacaan meter yang sama seperti ikan utuh.

e. Fillet tanpa kulit memberikan pembacaan yang berbeda dengan hasil pada ikan utuh untuk derajat kesegaran yang sama karena sifat-sfiat dielektrik kulit dan otot berbeda.

f. Pembekuan mengubah struktur otot ikan sehingga hasil yang memuaskan tidak dapat diperoleh untuk ikan beku atau ikan beku yang dicairkan, baik untuk filet maupun dagingnya. Juga, alat ini tidak dapat digunakan untuk ikan yang memar dan ikan yang mengalami kerusakan mekanis, dan

g. Pembacaan untuk satu sampel ikan tidak bisa dijadikan ukuran kesegaran ikan dan karena itu adalah penting untuk menguji beberapa ikan guna memperoleh nilai rata-rata ukuran kesegarannya sebagai satu kelompok.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Metode Pendugaan Kesegaran Ikan Teri Mentah dan Masak

Pons-Sánchez-Cascado et al. (2006) mengembangkan sebuah metode indeks kualitas dan skema inderawi untuk menduga kesegaran ikan teri Mediterania (Engraulis encrasicholus) mentah dan masak, berturut-turut. Ikan teri segar disimpan dalam es selama 7 hari dalam tiga percobaan. Perubahan tanda-tanda inderawi menunjukkan korelasi yang kuat dengan lama penyimpanan.

Enterobacteria adalah mikroorganisme pertama yang jumlahnya melebihi batas maksimum yang diijinkan untuk ikan yang boleh dipasarkan menurut undang-undang Spanyol; bakteri ini mencapai jumlah lebih dari seribu unit pembentuk koloni per gram setelah penyimpanan 5 hari. Kurva nilai-nilai inderawi pada ikan teri mentah dan masak untuk jumlah Enterobacteria dipakai dalam menentukan kesesuaian metode ini. Daerah di bawah kurva memberikan hasil yang memuaskan bahwa metode tersebut bisa digunakan untuk menentukan kesegaran ikan teri yang disimpan dalam es, dengan nilai-nilai penolakan produk diduga berkisar dari 0,43 sampai 0,51 dan dari 6,6 sampai 7,1 untuk ikan teri mentah dan masak, berturut-turut (Pons-Sánchez-Cascado et al., 2006).

Baca juga :
Pengawetan Ikan Dengan Es

Sensor Mikroba Untuk Menentukan Kesegaran Ikan

Watanabe et al. (1987) menyiapkan sebuah metode baru untuk menentukan kesegaran ikan berupa sistem sensor mikroba yang terdiri dari sebuah elektroda oksigen dan Alteromonas putrefaciens, yaitu bakteri penyebab pembusukan yang telah dilumpuhkan dalam kondisi hidup. Sistem sensor ini kemudian digunakan untuk menentukan secara terus-menerus kesegaran ikan. Kesegaran ikan dinyatakan sebagai perbandingan A/B, di mana A adalah penurunan sensor mikroba yang sedang berlangsung yang diperoleh dengan memberikan 10 – 50 mikro liter ekstrak ikan, sedang B adalah penurunan volume ekuivalen medium kultur yang sedang berlangsung. Kesegaran daging ikan tuna sirip biru dan ikan ekor kuning yang disimpan dalam es sampai selama 2 minggu ditentukan baik dengan metode ini maupun dengan metode sensor enzim nilai K konvensional. Kedua metode memberikan hasil yang sama. Metode ini bisa diselesaikan hanya dalam waktu 13 menit.

Baca juga :
Keberadaan Bakteri Pembentuk Histamin Pada Daging Ikan

pH Permukaan Daging Ikan Sebagai Indikator Kesegaran Ikan

Elliott (1947) menyatakan bahwa uji organoleptik sebagai kriteria untuk menentukan kesegaran ikan adalah sangat tidak akurat. Untuk itu perlu dikembangkan uji obyektif yang memenuhi persyaratan sederhana, cepat, murah dan tidak memotong sampel ikan yang menyebabkan sampel tersebut tidak bisa dijual. Bila pH daging ikan dapat dihubungkan dengan kesegaran ikan, maka uji ini akan sangat memenuhi persyaratan sebagai uji yang ideal. Penentuan pH yang melibatkan pH meter adalah sederhana, cepat dan akurat, namun tidak merusak sampel. Uji terhadap permukaan daging ikan adalah jauh lebih menyenangkan daripada uji terhadap sampel campuran yang terdiri dari daging permukaan dan daging bagian dalam. Hal ini disebabkan fakta bahwa pembusukan jauh lebih cepat berlangsung di permukaan daripada di bagian dalam daging ikan. Oleh karena itu disarankan untuk menggunakan pH permukaan daging ikan sebagai indeks kesegaran. Uji seperti ini adalah masuk akal karena nilai pH daging bagian dalam, atau sampel campuran, bukanlah indikator yang peka untuk kesegaran ikan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 23 Januari 2013

Budidaya Belut : Reproduksi, Makanan, Pertumbuhan dan Ekskresi

Arsip Cofa No. C 128

Perkembangan Gonad Belut

Saowakoon et al. (2001) mempelajari biologi reproduksi belut rawa, Fluta alba, di kampus Fisheries Department, Rajamangala Institute of Technology, Surin, Thailand, dari Oktober 1999 sampai September 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antar jenis kelamin tidak dapat diamati. Rasio jenis kelamin antara belut betina dan jantan adalah 3,12 : 1. Gonosomatic Index (GSI) selama musim pemijahan adalah tinggi pada bulan April sampai Juni dan paling tinggi untuk belut jantan maupun betina pada bulan Mei. Koefisien nilai kondisi (K) untuk belut betina adalah tertinggi pada bulan Mei dan untuk belut jantan pada bulan Juni.

Baca juga :
Gonad Ikan dan Avertebrata

Pemijahan Buatan dan Perkembangan Embryo – Larva Belut

Guan et al. (1996) melakukan pemijahan buatan pada belut Monopterus albus (Zuiew) selama musim pemijahan ikan ini. Berbagai dosis luteinizing-hormone-releasing-hormone analogue (LHRH-A) diuji untuk merangsang ovulasi induk betina. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal derajat-jam dan tingkat fertilisasi di antara ketiga dosis yang diuji (0,1; 0,2 dan 0,3 mikrogram LHRH-A per gram ikan). Larutan fertilisasi 0,3 % NaCl menghasilkan tingkat fertilisasi yang secara nyata lebih tinggi daripada ketiga nilai konsentrasi larutan lain (0,5 % NaCl, 0,65 % NaCl dan air). Lama fertilisasi yang berkisar dari 5 sampai 20 menit tidak menghasilkan perbedaan nyata dalam hal tingkat fertilisasi. Perkembangan embryo dan larva Monopterus albus diamati. Waktu penetasan telur Monopterus albus adalah sekitar 140 jam dalam kisaran suhu air 28 – 30 oC. Penggunaan Tubifex spp. sebagai pakan pertama untuk larva belut memberikan laju pertumbuhan yang lebih tinggi daripada dua jenis pakan lain, yaitu zooplankton dan pakan buatan.

Baca juga :
Pemijahan Buatan Pada Ikan

Pengaruh Vitamin A, C, D dan E Dalam Pakan Terhadap Gonad, Kekebalan dan Tulang Belut Sawah

Tan et al. (2007) melakukan penelitian dengan tujuan menentukan pengaruh vitamin A, D3, E, dan C dalam pakan terhadap perkembangan gonad, peroksidasi lipida dan respon kekebalan pada belut sawah Monopterus albus umur setahun. Percobaan pemberian pakan selama 6 minggu dirancang berdasarkan rancangan ortogonal L16(45) di mana diberikan empat vitamin, masing-masing dengan empat tingkat pemberian. Enam belas pakan dicampur dengan berbagai kadar vitamin dan diberikan secara acak kepada 16 kelompok ikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pemberian vitamin E dalam pakan meningkatkan secara nyata (P = 0,05) gonadosomatic index dan menurunkan konsentrasi malondialdehyde dalam serum darah belut sawah. Peningkatan pemberian vitamin A dan C juga menunjukkan efek yang sama, tetapi perbedaannya tidak nyata secara statistik. Konsentrasi imunoglobulin M dalam serum darah meningkat secara nyata (P = 0,01) ketika pemberian vitamin C dalam pakan meningkat. Konsentrasi kalsium dalam tulang menunjukkan peningkatan secara nyata (P = 0,05) sejalan dengan peningkatan pemberian vitamin D3 dan A, tetapi konsentrasi fosfor tulang tidak terpengaruh oleh kadar vitamin dalam pakan.

Baca juga :
Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

Pengaruh Kadar Protein Dalam Pakan Terhadap Gonad dan Hormon Reproduksi Belut

Yuan et al. (2011) meneliti pengaruh rendahnya kadar protein pakan dalam makanan isokalori (berkalori sama) terhadap pembalikan jenis kelamin belut Monopterus albus dengan mengevaluasi konsentrasi estradiol dan testosteron, gonadosomatic index (GSI), rasio jenis kelamin dan struktur gonad pada berbagai tingkat jaringan. Ikan (berat awal rata-rata 9,50 ± 1,50 gram; jumlah belut 3 ekor per kelompok) diberi pakan sampai kenyang dengan lima jenis pakan praktis yang mengandung protein kasar sebanyak 100, 150, 200, 250 atau 400 gram per kg selama 15 bulan. Konsentrasi estradiol dan testosteron dalam serum darah ditentukan dengan radioimunoesei. Konsentrasi estradiol dan GSI meningkat secara nyata sedangkan konsentrasi testosteron menurun sejalan dengan peningkatan kadar protein pakan. Belut yang diberi protein 400 gram per kg pakan memiliki konsentrasi estradiol dan nilai GSI yang secara nyata lebih tinggi daripada belut yang diberi pakan berprotein rendah.

Konsentrasi testosteron pada belut yang diberi protein 100 gram per kg pakan secara nyata lebih tinggi dibandingkan pada ikan yang kadar protein pakannya lebih tinggi dari nilai tersebut. Pergeseran rasio jenis kelamin ke arah jantan dan intersex (peralihan jenis kelamin) terlihat ketika kadar protein pakannya berkurang. Dengan demikian, kadar protein pakan yang rendah bisa merangsang perubahan jenis kelamin dari betina ke jantan pada Monopterus albus. Penelitian ini menyediakan informasi penting bagi keberhasilan pengelolaan reproduksi dan mungkin bisa dimanfaatkan untuk budidaya spesies ikan ini (Yuan et al., 2011).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Pertumbuhan Belut

Saowakoon et al. (2002) mempelajari pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan belut rawa (Fluta alba) di dalam tangki beton bundar di Fisheries Department, Rajamangala Institute of Technology Surin, Thailand dari Juli sampai November 2000. Rancangan percobaan yang dipakai adalah rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Tiga tangki bundar ditebari belut sebanyak 30, 42 dan 54 ikan/tangki yang setara dengan 50, 70 dan 90 ikan per meter persegi, berturut-turut. Panjang awal belut adalah 30,50 cm dengan berat 15,01 gram. Belut diberi pakan berupa keong apel emas (Pomacea canaliculata) selama 5 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dalam hal panjang akhir, berat akhir, laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate; SGR) dan laju pertumbuhan relatif (relative growth rate; RGR), dengan nilai 38,40; 37,97 dan 37,82 cm; 42,66; 41,56 dan 41,20 gram, 0,5803; 0,5675; 0,5609 persen dan 0,0390; 0,031 dan 0,0364 cm berturut-turut dalam semua tangki (P > 0,05). Tingkat kelangsungan hidupnya adalah 96,66; 95,23 dan 94,44 persen berturut-turut yang tidak berbeda nyata.

Baca juga :
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Kadar Protein dan Energi Dalam Pakan Merupakan Faktor Penting Penentu Pertumbuhan Belut

Qing et al. (2000) menggunakan metode rancangan ortogonal L9(34) untuk menyusun formula kombinasi sembilan pakan guna mengetahui kebutuhan protein, lemak, mineral dan energi umum pada belut Monopterus albus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein dan energi merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan Monopterus albus. Pesentase optimum protein, lemak, mineral dan karbohidrat adalah 35,7 %, 3 – 4 %, 3 % dan 24 – 33 %, berturut-turut.

Pengaruh Salinitas Terhadap Aktivitas Makan dan Ekskresi Belut

Zhou dan Qin (2007) melakukan percobaan dalam-ruangan untuk mempelajari pengaruh berbagai salinitas (0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 gram/liter) terhadap ritme makan dan lama ekskresi tinja pada belut Monopterus albus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salinitas tidak memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap ritme makan Monopterus albus, tetapi proporsi konsumsi makanan Monopterus albus secara nyata berbeda (P < 0,01) antar waktu dalam sehari. Monopterus albus hanya mempunyai satu puncak konsumsi makanan selama satu hari, sedangkan ekskresi tinjanya bervariasi sesuai dengan salinitas. Ada tiga gugus tinja yang diekskresikan pada salinitas 0, 2, 8, 10 dan 12 gram per liter, namun ada empat dan lima gugus tinja pada salinitas 4 dan 6 gram per liter, berturut-turut. Pada salinitas yang berbeda, waktu ekskresi tinja adalah berbeda secara nyata (P < 0,01); misal, untuk kelompok kontrol, waktu ekskresi tiga gugus tinja pertama adalah terlambat 4 – 25 jam bila dibandingkan pada kelompok-kelompok lain. Hasil penelitian ini menyediakan basis teori untuk pengelolaan pemberian pakan belut dan pengendalian kualitas air dalam budidaya Monopterus albus di perairan basa-asin dan di kolam yang dasarnya tanah.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 21 Januari 2013

Budidaya Ikan Gurami : Padat Penebaran, Pakan, Penyakit dan Analisis Ekonomi

Arsip Cofa No. C 127

Gurami, Ikan Air Tawar Terbaik Untuk Akuakultur

Bhimachar et al. (1944) menyatakan bahwa Osphronemus gorami (Lacépède), yang dikenal sebagai gurami, adalah ikan asli Kepulauan Melayu (Indonesia). Karena ukurannya yang besar, dagingnya yang lezat dan tak bertulang serta mudah dikembangbiakkan, ia dianggap sebagai ikan air tawar terbaik untuk budidaya ikan. Ikan tersebut baru-baru ini diperkenalkan ke Eropa, Australia, Filipina, India dan Srilanka. Ia bersifat herbivora, bukan predator dan mudah dikembangbiakkan sehingga cocok untuk dibudidayakan di kolam. Di India, ikan tersebut baru-baru ini diperkenalkan ke beberapa bagian wilayah Madras, Bombay dan Mysore; di tempat-tempat tersebut ikan ini mengaklimasikan-diri sendiri dan berkembang biak dengan baik.

Baca juga :
Pengaruh Padat Penebaran Dalam Akuakultur

Padat Penebaran Terbaik Untuk Kultur Ikan Gurami

Hossein et al. (2010) menyatakan bahwa ikan gurami (Osphronemus goramy) sangat penting di Asia Tenggara untuk akuakultur dan budidaya ikan terpadu, dan di Iran ia merupakan ikan hias penting. Untuk mengetahui padat penebaran terbaik dalam kultur ikan ini, dilakukan penelitian dengan empat perlakuan 9, 14, 19 dan 24 individu per tangki (270,56; 420,87; 571,19 and 721,50 individu per m3, berturut-turut). Faktor-faktor pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, homogenitas dalam kelompok kultur ikan, faktor-faktor terkait-stres (jumlah sel darah merah, kadar glukosa dan total protein dalam darah ikan) serta kolesterol ditentukan pada ikan-ikan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata (P < 0,05) dalam hal SGR (specific growth rate; laju pertumbuhan spesifik), FCR (rasio konversi pakan), DGI dan parameter-parameter darah ikan. Tetapi ada perbedaan nyata dalam hal tingkat kelangsungan hidup (P < 0,05). Dengan memperhatikan pertumbuhan, perubahan kelangsungan hidup dan parameter-parameter darah, maka perlakuan pertama dengan 270,56 individu per m3 adalah kondisi terbaik untuk budidaya gurami.

Baca juga :
Kebutuhan Energi, Lipida, Asam Amino dan Mineral Pada Ikan

Kadar Protein dan Energi Terbaik Dalam Pakan Bagi Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Gurami

Sema et al. (2003) memberi makan ikan gurami (Osphronemus goramy) dengan pakan yang mengandung 3 macam kadar protein (30, 35 dan 40 %) dan tiga macam kadar energi (275, 300 dan 325 kcal energi tercerna/100 gram pakan) hingga kenyang dua kali sehari selama 8 minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada efek interaksi antara kadar protein dan energi terhadap pertumbuhan ikan (P > 0,05). Kadar protein memberikan efek yang lebih kuat terhadap pertumbuhan daripada kadar energi. Ikan yang pakannya mengandung 35 dan 40 % protein menunjukkan nilai-nilai yang secara nyata lebih baik untuk rata-rata berat akhir, perolehan berat, laju pertumbuhan spesifik, rasio konversi pakan dan efisiensi pakan, dari pada ikan yang pakannya mengandung 30 % protein (P < 0,05). Ikan yang pakannya mengandung 325 kcal energi tercerna per 100 gram pakan menunjukkan nilai tertinggi untuk rata-rata berat akhir, perolehan berat dan laju pertumbuhan spesifik (P < 0,05), dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain. Dengan demikian, pakan yang mengandung 35 % protein dan 325 kcal energi tercerna/ 100 gram pakan adalah sesuai untuk ikan dengan berat rata-rata 14,5 gram. Setelah 8 minggu, ikan gurami memiliki rata-rata berat akhir 38,35 ± 0,87 gram, laju petumbuhan spesifik 1,74 ± 0,04 % per hari, rasio konversi pakan 1,32 ± 0,06, efisiensi pakan 0,76 ± 0,03 dan kelangsungan hidup 100 %.

Baca juga :
Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya

Gejala-Gejala Penyakit Sirip-Busuk (Fin-Rot) Pada Anak Ikan Gurami

Khan (1939) melaporkan bahwa pada November 1938 kematian hebat terjadi pada anak ikan gurami (Osphromenus gourämy Lacépède) ketika mereka diangkut melalui kanal dari Madras Fisheries Farm ke kota Kurnool, India, yang berjarak 17 mil. Anak-anak ikan tersebut sebelum diangkut telah dikondisikan selama satu atau dua hari di dalam kotak kawat dan kemudian dimasukkan ke dalam air dan dipuasakan. Pada semua anak ikan yang mati terlihat bahwa sirip ekornya robek dan epidermis dari sirip ekor tersebut perlahan-lahan terkikis sehingga tulang jari-jari sirip ekornya terbuka. Pada beberapa kasus, sirip punggung dan sirip dubur juga terpengaruh. Anak ikan yang sakit berenang di dekat permukaan air di dalam wadah, kehilangan keseimbangan karena sirip ekornya robek sampai ke pangkal, tubuh anak ikan terbalik dan akhirnya mati; ikan yang mati ini tenggelam ke dasar wadah. Gejala-gejala penyakit ini mirip dengan yang terjadi pada anak ikan rainbow trout ketika diserang penyakit sirip-busuk.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Penyebab dan Pengobatan Penyakit Sirip-Busuk Pada Anak Ikan Gurami

Khan (1939) melakukan studi terhadap penyakit sirip-busuk, sejenis penyakit akibat bakteri pada sirip ikan, dengan cara menginokulasi anak ikan rainbow trout sehat dengan penyakit dari anak ikan gurami (Osphromenus gourämy Lacépède) yang sakit. Anak ikan rainbouw trout yang terinfeksi penyakit menjadi mati dalam 70 – 118 jam setelah inokulasi dan 50 sampai 55 jam setelah terlihatnya gejala luar pertama penyakit tersebut. Preparat dari ikan gurami yang sakit dan anak rainbow trout yang terinfeksi menunjukan organisme penyebab penyakit yang benar-benar sama, yang berupa bakteri berbentuk batang, dengan jumlah besar dalam jaringan yang terinfeksi. Kondisi berdesakan, air yang kotor dan berlumpur memperparah penyakit. Perendaman di dalam larutan tembaga sulfat (1 – 20.000) selama 10 sampai 15 menit ternyata bisa menyembuhkan anak ikan yang terserang penyakit tahap awal. Adalah tidak mungkin untuk menyembuhkan ikan yang terserang penyakit tahap lanjut, dan semua ikan yang sakit separah ini harus dibinasakan sebelum menerapkan tindakan kontrol apapun. Anak ikan yang merupakan spesies asli India seperti ikan Rohu (Labeo rohita H.B.) and Morakha (Cirrhina mrigala H.B.) ternyata kebal terhadap penyakit sirip-busuk ini.

Baca juga :
Jaring Apung : Aspek Bioekologi, Ekonomi dan Akuakultur

Analisis Ekonomi Budidaya Gurami di Kolam dan Karamba

Chatchaipun et al. (2009) mempelajari sistem kultur gurami berbasis kolam dan kurungan/karamba di provinsi Uthai Thani, Thailand. Analisis ekonomi didasarkan pada data yang dikumpulkan dari 8 pedagang dan 214 petani ikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kultur ikan gurami dicirikan oleh periode kultur yang lama yang menyebabkan tingginya biaya "opportunity cost" rata-rata (57,62 dan 83,58 % dari biaya total, untuk budidaya berbasis kolam dan kurungan, berturut-turut). Budidaya ikan gurami menguntungkan hanya bila "opportunity cost" untuk tenaga kerja tidak diperhitungkan. Analisis efisiensi ekonomi menunjukkan bahwa ada lima kategori input yang menentukan hasil budidaya berbasis kolam, dan bahwa tingkat input tersebut tidak optimal. Pertukaran air harus dilakukan lebih sering, dan jumlah pakan serta padat penebaran sebaiknya ditingkatkan. Demikian pula, belanja antibiotik dan jumlah kapur yang diberikan ke kolam harus ditambah. Untuk kultur berbasis kurungan, hanya empat jenis input yang berpengaruh penting terhadap hasil budidaya. Meskipun jumlah pakan buatan, sayuran dan antibiotik sebaiknya ditambah, namun padat penebaran sebaiknya dikurangi. Sebagian besar hasil penelitian ini sesuai dengan data ilmiah mengenai parameter-parameter kualitas tanah dan air serta praktek petani ikan. Bagaimanapun, peningkatan penggunaan antibiotik tidak disarankan mengingat keamanan makanan, meskipun pemakaiannya bisa meningkatkan hasil produksi ikan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 18 Januari 2013

Ekologi Parasit Ikan

Arsip Cofa No. C 126

Frekuensi Infeksi Parasit Darah Ikan di Laut-Dalam, Paparan Benua dan Pantai

Khan et al. (1992) melaporkan bahwa total 410 ikan demersal laut-dalam yang terdiri dari 54 spesies telah diambil dari kedalaman 1.000 – 3.200 meter di dua lokasi di Samudra Atlantik barat laut kemudian diamati hematozoa-nya (binatang penghuni darah). Hematozoa ditemukan pada 29 % dari total ikan dan 61 % dari total spesies ikan. Piroplasma (Haemohormidium spp.) merupakan parasit yang paling umum (26 % infeksi), sedangkan haemogregarina, tripanosoma dan cryptobia menginfeksi lebih sedikit. Haemogragarina marshallairdi sp. nov. ditemukan pada ikan Nezumia bairdi dan Macrourus bergiar. Parasit misterius di dalam sel darah merah telah ditemukan pada satu ikan.

Perbandingan frekuensi infeksi pada ikan laut-dalam, ikan paparan benua dan ikan dekat-pantai menunjukkan bahwa persentase spesies ikan yang terinfeksi bisa dianggap sama untuk ketiga daerah tersebut dan bahwa frekuensi infeksi piroplasma adalah lebih tinggi di lokasi laut-dalam. Adalah mungkin bahwa penularan hematozoa, mungkin oleh lintah penghisap darah, di zona demersal laut-dalam adalah sama dengan pada paparan benua walaupun ada perubahan dramatis dalam hal faktor-faktor bio-fisika-kimia akibat bertambahnya kedalaman (Khan et al., 1992).

Baca juga :
Parasit Ikan

Variasi Tingkat Keparahan Serangan Parasit pada Ikan Gadus

Shvetsova (1992) dalam Gritsenko (1992) mempelajari distribusi parasit dan ikan cod di lautan Timur Jauh. Studi ini melaporkan adanya 57 spesies cacing helminthes dan krustasea parasit pada ikan cod (Gadus macrocephalus). Tidak ada daerah distribusi ikan cod yang aman dari parasit, tetapi otot ikan cod dari Laut Okhotsk menunjukkan derajat serangan terendah. Derajat serangan parasit di berbagai bagian otot sangat bervariasi dan studi yang bertujuan untuk menemukan pola optimum dalam menyiangi daging ikan tidak memberikan hasil yang positif.

Baca juga :
Hubungan Aerasi dengan Kejadian Penyakit dan Parasit Ikan

Variasi Geografis Kelimpahan Parasit Anisakis Pada Ikan Gadus

Brattey dan Bishop (1992) melaporkan bahwa larva cacing Anisakis simplex (Nematoda : Ascaridoidea) telah ditemukan dalam daging ikan cod Atlantik Gadus morhua, yang dikumpulkan di 21 daerah sekitar Newfoundland dan Labrador selama tahun 1985 – 1987. Frekuensi dan kelimpahan parasit meningkat dengan meningkatnya ukuran ikan cod inangnya dan bervariasi secara geografis; ikan cod dari lepas pantai Labrador memiliki larva cacing paling sedikit, sedangkan ikan dari pesisir selatan Newfoundland terinfeksi paling parah. Ikan cod yang disurvei cenderung memiliki lebih banyak Anisakis simplex di dalam jaringan ototnya daripada ikan cod dari daerah-daerah lain di lepas pantai timur Kanada, tetapi infeksinya kurang parah dibandingkan dengan kebanyakan stok ikan cod Atlantik. Jumlah Anisakis simplex dalam ikan cod dari lepas pantai Labrador dan timur Newfoundland adalah sama dengan yang diamati selama tahun 1947 - 1953, tetapi kelimpahan Anisakis simplex tampaknya meningkat di antara ikan cod dari daerah NAFO (North Atlantic Fisheries Organization ?) Subdivisi 3 Pn.

Baca juga :
Kekebalan Ikan terhadap Infeksi Patogen dan Parasit

Persaingan di Antara Parasit-Parasit Insang Ikan

Starovoytov (1990) mempelajari interaksi di antara beberapa parasit insang ikan zander. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persaingan di antara parasit-parasit Ancyrocephalus paradoxus dan Achteres percarum terjadi bila Ancyrocephalus paradoxus, Myxocephalus sp., Ergasilus sieboldi dan Achteres percarum ada secara bersamaan pada insang ikan zander.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Fluktuasi Musiman Intensitas Serangan Parasit Anguillicola Pada Ikan Sidat

Thomas dan Ollevier (1992) melakukan sampling ikan sidat (Anguilla anguilla) dua kali sebulan (Maret 1990 sampai Maret 1991) di Kolenhaven (Albertcanal, Genk, Belgia) kemudian mengamati keberadaan cacing nematoda Anguillicola crassus di dalam gelembung renang ikan sidat itu. Rata-rata untuk semua sampel, sebanyak 90,2 % dari 345 ekor ikan sidat terinfeksi dengan intensitas rata-rata (rata-rata untuk semua tahap) 17 nematoda. Tiga puluh satu persen dari semua nematoda, yang merupakan cacing dewasa atau potongan-potongan tubuhnya, ada di dalam lumen gelembung renang sidat, sedangkan 69 % lainnya yang terdiri dari larva tahap ketiga atau keempat dan pra dewasa ditemukan pada dinding gelembung renang sidat. Tidak ada fluktuasi musiman yang jelas dalam hal ke-umum-an parasit atau intensitas rata-rata. Baik larva L-3 maupun cacing dewasa matang-gonad ada sepanjang tahun. Telur atau larva L-2 terlihat pada 41 % sidat yang terinfeksi. Keberadaan ini tidak menunjukkan pola tahunan, namun ia berkorelasi positif dengan panjang sidat : larva L-2 di mana konsentrasi parasit yang tinggi ditemukan hanya pada sidat yang panjangnya lebih dari 40 cm. Korelasi positif namun lemah antara panjang sidat dan jumlah nematoda dewasa di dalam gelembung renang adalah nyata, namun tidak ada korelasi antara panjang sidat dan beban total parasit.

Baca juga :
Formalin Untuk Mengendalikan Parasit Ikan dan DampaknyaTerhadap Kualitas Air Kolam

Kondisi Sungai Mempengaruhi Infeksi Cacing Parasit Pada Ikan

Malhotra et al. (1991) melaporkan bahwa studi selama tiga tahun terhadap ekologi parasit ikan Schizothorax richardsonii penghuni perairan sungai Neeru nullah, Bhaderwah, India, menunjukkan adanya infeksi musiman Diplozoon sp. (trematoda), Spinitectus sp. (nematoda) dan sejenis cestoda. Kejadian parasit yang sedikit (secara kualitatif dan kuantitatif) pada ikan snow trout ini mungkin disebabkan oleh efek mekanis arus deras, konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi, dan sedikitnya produksi kopepoda, moluska dan burung (ketiganya merupakan inang antara) di nullah tersebut. Infeksi parasit yang diamati selama musim semi dan panas hanya menunjukkan hubungan positif dengan naiknya suhu dan relatif rendahnya konsentrasi oksigen terlarut.

Pengaruh Musim dan Kesuburan Danau Terhadap Kopepoda Parasit

Tuuha et al. (1992) melakukan penelitian untuk mengetahui kopepoda ergasilid parasit. Total sebanyak 1.225 ekor ikan roach Rutilus rutilus (L.) dan 866 ikan perch Perca fluviatilis (L.) dari empat danau yang saling berhubungan di Finlandia Tengah, yang berbeda dalam hal kesuburan dan tingkat pencemaran, telah dipelajari antara Agustus 1985 dan Desember 1988. Selain itu, sebanyak 109 ikan whitefish (Coregonus sp.) dipelajari dari salah satu danau. Ditemukan empat spesies ergasilid : (dominansi dan intensitas/ikan, berturut-turut, untuk seluruh material diberikan dalam tanda kurung) Ergasilus briani (16,9 %, 0,5), Neoergasilus japonicus (15,6 %, 0,4) dan Paraergasilus longidigitus (2,1 %, 0,02) pada ikan roach dan Ergasilus sieboldi (9,9 %, 0,1) dan Paraergasilus longidigitus (4,9 %, 0,05) pada ikan perch.

Secara umum, dominansi Ergasilus briani pada ikan roach bergantung hanya pada musim, dengan dominansi lebih tinggi pada musim panas. Dominansi Ergasilus sieboldi pada ikan perch tergantung terutama pada (kesuburan) danau; spesies parasit ini paling sering ditemukan pada danau oligotropik (kurang subur). Baik danau, tahun maupun musim mempengaruhi dominansi Neoergasilus japonicus pada ikan roach. Pola yang lebih rumit untuk Neoergasilus japonicus disebabkan oleh lamanya periode hidup-bebas, lemahnya penempelan parasit ini pada tubuh inang dan lokasi penempelannya pada sirip ikan inang, sedangkan Ergasilus briani dan Ergasilus sieboldi menempel pada insang ikan (Tuuha et al., 1992).

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 14 Januari 2013

Konsumsi Oksigen Pada Ikan : Pengaruh Faktor-Faktor Biologi

Arsip Cofa No. C 125

Peningkatan Konsumsi Oksigen Setelah Makan

Menurut Smith (1982), setelah menelan makanan konsumsi oksigen ikan meningkat tajam tanpa ada peningkatan aktivitas. Kejadian-kejadian yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen ini disebut “specific dynamic action” (SDA). Bisa langsung diduga bahwa peningkatan konsumsi energi berhubungan dengan sintesis enzim, lendir dan cairan pencernan lain yang diperlukan untuk mencerna makanan, tetapi hal ini tidak benar. Enzim telah ada di dalam sel sebelum ikan makan dan hanya dilepaskan selama pencernaan. Ukuran SDA berhubungan dengan jumlah protein di dalam makanan dan dengan persentase makanan yang digunakan untuk energi, bukannya untuk pertumbuhan. Protein yang dipakai untuk energi harus dibuang gugus aminonya (-NH2) dan kemudian diekskresikan sebagai amonia (NH3), kedua proses ini memerlukan masukan energi. Jadi peningkatan konsumsi oksigen akan diikuti oleh peningkatan ekskresi amonia.

Baca juga :
Dinamika Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan

Pengaruh Kadar Protein dan Jumlah Pakan Terhadap Konsumsi Oksigen Setelah Makan

Chakraborty et al. (1992) mengukur laju konsumsi oksigen yang digunakan untuk “specific dynamic action” (SDA) pada ikan mas, Cyprinus carpio, (63,6 – 84,0 gram) yang diberi pakan yang mengandung protein 20, 35 dan 50 % sebanyak 0,40 sampai 1,00 % (dari berat badan ikan) pada suhu 28 oC. Setelah makan, nilai SDA maupun rata-rata nilai maksimum konsumsi oksigen meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar protein pakan dan jumlah pakan. Lama SDA tidak berkaitan secara nyata dengan kadar protein pakan tetapi meningkat secara nyata sejalan dengan peningkatan jumlah pakan. Koefisien SDA adalah 8,99, 13,51 dan 15,94 % untuk kadar protein pakan 20, 35 dan 50 %, yang menunjukkan adanya kaitan langsung dengan kadar protein pakan. Koefisien SDA tidak terpengaruh oleh jumlah pakan. Model SDA yang dihasilkan dari penelitian seperti ini adalah sangat penting bagi pembudidaya ikan karena kebutuhan oksigen pasca-makan dalam budidaya ikan intensif dapat diduga berdasarkan kadar protein dan jumlah pakan.

Baca juga :
Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Ikan dan Makrobentos

Konsumsi Oksigen Pada Ikan Yang Kenyang dan Yang Lapar

Johnston dan Battram (1993) mempelajari energetika aktivitas makan pada ikan-ikan demersal yang pola hidupnya sama di Antartika (Notothenia neglecta), Laut Utara (Myoxocephalus scorpius) dan Samudra Hindia (Cirrhitichys bleekeri). Secara umum, laju metabolik individu yang sedang berpuasa adalah berkorelasi positif dengan suhu adaptasi : nilai-nilai untuk standar seekor ikan 100 gram (mg oksigen per jam) adalah 3,3 untuk Notothenia neglecta pada suhu sekitar 0 oC, 2,7 untuk ikan Myoxocephalus scorpius yang teraklimatisasi musim dingin pada suhu 5 oC, 4,3 untuk Myoxocephalus scorpius yang teraklimatisasi musim panas pada suhu 15 oC, dan 7,0 untuk Cirrhitichys bleekeri ada suhu 25 oC. Pada semua spesis, setelah setiap kali kenyang makan, konsumsi oksigen meningkat mencapai maksimum dengan nilai 2 – 3,5 kali nilai pada saat puasa/lapar. Nilai maksimum konsumsi oksigen setelah makan adalah beberapa kali lipat lebih besar pada ikan perairan hangat dibandingkan pada ikan perairan dingin. Setelah mengendalikan pengaruh berat badan dan penyerapan energi dengan analisis kovarian, lama peningkatan laju metabolik, yang merujuk pada “specific dynamic action” (SDA), adalah 3 – 4 kali lebih besar pada ikan perairan hangat dibandingkan pada ikan perairan dingin, yang berkisar dari 57 jam untuk ikan Cirrhitichys bleekeri sampai 208 jam untuk Notothenia neglecta.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Kelaparan, Aktivitas dan Bobot Badan Ikan Terhadap Konsumsi Oksigen

Boyd (1982), dengan mengutip hasil-hasil penelitian lain, menyatakan bahwa oksigen dikonsumsi lebih cepat oleh ikan channel catfish yang baru makan daripada oleh ikan yang tidak makan. Sebagai contoh, nilai konsumsi oksigen pada suhu 28 oC dalam perairan yang mengandung 7 mg/liter oksigen terlarut adalah : segera setelah makan, 520 mg/kg per jam; 1 jam setelah makan, 680 mg/kg per jam; dipuasakan semalam, 380 mg/kg per jam; dipuasakan 3 hari, 290 mg/kg per jam; dipuasakan 9 hari, 290 mg/kg per jam. Lele juga mengkonsumsi lebih banyak oksigen pada saat konsentrasi oksigen terlarut tinggi dibandingkan pada saat konsentrasi oksigen terlarut rendah. Pada konsentrasi oksigen 1 dan 2 mg/liter, ikan yang lapar mengkonsumsi oksigen sebanyak yang dikonsumsi ikan yang telah makan. Dilaporkan bahwa nilai-nilai Q10 (yakni, peningkatan konsumsi oksigen akibat peningkatan suhu 10 oC) adalah 1,9 dan 2,3 untuk ikan channel catfish yang telah makan dan yang lapar, berturut-turut. Ikan kecil mengkonsumsi lebih banyak oksigen per satuan beratnya daripada ikan besar. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa ikan lele kurus mengkonsumsi lebih sedikit oksigen daripada lele gemuk.

Boyd (1982), berdasarkan laporan penelitian lain, menambahkan bahwa laju konsumsi oksigen untuk ikan yang sedang beristirahat pada suhu 26 – 35 oC adalah sebagai berikut : 53 – 195 mg O2/kg ikan per jam untuk bluegill, 100 – 119 mg/kg per jam untuk ikan largemouth bass (Micropterus salmoides), dan 83 – 171 mg/kg per jam untuk channel catfish. Ikan bluegill kecil (< 15 gram) memanfaatkan lebih banyak oksigen daripada bluegill besar (30 – 50 gram), tetapi tidak ada perbedaan nyata dalam hal konsumsi oksigen akibat perbedaan ukuran pada ikan largemouth bass (5 – 80 gram) dan channel catfish (20 – 105 gram). Sayangnya, semua largemouth bass dan channel catfish (yang diamati) berukuran agak kecil; ikan yang lebih besar mungkin mengkonsumsi lebih banyak oksigen. Ketiga spesies ini semuanya mengkonsumsi agak lebih banyak oksigen ketika konsentrasi oksigen rendah daripada ketika perairan jenuh dengan oksigen terlarut. Juga dilaporkan bahwa ikan berukuran cukup besar dari ketiga spesies tersebut menggunakan oksigen dengan laju yang kira-kira sama pada suhu 25 dan 35 oC.

Baca juga :
Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Pengaruh Berat Badan Terhadap Konsumsi Oksigen Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa perubahan berat badan menyebabkan tingkat konsumsi oksigen mengalami perubahan lebih kecil tetapi lebih mudah diramalkan. Walaupun konsumsi oksigen total meningkat dengan bertambahnya ukuran ikan, konsumsi oksigen per satuan berat menurun, sebagaimana laju pertumbuhan. Kedua penurunan ini merupakan ciri khas banyak jenis binatang, berdarah panas (homeotherm) atau pun berdarah dingin (poikilotherm), hidup di air atau di darat.

Baca juga :
Hubungan Tingkat Aktivitas Dengan Konsumsi Oksigen Pada Hewan Air

Pengaruh Berat Badan dan Pertumbuhan Benih Ikan Sidat Terhadap Konsumsi Oksigen

Gallagher et al. (1984) mempelajari konsumsi oksigen dan produksi amonia pada elver (benih ikan sidat) yang laju pertumbuhannya berbeda-beda. Persamaan allometrik yang menjelaskan hubungan antara konsumsi oksigen dan berat badan elver adalah y = 0,638 x0,525, dengan y adalah konsumsi oksigen (mg/jam) dan x adalah berat badan elver (gram). Persamaan allometrik spesifik berat untuk hubungan antara ekskresi amonia dan berat badan adalah y/x = 0,0129 x0,465. Elver yang tumbuh lambat memiliki laju respirasi yang lebih tinggi (0,737 mg oksigen per jam per gram) daripada nilai yang diharapkan untuk ukuran elver tersebut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 12 Januari 2013

Udang Metapenaeus : Bioekologi, Reproduksi dan Budidaya

Arsip Cofa No. C 124

Konsumsi Oksigen Metapenaeus monoceros Dalam Salinitas Yang Berbeda

Rao (1958) mengamati konsumsi oksigen dalam hubungannya dengan salinitas medium pada populasi laut dan perairan payau udang Metapenaeus monoceros Fab. Hasilnya menunjukkan bahwa koefisien regresi untuk konsumsi oksigen terhadap berat udang adalah tidak sama untuk media yang berbeda salinitasnya dan untuk kedua populasi. Pada kedua kelompok udang terjadi peningkatan konsumsi oksigen sejalan dengan penurunan salinitas medium di bawah salinitas habitatnya. Tetapi udang laut menunjukkan laju konsumsi oksigen yang lebih tinggi dalam medium 50 dan 25 % air laut dibandingkan dengan udang air payau. Sebaliknya, udang air payau menunjukkan laju konsumsi oksigen yang lebih tinggi dalam 100 % air laut dan dalam air keran. Diduga bahwa perbedaan-perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh (i) adaptasi osmotik, dan (ii) operasi mekanisme homeostatik metabolik dalam kaitannya dengan pengaturan osmotik.

Baca juga :
Virus Pada Udang Penaeidae

Ekologi, Pertumbuhan, Reproduksi dan Migrasi Metapenaeus mastersii

Dall (1958) mempelajari ekologi, pertumbuhan dan tingkah laku Metapenaeus mastersii dari Sungai Brisbane. Tahap-tahap post larva lebih menyukai daerah hangat dan terlindung dengan hamparan alga melimpah dan salinitas di bawah 20 ‰. Kisaran toleransi salinitas untuk semua tahap perkembangan udang ini adalah dari hampir tawar sampai air laut, dan aktivitas menjadi minimum ketika suhu rata-rata turun menjadi 16 oC. Panjang karapas terbukti bisa menjadi alat ukur panjang total atau volume udang. Analisis distribusi frekuensi panjang tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengetahui laju pertumbuhan, namun menunjukkan migrasi ke arah hilir sejalan dengan pertumbuhan.

Berdasarkan laju pertumbuhan udang dalam tempat terkurung, umur saat matang kelamin diduga adalah 12 – 15 bulan dengan panjang karapas 16 mm untuk jantan dan 20 mm untuk betina (panjang total 76 dan 95 mm). Udang jantan kurang toleran terhadap salinitas rendah daripada udang betina, tetapi tidak bermigrasi terlalu jauh ke arah hilir. Fertilisasi terjadi di titik-titik jangkauan terjauh Sungai Brisbane, tetapi pemijahan berlangsung di luar daerah jangkauan sungai tersebut. Hubungan panjang-volume udang di atas panjang karapas 10 mm (panjang total 48 mm) tidak sesuai dengan kurva : volume = k x (panjang)3. Penyimpangan ini diduga disebabkan oleh karakteristik pertumbuhan selama musim dingin (Dall, 1958).

Baca juga :
Ganti Kulit (Molting) Pada Udang dan Kepiting

Umur dan Pertumbuhan Metapenaeus monoceros

Sudhakara Rao dan Krishnamoorthi (1990) menduga umur dan pertumbuhan Metapenaeus monoceros secara terpisah untuk jantan dan betina berdasarkan analisis frekuensi panjang, dengan menggunakan metode Ford-Walford dan von Bertalanfy. Panjang tak hingga (L∞) untuk udang jantan dan udang betina diduga adalah 178,4 mm dan 207,3 mm, berturut-turut. Nilai K diduga adalah 1,68 untuk jantan dan 1,62 untuk betina. Nilai t0 yang diduga dengan metode Gulland adalah 0,048 tahun dan 0,066 tahun untuk jantan dan betina, berturut-turut. Udang betina tumbuh lebih cepat dan mencapai panjang asimptotik tinggi dengan nilai K lebih rendah dibandingkan udang jantan. Panjang yang dicapai udang jantan dan betina berturut-turut adalah 95 mm dan 105 mm pada akhir 6 bulan, 142 mm dan 162 mm pada akhir 12 bulan serta 163 mm dan 187 mm pada akhir 18 bulan.

Makanan, Pertumbuhan dan Reproduksi Metapenaeus

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa lebih dari 90 % produksi fitoplankton di estuaria tenggelam ke sedimen sebagai sel dan pelet tinja. Sedimen lapisan atas di dasar estuaria ini mengandung sangat banyak bahan organik. Metapenaeus yang memakan semata-mata material organik dalam sedimen tersebut mengalami pertumbuhan yang cepat. Metapenaeus ensis di perairan Kuwait menunjukkan pertumbuhan yang berfluktuasi secara musiman. Pemijahan udang Metapenaeus ensis ini terjadi dalam dua gelombang per tahun; lama periode pemijahannya berbeda. Akibatnya, rekruitmen terjadi sebagai dua kohort, yang satu lebih kecil daripada yang lain.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Biologi Reproduksi Metapenaeus dobsoni

de Croos et al. (2011) mempelajari biologi reproduksi Metapenaeus dobsoni, spesies yang paling melimpah yang tertangkap pukat pantai di Sri Lanka, berdasarkan sampel yang dikumpulkan dari dua daerah penangkapan utama selama Januari 2009 sampai April 2010. Informasi ini penting untuk mengembangkan strategi manajemen sumber daya secara ilmiah, karena manajemen yang dilakukan saat ini hanya berdasarkan pengetahuan tradisional. Data yang diperoleh mencakup sex ratio, fekunditas, gonadosomatic index (% GSI), dan karakteristik morfometrik dalam kaitannya dengan kematangan gonad. Ukuran saat 50 % matang gonad (L 50 m) dan ukuran saat 50 % inseminasi (L 50 in) ditentukan untuk udang betina. Pada udang jantan, L 50 m ditentukan berdasarkan keberadaan spermatofor di dalam ampul terminal. Ditemukan adanya gametogenesis musiman yang serentak, dengan beberapa individu yang tidak serentak. Betina matang gonad ditemukan sepanjang tahun. GSI dan pengujian histologis menunjukkan musim pemijahan yang berkepanjangan pada Metapenaeus dobsoni, yang mencapai puncak pada bulan Agustus – Januari dan Maret. Sex ratio, yang didefinisikan sebagai perbandingan jumlah udang betina terhadap populasi total, meningkat secara stabil pada ukuran di atas 2,35 cm panjang karapas dan mencapai 100 % pada ukuran lebih dari 3,8 cm panjang karapas.

Baca juga :
Prosedur Ablasi dan Pengaruh Terhadap Reproduksi, Fisiologi, Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang

Merangsang Kematangan Ovari Metapenaeus ensis Dengan Progesteron

Yano (1985) merangsang kematangan ovari dan pemijahan pada udang Metapenaeus ensis dengan menggunakan hormon progesteron pada kondisi kultur tangki. Tahap perkembangan ovari yang lebih jauh, yaitu tahap III, IV dan V, terlihat setelah satu bulan pada udang yang disuntik progesteron (0,1 µg/gram berat badan) bila dibandingkan dengan udang kontrol yang diberi etanol murni 0,1 µg/gram berat badan yang hanya mengalami tahap perkembangan gonad awal, yaitu tahap II. Dua dari lima belas ekor udang betina yang disuntik progesteron memijah pada malam hari, 30 dan 31 hari setelah penyuntikan.

Baca juga :
Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Padat Penebaran dan Tingkat Pemberian Pakan Optimum Dalam Budidaya Udang Metapenaeus

Maguire dan Leedow (1983) melakukan percobaan padat penebaran dalam 18 kurungan eksperimental yang ditempatkan pada sebuah kolam 0,11 hektar. Ketika padat penebaran meningkat dalam kisaran 6,1 - 21,2 udang/m2, pertumbuhan Metapenaeus macleayi berkurang sementara tingkat kelangsungan hidup tidak terpengaruh dan total panenan (biomas akhir) meningkat. Analisis ekonomi sederhana menunjukkan bahwa padat penebaran optimum untuk juvenil udang ini adalah 19,1 ekor/m2. Dalam percobaan yang sama, dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan berupa pelet dengan kisaran tingkat pemberian pakan 0 – 12,5 % biomas udang per hari. Tingkat pemberian pakan optimum dari segi pertumbuhan adalah sekitar 5 % biomas per hari. Bagaimanapun, tingkat pemberian pakan optimum dari segi indeks pengembalian ekonomi adalah bervariasi tergantung pada biaya pakan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 09 Januari 2013

Dinamika Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan

Arsip Cofa No. C 123

Fluktuasi Konsentrasi Oksigen Terlarut di Danau dan Kolam Ikan

Laws (2000) menyatakan bahwa perairan dangkal yang teraduk sampai ke dasar sepanjang waktu tampaknya tidak menghadapi masalah kekurangan oksigen musiman. Bila terjadi cukup pengadukan kolom air dan pertukaan gas dengan atmosfer, konsentrasi oksigen dalam perairan seperti ini mungkin tetap hampir jenuh sepanjang waktu. Bila angin berhenti bertiup, bagaimanapun, sehingga pertukaran oksigen dengan atmosfer berjalan lamban, maka konsentrasi oksigen dalam perairan dangkal yang sangat subur bisa jatuh sampai hampir nol dalam waktu beberapa hari atau bahkan beberapa jam. Konsentrasi oksigen terendah terjadi pada malam hari, ketika tidak ada produksi oksigen oleh fotosintesis.

Basin barat yang dangkal di Danau Erie, dengan kedalaman rata-rata hanya sekitar 7,4 meter menyediakan contoh yang baik mengenai sistem perairan subur dan dangkal yang bisa mengalami masalah kekurangan oksigen secara serius setelah beberapa hari ketika cuaca tenang. Kolam budidaya ikan, yang secara khas kedalamannya hanya sekitar 1,0 meter dan menerima sejumlah besar masukan bahan organik dari luar dalam bentuk pakan, memberikan contoh lain mengenai kasus yang lebih parah di mana aktivitas pernafasan organisme di dalam kolam ikan tersebut bisa menghabiskan oksigen dalam waktu beberapa jam pada malam yang tenang (Laws, 2000).

Baca juga :
Hubungan Tingkat Aktivitas Dengan Konsumsi Oksigen Pada Hewan Air

Difusi Oksigen Secara Alami di Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa sulit untuk meramalkan laju perpindahan oksigen dalam kolam karena konsentrasi oksigen terlarut terus-menerus berubah. Pada awal pagi, konsentrasi oksigen terlarut mungkin di bawah titik jenuh, tetapi kemudian pada siang hari kondisi lewat-jenuh (supersaturasi) bisa tercapai akibat fotosintesis. Dengan demikian, oksigen berdifusi ke dalam perairan pada awal pagi dan kemudian keluar dari perairan pada siang hari. Demikian pula, pada awal malam perairan mungkin menjadi lewat jenuh oleh oksigen, tetapi setelah beberapa jam respirasi biota kolam menyebabkannya menjadi tidak jenuh dan terjadi perubahan arah perpindahan neto oksigen. Bila air kolam pada kondisi 50 % kejenuhan saat senja, difusi akan menambahkan 1,69 mg/liter oksigen selama semalam. Konsentrasi oksigen dalam air tersebut mungkin tidak akan meningkat seperti ini karena sebagian oksigen yang masuk akan digunakan untuk respirasi. Dalam kolam yang mulanya jenuh saat senja, akan diperoleh 0,44 mg/liter selama semalam. Perolehan ini disebabkan proses respirasi akan menyebabkan kekurangan oksigen sepanjang malam meskipun perairan tersebut mulanya jenuh. Kehilangan oksigen dari perairan yang semula jenuh oleh gas ini meningkat dengan meningkatnya kejenuhan awal. Telah dilaporkan terjadinya kehilangan oksigen lewat difusi dalam semalam sebesar 3,19 mg/liter pada kolam-kolam ikan di Alabama, Amerika Serikat. Besar nilai ini meningkat dengan meningkatnya kejenuhan awal dan kecepatan angin.

Baca juga :
Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Ikan dan Makrobentos

Ketersediaan Oksigen Dalam Air dan Dampaknya Bagi Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa ada sedikit oksigen dalam air dibandingkan dalam udara, pada kondisi terbaik sekalipun. Udara mengandung sekitar 20 % oksigen dan sisanya terutama adalah nitrogen serta sejumlah kecil gas-gas lembam (argon, helium). Satu liter air pada suhu 15 oC mengandung hanya sekitar 7 ml (= 10 mg) oksigen dan sekitar dua kali lipat untuk gas-gas lembam karena oksigen tidak terlalu dapat larut dalam air dan bahkan nitrogen lebih tidak dapat larut.

Rendahnya jumlah oksigen dalam air membawa beberapa akibat. Pertama, ikan (dan binatang air lain) harus memompa sejumlah besar air melalui permukaan respirasinya untuk mendapatkan oksigen dalam jumlah yang cukup atau harus membatasi laju metabolismenya sampai ke tingkat yang relatif rendah. Tidak hanya dibutuhkan volume yang besar, air juga 800 kali lebih padat daripada udara sehingga diperlukan banyak energi untuk memompanya. Kedua, ketika ikan mengambil O2 dari air dalam jumlah relatif besar, tekanan parsialnya menurun sebanding dengan fraksi dari O2 total yang diambil itu. Dalam udara, sebagai contoh, pengambilan 5 ml O2 dari satu liter udara berarti mengambil 5/200 oksigen, yang menyebabkan tekanan parsialnya berubah dari 150 menjadi 146 mmHg. Dalam air, pengambilan 5 ml O2 berarti menghilangkan 5/7 dari total gas, sehingga tekanan parsialnya menjadi 43 mmHg. Ikan dengan demikian cepat kehilangan gradien difusi yang diperlukan untuk memindahkan O2 ke dalam darahnya segera setelah mereka mengambil sangat banyak oksigen dari air. Jadi hemoglobin ikan biasanya bekerja pada tekanan parsial yang lebih rendah (memiliki daya ikat terhadap oksigen lebih tinggi) daripada hemoglobin vertebrata yang bernafas dengan udara. Selain itu, ikan tidak bisa memiliki permukaan respirasi yang ekstra luas karena akan menimbulkan masalah osmoregulasi.

Smith (1982) menambahkan bahwa ketersediaan oksigen yang relatif rendah dalam air diturunkan lebih lanjut akibat kondisi alami maupun kegiatan manusia. Kelarutan oksigen dalam air menurun ketika suhu naik dan, sudah tentu, menjadi nol saat mendidih. Kelarutan juga menurun akibat adanya garam, sehingga air laut normal mengandung oksigen sekitar 20 % lebih rendah daripada air tawar pada suhu yang sama. Jadi laut tropis akan menjadi tempat yang sulit untuk bernafas. Banyak jenis polutan akibat kegiatan manusia dan polutan alami juga membutuhkan oksigen, kadang-kadang sampai menyebabkan oksigen dalam air habis sama sekali. Alternatif evolusi untuk bertahan hidup dalam rawa-rawa tropis, di sini tingginya suhu air dan cepatnya pembusukan tumbuhan sering menyebabkan kondisi anoksik (tanpa oksigen), adalah bernafas dengan udara - dan sejumlah ikan melakukan hal ini. Ikan mas koki yang mencaplok-caplok di permukaan air dalam botol ikan yang terlalu kecil menunjukkan upaya yang sama – melepaskan diri dari kondisi tekanan parsial yang rendah – dan upaya memperoleh sedikit udara dengan memanfaatkan lapisan tipis air jenuh-udara di permukaan atau mungkin benar-benar bernafas dengan sedikit udara.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Hubungan Fitoplankton dan Distribusi Oksigen di Kolam Ikan

Boyd (1982) menyatakan bahwa meskipun sejumlah besar oksigen diproduksi di permukaan perairan, namun akibat stratifikasi termal maka oksigen ini tidak dapat bercampur dengan massa air yang ada di lapisan yang lebih dalam. Konsentrasi oksigen yang tinggi di permukaan perairan mendorong difusi oksigen ke atmosfer, tetapi laju fotosintesis biasanya melebihi laju difusi sehingga permukaan perairan sangat jenuh dengan oksigen terlarut. Pengaruh neto interaksi antara cahaya dan kelimpahan fitoplankton adalah penurunan cepat konsentrasi oksigen terlarut sejalan dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman di mana oksigen terlarut 0 mg/liter akan bervariasi sesuai dengan kelimpahan plankton, pengadukan oleh angin dan ukuran kolam, tetapi biasanya kedalaman ini adalah antara 0,5 dan 2 meter.

Baca juga :
Pengaruh Aerasi Terhadap Organisme Air, Konsentrasi Oksigen, Karbon Dioksida, Amonia, Nitrat, Nitrit dan Nitrogen

Perubahan Harian Konsentrasi Oksigen Terlarut di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982), karena pengaruh respirasi dan fotosintesis dan rendahnya laju difusi, maka konsentrasi oksigen terlarut terus-menerus berubah selama periode 24 jam. Konsentrasi oksigen terlarut biasanya paling rendah menjelang fajar, meningkat selama jam-jam siang kemudian memuncak selama sore hari, dan akhirnya menurun lagi selama malam hari. Konsentrasi tertinggi oksigen terlarut pada sore hari biasanya ditemukan pada kolam-kolam dengan kelimpahan plankton tertinggi. Bagaimanapun, air kolam seperti ini juga memiliki laju respirasi yang tinggi, sehingga mereka pun mengalami nilai terendah konsentrasi oskigen terlarut yakni pada awal pagi hari. Kolam yang digunakan untuk membudidayakan ikan channel catfish secara komersial biasanya mempunyai konsentrasi oksigen terlarut melebihi 15 mg/liter pada sore hari dan di bawah 3 mg/liter pada saat fajar.

Boyd (1982) menambahkan bahwa cuaca berawan berpengaruh buruk terhadap pola harian konsentrasi oksigen terlarut. Pada hari yang berawan, fotosintesis tidak berlangsung secepat pada hari yang cerah atau berawan sebagian. Dengan demikian, konsentrasi oksigen terlarut saat sore setelah hari berawan tidak setinggi konsentrasi saat sore setelah hari yang cerah. Hal ini berarti bahwa konsentrasi oksigen terlarut akan berkurang lebih tajam selama malam hari setelah hari berawan daripada setelah hari cerah. Hari-hari berawan yang terjadi berturut-turut bisa menyebabkan kekurangan oksigen terlarut pada kolam dengan plankton melimpah.

Hubungan Kesuburan Danau dengan Variasi Konsentrasi Oksigen Terlarut

Prusik et al. (1989) mempelajari variasi musiman konsentrasi oksigen terlarut di 8 danau dimiktik (danau yang mengalami dua kali pengadukan massa air dalam setahun) di Mazurian Ladeland (Polandia ?). Danau-danau ini berbeda dalam hal derajat kesuburan dan kerusakan ekosistem. Disimpulkan bahwa variasi musiman kondisi oksigen merupakan salah satu faktor dasar yang menyebabkan perbedaan kondisi lingkungan danau. Perbedaan konsentrasi oksigen terlarut ini di lapisan epilimnion (lapisan atas danau yang suhunya relatif sama) dan di bawah lapisan air ini sangat berhubungan dengan kesuburan danau. Variasi terkecil dalam hal konsentrasi oksigen terlarut di lapisan epilimnion terlihat pada danau-danau yang paling tidak subur.

Baca juga :
Pengaruh Aerasi Terhadap Konsentrasi Oksigen Terlarut

Hubungan Fluktuasi Konsumsi Oksigen Pada Lele Dengan Fluktuasi Konsentrasi Oksigen Terlarut.

Ghosh et al. (1990) melaporkan bahwa ritme yang jelas telah diamati pada penyerapan oksigen bimodal (dua puncak) pada ikan lele siluroid penafas-udara, Clarias batrachus. Penyerapan oksigen total mencapai titik-titik maksimum (222,3 ± 20,25 m/O2/kg/jam) selama fajar (pukul 04 – 06), sedangkan penyerapan oksigen minimum (63,68 ± 5,14 m/O2/kg/jam) dilaporkan pada saat-saat tengah hari (pukul 12 – 14). Tampaknya bahwa fluktuasi metabolisme Clarias batrachus yang beritme ini berhubungan dengan fluktuasi harian konsentrasi oksigen telarut dan karbon dioksida bebas di rawa, tempat ikan lele ini biasa hidup.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Minggu, 06 Januari 2013

Hubungan Antara Komposisi Kimia Pakan dengan Komposisi Kimia Telur dan Daging Ikan

Arsip Cofa No. C 122

Arti Penting Vitelogenin dan Komponen-Komponen Kimia Telur Ikan

Mommsen dan Walsh (1988) menyatakan bahwa pada tahap-tahap tertentu dalam siklus hidupnya, individu betina vertebrata yang bertelur, termasuk sebagian besar spesies ikan, memasuki suatu fase pematangan oosit (sel telur) sebagai persiapan sebelum mengalami ovulasi dan pemijahan. Di bawah pengaruh pusat-pusat hormon yang bersifat majemuk seperti hipotalamus dan kelenjar pituitari, folikel yang sedang tumbuh mensintesis dan mensekresi ke dalam peredaran darah hormon-hormon steroid yang mengendalikan berbagai proses metabolik. Salah satu organ sasaran utama steroid-steroid ini, terutama 17β –estradiol, adalah hati. Organ ini, yang memiliki protein-protein pengikat yang sangat spesifik terhadap 17β –estradiol, sebaliknya berespon terhadap rangsangan hormonal seperti ini dengan mensintesis dan mengirimkan vitelogenin. Senyawa ini merupakan molekul pembawa bagi berbagai senyawa yang ditimbun oleh oosit yang sedang berkembang. Sementara komponen utama molekul vitelogenin adalah rantai protein berukuran besar (berat molekul 250.000 – 600.000), ia juga membawa sejumlah besar material lipida, komponen karbohidrat, gugus fosfat dan garam-garam mineral. Setelah diserap dengan sangat selektif ke dalam oosit, vitelogenin molekul transpor dipecah dan ditimbun sebagai komponen kuning telur spesifik , seperti fosvitin dan lipovitelin.

Selain komponen telur yang telah terkenal ini, oosit ikan yang sedang tumbuh menimbun berbagai jenis senyawa lain, kadang dalam jumlah besar, yang memainkan peranan terpadu dalam perkembangan secara .layak embryo dan larva ikan. Beberapa senyawa berfungsi sebagai cadangan bagi proses-proses yang membutuhkan energi. Pada beberapa kasus, bagaimanapun, peranan fisiologi senyawa-senyawa ini belum diketahui atau tidak dapat disimpulkan hanya dari bukti-bukti yang sedikit. Substansi yang tergolong kategori ini mencakup glikogen, karotenoid, lektin, sialoglikoprotein, ester lilin dan ester sterol (Mommsen dan Walsh, 1988).

Mommsen dan Walsh (1988) menambahkan bahwa tahap-tahap perkembangan awal pada banyak spesies ikan disertai dengan periode tak-makan yang lama, kadang-kadang beberapa minggu, sebelum pertama kali mendapat makanan dari luar. Dengan demikian, pembentukan vitelogenin yang dilakukan induk betina dan penimbunan kuning telur dalam jumlah cukup, maupun pelengkapan oosit secara layak, penting bagi kelangsungan hidup embryo dan larva.

Baca juga :
Biokimia Daging Ikan Bandeng

Pengaruh Kadar Protein Pakan Induk Ikan Terhadap Komposisi Kimia Telurnya

Watanabe et al. (1985) melaporkan bahwa telur terapung (telur normal terapung di permukaan air) dan telur yang mengendap (telur tak normal tenggelam di dasar tangki) yang diproduksi oleh induk ikan yang diberi berbagai pakan telah dianalisa komposisi proksimat, kadar lipida, asam lemak, vitamin A dan E, kolesterol serta mineral. Pakan yang mengandung berbagai kadar protein diberikan selama 6 bulan, atau ikan induk diberi pakan yang dilengkapi dengan pigmen dan vitamin larut-lemak atau krill mentah beku tak lama sebelum pemijahan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan tajam komposisi proksimat dan mineral akibat perbedaan pakan induk, meskipun kadar protein dalam telur terapung sebanding dengan kadar protein pakan yang diberikan, sedang kadar air bervariasi terbalik. Asam lemak dalam telur sangat dipengaruhi oleh kadar asam lemak pakan yang diberikan kepada induk tak lama sebelum pemijahan atau selama pemijahan. Dalam telur dari induk yang diberi pakan minyak jagung segera setelah dan sebelum pemijahan, persentase 18 : 2-omega-6 setinggi 26 % dibandingkan dengan nilai asal. Vitamin E juga ditemukan dengan mudah bergabung ke dalam telur hampir konstan tanpa dipengaruhi kadar kolesterol dalam pakan.

Pengaruh Mutu Pakan Induk Ikan Terhadap Mutu Telur Yang Dihasilkan

Watanabe et al. (1984) melakukan percobaan pemberian pakan untuk meneliti pengaruh mutu pakan, yang diberikan kepada induk ikan rainbow trout selama 3 bulan sebelum mereka memijah, terhadap reproduksi dan mutu telur. Induk ikan diberi berbagai jenis pakan dengan berbagai kadar protein dan lipida atau pakan tanpa penambahan asam lemak esensial (EPA). Laju pertumbuhan dan efisiensi pakan adalah tinggi pada induk yang menerima pakan yang mengandung 36 % protein dan 18 % lipida; selain itu “laju pemataan” (eyed rate) dan total penetasan juga tinggi pada telur yang diproduksi induk kelompok ini. Pertumbuhan dan efisiensi pakan pada ikan yang diberi pakan mengandung 28 % protein menjadi berkurang sekitar 60 hari setelah pemberian pakan. Pemberian pakan yang mengandung tepung daging sapi sebagai bagian sumber energi memberikan hasil yang baik terhadap reproduksi, dibandingkan dengan induk yang diberi pakan komersial berprotein tinggi. Pakan kekurangan EFA (essential fatty acid) menghasilkan laju pertumbuhan, laju pemataan dan daya tetas yang rendah, dan hal ini bisa ditingkatkan secara efektif dengan menambahkan etil linoleat ke dalam pakan, yang menunjukkan arti penting EFA bagi reproduksi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mutu telur sangat dipengaruhi oleh mutu gizi pakan yang diberikan kepada induk ikan rainbow trout selama periode singkat 3 bulan sebelum mereka memijah.

Pengaruh Komposisi Gizi Pakan Terhadap Komposisi Kimia Telur Ikan

Watanabe et al. (1984) melakukan studi untuk mengetahui hubungan antara komposisi pakan ikan induk dengan komponen-komponen kimia telur ikan yang dihasilkan. Baik telur maupun induknya, yang diberi berbagai jenis pakan dengan kualitas nutrisi berbeda-beda selama lebih dari 5 bulan, dianalisis dalam hal kandungan asam lemak, mineral dan proximate composition (komposisi perkiraan). Tidak ada perbedaan nyata dalam hal proximate composition karena perbedaan kualitas nutrisi pakan baik dalam otot (daging) dan hati ikan jantan maupun betina kecuali untuk induk jantan yang diberi pakan berprotein rendah atau kekurangan EFA (essential fatty acid; asam lemak esensial) di mana kandungan protein berkurang sedangkan kandungan lipida bertambah. Kandungan protein dan lipida adalah lebih tinggi sedangkan kandungan air lebih rendah dalam ovari pada ikan induk yang diberi pakan tepung cumi-cumi. Komposisi mineral dalam jaringan tubuh induk maupun telur secara umum tidak menunjukkan perbedaan, bahkan dalam hal kandungan fosfor pada vertebrae (ruas tulang belakang) dan telur dari induk yang diberi pakan kekurangan fosfor. Dalam telur yang dihasilkan oleh induk yang diberi pakan berprotein rendah, terlihat bahwa kadar airnya agak tinggi dan kandungan proteinnnya rendah.

Baca juga :
Pengaruh Pakan Terhadap Komposisi Biokimia Brachionus

Asam-asam lemak dalam telur sangat dipengaruhi oleh asam-asam lemak pakan yang dikonsumsi induknya. Proporsi HUFA (highly unsaturated fatty acid; asam lemak sangat tak jenuh) omega-3 adalah tinggi dalam telur induk yang pakannya mengandung HUFA omega-3 berkadar tinggi dan rendah dalam telur induk yang pakannya kekurangan EFA; persentase asam lemak 18:2 omega-6 adalah lebih tinggi pada telur yang terakhir akibat tingginya kadar 18:2 omega-6 dalam pakan yang mengandung minyak jagung, namun hubungan antara kualitas telur dan distribusi asam lemaknya tidak terbukti dalam eksperimen ini.

Watanabe et al. (1984) menambahkan bahwa reproduksi dan kualitas telur ikan red sea bream sangat dipengaruhi oleh kualitas nutrisi pakan induknya, dengan cara yang sama seperti pada ikan rainbow trout. Kekurangan asam lemak esensial atau fosfor dalam pakan ikan menyebabkan rendahnya produksi dan kualitas telur. Pakan yang kekurangan nutrisi ini bisa memberikan beberapa dampak tidak hanya terhadap ikan yang memakannya tetapi juga terhadap komponen-komponen kimia telur yang dihasilkannya.

Penelitian menunjukkan bahwa telur dari ikan yang pakannya tidak ditambahi trace element memiliki nilai yang secara nyata lebih rendah dalam hal persentase telur bermata maupun daya tetasnya bila dibandingkan dengan ikan kontrol; dan bahwa kandungan mangan, seng dan besi dalam tulang serta mangan dalam telur adalah jauh lebih rendah pada ikan-ikan ini dibandingkan pada induk ikan yang menerima pakan komersial, walaupun perbedaan pakan tidak menimbulkan perbedaan menyolok dalam hal komposisi umum telur ikan. Distribusi asam lemak dalam lipida telur juga diketahui mencerminkan lipida yang ada dalam pakan ikan induk. Dalam telur yang dihasilkan oleh ikan rainbow trout yang pakannya kekurangan asam lemak esensial, persentase asam-asam lemak monoenoik meningkat dan bahwa persentase 22:6 omega-3 berkurang (Watanabe et al., 1984).

Baca juga :
Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Pengaruh Kadar Lipida dan Pantetin Dalam Pakan Terhadap Komposisi Tubuh Ikan Channel Catfish

Stowell dan Gatlin (1992) meneliti pengaruh berbagai kadar lipida dan pantetin dalam pakan terhadap komposisi tubuh ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) dengan menggunakan rancangan faktorial 2 x 3. Pakan kasein/gelatin murni yang mengandung dua macam kadar lipida dan tiga macam kadar pantetin diberikan kepada anak channel catfish. Ikan dianalisis untuk mengetahui perkiraan komposisi seluruh tubuh, hati dan filet serta indek hepatosomatik dan “intraperitoneal fat” (IPF; lemak intraperitoneal). Analisis asam lemak juga dilakukan terhadap lipida dalam filet.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa lipida pakan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, efisiensi pakan dan komposisi tubuh. Pakan yang mengandung 10 % lipida biasanya menghasilkan nilai-nilai perolehan berat dan efisiensi pakan yang lebih tinggi, demikian pula nilai-nilai kadar lipida filet dan lipida seluruh tubuh serta IPF lebih tinggi. Pada hati, 10 % lipida pakan hanya meningkatkan secara nyata kadar abu. Penambahan pantetin tidak berpengaruh terhadap perolehan berat dan efisiensi pakan tetapi meningkatkan kadar asam oleat dalam lipida filet. Lipida pakan secara nyata mempengaruhi penampilan dan penimbunan lipida ikan channel catfish, sedangkan pengaruh pantetin (pada dosis 250 dan 1000 mg/kg pakan) bisa diabaikan (Stowell dan Gatlin, 1992).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Memperbaiki Mutu Gizi Daging Ikan dengan Memodifikasi Pakannya

Kennish et al. (1992) memelihara dua kelompok ikan chinook salmon di dalam jaring apung di laut. Kelompok ikan kontrol diberi pakan komersial Biodiet sedang kelompok perlakuan diberi pakan ikan hering utuh. Ikan dari kedua kelompok disampel pada awal penelitian dan setiap bulan selama 3 bulan. Pakan hering berpengaruh nyata terhadap kadar lipida total dalam otot punggung yang berlipat ganda pada bulan pertama dibandingkan kontrol. Rasio asam lemak n-3/n-6 pada ikan pemakan hering meningkat 28 %, sedang pada kelompok kontrol menurun sebesar 57 % selama periode penelitian. Perubahan ini tampaknya berhubungan dengan perbedaan kadar asam lemak 18:2n-6 dalam pakan. Kadar kolesterol dalam ikan salmon pemakan hering adalah dua kali kadarnya pada salmon yang diberi pakan komersial, tetapi masih jauh lebih rendah daripada kadar kolesterol awal. Penelitian ini menunjukkan, untuk pertama kali, bahwa mutu gizi ikan chinook salmon yang dipelihara dalam jaring apung bisa diperbaiki tak lama sebelum dipasarkan dengan memodifikasi pakannya.

Baca juga :
Daging Ikan : Karakteristik Biokimia dan Fisika

Kadar Pigmen Karotenoid Dalam Pakan dan Tubuh Ikan

Bjerkeng et al. (1992) memberi makan pada ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) dengan suplemen 100 mg astaksantin/kg ((3S, 3’S)-, (3R, 3’S)-, (3R, 3’R)-isomer optis; 1:2:1), atau 100 mg kantaksantin/kg, atau tanpa karotenoid dalam percobaan yang berlangsung 140 minggu. Selama percobaan berat ikan meningkat dari 0,13 gram menjadi 3 kg. Dari minggu ke 23 sampai 58 setelah awal pemberian pakan, astaksantin secara nyata dimanfaatkan lebih efisien untuk pigmentasi daging daripada kantaksantin. Konsentrasi karotenoid dalam kulit ikan trout pra dewasa yang diberi pakan karotenoid mencapai kadar akhir 20 mg/kg. Konsentrasi karotenoid dalam kulit ikan trout pra dewasa yang diberi pakan karotenoid meningkat selama 49 minggu pertama dan kemudian berkurang. Konsentrasi karotenoid dalam kulit trout yang diberi pakan astaksantin cenderung lebih tinggi daripada ikan yang diberi pakan kantaksantin; kondisi yang berlawanan ditemukan untuk hati.

Total kandungan karotenoid ikan betina dan jantan matang gonad adalah 73 – 79 % dan 18 – 19 % dari kandungannya pada ikan pra dewasa, berturut-turut. Kadar karotenoid dalam gonad ikan betina meningkat agak banyak sejalan dengan kematangan gonad, dan kadar karotenoid dalam kulit ikan jantan meningkat secara kuat. Tidak ada perbedaan nyata antara daging dan pakan dalam hal komposisi isomer optis astaksantin. Kulit pada ikan yang diberi astaksantin terutama mengandung ester-ester astaksantin sedangkan kulit ikan yang diberi pakan kantaksantin mengandung kantaksantin dan metabolit-metabolit reduktifnya. Sedikit penimbunan isomer-(3S, 3’S) astaksantin terlihat dalam kulit. Hal ini disertai dengan penimbunan (3S, 3’S)- dan (3R, 3’S)-zeaksantin (Bjerkeng et al., 1992).

Perbedaan Daging Ikan Yang Berbeda Pakannya

Prescott dan Bell (1992) mengevaluasi secara inderawi daging dari tiga kelompok ikan snapper (Pagrus auratus) : ikan liar, snapper yang diberi pakan pelet berbahan baku tepung ikan dan snapper yang diberi pakan daging ikan. Rasa, warna daging, aroma segar dan bau tak enak, tekstur dan kadar minyak serta penerimaan total dibahas. Hasilnya menunjukkan bahwa ikan snapper yang dipelihara dengan pakan formula mendapat tanggapan konsumen yang sama seperti ikan liar; tak ada perbedaan nyata antara ikan yang diberi pakan daging ikan dan pelet untuk semua variabel yang diukur.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 04 Januari 2013

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan dan Konsumsi Makanan

Arsip Cofa No. C 121

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Makan Pada Bivalva

Ward et al. (1992) menyatakan bahwa aktivitas makan suspensi pada bivalva merupakan proses dinamis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik, kimia dan biologis di lingkungan alami. Banyak peneliti terdahulu menunjukkan bahwa perubahan suhu, salinitas, pH dan konsentrasi partikel bisa mempengaruhi laju pemompaan, pembersihan (penangkapan partikel makanan) dan penelanan makanan. Beberapa peneliti di antaranya menganggap bahwa sinyal-sinyal kimia merupakan faktor penting dalam membantu aktivitas makan pada kerang, walaupun sebenarnya perilaku mencari makan yang dibantu faktor kimia pada moluska lain (gastropoda) telah dibuktikan merupakan hal yang sangat penting.

Pada penelitian ini, ditunjukkan bahwa simping Placopecten magellanicus meningkatkan laju penangkapan dan penelanan partikel makanan sebagai respon terhadap metabolit dari diatom Chaetoceros muelleri. Data dosis-respon menunjukkan bahwa rangsangan dari metabolit ini menjadi jenuh pada konsentrasi ekstrak diatom yang rendah (setara dengan 5 sel/mikroliter). Diduga bahwa pemicu kimiawi dari fitoplankton ini merupakan faktor penting yang memungkinkan simping untuk menyesuaikan laju makannya di alam.

Baca juga :
Pakan Ikan : Ukuran, Jumlah, Kesegaran dan Pemasakan

Pengaturan Konsumsi Makanan

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa kebanyakan binatang secara tak sadar menyesuaikan komsumsi makanan untuk mengimbangi pengeluaran energi. Bila pengeluaran energi meningkat akibat meningkatnya aktivitas fisik, maka binatang mengkonsumsi lebih banyak makanan. Kebanyakan vertebrata, dari ikan sampai mamalia, makan untuk memenuhi kebutuhan kalori bukannya untuk menimbun karena, bila makanan bercampur dengan serat, mereka berespon dengan makan lebih banyak. Demikian pula, konsumsi makanan dikurangi setelah periode beberapa hari ketika pemasukan kalori terlalu tinggi. Pusat lapar yang terletak di dalam hipotalamus otak mengatur konsumsi makanan. Penurunan konsentrasi glukosa darah merangsang kebutuhan untuk makan. Kebanyakan binatang tampaknya dapat menstabilkan berat badannya dengan mudah, sementara banyak manusia tidak dapat melakukan hal ini.

Baca juga :
Nafsu Makan Pada Ikan : Pengaruh Faktor Fisiologi dan Lingkungan

Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan Pada Udang Crayfish

Seals et al. (1997) menebarkan 12 ekor udang crayfish di dalam wadah plastik yang digantung pada setiap dari 5 sistem resirkulasi. Suhu dalam sistem resirkulasi perlahan-lahan diubah selama 2 minggu menjadi 5, 10, 15, 20 dan 25 oC. Konsumsi makanan yang dihitung sebagai % berat badan awal meningkat secara nyata dengan meningkatnya suhu air. Hubungan antara konsumsi pakan harian (FC) dan suhu (T) adalah FC = -0,1358 + 0,0344 T; r2 = 0,879. Seekor crayfish ditebarkan dalam setiap dari 3 akuarium pada 5 sistem resirkulasi untuk menentukan pengaruh penurunan dan peningkatan suhu air terhadap aktivitas makan. Suhu air mengalami siklus dari 20 – 8 - 20 oC selama 68 hari dan crayfish diberi pakan 5 hari/minggu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika suhu turun, rata-rata konsumsi makanan berkurang dari 1,16 ± 0,15 %/hari pada 20 oC menjadi 0,19 ± 0,06 %/hari pada suhu 8 oC. Ketika suhu naik, konsumsi makanan harian tidak meningkat secara nyata atau mencapai nilai awal 20 oC. Pengaruh laju makan terhadap pertumbuhan crayfish dan konversi pakan ditentukan pada 21 ekor crayfish yang diberi pakan sebanyak 1 %, 3 % atau 6 % berat badan/hari (5 hari per minggu). Setelah 8 minggu, crayfish yang diberi pakan 3 % dan 6 % berukuran sama tetapi secara nyata lebih besar daripada crayfish yang diberi pakan sebanyak 1 %. Konversi pakan meningkat secara nyata dengan meningkatnya laju makan (0,61 pada 1 %, 1,30 pada 3 % dan 2,22 pada 6 %).

Baca juga :
Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Avertebrata

Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan Piaractus

Dias-Koberstein et al. (2004) mempelajari pengaruh suhu terhadap penelanan makanan pada ikan pacu (Piaractus mesopotamicus) dengan menentukan tingkah laku makan berdasarkan kebangkitan-kembali nafsu makan dan kekenyangan. Sembilan puluh enam ikan pacu 160 gram ditempatkan dalam akuarium bervolume 150 liter dengan aliran air terus-menerus dan diberi pakan komersial terapung yang mengandung 28 % protein kasar. Untuk menentukan waktu kebangkitan-kembali nafsu makan, pada setiap akuarium, ikan dari semua ulangan diberi pakan pada waktu nol. Ikan dari setiap akuarium diberi pakan kembali pada selang waktu 60 menit. Ikan dari akuarium 1 diberi pakan kembali 1 jam setelah pemberian pakan pertama. Ikan dari akuarium 2 pada 2 jam setelah pemberian pakan pertama dan selanjutnya hingga 24 jam setelah pemberian pakan pertama, untuk setiap suhu yang diuji. Untuk menentukan waktu penelanan makanan dan waktu kenyang pada masing-masing dari keenam pengamatan, ikan diberi pakan beberapa kali hingga kenyang. Waktu dicatat dari awal sampai akhir makan. Waktu kenyang dihitung untuk setiap akuarium berdasarkan rata-rata waktu penelanan makanan. Rancangan statistik bervariasi sesuai dengan karakteristik setiap percobaan. Ikan terlihat makan lebih baik pada sore hari (6.53 dan 3.97 gram untuk 23 dan 27°C, berturut-turut), namun waktu yang dihabiskan untuk menelan makanan adalah sama dengan waktu di pagi hari, 8,18 dan 7,84 menit untuk 23 dan 27 oC, berturut-turut. Konsumsi pakan harian dipengaruhi oleh suhu, yang menunjukkan indeks penelanan makanan 2,29 dan 2,9 % dari berat badan per hari pada suhu 23 dan 27 oC, berturut-turut.

Pengaruh Infeksi Parasit Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan

Urawa (1993) mempelajari pengaruh infeksi flagelata ektoparasit Ichthyobodo necator terhadap aktivitas makan pada ikan juvenil chum salmon (Oncorhynchus keta) yang dipelihara di perairan tawar. Kepadatan parasit pada kulit ikan ini meningkat 2 minggu setelah infeksi eksperimental, mencapai puncaknya pada minggu ke-6, dan kemudian berkurang sampai mendekati nol pada minggu ke-10. Infeksi parasit yang hebat memberikan dampak yang nyata terhadap efisiensi makan, tetapi tidak terhadap pertumbuhan ikan inang.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Padat Penebaran Terhadap Konsumsi Makanan Pada Ikan

Jorgensen et al. (1993) mengukur konsumsi makanan, laju pertumbuhan dan konsumsi oksigen pada ikan Arctic charr (Salvelinus alpinus), yang ditebarkan pada kepadatan rendah (15 kg per m3), sedang (60 kg per m3) dan tinggi (120 kg per m3). Hasilnya menunjukkan bahwa laju pertumbuhan adalah sama untuk ikan yang ditebarkan pada kepadatan sedang dan tinggi, tetapi sangat berkurang pada padat penebaran rendah. Perbedaan laju pertumbuhan mungkin disebabkan oleh perbedaan serupa dalam hal konsumsi makanan. Rendahnya konsumsi makanan mungkin juga menjadi sebab utama rendahnya konsumsi oksigen pada kelompok ikan yang ditebarkan dengan kepadatan rendah. Padat penebaran mempengaruhi perilaku ikan. Perilaku bergerombol terlihat pada kelompok padat penebaran sedang dan tinggi. Tidak ada korelasi nyata antara panjang tubuh awal, konsumsi makanan dan laju pertumbuhan pada semua ikan dari semua kelompok padat penebaran. Oleh karena itu, hambatan sosial akibat pembentukan hierarki dominansi mungkin bukan merupakan sebab utama penurunan nafsu makan dan pertumbuhan ikan pada kelompok padat penebaran rendah.

Pengaruh Kekeruhan Air Terhadap Aktivitas Makan Pada Ikan

Gregory dan Northcote (1993) mempelajari pengaruh kekeruhan terhadap aktivitas makan pada juvenil ikan chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) di laboratorium. Aktivitas makan ikan ini terhadap mangsa yang ada di permukaan air (Drosophila), mangsa planktonik (Artemia) dan bentos (Tubifex) diamati pada berbagai kisaran kekeruhan air (< 1, 18, 35, 70, 150, 370 dan 810 NTU). Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas makan berkurang pada kondisi yang lebih keruh untuk ketiga jenis mangsa.

Baca juga :
Binder (Perekat) Dalam Pelet Pakan Ikan

Pengaruh Suhu Terhadap Konsumsi Makanan Pada Ikan Kowan

Cai dan Curtis (1990) melaporkan bahwa konsumsi makanan, laju pertumbuhan dan komposisi asam lemak jaringan pada juvenil ikan kowan triploid sangat bervariasi ketika diberi berbagai jenis makanan berupa tumbuhan air atau pakan komersial pada suhu 20 oC. Nilai-nilai tertinggi untuk konsumsi makanan, laju pertumbuhan dan konsentrasi asam lemak omega-3 (terutama 18:3n-3) dalam otot dan hati ditemukan pada ikan kowan yang memakan tumbuhan air Elodea. Ikan yang makan Elodea selama 32 hari dan kemudian memakan pakan komersial selama 33 hari berikutnya pada suhu 14,4 oC, 18,8 oC atau 24,4 oC juga dipelajari.

Berdasarkan hasil pengamatan kedua peneliti menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan dan konsumsi makanan, tetapi tidak efisiensi asimilasi, meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan. Bila ikan yang memakan Elodea selanjutnya memakan pakan komersial, laju pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan tetap bertahan selama 23 hari dan kemudian turun mendadak dalam 10 hari terakhir pada semua suhu. Penurunan laju pertumbuhan dan efisiensi konversi pakan adalah bersamaan dengan penurunan konsentrasi asam-asam lemak omega-3 dalam otot dan hati. Kejadian yang bersamaan ini menunjukkan arti penting asam lemak 18:3n-3 bagi pertumbuhan ikan kowan. Bila pada suhu 14,4 oC dan 18,8 oC pakan ikan diubah dari Elodea menjadi pakan komersial, maka rasio total asam-asam lemak tak jenuh terhadap total asam lemak jenuh meningkat sedangkan jumlah total ikatan rangkap asam lemak dalam otot dan hati tidak meningkat. Hal ini terutama disebabkan oleh berkurangnya asam lemak 16:0 dan bertambahnya asam lemak 16:1. Pemberian pakan ikan kowan dengan Elodea pada suhu hangat meningkatkan nilai gizi ikan kowan sebagai sumber asam-asam lemak omega-3 untuk konsumsi manusia.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...