Sabtu, 21 April 2012

Mana Yang Lebih Cepat Tumbuh : Individu Jantan atau Betina ?

Arsip Cofa No. C 029

Lobster Jantan Tumbuh Lebih Cepat Daripada Lobster Betina

Jong (1993) memelihara spiny lobster Panulirus homarus jantan dan betina secara bersama-sama kemudian memisahkannya untuk mempelajari pengaruh jenis kelamin terhadap pertumbuhan dan reproduksi. Pada pemeliharaan kedua jenis kelamin bersama-sama menunjukkan aktivitas reproduksi yang lebih tinggi dan laju pertumbuhan lebih rendah daripada bila kedua jenis kelamin dipelihara terpisah. Lobster jantan tumbuh lebih cepat daripada lobster betina bila dipelihara terpisah. Lobster jantan juga tumbuh lebih cepat daripada individu betina ketika dipelihara bersama-sama, yakni laju pertumbuhannya sama dengan laju pertumbuhan lobster betina yang dipelihara terpisah. Berbagai rasio jenis kelamin di alam bisa menyebabkan perbedaan tingkat keberhasilan reproduksi dan pertumbuhan lobster.

Baca juga :
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Udang Windu Betina Tumbuh Lebih Cepat Daripada Udang Jantan

Perkembangan industri budidaya udang windu Australia di masa depan akan tergantung pada penurunan biaya produksi. Sebagian besar perbaikan ini bisa dicapai melalui teknik pengelolaan kolam yang lebih baik. Bagaimanapun, produkvititas bisa lebih banyak ditingkatkan dengan memanfaatkan sifat bawaan udang betina yang tumbuh lebih cepat dibandingkan udang jantan (Anonymous, 1991).

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Jenis Kelamin Tidak Mempengaruhi Pertumbuhan Siput Astrea

Guanes Mercado dan Torres Moye (1991) mempelajari pertumbuhan siput Astrea turbanica di Teluk Todos Santos, Meksiko. Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan melihat garis-garis pada tutup cangkang (operculum); hubungan antara ukuran dan umur diduga untuk siput jantan dan betina. Pertumbuhan Astrea turbanica adalah sama untuk kedua jenis kelamin sampai tahun kelima.

Baca juga :
Kemungkinan Memacu Pertumbuhan Ikan Dengan Memanipulasi Suhu Air

Perbedaan Karakteristik Pertumbuhan Akibat Perbedaan Jenis Kelamin Ikan

Joung dan Chen (1992) menentukan umur dan pertumbuhan 1.172 ekor ikan mata besar Priacanthus macracanthus yang ditangkap dengan trawl-dasar di perairan Taiwan timur laut dari bulan September 1981 sampai Agustus 1982. Zona-zona (jalur-jalur) istirahat pada sisik terbentuk dua kali setahun, pada bulan Februari dan Agustus. Parameter kurva pertumbuhan von Bertalanffy yang diperoleh menggunakan regresi non linier berdasarkan data umur dan penghitungan-mundur adalah sebagai berikut : pertumbuhan asimptot (L∞) = 620 mm panjang cagak (fork length), koefisien pertumbuhan (K) = 0,088, umur ketika panjang nol (to) = -1,05 tahun untuk ikan betina; dan L∞ = 482 mm panjang cagak, K = 0,113, to = - 0,75 untuk ikan jantan. Laju pertumbuhan ikan betina diduga adalah 102 mm untuk tahun pertama, 44 mm untuk tahun kedua, 40 mm untuk tahun ketiga dan 37 mm untuk tahun keempat; laju pertumbuhan ikan jantan adalah 112 mm untuk tahun pertama, 40 mm untuk tahun kedua, 35 mm untuk tahun ketiga dan 32 mm untuk tahun keempat.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Ikan Lele India Jantan Tumbuh Lebih Cepat Daripada Ikan Betina

Devi et al. (1990) menentukan umur 224 ekor ikan lele India (Rita rita) dengan menghitung zona bening pada tulang tutup insang dan otolit. Penghitungan-mundur pertumbuhan tahunan ikan ini menunjukkan bahwa pertumbuhan absolut ikan betina lebih baik dibandingkan pada ikan jantan sampai tahun ketiga. Dari tahun keempat dan seterusnya pertumbuhan ikan jantan melebihi pertumbuhan ikan betina.

Baca juga :
Hormon Pertumbuhan Ikan

Ikan Kakap Jantan Tumbuh Lebih Cepat Daripada Ikan Betina

McPherson dan Squire (1992) dengan menggunakan otolit utuh menentukan umur ikan kakap Lutjanus sebae, Lutjanus malabaricus dan Lutjanus erythropterus dari perairan Great Barrier Reef, Australia. Ada perbedaan nyata di antara jenis-jenis kelamin untuk beberapa parameter pertumbuhan von Bertalanffy dan panjang ikan-ikan tua. Secara umum, ikan jantan tumbuh lebih cepat daripada ikan betina pada kelas umur tua, tampaknya setelah mencapai kematangan gonad.

Baca juga :
Keunggulan Tepung Cumi-Cumi Dibandingkan Tepung Ikan Dalam Memperbaiki Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan dan Udang

Populasi Ikan Trout Semua-Betina Lebih Cepat Tumbuh

Bastardo dan Sofia B. (2003) melakukan penelitian di Stasiun Penelitian La Mucuy dekat Mérida, Venezuela. Air di perairan ini berasal dari glasier. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi pertumbuhan populasi ikan trout semua-betina dan populasi campuran jantan-betina. Populasi ikan trout semua-betina merupakan kelompok percobaan, sedang kelompok kontrol diwakili oleh ikan-ikan hasil persilangan antara jantan normal dan betina normal. Rata-rata pertumbuhan dan panjang total ikan trout semua-betina adalah 106.92 gram dan 17.33 cm (n = 1440), berturut-turut. Kelompok kontrol mencapai nilai berat dan panjang badan 58.77 gram dan 14.37 cm, berturut-turut. Berat dan panjang ikan trout semua-betina secara nyata lebih besar daripada kelompok kontrol (P<0.05). Pertumbuhan ikan trout semua-betina dan kelompok kontrol menunjukkan kemiripan selama bulan-bulan pertama percobaan, tetapi perbedaan tampak setelah 207 hari. Pertumbuhan kelompok percobaan adalah 43.57% lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Ikan trout semua-betina menyediakan material yang menjanjikan untuk budidaya ikan trout karena keunggulan pertumbuhannya dibandingkan ikan trout campuran jantan-betina yang biasa dipelihara dalam sistem budidaya tradisional di Venezuela

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 18 April 2012

Proses Silase dan Dampak Negatif Minyak Ikan

Arsip Cofa No. C 028

Proses Silase Untuk Memperoleh Minyak Ikan

Reece (1981) melaporkan bahwa peningkatan kadar FFA (free fatty acid, asam lemak bebas) dalam minyak ikan, yang dihasilkan dari silase ikan yang kemudian disentrifugasi, secara prinsip berhubungan dengan pelepasan FFA dari material padat selama proses pembentukan cairan ikan. Sebagian besar dari FFA awal ada di dalam saluran pencernaan ikan sebelum proses pengasaman. Pigmentasi minyak selama proses silase disebabkan oleh pelepasan produk hidrolisis asam terhadap hemoglobin, yaitu haemin. Penambahan hidrogen peroksida 2 % menghambat pigmentasi minyak dan menurunkan kadar FFA. Nilai peroksida minyak ikan, yang berkurang akibat perlakuan ini, bisa dikurangi lebih lanjut dengan penambahan antioksidan larut-minyak ke dalam silase tersebut.

Baca juga :
Manfaat Squalen dan Keberadaanya Dalam Hati Ikan Cucut

Reece (1981) menyatakan bahwa pengawetan ikan utuh dan limbah ikan dengan cara silase merupakan teknik yang telah lama dikenal. Perlakuan ikan cincang dengan asam menghasilkan senyawa protease asam yang menghidrolisis jaringan ikan menjadi produk cairan yang stabil dan cocok untuk pakan ternak. Silase sebagai cara untuk memperoleh minyak ikan dari ikan utuh dan limbah ikan, bagaimanapun, kurang mantap namun telah dibuktikan bahwa enzim-enzim proteolitik pada kondisi asam bisa digunakan untuk melepaskan minyak dari hati ikan dengan kandungan minyak rendah. Keuntungan metode ini adalah berkurangnya hidrolisis minyak oleh enzim lipase-pencernaan (yang biasanya paling aktif pada pH netral atau agak basa), lebih tingginya perolehan minyak dan berkurangnya proses emulsifikasi. Pemisahan minyak dari medium asam menghasilkan nilai FFA yang tinggi akibat disosiasi garam-garam asam lemak, dan lamanya periode inkubasi yang dibutuhkan untuk proses pencairan menyebabkan terjadinya penguraian minyak oleh lipase ber-pH optimum rendah yang ada pada beberapa spesies ikan. Lebih lanjut, minyak yang diperoleh dari silase ikan memiliki warna lebih gelap daripada yang diperoleh dari ikan segar, dan memiliki nilai iodin lebih kecil.

Baca juga :
Komposisi Kimia Minyak Ikan

Aroma Hijau Pada Minyak Ikan Sardin

Wada dan Lindsay (1992) menyatakan bahwa minyak ikan sardin yang mengandung asam lemak omega-3 poli-tak-jenuh merupakan minyak ikan domestik yang paling banyak diproduksi di Jepang. Bagaimanapun, selama penyimpanan flavor tak enak berkembang dan terbentuk aroma hijau pada tahap awal yang menimbulkan bau amis khas ikan. Telah dilakukan penelitian terhadap aroma hijau tersebut di dalam minyak ikan sardin teroksidasi. Penelitian menghasilkan penemuan senyawa aroma baru dengan nilai IE = 7,30 (kolom kapiler SE-54) dan diidentifikasi sebagai senyawa 1,5-oktadien-3-hidroperoksida. Konsentrasi senyawa hijau ini adalah hampir 30 ppb (bagian per milyar) di dalam minyak ikan sardin. Aroma hijau dari minyak sardin merupakan kombinasi semua senyawa berikut : nonadienal, trans-2-heksanal dan 1,cis-5-oktadien-3-one serta 1,5-oktadien-3-hidroperoksida.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Minyak Ikan Melemahkan Kekebalan Terhadap Penyakit

Obach dan Laurencin (1990) dalam Banning (1992) meneliti pengaruh pakan yang mengandung minyak ikan teroksidasi dan kekurangan antioksidan terhadap beberapa aspek respon kekebalan ikan turbot , Scophthalmus maximus. Ikan dengan berat kira-kira 85 gram diberi pakan komersial standar (kelompok kontrol) atau pakan dasar sama tetapi kekurangan antioksidan sintetis dan vitamin E, namun mengandung 7 % minyak ikan teroksidasi dan diberi sedikit vitamin C (kelompok teroksidasi). Ikan dari kedua kelompok divaksinasi terhadap Vibrio anguillarum 408, tepat sebelum percobaan dimulai. Setelah 9 bulan, respon chemiluminesent (perpendaran kimia) dari fagosit kepala ginjal, daya tahan terhadap infeksi bakteri dan produksi antibodi diuji untuk ikan dari kedua kelompok. Produksi antibodi plasma darah tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan. Respon chemiluminesent fagosit kepala ginjal secara nyata lebih rendah pada ikan kelompok teroksidasi. Tingkat mortalitas ikan yang terinfeksi Vibrio anguillarum 408 adalah lebih tinggi pada ikan kelompok teroksidasi (24 %) daripada kelompok kontrol (7 %).

Baca juga :
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Keracunan Makanan Akibat Minyak Ikan

Hashimoto (1979) mengulas hasil-hasil penelitian tentang sifat racun dari minyak ikan. Minyak hati ikan sea bass, bila diberikan kepada tikus, akan menggangu pertumbuhan dan kesehatannya bahkan membunuh banyak di antara tikus-tikus tersebut dalam waktu sebulan. Penyingkiran vitamin A dari minyak ikan tidak menyebabkan pertumbuhan menjadi lebih baik, yang menunjukkan bahwa efek sakit yang ditimbulkan oleh minyak hati ikan tidak disebabkan oleh vitamin A. Minyak hati ikan bisa mengandung tiga macam racun, yaitu racun minyak ikan secara umum, racun penyebab kejang dan racun penyebab lumpuh, yang semuanya mudah dibedakan dari vitamin A. Ketiga macam racun ini diyakini berupa senyawa amin dan senyawa lain yang belum diidentifikasi. Penelitian telah dilakukan terhadap hati ikan tengiri Spanyol, Scomberomorus niphonius, dan hati binatang paus (keduanya pernah menyebabkan keracunan masal di Yamaguchi Prefecture, Jepang) dan ternyata bahwa racun yang larut-air bersifat mematikan bagi tikus. Bagaimanapun, daya racunnya sangat lemah. Juga telah dilakukan penelitian terhadap tiga sediaan dari hati ikan sea bass, yaitu minyak, sisa-sisa hati yang lemaknya sudah dihilangkan dan esktrak cair. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya minyak ikan yang beracun bagi tikus.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kanker dan Senyawa Anti Kanker Dari Tumbuhan dan Hewan Air

Arsip Cofa No. C 027

Konsumsi Ikan Laut Meningkatkan Resiko Terkena Kanker Tiroid

Glattre et al. (1993) menguji hipotesis yang menyatakan bahwa konsumsi makanan laut meningkatkan resiko kanker tiroid; pengujian dilakukan dengan metode studi kasus terkendali. Data dari National Health Screening Service (NHSS; Dinas Perlindungan Kesehatan Nasional) yang memuat informasi makanan sekitar 60.000 penduduk Norwegia dihubungkan dengan data kanker tiroid tahun 1955 – 1989 milik Cancer Registry (Pendataan Kanker). Hasilnya memberikan kesimpulan bahwa orang yang secara teratur mengkonsumsi minyak ikan cod, hati ikan atau sandwich ikan memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker tiroid daripada orang yang mengkonsumsi tidak teratur atau tidak mengkonsumsinya, dan orang yang lebih banyak makan malam dengan ikan per minggu juga memiliki resiko lebih tinggi terkena kanker tiroid.

Baca juga :
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Karsinogen (Senyawa Penyebab Kanker) Pada Ikan dan Kerang

Gesamp (1991) mengulas secara kritis literatur Eropa dan Amerika Utara mengenai kanker pada ikan dan kerang, serta menunjukkan bahwa walaupun ada banyak laporan “kanker” dan kerusakan jaringan “pra kanker” pada ikan dan kerang, ada cukup bukti bahwa akibat pemakaian terminologi yang tidak tepat, sebagian laporan tersebut adalah salah atau menyesatkan. Walaupun efek negatif terhadap individu ikan tidak dapat dibantah, ulasan ini mengidentifikasi bahwa tak ada alasan untuk menghubungkan kelangsungan hidup populasi ikan laut, pada tingkat lokal sekalipun, dengan adanya karsinogen di lingkungan laut. Dari sudut pandang kesehatan manusia, data konsumsi senyawa karsinogen potensial lewat ikan dan kerang laut memberikan sedikit alasan untuk mengkhawatirkan masalah ini; bagaimanapun, mungkin ada peningkatan resiko bagi konsumen yang banyak makan makanan laut dalam kasus di mana makanan laut yang ditelan tercemar secara tak normal oleh karsinogen (senyawa penyebab kanker), terutama PAH.

Baca juga :
Racun Pada Hewan Laut

Produksi Senyawa Anti Kanker (Tolitoksin) Oleh Scytonema

Patterson dan Bolis (1992) meneliti “tolytoxin”, senyawa yang dihasilkan oleh cyanophyta dari genus Scytonema dan Tolypothrix serta menghambat pertumbuhan jamur berfilamen dan perbanyakan sel mamalia. Penelitian bertujuan mempelajari kemungkinan pemanfaatan tolitoksin sebagai obat anti kanker potensial dan sebagai sarana farmakologis. Tolitoksin dan senyawa-senyawa terkait dikenal secara kolektif sebagai scytophycin. Produksi tolitoksin dalam kultur cair telah diidentifikasi pada galur Scytonema ocellatum Yang menghasilkan relatif banyak toksin. Pertumbuhan dan hasil diduga melalui rancangan percobaan dimensi-tunggal dan matematika-statistika (Plackett-Burman). Tolitoksin dihasilkan oleh kultur yang tumbuh aktif dan ditimbun baik di dalam sel maupun pada media sekitarnya. Produksi tolitoksin ditentukan oleh komposisi garam-garam mineral dalam medium kultur dan oleh keberadaan sumber karbon organik dari luar. Penambahan karbohidrat ke dalam medium kultur menyebabkan penurunan pertumbuhan dan secara nyata mengurangi pembentukan tolitoksin.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Efek Anti Tumor Dari Ekstrak Rumput Laut

Cho et al. (1990) meneliti efek anti tumor “protein-polysaccharide fraction” (PPF; fraksi protein-polisakarida) yang diekstrak dari beberapa jenis rumput laut seperti tanduk rusa laut (Codium fragile) dan laver (Porphyra yezoensis) terhadap sel-sel sarcoma-180. Pada PPF yang diekstrak dari rumput-rumput laut ini, kadar polisakarida tanduk rusa laut dan laver adalah 62,26 % dan 65,78 %, berturut-turut. Polisakarida dengan kadar terbanyak yang ditemukan dalam rumput laut adalah fruktosa. Asam-asam amino utamanya adalah asam aspartat, asam glutamat, glisin dan sistein. Penghambatan pertumbuhan tumor padat menunjukkan nilai tertinggi 53,30 % bila 50 mg/kg tanduk rusa laut dberikan. Efek perpanjangan umur adalah 17,35 % pada 50 mg/kg laver. Mengenai efek aktivitas imunologis, bila 100 mg/kg tanduk rusa laut diberikan, maka jumlah sel darah putih yang bersirkulasi menunjukkan jumlah terbanyak 82,23 % tetapi jumlah sel darah putih ini bekurang jika waktunya diperpanjang. Jumlah sel nanah peritoneal total pada kelompok yang diberi tanduk rusa laut meningkat tajam dibandingkan kelompok kontrol. Analisis hematologis terhadap kelompok percobaan memberikan hasil yang sama dengan kelompok kontrol.

Baca juga :
Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia

Kurilostatin, Senyawa Anti Tumor Dari Sepon Laut

Popov et al. (1991) mempelajari pengaruh kurilostatin terhadap sel tumor, limfosit, eritrosit dan juga liposoma lesitin-kolesterol. Kurilostatin merupakan sejenis alkaloid tak lazim dari sepon laut yang memiliki sifat anti tumor. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa alkaloid ini memiliki potensi aktivitas sitostatik dalam hubungannya dengan sel tumor dan limfosit yang diaktifkan-mitogen tetapi tidak memperlihatkan aktivitas anti tumor secara in vivo. Telah nyata bahwa kurilostatin merangsang pelepasan kalsium bebas dari sel ini. Diduga bahwa sifat ini mendasari aksi sitostatiknya.

Baca juga :
Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya

Isometakromin, Senyawa Anti Kanker Dari Sepon Laut-Dalam

McConnell et al. (1992) mengisolasi isometakromin, senyawa sesquiterpene-quinone baru yang secara struktural berhubungan dengan metakromin C, dan senyawa-senyawa ilimaquinone serta 5-epi-ilimaquinone, dari sejenis sepon perairan dalam yang terasuk famili Spongiidae kemudian menentukan strukturnya dengan metode spektral. Isometakromin menunjukkan sitotoksisitas (bersifat racun bagi sel) secara in vitro terhadap sel kanker paru-paru manusia line A 549 (IC-50 = 2,6 mikrogram/ml), tetapi tidak terhadap P 388 murine leukimia (IC-50 = 10 mikrogram/ml atau lebih), dan juga menunjukkan aktivitas anti mikroba.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kematian Masal Ikan

Arsip Cofa No. C 026

Penyebab Kematian Masal Pada Ikan

Abdelaziz dan Zaki (2010) membahas hasil-hasil penelitian tentang kematian masal ikan. Bencana lingkungan kematian masal populasi ikan di perairan alami terjadi akibat sejumlah masalah lingkungan, seperti keracunan akut yang ditimbulkan oleh pengunaan garam-garam sianida dalam perikanan ilegal, infeksi oleh virus, jamur dan bakteri, pasang merah, perubahan suhu secara mendadak, penurunan konsentrasi oksigen terlarut secara ekstrim dan peningkatan konsentrasi amonia sampai melebihi ambang batas toleransi spesies organisme akuatik. Selain itu, kematian masal ikan juga bisa disebabkan oleh adanya saponin, glikosida hemolitik dalam air. Kematian masal ikan akibat virus telah dipublikasikan; virus herpes telah diisolasi dari ikan mas dewasa, Cyprinus carpio, yang mengalami kematian masal. Juga, kematian masal ikan kerapu (Epinephelus septemfasciatus), ikan red drum (Sciaenops ocellatus) dan ikan kakap (Lates calcarifer) akibat nodavirus telah ditemukan. Lebih lanjut, ada laporan bencana kematian pada populasi ikan karper budidaya dan karper liar akibat virus herpes cyprinidae 3 (CyHV-3). Ledakan populasi bakteri Hemidiscus hardmannianus (Bacilariophyceae) dilaporkan berkaitan dengan kematian masal ikan. Juga, kematian masal ikan akibat cyanobakteri di perairan di Spanyol telah didokumentasi. Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan kematian masal ikan nila Oreochromis niloticus di seluruh dunia. Beberapa kasus kematian masal akut pada tahap produksi ikan brook trout, brown trout dan rainbow trout dalam kultur ikan intensif telah dilaporkan di Michigan, USA. Kematian akibat jamur pernah terjadi pada bulan Januari 2001 setelah cuaca dingin yang sangat buruk, di mana kematian masal akibat jamur Saprolegnia parasitica dialami oleh anak ikan nila Oreochromis niloticus pada kolam budidaya semi intensif di delta Nil.

Baca juga :
Pencemaran Perairan Pesisir

Kejadian Kematian Masal Ikan di Perairan

Laws (2000) menyatakan bahwa kematian ikan skala besar, pada beberapa kasus melibatkan ratusan ribu atau bahkah jutaan ikan, mungkin merupakan dampak paling dramatis dan paling banyak dipublikasikan akibat kehabisan oksigen yang berkaitan dengan eutrofikasi. Fluktuasi musiman konsentrasi oksigen tidak mungkin berakibat kematian mendadak sejumlah besar organisme karena penurunan konsentrasi oksigen musiman berlangsung secara bertahap. Pada kasus seperti ini, organisme lebih mungkin mati karena ketidakmampuannya untuk berfungsi secara efisien (misal tidak mampu meloloskan diri dari pemangsa, mencari makanan atau bereproduksi) daripada karena mati lemas. Adalah mungkin, bagaimanapun, dalam perairan yang sangat produktif konsentrasi oksigen berfluktuasi dari kondisi jenuh atau superjenuh selama siang hari ke kondisi hampir nol pada malam hari. Banyak contoh kolam budidaya ikan yang berpotensi menunjukkan perilaku seperti ini, tetapi masalah serupa juga bisa berkembang pada sistem perairan yang lebih alami yang mengalami dampak serius akibat eutrofikasi. Bila konsentrasi fitoplankton dalam air sangat padat, dapat diharapkan bahwa herbivora, karnivora primer, dan organisme dengan tingkat trofik lebih tinggi juga akan melimpah karena organisme secara alami tertarik pada sumber makanan. Bila situasi ini berkembang dalam sistem perairan terbuka, dan bila konsentrasi oksigen turun sampai tingkat rendah yang berbahaya pada malam hari, semua organisme yang dapat bergerak akan segera mencoba meninggalkan daerah tersebut, dan usaha ini kebanyakan akan berhasil sepanjang ada banyak kesempatan untuk meloloskan diri. Kematian organisme air skala besar, bagaimanapun, bisa terjadi di perairan yang jalur untuk melarikan dirinya terbatas. Pada badan perairan yang terisolasi dan sangat eutrofik seperti ini, sangat banyak organisme yang tertarik oleh melimpahnya makanan selama siang hari ketika konsentrasi oksigen tinggi. Pada malam hari respirasi semua organisme ini bisa menghabiskan oksigen dalam air, dan organisme yang tidak dapat menemukan jalan keluar dari perairan akan mati lemas. Sistem ini pastilah sangat eutrofik agar situasi tersebut bisa berkembang, tetapi tidak diragukan bahwa kematian organisme air skala besar seperti ini terjadi dari waktu ke waktu di beberapa sistem perairan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dapatkah Aerasi Menyelamatkan Ikan Ketika Terjadi Kematian Masal ?

Boyd (1982) mengutip hasil penelitian mengenai aerasi sebuah kolam ikan channel catfish seluas 1,4 ha dengan total 0,96 m3/menit udara yang dipadatkan yang dilepaskan melalui 25 alat pendifusi yang ada di atas dasar kolam. Kolam ditebari sangat banyak ikan dan diberi pakan dalam jumlah besar. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan sangat bagus pada kondisi cuaca normal. Bagaimanapun, kepadatan planktonnya tinggi sebagai akibat tingginya tingkat pemberian pakan, dan banyak ikan yang mati selama satu periode cuaca berawan yang berkepanjangan di bulan September – hanya beberapa minggu sebelum ikan akan dipanen. Secara kebetulan sistem aerasi dioperasikan pada kapasitas penuh ketika terjadi kematian ikan. Sistem aerasi saja tidak cukup untuk memasok oksigen yang diperlukan biota kolam ketika laju fotosintesis rendah.

Baca juga :
Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Ikan dan Makrobentos

Kematian Masal Ikan Nila Akibat Limbah Pabrik

Abdelaziz dan Zaki (2010) mempelajari kematian masal ikan nila (Oreochromis niloticus) di Kanal Mariotia, salah satu anak Sungai Nil, yang melintasi sejumlah kota di Giza, Mesir. Kematian masal serta kesulitas bernafas pada ikan terjadi di daerah sepanjang 4 km di Kanal Mariotia. Zona bencana meluas dari kota Shabramant sampai Aboseer dan diduga beberapa ton ikan nila mati. Secara klinis, ikan yang mati masal menunjukkan gejala-gejala khas asphyxia (sesak nafas). Perlu ditekankan bahwa kesulitan bernafas terutama terjadi pada ikan kecil, dan kebanyakan ikan yang mati masal terbatas pada individu yang berukuran besar. Kasus kematian masal ikan yang serupa pernah terjadi 3 tahun lalu, tetapi jumlah ikan yang mati lebih sedikit. Analisis data lapangan dan penelitian laboratorium menghasilkan kesimpulan bahwa bahan kimia organik dan non organik hasil samping dari pabrik gula Elhawamdia yang mencemari Kanal Mariotia merupakan penyebab utama bencana lingkungan ini. Pengujian sampel air secara fisika dan kimia menunjukkan adanya warna air yang tidak normal, tingginya konsentrasi amonia, rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan juga keberadaan fenol dan hidrokarbon polisiklik aromatik. Jadi, disimpulkan bahwa kondisi kimia air sungai yang tidak normal menyebabkan kesulitan bernafas yang parah pada ikan nila yang berakibat terjadinya kematian masal.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Alat Tangkap dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan

Arsip Cofa No. C 025

Pengaruh Trawl Terhadap Komposisi Ikan Laut

Longhurst dan Pauly (1987) melaporkan perubahan komposisi hasil tangkap trawl di Teluk Thailand. Pada tahun 1972 kelimpahan total ikan dan invertebrata besar turun 17 % dibandingkan hasil tangkap tahun 1963. Komponen terbesar hasil tangkap tahun 1972 adalah cumi-cumi (Loligo) padahal pada tahun 1963 tidak menduduki sepuluh besar ikan yang paling melimpah. Kelimpahan ikan Leiognathus tahun 1972 turun sekiar 7 % dibandingkan pada tahun 1963 walaupun masih menduduki urutan kedua setelah cumi-cumi. Perubahan komposisi ikan akibat trawl ini masih berlangsung sampai sekarang.

Baca juga :
Struktur Komunitas Ikan Karang

Upaya Mengurangi Hasil Samping Tangkapan Trawl Yang Tak Dikehendaki

Mounsey (1992) melaporkan proyek pembuatan trawl udang sahabat-lingkungan sebagai upaya awal untuk mengurangi hasil samping ikan tangkapan yang tidak dikehendaki. Besarnya hasil samping ikan tangkapan pada perikanan udang di Australia menimbulkan masalah lingkungan, meningkatkan biaya tenaga kerja dan mempengaruhi mutu udang yang merupakan sasaran utama. Perikanan trawl udang merupakan salah satu perikanan yang paling menguntungkan dan paling ekstensif. Ia merupakan industri penting di New South Wales dan Australia Selatan. Lebih dari 1000 kapal trawl untuk menangkap udang beroperasi di sepanjang pantai Queensland dan di Northern Territory (Cape York sampai Cape Londonderry).

Baca juga :
Free Down Load E-Book Perikanan

Alat Pengusir Penyu Pada Pukat Udang

Dampak penggunaan Turtle Excluder Device (TED; Alat Pengusir Penyu) terhadap perikanan udang di Meksiko telah dibahas. Juga perbedaan tipe-tipe TED ini dibahas ringkas. Telah dibuktikan bahwa penggunaan TED pada jaring udang mengurangi kejadian tertangkapnya penyu secara sangat nyata namun tidak mengurangi hasil tangkapan udang (Anonymous, 1991).

Pengaruh Alat Pengusir Penyu Terhadap Hasil Tangkap Udang

Renaud et al. (1993) mempelajari informasi yang dikumpulkan National Marine Fisheries Service mengenai laju penangkapan udang pada perikanan udang komersial selama bulan Maret 1988 – Agustus 1990. Perbandingan dilakukan antara jaring yang dilengkapi Turtle Excluder Device (TED; Alat Pengusir Penyu) dengan jaring udang standar (tanpa TED). Tiga tipe TED diuji : Georgia TED dengan dan tanpa cerobong pemercepat, dan Super Shooter TED dengan cerobong. Daerah penangkapan, waktu penangkapan, dan lama penarikan jaring dikendalikan oleh kapten masing-masing kapal untuk meniru kondisi komersial. Kehilangan rata-rata “catch-per-unit-effort” (CPUE; hasil tangkapan per satuan upaya) udang sebesar 0,12 kg/jam (3,6 %) dan 0,465 kg/jam (13,6 %) yang nyata secara statistik (P < 0,05) ditunjukkan oleh jaring yang dilengkapi Georgia TED (dengan dan tanpa cerobong, berturut-turut) bila dibandingkan dengan jaring standar. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal CPUE udang antara jaring standar dengan jaring yang dilengkapi Super Shooter TED bercerobong.

Kematian Lumba-Lumba Akibat Jaring Insang

Read et al. (1993) melaporkan bahwa di banyak daerah, populasi lumba-lumba pelabuhan (Phocoena phocoena) habis atau berkurang; tertangkapnya hewan ini secara tidak sengaja oleh perikanan jaring insang komersial sering menjadi penyebab penurunan populasinya. Lumba-lumba ini hilang dari beberapa bagian Laut Baltik, Laut Utara bagian selatan, dan beberapa daerah di pesisir California tengah. Di daerah lain seperti Greenland barat, Teluk St. Laurence dan Newfoundland, kejadian tertangkapnya lumba-lumba secara tidak sengaja adalah cukup besar hingga mengundang keprihatinan. Secara umum, pemahaman kita tentang demografi lumba-lumba pelabuhan adalah tidak cukup untuk menentukan apakah pertambahan populasinya dapat mengimbangi tingkat kematian yang besar tersebut.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kelangsungan Hidup Ikan Yang Ditangkap Dengan Jaring Angkat dan Jaring Seret

Sado dan Ita (1992) mengevaluasi efisiensi dua jenis alat tangkap – jaring angkat Atalia dan jaring seret Dala – untuk memanen secara masal ikan clupeidae (Pellonula afzeliusi dan Sierrathrissa leonensis) dalam kondisi hidup yang kemudian akan diangkut ke tempat lain. Walaupun tingkat kelangsungan hidup ikan clupeidae pasca penangkapan dengan Atalia liftnet adalah sangat rendah (34,7 – 35,6 %), Pellonula afzeliusi menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang relatif lebih tinggi dibandingkan Sierrathrissa leonensis bila ditangkap dengan Dala dragnet. Jadi, dengan mempertimbangkan tingkat kelangsunagn hidup relatif ikan clupeidae pasca penangkapan dengan dua jenis alat tangkap tradisional, Dala dragnet lebih efisien daripada Atalia liftnet untuk mengumpulkan ikan clupediae hidup secara masal.

Stres Akibat Pancing

Smith (1982), berdasarkan laporan beberapa peneliti, membahas stres pada ikan yang terkena pancing. Dibandingkan stres kehilangan sisik, stres akibat penangkapan dengan pancing rawai (hook and line) adalah kecil. Terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan penurunan kadar klorida darah yang sebanding dengan lama waktu ikan rainbow trout dipermainkan oleh pancing. Respon tersebut terus meningkat sampai selama empat jam setelah ikan dilepaskan, tetapi kembali normal setelah 24 jam kemudian. Respon sedikit lebih besar pada suhu yang lebih tinggi (20 °C dibandingkan 10 – 15 °C) dan pada ikan yang lebih panjang (43 – 48 cm dibandingkan 20 – 25 cm). Karena nilai semua faktor tidak pernah melebihi kisaran normal untuk rainbow trout, disimpulkan bahwa stres akibat pancing masih ada di dalam batas kemampuan fisiologis ikan untuk menyesuaikan situasi itu.

Baca juga :
Struktur Komunitas Ikan Karang

Kematian Ikan Trout Akibat Pancing

Nuhfer dan Alexander (1993) melaporkan bahwa nilai rata-rata mortalitas pemancingan per penangkapan untuk 630 ikan brook trout liar (Salvelinus fontinalis) dengan ukuran panjang tubuh standar lomba adalah 4,3 % selama 48 jam pertama setelah penangkapan. Mortalitas sebesar 8,3 % untuk ikan brook trout yang ditangkap dengan umpan “Mepps spinner” dan “Cleo spoon” yang dilengkapi kait bermata-tiga, namun mortalitas ini secara nyata lebih rendah untuk ikan yang ditangkap dengan alat sama tetapi kaitnya bermata satu. Tidak ada mortalitas pada 126 ikan brook trout yang ditangkap dengan umpan “Rapala” dengan kait bermata dua. Perbedaannya dalam hal frekuensi dan tingkat kerusakan pada lengkung insang dan daerah kerongkongan. Beberapa jenis umpan mungkin tertelan ikan sampai jauh ke dalam tubuh, terutama oleh ikan besar, dan dengan demikian lebih mungkin menyebabkan kematian. Umpan yang menunjukkan aksi bergoyang-goyang cepat ketika ditarik tampaknya kurang mungkin ditelan ikan sampai jauh ke dalam tubuh sehingga mortalitas yang ditimbulkannya lebih kecil. Peluang kematian berhubungan secara tidak nyata dengan suhu yang berkisar dari 5,6 sampai 17,8 °C ketika ikan brook trout terkena kait bermata satu pada bagian tubuh selain insang atau kerongkongan dan tidak banyak mengeluarkan darah. Peraturan terbaru yang membatasi umpan pada kait bermata satu dan melarang pemanenan ikan berukuran panjang total kurang dari 38,1 cm tampaknya sangat dibutuhkan untuk meminimkan kematian ikan akibat pancing.

Baca juga :
Dampak Positif Ukuran Mata Jaring (Mesh Size) Yang Besar

Pengaruh Suhu Terhadap Kematian Ikan Akibat Pemancingan

Muoneke (1992) menentukan nilai dugaan tingkat mortalitas akibat pemancingan pada musim panas dan musim dingin untuk ikan bluegill (Lepomis macrochirus) yang ditangkap pada bulan Juni 1989 di Bendungan Choke Canyon, Texas, dan pada bulan Maret 1990 di Bendungan Danau Cedar, Texas. Suhu air rata-rata 16,7 dan 30 °C selama percobaan pemancingan musim dingin dan musim panas, berturut-turut. Ikan ditangkap dengan pancing yang berumpan jangkrik hidup pada musim panas dan cacing pada musim dingin. Sembilan puluh lima ikan (panjang total 109 – 193 mm) ditangkap pada musim dingin dan 75 ikan (panjang total 146 – 200 mm) pada musim panas. Ikan ditampung selama 72 jam di dalam kurungan plastik silinder berukuran 0,79 m2 x 1 m untuk mengamati penundaan kematian. Salah satu dari 95 ikan mati pada musim dingin dan 19 dari 75 ikan mati pada musim panas. Mortalitas akibat pemancingan secara nyata lebih tinggi pada musim panas dibandingkan pada musim dingin.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Dampak Positif Ukuran Mata Jaring (Mesh Size) Yang Besar

Arsip Cofa No. C 024

Faktor-Faktor Penentu Ukuran Mata Jaring Pada Gillnet

Nomura and Yamazuki (1977) menyatakan bahwa ukuran mata jaring (mesh size) yang sesuai dengan panjang badan ikan sasaran sangat berkaitan dengan efisiensi alat tangkap. Pemilihan ukuran mata jaring sangat penting bagi gillnet (jaring insang). Penentuan ukuran mata jaring yang optimal harus memperhatikan elastisitas tubuh ikan, ketegangan dan daya regang benang jaring, rasio pemanjangan (elongation ratio) benang jaring, momentum ikan dan bentuk badan ikan sasaran.

Free Down Load E-Book Perikanan

Memperbaiki Konstruki Purse Seine Dengan Mata Jaring Berukuran Lebar

Beltestad et al. (1989) membahas pertimbangan-pertimbangan teoritis mengenai persyaratan material dan kecepatan tenggelam purse seine dengan berbagai ukuran mata jaring dan bobot pemberat. Pengukuran menunjukkan bahwa kecepatan tenggelam purse seine bervariasi sesuai dengan ukuran mata jaring sedangkan bobot pemberat sangat sesuai dengan teori hidrodinamika. Pada percobaan penangkapan dengan jaring putih bermata lebar di bagian akhir purse seine, ikan hering atau tengiri tidak pernah terlihat meloloskan diri melalui mata jaring yang lebar itu baik pada siang hari maupn malam hari. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konstruksi purse seine untuk penangkapan ikan hering dan tengiri bisa diperbaiki dengan memberikan keuntungan ekonomi, baik dalam hal biaya pembuatan maupun keberhasilan penangkapan (dengan mata jaring lebar dan sedikit pemberat – yang berarti mengurangi kebutuhan akan bahan jaring dan pemberat).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Bentuk Mata Jaring Persegi Lebih Efektif Untuk Melindungi Anak Ikan

Chen et al (1992) melakukan serangkaian percobaan penangkapan ikan menggunakan “bottom trawl” (pukat dasar) di perairan Selat Taiwan dengan bentuk mata jaring persegi (square) dan diamon. Mata jaring persegi dan diamon dibuat dengan ukuran 45, 54, 60 dan 70 mm dengan rentang internal 2 bar dan 1 knot. Berdasarkan selektivitas mata jaring terhadap enam spesies ikan utama, mata jaring persegi memiliki faktor seleksi lebih besar dengan rentang seleksi lebih kecil dibandingkan mata jaring diamon pada kategori ukuran yang sama. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa mata jaring persegi, bila dibandingkan dengan mata jaring diamon, lebih efektif untuk melindungi ikan-ikan yang belum dewasa.

Baca juga
Alat Tangkap dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan

Keunggulan Mata Jaring Berukuran Besar Pada Midwater Trawl

Vijayan et al. (1992) melaporkan hasil penelitian penggunaan mata jaring berukuran besar (10,3 m) pada midwater trawl (trawl tengah-air) . Midwater trawl dengan mata jaring berukuran besar terbukti lebih efisien untuk menangkap ikan Lactarius sp., Trichiurus sp. dan Arius sp. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dengan mata jaring berukuran besar maka hasil tangkap ikan-ikan berkualitas bagus meningkat sebesar 29,6 %.

Baca juga
Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Trawl Dengan Ukuran Mata Jaring Besar Lebih Menghemat Energi

Nayak and Sheshappa (1993) meneliti pengaruh ukuran mata jaring besar terhadap penghematan energi pada jaring trawl. Pemakaian mata jaring berukuran besar pada badan jaring trawl mengurangi secara nyata hambatan jaring dan dengan demikian bisa menghemat konsumsi energi. Perbandingan operasi trawl berukuran mata jaring 28,6 m dengan bottom trawl (pukat dasar) bermulut lebar berukuran mata jaring 26,7 m telah dilakukan di lepas Pantai Mangalore selama bulan Desember 1989 sampai Mei 1990. Trawl dengan ukuran mata jaring besar ternyata memiliki hambatan 33 – 34 % lebih kecil daripada trawl-dasar bermulut lebar pada kecepatan penghelaan jaring 2 – 2,5 knot berdasarkan perhitungan teoritis tanpa memberi pengaruh nyata terhadap hasil tangkap.

Pengaruh Ukuran Ikan Terhadap Efisiensi Penangkapan Trammel Net dan Gill Net

Matsuoka (1991) berpendapat bahwa trammel net bukan sekedar jaring yang lebih efisien dibandingkan gill net. Alat ini kurang berfungsi untuk menangkap ikan-ikan kecil dibandingkan gillnet. Meskipun penelitian membuktikan bahwa trammel net lebih efisien secara umum pada kisaran ukuran ikan yang lebar, namun untuk ikan kecil tertentu yang panjangnya sekitar 145 mm dan 150 mm gill net lebih efisien daripada trammel net. Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa trammel net lebih efisien bagi semua ukuran ikan. Jadi, bila kedua tipe jaring ini digunakan di lapangan adalah mungkin bagi gill net untuk menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi tergantung pada ukuran ikan yang dijumpai. Hal ini menjelaskan kejadian tertangkapnya secara kebetulan ikan-ikan kecil dengan jumlah lebih banyak dengan gill net. Indeks efisiensi penangkapan untuk trammel net yaitu 2,72 kali lebih besar daripada gill net, juga tidak menjamin hasil tangkapan yang lebih banyak dengan trammel net. Nilai ini menunjukkan efisiensi apabila ukuran ikan yang akan tertangkap terdistribusi merata. Praktek penangkapan, dengan demikian, dipengaruhi oleh distribusi ukuran ikan yang tidak merata di dalam populasi.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengaruh Garam Terhadap Produk Ikan Olahan

Arsip Cofa No. C 023

Pengasinan Mengurangi Daya Racun Telur Ikan Buntal

Hashimoto (1979) melaporkan bahwa ovari (telur) ikan buntal telah lama dimakan di Ishikawa Prefecture, Jepang. Telur ikan buntal asin, yang dinamakan fuguharago atau fukunoko, dijual secara komersial. Telur ikan ini diasin dan diacar bersama bekatul, dan biasanya tahan selama enam bulan sampai setahun bahkan kadang-kadang tiga atau empat tahun. Ternyata bahwa telur ikan buntal menjadi aman dimakan akibat proses pengasinan dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1) sebagian racun dari ovari merembes keluar selama proses penggaraman dan daya racun ovari mencapai nilai rata-rata, karena ovari yang sangat beracun kehilangan sebagian racunnya dan racun ini mencemari ovari yang sebenarnya tidak beracun. 2) Selama proses pengasinan, terjadi pengenceran racun akibat difusi racun dari ovari ke bekatul. Lebih lanjut, sekitar setengah dari racun ini hilang pada saat proses pengawetan yang lama. 3) Produk akhirnya beracun lemah, meskipun tetrodotoksin masih ada dalam telur pada saat pemasaran. Karena penurunan daya racun bersesuaian dengan tingginya derajat keasinan, yang mencegah orang memakan produk ini secara berlebihan, telur ikan buntal asin relatif aman dimakan. Bagaimanapun,mungkin berbahaya untuk memakan telur asin ini bila dibuat dengan tidak benar atau bila dimakan segera setelah diasinkan atau diacar. Keracunan dilaporkan sebagai akibat memakan produk telur asin yang belum sempurna.

Baca juga
Warna Pada Produk Perikanan

Garam Dapur Memperbaiki Mutu dan Daya Awet Udang Goreng

Joseph et al. (1993) melaporkan hasil penelitian karakteristik penyimpanan udang (Metapenaeus dobsoni) goreng dan kering siap-saji yang dikemas dalam kantung poliester/polyhthene dan disimpan pada suhu sekeliling (22 – 28 °C). Perlakuan dengan garam dapur (natrium klorida) dan asam sitrat sebelum penjemuran awal ternyata meningkatkan mutu maupun daya awet produk udang goreng akhir. Sementara udang goreng dan kering yang tidak diberi perlakuan menunjukkan lama penyimpanan 42 hari, sampel uji tetap dalam kondisi dapat diterima konsumen sampai selama 55 hari. Udang kering goreng tampaknya bisa menjadi produk siap-saji yang menjanjikan, terutama sesuai untuk pasar konsumen kota.

Baca juga
Produk Ikan Fermentasi

Pengaruh Garam Terhadap Perubahan Nitrogen Pada Filet Ikan

Sankar and Solanki (1992) meneliti perubahan fraksi-fraksi nitrogen selama pengolahan ikan cucut dan ikan pari. Penurunan kadar air, nitrogen non-protein dan nitrogen protein terlarut setelah pengolahan dalam air asin jenuh pada suhu 27 – 30 °C berlangsung cepat pada 8 jam pertama kemudian diikuti dengan penurunan yang lebih lambat untuk filet cucut maupun pari. Penurunan ini sebanding dengan penyerapan garam.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Garam Untuk Mengendalikan Serangan Larva Lalat Pada Ikan Olahan

Basu et al. (1992) melaporkan bahwa serangan larva lalat blow fly tidak terjadi bila kadar air ikan olahan rendah. Kadar air kritis ini tergantung pada kadar garam ikan olahan tersebut. Data yang dikumpulkan dianalisis secara statistik untuk memperoleh hubungan antara kadar air dan kadar garam pada ikan olahan. Serangan hama ini rendah bila kadar air berkisar antara 34,4 dan 52,4 % dan kadar garam antara 11,8 dan 22,4 %.

Baca juga
Ikan Kering : Pengolahan dan Penanganan

Pengaruh Garam Dapur Terhadap Kekuatan Gel Surimi

Wan et al. (1992) meneliti pengaruh kation-kation monovalen terhadap ikatan-silang myosin pada gel “suwari” yang dibuat dari ikan walleye pollack. Pasta ikan asin yang dibuat dari surimi walleye pollack (Theragra chalcogramma) dengan penambahan salah satu dari NaCl, KCl atau NH4Cl disimpan pada suhu 25 °C untuk menghasilkan gel suwari dan kemudian direbus pada suhu 90 °C (gel rebus). Kedua gel yang mengandung NaCl menunjukkan kekuatan gel tertinggi dan pembentukan rantai-rantai berat myosin ikatan-silang terbaik, diikuti oleh gel yang mengandun KCl. Pasta yang mengandung NH4Cl tidak membentuk gel suwari. Perbedaan pengaruh berbagai jenis garam terhadap sifat pembentukan gel ini disebabkan perbedaan reaktivitas transglutaminase dalam pasta terhadap protein surimi dalam setiap garam.

Baca juga
Kerupuk Ikan : Pengaruh Protein Ikan, Garam, Tepung dan Lama Pengukusan

Pengaruh Garam Terhadap Perubahan Protein Serabut Otot Ikan Asin

Tambo et al. (1992) merendam daging cincang ikan horse mackerel (Trachurus japonicus) dalam larutan NaCl 3 M selama berbagai periode pada suhu 4 °C , agar konsentrasi natrium klorida dalam daging bekisar 0,14 – 1,90 M. Daging olahan kemudian didehidrasi pada suhu 20, 30 dan 40 °C, dan perubahan aktivitas Ca-ATPase myofibrilar, konsentrasi garam serta rantai berat myosin dalam daging diteliti sebagai fungsi lama dehidrasi. Dengan meningkatnya konsentrasi garam dalam daging olahan bersama dengan meningkatnya suhu pada dehidrasi, maka Ca-ATPase myofibrilar dengan cepat menjadi tidak aktif. Sebaliknya, rantai berat myosin dalam daging olahan hanya menurun bersamaan dengan pembentukan polimernya ketika daging olahan yang mengandung 0,68 – 1,60 M NaCl didehidrasi pada suhu 30 °C. Hampir tidak ada perubahan yang terjadi selama dehidrasi daging olahan seperti ini pada suhu 20 atau 40 °C.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Bioekologi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)

Arsip Cofa No. C 022

Makroinvertebrata Yang Berasosiasi Dengan Eceng Gondok

Bailey and Litterick (1993) melaporkan bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) membentuk hamparan lebat yang hampir ada di mana-mana di habitat perairan terbuka di rawa permanen Sudd, Sudan. Di sebuah danau-sungai yang khas, hamparan ini memiliki lebar yang bervariasi antara 9 dan 16 meter dan biomas tumbuhan terbanyak berada di tengah. Jumlah terbanyak makroinvertebrata dalam massa akar eceng gondok ditemukan pada sampel perangkap-jatuh dan didominasi oleh coleoptera (kumbang), odonata, gastropoda dan udang Caridina nilotica. Tepi terluar hamparan eceng gondok ini menyediakan habitat yang mudah dicapai, konsentrasi oksigen terlarut yang cukup dan berbagai sumber makanan potensial bagi invertebrata air. Sebaliknya, zona dekat-darat yang kurang dapat dihuni memiliki lebih sedikit fauna di mana coleoptera, hydracarina dan gastropoda dominan. Pengurangan yang menyolok dalam hal jumlah invertebrata pada sampel jaring angkat dari hamparan eceng gondok disebabkan karena dimangsa ikan. Massa akar eceng gondok tampaknya menggantikan niche yang semula disediakan oleh massa akar kubis Nil bagi invertebrata air ini.

Baca juga Pengendalian Tumbuhan Air Secara Biologis dan Kimiawi

Pengendalian Eceng Gondok Dengan Kumbang Air

Fisheries Division Queensland Department of Primary Industries (1999) melaporkan bahwa salah satu tumbuhan air yang diintroduksikan ke Australia adalah eceng ondok (Eichhornia crassipes), yang merupakan tumbuhan-mengapung yang paling berhasil di dunia. Sebagai contoh, tiga individu eceng gondok bisa memproduksi 3.000 individu baru dalam waktu 50 hari. Mereka mengkoloni perairan sedemikian hingga membatasi gerakan perahu, menyumbat pipa pompa dan saluran irigasi serta secara nyata mengubah kualitas air dengan menghalangi pemasukan cahaya ke kolom air dan menghabiskan oksigen terlarut di bawah permukaan air. Eceng gondok di Ausralia pertama kali dilaporkan pada tahun 1895 dari Botanical Gardens di Brisbane. Keberhasilan pengendalian eceng gondok telah dicapai di beberapa bagian Australia dengan memanfaatkan kumbang weevil Amerika Selatan (Neochetina eichhorniae). Kumbang Neochetina bruchi baru-baru ini dilepaskan untuk membantu pengendalian eceng gondok dan kini kumbang tersebut telah mapan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Toleransi Salinitas dan Kemampuan Eceng Gondok Menyingkirkan Nitrogen Dari Perairan

Vejar P. et al. (1991) menunjukkan bahwa nitrogen merupakan zat hara pembatas pertumbuhan paling penting bagi eceng gondok Eichhornia crassipes (Mart.) Solms yang dipelihara pada kondisi laboratorium sejak berbunga sampai awal kondisi dorman (tak aktif) musim dingin. Spesies ini telah terbukti dapat bertindak sebagai agen biologis penyingkir nitrogen dari perairan dengan hasil 24,0 mg (berat kering)/mg N-NO3-/liter. Percobaan yang dilakukan pada berbagai salinitas menunjukkan bahwa Eichhornia crassipes dapat mentolerir salinitas sampai sekitar 7,5 gram/liter natrium klorida.

Baca juga Meningkatkan Efektivitas Herbisida Dalam Membasmi Tumbuhan Air

Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Menyingkirkan dan Mengurangi Daya Racun Merkuri

James et al. (1992) mempelajari pengaruh konsentrasi air raksa subletal terhadap transformasi makanan pada ikan Heteropneustes fossilis dan peranan eceng gondok Eichhornia crassipes dalam mengurangi daya racun logam merkuri ini. Nilai LC-50 96 jam untuk air raksa adalah 0,099 ppm. Konsentrasi subletal air raksa secara nyata menurunkan laju makan, penyerapan, konversi dan metabolisme. Binatang yang terpapar terhadap 0,03 ppm air raksa dan air raksa + eceng gondok mengkonsumsi makanan 48 dan 45 % lebih sedikit, berturut-turut, daripada binatang yang dipelihara di dalam air bebas-merkuri. Binatang kontrol menghabiskan 65 % energi makanan yang dikonsumsi untuk metabolisme dan nilai ini meningkat menjadi 75 dan 70 % pada binatang yang terpapar air raksa dan air raksa + eceng gondok, berturut-turut. Efisiensi untuk mengkonversi energi makanan menjadi jaringan tubuh berkurang sampai maksimum 65 % pada ikan yang terpapar air raksa saja dan 48 % pada ikan yang terpapar air raksa + eceng gondok, bila dibandingkan dengan ikan kontrol. Penurunan pertumbuhan pada ikan Heteropneustes fossilis mungkin disebabkan penurunan laju penelanan makanan, efisiensi konversi makanan yang rendah, dan tingginya bagian energi makanan yang dihabiskan untuk metabolisme. Bagaimanapun, ikan yang terpapar air aksa + eceng gondok menunjukkan dengan jelas perbaikan parameter-parameter transformasi makanan dibandingkan pada ikan yang terpapar air raksa saja. Eichhornia crassipes diduga banyak menyingkirkan air raksa dari medium uji dan dengan demikian secara tidak langsung mengurangi daya racun logam berat ini bagi binatang uji. Konsentrasi klorofil Eichhornia crassipes menunjukkan penurunan secara perlahan-lahan akibat meningkatnya konsentrasi air raksa.

Baca juga Upaya Mengatasi Eutrofikasi

Pemanfaatan Eceng Gondok Untuk Menghilangkan Zat Hara Anorganik dan Mengurangi Fitoplankton

Boyd (1982) mengulas hasil-hasil penelitian mengenai kemungkinan pembudidayaan spesies-spesies tumbuhan air tertentu dalam sistem perairan eutrofik untuk menghilangkan zat hara anorganik dan membatasi pertumbuhan fitoplankton. Telah dibuktikan bahwa eceng gondok (Eichhornia crassipes) menyerap rata-rata 3,4 kg/ha nitrogen dan 0,34 kg/ha fosfor per hari selama pertumbuhan yang cepat. Telah dilakukan penelitian di mana luas penutupan perairan oleh eceng gondok sebesar 0, 5, 10 dan 25 % dari luas permukaan kolam yang kaya zat hara di Auburn, Alabama. Kelimpahan fitoplankton adalah lebih rendah di kolam yang luas penutupan eceng gondoknya 10 dan 25 % daripada di kolam yang luas penutupannya 0 dan 5 %. Persaingan antara eceng gondok dengan fitoplankton melibatkan penaungan dan pengambilan zat hara. Penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan eceng gondok dan makrofita air lainnya untuk mengurangi fitoplankton di kolam budidaya ikan intensif bisa diterapkan secara praktis.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Pengaruh Lingkungan Terhadap Reproduksi Invertebrata

Arsip Cofa No. C 021

Pengaruh Kelaparan Terhadap Reproduksi Cumi-Cumi Idiosepius

Lewis and Choat (1993) meneliti biologi reproduksi cumi-cumi tropis Idiosepius pygmaeus pada individu liar dan individu di akuarium. Spesies ini menghasilkan kelompok-kelompok telur ganda lebih dari 80 % dari kisaran bobot individu dewasa, yang menunjukkan adanya koordinasi antara pertumbuhan sel-sel reproduktif dan pertumbuhan sel-sel tubuh. Produk reprodukif adalah konsisten dalam satu individu tetapi bervariasi antar individu. Sintesis dan pematangan oosit (sel telur) terjadi terus-menerus setelah individu mencapai kematangan seksual. Kematian tidak berhubungan dengan kepayahan akibat bereproduksi. Di bawah kondisi kekurangan makanan, individu dalam kurungan meletakkan lebih sedikit telur tetapi mempertahankan ukuran telur dan periodisitas peletakan telur. Stres akibat kelaparan tidak berpengaruh terhadap lama peletakan telur ataupun bobot saat mati. Penelitian ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa “terminal spawning” (pemijahan yang diakhiri dengan kematian) tidak umum di antara cephalopoda.

Baca juga Reproduksi Cumi-cumi

Pengaruh Keterbatasan Makanan dan Jenis Makanan Terhadap Reproduksi Nyamuk

Jones (1993) memelihara larva nyamuk Toxorhynchites splendens (Wiedemann) di dalam air tawar dan memberinya makan berupa larva Culex quinquefasciatus Say atau larva Aedes aegypti (L.) secara ad libitum. Pemberian makanan berupa larva Culex quinquefasciatus ada yang secara ad libitum (sekenyangnya), ada yang dibatasi dua mangsa per hari selama periode perkembangan 1-10 hari, dua mangsa per hari selama 10 hari pada periode pupa (kepompong), dan dua mangsa per hari selama periode pupa. Laju reproduksi nyamuk dewasa yang dihasilkan dibandingkan di antara semua perlakuan. Laju reproduksi yang lebih tinggi secara nyata berkorelasi dengan bobot badan yang lebih berat saat memasuki tahap pupa, tetapi bobot badan saat pupa tergantung pada laju penelanan makanan hanya selama fase akhir. Nyamuk dewasa dari larva yang memakan Aedes aegypti secara ad libitum meletakkan lebih sedikit telur daripada nyamuk yang memakan larva Culex quinquefasciatus secara ad libitum selama periode perkambangan fase keempat. Laju produksi telur harian adalah lebih tinggi pada semua kelompok yang memperoleh mangsa secara ad libitum pada fase keempat dibandingkan pada kelompok yang menerima dua mangsa per hari selama fase keempat.

Baca juga Reproduksi dan Endokrinologi

Pengaruh Parasit Terhadap Reproduksi Bulu Babi

Hagen (1992) melaporkan bahwa populasi bulu babi hijau (Strongylocentrotus droebachiensis), di Vestfjorden, Norwegia utara, terinfeksi oleh nematoda endoparasit, Echinomermella matsi, pada tahun 1987. Keberadaan Echinomermella matsi meningkat dari 5,5 % pada tahun 1983 menjadi 65,4 % pada tahun 1991 di lokasi penelitian di Godoeystraumen. Bulu babi yang terinfeksi memiliki indeks gonad rata-rata lebih rendah daripada bulu babi yang tidak terinfeksi, dan dua per tiga bulu babi yang terinfeksi mengalami penyusutan gonad sedemikian hingga jenis kelaminnya tidak diketahui. Kepadatan rata-rata populasi Strongylocentrotus droebachiensis di Godoeystraumen tampaknya tidak berubah, tetapi rata-rata diameter cangkangnya menurun sebesar 14,6 %, dari 36,4 mm pada tahun 1983 menjadi 31,1 mm pada tahun 1991. Akibat perubahan ini maka kapasitas reproduksi populasi bulu babi tampaknya berkurang kira-kira 58 %.

Baca juga Gonad Ikan dan Avertebrata
Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Cahaya, Salinitas dan Suhu Terhadap Pemijahan Amfipoda

Morritt and Stevenson (1993) melaporkan bahwa siklus pemijahan alami kutu pantai Orchestia gammarellus menunjukkan adanya betina yang mengandung telur di dalam populasi lapangan antara bulan April dan September; spesis ini berhenti memijah selama musim dingin (Oktober – Maret). Jumlah betina lebih banyak daripada jumlah jantan selama musim pemijahan. Binatang yang dikumpulkan dari lapangan perlahan-lahan menjadi lebih mudah untuk dibawa ke kondisi pemijahan dibandingkan binatang yang dikumpulkan pada bulan berikutnya pada akhir musim pemijahan alami. Ada fase pemulihan pada akhir musim pemijahan alami, tetapi rentang waktunya bisa dikurangi dengan meningkatkan suhu sekeliling binatang tersebut. Permulaan reproduksi ataupun fekunditas betina tidak dipengaruhi oleh panjang hari (percobaan dengan kondisi siang/terang 14 jam dan malam/gelap 10 jam memberikan hasil yang sama dengan kondisi siang 24 jam dan malam 0 jam). Salinitas tidak memberikan pengaruh yang mantap terhadap permulaan pemijahan atau fekunditas betina, walaupun laju perkembangan embryo pasti menjadi lebih lambat pada salinitas tertinggi (100 % air laut). Faktor lingkungan yang penting bagi pengendalian reproduksi Orchestia gammarellus adalah suhu. Suhu yang lebih tinggi menyebabkan amfipoda ini memulai reproduksi lebih cepat (dalam kisaran 15 – 22 oC). Awal pemijahan di lapangan terjadi bila suhu udara maksimum mencapai 10 oC.

Baca juga Pengaruh Suhu Terhadap Reproduksi Avertebrata

Pengaruh Lingkungan Terhadap Keberhasilan Pemijahan Pada Kopepoda

Ianora et al. (1992) melaporkan bahwa dibutuhkan waktu 2 – 3 bulan agar laju reproduksi yang tinggi menghasilkan kelimpahan populasi yang tinggi pada kopepoda planktonik Centropages typicus, dengan produksi tertinggi pada saat kelimpahan betina relatif rendah dan produksi rendah pada saat kelimpahan tinggi di perairan Teluk Naples. Mortalitas telur pada saat itu tinggi. Kecenderungan musiman dalam hal persentase keberhasilan pemijahan tidak bersesuaian dengan fluktuasi musiman intensitas pemijahan, dan tidak berhubungan dengan variasi faktor-faktor lingkungan seperti suhu dan konsentrasi klorofil-a. Teknik pewarnaan fluorosensi menunjukkan bahwa telur yang tidak menetas dulunya telah dibuahi dan bahwa pada kebanyakan kasus perkembangan berjalan sampai ke tahap lanjut sebelum embryo mati. Penyebab tingginya mortalitas telur adalah tidak pasti, tetapi mungkin tidak hanya disebabkan oleh ketidaksuburan akibat kegagalan perkawinan-ulang.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Habitat, Makanan dan Pertumbuhan Stolephorus

Arsip Cofa No. C 020

Keragaman Spesies, Habitat dan Makanan Stolephorus

Longhurst dan Pauly (1987), berdasarkan beberapa laporan penelitian, menyatakan bahwa ikan engaulidae kecil yang paling penting bagi perikanan tropis mungkin adalah ikan teri Stolephorus, yang diperkirakan ada 19 – 20 spesies di daerah Laut Cina Selatan dan Filipina. Misalnya Stolephorus amboiensis yang mendominasi perikanan umpan tuna di beberapa daerah di Pasifik barat. Kebanyakan Stolephorus adalah ikan pesisir yang menggerombol; namun Stolephorus punctifer merupakan spesies oseanik stenohalin yang ditemukan pada jarak lebih dari 500 km dari pantai. Ada kemungkinan terjadinya migrasi antar-pulau tetapi diduga tidak ada gerakan antar-daerah utama. Beberapa spesies (Stolephorus commersoni, Stolephorus indicus) merupakan ikan penghuni paparan benua yang hanya sekali-sekali memasuki perairan payau. Spesies lainnya (Stolephorus bataviensis, Stolephorus heterolobus) lebih terbatas di pesisir dan zona neritik (zona perairan dangkal di sekitar benua sampai tepi paparan benua), sementara spesies lain (Stolephorus tri, Stolephorus macrops) paling melimpah di dekat mulut sungai dan sering memasuki perairan payau. Sebagian spesies (Stolephorus indicus, Stolephorus batavius) memakan terutama zooplankton, sedang spesies lainnya (Stolephorus heterolobus) bersifat lebih selektif dan dapat juga mengkonsumsi fitoplankton. Ada korelasi positif antara kelimpahan zooplankton di Selat Singapura dan kelimpahan Stolephorus, yang membentuk bagian penting biomas ikan pelagis.

Baca juga Ikan Umpan Pada “Pole and Line” dan Longline

Pertumbuhan Stolephorus nelsoni

Hoedt (1989) dalam Blaber and Copland (1990) mempelajari sejarah pertumbuhan ikan teri Australia tropis, Stolephorus nelsoni. Penelitian menghasilkan empat kurva pertumbuhan, yang pertama berasal dari peningkatan pertumbuhan sagital otolit dan sisanya berasal dari analisis terpisah terhadap data frekuensi panjang yang dikumpulkan pada tahun 1984, 1988 dan 1989. Nilai-nilai hasil perhitungan untuk konstanta K dan L∞ adalah 2,16 dan 105 mm yang diperoleh dari kurva pertumbuhan berdasarkan otolit. Hal ini sesuai dengan nilai rata-rata K = 2,1 dan L∞ = 97,3 mm yang diperoleh dari data frekuensi panjang. Dari hasil penelitian bisa disimpulkan bahwa pertambahan otolit menyediakan cara yang berguna untuk menduga pertumbuhan harian Stolephorus nelsoni dewasa.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pertumbuhan dan Komposisi Umur Hasil Tangkap Stolephorus heterolobus

Wright et al. (1989) dalam Blaber and Copland (1990) mempelajari pertumbuhan serta komposisi panjang dan umur ikan teri jawa, Stolephorus heterolobus, yang didaratkan di Jepara, Jawa Tengah bagian utara. Total 12.320 ekor Stolephorus heterolobus telah dikumpulkan dari program sampling reguler antara bulan November 1983 dan Juni 1985. Pertambahan harian sagital otolit digunakan untuk mempelajari pertumbuhan dan komposisi umur stok ikan ini. Ikan tahap post larva, juvenil dan dewasa didaratkan oleh perikanan teri ini, namun hanya juvenil berumur lebih dari 120 hari yang diseleksi sepenuhnya oleh alat tangkap. Tahap juvenil, ditemukan dalam hampir semua sampling bulanan, yang menunjukkan bahwa rekruitmen stok berlangsung terus-menerus. Selain itu, juvenil membentuk mayoritas hasil tangkapan ikan teri baik dari segi jumlah (64 %) maupun biomas (52 %). Ikan dewasa dalam jumlah cukup banyak ditemukan hanya dalam 7 dari 21 sampel bulanan. Mortalitas total, yang diduga dari data frekuensi panjang dikonversi umur, adalah tinggi namun sama dengan yang dilaporkan untuk stok-stok ikan lain yang dieksploitasi.

Baca juga Alat Tangkap dan Kelestarian Sumberdaya Perikanan

Perbedaan Kondisi Lingkungan Menyebabkan Perbedaan Laju Pertumbuhan

Milton et al. (1989) dalam Blaber and Copland (1990) mempelajari otolit spesies ikan umpan tuna utama di Kepulauan Solomon dan Maldives. Jumlah pertambahan otolit dihubungkan dengan panjang pada semua spesies. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk meyakinkan bahwa pertambahan otolit terjadi setiap hari. Kurva pertumbuhan untuk setiap spesies disusun berdasarkan jumlah pertambahan otolit. Untuk spesies Stolephorus, kurva pertumbuhan ini tidak konsisten dengan kurva pertumbuhan yang dibuat berdasarkan analisis frekuensi panjang. Pertambahan pertumbuhan spesies ikan Spratelloides delicatulus sebelumnya telah diyakinkan terjadi setiap hari. Pertumbuhan spesies ikan ini dan spesies Spratelloides lainnya adalah cepat dan ikan ini hidup tidak lebih dari 5 bulan. Ada kecocokan yang tinggi antara kurva pertumbuhan hasil analisis frekuensi panjang dengan kurva pertumbuhan hasil penentuan umur harian untuk spesies ini. Pertumbuhan bervariasi antar lokasi dan antar negara serta antar spesis ikan umpan tuna. Bagaimanapun, perbedaan ini tidak berkaitan dengan intensitas penangkapan ikan umpan tersebut, tetapi mungkin mencerminkan perbedaan kondisi lingkungan setiap lokasi.

Baca juga Dampak Positif Ukuran Mata Jaring (Mesh Size) Yang Besar

Laju Petumbuhan Stolephorus di Daerah Fishing Ground dan Bukan Fishing Ground

Tiroba et al (1989) dalam Blaber and Copland (1990) melaporkan bahwa ikan teri engraulidae (Stolephorus heterolobus dan Stolephorus devisi) merupakan spesies-spesies dominan dalam perikanan umpan tuna di kepulauan Solomon. Ikan sprat, Spratelloides delicatulus, juga menyumbangkan bagian penting dalam hasil tangkap ikan umpan tuna. Data frekuensi panjang dikumpulkan setiap bulan antara Maret 1987 dan Mei 1989 dari dua daerah yang intensitas perikanan umpan tunanya tinggi serta daerah bukan lokasi perikanan umpan tuna di Kepulauan Solomon. Nilai panjang asimptot (L∞) dan koefisien pertumbuhan dihitung dengan program ELEFAN I, kurva hasil tangkap yang dikonversi ke panjang disusun menggunakan program ELEFAN II. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua spesies ikan teri dieksploitasi oleh perikanan umpan tuna dengan intensitas kecil sampai sedang di kedua lokasi perikanan. Ikan sprat mengalami mortalitas yang agak lebih tinggi. Laju pertumbuhan kedua spesies ikan teri adalah lebih tinggi di lokasi perikanan umpan tuna daripada di daerah bukan lokasi perikanan. Nilai-nilai K dan L∞ relatif konstan antar tahun di semua lokasi.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Zat-Zat Hara Dalam Sedimen dan Air Danau

Arsip Cofa No. C 019

Pengaruh Fosfor Terhadap Kekeruhan Danau

van Liere et al. (1991) melaporkan bahwa Danau Loosdrecht di Belanda mengalami – akibat meningkatnya beban fosfor dari luar – perubahan dari danau yang jernih dengan sedikit makrofita, melalui periode waktu dengan pertumbuhan characea yang melimpah, menjadi danau keruh yang didominasi oleh cyanobakteri dan material detritus. Eutrofikasi diatasi dengan memanfaatkan sistem selokan dan mengurangi kandungan fosfor dari pasokan air. Pengurangan beban fosfor eksternal yang diakibatkan oleh tindakan tersebut tidak menyebabkan secara nyata penurunan kekeruhan oleh partikel tersuspensi. Hal ini bisa dikarenakan oleh tingginya beban fosfor internal, baik yang disumbangkan oleh sedimen maupun oleh ikan. Bagaimanapun, konsentrasi klorofil Danau Loosdrecht tidak meningkat lebih jauh. Konsentrasi maksimum fosfor total berkurang sebanyak kira-kira 10 % per tahun. Klorofil-a tidak terlihat memberikan reaksi yang nyata.

Baca juga Nitrogen Dalam Ekosistem Perairan

Siklus Zat-Zat Hara Pada Bidang Batas Sedimen-Air Di Danau

Lazzaretti et al. (1992) menganalisis fosfor, besi, mangan dan sulfur di dalam sampel air dari bidang batas sedimen-air yang dikumpulkan pada empat waktu yang secara musim berbeda dalam setahun di dua lokasi sampling di basin selatan Danau Lugano (Lago di Lugano). Hasilnya menunjukkan kuatnya pengaruh proses-proses biogeokimia di dalam sedimen terhadap komposisi kimia air di atas sedimen tersebut. Konsumsi oksigen dan nitrat pada kondisi oksik (oksigen cukup) sampai mikrooksik (oksigen sangat sedikit) dalam kolom air serta – akibatnya – pelepasan besi dan mangan tereduksi pada kondisi anoksik (tidak ada oksigen) telah diamati sebagai akibat langsung atau tak langsung dari penguraian bahan organik oleh mikroba. Pola musiman untuk pelepasan dan penahanan mangan dan besi tereduksi terlarut berhubungan erat dengan proses serupa untuk fosfat terlarut. Siklus besi, mangan dan fosfor berhubungan erat di dalam sedimen. Kedua tipe sedimen bertindak sebagai penampung hidrogen sulfida dan sulfat. Siklus sulfur dalam-sedimen diduga melengkapi siklus besi, mangan dan fosfor dengan menguraikan bahan organik. Siklus zat hara pada bidang batas sedimen-air dengan demikian dikendalikan oleh mekanisme “pompa ion” yang diatur oleh mikroba.

Baca juga Pengaruh Pengadukan Terhadap Produktivitas Primer Perairan
Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Siklus Karbonat – Karbon Dioksida Di Danau

Welch (1952) menyatakan bahwa beberapa proses kimia di danau secara otomatis merampas, untuk sementara atau selamanya, dua komponen penting dari air danau, yaitu kalsium (dan sampai beberapa kisaran, magnesium) dan karbon dioksida. Penyingkiran karbon dioksida dari air danau dalam bentuk karbonat tak terlarut adalah bersifat sementara hanya bila endapan karbonat tetap bersentuhan langsung dengan air di atasnya dan bila periode produksi karbon dioksida bebas memungkinkan proses pengubahan monokarbonat menjadi bikarbonat terlarut, sehingga bisa mengembalikannya ke dalam air. Sirkulasi karbon dioksida ini jauh lebih rumit di perairan dangkal di mana gerakan air bisa mendistribusikan kembali bikarbonat terlarut; tetapi di daerah-daerah yang dalam bikarbonat hasil proses pengubahan tersebut hanya bisa didistribusikan oleh difusi yang sangat lambat dan oleh gerakan air yang begitu lemah dan sering tak berarti sebagaimana yang terjadi di daerah hipolimnion, sehingga sirkulasi yang efektif harus menunggu terjadinya overturn (pembalikan massa air danau).

Baca juga Fosfor Dalam Ekosistem Perairan

Penurunan Kesuburan Danau Akibat Pengendapan Kalsium Karbonat

Welch (1952) menyatakan bahwa penyingkiran secara permanen sejumlah besar kalsium dan karbon dioksida yang terikat dalam bentuk monokarbonat terjadi bila keadaannya sedemikian hinga endapan zat-zat hara tersebut tertutup oleh sedimen lain dan tidak bisa bersentuhan langsung dengan lapisan air di atasnya. Berbagai proses sedimentasi bisa mengubur endapan kalsium karbonat secara permanen. Sampel sedimen yang diambil secara vertikal sering menunjukkan endapan kalsium karbonat yang berlapis-lapis di dasar danau. Metode sampling vertikal yang sama menunjukkan adanya endapan kalsium karbonat yang terkubur di dalam danau-rawa dan basin lain yang mengalami sedimentasi dengan cepat. Bahkan pengadukan dasar danau yang biasa terjadi sudah cukup untuk menyebabkan material dasar tersebut kemudian menutupi endapan kalsium karbonat sehingga menghalanginya bersentuhan dengan air. Masuknya air sungai ke danau yang membawa tanah liat pada saat hujan deras atau pada saat mencairnya salju musim semi menyebabkan tanah liat yang sulit ditembus air itu mengendap ke dasar danau dan menutupi endapan kalsium karbonat yang telah terbentuk sebelumnya. Penyingkiran kalsium yang berikatan dengan karbon dioksida dan penyingkiran magnesium yang berikatan dengan karbon dioksida yang terjadi terus-menerus ini menunjukkan dengan jelas pentingnya mengganti zat-zat hara tersebut guna mempertahankan produktivitas (kesuburan) danau. Hamparan endapan kalsium karbonat di bawah permukaan tanah di belakang tepi danau merupakan saksi bisu bahwa tempat itu dulu merupakan bekas danau yang kehilangan zat-zat hara pentingnya. Bila laju penyingkiran zat-zat hara tersebut melebihi laju penggantiannya maka produktivitas danau mulai berkurang meskipun ada proses-proses lain yang meningkatkan ketersediaan zat-zat hara jenis lainnya; dan sekarang danau seperti ini bisa menjadi salah satu danau gersang yang ketiadaan mahluk hidupnya sangat menarik perhatian.

Baca juga Dinamika Zat Hara di Estuaria

Pengaruh Diatom Terhadap Distribusi Seng dan Tembaga Dalam Air Danau

Reynolds and Hamilton-Taylor (1992) mengukur konsentrasi seng (Zn) dan tembaga (Cu) terlarut bersama dengan biomas (jumlah alga, karbon organik dan klorofil-a) serta zat hara mikro (fosfor dan silika) selama periode 8 minggu, di mana dalam periode waktu tesebut terjadi ledakan populasi diatom Asterionella. Distribusi seng terlarut tampaknya dipengaruhi oleh siklus alga. Dalam periode ketika diatom mencapai maksimum, konsentrasi seng terlarut berkorelasi (P < 0,01) secara positif dengan konsentrasi fosfat dan silikat, yang menunjukkan rasio atom karbon : fosfor : seng sebesar 1,06 : 1 : 0,034, dan berkorelasi negatif dengan konsentrasi klorofil-a. Setelah terbentuk stratifikasi, konsentrasinya di epilimnion (lapisan atas air danau) secara nyata (P < 0,01) lebih sedikit daripada di hipolimnion (lapisan bawah air danau). Distribusi tembaga terlarut tidak dipengaruhi oleh ledakan populasi diatom musim semi. Seng disingkirkan dari air danau dan masuk ke sedimen bersama fitoplankton yang mati dan mengendap ke dasar danau, tetapi efek proses ini terhadap siklus tembaga bisa diabaikan.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 16 April 2012

Pemangsaan Terhadap Daphnia (Cladocera)

Arsip Cofa No. C 018

Perilaku Menjauhi Tepi Danau Untuk Menghindari Pemangsaan

Gliwicz and Rykowska (1992) melaporkan bahwa distribusi dua spesies Daphnia yang dominan di sebuah danau eutrofik, Danau Ros, menunjukkan perbedaan kelimpahan antara dekat-pantai dan jauh-pantai dengan penurunan dramatis ke arah dekat-pantai, yang menunjukkan kuatnya perilaku “menghindari pantai”. Bagaimanapun, lebih kecilnya ukuran tubuh dan lebih kecilnya kelompok individu kedua populasi yang ada di dekat pantai menunjukkan bahwa lebih rendahnya kepadatan populasi setiap spesies di dekat-pantai adalah lebih disebabkan oleh pengaruh langsung tingginya mortalitas individu yang berukuran lebih besar dan individu dalam kelompok besar karena mereka lebih rentan terhadap pemangsaan oleh ikan pantai, yang didominasi oleh juvenil ikan perch. Data hidroakustik dan data hasil tangkap trawl menunjukkan bahwa ikan perch muda berenang ke lepas pantai pada petang hari untuk memakan zooplankon pelagis, tetapi aktivitas makan mereka tidak seefisien pada malam hari ketika mereka mencapai kumpulan Daphnia paling jauh di tengah danau. Resiko pemangsaan yang tinggi di sekitar pantai danau bisa dianggap sebagai faktor terakhir di belakang evolusi perilaku menghindari pantai pada zooplankton.

Baca juga Ekologi Rotifera

Fluktuasi Aktivitas Pemangsaan Terhadap Daphnia

Rudstam et al. (1993) menganalisis data 14 tahun (1976 – 1989) mengenai ikan planktivora (pemakan plankton) dan zooplankton dari Danau Mendota, Wisconsin. Laju pemangsaan terhadap plankton berubah selama periode ini, terutama akibat fluktuasi ikan cisco (Coregonus artedi) kelas tahun 1977 yang mendominasi aktivitas pemangsaan plankton selama periode 10 tahun. Aktivitas pemangsaan terhadap plankton meningkat antara tahun 1977 dan 1978 akibat peningkatan biomas ikan kelas tahun tersebut dan penurunan biomasnya pada bulan Agustus 1987 setelah kejadian “summer kill” (kematian masal di musim panas) ikan cisco di danau ini. Kelas tahun ikan yellow perch (Perca flavescens) dan kelas tahun cisco lainnya menyumbangkan kurang dari 25 % total pemangsaan plankton selama tahun 1978 sampai 1987. Analisis rangkaian waktu menunjukkan bahwa fluktuasi 10 tahun laju pemangsaan plankton ini adalah berkaitan dengan perubahan spesies dan biomas Daphnia. Perubahan musiman dan antar-tahun dalam hal komposisi spesies Daphnia disebabkan oleh efek gabungan pemangsaan plankton, dinamika sumberdaya makanan, dan ekologi fisiologi dua spesies Daphnia. Tidak ada efek nyata peningkatan pemangsaan plankton terhadap biomas zooplankton total karena diimbangi oleh meningkatnya kelimpahan kopepoda cyclopoid sementara kopepoda calanoid tidak memberikan respon.

Baca juga Kultur Daphnia : Pengaruh Faktor Lingkungan
Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Ukuran Pemangsa Terhadap Laju Pemangsaan Dapnia

Butler and Burns (1993) meneliti pengaruh ketersediaan mangsa terhadap laju pemangsaan pada tungau air, Piona exigua, dengan tujuan untuk menentukan kisaran dampak pemangsa ini terhadap populasi spesies mangsanya. Piona exigua merupakan invertebrata pemangsa dominan di beberapa danau di New Zealand. Kedua peneliti mempelajari respon-respon fungsional Piona pada bebagai kondisi dan membandingkan hasil-hasilnya dengan menggunakan “analisis kurva paralel” dan sebuah metode pendugaan parameter-parameter kurva. Laju pemangsaan terhadap berbagai cladocera menunjukkan “ambang batas” ukuran mangsa di mana laju pemangsaan berubah mendadak. Nilai-nilai ambang batas ini adalah khas untuk setiap ukuran pemangsa. Piona betina, jantan dan nimfanya menunjukkan laju pemangsaan tertinggi terhadap Daphnia carinata, Ceriodaphnia dan Chydorus, berturut-turut.

Baca juga Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Populasi Daphnia

Irvine et al. (1991) meneliti pengaruh peniadaan tekanan pemangsaan oleh ikan terhadap Daphnia di danau dengan menggunakan karamba di Hoveton Great Broad, salah satu danau eutrofik dangkal di Norfolk Broadland di timur Inggris. Karamba dirancang sedemikian hingga fitoplankton bebas keluar masuk tetapi cladocera dan ikan tidak dapat. Populasi Daphnia di dalam karamba meningkat dan berlanjut sampai periode yang lebih lama pada musim panas dibandingkan dengan populasi yang ada di perairan terbuka di danau itu. Tidak ada penurunan mutu fitoplankton makanan akibat berlangsungnya musim panas dan akibat meningkatnya jumlah cyanophyta, terutama yang bersel kecil. Pengukuran laju makan pada Daphnia menunjukan bahwa laju makan, tetapi bukan efisiensi asimilasi, menurun dengan bertambahnya ukuran fraksi makanan. Analisa makanan pada ikan cyprnidae O+ (umur 0 tahun lebih) di danau menunjukkan bahwa ikan ini tetap memangsa zooplankton kecil, terutama Bosmina longirostris. Perkembangan musiman ikan muda adalah berhubungan dengan penurunan populasi Daphnia yang ada di danau dan mungkin disebaban oleh lebih besarnya kemampuan ikan O+ untuk memakan mangsa yang lebih besar.

Baca juga Variasi Keragaman, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Zooplankton

Pengaruh Pemangsaan Terhadap Migrasi Vertikal dan Pertumbuhan Daphnia

Dawidowicz and Loose (1992) mempelajari parameter-parameter sejarah hidup Daphnia magna yang ditumbuhkan secara individual di dalam tabung-tabung sepanjang 1 meter berarus mengalir dan berstratifikasi termal pada kondisi selalu banyak makanan (2,0 mg karbon/liter). Setiap individu bisa bermigrasi dengan bebas di dalam tabung dan kedalaman migrasi ini dicatat pada selang waktu yang teratur. Separuh tabung-tabung ini menerima air dari akuarium berisi ikan. Daphnia di dalam tabung tinggal di kedalaman selama siang hari dan naik ke permukaan pada malam hari, sehingga menunjukkan perilaku migrasi vertikal harian “normal”. Separuh tabung sisanya dipasok dengan air yang sama, tetapi tanpa ikan. Daphnia di dalam tabung ini tidak menunjukkan migrasi harian, tetapi tinggal di lapisan atas yang airnya hangat pada siang dan malam hari. Daphnia yang bermigrasi dalam tabung berisi air bekas ikan tumbuh pada laju (0,21/hari), hanya sepertiga dari laju pertumbuhan Daphnia penghuni tabung berisi air tanpa ikan (0,57/hari). Sebagian besar perbedaan antar perlakuan disebabkan oleh lebih rendahnya suhu yang dihadapi Daphnia yang bermigrasi. Bagaimanapun, percobaan tanpa stratifikasi termal menunjukkan bahwa keberadaan zat-zat kimia asal-ikan dalam air secara nyata menghambat pertumbuhan Daphnia.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 05 April 2012

Skeletonema : Biologi, Distribusi dan Ekologi

Arsip Cofa No. C 017

Skeletonema Sebagai Salah Satu Fitoplankton Dominan di Estuari Tropis

Longhurst and Pauly (1987) menyatakan bahwa hanya dalam situasi upwelling dan di estuari tropis diatom relatif penting seperti pada kasus ledakan populasi musiman di daerah lintang-tinggi dan kasus ini pun hanya sekali-sekali sehingga produksi fitoplankton musiman merupakan ciri penting laut tropis. Bahwa diatom-diatom besar, yang sering berbentuk bundar, mendominasi fitoplankton estuari tropis telah banyak dilaporkan : untuk estuari Ponggol di Singapura, estuari Sierra Leone di Afrika Barat, teluk Nikoya di Costa Rica dan di Trinidad. Genus yang paling sering disebut adalah Coscinodiscus, Caetoceros, Rhizosolenia, Skletonema. Kehadiran sel-sel tumbuhan besar yang melimpah merupakan faktor penting dalam ekologi estuari tropis.

Baca juga Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Keberadaan Skeletonema costatum dan Skeletonema tropicum di Perairan Jepang

Ueno (1991) melaporkan bahwa di perairan Jepang, Skeletonema costatum memulihkan diameter selnya pada musim panas dan awal musim gugur. Skeletonema tropicum hanya ada selama periode dari musim panas sampai awal musim dingin, dan sel pasca auxospora diperoleh pada awal kemunculannya. Berdasarkan distribusi Skeletonema tropicum dan kondisi hidrografik, Skeletonema tropicum merupakan populasi allogenic (dari luar) yang diangkut oleh Arus Tsushima. Pada percobaan kultur Skeletonema tropicum didapat hubungan positif antara diameter sel dan laju pembelahan sel, serta antara diameter sel dan laju penyusutan diameter sel. Penurunan laju pembelahan sel dan laju penyusutan diameter sel tampaknya menjadi ciri tahun keberadaan Skeletonema costatum di perairan Jepang.

Baca juga Distribusi, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Fitoplankton Laut

Sedimentasi Sel Skeletonema Setelah Mengalami Ledakan Populasi

Olesen (1993) meneliti laju sedimentasi selama periode 9 minggu; selama periode ini terjadi fluktuasi kelimpahan fitoplankton musim semi di selatan Kattegat. Ledakan populasi fitoplankton yang secara total didominasi oleh Skeletonema costatum terjadi lebih awal bila dibandingkan kejadian tahun-tahun sebelumnya dan mencapai maksimum pada pertengahan Februari bersamaan dengan stabilnya pycnocline (perbedaan densitas kolom air vertikal) pada awal Februari. Sedimentasi PON (particulate organic nitrogen; partikel nitrogen organik) berlangsung selama periode yang bersesuaian dengan ketersediaan nitrat pada awal ledakan populasi musim semi; hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar produksi baru musim semi mengendap ke dasar perairan. Sebagian besar POC (particulate organic carbon; partikel karbon organik) dalam masa air terdiri dari detritus; materi yang mengendap hampir seluruhnya berasal dari fitoplankton utuh. Banyak sel diatom yang tenggelam membentuk gumpalan selama periode penurunan ledakan populasi, bersamaan dengan meningkatnya penenggelaman seluruh komunitas. Penurunan konsentrasi oksigen di bawah- pycnocline berakhir tiga minggu setelah puncak ledakan populasi musim semi dan bersesuaian dengan 73 % kebutuhan oksigen materi yang mengedap.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Kinetika Penyerapan Nitrat Oleh Diatom Laut Skeletonema costatum

Collos et al. (1992) meneliti respon sistem penyerapan nitrat terhadap konsentrasi nitrat pada kisaran 1 sampai 500 mikroM dengan menggunakan isotop radioaktif N-13 untuk dua diatom laut (Skeletonema costatum dan Thalassiosira weissflogii) pada berbagai kondisi nutrisi nitrogen. Kinetika kejenuhan klasik telah diamati pada kisaran konsentrasi yang lebih rendah (1 – 40 mikroM), tetapi peningkatan penyerapan lebih lanjut telah diamati di atas 60 mikroM. Konsentrasi nitrat intraseluler antara 5 dan 17 mM menunjukkan bahwa hal ini merupakan sistem penyerapan aktif, bukannya difusi, yang bertanggung jawab atas penyerapan pada kadar nitrat eksternal yang tinggi itu.

Baca juga Daya Apung Fitoplankton dan Arti Pentingnya

Pengaruh Tembaga Terhadap Pertumbuhan Skeletonema

Metaxas and Lewis (1991) mempelajari pengaruh peningkatan konsentrasi tembaga terhadap pertumbuhan dua diatom laut, Skeletonema costatum dan Nitzschia thermalis. Skeletonema costatum tidak tumbuh pada konsentrasi tembaga di atas 5 x 10-7 (pCu = 8,4) dan Nitzschia thermalis tidak tumbuh di atas konsentrasi tembaga 6 x 10-7 (pCu = 8,36). Skeletonema menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan dan “lag phase” (fase tertinggal) sejalan dengan peningkatan konsentrasi tembaga (dan penurunan pCu). Sebaliknya, Nitzschia menunjukkan penurunan laju pertumbuhan. Tidak ada pengaruh terhadap lag phase yang diamati untuk spesies ini. Perbedaan tipe respon yang ditunjukkan oleh Skeletonema dan Nitzschia disebabkan oleh perbedaan mekanisme toleransi. Toleransi tembaga pada kedua spesies ada di dalam kisaran yang diharapkan, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian pedahuluan terhadap spesies yang sama atau spesies yang mirip.

Baca juga Distribusi, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Fitoplankton Laut

Variasi Sifat-Sifat Fisiologis Antar Klon Skeletonema

Gallagher and Alberte (1985) mempelajari variasi fisiologis di antara klon-klon diatom laut Skeletonema costatum (Grev.) Cleve yang berbeda secara genetik, yang merupakan wakil dari populasi spesies musiman dominan di Teluk Narragansett, dengan tujuan penelitian untuk menentukan strategi kelangsungan hidup optimal sebagai respon terhadap perubahan intensitas cahaya. Klon-klon tersebut menunjukkan perbedaan dalam hal laju pertumbuhan, kandungan pigmen seluler, jumlah PSU-RCI dan PSU-RCII, rasio RCI/RCII serta kapasitas fotosintetik per sel. Laju pernafasan dan nilai Ic (irradiance compensation; kompensasi iradian) tidak bervariasi antar klon. Setiap klon yang diuji menunjukkan ciri fotosintetik atau mekanisme fotoadaptif yang berbeda-beda. Perbedaan besar antar klon dalam hal sifat fotoadaptif menunjukkan bahwa evolusi tipe ekologi musiman Skeletonema costatum bukanlah peristiwa yang baru terjadi. Perpaduan sifat-sifat fotosintetik yang tergantung-sel dan yang tidak tergantung-sel pada setiap klon dan, dengan demikian, kelompok-kelompok genetik yang mewakili mereka, sebagian bertanggung jawab atas pola musiman kelimpahan populasi diatom ini di ekosistem Teluk Narragansett.

REFERENSI :

ARTIKEL TERKAIT

loading...