Senin, 18 Agustus 2014

Penaeus vannamei : Reproduksi, Budidaya, Pakan dan Pertumbuhan

Arsip Cofa No. C 179

Perangsangan Kematangan Ovari Penaeus vannamei Dengan Ekstrak Otak Lobster

Yano dan Wyban (1992) melaporkan bahwa perangsangan kematangan ovari pada udang Penaeus vannamei, dengan menyuntikkan ekstrak otak dari lobster betina Homarus americanus, dengan ovarinya yang sedang berkembang, telah diteliti di bawah kondisi kultur tangki. Lima dari delapan betina yang disuntik esktrak otak menjadi matang gonad sedangkan hanya 2 dari 18 udang betina kontrol yang disuntik ganglion abdominal atau larutan garam menjadi matang gonad. Dua udang betina dengan tahap (Tingkat Kematangan Gonad) V telah ditemukan 17 hari setelah penyuntikkan ekstrak otak lobster. Ini menunjukkan bahwa kematangan ovari Penaeus vannamei di dalam tangki bisa dirangsang dan dipercepat dengan menyuntikkan esktrak otak dari betina spesies lain yang sedang matang gonad. Kematangan ovari bisa dirangsang oleh suatu hormon otak yang merangsang pelepasan “gonad-stimulating hormone” (GSH; hormon perangsang gonad) dari ganglion toracic. Jadi, “gonad-stimulating hormone-releasing hormone” (GSH-RH; hormon pelepas GSH) dinominasikan sebagai tipe hormon yang mungkin di dalam otak yang bertanggung jawab atas kematangan ovari pada udang ini.

Baca juga :
Virus Pada Udang Penaeidae

Hermaprodit Tak Normal Pada Udang Penaeus vannamei

Farfante dan Robertson (1992) menemukan dua ekor udang Penaeus vannamei hermaprodit di antara sekelompok induk F4 di sebuah lokasi budidaya di Venezuela. Udang-udang ini merupakan penaeoid yang dilaporkan pertama kali memiliki thelycum, petasma, appendix masculina, ovari, testis dan lubang-lubang genital jantan maupun betina. Gonopore jantan dan betina adalah normal; thelyca mirip seperti pada betina normal; petasma dan appendix masculina berukuran lebih kecil dibandingkan normalnya dengan bentuk yang tidak khas; ovari dan testis mengalami banyak penyusutan, tetapi pengamatan histologis menunjukkan bahwa jaringan gonad tersebut secara khas adalah sama seperti pada udang normal. Tidak tampak adanya faktor-faktor yang merangsang pembentukan ciri seksual tak normal ini. Kejadian hermaprodit ini, mungkin berkaitan dengan kondisi selama budidaya udang tersebut di dalam wadah terkurung.

Baca juga :
Pengaruh Ablasi Terhadap Molting dan Pertumbuhan Penaeidae

Budidaya Udang Penaeus vannamei Intensif Dalam Sistem Kolam Air Deras

Robertson et al. (1992) melakukan percobaan pertumbuhan udang Penaeus vannamei intensif selama 49 hari dalam kolam air deras seluas 70 m2 di dalam rumah kaca. Penaeus vannamei ditebarkan pada berat rata-rata 80 mg dan kepadatan 223 – 229 individu/m2). Udang tumbuh dengan laju rata-rata 0,94 sampai 1,19 gram/minggu. Mereka dipanen pada ukuran rata-rata 6,5 sampai 8,1 gram dengan produksi biomas mencapai 1,36 – 1,56 kg/m2 dan tingkat kelangsungan hidup berkisar dari 78 sampai 83 %. Ketika biomas meningkat, pengelolaan resirkulasi air dan pertukaran air lebih diintensifkan. Air laut diganti semula dengan laju 3 % per hari kemudian dinaikkan menjadi 400 % per hari selama minggu akhir penelitian. Walaupun percobaan ini dilakukan selama akhir musim semi di Texas ketika suhu air sekeliling pada pagi hari berkisar dari 18,3 sampai 28,3 oC, suhu dalam kolam air deras dipertahankan agar mencapai rata-rata suhu harian rendah 26,8 oC dan rata-rata suhu harian tinggi 29,8 oC. Udang yang dibudidayakan secara bersamaan dalam kolam luar-ruangan adalah lebih kecil (4,3 sampai 5,0 gram) dan pertumbuhannya lebih lambat (0,62 sampai 0,71 gram/minggu). Hasil yang diperoleh dalam percobaan ini menunjukkan bahwa juvenil yang lebih besar bisa diproduksi dan juga menunjukkan bahwa Penaeus vannamei bisa dibudidayakan dengan berhasil di dalam sistem intensif kolam air deras ini sampai ukuran yang bisa dipasarkan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Baca juga :
Pakan Alami Penaeus

Frekuensi dan Waktu Pemberian Pakan Yang Baik Bagi Pertumbuhan Penaeus vannamei

Robertson et al. (1993) melaporkan bahwa percobaan pertumbuhan intensif di kolam tanah menunjukkan bahwa pertumbuhan udang Penaeus vannamei meningkat sejalan dengan meningkatnya frekuensi pemberian pakan dan memperkuat dugaan bahwa pemberian pakan pada siang hari menghasilkan pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan pemberian pakan pada malam hari. Perbedaan pertumbuhan akibat frekuensi pemberian pakan adalah nyata, “instantaneous growth rate’ (IGR; laju pertumbuhan sesaat) meningkat dari 1,62 % sampai 1,66 % menjadi 1,71 % per hari ketika frekuensi pemberian pakan meningkat dari 1 sampai 2 menjadi 4 kali per 24 jam. Perbandingan nilai IGR antara udang yang diberi pakan pada malam hari (1,64 % per hari) dengan udang yang diberi pakan pada siang hari (1,68 % per hari) menunjukkan (P = 0,0633) bahwa pertumbuhan adalah lebih besar untuk udang yang diberi pakan pada siang hari dibandingkan udang yang diberi pakan pada malam hari. Tingkat kelangsungan hidup udang tidak berbeda nyata antar perlakuan frekuensi pemberian pakan, juga tidak berbeda nyata antar perlakuan waktu pemberian pakan (siang atau malam) ; rata-rata tingkat kelangsungan hidupnya adalah 74,7 ± 6,1 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penaeus vannamei yang dibudidayakan pada kondisi yang sama dengan kondisi percobaan ini sebaiknya diberi pakan sedikitnya 4 kali sehari, dan bahwa pemberian pakan pada siang hari adalah setidaknya sama baik dengan dan bahkan mungkin lebih disukai daripada pemberian pakan pada malam hari.

Baca juga :
Udang Metapenaeus : Bioekologi, Reproduksi dan Budidaya

Pengaruh Protein Hewani dan Nabati Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Udang Penaeus vannamei

Gong et al. (2012) melakukan sebuah percobaan selama delapan minggu untuk membandingkan penampilan dua galur genetika udang Penaeus vannamei, yaitu galur T dan galur G, yang diberi pakan dengan berbagai kadar dan sumber protein. Kedua galur berasal dari populasi yang sama tetapi telah mengalami seleksi genetik secara khusus selama lebih dari empat generasi. Galur T dikembangkan untuk memperoleh udang yang tumbuh cepat dan kebal terhadap penyakit virus sindrom Taura, sedang galur G dikembangkan untuk mendapatkan udang yang tumbuh cepat dan produksi tinggi pada kondisi padat penebaran tinggi. Lima perlakuan pakan diberikan : dua pakan komersial dan tiga pakan semi-murni (A, B dan C). Pakan semimurni diformulasikan agar memiliki kandungan energi tercerna yang sama. Pakan A mengandung 35 % protein kasar, yang dibuat dari tepung ikan laut (ikan 15% dan cumi-cumi 15%). Pakan C mengandung 35 % protein kasar tetapi protein asal-lautnya berkurang, yakni tepung ikan (11,5 %) dan tepung cumi-cumi (11,5 %). Pakan B mengandung protein kasar hanya 2 % tetapi kandungan protein asal-lautnya sama seperti pada pakan C. Dua jenis pakan udang komersial, yang mengandung protein 35 % dan 40 %, berfungsi sebagai pakan rujukan. Perlakuan pakan dilakukan dengan tiga kali ulangan. Setiap tangki ditebari dengan 50 ekor udang yang diberi tanda (25 ekor galur T + 25 ekor galur G) dan 100 ekor udang tak bertanda, dengan berat awal rata-rata 10,4 gram pada kepadatan 107/m2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan secara nyata mempengaruhi pertumbuhan udang (P < 0,0001) tetapi tidak berinteraksi dengan galur udang. Udang yang diberi pakan A atau C tumbuh 25 % lebih cepat daripada udang yang diberi pakan B atau kedua jenis pakan komersial. Pakan A dan pakan C menghasilkan pertumbuhan yang sama (0,30 - 0,33 gram/hari) dan tingkat kelangsungan hidup yang sama (83 – 93 %) sampai mencapai ukuran panen 29 gram per udang; hal ini menunjukkan bahwa isolat protein kedelai yang menggantikan sebagian protein laut dalam pakan C dapat berfungsi sebagai sumber protein alternatif yang baik. Laju pertumbuhan dua galur udang adalah sama tanpa terpengaruh oleh sumber ataupun kadar protein pakan, tetapi kadar protein nabati dalam pakan tidak berinteraksi dengan galur udang bila diukur berdasarkan kelangsungan hidup : rata-rata kelangsungan hidup galur T lebih baik daripada galur G bila diberi pakan B, yakni pakan bernilai gizi rendah dengan kandungan protein 20 % dan tanpa protein nabati; tetapi hal ini tidak berlaku bila udang diberi pakan C, yang mengandung 35 % protein di mana 15 % di antaranya berasal dari protein nabati (kedelai). Analisis penanda mikrosatelit menunjukkan bahwa galur T dan galur G berkerabat sangat dekat dan berasal dari galur induk yang sama. Studi pendahuluan ini memberikan informasi yang bisa digunakan untuk studi lebih lanjut mengenai hubungan antara nutrisi pakan dan genetika serta untuk mengekplorasi potensi seleksi genetik guna meningkatkan efisiensi penggunaan protein nabati dalam budidaya udang (Gong et al., 2012).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 04 Agustus 2014

Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Arsip Cofa No. C 178

Kisaran Salinitas, pH, Amonia, Nitrit dan Nitrat pada Hatchery Udang

Treece dan Fox (1993) menyarankan kisaran beberapa faktor fisik dan kimia bagi operasi hatchery udang. Kisaran salinitas 25 – 36 ppt mungkin optimum untuk pemeliharaan larva udang, tetapi sebisa mungkin dipertahankan agar tidak berfluktuasi. Pembacaan salinitas harus dilakukan satu atau dua kali seminggu kecuali selama periode hujan ketika fluktuasi mungkin terjadi. Keasaman (pH) harus dibaca setiap hari di tangki pemelihaaan. Nilai pH 7,8 – 8,4 adalah bisa diterima, tetapi pH optimumnya 8,0. Nilai pH 8,4 atau lebih akan mulai menimbulkan stres bagi larva udang. Nilainya antara 8,0 dan 8,13 di tangki hingga tahap mysis III dan kemudian turun akibat masuknya air laut sehingga nilainya di bawah 8,0 sampai 7,75. Beberapa kematian terjadi tetapi mungkin tidak disebabkan oleh turunnya pH di bawah kisaran optimum. Total amonia dan nitrit dapat dipantau dengan alat uji yang murah (kecuali bila diperumit oleh adanya kesadahan magnesium) dan dapat diatur dengan pertukaran air. Amonia ada dalam bentuk terionisasi (NH3) yang beracun, terutama pada pH tinggi, dan bentuk terionisasi (NH4+) yang tak beracun, terutama pada pH rendah. Bentuk amonia terionisasi tidak dianggap beracun karena muatan ionnya mencegahnya menembus membran sel insang. Konsentrasi aman yang disarankan untuk amonia tak terionisasi (NH3-N), nitrit (NO2-N) dan nitrat (NO3-N) adalah 0,1, 0,1 dan 200 mg/liter, berturut-turut.

Baca juga :
Dapatkah Kalsium Menurunkan Daya Racun Amonia ?

Pengaruh Aktivitas Renang dan Pemberian Pakan Terhadap Daya Racun Amonia

Studi daya racun biasanya dilakukan pada ikan yang sedang beristirahat dan tidak diberi makan dengan tujuan untuk membandingkan hasilnya. Berdasarkan penelitian terbaru, bagaimanapun, stres lingkungan, termasuk renang, bisa berdampak besar terhadap daya racun amonia. Juga jelas bahwa pemberian pakan meningkakan kadar amonia dalam tubuh. Jadi, pemberian pakan bisa memperburuk kondisi ikan akibat daya racun amonia. Ikan bisa lebih rentan terhadap peningkatan kadar amonia selama dan setelah makan atau ketika renang. Jadi, kriteria konsentrasi amonia yang disajikan oleh EPA tidak bisa melindungi ikan pemigrasi dan tidak sesuai untuk ikan yang diberi pakan secara teratur (Ip et al., 2001).

Baca juga :
Daya Racun Amonia Bagi Udang Windu Penaeus monodon Juvenil dan Dewasa

Kepekaan Ikan, Cladocera dan Amfipoda Terhadap Daya Racun Amonia

Dalam sistem uji perairan tawar, ikan secara khas lebih peka terhadap amonia daripada invertebrata seperti cladocera. Perbedaan kepekaan ini menjadi kurang jelas ketika kekuatan ion larutan uji meningkat di atas 1000 mg/liter TDS (Total Dissolved Solid; Padatan Terlarut Total). Bagaimanapun, beberapa spesies seperti amfipoda Hyallela azteca, menunjukkan pola kepekaan terkait-pH yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh ikan fathead minnow dan cladocera (Norberg-King et al., 2005).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Upaya Mengurangi Konsentrasi Amonia

Menurut Norberg-King et a. (2005) NH3 adalah senyawa yang agak mudah menguap dan merupakan bentuk amonia dominan pada pH > 9,3. Berdasarkan sifat ini telah dikembangkan sebuah prosedur untuk menyingkirkan amonia. Prosedur tersebut melibatkan peningkatan pH sampel sampai mendekati 11 dan kemudian aerasi atau pengadukan secara perlahan-lahan di dalam wadah yang rasio luas permukaan : volumenya besar (yakni, wadah luas tapi dangkal). Prosedur ini bisa menghilangkan sebagian besar amonia total dari sampel. Bagaimanapun, perhatian perlu diberikan untuk memantau dari dekat terhadap total volume sampel selama proses ini karena evaporasi (penguapan) yang tinggi bisa terjadi akibat rasio luas permukaan : volume yang besar itu.

Mekanisme Fisiologis Pada Ikan Untuk Mengurangi Kandungan Amonia Dalam Tubuh

Ip et al., (2001) melaporkan bahwa kebanyakan ikan teleostei bersifat "ammonotelic", artinya memproduksi dan mengekskresi amonia melalui difusi NH3 lewat insang. Mereka sangat rentan terhadap peningkatan kadar amonia dalam jaringan tubuh pada kondisi buruk. Beberapa ikan menghindari keracunan amonia dengan memanfaatkan beberapa mekanisme fisiologi. Pengurangan proteolisis dan/atau katabolisme asam amino mungkin merupakan mekanisme umum yang dilakukan beberapa ikan selama terpapar di udara atau terkena amonia. Ikan lain, seperti ikan belodok, dapat melakukan katabolisme asam amino sebagian dan menggunakan asam-asam amino sebagai sumber energi, yang menyebabkan penimbunan alanin, selama aktif di darat. Beberapa ikan mengubah kelebihan amonia menjadi senyawa yang kurang beracun seperti glutamin dan asam-asam amino lain untuk disimpan. Sedikit spesis mempunyai siklus ornitin—urea yang aktif dan mengubah amonia menjadi urea untuk disimpan maupun untuk diekskresi. Pada kondisi lingkungan dengan konsentrasi amonia meningkat, ikan belodok Periophthalmus schlosseri dapat terus-menerus mengekskresi amonia melalui transpor aktif ion amonium. Ada bukti-bukti bahwa beberapa ikan dapat memanipulasi pH permukaan tubuh untuk mempercepat penguapan NH3 selama terpapar di udara, atau pH medium luar untuk mengurangi daya racun amonia.

Baca juga :
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Astaksantin Meningkatkan Daya Tahan Udang Terhadap Stres Amonia

Pan et al. (2003) melakukan studi dengan tujuan menentukan apakah peningkatan konsentrasi astaxanthin tubuh melalui pemberian pakan pada juvenil udang windu Penaeus monodon dapat meningkatkan kapasitas pertahanan antioksidan dan daya tahan terhadap stres amonia. "Total Antioxidant Status" (TAS) dan superoxide dismutase (SOD) dalam hemolimfa dipilih sebagai parameter kapasitas antioksidan udang. Daya tahan terhadap stres kimiawi dievaluasi berdasarkan tingkat kelangsungan hidup udang, dan aspartate aminotransferase (AST) serta alanine aminotransferase (ALT) dalam hemolimfa. Postlarva Penaeus monodon umur 5-hari diberi pakan makanan yang dilengkapi 71,5 mg/kg astaksantin selama 8 minggu. Udang kemudian dipaparkan selama 72 jam terhadap 0,02, 0,2, 2 dan 20 mg/liter amonia.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pan et al. (2003) menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup udang yang diberi makan astaksantin (AX) adalah lebih tinggi daripada udang kontrol untuk semua konsentrasi amonia kecuali 20 mg/liter, yang menunjukkan bahwa daya tahan udang terhadap stres amonia ditingkatkan oleh astaksantin-pakan. Udang AX memiliki TAS lebih tinggi daripada udang kontrol pada konsentrasi amonia di atas 0,02 mg/liter dan SOD lebih rendah pada semua konsentrasi amonia yang menunjukkan bahwa kapasitas antioksidan telah banyak ditingkatkan. AST pada udang AX lebih rendah dibandingkan pada udang kontrol untuk semua tingkat stres amonia. ALT pada udang AX lebih rendah daripada atau sama dengan udang kontrol untuk berbagai konsentrasi amonia. Baik AST maupun ALT mencerminkan bahwa fungsi hepatopankreatik udang ditingkatkan oleh astaksantin-pakan. Astaksantin bisa menjadi penting untuk Penaeus monodon ketika hewan ini di bawah kondisi stres amonia.

Baca juga :
Penanganan Kasus Keracunan Amonia di Akuarium dan di Kolam Ikan

Dampak Positif Amonia

MacIntyre et al. (2008) dalam Branson (2008) menjelaskan efek positif amonia bagi ikan. Ada beberapa bukti bahwa amonia berkonsentrasi rendah dapat merangsang pertumbuhan ikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan meningkat pada konsentrasi TAN (Total Amonia Nitrogen) 1,96 mg/liter (sekitar 0,035 mg/liter NH3-N). Penelitian lain menunjukkan bahwa amonia berkonsentrasi rendah bisa merangsang penggabungan amonia menjadi asam amino dan protein serta mengurangi biaya metabolik, karena pertumbuhan ikan ditingkatkan tanpa mengubah konsumsi makanan.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Variasi Daya Racun Amonia

Arsip Cofa No. C 177

Dua Bentuk Amonia

Menurut Ip et al., (2001) amonia merupakan racun tak lazim yang dihasilkan oleh, dan juga beracun bagi, binatang. Dalam larutan cair, amonia mempunyai dua bentuk, NH3 dan NH4+. Amonia total merupakan jumlah [NH3] + [NH4+] dan nilai pK untuk reaksi ion amonia/amonium adalah sekitar 9.5. Keseimbangan NH3/NH4+ baik di dalam tubuh binatang maupun di lingkungan sekitarnya tergantung pada suhu, tekanan, kekuatan ion, dan pH. pH merupakan faktor yang paling penting bagi binatang.

Baca juga :
Penanganan Kasus Keracunan Amonia di Akuarium dan di Kolam Ikan

Sumber Amonia

Sumber-sumber amonia menurut MacIntyre et al. (2008) dalam Branson (2008) adalah ekskresi tumbuhan dan hewan, penguraian bahan organik oleh mikroba, emisi gunung berapi, dan kegiatan manusia seperti pemupukan dan emisi industri. Dalam praktek budidaya ikan, amonia merupakan limbah metabolit utama yang dihasilkan ikan dari katabolisme protein yang terkandung dalam makanan. Amonia diekskresi oleh ikan melalui insang. Amonia juga bisa berasal dari pembusukan sisa-sia pakan, namun sumber amonia ini dianggap relatif kecil.

Asal dan Fluktuasi Konsentrasi Amonia Dalam Kolam Udang

Amonia berasal dari proses amonifikasi bahan organik dan deaminasi atau ekskresi binatang air sebagai hasil akhir metabolisme senyawa-senyawa bernitrogen dalam sistem budidaya. Amonia merupakan racun yang paling umum bagi udang Penaeus monodon dalam kolam budidaya dan dapat meningkat sampai 0,808 mg/liter amonia-N di hatchery, serta 6,497 mg/liter amonia-N di kolam pembesaran intensif meskipun air sering diganti (Chen dan Chin, 1989).

Baca juga :
Respon Ikan dan Udang Terhadap Amonia

Fluktuasi Konsentrasi Amonia Mempengaruhi Hasil Studi Daya Racun Amonia

Kualitas air sangat penting bagi kehidupan ikan. Kualitas air merupakan faktor-faktor lingkungan yang sangat berpotensi mempengaruhi kesehatan ikan. Ikan melakukan persentuhan erat dengan air melalui permukaan insang dan kulitnya. Efek subletal yang ditimbulkan buruknya kualitas air bisa menyebabkan ikan makin rentan terhadap penyakit, namun hubungan langsung antara kedua hal ini belum memiliki cukup bukti ilmiah. Literatur yang berkaitan dengan amonia dan daya racunnya pada ikan sangat banyak, bagaimanapun literatur-literatur tersebut sering bertentangan dan membingungkan. Pertentangan antar literatur tersebut mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar amonia akibat variasi laju ekskresi amonia harian, yang membuat perkiraan daya racun amonia menjadi sulit, dan bahwa efek amonia tidak dapat diramalkan berdasarkan pada konsentrasi amonia tak terionisasi saja (MacIntyre et al. (2008) dalam Branson, 2008).

Dampak Negatif Amonia Bagi Ikan

Menurut Boyd (1999) amonia nitrogen dalam bentuk tak terionisasi (NH3) dapat beracun bagi ikan dan organisme air lain. Konsentrasi amonia tak terionisasi berfluktuasi setiap hari karena proporsi amonia tak terionisasi terhadap total amonia nitrogen bervariasi akibat perubahan pH dan suhu. Meskipun mekanisme daya racun amonia belum dapat dijelaskan seluruhnya, sejumlah efek fisiologis dan histologis akibat tingginya konsentrasi amonia telah dapat diidentifikasi. Efek-efek ini mencakup: penurunan kemampuan organisme air untuk mengekskresi amonia, peningkatan kadar amonia dalam jaringan dan cairan tubuh, peningkatan pH darah, gangguan sistem enzim dan stabilitas membran serta kerusakan insang dan kerusakan jaringan berbagai organ dalam. Mortalitas jarang terjadi, tetapi pada banyak kasus, daya racun amonia tercermin dalam makin rentannya ikan terhadap penyakit dan penurunan pertumbuhan.

Daya Racun Amonia

Amonia tak terionisasi pada konsentrasi lebih dari 1,00 – 2,00 mg/liter biasanya bersifat letal dalam waktu 1 - 4 hari. Di bawah konsentrasi ini, ikan mungkin tidak mati, tetapi akan mengalami stres. Jika konsentrasi amonia tak terionisasi lebih dari 0,05 mg/liter, maka nilai ini harus diturunkan secepat mungkin (Noga, 2010).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor Kimia Yang Mempengaruhi Daya Racun Amonia

Daya racun amonia pada konsentrasi tertentu tergantung pada beberapa faktor selain pH dan suhu. Daya racun meningkat dengan menurunnya konsentrasi oksigen terlarut, tetapi efek ini sering ditiadakan karena konsentrasi karbon dioksida yang tinggi menurunkan daya racun amonia. Ada bukti bahwa daya racun amonia menurun dengan meningkatnya salinitas dan kadar kalsium. Ikan juga cenderung meningkatkan toleransinya terhadap amonia ketika diaklimasikan secara perlahan-lahan terhadap peningkatan konsentrasi amonia selama beberapa minggu atau bulan (Boyd, 1999).

Baca juga :
Keracunan Amonia Pada Ikan : Gejala Klinis dan Peran Bakteri

Hubungan Suhu dan pH Dengan Daya Racun Amonia

Boyd (1999) menyatakan bahwa sulit untuk menentukan konsentrasi amonia yang berbahaya atau bersifat mematikan bagi spesies akuatik tertentu. Konsentrasi LC50 96-jam untuk amonia nitrogen tak terionisasi pada berbagai spesies ikan berkisar dari sekitar 0,3 sampai 3,0 mg/liter. Spesies perairan dingin biasanya lebih peka terhadap amonia daripada spesies perairan hangat. Amonia tak terionisasi tidak mempunyai efek letal atau subletal pada konsentrasi di bawah 0,005 sampai 0,01 mg/liter untuk spesies perairan dingin atau di bawah 0,01 sampai 0,05 mg/liter untuk spesies perairan hangat. Konsentrasi total amonia nitrogen tergantung pada pH dan suhu. Sebagai contoh, konsentrasi amonia nitrogen yang dibutuhkan untuk menghasilkan 0,05 mg/liter amonia nitrogen tak terionisasi pada nilai-nilai pH tertentu dan suhu 26 oC adalah sebagai berikut : pH 7, 8,33 mg/liter; pH 8, 0,88 mg/liter; pH 9, 0,13 mg/liter. Daya racun amonia tampaknya lebih besar di perairan dengan pH jauh di atas netral daripada di perairan netral atau asam.

Hubungan pH dan Daya Racun Amonia

Menurut Norberg-King et al. (2005) proporsi amonia tak terionisasi dalam sampel meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu. Pada kebanyakan sistem uji daya racun di lingkungan laut dan perairan tawar, daya racun amonia tak terionisasi meningkat dengan meningkatnya pH sedangkan daya racun amonia terionisasi menurun dengan meningkatnya pH. Bagaimanapun, untuk sebagian besar organisme uji, daya racun NH3 lebih besar daripada NH4+.

Baca juga :
Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Pengaruh Suhu, pH dan Salinitas Terhadap Daya Racun Amonia

Ip et al., (2001) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi amonia dalam lingkungan menyebabkannya menjadi beracun. Suhu mempunyai efek kecil terhadap daya racun amonia, sedangkan kekuatan ionik air dapat mempengaruhi daya racun amonia bahkan menunjukkan efek yang sangat kuat terhadap daya racunnya. Air yang bersifat asam mengurangi daya racun amonia, sedangkan air yang bersifat basa memperkuat daya racun ini. Ambang batas konsentrasi amonia total ([NH3] + [NH4+]) yang menyebabkan efek-efek biologis berbahaya di perairan tawar, yang disarankan oleh EPA (1998), adalah 3.48 mg N/liter pada pH 6,5 dan 0,25 mg N/liter pada pH 9,0. Hanya ada relatif sedikit data untuk perairan asin, terutama daya racun amonia di lingkungan laut yang bersifat kronis. Kriteria nasional yang diusulkan EPA untuk perairan asin adalah kriteria konsentrasi kontinyu (nilai kronis) sebesar 0,99 mg N/liter total amonia dan kriteria konsentrasi maksimum (setengah rata-rata nilai akut) sebesar 6,58 mg N/liter total amonia, agak sedikit lebih rendah daripada nilai untuk perairan tawar dengan pH 8,0 sebesar 1,27 dan 8,4 mg N/liter total amonia, berturut-turut. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa spesies laut lebih peka terhadap amonia daripada spesies air tawar.

Pengaruh Kekuatan Ionik Terhadap Daya Racun Amonia

Delos dan Erickson (1999) menyatakan bahwa fraksi amonia sangat tergantung pada kekuatan ionik, tetapi dalam air tawar efek ini jauh lebih kecil daripada efek pH dan suhu serta cukup kecil pengaruhnya bagi LC-50 (konsentrasi letal 50 %) sehingga dianggap tidak mempengaruhi daya racun amonia. Tidaklah mengherankan bahwa amonia tak terionisasi adalah bentuk yang lebih beracun, karena ia merupakan molekul netral sehingga dapat berdifusi menembus membran epitelial organisme air jauh lebih mudah daripada ion amonium bermuatan.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...